Anda di halaman 1dari 4

Sebanyak 80 persen spesies anggrek yang tumbuh di Sulawesi terancam

punah. Kepunahan terjadi akibat pembabatan liar, kebakaran, dan


pengambilan anggrek di hutan secara liar. "Banyak masyarakat yang
seenaknya mengambil anggrek tanpa melihat apakah anggrek tersebut telah
benar-benar matang atau masih kecil," kata Paktampang Pemasak,
pembudidaya anggrek asal Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada
Pameran Anggrek Indonesia di Makassar, jumat pekan lalu. Paktampang
mengatakan, di antara 5000 spesies anggrek di Indonesia-yang kini tinggal
4000an lantaran punah tak terawat-Sulawesi mengandung 724 spesies
anggrek. Sebanyak 178 spesies diantaranya adalah asli Tana Toraja.
Paktampang memelihara sekitar 80 spesies asli Toraja tersebut. Salah
satunya malah dinamai sesuai namanya, yakni Dendrobium tampangii.
IRMAWATI

Anggrek hitam (Coelogyne pandurata) adalah spesies anggrek yang tumbuh di Semenanjung


Malaya, Kalimantan, dan Sumatera.[1][2]Anggrek hitam adalah maskot flora provinsi Kalimantan
Timur. Saat ini, habitat asli anggrek hitam mengalami penurunan jumlah yang cukup besar karena
semakin menyusutnya luas hutan di Kalimantan namun masih bisa ditemukan di cagar alam Kersik
Luway dalam jumlah yang sedikit. Diperkirakan jumlah yang lebih banyak berada di tangan para
kolektor anggrek.

Dinamakan anggrek hitam karena anggrek ini memiliki lidah (labellum) berwarna hitam dengan
sedikit garis-garis berwarna hijau dan berbulu. Sepal dan petal berwarna hijau muda. Bunganya
cukup harum semerbak dan biasa mekar pada bulan Maret hingga Juni.
Anggrek hitam termasuk dalam anggrek golongan simpodial dengan bentuk bulb membengkak pada
bagian bawah dan daun terjulur di atasnya. Setiap bulb hanya memiliki dua lembar daun saja.
Daunnya sendiri sekilas mirip seperti daun pada tunas kelapa muda
The genus Paraphalaenopsis, abbreviated as Prphln in horticultural trade, is a member of the
orchid family (Orchidaceae), consisting of 4 species endemic to Borneo and one natural
(unconfirmed) hybrid, Paraphalaenopsis × thorntonii (P. denevei × P. serpentilingua). Named by
American botanist Alex Drum Hawkes.
They are morphologically similar to Phalaenopsis and were a long time considered as species of that
genus. Their flowers are similar, but the leaves of Paraphalaenopsis are cylindrical and long (from
35 cm up to 3m in cultivation). This latter measurement belongs to the "rat-tail orchid" (P. labukensis)
with a maximum length of 3.05 meters (ten feet);[1] the greatest length of any orchid leaf. These
leaves resemble the leaves of the Holcoglossum. These are epiphytes that bloom in early spring

Phalaenopsis gigantea

Vanda celebica merupakan spesies anggrek endemik Sulawesi. Pada umumnya, spesies


endemik mendapatkan perhatian “ekstra” dalam konservasi dibandingkan dengan spesies
yang distribusinya luas, karena distribusi spesies endemik yang terbatas di satu daerah
tertentu dan tidak dijumpai di daerah lain. Selain distribusinya yang terbatas, Vanda
celebica juga sangat langka. Anggrek ini diduga pernah punah selama lebih dari 60 tahun,
sampai akhirnya ditemukan kembali, dijumpai tumbuh di pohon-pohon hutan (forest
trees) pada ketinggian 500-600 m dpl. Anggrek ini merupakan salah satu spesies dalam
daftar “jenis anggrek yang dilindungi” sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 7 tahun
1999. Anggrek ini juga masuk dalam daftar CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of wild fauna and flora) Appendiks II.

