Anda di halaman 1dari 49

IMPLEMENTASI STRATEGI PELAKSANAAN (SP I-IV)

KEPERAWATAN DALAM MEMBANTU MENGONTROL


HALUSINASI PADA PASIEN HALUSINASI : STUDI
LITERATURE
(IMPLEMENTATION STRATEGY (SP I-IV) NURSING IN HELPING TO
CONTROL HALLUCINATIONS IN HALLUCINATORY PATIENTS:
LITERATURE STUDY)

*I Gusti Putu Mahindhu, ** M. Adreng Pamungkas, S.Pd., M.M, ** Ns. Kiki


Rizki Fista Andriana, S.Kep.,M.Kep

*Mahasiswa Program Studi Keperawatan STIKes Wira Medika Bali


**Staff Dosen Program Sarjana Keperawatan STIKes Wira Medika Bali
Email: Igustiputumahindhu@gmail.com

ABSTRAK

Pendahuluan: Kemampuan mengontrol halusinasi merupakan kapasitas individu untuk


mengendalikan diri ketika muncul halusinasi sehingga dapat menghindari bahaya yang
mungkin muncul. Tujuan dari literature reiew ini bertujuan untuk melakukan analisis jurnal
untuk membantu meningkatkan kemampuan pasien melakukan kontrol halusinasi melalui
implementasi strategi pelaksanaan keperawatan SP I-IV. Metode: Penulusuran ini
dilakukan dengan metode telaah literature menggunakan strategi yang komprehensif
melalui database Balai pustaka melalui Mental Health Nursing Journal, Reaserach Gate,
dan Google Scholar (Google Cendekia) kata kunci pencarian artikel internasional
menggunakan “hallucinatory nursing strategies and hallucinations control”, dengan kata
kunci pencarian artikel nasional menggunakan “implementasi strategi pelaksanaan pada
pasien halusinasi atau SP I-IV”, “strategi pelaksanaan SP 1-IV dan mengontrol halusinasi”.
Dari 100 artikel internasional didapatkan 1 artikel dan dari 200 artikel nasional didapatkan
5 artikel dan jika ditotal berjumlah 6 artikel yang didapat dan sesuai dengan kriteria inklusi
yang selanjutnya dapat diidentifikasi melalui analisis tujuan, kesesuaian topik, hasil dari
setiap artikel dan disajikan dalam bentuk tabel. Artikel dapat diakses full text dengan format
pdf. Dibatasi tahun terbit 2015-2020. Analisa: Peranan strategi pelaksanaan keperawatan
(SP I-IV) memiliki perannya yang efektif membantu pasien halusinasi mengontrol
halusinasi untuk menuju kesembuhan. Diskusi: Evaluasi yang berkelanjutan dan
komprehensif akan membuka peluang lebih besar pasien halusinasi untuk sembuh.

Kata Kunci: Implementasi strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi atau SP I-IV,
strategi pelaksanaan SP 1-IV dan mengontrol halusinasi, hallucinatory nursing strategies
and hallucinations control.

1
ABSTRACT

Introduction: The ability to control hallucinations is an individual capacity to


control themselves when hallucinations appear so as to avoid possible hazards. The
purpose of this literature Reiew aims to conduct a journal analysis to help improve
the ability of the patient to carry out hallucinatory control through implementation
of SP I-IV Nursing implementation strategy. Method: This method was used is a
literature study method using a comprehensive strategy through the database of
Balai Pustaka through the Mental Health Nursing Journal, Reaserach Gate, and
Google Scholar (Google Scholar) keyword search International articles using
"hallucinatory Nursing strategies and hallucination App control", with the keyword
search of national articles using "Implementation of implementation strategies in
hallucination app or SP I-IV patients", "SP implementation strategy 1-IV and
control hallucination app". From 100 international articles obtained 1 article and
from 200 national articles are obtained 5 articles and if it is numbered 6 articles
obtained and according to the criteria of inclusion that can then be identified
through the purpose analysis, appropriateness of the topic, the outcome of each
article and presented in the form of table. Articles can be accessed full text with
PDF format. Restricted in the year 2015-2020. Analysis: The role of nursing
implementation strategy (SP I-IV) has an effective role of helping hallucinatory
patients to control hallucinations for healing. Discussion: Ongoing and
comprehensive evaluation will open a greater chance of hallucinatory patients to
heal.

Keywords: implementation of the implementation strategy in hallucinatory or SP I-


IV patients, SP 1-IV implementation strategy and control hallucination app,
hallucinatory nursing strategies and hallucination control.

2
PENDAHULUAN

Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas ini
cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan penuh tekanan seperti kehilngan orang
yang di cintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, maslah dalam pernikahan,
krisis ekonomi, tekanan di pekerjaan dan diskriminasi meningkatkan resiko
menderita gangguan jiwa. Jenis dan karateristik gangguan jiwa sangat beragam,
salah satunya gangguan jiwa yang sering kita temukan dan dirawat yaitu skizofrenia
(Maramis, 2008).
Data American Psychiatric Association tahun 2013 menyebutkan sebanyak
480 juta orang di dunia mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa. Jumlah setiap
tahun makin bertambah dan akan berdampak bagi masyarakat. Gangguan jiwa di
Indonesia menjadi masalah yang cukup serius. Skizofrenia diseluruh dunia diderita
kira-kira 24 juta orang lebih dari 50% pasien.
Berdasarkan data World Health Organitation (WHO), (2016) mengatakan
bahwa diperkirakan bahwa 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia atau
sekitar 21 juta jiwa. Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
2018, hasil riset kesehatan menunjukkan data prevalensi gangguan jiwa berat di
Indonesia, seperti skizofrenia mencapai sekitar 14 juta orang atau sebanyak 7 per
1.000 penduduk, jumlah pasien skizofrenia meningkat dibandingkan hasil
Riskesdas 2013 sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk, prevalensi tertinggi terdapat di
Bali yaitu sebanyak 11% posisi kedua diikuti oleh Yogyakarta dan NTB sebanyak
10%. Dinkes Bali (2018) mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa mencapai
4.829 orang. Tabanan menjadi kabupaten yang tertinggi mengalami gangguan jiwa
sebanyak 1.766 orang, peringkat kedua berada di kabupaten Klungkung sebanyak
584 orang, di peringkat ketiga ada kota Denpasar sebanyak 525 orang, di peringkat
keempat ada kabupaten Buleleng sebanyak 517 orang, di peringkat kelima di
tempati oleh kabupaten Jembrane sebanyak 388, di peringkat keenam ada
kabupaten Badung sebanyak 372, di peringkat ketuju ada kabupaten Bangli
sebanyak 322 orang, di peringkat ke delapan ada kabupaten Gianyar sebanyak 285
orang dan peringkat ke sembilan ada kabupaten Karangasem sebanyak 106 orang
yang mengalami gangguan jiwa.
Penyebab terjadinya peningkatan jumlah pasien yang mengalami
skizofrenia karena tidak mampuan pasien dalm menghadapi stressor serta
kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalh yang mereka hadapi kepada
orang lain, bila ada masalah pasien cenderung memendamnya sendiri dan berusaha
mencari solusi pemecahan dengan caranya sendiri dengan berprilaku menarik diri,
biasanya pasien halusinasi ini akan mulai dengan memikirkan hal- hal yang
menyenangkan bagi dirinya, apabila hal ini terus menerus berlangsung maka pasien
akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan stimulus yang dialami (Yosep,
2014).
Halusinasi adalah gangguan penerapan (persepsi) panca indra tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem pengindraan dimana terjadi
pada saat kesadaran individu atau penuh/baik. Individu yang mengalami halusinasi
seringkali beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari
lingkungan, padahal ransangan primer dari halusinasi adalah

3
kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatic
sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut di tingalkan oleh
orang yang dicintai, tidak dapat meninggalkan dorongan ego, pikiran dan perasaan
sendiri. Halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan gejala
yang hampir tidak dijumpai dan keadaan lain (Guntur, 2013).
Pasien halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku
dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum dan berbicara sendiri,
secara tiba-tiba marah yang atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan
seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang
halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan), (Guntur,
2013). Pasien dengan halusinasi memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaan
bahkan dalam merawat diri sendiri. Akibatnya pasien halusinasi cenderung
tergantung pada orang lain. Sehingga akan berdampak pada keluarga. (Agustina,
2017).
Hasil penelitian Fitriana Ridha (2019) mengatakan bahwa hampir dari
keseluruhan pasien memiliki kepercayaan yang kurang terhadap perawatnya
sehingga berdampak dari perubahan sikap pasien halusinasi yang semakin menurun
sehingga pasien semakin sulit untuk mengontrol halusinasinya. Serupa dengan
penelitian Handayani, et al, (2015) mengatakan bahwa setelah dilakukanya terapi
aktivitas terjadwal dengan pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
menunjukan bahwa 26 responden (61,9%) memiliki kemampuan partially dalam
mengontrol halusinasinya, 12 respoden (28,6%) memiliki kemampuan supportive
dalam mengontrol halusinasi, 4 responden (9,5%) memiliki kemampuan wholly
dalam mengontrol halusinasinya , hal ini menunjukan bahwa masih diperlukannya
intervensi – intervensi yang dapat membantu pasien dalam megontrol
halusinasinya.
Peranan perawat dalam hal ini yaitu sebagai pemberi asuhan keperawatan
memerlukan suatu perangkat intruksi atau langkah-langkah kegiatan yang
dibakukan. Hal ini bertujuan agar penyelenggaraan pelayanan keperawatan
memenuhi standar pelayanan. Langkah-langkah kegiatan tersebut berupa Standar
Operasional Prosedur (SOP). Tujuan umum SOP adalah untuk mengarahkan
kegiatan asuhan keperawatan dalam mencapai tujuan yang lebih efisien dan efektif
sehingga konsisten dan aman dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan melalui
pemenuhan standar yang berlaku (Depkes RI, 2018). Salah satu jenis SOP yang
digunakan adalah SOP tentang Strategi Pelaksanaan (SP) tindakan keperawatan
pada pasien. SP tindakan keperawatan merupakan standar model pendekatan
asuhan keperawatan untuk klien dengan gangguan jiwa yang salah satunya adalah
pasien yang mengalami masalah utama halusinasi. Perawat yang melaksanakan
kegiatan pendekatan Strategi pelaksanaan (SP I-IV) pada pasien halusinasi terkait
pada pasien halusinasi yang dialami seperti isi, frekuensi, situasi pencetus dan
respon.
Tujuan dari literature reiew ini bertujuan untuk melakukan analisis jurnal
untuk membantu meningkatkan kemampuan pasien melakukan kontrol halusinasi
melalui implementasi strategi pelaksanaan keperawatan SP I-IV.

4
METODE PENELITIAN

Penulusuran ini dilakukan dengan metode telaah literature menggunakan


strategi yang komprehensif melalui artikel dalam database atau naskah publikasi
serta melalui tinjauan ulang artikel. Pencarian database yang digunakan melalui
Balai pustaka melalui Mental Health Nursing Journal, Reaserach Gate, dan Google
Scholar (Google Cendekia) dengan kata kunci pencarian artikel internasional
menggunakan “hallucinatory nursing strategies and hallucinations control”, kata
kunci untuk pencarian artikel nasional menggunakan “implementasi strategi
pelaksanaan pada pasien halusinasi atau SP I-IV”, “strategi pelaksanaan SP 1-IV
dan mengontrol halusinasi”. Pada tahap pencarian artikel, penelusuran dibatasi
terbitan tahun 2015-2020. Dari 100 artikel internasional didapatkan 1 artikel dan
dari 200 artikel nasional didapatkan 5 artikel dan jika ditotal berjumlah 6 artikel
yang didapat dan sesuai dengan kriteria inklusi yang selanjutnya dapat diidentifikasi
melalui analisis tujuan, kesesuaian topik, hasil dari setiap artikel dan disajikan
dalam bentuk tabel. Artikel dapat diakses full text dengan format pdf. Kriteria
inklusi yang digunakan yaitu penelitian yang berbasis pengimplementasian dan
pengaruh pemberian strategi pelaksanaan keperawatan (I-IV) untuk membantu
pasien halusinasi dalam mengontrol halusinasinya. Jurnal yang diambil murupakan
original article serta full-text sehingga data yang disajikan lengkap dan
memudahkan dalam penelaahan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari pencarian kata kunci: “implementasi strategi pelaksanaan
pada pasien halusinasi atau SP I-IV”, “strategi pelaksanaan SP 1-IV dan mengontrol
halusinasi”, “hallucinatory nursing strategies and hallucinations control” yaitu:
Overview of the Role of Nurses in the Implementation of Education in Patients
Hallucinations (Livana, 2019), Upaya Penurunan Frekuensi Halusinasi Penglihatan
Dengan Komunikasi Terapeutik Di RS X (Cahyaning , 2016), Tingkat Kemandirian
Pasien Mengontrol Halusinasi Setelah Terapi Aktivitas Kelompok (Handayani, et
al, 2015), Hubungan Kepatuhan minum obat dengan periode kekambuhan pada
pasien skizofrenia: Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang
(Astuti, 2017), Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat Terhadap Perubahan
Gejala Halusinasi pada Klien Sizoferenia (Jek Amidos, 2016), Pengaruh penerapan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Halusinasi Klien Terhadap
Kemampuan Mengontrol Halusinasi Di RSKD Provinsi X (Jusliani and Sudirman,
2015).

5
Tabel 1 Hasil Artikel Review

Metodelogi
Peneliti Judul Tujuan Karakteristik Sampel Hasil
penelitian
Livana P. Overview of the Role of Untuk mengetahui peran Seluruh perawat yang Penelitian Hasil penelitian menunjukan bahwa
H. 1, Titik Nurses in the perawat dalam peaksanaan bekerja di ruang X pada menggunakan disain perawat memberikan edukasi kepada pasien
Suerni2 Implementation of pendidikan pada pasien yang bulan Desember 2017 survey deskriptif yang mengalami halusinasi dengan
(2019) Education in Patients berhalusinasi membantu mengenali halusinasi dan gejala
Hallucinations serta memberikan strategi implementasi
http://article.sciencepg.n dengan menegur ketika pasin mendengr
et/pdf/10.11648.j.ejb.201 sesuatu. Setelah klien melakukan
90702.12.pdf implementasi strategi dengan menegur
maka pasien diberikan obat sesuai resep
medis.
Tehnik yang paling disukai yaitu tehnik
mendengarkan dalam hal ini perawat
mendengarkan masalah, perasaan dan
pikiran yang dialami oleh pasien sehingga
mendorong pasien halusinasi untuk
mengungkapkan lebih spesifik dan lengkap
terakit perasaannya.
Cahyaning Upaya Penurunan Untuk mengetahui penurunan Seluruh pasien yang Metode penelitian Setelah dilakukan tindakan keperawatan
Fitria Frekuensi Halusinasi frekuensi halusinasi sedang dirawat di deskriptif selama 3 x 24 jam, dengan tindakan
Puspita Penglihatan Dengan penglihatan bangsal X 29-31 Maret pemberian SP2 terbukti efektif untuk
Sari (2016) Komunikasi Terapeutik 2016 menunjang kesembuhan klien penderita
Di RS X halusinasi penglihatan dengan
http://eprints.ums.ac.id/i berkurangnya frekuensi halusinasi pasien
d/eprint/44431 setelah dilakukan SP 2 yaitu penerapan
komunikasi terapeutik.
Dwi Tingkat Kemandirian Untuk meningkatkan Sebanyak 42 orang Penelitian deskriptif Hasil penelitian menunjukan bahwa:
Handayani Pasien Mengontrol kemandirian pasien dalam partisipan/responden 1. 26 responden (61,9%) memiliki
(2015) Halusinasi Setelah mengontrol halusinasi kemampuan partially dalam
Terapi Aktivitas dengan pemberian aktivitas mengontrol halusinasinya
Kelompok terjadwal terapi aktivitas

6
http://jkp.fkep.unpad.ac.i kelompok 2. 12 respoden (28,6%) memiliki
d/index.php/jkp/article/d kemampuan supportive dalam
ownload/52/49 mengontrol halusinasi
3. 4 responden (9,5%) memiliki
kemampuan wholly dalam mengontrol
halusinasinya
Astuti Hubungan Kepatuhan Untuk mengetahui hubungan Semua penderita Penelitian deskriptif Berdasarkan hasil analisis yaitu pasien
(2017) minum obat dengan kepatuhan minum obat skizofrenia Dean crossectional yang mengalami periode kekambuhan
periode kekambuhan dengan periode kekambuhan halusinasi yang sedang berat lebih banyak terjadi pada pasien
pada pasien skizofrenia: pada pasien skizofrenia: menjalani pengobatan di dengan kepatuhan minum obat yang
Halusinasi Di Rumah Halusinasi Di Rumah Sakit rumah sakit tersebut kurang yaitu sejumlah 87,5%,
Sakit Jiwa Prof. Dr. Jiwa Prof. Dr. Soeroyo dengan jumlah 113 dibandingkan pasien dengan kepatuhan
Soeroyo Magelang Magelang . responden. cukup 71,0% dan kepatuhan baik 33,3%.
http://jurnal.stikescendek
iautamakudus.ac.id/inde
x.php/stikes/article/view/
193/145
Jek Amidos Pendidikan Kesehatan Untuk mengetahui pengaruh Pasien skizofrenia QuasiExperimen Hasil penelitian menunjukan adanya
(2016) Kepatuhan Minum Obat pendidikan kesehatan dengan gejala halusinasi pre-post Test pengaruh antara pendidikan kesehatan
Terhadap Perubahan kepatuhan minum obat yang dipilih perdasarkan terhadap kepatuhan minum obat pada
Gejala Halusinasi pada terhadap perubahan gejala estimasi (perkiraan) pasien.
Klien Sizoferenia halusinasi pada klien dengan jumlah 18 Terjadinya peningkatkan kepatuhan
https://iopscience.iop.org Skizoferenia responden minum obat setelah diberikan pendidikan
/article/10.1088/1751- kesehatan yang ditunjukan dengan adanya
8113/44/8/085201 penurunan gejala-gejala halusinasi pada
pasien skizofrenia.
Jusliani Pengaruh penerapan Untuk mengidentifikasi Semua klien dengan Quasi eksperimental Hasil dari penelitian menunjukan bahwa
(2015) Strategi Pelaksanaan pengaruh penerapan asuhan gangguan halusinasi di design terjadi perubahan dengan meningkatkan
Tindakan Keperawatan keperawatan pada klien RS X berjumlah 30 kemampuan pasien halusinasi dalam
Halusinasi Klien halusinasi terhadap responden. mengontrol halusinasinya.
Terhadap Kemampuan kemampuan klien
Mengontrol Halusinasi mengontrol halusinasi
Di RSKD Provinsi X
http://eprints.ums.ac.id/i
d/eprint/44431

