Anda di halaman 1dari 11

STEP 6

1. Mengapa pasien mengalami bengkak di seluruh tubuh pada pagi hari?


Edema Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini
berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah
sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan
onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema

Underfilled Theory
Overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer
tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang
interstisial menyebabkan terbentuknya edema.

Overfilled theory
EdemaKlinis edema menunjukkan adanya penimbunan cairan dalam ruang interstisial
diseluruh tubuh, dapat diketahui dengan cara inspeksi dan palpasi. Mekanisme terjadinya
edema dipengaruhi beberapa faktor yaitu dengan meningkatnya permeabilitas kapiler
glumerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia, sehingga
menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma intravaskuler dan keadaan ini menyebabkan
meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang
interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema. Mekanisme renal, penurunan tekanan
onkotik plasma protein dalam kapiler glomerulus menyebabkan penurunan volume darah
efektif dan diikuti aktivitas sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, rangsangan ini
menyebabkan kenaikan plasma renin dan angiotensinuntuk sekresi hormon aldosteron.
Kenaikan hormon aldosteron ini akan mempengaruhi sel-sel tubulus proksimal untuk
mereabsorbsi ion Na sehingga ekskresi natrium atau natriuresis menurun. Kemudian dapat
juga terjadi aktifitas saraf simpatik dan kenaikan konsentrasi circulating catecholamine,
sehingga menyebabkan kenaikan tahanan atau resistensi vaskuler renal.yang dapat juga
menyebabkan penurunan dan berkurangnya filtrasi garam Na dan air. Dari kedua hal diatas
akan menyebabkan kenaikan volume cairan seluler (VCES) dan edema. Edema mula-mula
nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat/anasarca sering
disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi bila kadar albumin darah < 2 gr/
100 ml. Selain itu, edema anasarca ini dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu
makan karena edema mukosa usus.

Underfilled & Overfilled Theory


2. Mengapa pasien mengalami hematuria ?
3. Mengapa pasien didapatkan shifting dullness ?
4. Apa etiologi dari scenario ?
 Kongenital
a. Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)kondisi
genetic ginjal dimulai saat awal perkembangan selama kehamilan/3 bulan
pertama lahir. Bayi dengan sindrom ini akan mengalami infeksi, disebabkan
karena mutasi gen NPHS1
b. Denys-Drash syndrome (WT1)penyakit ginjal yang dimulai dalam bulan
awal kehidupan, kondisi ini disebut dengan difus glomerulosklerosis. Dimana
jaringan parut terbentuk diseluruh glomerulus, kondisi ini sering
mengakibatkan gagal ginjal saat masa kanak-kanak. Anak-anak yang
mengalami sindrom ini biasanya memiliki tumor di satu atau kedua ginjal,
peristiwa ini disebut dengan tumor Wilms