Karakter spesifik dari Vanda celebica adalah daunnya lebih tipis, jarak antar daun juga
lebih lebar jika dibandingkan dengan daun spesies-spesies Vanda lain pada umumnya.
Karakter khas lainnya adalah bunganya yang mempunyai aroma kuat, wangi bunga yang
baru mekar seperti bunga lili, sedangkan bunga tua (yang sudah lama mekar) berbau
seperti bau mentimun. Bunga Vanda celebica mengeluarkan aroma terkuat pada malam
hari (pukul 21.00-23.00). Perbungaan anggrek ini lebih dari satu kuntum bunga, dengan
jumlah dapat mencapai 8 kuntum bunga. Lebar bunga 3-4 cm.
Anggrek Selop atau Paphiopedilum glaucophyllum adalah salah satu spesies anggrek yang
termasuk tanaman endemik Jawa Timur, Indonesia. Habitat alami Anggrek Selop berada di
kawasan selatan lereng Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur. Tanaman ini menjadi salah satu
tanaman koleksi di Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur.

Bagian bunga anggrek ini dapat dibedakan atas 4 helai kelopak yang terbagi atas 2 helai kelopak
utama dan 2 helai kelopak samping, serta 1 labellum.
Bentuknya yang unik dan berbeda dengan anggrek pada umumnya. Keunikan bentuk bibir yang
menyerupai kantung semar atau sepatu wanita (selop) ini yang menjadi ciri khasnya. Ukuran bunga
Anggrek Selop ini adalah 7,5 cm dengan rincian kelopak punggung berukuran 3 cm, kelopak
samping berukuran 5 cm, dan labellum berukuran 4,5 cm. Selain itu, ukuran daun Anggrek Selop
dapat mencapai 30 cm dan ukuran batang Anggrek Selop dapat mencapai 45 cm.
Daya tarik utamanya terletak pada labellum atau bibir bunganya yang berbentuk kantong, berwarna
ungu, dengan ornamen totol-totol di kelopak bunganya.
Di habitat aslinya, Anggrek Selop tumbuh pada daerah dengan ketinggian 450-770 m dpl dengan
area tumbuh di atas tanah dan karang pada sisi bukit yang curam.

Caladenia orientalis, commonly known as the eastern spider orchid, is a species


of orchid endemic to Victoria. It is a ground orchid with a single hairy leaf and one or two creamy-
white to yellowish-green flowers and which only grows near the Mornington Peninsula.

Caladenia orientalis is a terrestrial, perennial, deciduous, herb with a small, spherical,


underground tuber and a single leaf, 100–150 mm (4–6 in) long and 10–15 mm (0.4–0.6 in) wide.
One or two creamy-white to yellowish-green flowers 70–100 mm (3–4 in) are borne on a stalk 100–
200 mm (4–8 in) tall. The sepals and petals taper to thin brown to black tips. The dorsal sepal is
erect, 90–120 mm (4–5 in) long, about 3 mm (0.1 in) wide and the lateral sepals are 90–120 mm (4–
5 in) long, 4–6 mm (0.16–0.24 in) wide and spread away from each other. The petals are 70–
100 mm (3–4 in) long and 2–3 mm (0.08–0.1 in) wide and curve downwards with drooping tips. The
labellum is 18–22 mm (0.7–0.9 in) long, 8–12 mm (0.3–0.5 in) wide, cream-coloured with many red
teeth up to 2 mm (0.08 in) long on the sides and the tip curled under. There are four or six rows of
reddish, foot-shaped calli, 2 mm (0.08 in) long, along the mid-line of the labellum and decreasing in
length towards its tip. Flowering occurs from September to October, but flowering generally follows
summer bushfires. This species is difficult to distinguish from Caladenia patersonii and C.
fragrantissima and sometimes forms hybrids with C. tessellata.

This orchid was first formally described in 2001 by Stephen Hopper and Andrew Phillip Brown and
the description was published in the Indigenous Flora and Fauna Association Miscellaneous Paper
1.[5] In 2004, Stephen Hopper and Andrew Phillip Brown raised the species to Caladenia
orientalis and published the change in Australian Systematic Botany.[1] The specific
epithet (orientalis) is a Latin word meaning "of the east"

Although its former distribution was wider, in 2010 surveys revealed the eastern spider orchid to only
occur between Port Campbell and Yarram in the South East Coastal Plain biogeographic
region where it grows in coastal heath and woodland with a heathy understorey

Caladenia orientalis is classified as "endangered" under the Victorian Government Flora and Fauna
Guarantee Act 1988 and the Australian Government Environment Protection and Biodiversity
Conservation Act 1999. The main threats to the species include land clearing, trampling and
inappropriate fire regimes.[4] Experiments in Wilsons Promontory National Park have shown that
fencing significantly reduces the incidence of grazing of this species

Anda mungkin juga menyukai