7
Pembahasan

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penciuman, klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak
ada (Angga, 2016).tiSecara umum tanda pada pasien skizofrenia mengalami halusinasi.
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar) sehingga klien memberi
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.
Dampak yang akan dapat disebabkan oleh pasien halusinasi yaitu kehilangan kendali
mereka, pasien tiba-tiba mengalami panik dan perilakunya akan dikendalikan oleh
halusinasinya (Livana, 2019).
Meminimalisir dampak tersebut dapat dilakukan melalui penerapan
implementasi tindakan keperawatan halusinasi untuk membantu klien mengatasi
halusinasi dimulai dengan membina hubungan saling percaya dengan klien agar
informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara
konprehensif. Tindakan intervensi bagi pasien dengan gangguan jiwa adalah
memberikan strategi pelaksanaan (SP) karena terbukti dapat memberikan pemahaman
kepada pasien dalam menangani atau mengontrol halusinasinya (Intan Nur Rahmawati,
2018). Hasil penelitian Jusliani and Sudirman,( 2015) menyatakan bahwa setelah
diberikan intervensi strategi pelaksanaan keperawatan SP I –IV bahwa terjadi
peningkatkan kemampuan kian dalam mengontrol halusinasi.
Strategi Pelaksanaan keperawatan pada pasien dengan gangguan jiwa
halusinasi yang digunakan adalah SP1-SP4, dimana meliputi SP 1: menghardik
halusinasi, serupa dengan hasil penelitian Livana (2019) mengatakan bahwa Hasil
penelitian menunjukan bahwa perawat memberikan edukasi kepada pasien yang
mengalami halusinasi dengan membantu mengenali halusinasi dan gejala serta
memberikan strategi implementasi dengan menegur ketika pasin mendengr sesuatu.
Setelah klien melakukan implementasi strategi dengan menegur maka pasien diberikan
obat sesuai resep medis.Tehnik yang paling disukai yaitu tehnik mendengarkan dalam
hal ini perawat mendengarkan masalah, perasaan dan pikiran yang dialami oleh pasien
sehingga mendorong pasien halusinasi untuk mengungkapkan lebih spesifik dan
lengkap terakit perasaannya.
SP 2 yaitu latih klien bercakap-cakap saat halusinasi muncul serupa dengan
hasil penelitian Cahyaning (2016) mengatakan bahwa Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam, dengan tindakan pemberian SP2 terbukti efektif untuk
menunjang kesembuhan klien penderita halusinasi penglihatan dengan berkurangnya
frekuensi halusinasi pasien setelah dilakukan SP 2 yaitu penerapan komunikasi
terapeutik. Hubungan terapeutik antara perawat dengan pasien dilakukan agar
mendapat pengalaman belajar serta timbal balik dari masing – masing pengalaman
emosional korektif bagi pasien. Perawat menggunakan diri dan tehnik – tehnik klinis
tertentu dalam menangani pasien untuk meningkatkan pemahaman dan terhadap
terhadap perubahan perilaku pada klien (Cahyaning, 2016). Komunikasi

9
dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan dalam rangka penyembuhan pasien baik
komunikasi verbal maupun nonverbal, namun harus dengan cara yang tepat dan benar
serta efektif yang sesuai dengan kebutuhan klien sehingga mempebesar peluang dalam
mencapai proses penyembuhan pada klien (Cahyaning, 2016).
Perilaku kopling pada pasien halusinasi cenderung adalah regresi, proyeksi dan
menarik diri, sehingga perilaku pasien cenderung menarik diri dari sosial dan kadang
menunjukan perilaku yang kurang wajar seperti mondar-mandir tanpa tujuan yang
jelas, melakukan kegiatan yang berulang-ulang tetapi kegiatan tersebut tidak selesai,
tiba-tiba menjerit histeris bahkan hingga perilaku yang tak terkendali (Handayani, et
al, 2015). Mencegah hal tersebut perlu dilakukan intervensi strategi pelaksanaan (SP)
3 yaitu bantu klien melaksanakan aktifitas terjadwal serupa dengan hasil penelitian
Handayani, et al (2013) mengatakan bahwa setelah diberikan intervensi terjadwal yaitu
TAK diperoleh hasil 26 responden (61,9%) memiliki kemampuan partially dalam
mengontrol halusinasinya menunjukan bahwa perawat dan klien melakukan perawatan
dan pasien memiiki peran yang besar dalam mengukur self care, 12 respoden (28,6%)
memiliki kemampuan supportive dalam mengontrol halusinasi, 4 responden (9,5%)
memiliki kemampuan wholly dalam mengontrol halusinasinya.
Ketiakpatuhan minum obat secara teratur akan membuka peluang pasien mengalami
kekambuhan dengan jangka waktu yang lebih panjang dengan diberikan intervensi SP
4 yaitu pendidikan kesehatan mengenai penggunaan obat secara teratur diharapkan
dapat membantu pasien dalam mengontrol halusinasinya, hasil penelitian Astuti, et al
2017) menyatakan bahwa pasien yang mengalami periode kekambuhan berat lebih
banyak terjadi pada pasien dengan kepatuhan minum obat yang kurang yaitu sejumlah
87,5%, dibandingkan pasien dengan kepatuhan cukup 71,0% dan kepatuhan baik
33,3%. Berdasarkan hasil analisis yaitu pasien yang mengalami periode kekambuhan
berat lebih banyak terjadi pada pasien dengan kepatuhan minum obat yang kurang yaitu
sejumlah 87,5%, dibandingkan pasien dengan kepatuhan cukup 71,0% dan kepatuhan
baik 33,3%. Oleh karena itu diperlukan aplikasi S4 seefektif mungkin dapat membantu
mengontrol halusinasi klien dengan terjadinya penurunan- penurunan gejala halusinasi
yang dialami hal ini dibuktikan pada hasil penelitian Jek Amidos (2016) menyatakan
bahwa adanya pengaruh antara pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan minum obat
pada pasien, terjadinya peningkatkan kepatuhan minum obat setelah diberikan
pendidikan kesehatan yang ditunjukan dengan adanya penurunan gejala-gejala
halusinasi pada pasien skizofrenia.
Implementasi adalah adalah tindakan keperawatan yang disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan, Depkes RI (2015). Dimana hal yang harus diperhatikan
dalam melakukan implementasi keperawatan atau tindakan keperawatan yang akan
dilakukan pada klien halusinasi adalah dengan penyelenggaraan pelayanan
keperawatan yang memenuhi standar pelayanan. Menurut Fitria (2009) langkah-
langkah kegiatan tersebut berupa Standar Operasional Prosedur (SOP). Salah satu jenis
SOP yang digunakan untuk menangani pasien gangguan jiwa yaitu

10
menggunakan Strategi Pelaksanaan (SP) tindakan keperawatan pada pasien gangguan
jiwa. SP tindakan keperawatan merupakan standar model pendekatan asuhan
keperawatan untuk klien dengan gangguan jiwa yang salah satunya adalah pasien yang
mengalami masalah utama halusinasi.

KESIMIPULAN

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan


rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar) sehingga klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan
yang nyata. Dampak yang akan dapat disebabkan oleh pasien halusinasi yaitu
kehilangan kendali mereka, pasien tiba-tiba mengalami panik dan perilakunya akan
dikendalikan oleh halusinasinya Meminimalisir dampak tersebut dapat dilakukan
melalui penerapan implementasi tindakan keperawatan halusinasi untuk membantu
klien mengatasi halusinasi dimulai dengan membina hubungan saling percaya dengan
klien agar informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara
konprehensif. Melalui strategi pelaksanaan keperawatan (SP) I – IV menunjukan
bahwa dengan dilakukan SP yang komprehensif, berkelanjutan dan efektif dapat
membantu memperbesar peluang pasien halusinasi untuk mampu mengontrol
halusinasinya sehingga peluang pasien untuk sembuh menjadi semakin besar.

SARAN

Evaluasi yang berkelanjutan sangat diperlukan dalam memperbesar peluang klien


untuk mampu mengontrol halusinasinya tidak cukup hanya dengan kurang dari 5
namun harus terus menurus sampai pasien dinyatakan sembah. Menunjang hal tersebut
diperlukannya keterlibatan keluarga dalam memberikan dukungan secara psikosis dan
emosional bagi klien sehingga klien lebih bersemangat dan fokus terhadap
pengobatannya untuk mencapai kesembuhan dan mampu mengontrol halusinasinya
secara mandiri.

11
DAFTAR PUSTAKA

Agustina (2017) Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Skizofrenia Dengan


Gejala Halusinasi. Diakses Tanggal 13 Desember 2019.
American Psychiatric Association (2013) Diagnostic and Statistic Manual Of Mental
Disorder. Fifth edit. Washington: American Psychiatric Association.
Angga (2016) ‘Tinjauan Teori Asuhan Keperawatan Halusinasi’, Kesehatan
Profesional, pp. 6–29.
Astuti, A. P., Tri, S. and Putra, S. M. A. (2017) ‘Hubungan Kepatuhan Minum Obat
Dengan Periode Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia’,
Stikescendekiautamakudus, 6(2), pp. 53–86. doi:
https://doi.org/10.31596/jcu.v6i2.193.
Cahyaning (2016) ‘Upaya penurunan frekuensi halusinasi penglihatan dengan
komunikasi terapeutik di rsjd surakarta’, Surakarta, D I Rsjd Ilmiah,
Publikasi.
Depkes RI (2015) Standar Operasional Prosedur. Jakarta.
Depkes RI (2018) Hasil Riset Kesehatan Penderita Gangguan Jiwa. Jakarta.
Dinkes Bali (2018) Profil Kesehatan Provinsi Bali.
Fitriana Ridha (2019) ‘Upaya Minum Obat Untuk Mengontrol Halusinasi Pada Pasien
Dengan Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran’, Duke Law
Journal, 1(1), pp. 1–13. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
Guntur (2013) Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Peningkatan Pengetahuan
Keluarga Tentang Perawatan Pasien Dengan Masalah Gangguan
Halusinasi. Diakses Tanggal 13 Desember 2019.
Handayani, D., Sriati, A. and Widianti, E. (2013) ‘Tingkat Kemandirian Pasien
Mengontrol Halusinasi setelah Terapi Aktivitas Kelompok’, Jurnal
Keperawatan Padjadjaran, v1(n1), pp. 56–62. doi:
10.24198/jkp.v1n1.7.
Intan Nur Rahmawati (2018) ‘Asuhan Keperawatan pada pasien gangguan persepsi
sensori: halusinasi dengan penerapan kombinasi terapi aktivtas secara
terjadwal Di Wisma Baladewa RSJ Prof.Dr.Soerojo Magelang’, STIKes
Muhamadiyah Gombong, pp. 22–42.
Jek Amidos, et al (2016) ‘Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat Terhadap
Perubahan Gejala Halusinas pada Klien Skizoferenia’, Journal of
Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), p. 085201. doi:
10.1088/1751-8113/44/8/085201.
Jusliani and Sudirman (2014) ‘Pengaruh penerapan strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan halusinasi klien terhadap kemampuan mengontrol
halusinasi di rskd provinsi sulawesi selatan’, 5, pp. 248–253.
Maramis (2008) Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press.
Ph, L. and Suerni, T. (2019) ‘Gambaran Umum Peranan Perawat dalam Implementasi
Pendidikan pada Halusinasi Pasien’, 7(2), pp. 43–45.
World Health Organitation (WHO) (2016) The World Health Report : 2016 Mental
Health.
Yosep (2014) Buku Ajar Keperawatan Jiwa Dan Advance Mental Health Nursing.
Bandung : Refika Aditama.
Jurnal Biofisika Eropa
2019; 7 (2): 43-45
http://www.sciencepublishinggroup.com/j/ejb doi:
10.11648 / j.ejb.20190702.12
ISSN: 2329-1745 (Cetak); ISSN: 2329-1737 (Online)

Gambaran Umum Peranan Perawat dalam Implementasi Pendidikan


pada Halusinasi Pasien
Livana PH 1, Titik Suerni 2
1 Program Studi Ners, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal, Kendal, Indonesia

2 Rumah Sakit Jiwa Regional Dr. Amino Gondohutomo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

Alamat email:

Untuk mengutip artikel ini:


Livana PH, Titik Suerni. Lebih dari Peran Perawat dalam Implementasi Pendidikan dalam Halusinasi Pasien. Jurnal Biofisika Eropa. Vol. 7, No. 2, 2019, hlm.
43-45. doi: 10.11648 / j.ejb.20190702.12

Diterima: 10 Juni 2019; Diterima: 12 Juli 2019; Diterbitkan: 17 September 2019

Abstrak: Jumlah orang yang mengalami gangguan mental setiap tahun meningkat baik di Jawa Tengah maupun di Indonesia. Gangguan mental dapat terjadi pada semua individu. Individu yang memiliki gangguan

mental pasti akan memiliki beberapa batasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Pasien mental perlu mendapatkan perawatan yang tepat, sehingga peran perawat sangat dibutuhkan terutama dalam

memberikan pendidikan. Dalam menerapkan asuhan keperawatan, perawat memiliki peran dan fungsi termasuk menyediakan pendidikan kesehatan, pemberi perawatan, sebagai penasihat keluarga, pencegahan

penyakit, konseling, kolaborasi, pembuat keputusan etis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran perawat dalam pelaksanaan pendidikan pada pasien yang berhalusinasi. Penelitian ini

menggunakan desain survei deskriptif. Sampel penelitian ini adalah perawat di kamar Larasati. Penelitian ini dilakukan di ruang Larasati rumah sakit jiwa regional Dr. Amino Gondohutomo, Jawa Tengah, Indonesia

pada bulan Desember 2017. Penelitian ini menggunakan alat penelitian dokumentasi yang berasal dari rekam medis pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat memberikan edukasi kepada pasien yang

mengalami halusinasi dengan membantu mengenali halusinasi dan gejala dan memberikan strategi implementasi dengan menegur ketika pasien mendengar sesuatu. Setelah klien melakukan strategi implementasi

dengan menegur maka pasien diberikan obat sesuai dengan resep medis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat memberikan edukasi kepada pasien yang mengalami halusinasi dengan membantu

mengenali halusinasi dan gejala dan memberikan strategi implementasi dengan menegur ketika pasien mendengar sesuatu. Setelah klien melakukan strategi implementasi dengan menegur maka pasien diberikan

obat sesuai dengan resep medis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat memberikan edukasi kepada pasien yang mengalami halusinasi dengan membantu mengenali halusinasi dan gejala dan memberikan

strategi implementasi dengan menegur ketika pasien mendengar sesuatu. Setelah klien melakukan strategi implementasi dengan menegur maka pasien diberikan obat sesuai dengan resep medis.

Kata kunci: Peran Perawat, Pendidikan, Halusinasi

jumlah pasien yang datang ke fasilitas perawatan. Menurut perhitungan


1. Latar Belakang pemanfaatan layanan kesehatan mental di tingkat primer, sekunder dan
tersier, kesenjangan pengobatan diperkirakan lebih dari 90%.
Gangguan mental adalah suatu bentuk gangguan dan gangguan fungsi
mental atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan untuk
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan Indonesia (2003) mencatat bahwa
bereaksi terhadap mekanisme adaptasi fungsi mental terhadap rangsangan
70% gangguan mental terbesar adalah Skizofrenia. Menurut Arif (2006)
eksternal dan ketegangan yang mengakibatkan gangguan fungsional atau
mengungkapkan bahwa 99% pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa adalah
gangguan pada struktur bagian, suatu organ, atau sistem kejiwaan mental.
pasien dengan diagnosis skizofrenia medis. Lebih dari 90% pasien skizofrenia
Gangguan jiwa tersebar hampir merata di seluruh dunia, termasuk di kawasan
mengalami halusinasi. [1] Ada dua jenis gangguan mental yang dapat
Asia Tenggara. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia, hampir
ditemukan di masyarakat, yaitu gangguan mental ringan dan gangguan mental
sepertiga dari populasi di wilayah Asia Tenggara telah mengalami gangguan
berat. Gangguan mental ringan misalnya adalah gangguan emosi mental.
neuropsikiatri [1].
Gangguan mental yang parah salah satunya adalah skizofrenia. Sebagian
besar pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa adalah pasien dengan
skizofrenia penyakit mental yang parah.
Berdasarkan data Riskesdas 2007 menunjukkan angka nasional gangguan
jiwa nasional gangguan mental emosional (kecemasan, depresi) pada
populasi pada usia sekitar 15 tahun adalah 11,6% atau sekitar 19 juta orang.
Skizofrenia adalah penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi, cara
Sementara dengan gangguan mental berat rata-rata sebesar 0,64%, sekitar 1
berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosial pasien Berdasarkan data dari APA
juta orang, sangat sedikit
(The
44 Livana PH dan Titik Suerni: Gambaran Umum Peran Perawat dalam Implementasi Pendidikan pada Halusinasi Pasien

American Psychiatric Association), di Amerika Serikat ada 300 ribu pasien Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada kelompok intervensi
skizofrenia yang mengalami episode akut setiap tahun. Angka kematian ada peningkatan nilai kemampuan untuk mengendalikan halusinasi,
pasien skizofrenia adalah 8 kali lebih tinggi dari angka kematian populasi pada sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perubahan. Hasil dari kedua studi
umumnya. Penderita skizofrenia yang mencoba bunuh diri sebanyak 20-30%, menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan pasien untuk
dan 10% di antaranya berhasil. mengendalikan halusinasi sebelum dan sesudah penerapan strategi
halusinasi.
Stuart & Laraia (2005) menyatakan bahwa pasien dengan diagnosis
skizofrenia medis 20% mengalami halusinasi pendengaran dan visual secara
bersamaan, 70% pengalaman pendengaran
2. Metode
halusinasi, 20% pengalaman visual
halusinasi, dan 10% mengalami halusinasi lainnya. [3] Berdasarkan data ini itu Desain penelitian menggunakan survei deskriptif. Sampel penelitian ini
diketahui itu tipe dari adalah perawat di ruang Larasati. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit
halusinasi itu yang paling menderita dari pasien dengan Larasati Semarang di ruangan pada bulan Desember 2017. Penelitian ini
skizofrenia adalah pendengaran. Halusinasi adalah bentuk gangguan sensorik menggunakan alat penelitian dokumentasi, informasi juga dapat diperoleh
yang paling umum. Pasien yang mengalami halusinasi biasanya merasakan melalui fakta-fakta yang disimpan dalam bentuk surat, buku harian, file foto,
sensasi palsu dalam bentuk suara, penglihatan, rasa, sentuhan atau bau. [4] hasil pertemuan, jurnal kegiatan, dll. dokumentasi dalam penelitian ini berasal
Sensorik dan persepsi yang dialami pasien tidak bersumber dari kehidupan dari Rekam Medis pasien.
nyata, tetapi dari pasien itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman
sensorik adalah sensor persepsi salah.

