Dinamakan anggrek hitam karena anggrek ini memiliki lidah (labellum) berwarna hitam dengan
sedikit garis-garis berwarna hijau dan berbulu. Sepal dan petal berwarna hijau muda. Bunganya
cukup harum semerbak dan biasa mekar pada bulan Maret hingga Juni.
Anggrek hitam termasuk dalam anggrek golongan simpodial dengan bentuk bulb membengkak pada
bagian bawah dan daun terjulur di atasnya. Setiap bulb hanya memiliki dua lembar daun saja.
Daunnya sendiri sekilas mirip seperti daun pada tunas kelapa muda
The genus Paraphalaenopsis, abbreviated as Prphln in horticultural trade, is a member of the
orchid family (Orchidaceae), consisting of 4 species endemic to Borneo and one natural
(unconfirmed) hybrid, Paraphalaenopsis × thorntonii (P. denevei × P. serpentilingua). Named by
American botanist Alex Drum Hawkes.
They are morphologically similar to Phalaenopsis and were a long time considered as species of that
genus. Their flowers are similar, but the leaves of Paraphalaenopsis are cylindrical and long (from
35 cm up to 3m in cultivation). This latter measurement belongs to the "rat-tail orchid" (P. labukensis)
with a maximum length of 3.05 meters (ten feet);[1] the greatest length of any orchid leaf. These
leaves resemble the leaves of the Holcoglossum. These are epiphytes that bloom in early spring
Phalaenopsis gigantea
Karakter spesifik dari Vanda celebica adalah daunnya lebih tipis, jarak antar daun juga
lebih lebar jika dibandingkan dengan daun spesies-spesies Vanda lain pada umumnya.
Karakter khas lainnya adalah bunganya yang mempunyai aroma kuat, wangi bunga yang
baru mekar seperti bunga lili, sedangkan bunga tua (yang sudah lama mekar) berbau
seperti bau mentimun. Bunga Vanda celebica mengeluarkan aroma terkuat pada malam
hari (pukul 21.00-23.00). Perbungaan anggrek ini lebih dari satu kuntum bunga, dengan
jumlah dapat mencapai 8 kuntum bunga. Lebar bunga 3-4 cm.
Anggrek Selop atau Paphiopedilum glaucophyllum adalah salah satu spesies anggrek yang
termasuk tanaman endemik Jawa Timur, Indonesia. Habitat alami Anggrek Selop berada di
kawasan selatan lereng Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur. Tanaman ini menjadi salah satu
tanaman koleksi di Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur.
Bagian bunga anggrek ini dapat dibedakan atas 4 helai kelopak yang terbagi atas 2 helai kelopak
utama dan 2 helai kelopak samping, serta 1 labellum.
Bentuknya yang unik dan berbeda dengan anggrek pada umumnya. Keunikan bentuk bibir yang
menyerupai kantung semar atau sepatu wanita (selop) ini yang menjadi ciri khasnya. Ukuran bunga
Anggrek Selop ini adalah 7,5 cm dengan rincian kelopak punggung berukuran 3 cm, kelopak
samping berukuran 5 cm, dan labellum berukuran 4,5 cm. Selain itu, ukuran daun Anggrek Selop
dapat mencapai 30 cm dan ukuran batang Anggrek Selop dapat mencapai 45 cm.
Daya tarik utamanya terletak pada labellum atau bibir bunganya yang berbentuk kantong, berwarna
ungu, dengan ornamen totol-totol di kelopak bunganya.
Di habitat aslinya, Anggrek Selop tumbuh pada daerah dengan ketinggian 450-770 m dpl dengan
area tumbuh di atas tanah dan karang pada sisi bukit yang curam.
This orchid was first formally described in 2001 by Stephen Hopper and Andrew Phillip Brown and
the description was published in the Indigenous Flora and Fauna Association Miscellaneous Paper
1.[5] In 2004, Stephen Hopper and Andrew Phillip Brown raised the species to Caladenia
orientalis and published the change in Australian Systematic Botany.[1] The specific
epithet (orientalis) is a Latin word meaning "of the east"
Although its former distribution was wider, in 2010 surveys revealed the eastern spider orchid to only
occur between Port Campbell and Yarram in the South East Coastal Plain biogeographic
region where it grows in coastal heath and woodland with a heathy understorey
Caladenia orientalis is classified as "endangered" under the Victorian Government Flora and Fauna
Guarantee Act 1988 and the Australian Government Environment Protection and Biodiversity
Conservation Act 1999. The main threats to the species include land clearing, trampling and
inappropriate fire regimes.[4] Experiments in Wilsons Promontory National Park have shown that
fencing significantly reduces the incidence of grazing of this species