c. Frasier syndrome (WT1)penyakit ginjal ini dimulai saat usia dini, kondisi
ini disebut dengan glomerulosklerosis fokal segmental. Dimana jaringan
parut terbentuk pada glomerulus, kondisi ini menyebabkan gagal ginjal pada
masa remaja. Laki-laki dengan sindrom Frasier memiliki pola kromosom
laki-laki yang khas (46, XY), mereka memiliki disgenesis gonad, di mana
genitalia eksternal tidak terlihat jelas laki-laki atau jelas perempuan (genital
ambigu) atau alat kelamin muncul sepenuhnya perempuan. Organ reproduksi
internal (gonad) biasanya tidak berkembang dan disebut sebagai gonad
beruntun. Gonadom abnormal ini tidak berfungsi dan sering menjadi kanker.
Wanita yang terkena biasanya memiliki genitalia dan gonad normal dan
hanya memiliki fitur ginjal. Karena mereka tidak memiliki semua fitur dari
kondisi tersebut, perempuan biasanya diberikan diagnosis sindrom nefrotik
terisolasi
d. Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)ditandai dengan sklerosis
progresif dari matriks mesangial dengan proliferasi sel mesangial
minimal/tidak ada, hipertrofi podosit pada penyakit awal, membrane basal
menebal, berkurangnya lumen kapiler pada penyakit lanjut. Pada sindrom ini
resisten terhadap terapi imunosupresif dan berkembang menjadi penyakit
ginjal stadium akhir
e. Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
f. Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
g. Nail-patella syndrome (LMX1B)ditandai dengan kelainan kuku, lutut, siku
dan panggul. Pada sindrom ini kuku tidak ada atau tidak berkembang dan
berubah warna, terbelah dan bergerigi, biasanya yang paling berpengaruh
pada kuku tangan dibandingkan kuku kaki. Pada ujung kuku berbentuk
segitiga bukan bulan sabit pada orang normalnya, lalu pada sindrom ini
menyebabkan kelainan juga pada patella dimana bentuknya lebih kecil dan
sering mengalami trauma pada patella. Pada kondisi ini menyebabkan
glaucoma pada usia dini dan menyebabkan gagal ginjal dini.
h. Pierson syndrome (LAMB2)sindrom langka yang bisa mempengaruhi
ginjal dan mata (mikrokoria/pupil mata kecil dan tidak responsfi terhadap
cahaya). Disebabkan oleh mutasi gen LAMB2. Pada bayi yang mengalami
sindrom ini tidak dapat umur yang panjang dan hanya bertahan pada beberap
minggu/bulan awal kehidupan
i. Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)kondisi ditandai
dengan tubuh pendek, sindrom nefrotik dan sistem kekebalan tubuh yang
lemah (kekurangan sel Tlebih rentan terhadap penyakit)
j. Galloway-Mowat syndrome
k. Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
 Primer/Idiopatik
a. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
b. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
c. Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
d. Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
e. Nefropati Membranosa (GNM)
 Sekunder
a. lupus erimatosus sistemik (LES)
b. keganasan, seperti limfoma dan leukemia
c. vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch
Schonlein
d. Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis
5. Bagaimana patofisiologi ?

Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah. Pada
nefrotik sindrom, glomeruli mengalami kerusakan sehingga terjadi perubahan permeabilitas
karena inflamasi dan hialinisasi sehingga hilangnya plasma protein, terutama albumin
kedalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak
mampu untuk terus mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan
terjadi hipoalbuminemia.
Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang menyebabkan
edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari system vaskuler ke dalam ruang cairan
ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang
mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan aldosteron menyebabkan
reabsorbsi natrium (Na) dan air sehingga mengalami peningkatan dan akhirnya menambah
volume intravaskuler.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density
Lipoprotein) dalam hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang
timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin
( lipiduria ). (Toto Suharyanto, 2009).
Menurunya respon immune karena sel immune tertekan, kemungkinan disebabkan
oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup
glomerulo sklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik,
dan trombosis vena renal.
Edema merupakan gejala utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai berat dan
merupakan gejala satu-satunya yang Nampak. Edema mula-mula Nampak pada kelopak mata
terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau anasarka sering disertai edema pada
genetalia eksterna. Edema pada perut terjadi karena penimbunan cairan. Sesak napas terjadi
karena adanya cairan dirongga sekitar paru-paru (efusi pleura). Gejala yang lainnya adalah
edema lutut dan kantung zakar (pada pria). Edema yang terjadi seringkali berpindah-pindah,
pada pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata atau setelah berjalan, cairan akan tertimbun
di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bias tertutupi oleh edema.Selain itu edema anasarka ini
dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus.
Umbilikalis, dilatasi vena, prolaks rectum, dan sesak dapat pula terjadi akibat edema anasarka
ini.
 Proteinuria & Hipoalbuminemia Proteinuria masif merupakan kelainan dasar dari
sindrom nefrotik. Proteinuria inisebagian besar berasal dari kebocoran glumerulus
(proteinuria glumerulus) dan hanyasebagian kecil yang berasal dari sekresi tubulus
(proteinuria tubulus). Pada dasarnya proteinuria masif ini mengakibatkan dua hal :
a. Jumlah serum protein yang difiltrasi glumerulus meningkat sehingga serum
proteintersebut masuk ke dalam lumen tubulus.
b. Kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi serum protein
yang telah difiltrasi glomerulus.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif
yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Dikatakan hipoalbuminemia apabila kadar
albumin dalam darah <2,5 gr/100 ml. Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekananonkotik plasma dengan konsekuensi
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Plasma mengandung banyak macam protein dan sebagian besar akan mengisi
ruangekstra vaskuler (EV). Plasma atau serum protein terutama terdiri dari IgG,
transferin dan  albumin yang mempunyai BM kecil (69.000), sehingga mudah
diekskresikan melalui urin.Oleh karena itu istilah hipoproteinemia identik dengan
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat terjadi bila proteinuria lebih dari 3-5
gram/hari, katabolisme albumin meningkat,
intake protein berkurang karena penderita mengalami anoreksia atau bertambahnya ut
ilisasi(pemakaian) asam amino, kehilangan protein melalui usus atau protein loosing
enteropathy.
Hati memegang peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, renal maupun ekstra renal. Mekanisme kompensasi untuk meningka
tkan sintesis protein (albumin) terutama untuk mempertahankan komposisi protein da
lam ruangan ekstravaskuler (EV) dan intravaskuler (IV). Pada sindrom nefrotik
sintesis
proteinhati biasanya meningkat tetapi mungkin normal atau menurun. Sintesis prot
ein oleh hati bisa meningkat 2 kali normal tetapi tidak adekuat untuk mengimbangi
kehilangan protein sehinggasecara keseluruhan terjadi pengurangan total protein
tubuh termasuk otot-otot, bilamekanisme kompensasi sintesis albumin dalam hati
tidak cukup adekuat sering disertai penurunan albumin (hipoalbuminemia).
 Hiperlipidemia Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai
pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infusalbumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal. Dikatakan hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang
meninggi ( kolesterol > 250 mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen lemak
meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol, Low Density
Lipoprotein(LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), dan trigliserida (baru
meningkat bila plasma albumin < 1gr/100 mL. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar 
terpacu untukmembuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis
albumin ini, sel
hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDLLDL oleh
lipoprotein lipase. Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya
hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya
aktivitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein
plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urine.
6. Apa saja pemeriksaan fisik dan penunjangnya ?
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
b. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
c. Pemeriksaan darah
 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
 Albumin dan kolesterol serum
 Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus
eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4,
ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
7. Jelaskan pemeriksaan fisik dan penunjang beserta interpretasinya dari scenario ?