3. Hasil
Chaery (2009) menyatakan bahwa dampak yang dapat disebabkan oleh
pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kendali mereka. Pasien Berdasarkan survei yang dilakukan di ruang Larasati dapat dilihat bahwa
akan mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Dalam perawat memberikan pendidikan kepada pasien yang mengalami halusinasi
situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (bunuh diri), membunuh orang dengan membantu mengenali tanda-tanda dan gejala halusinasi dan
lain (pembunuhan), dan bahkan merusak lingkungan. Untuk meminimalkan memberikan strategi untuk implementasi dengan menegur ketika pasien
efek halusinasi, penanganan yang tepat diperlukan. Dengan tingginya insiden mendengar sesuatu. Setelah klien melakukan strategi implementasi dengan
halusinasi, semakin jelas bahwa peran perawat diperlukan untuk membantu menegur maka pasien diberikan obat sesuai resep medis.
pasien mengendalikan halusinasi mereka. Peran perawat dalam menangani
halusinasi di rumah sakit termasuk menerapkan standar perawatan, terapi
aktivitas kelompok, dan melatih keluarga untuk merawat pasien dengan
Tabel 1. Karakteristik responden (n = 11).
halusinasi. Standar asuhan keperawatan meliputi penerapan strategi untuk
menerapkan halusinasi. Strategi implementasi adalah penerapan standar karakteristik f %
asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien yang bertujuan Usia

mengurangi masalah keperawatan mental yang ditangani. [5] 25-35 4 36


36-40 2 18
> 40 5 46
Diploma
Pendidikan 7 64
Bujangan 3 27

Strategi implementasi pada pasien halusinasi termasuk kegiatan untuk Menguasai 1 9


Pria
mengenali halusinasi, mengajar pasien untuk menegur halusinasi, minum obat
Jender 6 55
secara teratur, mengobrol dengan orang lain ketika halusinasi muncul, dan
Wanita 5 45
melakukan kegiatan yang dijadwalkan untuk mencegah halusinasi. [6] Carolina Lama kerja <5 tahun
(2008) menunjukkan bahwa penerapan asuhan keperawatan standar dapat 3 27

membantu mengurangi tanda dan gejala halusinasi sebesar 14%. Pasien > 5 tahun 8 73

kemampuan kognitif meningkat sebesar 47% dan 4. Diskusi


kemampuan psikomotorik sebesar 48%. [7] Sulastri (2018) dalam penelitiannya terhadap
30 responden menemukan bahwa penerapan asuhan keperawatan dapat mengendalikan Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa ada peran bagi perawat
gejala halusinasi pasien. [8] dalam pelaksanaan pendidikan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Amino,
Dalam menerapkan asuhan keperawatan, perawat memiliki peran dan fungsi gondho Hutomo. Penelitian ini sejalan dengan. [11] Hasil penelitian
sebagai perawat termasuk pemberi perawatan, sebagai penasihat keluarga, menunjukkan bahwa: Teknik mendengarkan, dalam teknik ini perawat
pencegahan penyakit, pendidikan, penyuluhan, mendengarkan masalah, perasaan dan pikiran yang dialami oleh pasien,
kolaborasi, pembuat keputusan etis dan peneliti. [9] Peran adalah seperangkat dengan menunjukkan perhatian dan memainkan peran aktif. Teknik bertanya
perilaku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan dalam teknik ini perawat bertanya dengan tujuan untuk dapat mendorong
posisi mereka dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh kondisi sosial baik pasien halusinasi untuk mengungkapkan lebih sfesifik dan lengkap
dari dalam maupun dari luar dan stabil. [10]
European Journal of Biophysics 2019; 7 (2): 43-45 45

informasi tentang masalah, perasaan dan pikiran. [12, 13] [2] RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar). (2007). Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan,
Menurut Afnuhazi (2015) Berdasarkan hasil penelitian
Republik Indonesia.
itu hasil yang diperoleh, bahwa itu terapeutik
Pola komunikasi perawat pada pasien gangguan jiwa skizofrenia memiliki tahap komunikasi, yaitu tahap [3] Stuart, GW (2013). Prinsip dan Praktek Psikiatri
pertama perawat pra-interaksi membangun kepercayaan satu sama lain dengan pasien. [14] Kedua, Perawatan. Edisi ke-8. Missouri: Mosby.

tahap pengantar dengan mengembangkan hubungan komunikasi interpersonal dalam bentuk


[4] Direja, AH (2011). Buku Asuhan Keperawatan Jiwa.
penggunaan nonverbal, ekspresi wajah, intonasi suara, sentuhan atau rasa empati. Ketiga, tahapan Yogyakarta: Nuha Medika
orientasi, perawat dan pengenalan pasien berlanjut pada tahap memeriksa kondisi pasien dan
[5] Fitria, Nita, (2009), Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Salemba
mengevaluasi tindakan secara langsung. Keempat, tahapan kerja, proses interaksi perawat dan pasien
Medika, Jakarta.
dapat mendorong proses penyembuhan pasien. Kelima, tahapan pemutusan proses interaksi untuk

mengurangi tingkat tekanan psikologis pasien dengan interaksi komunikasi yang intens dan perawatan [6] Keliat. BA. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional
rutin. Dalam proses interaksi komunikasi perawat dan pasien ada juga komponen komunikasi Jiwa. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

interpersonal yang berperan. Peran pengasuh sebagai pendidik dilakukan dengan membantu klien
[7] Carolina, Keliat, BA, Sabri, L (2008). Pengaruh Penerapan
meningkatkan pengetahuan kesehatan, gejala penyakit dan bahkan tindakan yang diberikan, sehingga Standar Asuhan Keperawatan Halusinasi terhadap
perubahan perilaku terjadi dari klien dan meningkatkan kemandirian. [15] Pendidikan kesehatan sangat Kemampuan Klien Mengontrol Halusinasi di RS Dr. Soeharto Heerdjan
penting bagi seorang perawat. Pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan secara sadar, Jakarta.

sehingga individu dapat belajar dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk
[8] Sulastri (2018). Kemampuan Keluarga dalam Merawat Orang
kesehatan mereka. [16] sehingga perubahan perilaku terjadi dari klien dan meningkatkan independensi. dengan Gangguan Jiwa. Jurnal Kesehatan Volume 9, Nomor 1, April 2018
[15] Pendidikan kesehatan sangat penting bagi seorang perawat. Pendidikan kesehatan adalah proses http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK
yang direncanakan secara sadar, sehingga individu dapat belajar dan meningkatkan pengetahuan dan
[9] Hidayat, AAA (2012). Metode Penelitian Keperawatan dan
keterampilan mereka untuk kesehatan mereka. [16] sehingga perubahan perilaku terjadi dari klien dan
Tekhnik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
meningkatkan independensi. [15] Pendidikan kesehatan sangat penting bagi seorang perawat.

Pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan secara sadar, sehingga individu dapat belajar [10] Kusnanto. (2009). Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan
profesional Jakarta: EGC.
dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk kesehatan mereka. [16]

[11] Adiansyah. (2014). Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat


Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa.
https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/698/jbptunikompp-gdladiansyahn-34871-10-unikom_-i.

5. Kesimpulan [12] Sulahyuningsih, E. (2016). Pengalaman Perawat Dalam


Mengimplementasikan Strategi Pelaksanaan (Sp) Tindakan Keperawatan
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di ruang Larasati dapat dilihat Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

bahwa perawat memberikan edukasi kepada pasien yang mengalami (Skripsi Universitas Muhammadiyah
Surakarta).
halusinasi dengan membantu mengenali tanda-tanda dan gejala halusinasi
dan memberikan strategi untuk implementasi dengan menegur ketika pasien [13] Pravitasari, G, A. (2015). Gambaran Manajemen Gejala
mendengar sesuatu. Setelah klien melakukan strategi implementasi dengan Halusinasi Pada Orang Dengan Skizofrenia (Ods) Di Ruang Rawat Inap Rsjd
Dr. Amino Gondohutomo Semarang. (Skipsi Universitas Diponegoro
menegur maka pasien diberikan obat sesuai resep medis.
Semarang).

[14] Afnuhazi, R., ( 2015). Komunikasi Terapeutik Dalam


Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Penerbitan Gosyen.

[15] Hidayat, AA (2007). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia:


Referensi Aplikasi, Konsep, dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

[1] Yosep, Iyus. (2011). Keperawatan Jiwa (edisi revisi).


Bandung: PT. Refika Aditama.
[16] Nursalam & Efendi, F (2008). Pendidikan Dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
UPAYA PENURUNAN FREKUENSI HALUSINASI PENGLIHATAN DENGAN
KOMUNIKASI TERAPEUTIK DI RSJD SURAKARTA

Cahyaning Fitria Puspita Sari, Arif Widodo


Program Studi D3 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura
Email : cfitria092@gmail.com

Abstrak

Latar Belakang : Seiring dengan dinamisnya kehidupan manusia penderita gangguan jiwa di dunia
semakin meningkat. Data bulan Januari sampai April tahun 2015 dari semua ruangan rawat inap di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta menunjukkan bahwa pasien halusinasi sekitar 43 - 77 % dari jumlah
pasien skizofrenia. Halusinasi merupakan perubahan persepsi sensori berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghiduan yang tidak dapat membedakan rangsangan internal (pikiran) dan
rangsangan eksternal (dunia luar) terhadap lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.
Pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan empat cara yaitu, menghardik halusinasi,
mengkonsumsi obat dengan teratur, bercakap - cakap dengan orang lain dan melakukan aktivitas secara
terjadwal. Salah satu upaya selain dilakukannya strategi pelaksanaan yaitu dengan menerapkan
komunikasi terapeutik. Komunikasi sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan dalam
penyembuhan pasien. Komunikasi bertujuan untuk membina hubungan saling percaya, meningkatkan
hubungan interpersonal, mencapai tujuan personal yang realitas.
Tujuan : Agar mengetahui penurunan frekuensi halusinasi penglihatan setelah dilakukan komunikasi
terapeutik di RJSD Surakarta dengan metode study kasus selama 3 x 24 jam. Metode yang dilakukan
meliputi pengkajian, analisa data, perumusan masalah, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan, dan evaluasi.
Hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien mampu melaksanakan strategi
pelaksanaan 1 sampai 4 pasien dengan melakukan komunikasi terapeutik.
Kesimpulan : Upaya penurunan frekuensi halusinasi penglihatan yang dilakukan kepada Tn. J dengan
melakukan komunikasi terapeutik selama tiga hari, maka didapatkan hasil bahwa Tn. J dapat mengontrol
halusinasi.

Kata kunci : gangguan jiwa, halusinasi, komunikasi terapeutik.

1
EFFORTS TO REDUCE THE FREQUENCY OF VISUAL HALLUCINATIONS WITH
THERAPEUTIC COMMUNICATION IN RSJD SURAKARTA

Cahyaning Fitria Puspita Sari, Arif Widodo


Study Program D3 of Nursing Faculty of Health Sciences
Muhammadiyah University of Surakarta
Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura
Email : cfitria092@gmail.com

Abstract

Background : Along with the dynamic of human life with mental disorders in the world is increasing. Data from
January to April 2015 of all inpatient room at Mental Hospital of Surakarta showed that patients hallucinations about
43 - 77 % of patients with schizophrenia. Hallucinations are sensory perceptions change in the form of sound, sight, taste,
touch or sense of smell who can not distinguish internal stimuli (thoughts) and external stimuli (the outside world) to the
environment without any tangible object or stimulus. Controlling hallucinations can be done in four ways, namely, rebuke
hallucinations, chatting with others, in a scheduled activity, and taking medication regularly. One effort in addition to
doing an implementation strategy by implementing therapeutic communication. Communication is needed to be successful
in healing patients. Communications aims to build a trusting relationship, improve interpersonal relationships, achieve
personal goals that reality.
Objective : To determine the frequency of hallucinatory vision decline after therapeutic communication in RJSD
Surakarta with case study method for 3 x 24 hours. The method used includes the assessment, data analysis,
formulation problems, nursing interventions, nursing implementation, and evaluation.
Results : After nursing action for 3 x 24 hours the patient is able to implement strategies for implementation of 1 to 4
patients with therapeutic communication every day.
Conclusions : Efforts to reduce the frequency of visual hallucinations were made to Mr. J to perform therapeutic
communication for three days, it showed that Mr. J can control the hallucinations.

Keywords : mental disorders, hallucinations, therapeutic communication.

2
1. PENDAHULUAN
Seseorang dapat dikatakan sehat jiwa yaitu kondisi mental sejahtera dengan kualitas hidup
seseorang yang harmonis dan produktif dari semua segi kehidupan manusia (Afnuhazi, 2015). Pasien
gangguan jiwa memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan orang lain seperti bermusuhan,
mengancam (aggression) atau curiga yang berlebihan (paranoid). Pasien juga tidak produktif
dimasyarakat dan cenderung merugikan masyarakat misalnya mencuri (cleptomany), malas (abulia), atau
perilaku deviasi sosial lain seperti pemakaian zat adiktif (Yosep, 2007).
Keperawatan jiwa merupakan proses interpersonal yang bertujuan untuk meningkatkan
dan mempertahankan perilaku pasien dalam menjalankan peran dan fungsi yang terintegrasi (Stuart,
2007). Seseorang dengan gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan bio - psiko - sosial. Pendekatan
proses keperawatan dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa “komunikasi
terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa” dapat meningkatkan, mencegah,
mempertahankan, dan memulihkan masalah kesehatan jiwa pasien (individu, keluarga, kelompok
komunitas) (Afnuhazi, 2015).
Sekitar 450 juta orang diseluruh dunia mengalami gangguan mental dan 25% dari jumlah
penduduk di dunia diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu. Prevalensi dari
gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan pada tahun 2030
akan mencapai lebih dari 25%. Gangguan jiwa dapat terjadi di semua negara yang tidak memandang
jenis kelamin, materi, usia maupun tempat tinggal (World Health Organization/ WHO, 2009).
Gangguan jiwa berat dikenal dengan istilah psikosis, salah satu contoh dari psikosis adalah
skizofrenia. Gangguan jiwa berat memiliki gejala antara lain halusinasi, waham, gangguan proses
pikir, ilusi, kemampuan berpikir, dan tingkah laku aneh seperti agrevisitas atau katonik. Prevalensi
gangguan jiwa berat didapatkan dari wawancara dengan kepala rumah tangga atau ART yang
mewakili kepala rumah tangga. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 permil.
Prevalensi skizofrenia tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh yang masing - masing 2,7
permil, sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat 0,7 permil. Propinsi Jawa Tengah menempati
urutan empat terbanyak berdasarkan jumlah penderita skizofrenia. Prevalensi skizofrenia di Jawa
Tengah mencapai 2,3 permil (Kemenkes, 2013).
Penduduk yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia mulai muncul pada usia sekitar 15
- 35 tahun. Penderita skizofrenia dengan gejala - gejala yang serius dan pola perjalanan penyakit yang
kronis dapat berakibat disabilitas. Gejala skizofrenia meliputi gejala negatif dan gejala positif. Gejala
negatif yaitu tidak ada atau kehilangan dorongan atau kehendak serta menarik diri. Sedangkan gejala
positif yaitu halusinasi, waham, perilaku yang aneh dan pikiran yang tidak terorganisir (Videbeck,
2009). Diliat dari gejala tersebut, halusinasi merupakan gejala yang paling banyak ditemukan. Pasien
skizofrenia yang mengalami halusinasi yaitu lebih dari 90%.
Data Medical Record Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Surakarta menunjukkan bahwa
jumlah pasien skizofrenia cukup tinggi pada tiga tahun terakhir. Jumlah pasien skizofrenia yang
dirawat inap, pada tahun 2012 sebanyak 2.230 orang, tahun 2013 meningkat menjadi 2.569 orang,
dan tahun 2014 sebanyak 2.364 orang. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah pasien halusinasi
cukup tinggi. Data bulan Januari Sampai April tahun 2015 dari semua ruangan rawat inap
menunjukkan bahwa pasien halusinasi sekitar 43 - 77% dari jumlah pasien skizofrenia. Oleh sebab
itu, intervensi dini yang komprehensif seperti pengobatan medis dan asuhan keperawatan sangat
penting untuk dilakukan agar dapat meningkatkan angka kesembuhan skizofrenia khususnya pasien
dengan halusinasi (Maramis, 2009).
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik kronik yang tidak dapat menilai realitas dengan
baik dan pemahan diri buruk. Karakteristik gejala psikotik meliputi delusi, halusinasi, gangguan mood
dan gangguan alam pikiran. Penyebab dari skizofrenia adalah faktor biologi dan

3
faktor genetik. Skizofrenia ditandai dengan penyimpangan pikiran, persepsi serta emosi (Pratiwi,
2011).
Halusinasi merupakan perubahan persepsi sensori berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghiduan yang tidak dapat membedakan rangsangan internal (pikiran)
dan rangsangan eksternal (dunia luar) terhadap lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang
nyata (Kusumawati dan Hartono, 2010). Klasifikasi halusinasi menurut Dermawan dan Rusdi (2013)
terdiri dari halusinasi non patologis dan halusinasi patologis. Halusinasi non patologis meliputi
halusinasi hipnogonik dan halusinasi hipnopomik. Sedangkan halusinasi patologis meliputi halusinasi
pendengaran (auditory), halusinasi penglihatan (visual), halusinasi penciuman (olfactory), halusinasi
pengecapan (gusfactory), halusinasi perabaan (taktil).
Rentang respon digunakan untuk memberikan intervensi atau rencana tindakan sesuai
dengan kondisi pasien. Respon adaptif respon individu yang dapat diterima sesuai dengan norma -
norma sosial budaya yang berlaku. Respon maladaptif merupakan respon individu dalam
menyelesaikan masalah menyimpang dari norma - norma sosial budaya dan lingkungan.

Gambar 1. Rentang Respon


Respon adaptif Respon maladaptif

• Pikiran logis • Distorsi pikiran (pikiran • Gangguan pikir/ delusi


• Perilaku sesuai kotor) • Halusinasi
• Persepsi akurat • Ilusi • Perilaku disorganisasi
• Emosi konsisten • Perilaku aneh dan tidak • Isolasi sosial
dengan pengalaman biasa
• Hubungan sosial • Reaksi emosi berlebihan
atau kurang
• Menarik diri

Sumber : Damaiyanti dan Iskandar, 2014

Proses terjadinya halusinasi berkembang melalui empat fase meliputi fase pertama
(comforting), fase kedua (condemming), fase ketiga (controlling), dan fase keempat (conquering). Fase
comforting disebut juga dengan fase menyenangkan. Fase comforting merupakan fase golongan
nonpsikotik yang memiliki karakteristik pasien mengalami stres, rasa bersalah, cemas, kesepian yang
memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Fase condemming disebut juga dengan ansietas berat yang
menjadikan halusinasi tersebut menjijikkan dengan karakteristik meliputi kecemasan meningkat
pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan, melamun, dan berpikir sendiri menjadi dominan.
Fase condemming termasuk dalam psikotik ringan. Fase controlling atau ansietas berat yang termasuk
dalam gangguan psikotik. Fase controlling merupakan pengalaman sensori tersebut menjadi berkuasa
dengan karakteristik meliputi bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan
mengontrol pasien. Fase conquering atau panik termasuk dalam psikotik berat yang dapat menjadikan
pasien lebur dengan halusinasinya. Karakteristik fase conquering meliputi halusinasi berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi pasien (Kusumawati dan Hartono, 2010).
Tujuan keperawatan pada pasien dengan halusinasi yaitu pasien mampu mengontrol
halusinasi. Berdasarkan pengamatan penulis, terjadi perubahan perilaku yang semula halusinasi
sering muncul pada pasien halusinasi saat diberikan terapi individu seperti tertawa atau tersenyum
sendiri secara tiba - tiba tanpa stimulus yang jelas yang ditunjang dengan ada atau tidak adanya
pengakuan pasien tentang munculnya halusinasi, memandang ke satu tempat dalam waktu lama
disertai bicara, menjadi lebih banyak melakukan kegiatan atau berbicara dengan orang lain. Sehingga
terjadi penurunan frekuensi halusinasi (melamun, bicara, tertawa atau tersenyum sendiri)

4
bahkan tanda halusinasi dapat hilang sama sekali. Namun tidak semua pasien halusinasi
menunjukkan adanya perubahan frekuensi seperti disebutkan di atas.
Hubungan terapeutik antara perawat dengan pasien dilakukan agar mendapat pengalaman
belajar timbal balik dan pengalaman emosional korektif bagi pasien. Perawat menggunakan diri (self)
dan teknik - teknik klinis tertentu dalam menangani pasien untuk meningkatkan pemahaman dan
perubahan perilaku pasien (Stuart, 2007). Pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan empat
cara yaitu menghardik halusinasi, mengkonsumsi obat dengan teratur, bercakap - cakap dengan
orang lain dan melakukan aktivitas secara terjadwal.
Menurut penelitian Syafitri (2015), komunikasi dibutuhkan untuk menunjang
keberhasilan dalam rangka penyembuhan pasien baik itu komunikasi verbal maupun nonverbal.
Komunikasi harus tepat dan benar diperlukan komunikasi yang efektif yaitu komunikasi yang sesuai
dengan kebutuhan untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses penyembuhan pasien tersebut.
Selain dengan teknik pengobatan medis, proses penyembuhan pasien harus ditunjang dengan teknik
berkomunikasi yang efektif.
Tujuan dari komunikasi terapeutik yaitu dapat membina hubungan saling percaya,
mencapai tujuan personal yang realitas dan meningkatkan hubungan interpersonal (Afnuhazi, 2015).
Manfaat dari komunikasi terapeutik yaitu untuk mendorong dan mendukung kerja sama antara
perawat dan pasien dengan mengidentifikasi, mengungkapkan perasaan, mengkaji masalah dan
evaluasi tindakan yang dilakukan perawat terhadap pasien (Agustina, 2015).
Teknik komunikasi terapeutik merupakan cara membina hubungan yang terapeutik
dengan terjadinya penyampaian informasi dan pertukaran pikiran dan perasaan dengan maksud
untuk mempengaruhi orang lain (Syafitri, 2015). Setiap pasien berbeda - beda cara
berkomunikasinya. Maka diperlukan penerapan teknik berkomunikasi yang berbeda pula. Teknik
berkomunikasi meliputi mendengarkan dengan penuh perhatian, menunjukkan penerimaan,
menanyakan pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan terbuka, klarifikasi, mengulang ucapan
pasien dengan kata - kata sendiri, memfokuskan, menyampaikan hasil observasi, meringkas,
menawarkan informasi, diam, memberi penghargaan, member kesempatan pasien untuk memulai
berbicara, dan menganjurkan pasien utuk menguraikan persepsinya (Nasir dan Muhith, 2011).
Penulis menemukan kasus di RSJD Surakarta yaitu meningkatnya frekuensi halusinasi
pada pasien halusinasi penglihatan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan kasus yang
ditemukan penulis di rumah sakit, maka penulis tertarik untuk menyusun karya tulis ilmiah dengan
judul “Upaya Penurunan Frekuensi Halusinasi Penglihatan dengan Komunikasi Terapeutik di RSJD
Surakarta”.
Tujuan umum dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui tentang upaya
penurunan frekuensi halusinasi penglihatan dengan dilakukan komunikasi terapeutik pada strategi
pelaksanaan yang digunakan. Tujuan khusus dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah melakukan
pengkajian pada pasien dengan halusinasi penglihatan, melakukan analisa data, merumuskan
diagnosa keperawatan, menyusun rencana tindakan keperawatan, melakukan tindakan keperawatan
sesuai dengan rencana asuhan keperawatan dan mengevaluasi tindakan keperawatan.

2. METODE
Perawat yang melakukan penelitian maupun asuhan keperawatan perlu mengidentifikasi
dan menginterprestasi dengan jelas temuan penelitian yang dapat diterapkan pada praktik klinis dan
telah diteliti secara adekuat bagi perawat kesehatan jiwa - psikiatrik. Perawat juga harus
mendokumentasikan informasi secara lengkap tentang pemberian obat, mendokumentasikan tepat
waktu, tetapi tidak mencatat asuhan keperawatan atau observasi sebelum dilakukan. Selain itu
diperlukan proses wawancara untuk melakukan asuhan keperawatan, proses wawancara bervariasi
mulai dari interaksi dengan pasien, sementara pada saat yang sama membantu mereka untuk
melakukan aktivitas sehari - hari (O’Brien, 2008).

5
Pengambilan kasus dilakukan di bangsal Abimanyu selama 3 hari yaitu mulai tanggal 29
Maret 2016 sampai 31 Maret 2016. Metode yang digunakan penulis yaitu metode penelitian
deskriptif. Metode penelitian deskriptif merupakan metode sebuah penelitian jenis observasional
yang mendeskripsikan dan menguraikan fenomena atau situasi masalah yang terjadi pada suatu
tempat, misalnya rumah sakit, puskesmas, dan lain - lain dengan dilakukan melalui proses
pengamatan baik langsung maupun tidak langsung (Lapau, 2012).
Dalam penulisan menggunakan teknik pengumpulan data dengan pendekatan studi kasus
proses keperawatan. Studi kasus merupakan penelitian kualitatif yang mempelajari fenomena khusus
terkini pada kehidupan yang nyata yang sedang berlangsung. Sumber data ini diperoleh melalui
observasi, wawancara, studi dokumen dan studi kepustakaan. Observasi merupakan metode
pengumpulan data dengan mengamati suatu gejala yang dilakukan pencatatan sebelum dan setelah
dilakukan tindakan serta dampak yang terjadi. Kegiatan observasi terdiri dari memperhatikan dengan
seksama, termasuk mendengarkan, mencatat, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek pada
fenomena yang sedang diamati. Wawancara merupakan suatu interaksi dengan menanyakan
beberapa pertanyaan informal yang mempunyai tujuan untuk mendapatkan informasi dari individu
yang diwawancarai. Studi dokumen merupakan pengumpulan data yang dapat memberikan
informasi tentang situasi yang tidak dapat diperoleh langsung melalui observasi langsung atau
wawancara dengan menggunakan jadwal, laporan, catatan kasus, standar asuhan dan lainnya sebagai
sumber. Studi kepustakaan mengacu pada teori asuhan keperawatan jiwa berupa buku dan jurnal
penelitian (Afianti, 2014).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengkajian merupakan suatu proses tahap awal dan sebagai dasar utama dari proses
keperawatan yang terdiri dari pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah pasien.
Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan data subjektif dan data objektif (Ambarwati dan Nasution,
2012). Data subjektif merupakan data yang didapatkan secara nyata melalui observasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat, sedangkan data objektif merupakan data yang disampaikan
secara lisan oleh pasien maupun keluarga melalui proses wawancara (Damaiyanti dan Iskandar,
2014).
Pengkajian dilakukan pada tanggal 28 Maret 2016 pukul 09.30 WIB di bangsal Abimanyu
RSJD Surakarta dengan halusinasi penglihatan. Sumber data diperoleh dari status pasien dan
wawancara dengan pasien. Pengkajian ini ditemukan sebuah kasus halusinasi penglihatan pada Tn. J
dengan umur 30 tahun. Pengumpulan data tersebut diperoleh dari pasien dan perawat yang
menanganinya. Alasan pasien masuk RSJD Surakarta yaitu pasien selama 3 hari sebelum dibawa ke
RSJD Surakarta pasien bingung, tidak mau makan, teriak - teriak merasa ketakutan, tidak keluar dari
kamar, klien mengamuk dan sulit tidur. Pasien mengatakan melihat bayangan yang tidak jelas dan
menakutkan seperti akan mengancam diri pasien.
Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2014) salah satu faktor predisposisi yang
menyebabkan halusinasi yaitu faktor psikologis. Faktor psikologis berpengaruh pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat untuk masa depannya. Pasien
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal akibat dari kehilangan orang
yang dicintai, kehilangan cinta, fungsi fisik, kedudukan, harga diri yang dapat mencetuskan terjadinya
gangguan persepsi individu. Teori ini sesuai dengan apa yang dialami Tn. J karena sudah pernah 10
kali masuk di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta dikarenakan pengobatan yang kurang berhasil,
selain itu Tn. J pernah kehilangan seorang ibunya dan ayahnya menikah lagi, hal ini yang
menyebabkan Tn. J mengalami gangguan psikologis.
Faktor presipitasi diperoleh halusinasi pada Tn. J dapat kambuh karena sering
menyendiri, melamun dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori penyebab
dari halusinasi menurut Dermawan dan Rusdi (2013) yaitu halusinasi disebabkan oleh

6
hubungan interpersonal yang tidak memuaskan akibat dari hilangnya kontrol terhadap diri, harga
diri, maupun interaksi dalam dunia nyata terjadi koping penurunan sehingga pasien cenderung
menyendiri dan hanya tertuju pada diri sendiri.
Hasil pengkajian didapatkan data Tn. J mengalami gangguan halusinasi penglihatan. Hasil
data pengkajian yang tidak ada dalam teori adalah disorientasi yaitu pikiran berubah - ubah,
kekacauan alur pikir, pasien sering mendominasi pembicaraan selama interaksi, konsentrasi rendah,
kontak mata kurang, pasien mudah tersinggung. Hal ini disebabkan karena pasien suka menyendiri
dan melamun. Tanda dan gejala yang muncul pada pasien seperti menarik diri yaitu tersenyum
sendiri, memandang satu arah, menyerang, tiba - tiba marah dan gelisah (Kusumawati dan Hartono,
2010).
Konsep diri pada harga diri pasien yaitu pasien mengatakan kadang merasa minder
dengan kondisinya yang mengalami halusinasi dan pasien lebih senang menyendiri. Saat berinteraksi
dengan perawat pasien kurang kooperatif, pasien mudah tersinggung serta kontak mata kurang. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa masalah gangguan konsep diri yang dapat menimbulkan kekacauan
dan mengakibatkan respon koping yang maladaptif. Respon tersebut dapat dilihat dari berbagai
individu yang mengalami integritas diri atau harga diri (Dermawan dan Rusdi, 2013). Respon
maladaptif merupakan respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma
sosial budaya dan lingkungan (Damaiyanti dan Iskandar, 2014).
Afek pasien tumpul ditandai dengan kurangnya respon atau reaksi terhadap pikiran
maupun pengalaman, pasien berbicara pelan saat berkomunikasi dengan orang lain. Hal tersebut
sesuai dengan teori dari fungsi emosional yang digambarkan dengan istilah mood dan afek. Mood
merupakan suasana emosi sedangkan afek lebih mengacu kepada ekspresi emosi yang dapat diamati
dalam ekspresi wajah, gerakan tangan dan tubuh, serta nada suara ketika individu menceritakan
perasaannya (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Menurut Keliat (2011) dalam pengkajian harus dijelaskan jenis dan isi halusinasi,
frekuensi, waktu dan situasi yang menyebabkan halusinasi serta respon pasien. Tn. J mengatakan
sering melihat bayangan yang tidak jelas wujudnya dan menakutkan, mengajak Tn. J ke suatu tempat,
bayangan tersebut muncul setiap saat dalam sehari bisa sebanyak 5 kali, biasanya bayangan tersebut
muncul saat sendiri dan melamun, dan respon ketika ada bayangan tersebut muncul Tn. J ketakutan
dan gelisah.
Saat melakukan interaksi dengan pasien, pasien terlihat pasif dalam berinteraksi, kontak
mata kurang dan tidak banyak bicara. Hal tersebut mengacu pada gangguan dalam berinteraksi,
seharusnya interaksi yang baik dilakukan dengan menjalin komunikasi dua arah antara perawat dan
pasien, dan kontak mata yang selalu menatap lawan bicara. Sesuai dengan penjelasan dari komunikasi
terapeutik. Komunikasi merupakan penyampaian informasi verbal maupun non verbal untuk
memperoleh kesepakatan yang menimbulkan tingkah laku yang diinginkan oleh pengirim dan
penerima informasi melalui partisipasi aktif serta mencapai kesamaan pengertian dari pengirim
informasi kepada penerima informasi (Zelika, 2015).
Penulis melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien meliputi mengukur tekanan darah,
suhu tubuh, nadi dan pernafasan. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah : 100/70 mmHg,
suhu tubuh : 36,8 , nadi : 86 x/menit, respiratori : 21 x/menit, berat badan : 65 kg, dan tinggi badan
: 168 cm. Tidak terdapat keluhan fisik yang dirasakan pasien karena pasien tidak mempunyai riwayat
penyakit apapun. Terapi farmakologi yang didapatkan pasien yaitu Chlorpromazine (CPZ) 100 mg/24
jam, Trihexipenidil 2 mg/ 12 jam, dan Resperidon 2 mg/ 12 jam.
Diagnosa keperawatan adalah identifikasi atau penilaian terhadap pola respons pasien
baik aktual maupun potensial (Hermawan, 2011). Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan dari
data yang diperoleh penulis. Diagnosa digunakan untuk mengetahui dan mengenal masalah yang
dihadapi pasien. Mengetahui dan mengenal masalah pasien maka dapat diketahui penyebabnya
sehingga dapat diatasi dengan tindakan keperawatan. Diagnosis keperawatan sebagai

7
dasar pengembangan intervensi keperawatan dalam mencapai peningkatan pencegahan dan
penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan pasien (Muhith, 2007).
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan halusinasi : gangguan
persepsi sensori : halusinasi, isolasi sosial, dan risiko mencederai diri sendiri dan orang lain (Fitria,
2009). Setelah dilakukan pengkajian pada tanggal 28 Maret 2016 didapatkan data subjektif dan data
objektif untuk menegakkan diagnosa. Analisa data yang pertama didapatkan data subjektif pasien
mengatakan sering melihat bayangan yang tidak jelas dan menakutkan bagi pasien, pasien
mengatakan bayangan tersebut seperti mengajak ke suatu tempat tetapi pasien tidak mengikuti ajakan
tersebut, pasien mengatakan sering melamun. Data objektif didapatkan pasien tampak melamun,
pasien kurang konsentrasi, pasien seperti melihat bayangan. Data tersebut penulis dapat menegakkan
diagnosa gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan. Analisa data yang kedua didapatkan data
subjektif pasien mengatakan lebih suka sendiri dan malas bergaul. Data objektif pasien tampak
menyendiri dan tampak sering tidur. Data tersebut penulis dapat menegakkan diagnosa isolasi sosial.
Analisa data yang didapatkan data subjektif pasien mengatakan sering marah bila ajakan buruk yang
dilihatnya itu muncul, pasien mengatakan dirinya paling kuat. Data objektif didapatkan pasien mudah
tersinggung, pasien tampak gelisah dan pasien tampak menggenggam telapak tangan. Data tersebut
penulis dapat menegakkan diagnosa risiko mencederai diri sendiri dan orang lain.
Tetapi penulis hanya mengangkat diagnosa gangguan persepsi sensori : halusinasi
penglihatan dikarenakan data fokus pada pasien lebih cenderung pada diagnosa tersebut.
Berdasarkan pengkajian pada Tn. J secara garis besar ditemukan data subyektif dan data obyektif
yang menunjukkan karakteristik diagnosa gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan pada
Tn. J yang ditandai dengan data subyektif yaitu Tn. J mengatakan sering melihat bayangan yang tidak
jelas wujudnya dan menakutkan, mengajak Tn. J ke suatu tempat, bayangan tersebut muncul setiap
saat dalam sehari bisa sebanyak 5 kali, biasanya bayangan tersebut muncul saat sendiri dan melamun,
dan respon ketika ada bayangan tersebut Tn. J ketakutan dan gelisah. Data obyektif pasien tampak
melihat bayangan, pasien kurang konsentrasi, pasien tampak sering melamun, pasien tampak
menoleh ke kanan dan ke kiri.
Penulis menetapkan rencana tindakan keperawatan untuk mengurangi atau mengatasi
masalah yang dihadapi pasien dari diagnosa yang telah ditegakkan. Rencana tindakan keperawatan
merupakan serangkaian tindakan dengan ditetapkan tujuan yang akan dilakukan pada tahap
implementasi untuk mengurangi atau mengontrol halusinasi. Perencanaan keperawatan meliputi
penerapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana tindakan keperawatan. Bekerjasama dengan pasien
dalam menyusun rencana tindakan keperawatan. Perencanaan bersifat individual, sesuai dengan
kondisi atau kebutuhan lain sebagai individu, kelompok maupun masyarakat (Muhith, 2015). Penulis
menggunakan Strategi Pelaksanaan (SP) dengan rincian tindakan keperawatan pada SP bersamaan
dengan kegiatan dilakukan dengan komunikasi terapeutik. Tujuan tindakan keperawatan untuk
pasien halusinasi meliputi : pasien mengenali halusinasi yang dialaminya, pasien mampu mengontrol
halusinasinya, pasien dapat mengikuti program pengobatan secara optimal (Keliat, 2011).
Rencana tindakan keperawatan (Afnuhazi, 2015) meliputi : membantu pasien mengenali
halusinasi yang dilakukan dengan cara berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang
didengar atau dilihat, waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasinya, situasi yang
menyebabkan halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul), melatih pasien
mengontrol halusinasi dengan melakukan strategi pelaksanaan. Strategi Pelaksanaan yang digunakan
meliputi SP 1 : ajarkan pasien cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik (pasien dilatih
untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak mempedulikan halusinasinya).
Tahapan tindakan pada SP 1 meliputi : menjelaskan cara menghardik halusinasi, memperagakan cara
menghardik, meminta pasien memperagakan ulang, memantau penerapan cara