Tekanan darah 95/60, normalnya sistol 95-107, diastole 60-71


 Pernafasan 24x/mnt, normal 20-25x / mnt
 Nadi 90-100x/mnt, normal 65-100 x/mnt
 Suhu 37 C, normal 36 – 37,5 C
 Protein masif 4+  protein dalam urinnya >500 mg/dl, bila > 3,5 g dalam 24 jam
maka sudah proteinuria
 Protein total, normal 6,1 – 8,2 g/dL
 Albumin, normal 3,5 – 5,4 g/dl
 Kolesterol, normal <200 mg/dl
 Globulin, normal 2,3 – 3,2 g/dl
 Ureum, normal 15 – 40 mg/dl
 Kreatinin, normal 0,5 – 1,5 ml/dL
8. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari scenario ?
 Sindrom Nefrotik SekunderSN sekunder adalah SN berhubungan dengan
penyakit/kelainan sistemik, atau disebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin.
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport,miksedema.
a. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
BacterialEndocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
b. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
c. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpuraHenoch-Schonlein, sarkoidosis.
d. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, leukemia, tumor gastrointestinal.
 Sindrom Nefrotik KongenitalKelainan ini diturunkan melalui gen resesif
autosomal. Biasanya anak lahir premature(90%), plasenta besar (beratnya kira-kira
40% dari berat badan). Lesi patognomonik adalah dilatasi kistik pada tubulus
proksimal ginjal. Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa
edema, asites, biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan
hipoproteinemia, proteinuria masif dan hiperkolestrolemia. Gejala klinik yaitu berupa
kelainan congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata lebar, telinga
letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan meninggal, karena infeksi
sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk menemukan kemungkinan
kelainan ini secara dini adalah pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion
yang biasanya meninggi.
 Glomerulonefritis AkutGlomerulonefritis akut juga disebut dengan
glomerulonefritis akut poststerptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-
supuratif yang mengenai glomerulus, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai
anak-anak. Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah untuk
menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi daninflamasi
glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.Sebagian besar (75%)
glomerulonefritis akut pasca streptokokus timbul setelah infeksisaluran pernapasan
bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus betahemolitikus grup A tipe
1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedangkan tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60menyebabkan infeksi
kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis.
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal
dengansindrom nefritik akut
a. Infeksi StreptokokusRiwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis,
tonsilitis atau infeksi kulit(impetigo).Data-data epidemiologi membuktikan,
bahwa prevalensiglomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu
epidemi infeksi salurannafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo
relatif rendah, sekitar 5-10%.
b. Gejala-gejala umumGlomerulonefritis akut pasca streptokokus tidak
memberikan keluhan dan cirikhusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia,
lemah badan, tidak jarang disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap
penyakit infeksi
c. Keluhan saluran kemihHematuria makroskopis (gross) sering ditemukan,
hampir 40% dari semua pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-
keluhan seperti infeksi salurankemih bawah walaupun tidak terbukti secara
bakteriologis. Oligouria atau anuriamerupakan tanda prognosis buruk pada
pasien dewasa.
d. HipertensiHipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir
pada
semua pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normoten
si setelahterdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi.
Hipertensi beratdengan atau tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kira-kira
5-10% dari semua pasien
Edema dan bendungan paru akutHampir semua pasien dengan riwayat edema pada
kelopak mata
atau pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan
penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap
atau persisten, tidak jarangdisertai dengan asites dan efusi rongga pleura
9. Apa saja batasan pada sindroma nefrotik ?
a. Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
b. Relaps. : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
c. Relaps sering. (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
d. Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
e. Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
f. Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu
10. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien di scenario ?
 Diit Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein
akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
 Diuretik Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter),
biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid
intravena 1-2 mg/kgbb.

 Imunisasi Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/


kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio
vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin
virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN
sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela
 Pengobatan Kortikoseroidbila anak menderita Sindrom Nefrotik Idiopatik/Primer
Terapi Inisial Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60
mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi,
untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila
setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid

Sindrom Nefrotik Relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi


(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak
awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan

Sindrom Nefrotik Relaps Sering/Dependen Steroid Terdapat 4 opsi pengobatan SN


relaps sering atau dependen steroid:
Pemberian steroid jangka panjang Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering
atau dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi
dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam dosis
terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison
diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan
0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis
prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir. Bila
relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0
mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan
dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung
diberikan siklofosfamid (CPA). Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini: Relaps
pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating, Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
Efek samping steroid yang berat & Pernah relaps dengan gejala berat antara lain
hipovolemia, trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
Pemberian levamisol Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama
4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.
Pengobatan dengan sitostatik
Pengobatan dengan siklosporin/mikofenolat mofetil
11. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi ?
 Malnutrisi, akibat hipolabuminemia berat.
 Infeksi sekunder, disebabkan gangguan mekanisme pertahanan humoral, penurunan
gamma globulin serum.
 Gangguan koagulasi, berhubungan dengan kenaikan beberapa faktor pembekuan yang
menyebabkan keadaan hiperkoagulasi.
 Akselerasi aterosklerosis, akibat dari hipelipidemia yang lama.
 Kolap hipovolemia, akibat proteinuria yang berat.
 Efek samping obat-obatan : diuretik, antibiotik, kortikosteroid, antihipertensi,
sitostatika yang sering digunakan pada pasien sindrom nefrotik.
 Gagal ginjal.
 Infeksi (akibat defisiensi respon imun)
 Tromboembolisme (terutama vena renal)
 Emboli pulmo
 Peningkatan terjadinya aterosklerosis
 Hypovolemia
 Hilangnya protein dalam urin
 Dehidrasi

Anda mungkin juga menyukai