8
ini dan menguatkan perilaku pasien. SP 2 : ajarkan pasien cara mengontrol halusinasi dengan cara
menggunakan obat secara teratur. Tahapan tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan
obat : jelaskan guna obat, jelaskan akibat putus obat, jelaskan cara mendapatkan obat atau berobat,
jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar
waktu, benar dosis). SP 3 : ajarkan pasien cara mengontrol halusinasi dengan cara bercakap - cakap.
SP 4 : ajarkan pasien cara mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas kegiatan. Tahapan
tindakan keperawatan pada SP 4 sebagai berikut : menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur
untuk mengatasi halusinasi, mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien, melatih pasien
untuk melakukan aktivitas, menyusun jadwal aktivitas sehari - hari sesuai dengan aktivitas yang telah
dilatih (upayakan pasien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, 7 hari dalam
seminggu), memantau pelaksanaan jadwal kegiatan dengan memberikan penguatan terhadap perilaku
pasien yang positif (Afnuhazi, 2015).
Diperlukan keluarga untuk terlibat dan sebagai sistem pendukung dalam melakukan
asuhan keperawatan pada pasien. Tindakan keperawatan untuk keluarga terdiri dari tiga strategi
pelaksanaan, meliputi : SP 1 keluarga : pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami anggota keluarganya (pasien), tanda dan gejala halusinasi dan cara - cara
merawat pasien halusinasi. SP 2 keluarga : latih keluarga praktik merawat pasien langsung di hadapan
pasien. SP 3 keluarga : buat perencanaan pulang bersama keluarga (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Dalam perencanaan tindakan ini dilakukan menurut teori, tetapi dilaksanakan dengan
melihat situasi dan kondisi pasien. Rencana tindakan yang ada pada teori dilakukan dengan
komunikasi terapeutik agar dapat mengurangi frekuensi halusinasi pasien. Komunikasi terapeutik
dapat mendorong proses penyembuhan pasien dengan tujuan komunikasi interpersonal dapat
memberikan titik tolak pengertian antara perawat dengan klien.
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang telah diidentifikasi. Perawat
mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan untuk mencapai tujuan dalam tindakan
keperawatan pada hasil yang diharapkan (Muhith, 2015).
Penulis melakukan tindakan komunikasi terapeutik saat memberikan strategi pelaksanaan
dari SP 1 sampai SP 4 yang diharapkan pasien dapat melakukan dengan baik. Strategi pelaksanaan
dengan melakukan komunikasi terpeutik terdiri dari tiga fase yang meliputi fase orientasi, fase kerja
dan fase terminasi. Tahap prainteraksi yang perlu dilakukan yaitu evaluasi diri, penetapan tahap
perkembangan interaksi dengan pasien dan rencana interaksi. Tahap perkenalan merupakan kegiatan
yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak dengan pasien. Hal yang perlu dilakukan pada
tahap perkenalan meliputi memberi salam, mengevaluasi kondisi pasien, menyepakati kontrak atau
pertemuan. Tahap orientasi dilaksanakan pada awal pertemuan, kedua dan pertemuan selanjutnya.
Tujuan dari tahap orientasi yaitu mengevaluasi kondisi pasien, memvalidasi rencana yang telah dibuat
sesuai dengan keadaan pasien saat ini dan mengevaluasi hasil tindakan yang lalu. Tahap kerja
merupakan inti dari hubungan perawat pasien yang kait erat dengan pelaksanaan rencana tindakan
keperawatan yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Tahap terminasi merupakan
akhir dari setiap pertemuan pasien dan perawat dengan didapatkan evaluasi dari tindakan, rencana
tindak lanjut dan kontrak yang akan datang (Keliat, 2011). Pada kasus ini penulis melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.
Tindakan keperawatan pertama yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan SP 1
yang dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2016 pukul 10.00 WIB yaitu fase orientasi dilakukan dengan
membina hubungan saling percaya dengan tujuan tercapainya rencana tindakan berikutnya. Tindakan
yang dilakukan saat membina hubungan saling percaya dengan pasien yaitu mengawali pertemuan
dengan salam terapeutik, berkenalan dengan pasien, menunjukkan sikap empati kepada

9
pasien, membuat kontrak asuhan dengan menjelaskan kepada pasien tujuan kita merawat, aktivitas
apa akan dilakukan, kapan dan berapa lama aktivitas akan dilaksanakan (Azizah, 2011). Fase kerja
meliputi mengidentifikasi halusinasi (jenis, isi, frekuensi, waktu, situasi, perasaan/ respon) yang
bertujuan mengenalkan pada pasien terhadap halusinasi dan mengidentifikasi faktor pencetus dari
halusinasi dan melatih cara mengontrol halusinasi dengan tujuan menentukan tindakan yang tepat
untuk halusinasinya (Zelika, 2015). Tindakan selanjutnya penulis mengajarkan cara mengontrol
halusinasi dengan cara yang pertama yaitu menghardik yang bertujuan untuk menolak munculnya
halusinasi bayangan - bayangan palsu yang dilihat (Dermawan dan Rusdi, 2013). Fase terminasi
meliputi evaluasi respon pasien terhadap tindakan keperawatan, rencana tindak lanjut dengan
memasukkan kegiatan latihan menghardik dalam kegiatan harian pasien serta kontrak yang akan
datang. Tindakan tersebut sesuai dengan teori yang dituliskan oleh Fitria (2009) bahwa tindakan tepat
yang harus dilakukan perawat dalam melakukan implementasi keperawatan yaitu bina hubungan
saling percaya, membantu pasien mengenali halusinasi (identifikasi, waktu, frekuensi, situasi, respon
pasien terhadap halusinasi), melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, dan
memasukkan jadwal kegiatan harian. Tindakan tersebut penulis mendapatkan data bahwa pasien
mengatakan pasien saat dirumah melihat bayangan yang tidak jelas wujudnya dan mengancam diri
pasien, bayangan biasanya paling sering datang malam hari dan ketika pasien melamun, pasien
ketakutan ketika melihat bayangan tersebut, pasien tampak mudah tersinggung, kontak mata kurang,
pasien tampak gembira yang berlebihan. Data ini menunjukkan salah satu perubahan persepsi sensori
: halusinasi. Data menunjukkan bahwa pasien mengatakan mau menghardik dan akan melakukan
sewaktu muncul halusinasi. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa SP 1 dapat dilakukan dengan
baik.
Tindakan keperawatan selanjutnya yang dilakukan penulis adalah melakukan SP 2 yang
dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2016 pada pukul 09.30 WIB. Fase orientasi meliputi memberikan
salam terapeutik, memvalidasi perasaan pasien dan mengevaluasi cara mengontrol halusinasi
menghardik, kontrak waktu seperti kesepakatan sebelumnya. Fase kerja meliputi melatih cara
mengontrol halusinasi dengan minum obat yang bertujuan agar pasien menggunakan obat secara
teratur sesuai dengan program (Yosep dan Sutini, 2014). Fase terminasi meliputi evaluasi respon
terhadap tindakan keperawatan, rencana tindak lanjut dengan memasukkan kedalam jadwal harian,
kontrak yang akan datang. Tindakan tersebut sesuai dengan teori yang dituliskan Afnuhazi (2015)
bahwa tindakan yang tepat dilakukan perawat dalam melakukan implementasi keperawatan yaitu
mengevaluasi kegiatan sebelumnya, melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum
obat, memasukkan ke jadwal kegiatan harian. Didapatkan data subjektif pasien mengatakan mau
minum obat secara teratur obat berwarna putih dan putih kekuningan diminum 2 kali sehari pagi
dan sore sedangkan obat yang berwarna orange diminum 1 kali sehari pada sore hari. Pasien
mengatakan minum 1 tablet setelah makan dan dilihat nama pasien. Data objektif pasien dapat
mempraktikkan cara menghardik dan paham akan cara minum obat yang benar. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa SP 2 dapat dilaksanakan dengan baik.
Terapi farmakologi yang didapatkan pasien saat ini adalah Chlorpromazine (CPZ) 100 mg/
24 jam, obat ini berwarna oranye. Kegunaan obat Chlorpromazine yaitu psikosis hiperaktif, skizofrenia
dini, mual, muntah yang bersifat sentral, ansietas, mabuk perjalanan. Kontra indikasi obat yaitu
penyakit hati, penderita dengan depresan sistem saraf pusat, koma. Efek samping dari obat adalah
rasa kering pada mulut dan tenggorokan, kadang - kadang takikardia. Obat yang kedua adalah
Triheksipenidil (THP) 2 mg/ 12 jam, obat ini berwarna putih. Kegunaan obat Triheksipenidil yaitu
pengobatan segala bentuk penyakit parkinson. Efek samping dari obat adalah mulut kering,
pandangan kabur, mual atau cemas, pusing, konstipasi, urin tertahan, dilatasi pupil, takikardi, tekanan
intra okuler meningkat, sakit kepala. Obat yang ketiga adalah Risperidone 2 mg/ 12 jam, obat ini
berwarna putih kekuningan. Kegunaan obat Risperidone yaitu skizofrenia akut dan kronis, psikosis
dengan gejala positif, mengurangi gejala afektif yang berhubungan dengan skizofrenia.

10
Kontra indikasi obat yaitu hipersensitif terhadap Risperidone. Efek samping dari obat adalah insomnia,
agitasi, ansietas, sakit kepala, kelelahan, somnolen (Kasim, 2013)
Dilanjukan tindakan keperawatan dengan hari yang sama pada pukul 12.30 WIB
melakukan SP 3 yaitu fase orientasi meliputi memberikan salam terapeutik kepada pasien,
memvalidasi perasaan pasien dan mengevaluasi kegiatan latihan menghardik dan minum obat dengan
benar, serta kontrak waktu sesuai yang telah disepakati. Fase kerja meliputi melatih cara mengontrol
halusinasi dengan bercakap - cakap yang bertujuan untuk membantu pasien dalam beradaptasi atau
berinteraksi dengan orang lain (Direja, 2011). Fase terminasi meliputi evaluasi respon terhadap
tindakan keperawatan, rencana tindak lanjut dengan memasukkan kedalam jadwal harian, kontrak
yang akan datang. Tindakan tersebut sesuai dengan teori yang dituliskan Afnuhazi (2015) bahwa
tindakan yang tepat dilakukan perawat dalam melakukan implementasi keperawatan yaitu
mengevaluasi kegiatan sebelumnya, melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara bercakap -
cakap dengan orang lain, dan memasukkan ke jadwal kegiatan harian. Didapatkan data subjektif
pasien mengatakan menghardik 2 kali sehari pagi dan sore, minum obat secara teratur sesuai dengan
nama, dosis, waktu, cara dan jenis obat, pasien mengatakan dapat mempraktikkan bercakap - cakap
dengan teman atau perawat. Data objektif kontak mata baik, pasien tampak senang, pasien dapat
bercakap - cakap dengan orang lain yang ditanyakan nama, hobi, dan pengalaman. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa SP 3 dapat dilaksanakan dengan baik.
Tindakan keperawatan SP 4 dilakukan pada tanggal 31 Maret 2016 pukul 08.00 WIB yaitu
pada fase orientasi meliputi memberikan salam terapeutik, memvalidasi perasaan pasien,
mengevaluasi kegiatan latihan menghardik, minum obat dan bercakap - cakap serta kontrak waktu
yang telah disepakati. Fase kerja meliputi melatih mengontrol halusinasi dengan melakukan aktivitas
terjadwal yang bertujuan untuk membantu pasien dalam melakukan aktivitas terjadwal sehingga
halusinasi tidak muncul (Direja, 2011). Fase terminasi meliputi evaluasi respon terhadap tindakan
keperawatan, rencana tindak lanjut dengan memasukkan kedalam jadwal harian, kontrak yang akan
datang. Tindakan tersebut sesuai dengan teori yang dituliskan Afnuhazi (2015) bahwa tindakan yang
tepat dilakukan perawat dalam melakukan implementasi keperawatan yaitu mengevaluasi kegiatan
sebelumnya, melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melakukan aktivitas terjadwal dan
memasukkan ke jadwal kegiatan harian. Didapatkan data subjektif pasien mengatakan menghardik 2
kali sehari pagi dan sore, pasien minum obat secara teratur (sesuai nama, jenis obat, dosis, waktu dan
cara), pasien mengatakan sudah mulai membiasakan bercakap - cakap dengan orang lain, pasien
mengatakan mau melakukan aktivitas terjadwal (seperti merapikan tempat tidur, menyapu, mencuci
piring, serta mandi). Data objektif pasien tampak sering bercakap
- cakap dengan orang lain, kontak mata baik, pasien tampak melakukan aktivitas terjadwal. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa SP 4 dapat dilaksanakan dengan baik.
Faktor - faktor yang mempengaruhi kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi
yaitu sikap atau respon pasien terhadap halusinasi dan kejujuran dalam memberikan informasi,
pengalaman, kepribadian klien dan kemampuan mengingat (Elita, 2011). Dalam merawat pasien
halusinasi penulis telah merencanakan menggunakan Strategi Pelaksanakaan (SP) tindakan
keperawatan pada pasien halusinasi baik SP 1 sampai SP 4 pasien maupun SP keluarga. SP 1 sampai
SP 4 dapat dilaksanakan dengan baik. Tetapi terdapat beberapa tindakan yang tidak dilakukan penulis
dari intervensi yang dibuat sebelumnya yaitu intervensi yang direncanakan keluarga (SP 1 - SP3
keluarga) dikarenakan keluarga tidak pernah menjenguk pasien.
Penulis lebih menerapkan komunikasi terapeutik dalam setiap strategi pelaksanaan karena
penulis menganggap komunikasi dapat membantu untuk mengontrol halusinasi. Komunikasi
terapeutik dapat dilakukan pasien dengan teman, perawat maupun keluarga. Komunikasi dapat
menjadi penentu yang berpengaruh dalam keterlibatan dan manfaat untuk pelayanan kejiwaan.
Perawat menekan pengalaman bersosialisasi dengan orang lain dengan memberikan indikasi yang
jelas bahwa cara profesional berkomunikasi dan berinteraksi dengan

11
orang lain sama pentingnya dengan mendorong pemahaman keyakinan pasien tentang penyakit yang
diderita dalam pendekatan pemulihan yang berorientasi (Bhui, 2015).
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
pasien. Evaluasi dilakukan terus - menerus pada respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap
selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan
antara respon pasien dan tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan S.O.A.P diantaranya sebagai berikut : S : respon subjektif pasien
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan, O : respon subjektif pasien terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan, A : analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap dan muncul masalah baru atau ada data yang
berkontradiksi dengan masalah yang ada, P : perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis
pada repon pasien yang terdiri dari tindak lanjut pasien (Muhith, 2015).
Evaluasi dilakukan setiap hari oleh penulis. Evaluasi pada hari pertama tanggal 29 Maret
2016 SP 1 : mengajarkan pasien cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik didapatkan S :
pasien mengatakan melihat bayangan menakutkan dan mengancam diri, bayangan biasanya paling
sering datang malam hari dan ketika pasien melamun, pasien ketakutan ketika melihat bayangan
tersebut, pasien mengatakan mau menghardik. O : pasien tampak mudah tersinggung, kontak mata
kurang, pasien tampak gembira yang berlebihan. A : strategi pelaksanaan 1 tercapai. P : optimalkan
SP1, kontrak waktu berikutnya untuk SP 2 halusinasi.
Evaluasi hari kedua SP 2 : mengajarkan pasien cara mengontrol halusinasi dengan cara
menggunakan obat secara teratur didapatkan S : pasien mengatakan mau minum obat secara teratur
obat berwarna putih dan merah diminum 2 kali sehari pagi dan sore sedangkan obat yang berwarna
kuning diminum 1 kali sehari pada sore hari, pasien mengatakan minum 1 tablet setelah makan dan
dilihat nama pasien. O : pasien dapat mempraktikkan cara menghardik dan paham akan cara minum
obat yang benar. A : strategi pelaksanaan 2 tercapai. P : optimalkan SP 1 dan SP 2,lanjutkan strategi
pelaksanan 3 untuk kontrak waktu berikutnya.
Evaluasi hari kedua SP 3 : mengajarkan pasien cara mengontrol halusinasi dengan cara
bercakap - cakap, selanjutnya dilakukan pada hari kedua didapatkan S : pasien mengatakan
menghardik 2 kali sehari pagi dan malam, pasien minum obat secara teratur (sesuai nama, jenis obat,
dosis, waktu dan cara), pasien mengatakan sudah mulai membiasakan bercakap - cakap dengan orang
lain. O : pasien tampak sering bercakap - cakap dengan orang lain, kontak mata baik. A : strategi
pelaksanaan 3 tercapai. P : optimalkan SP 1, SP 2 dan SP 3, lanjutkan strategi pelaksanan 4 untuk
kontrak waktu berikutnya.
Evaluasi hari ketiga SP 4 : mengajarkan pasien cara mengontrol halusinasi dengan cara
melakukan aktivitas kegiatan didapatkan S : mengatakan menghardik 2 kali sehari pagi dan malam,
pasien minum obat secara teratur (sesuai nama, jenis obat, dosis, waktu dan cara), pasien mengatakan
sudah mulai membiasakan bercakap - cakap dengan orang lain, pasien mengatakan mau melakukan
aktivitas terjadwal (seperti merapikan tempat tidur, menyapu, mencuci piring, serta mandi). O :
pasien tampak sering bercakap - cakap dengan orang lain, kontak mata baik, pasien tampak
melakukan aktivitas terjadwal. A : strategi pelaksanaan 4 tercapai. P : optimalkan SP 1, SP 2, SP 3
dan lanjutkan untuk melakukan aktivitas terjadwal.

12
4. PENUTUP
a. Kesimpulan
Pengkajian dilakukan pada tanggal 28 Maret 2016 jam 09.30 WIB di bangsal
Abimanyu dan diperoleh data pasien yaitu Tn. J berumur 30 tahun. Pada tahap pengkajian dalam
kasus ini ditemukan data yang menjadi fokus dalam gangguan persepsi sensori : halusinasi adalah
pola kognitif perseptual dengan keluhan pasien sering melihat bayangan yang tidak jelas wujudnya
dan menakutkan bagi pasien. Pasien mengatakan sering diajak bayangan tersebut ke suatu tempat.
Faktor presipitasinya pasien pernah mengalami gangguan jiwa dan pernah dirawat di RSJD
Surakarta 10 kali.
.Diagnosa keperawatan adalah penilaian atau kesimpulan yang diambil dari
pengkajian. Sedangkan diagnosa yang penulis angkat pada kasus Tn. J adalah gangguan persepsi
sensori : halusinasi penglihatan.
Intervensi yang dilakukan pada Tn. J dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi
penglihatan ditujukan untuk membina hubungan saling percaya, mengenal dan mengontrol
halusinasinya, dapat memanfaatkan obat dengan benar serta melakukan aktivitas terjadwal.
Rencana tindakan keperawatan (Afnuhazi, 2015) meliputi : membantu pasien mengenali
halusinasi yang dilakukan dengan cara berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang
didengar atau dilihat, waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasinya, situasi yang
menyebabkan halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul), melatih pasien
mengontrol halusinasi dengan melakukan strategi pelaksanaan.
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana penerapan yang telah
disusun pada tahapan perencanaan. Penulis melakukan tindakan keperawatan yang telah disusun
pada diagnosa gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan. Tindakan dilakukan dengan
melakukan tindakan keperawatan pada strategi pelaksanaan 1 - 4 pasien yaitu mengenal dan
mengontrol halusinasi, menganjurkan pasien untuk minum obat secara teratur, bercakap - cakap
dengan orang lain saat halusinasi muncul, dan melakukan aktivitas terjadwal. Pasien melakukan
strategi pelaksanaan dengan komunikasi terapeutik.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pada Tn. J diagnosa utama adalah gangguan
persepsi sensori : halusinasi penglihatan yang dilakukan selama tiga hari secara keseluruhan SP
untuk pasien tercapai dan penulis menerapkan komunikasi terapeutik sebagai salah satu tindakan
keperawatan yang efektif sebab komunikasi dapat menunjang keberhasilan dalam rangka
penyembuhan pasien. Komunikasi terpeutik pada strategi pelaksanaan didapatkan data bahwa
pasien mampu melakukan strategi pelaksanaan dengan baik setelah dilakukan komunikasi
terapeutik. Pasien halusinasi penglihatan dapat mengurangi frekuensi halusinasi dengan
menerapkan komunikasi terapeutik pada strategi pelaksanaan.
b. Saran
Bagi institusi pendidikan, diharapkan hasil karya tulis ini dapat menjadi bahan
pembelajaran. Khususnya dibidang keperawatan dalam memberikan tindakan keperawatan lebih
memfokuskan pada komunikasi terapeutik.
Bagi rumah sakit, perawat hendaknya perawat mampu membina hubungan saling
percaya dan menggunakan komunikasi terapeutik pada pasien, dan lebih bersabar dalam
menghadapi pasien. Karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa teknik komunikasi terapeutik dapat
menentukan keberhasilan pengobatan pada pasien.
Bagi pasien dengan halusinasi penglihatan, hendaknya lama mentaati peraturan selama
di RSJD Surakarta. Pasien sebaiknya mau bekerja sama dengan petugas dan mengikuti program
terapi yang ada di RSJ. Pasien hendaknya juga sering berlatih dan melaksanakan interaksi sosial
secara bertahap. Perlunya pengetahuan bagi pasien dan keluarga tentang informasi penyakit yang
diderita, khususnya pencegahan supaya tidak terjadi kekambuhan dan rutinitas dalam minum
obat. Perlunya keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam memperbaiki kesehatan keluarga yang
menderita gangguan jiwa sehingga pemecahan masalah yang dihadapi pasien dapat ditingkatkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Afiyanti, Y dan Rahmawati, I.N. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Riset Keperawatan. Jakarta :
Rajawali Pers.

Afnuhazi, R. (2015). Komunikasi Terapeutik dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Agustina, M. (2015). Hubungan Komunikasi Terapeutik dengan Kemampuan Pasien Dalam


Menghardik Suara-Suara pada Strategi Pelaksanaan (Sp1) Pasien Halusinasi. Jurnal Ilmu
Keperawatan Indonesia. Vol. 5 No. 3 September 2015.

Ambarwati, F.R dan Nasution, N. (2012). Buku Pintar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :
Cakrawala Ilmu.

Azizah, L.M. (2011). Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Balitbang Kemenkes RI. (2013). Riset Keperawatan Dasar. Jakarta : Balitbang Kemenkes RI.

Bhui, et.al. (2015). Interventions to improve therapeutic communications between Black and minority
ethnic patients and professionals in psychiatric services: systematic review. The British Journal of
Psychiatry. 207, 95–103. doi: 10.1192/bjp.bp.114.158899.

Damaiyanti, M dan Iskandar. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Rafika Aditama.

Dermawan, D dan Rusdi. (2013). Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen
Publishing.

Direja, A.H.S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Yogyakarta : Nuha Medika.

Elita, V., Wahyuni, S., & Yuliet, S.N. (2011). Hubungan Lama Hari Rawat dengan Kemampuan Pasien
dalam Mengontrol Halusinasi. Jurnal Ners Indonesia. Vol. 1 No. 2 Maret 2011.

Fitria, N. (2009). Pripsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Straegi Pelaksanaan
Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Hermawan, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.

Kasim, F dan Trisna, Y. (2013). ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta : PT. ISFI.

Keliat. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC.

Kusumawati, F dan Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika..

Lapau, B. (2012). Metode Penelitian Kesehatan : Metode Ilmiah Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Maramis, W.F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.

Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi Offset.

Nasir, A dan Muhith, A. (2011). Dasar – dasar Keperawatan Jiwa : Pengantar dan Teori. Jakarta : alemba
Medika.

14
O’Brien, P.G, dkk. (2008). Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatrik Teori & Praktik. Terjemahan oleh Subekti,
NB, dkk. 2014. Jakarta : EGC.

Pratiwi, A. (2011). Praktik Keperawatan Jiwa. Surakarta : FIK UMS.

Stuart, G.W. (2002). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Terjemahan oleh Kapoh, R.P & Koman Yuda
E. 2007. Jakarta : EGC.

Syafitri, A. (2015). Hubungan Antara Motivasi Ektrinsik Perawat dengan Penerapan Komunikasi
Terapeutik pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia. Vol. 5 No. 3 September
2015.

Videbeck, S.L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Renata Komalasari & Alfina Hany, Penerjemah).
Jakarta: EGC.

WHO. (2009). Improving Health Systems and Services for Mental Health (Mental Health Policy and Service Guidance
Package). Geneva 27. Switzerland : WHO Press.

Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.

Yosep, I dan Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.

Zelika, A.A. (2015). Kajian Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi Pendengaran pada Sdr. D di Ruang
Nakula RSJD Surakarta.Jurnal Profesi. Vol. 12 No. 2 Maret 2015.

15
PERSANTUNAN

Puji syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah dengan judul “Upaya Penurunan Frekuensi Halusinasi Penglihatan dengan Komunikasi
Terapeutik di RSJD Surakarta”.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, Karya Tulis
Ilmiah ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Ibu, Bapak dan Kakak tercinta yang selalu mendukung, mendidik, menasehati dan mendoakan
dengan penuh cinta tanpa mengenal lelah, sehingga dapat menghantarkan penulis kejenjang diploma.
2. Prof. Drs. Bambang Setiadji, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.
3. Dr. Suwaji, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Okti Sri P., S.Kep., M.Kes., Ns., Sp.Kep.M.B, selaku ketua Program Diploma III Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
5. Vinami Yulian, S.KeP.,Ns., MSc, selaku sekretaris Program Studi Diploma III Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
6. Arif. Widodo, A.Kep., M.Kes, selaku Pembimbing Karya Tulis Ilmiah
7. Arum Pratiwi, S.Kep, M.Kes, selaku Penguji dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.
8. Dian Nur Wulaningrum, S.Kep., Ns selaku pembimbing akademik Prodi DIII Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
9. Segenap Dosen Keperawatan UMS yang telah mendidik kami sekalian, yang merubah pandangan
hidup penulis
10. Seluruh staff perpustakaan yang telah membantu penulis memperoleh referensi dalam penulisan
Karya Tulis Ilmiah.
11. Kepala instansi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
12. Eko Sunaryanti, S.Kep, selaku Kepala Ruang serta Perawat Ruang Abimanyu.
13. Teman-teman angkatan 2013 Prodi DIII Keperawatan UMS yang telah memberikan dukungan
dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.
14. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah yang tidak dapat penulis sebutkan, semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan
mendapatkan imbalan dari Allah SWT.
Tingkat Kemandirian Pasien Mengontrol Halusinasi setelah Terapi
Aktivitas Kelompok

Dwi Handayani, Aat Sriati, Efri Widianti


Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
E-mail: e_free358@yahoo.com

Abstrak
Halusinasi merupakan gejala positif yang paling sering dialami oleh pasien dengan gangguan jiwa. Terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi merupakan bagian dari terapi modalitas yang diberikan pada pasien skizofrenia yang
mengalami halusinasi dengan tujuan tercapainya kemandirian pasien. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu melihat
gambaran tingkat kemandirian pasien dalam mengontrol halusinasi setelah mengikuti kegiatan terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi. Sebanyak 42 orang menjadi responsden dengan menggunakan teknik consecutive
sampling. Proses pengumpulan data menggunakan metode observasi, yang dalam pelaksanaannya peneliti dibantu
oleh numerator. Analisis data dengan persentase dan dideskripsikan dalam tabel distribusi frekuensi. Hasil
penelitian didapatkan bahwa tingkat kemandirian pasien dalam mengontrol halusinasi setelah mengikuti kegiatan
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah supportive 28,6%, partially 61,9%, dan wholly 9,5%. Hasil
penelitian didapatkan bahwa sebagian besar tingkat kemandirian pasien adalah partially sehingga perlu
dikembangkan strategi-strategi dalam upaya peningkatan kinerja perawat dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan sehingga dapat menumbuhkan kemandirian pasien.

Kata kunci: Halusinasi, tingkat kemandirian, terapi aktivitas kelompok, stimulasi persepsi

The Independency Level of Patients in Controlling Hallucination After


Perceptual Stimulation Therapeutic Group Activity

Abstract

Hallucinations are positive symptoms most commontly experienced bypatients with psychiatric disorders. Perceptual
stimulation therapy group activities are part of the therapeutic modalities that are given to patients with schizophrenia
who experienced hallucinations in order to achieve independence of patient. This is a descriptive study which saw
the picture of the level of independence of the patients in the control hallucinations after following stimulation
group activity. The sampling technique used was consecutive sampling, in which 42 people were interviewed. The
process of data collection using the method of observation, which in practice researchers assisted by the numerator.
Analysis of the data with the percentage and frequency distribution are described in the table. The result showed
that the level of independence of patient hallucinations in controlling halluciantions after following stimulation
group activity therapy activity perception is supportive 28.6%, partially 61,9%, and wholly 9,5%. Based on the
findings that majority of patients a level of independence that is partially, developed strategies necessary in an effort
to increase the performance of nurses in the implementation of nursing actions that can foster patient independence.

Key words: Level of independence, hallucination, therapeutic group activity stimulation perception

56 Volume 1 Nomor 1 April 2013


Dwi Handayani: Tingkat Kemandirian Pasien dalam Mengontrol Halusinasi

Pendahuluan delusi dan halusinasi.


Halusinasi merupakan gejala yang paling
Era globalisasi memberikan dampak yang sering muncul pada pasien dengan gangguan
positif dan negatif dalam kehidupan. jiwa. Respons yang ditimbulkan dari adanya
Semakin terbukanya interaksi antara negara halusinasi adalah kehilangan kontrol diri,
maju dan negara berkembang mengakibatkan yang mana dalam situasi ini pasien dapat
persaingan yang ketat terjadi dalam berbagai melakukan bunuh diri, membunuh orang lain,
aspek kehidupan terutama bidang ekonomi. bahkan merusak lingkungan (Hawari, 2003).
Persaingan kehidupan yang semakin ketat Penatalaksanaan yang tepat diharapkan dapat
ditambah dengan konflik yang terkait agama, meminimalkan dampak yang ditimbulkan
ras dan politik menjadi pemicu terjadinya dari halusinasi. Definisi di atas dapat
gangguan jiwa. Prevalensi gangguan jiwa disimpulkan bahwa halusinasi adalah respons
dari tahun ke tahun di berbagai negara yang maladaptive dimana seorang individu
menunjukan peningkatan. World Health memersepsikan suatu stimulus pancaindera
Organization (WHO) telah memerkirakan yang sebenarnya stimulus itu tidak ada.
terdapat sekitar 450 juta orang di dunia yang Penatalaksanaan yang tepat diharapkan dapat
mengalami gangguan kesehatan jiwa. Data meminimalkan dampak yang ditimbulkan
hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, dari halusinasi.
diperkirakan ada 19 juta penderita gangguan Perkembangan ilmu dan teknologi di
jiwa di Indonesia. Satu juta diantaranya bidang kedokteran dan keperawatan serta
mengalami gangguan jiwa berat atau psikosis tuntutan masyarakat terhadap pelayanan
(Depkes, 2008). kesehatan yang lebih baik telah mendorong
Videbeck (2008) mendefinisikan gangguan tenaga keperawatan untuk memberikan
jiwa adalah sebagai suatu sindrom atau pola pelayanan keperawatan yang profesional. Terapi
psikologis atau perilaku yang penting secara modalitas merupakan suatu pendekatan yang
klinik yang terjadi pada seseorang dan digunakan dalam menangani pasien dengan
dikaitkan dengan adanya distres (misalkan gangguan jiwa. Terapi modalitas merupakan
gejala nyeri) atau disabilitas (yaitu kerusakan suatu pendekatan yang digunakan oleh tenaga
pada satu atau lebih area fungsi yang penting) kesehatan dalam menangani pasien dengan
atau disertai peningkatan risiko kematian gangguan jiwa. Menurut Perko dan Kreigh
yang menyakitkan. Fungsi kejiwaan meliputi (1988) dalam Susana dan Hendarsih (2012)
proses berpikir, emosi, kemauan, perilaku terapi modalitas adalah suatu teknik atau
psikomotorik, dan bicara. Disimpulkan dari metode terapi psikis bagi individu dengan
definisi diatas maka diketahui bahwa menyediakan suatu sarana yang efektif yang
gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau memungkinkan pasien berubah menuju yang
pola psikologis yang berkaitan dengan lebih baik.
adanya gangguan pada fungsi kejiwaan Terapi modalitas merupakan proses
meliputi proses berpikir, emosi, kemauan, pemulihan fungsi fisik, mental-emosional,
psikomotorik, dan bicara. dan sosial ke arah keutuhan pribadi yang
Skizofrenia merupakan gangguan mental dilakukan secara holistik. Pasien sebagai
yang sangat berat atau psikosis. Gangguan ini manusia yang meliputi biologis, psikologis,
ditandai dengan gejala-gejala positif seperti sosial dan spritual tentu saja memiliki
pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, masalah yang multikompleks, dengan
gangguan kognitif dan persepsi; gejala-gejala demikian penanganannya pun tentu harus
negatif seperti avolition (menurunnya minat multidisipliner. Pemberian terapi baik
dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara, psikofarmakologi maupun keperawatan yang
miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar, tepat dan akurat saja tidak cukup, tetetapi
serta terganggunya relasi personal (Arif, harus disusul dengan terapi modalitas yang
2006). Disimpulkan dari definisi di atas dipilih secara teratur dan kontinu sampai
bahwa skizofrenia sebagai gangguan mental berfungsinya kembali perilaku normatif yang
berat atau psikosis yang mengakibatkan stabil atau perilakunya adaptif. Keberhasilan
seorang individu mengalami gangguan dalam terapi psikis ini sangat tergantung pada
kognitif dan persepsi, sehingga muncul gejala adanya komunikasi antara perawat dan

Volume 1 Nomor 1 April 2013 57


Dwi Handayani: Tingkat Kemandirian Pasien dalam Mengontrol Halusinasi

pasien. Terapi modalitas yang diberikan pada Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di
klien skizofrenia yang mengalami halusinasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
adalah psikoterapi individu dan terapi diperoleh data sebanyak 3711 orang pasien
kelompok (Chaudhury, 2010). yang dirawat selama tahun 2011. Kasus yang
Terapi modalitas yang diberikan kepada paling banyak adalah skizofrenia dengan
klien skizofrenia yang mengalami halusinasi halusinasi yaitu 55,71%. Penatalaksanaan
adalah psikoterapi individu dan terapi yang dilakukan pada pasien rawat inap selain
kelompok. Terapi kelompok adalah metode farmakoterapi adalah psikoterapi individu
pengobatan yang dilakukan ketika klien dan terapi aktivitas kelompok.
ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan Pelaksanaan terapi aktivitas kelompok
tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. bertujuan untuk dapat meningkatkan tingkat
Fokus terapi kelompok adalah membuat klien kemandirian pasien dalam mengontrol
menjadi sadar diri, peningkatan hubungan halusinasi. Terapi aktivitas kelompok yang
interpersonal ini, membuat perubahan, atau dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
ketiganya. Terapi aktivitas kelompok dibagi Jawa Barat sudah terjadwal, untuk pelaksanaan
sesuai dengan kebutuhan yaitu, stimulasi stimulasi persepsi pada hari Rabu. Ruang
persepsi, stimulasi sensoris, orientasi realita, Cendrawasih dan Elang merupakan ruangan
dan sosialisasi (Keliat & Akemat, 2005). yang secara rutin melakukan terapi aktivitas
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi kelompok, sedangkan untuk ruang rawat inap
bertujuan untuk melatih klien memersepsikan tenang lain terapi aktivitas kelompok
stimulus yang disediakan atau stimulus yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan karena
pernah dialami. Kemampuan persepsi klien sebagian pasien dikirim ke unit rehabilitasi.
dievaluasi dan ditingkatkan pada setiap sesi. Hasil wawancara dengan enam orang
Proses ini mengharapkan respons yang perawat yang berdinas di ruang Cendrawasih
muncul dari klien terhadap berbagai stimulus diperoleh informasi bahwa masih terdapat
dalam kehidupan menjadi adaptif. Ditinjau pasien yang sering melamun dan berbicara
dari pandangan kesehatan jiwa, target terapi sendiri. Tiga orang perawat yang berdinas di
aktivitas kelompok ini adalah tercapainya ruang Elang mengatakan bahwa pasien yang
kemandirian bagi pasien. mengalami halusinasi sebenarnya tahu cara
Kemandirian adalah suatu kondisi dimana untuk mengatasi halusinasi tetapi belum
seseorang tidak tergantung pada otoritas dan mampu untuk melakukannya secara mandiri.
tidak membutuhkan arahan. Kemandirian Hasil observasi yang dilakukan di ruang
mencakup kemampuan untuk mengurus diri Cendrawasih kepada 13 orang pasien setelah
sendiri dan menyelesaikan masalahnya dilakukan terapi aktivitas kelompok terhadap
sendiri (Parker, 2006). Menurut Aswadi lima orang pasien yang mengalami halusinasi
dalam Ika (2009) kemandirian seseorang saat ditanyakan tentang bagaimana
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya menangani halusinasi, didapat data dua orang
jenis kelamin dan pendidikan. Seseorang pasien tersebut menyatakan tidak tahu, tiga
yang berkembang dengan pola maskulin orang dapat menjawab tetetapi tidak mampu
cenderung lebih mandiri dibandingkan mempraktikkan kegiatan menangani
dengan wanita yang sifatnya lemah lembut halusinasi tersebut. Penelaahan tentang
dan feminin. Postulat teori self care teori tingkat kemandirian pasien halusinasi yang
yang dikembangkan oleh Orem mengatakan telah mengikuti terapi aktivitas kelompok
bahwa self care tergantung dari perilaku yang menjadi penting untuk dilakukan.
telah dipelajari, individu berinisiatif dan
membentuk sendiri untuk memelihara
kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraannya Metode Penelitian
(Muhlisin & Indrawati, 2010). Pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian Penelitian mengenai tingkat kemandirian
adalah kemampuan seseorang untuk pasien dalam mengontrol halusinasi ini
mengontrol tindakan, perasaan dan memgambil menggunakan desain deskriptif yang meng-
keputusan sendiri. gambarkan suatu kejadian atau event

58 Volume 1 Nomor 1 April 2013


Dwi Handayani: Tingkat Kemandirian Pasien dalam Mengontrol Halusinasi

dalam hal ini menggambarkan tingkat Orem, dimana terdapat 14 item pernyataan
kemandirian pasien halusinasi yang telah yang akan dinilai dengan pemberian skor nol
mengikuti terapi aktivitas kelompok persepsi dan satu. Skor tertinggi yang akan diperoleh
dalam mengontrol halusinasi. Penelitian ini adalah 14 dan skor terendah adalah nol.
dilaksanakan pada tanggal 30 November Peneliti membagi kategori mandiri menjadi
2012 sampai 14 Desember 2012 di ruang supportive dengan range 10–14, partially
rawat inap tenang Rumah Sakit Jiwa Provinsi dengan range 5–9, dan wholly dengan range
Jawa Barat. 0–4. Data yang diperoleh diurut dan
Penyajian data hasil penelitian ini bertujuan dimasukkan ke dalam suatu tabel dengan
menggambarkan tingkat kemandirian pasien bantuan perangkat lunak komputer.
halusinasi dalam mengontrol halusinasi
setelah mengikuti terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi halusinasi. Setelah itu Hasil Penelitian
dilakukan pembahasan yang menjelaskan dan
menguraikan analisis kemandirian pasien Data karekteristik responden dalam penelitian
dalam mengontrol halusinasi. ini meliputi jenis kelamin, usia dan tingkat
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pendidikan. Hasil penelitian ini diketahui
pasien dengan diagnosis halusinasi yang bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak
dirawat di ruang rawat inap tenang Rumah 28 responden (66,7%) berjenis kelamin laki-
Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Teknik laki, sebagian besar responden berada dalam
sampling yang digunakan dalam penelitian rentang usia dewasa awal (18–40 tahun)
ini adalah consecutive sampling, yaitu yaitu sebanyak 35 responden (88,1%),
pengambilan sampel dengan memilih sampel dan hampir sebagian responden lulusan
yang sesuai kriteria penelitian sampai kurun SMP yaitu sebanyak 17 responden (40,1%)
waktu tertentu hingga memenuhi jumlah Hasil penelitian mengenai tingkat
sampel (Nursalam, 2011). Jumlah sampel kemandirian pasien halusinasi yang telah
yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengikuti kegiatan terapi aktivitas kelompok
42 responden. Kriteria inklusi untuk sampel stimulasi persepsi dalam mengontrol
dalam penelitian ini adalah pasien dengan halusinasi dibagi menjadi tiga kategori. Hasil
diagnosis utama halusinasi yang dirawat penelitian mengenai tingkat kemandirian
kurang dari tiga bulan dalam rentang usia pasien halusinasi yang telah mengikuti
dewasa (25–60 tahun) serta telah mengikuti kegiatan terapi aktivitas kelompok stimulasi
kegiatan Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dalam mengontrol halusinasi adalah
persepsi sesi satu sampai sesi lima. Variabel supportive 12 orang (28,6%), partially 26
dari penelitian ini adalah tingkat kemandirian orang (61,9%), dan wholly 4 orang (9,5%)
pasien halusinasi yang telah mengikuti terapi dapat dilihat pada tabel 1.
aktivitas kelompok stimulasi persepsi dalam
mengontrol halusinasi. Melihat kemandirian
pasien halusinasi mengontrol halusinasi akan Pembahasan
dihitung dengan proporsi serta untuk
mendeskripsikan dalam tabel distribusi Menurut Yalom (1995) dalam Videbeck
frekuensi relatif . (2008) terapi kelompok memiliki hasil
Peneliti menggunakan lembar observasi yang terapeutik diataranya adalah mendapatkan
dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori informasi atau pembelajaran baru,

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Tingkat Kemandirian dalam Mengontrol Halusinasi (n = 42)


Tingkat Kemandirian Frekuensi Persentase (%)
Supportive 12 28,6
Partially 26 61,9
Wholly 4 9,5

Volume 1 Nomor 1 April 2013 59


Dwi Handayani: Tingkat Kemandirian Pasien dalam Mengontrol Halusinasi

mendapatkan inspirasi dan harapan, dapat mendiskusikan masalah-masalah mereka,


berinterksi dengan orang lain, merasa diterima sehingga menurunkan perasaan terisolasi,
dan memiliki, dapat menyadari bahwa ia tidak perbedaan-perbedaan, dan meningkatkan
sendirian dan orang lain memiliki masalah keinginan pasien untuk berpartisipasi dan
yang sama, dan dapat memahami masalah bertukar pikiran tentang masalah orang lain.
dan perilakunya dan bagaimana hal tersebut Pasien menjadi anggota kelompok, dengan
memengaruhi orang lain. itu pasien dapat mempelajari cara baru
Parker (2006) mengungkapkan bahwa memandang masalah, cara koping atau
kemandirian memiliki ciri-ciri diantaranya: menyelesaikan masalah dan juga
tanggung jawab, independen, otonomi, dan membantunya mempelajari keterampilan
kemampuan untuk memecahkan masalah. interpersonal yang penting. Dukungan dan
Tanggung jawab merupakan perwujudan arahan yang memadai terhadap individu, dapat
kesadaran akan kewajiban, dengan mengikuti membuat individu tersebut terdorong untuk
kegiatan berkelompok pasien belajar untuk mencapai jalan keluar bagi permasalahan
memahami bahwa setiap individu memiliki yang dihadapi.
kewajiban atau tugas yang harus diselesaikan Penelitian ini memperoleh hasil bahwa
dan dipertanggungjawabkan hasilnya. Pasien kemadirian pasien dalam mengontrol
juga belajar untuk mengenal dan memahami halusinasi adalah partially dengan jumlah
masalah yang sedang dihadapinya serta responden 26 orang (61,9%). Partially
perilakunya dan bagaimana hal tersebut merupakan suatu keadaan dimana antara
memengaruhi orang lain. perawat dan klien melakukan perawatan atau
Independen merupakan suatu kondisi tindakan lain secara bersama, perawat dan
dimana seseorang tidak bergantung pada pasien memiliki peran yang besar untuk
otoritas dan tidak membutuhkan arahan, mengukur kemampuan melakukan self care.
mencakup adanya ide untuk mengurus dirinya Ketika diobservasi pasien yang sedang
sendiri dan menyelesaikan masalahnya mengalami halusinasi sebagian besar tidak
sendiri. Pasien yang telah mengikuti kegiatan mampu secara mandiri melakukan cara-cara
berkelompok, diharapkan dapat memperoleh mengontrol halusinasi yang telah diajarkan
informasi dan pembelajaran yang baru dari sebelumnya, setelah diingatkan kembali
pengalaman anggota kelompok yang lain pasien baru dapat mempraktikkan cara-cara
sehingga dapat menumbuhkan inspirasi dalam mengontrol halusinasi. Hal tersebut
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. disebabkan karena pada pasien dengan
Otonomi merupakan kemampuan untuk gangguan jiwa terjadi abnormalitas dalam
menentukan arah sendiri. Ciri utama seseorang perkembangan sistem saraf yang
yang memiliki otonomi yang baik antara lain berhubungan dengan respons neuron dan
kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, biologis yang maladaptive (Videbeck. 2008).
kemampuan untuk mengatur tingkah laku, Menurut konsep neurobiological ciri utama
dan kemampuan untuk mandiri. Mampu pada pasien yang mengalami skizofrenia
mengambil keputusan tanpa adanya campur memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari
tangan orang lain. Kelompok sebagai tempat rata-rata orang normal.
berbagi pengalaman dan saling membantu Lobus frontalis berfungsi sebagai “senior
satu sama lain untuk menemukan cara dalam eksekutif” dari otak dan kepribadian yang
menyelesaikan masalah, dengan mengikuti bertindak untuk memroses, mengintegrasikan,
kegiatan berkelompok pasien belajar untuk menghambat, berasimilasi dan mengingat
berinteraksi dengan orang lain, berdiskusi persepsi dan impuls yang diterima dari sistem
dengan anggota kelompok mengenai masalah limbik, striatum, lobus temporal, neokortek
yang dialami dan pada akhirnya pasien daerah penerima sensorik. Melalui asimilasi
menentukan sendiri keputusan yang akan dan perpaduan proses persepsi, kehendak,
diambil dalam menyelesaikan masalah yang kognitif, dan emosional, lobus frontalis
dihadapinya. terlibat dalam pengambilan keputusan dan
Pasien belajar mengenai keterampilan tujuan, memodulasi dan bentuk karakter dan
memecahkan masalah pada kegiatan kepribadian dan mengarahkan perhatian,
berkelompok. Anggota kelompok dapat menjaga konsentrasi dan berpartisipasi dalam

60 Volume 1 Nomor 1 April 2013


Dwi Handayani: Tingkat Kemandirian Pasien dalam Mengontrol Halusinasi

penyimpanan informasi dan pemanggilan pragmatis dalam memecahkan masalah bukan


memori. Apabila terjadi kerusakan pada hanya berdasarkan analisis logika semata.
lobus frontalis dapat mengakibatkan gairah Pasien yang mengalami gagguan jiwa
berlebihan atau berkurang, disintegrasi kemampuan kognitifnya berkurang karena
kepribadian dan emosional, kesulitan secara biologis ukuran lobus frontaslis lebih
memulai aktivitas, perhatian abnormal dan kecil dari rata-rata orang normal, karena
kurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi, kondisi tersebut mengakibatkan gangguan
apatis berat atau euforia, rasa malu dan kognitif yang ditandai dengan disorientasi,
mengurangi kemampuan untuk memantau incoherent, dan sukar berfikir logis, sehingga
dan mengendalikan pikiran, ucapan, serta ketika mengalami halusinasi pasien tidak
tindakan, termasuk kehilangan memori. mampu untuk mengontrolnya secara mandiri.
Pasien yang mengalami halusinasi pada Dilihat dari karekteristik tingkat pendidikan
penelitian ini mengalami kesulitan untuk responden sebagian besar adalah SD dan SMP
dapat menerima informasi karena kurangnya hal ini memengaruhi kemampuan seseorang
kemampuan dalam konsentrasi, sehingga ketika untuk dapat menerima informasi. Meskipun
halusinasi yang dialami muncul kembali faktor pendidikan memengaruhi pola pikir
pasien tidak mampu mempraktikkan cara- dan pola pengambilan keputusan seseorang,
cara mengontrol halusinasi yang sebelumnya namun pada pasien yang mengalami
telah diajarkan. Melihat karekteristik jenis gangguan jiwa secara biologis memiliki
kelamin responden terbanyak pada penelitian lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata
ini adalah laki-laki. Laki-laki dan perempuan orang normal sehingga memengaruhi pada
mempunyai koping yang berbeda dalam kemampuan kognitif yang dimiliki.
menghadapi masalah. Perilaku koping Implikasi dari penelitian ini diharapakan
perempuan biasanya lebih ditekankan pada institusi keperawatan untuk membuat strategi
usaha untuk mencari dukungan sosial dan peningkatan kinerja perawat dalam
lebih menekankan pada agama, sedangkan melaksanakan tindakan keperawatan berupa
laki-laki lebih menekankan pada tindakan terapi aktivitas kelompok. Terapi aktivitas
langsung untuk menyelesaikan pokok kelompok tersebut berupa stimulasi persepsi
permasalahan. sehingga akan menumbuhkan kemandirian
Pasien yang mengalami halusinasi pasien dalam mengontrol halusinasi. Perawat
mekanisme koping yang biasa dilakukan diharapakan mampu memodifikasi media
adalah regresi, proyeksi, dan menarik diri. yang digunakan dalam pelaksanaan terapi
Responden yang diobservasi sebagian besar aktivitas kelompok stimulasi.
mengalami regresi dan menarik diri, hal
tersebut terlihat pada perilaku pasien, ketika
mengalami halusinasi pasien cenderung Simpulan
menarik dari dari lingkungan sosial dan
kadang menunjukkan perilaku yang kurang Hasil penelitian di atas dapat disimpulkan
wajar seperti mondar-mandir tanpa tujuan bahwa sebagian besar pasien halusinasi
yang jelas, melakukan kegiatan yang memiliki kemandirian secara parsial (partially),
berulang-ulang tetapi kegiatan tersebut tidak di mana pasien dan perawat melakukan
selesai, menjerit histeris bahkan perilakunya perawatan secara bersama. Hasil penelitian
tidak terkendali. ini dapat dijadikan sebagai strategi dalam
Karekteristik usia responden sebagian memperbaiki dan meningkatkan kinerja
besar terdapat pada rentang usia dewasa awal perawat dalam pelaksanaan terapi aktivitas
(18–40 tahun). Rentang usia dewasa awal kelompok dan untuk penelitian selanjutnya
akan terjadi peningkatan kemampuan dalam diharapkan penelitian ini dapat menjadi data
mempertimbangkan banyak hal ketika dasar bagi penelitian mengenai faktor-faktor
menghadapi masalah, sehingga dapat yang memengaruhi kemandirian pada pasien
bersikap lebih toleransi terhadap hal-hal yang halusinasi setelah mengikuti terapi aktivitas
tidak diinginkan. Masa dewasa awal terjadi kelompok stimulasi persepsi dan penelitian
integritas baru dalam berpikir, lebih mengenai intervensi untuk meningkatkan

Volume 1 Nomor 1 April 2013 61


Dwi Handayani: Tingkat Kemandirian Pasien dalam Mengontrol Halusinasi

kemandirian pasien dalam mengontrol jiwa terapi aktivitas kelompok. Jakarta: EGC.
halusinasi, sehingga diharapkan intervensi Muhlisin, A., & Indrawati. (2010). Teori self
keperawatan pada pasien halusinasi semakin care dari orem dan pendekatan dalam praktek
komprehensif. keperawatan. Berita Ilmu Keperawatan, 2. ISSN
1979-2697.

Daftar Pustaka Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan


metodologi penelitian ilmu keperawatan
Arif, I. S. (2006). Skizofrenia memahami dinamika pedoman skripsi, tesis, dan instrumen
keluarga pasien. Bandung: Refika Aditama. penelitin keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Depkes. (2008). Riset kesehatan dasar 2007.
Jakarta: Badan penelitian dan pengembangan Orem, D.E. (2001). Nursing concepts of
kesehatan Republik Indonesia. practice. St. Louis: Mosby Company.

Hawari, D. (2003). Pendekatan holistik pada Parker, D. K. (2006). Menumbuhkan kemandirian


gangguan jiwa: Skizofrenia. Jakarta: Balai dan harga diri anak. Jakarta: Prestasi Pustaka
Penerbit FKUI. karya.

Ika. (2009). Konsep kemandirian remaja dan pola Susana, S. A., & Hendarsih, S. (2012). Terapi
asuh orang tua. Diakses dari http://repositoty. modalitas keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta:
upi.edu/operator/upload/s_a5051_044048_ EGC.
chapter2.pdf
Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan
Keliat, B. A., & Akemat. (2005). Keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.

62 Volume 1 Nomor 1 April 2013


CENDEKIA UTAMA P-ISSN 2252-8865
Jurnal Keperawatan dan E-ISSN 2598 – 4217
Vol. 6, No. 2 Oktober, 2017
Kesehatan Masyarakat
Tersedia Online:
STIKES Cendekia Utama Kudus
htpp://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id

HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN PERIODE


KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA: HALUSINASI
DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. Dr. SOEROYO MAGELANG

Ana Puji Astuti1, Tri Susilo2, Sang Made Adiatma Putra3


1,2,3
Prodi D3 Keperawatan Universitas Ngudi Waluyo
Jl. Gedongsongo Candirejo Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, kode pos 50513
Email: Anattha256@gmail.com

ABSTRAK

Seseorang dengan skizofrenia mempunyai gejala utama penurunan persepsi sensori: halusinasi.
Pasien skizofrenia yang berhenti minum obat akan memicu munculnya kembali gejala dari
skizofrenia, pasien diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua,
dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan 25%
sampai 50% pasien yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara teratur sehingga
cenderung akan mempercepat kekambuhan yang dikarenakan ketidakpatuhan minum obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan minum obat dengan periode
kekambuhan pada pasien skizofrenia: halusinasi di RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan menggunakan desain cross sectional.
Populasinya adalah semua penderita skizofrenia: halusinasi yang pernah dirawat di RSJ Prof. Dr.
Soeroyo Magelang (113 responden). Pengambilan sampel mengunakan teknik Simple Random
Sampling (88 responden). Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner. Analisa data
dilakukan dengan analisa univariat dan bivariat dengan uji Chi Square menggunakan software SPSS
versi 19. Responden yang mempunyai kepatuhan minum obat yang kurang yaitu sebanyak 48
responden (54,5%), sebagian besar responden mengalami periode kekambuhan yang berat yaitu
sebanyak 67 responden (76,1%). Ada hubungan signifikan antara kepatuhan minum obat dengan
periode kekambuhan pada pasien skizofrenia: halusinasi di RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang
dengan p value 0,002 ≤ 0,05. Saran meningkatkan upaya preventif dan promotif bagi pasien
skizofrenia: halusinasi sehingga menurunkan periode kekambuhan. Melalui upaya monitoring
kepatuhan minum obat baik dari aspek keluarga, profesional, maupun lingkungan.

Kata Kunci : Pasien Skizofrenia: Halusinasi, Periode Kekambuhan, Kepatuhan

ABSTRACT

Someone with schizophrenia is signed by decreasing sensory perception: hallucinations. Patients


with schizophrenia who stop taking the drug will lead to the re-emergence of symptoms of
schizophrenia, patients are expected to relapse 50% in the first year, 70% the second year, and
100% in the fifth year after discharge from the hospital. The results showed 25% to 50% of patients
who come home from a mental hospital did not take medication on a regular basis so that likely
will accelerate due to recurrence of medication noncompliance. This study aimed to determine the

53
relationship of medication adherence and periods of relapse in patients with schizophrenia:
hallucinations in Prof. Dr. Soeroyo Psychiatric Hospital Magelang. This study was a descriptive
correlational study using cross-sectional design. Population was all patients with schizophrenia:
hallucinations ever treated in Prof. Dr. Soeroyo Psychiatric Hospital Magelang (113 respondents).
Sampling technique used Simple Random Sampling (88 respondents). The data were collected using
a questionnaire. Data analysis was done with univariate and bivariate analysis with chi Square test
using SPSS software version 19. The results of study showed that respondents with less medication
adherence as many as 48 respondents (54.5%), the majority of respondents experienced a period of
severe relapse as many as 67 respondents (76.1%). There was a significant relationship between
medication adherence and periods of relapse in patients with schizophrenia: hallucinations in Prof.
Dr. Soeroyo Psychiatric Hospital Magelang with p value ≤ 0.05 0.002. It was suggested to improve
preventive and promotive efforts for patients with schizophrenia: hallucinations resulting in
reducing recurrence period, through adherence monitoring efforts both from the families,
professionals, and the environment.

Keywords : Schizophrenia patients: hallucinations, recurrence period, adherence

54
LATAR BELAKANG
Menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa), gangguan
jiwa merupakan sindrom atau perilaku seseorang yang secara khas dengan suatu gejala
penderitaan (distress) atau pemburukan (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi
manusia yaitu fungsi perilaku, psikologik, biologik dan gangguan tersebut tidak hanya
terletak di dalam hubungan antara manusia tetapi juga dengan masyarakat. (Maslim, 2013).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2008) menunjukkan prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia 4,6 permil, artimya dari 1000 penduduk Indonesia, maka
empat sampai lima orang diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Provinsi Jawa
Tengah menempati urutan empat terbanyak berdasarkan jumlah penderita skizofrenia.
Gejala skizofrenia meliputi gejala positif dan gejala negatif diantaranya adanya
waham, perilaku aneh, pikiran tidak terorganisir, halusinasi dan menarik diri. Pasien
skizofrenia yang mengalami halusinasi yaitu lebih dari 90% (Videback, 2011).
Salah satu kendala dalam mengobati skizofrenia optimal adalah keterlambatan pasien
datang ke klinik untuk berobat (Irmansyah, 2006). Beberapa hal yang bisa memicu
kekambuhan skizofrenia, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara
teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari
keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stres,
(Akbar, 2008). Pasien skizofrenia yang berhenti minum obat akan memicu munculnya
kembali gejala positif dan negatif dari skizofrenia (misalnya: halusinasi, austitik, waham,
isolasi sosial) karena terjadi peningkatan kadar neurotransmitter dopamine. Antipsikotik
yang diminum oleh pasien mempunyai cara kerja menghambat reuptake dopamine
neurotransmitter sehingga terjadi keseimbangan kembali neurotransmitten dopamine.
(Hawari, 2006).
Pasien diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua,
dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit, (Keliat, 2005). Berdasarkan
data dari catatan medis pasien selama tiga bulan terakhir mulai dari bulan Januari, Februari
dan Maret 2015, didapatkan angka kekambuhan pasien yang mengalami skizofrenia:
halusinasi berjumlah 113. Data tersebut dapat dikategorikan dengan pasien yang
mengalami kekambuhan pada bulan Januari berjumlah 45 kasus kekambuhan, pada bulan
Februari berjumlah 51 kasus, dan pada bulan Maret didapatkan kasus kekambuhan pada
pasien skizofrenia: halusinasi sejumlah 17 kasus. Penyebab dari kekambuhan yang dialami
pasien dengan halusinasi lebih dikarenakan pasien tidak patuh untuk minum obat setelah
pasien berada di rumah. Karena cenderung merasa bosan dan tidak teratur dalam menjalani
pengobatan yang harus dijalaninya maka kekambuhan pada pasien akan lebih rentan
terjadi. Pasien yang dikategorikan mengalami kebosanan untuk minum obat sejumlah 10
pasien yang diwawancarai secara langsung oleh peneliti, merasa sudah sembuh, dari
pendapat perawat ruangan pasien kecenderungan pasien untuk mengalami kekambuhan
lebih dikarenakan kerena kurang memiliki pengetahuan tentang manfaat obat dan dosis
minum obat, sehingga mengakibatkan kekambuhan kembali.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi
dengan pendekatan Cross Sectional. Penelitian ini akan mengukur hubungan kepatuhan
minum obat sebagai variabel bebas dan periode kekambuhan sebagai variabel terikat.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien jiwa yang mengalami skizofrenia: halusinasi di
Ruang Rawat inap Rumah Sakit Jiwa Prof Dr. Soeroyo Magelang. Dimana populasi yang
akan diteliti berjumlah 113 pasien dan jumlah sampel 88 responden dengan teknik random
sampling.

55
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambaran Karakteristik Responden
Umur
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Umur Frekuensi Persentase (%)


Dewasa dini 51 58,0
Dewasa madya 35 39,8
Dewasa lanjut 2 2,3
Total 88 100,0

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai


umur kategori dewasa dini (21-40 tahun) yaitu sebanyak 51 responden (58,0%), dewasa
madya (41-60 tahun) yaitu sebanyak 35 responden (39,8%) dan dewasa lanjut (> 60 tahun)
yaitu sebanyak 2 responden

Jenis Kelamin
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)


Laki-laki 39 44,3
Perempuan 49 55,7
Total 88 100,0

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin


perempuan (55,7%) sebagian kecil laki-laki (44,3%)

Pendidikan

Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Pendidikan Frekuensi Persentase (%)


Tidak Sekolah 9 10,2
Lulus SD 32 36,4
Lulus SMP 19 21,6
Lulus SMA 24 27,3
PT 4 4,5
Total 88 100,0
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan
lulus SD (36,4%) sebagian kecil PT (4,5%)

56
Pekerjaan

Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)


Petani 16 18,2
Buruh 10 11,4
Wiraswasta 23 26,1
PNS 1 1,1
Swasta 26 29,5
Tidak bekerja 12 13,6
Total 88 100,0

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan


Pekerjaan Swasta (29,5%) sebagian kecil PNS (1,1%)

Frekuensi Perawatan Kembali

Tabel 5
Distribusi frekuensi Dirawatnya Kembali Pasien Selama Satu Tahun di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Dirawat Frekuensi Persentase (%)


1 kali 13 14,8
2 kali 21 23,9
3 kali 36 40,9
>3 kali 18 20,5
Total 88 100,0

Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan frekuensi


perawatan kembali 3 kali (40,9%) sebagian kecil dengan frekuensi perawatan kembali 1
kali (14,8%)

Lama Pasien Mengalami Gangguan Jiwa

Tabel 6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Pasien Mengalami Gangguan Jiwa di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Lama gangguan Frekuensi Persentase (%)


<1 tahun 21 23,9
1-5 tahun 50 56,8
6-10 tahun 14 15,9
>10 tahun 3 3,4
Total 88 100,0

57
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar Lama Pasien Mengalami
Gangguan Jiwa responden dengan frekuensi 1-5 tahun (56,8%) sebagian kecil Lama Pasien
Mengalami Gangguan Jiwa responden dengan frekuensi > 10 tahun (3,4%)

Periode Kambuh
Tabel 7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Periode Kambuh di Rumah Sakit Jiwa Prof.
Dr. Soeroyo Magelang

Periode kambuh Frekuensi Persentase (%)


<1 tahun 43 48,9
1-5 tahun 39 44,3
6-10 tahun 5 5,7
>10 tahun 1 1,1
Total 88 100,0

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar periode kambuh responden


< 1 tahun (48,9%) sebagian kecil periode kambuh responden > 10 tahun (1,1%).

Analisis Univariat
Kepatuhan Minum Obat
Tabel 8
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum Obat di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Kepatuhan Frekuensi Persentase (%)


Kurang 48 54,5
Cukup 31 35,2
Baik 9 10,2
Total 88 100,0

Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar kepatuhan minum obat


responden kurang (54,5%) sebagian kecil kepatuhan minum obat responden Baik (10,2%)

Periode Kekambuhan
Tabel 9
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Periode Kekambuhan di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Periode Kekambuhan Frekuensi Persentase (%)


Berat 67 76,1
Ringan 21 23,9
Total 88 100,0

Berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar periode kekambuhan


responden berat (76,1%) sebagian kecil periode kekambuhan responden ringan (23,9%).

58
Analisis Bivariat
Tabel 10
Tabulasi Silang Kepatuhan Minum Obat dengan Periode Kekambuhan pada Pasien
Skizofrenia: Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang

Periode Kekambuhan
Total
Kepatuhan Berat Ringan
f % f % f %
Kurang 42 87,5 6 12,5 48 100,0
Cukup 22 71,0 9 29,0 31 100,0
Baik 3 33,3 6 66,7 9 100,0
Total 67 76,1 21 23,9 88 100,0
p value = 0,002  =12,943
2

Berdasarkan Uji statistik dengan Chi Square didapatkan p value=0,002. Karena p


value lebih kecil dari 0,05 maka Ho ditolak dan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
signifikan antara kepatuhan minum obat dengan periode kekambuhan pada pasien
skizofrenia: halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang.

Pembahasan
Analisis Univariat
Gambaran Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia: Halusinasi
Dari 88 responden yang kepatuhannya kurang sejumlah 48 responden (54,5%),
kepatuhan cukup sejumlah 31 responden (35,2%) dan kepatuhan baik sejumlah 9
responden (10,2%). Responden yang kepatuhannya kurang merupakan tindakan negatif
oleh responden dalam menyelesaikan pengobatan bulan sesuai anjuran dan prinsip
pengobatan pasien skizofrenia. Responden yang tidak patuh minum obat akan
menimbulkan ketidaksembuhan dan beresiko meningkatkanya periode kekambuhan
penyakit. Bahwa tidak patuh minum obat bukan hanya tidak menyembuhkan penderita
tetapi juga menyebabkan kegagalan terhadap kesembuhan, karena kesembuhan penderita
sangat ditentukan oleh kepatuhan minum obat.
Responden yang tidak selesai melaksanakan pengobatan dipengaruhi oleh faktor-
faktor tertentu seperti faktor internal maupun eksternal seperti keadaan geografis,
pendidikan, sikap, motivasi maupun kepercayaan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Friedman (2003), dengan jumlah obat, motivasi atau dukungan keluarga yang diterapkan
secara bersama dimana efek samping yang ada merupakan dimensi spritual yang dapat
mempengaruhi terhadap pola-pola perilaku seseorang dalam menjalankan kehidupan.
Penyebab pasien skizofrenia tidak teratur memakan obat adalah karena adanya
gangguan realitas dan pasien tidak mampu untuk mengambil keputusan. Hospitalisasi yang
lama memberi konsekuensi kemunduran pada pasien yang ditandai dengan hilangnya
motivasi dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari kegiatan dan hubungan sosial,
kemampuan dasar sering terganggu, seperti perawatan mandiri dan aktifitas hidup seharian
(ADL). Karenanya pentingnya keluarga berperan dalam memberikan dukungan, motivasi,
semangat untuk merawat pasien gangguan jiwa agar pasien teratur dalam melaksanakan
terapi untuk kesembuhan pasien tersebut.

Gambaran Periode Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia: Halusinasi


Hasil penelitian didapatkan sebagaian besar pasien mengalami periode kekambuhan
yang berat yaitu sebanyak 67 responden (76,1%) dan yang mengalami periode
kekambuhan ringan ada 21 responden (23,9%). Dari jumlah pasien yang mengalami

59
kekambuhan dapat digambarkan responden yang mengalami periode kekambuhan < 1
tahun sejumlah 43 responden (48,9%), yang mengalami periode kekambuhan 1-5 tahun
sejumlah 39 responden (44,3%), yang mengalami periode periode kekambuhan 6-10 tahun
sejumlah 5 responden (5,7%), dan yang mengalami periode kekambuhan > 10 tahun
sebanyak 1 responden (1,1%).
Periode kekambuhan pasien skizofrenia: halusinasi dalam penelitian ini,
menunjukkan bahwa 48,9% pasien yang kontrol ke poliklinik pernah mengalami
kekambuhan kurang dari 1 tahun. Hal ini sesuai dengan teori, Direja (2011), skizofrenia
merupakan gangguan psikiatri yang menimbulkan disabilitas yang cukup luas, serta
dicirikan oleh suatu siklus kekambuhan dan remisi. Indikator terjadinya kekambuhan yaitu
ketika pasien dalam fase prodormal. Fase prodormal ditandai dengan kemunduran pada
pasien dalam tingkat fungsi perawatan diri, interaksi sosial, memanfaatkan waktu luang,
gangguan hubungan interaksi di pekerjaan, atau akademik, timbul gejala positif (waham,
halusinasi, bicara tidak teratur, dan kekacauan yang menyeluruh) dan negatif (apatis,
alogia, afek datar, afek tumpul, anhedonia, katatonia, tidak memiliki kemauan), periode
kebingungan pada pasien dan keluarga (Videbeck, 2008). Periode kekambuhan secara
positif berhubungan dengan beberapa kali masuk rumah sakit, lamanya dan perjalanan
penyakit pasien skizofrenia: halusinasi. (Wirnata, 2009)

Analisa Bivariat
Hubungan antara kepatuhan minum obat dengan periode kekambuhan
Berdasarkan analisis data diketahui bahwa responden yang kepatuhannya kurang dan
periode kekambuhan berat sejumlah 42 orang (87,5%) lebih besar dibandingkan dengan
responden yang kepatuhannya baik yaitu 3 orang (33,3%). Uji Chi Square didapatkan p
value = 0,002 ≤ 0,05 sehingga ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat
dengan periode kekambuhan pada pasien skizofrenia: halusinasi di RSJ Prof. Dr. Soeroyo
Magelang.
Berdasarkan hasil analisis antara kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pada
pasien skizofrenia. Pasien yang mengalami periode kekambuhan berat lebih banyak terjadi
pada pasien dengan kepatuhan minum obat yang kurang yaitu sejumlah 87,5%,
dibandingkan pasien dengan kepatuhan cukup (71,0%) dan kepatuhan baik (33,3%).
Kepatuhan merupakan pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh perawat,
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Kepatuhan minum obat adalah sikap dan perilaku
pasien gangguan jiwa yang ditunjukkan terkait dengan pengobatan yang dijalani,
kepatuhan minum obat ini dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan pasien gangguan
jiwa tentang manfaat dan efek samping obat yang diminum serta baik atau tidaknya
dukungan yang diberikan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa. Semakin baik
dukungan keluarga yang diberikan maka akan semakin baik, tingkat kepatuhan pasien
gangguan jiwa tersebut dalam minum obat. Kepatuhan minum obat yang tinggi akan
menurunkan resiko kekambuhan bagi pasien gangguan jiwa.
Ketidakpatuhan terhadap minum obat merupakan masalah utama dalam pengobatan
dan menyebabkan kekambuhan, sehingga memicu munculnya gejala positif dan negatif
skizofrenia. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dalam minum obat yaitu
kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya tentang pentingnya
mengikuti aturan pengobatan yang di tetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya
memperoleh obat diluar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan
kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat
itu kepada pasien. (Hawari, 2006)

60
SIMPULAN DAN SARAN
Sebagian besar responden mempunyai kepatuhan minum obat yang kurang yaitu
sebanyak 48 responden (54,5%), sebagian besar responden mengalami periode
kekambuhan yang berat yaitu sebanyak 67 responden (76,1%), uji Chi Square didapatkan
ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan periode kekambuhan
pada pasien skizofrenia: halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang
dengan p value =0,002 ≤ 0,05.
Bagi Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soeroyo Magelang diharapkan dapat meningkatkan
hubungan kesehatan jiwa masyarakat dengan peningkatan pelayanan pasien skizofrenia,
perlu adanya upaya controling atau pemantauan kembali dengan (home visit) sebagai
upaya pelayanan yang komperhensif dan optimal dari rumah sakit jiwa dalam menangani
kasus-kasus pasien skizofrenia.

DAFTAR PUSTAKA

Andri. (2008). Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treathment Gap For
Schizophrenia.

Direja, A.H.S. (2011). Buku Ajar Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Yogyakarta: Nuha
Medika

Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. (2009). Pengertian Obat & Sejarah Obat Generik
http://kuliahitukeren./2011/01/pengertian-obat.html (diperoleh tanggal 09 April
2015).

Fitria. (2010). Permasalahan Pasien Skizorfenia


http://www.google.com/permasalahan/skizofrenia/dengan.pasien/skizofreniapdf&so
urcewww.library.upnvj.ac.id.bmk (diperoleh tanggal 05 April 2015).

Hawari, D. H. (2006). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Edisi


Kedua, Jakarta : FKUI.

Iskandar. (2007). Serangan Skizofrenia Akut. <http: //Serangan Skizofrenia Akut


wordpress.com> (diperoleh tanggal 04 Maret 2013 pukul 12.35 WIB).

Kusumawati, Farida & Yudi Hartono. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

Maslim, Rusdi. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ-III). Jakarta: Nuh
Jaya
Stuart, G. W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari Pocket Guide to
Psychiatric Nursing Alih bahasa Kapoh. Jakarta: EGC

Sugiyono, Prof.Dr. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
CV. Alfabeta

Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (terjemah). Cetakan I. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

61
Wirnata, M. (2009). Kekambuhan. retrived july 26, 2009 Http://wir-
nursing.com/2009/07/kekambuhan.html. (diperoleh tanggal 30 Mei 2015).

WHO.(2003).Penyebab-Kambuhnya-Pasien-Gangguan-jiwahttp://doktersehat.com/
(diperoleh tanggal 08 Maret 2015 pukul 16:00 WIB).

WHO.(2009). Pengertian Obat. http://beautypharmacist.com/2009/12/pengertian-obat-


menurut-who.html. (diperoleh tanggal 09 April 2015).

Yosep, Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.

62

Anda mungkin juga menyukai