Anda di halaman 1dari 26

BAB II

SAUJANA DALAM PERKEMBANGAN KOTA PUSAKA

2.1 Interaksi Manusia terhadap Alam dalam Teori Saujana


Interaksi masyarakat di dalam lingkungan alamnya dengan budayanya
dijelaskan dalam ranah keilmuan cultural landscape (Plachter dan Rossler, 1994;
UNESCO, 1994) yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan saujana atau
pusaka saujana (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, 2003). Pusaka saujana di
Indonesia dijelaskan sebagai gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam
kesatuan ruang dan waktu (Indonesia Charter for Heritage Conservation 2003),
yang awalnya disepakati oleh beberapa ahli bahasa dengan para penggiat pusaka
dengan istilah pusaka saujana budaya. Saujana merupakan pembentukan dari
beberapa kekuatan antara lain fisik alamnya, kultur dan sejarah unik yang ada pada
waktu dan tempat tertentu (Hough, 1990). Saujana mengkaitkan lingkungan
dengan kegiatan manusia yang dibentuk oleh aspek ekologi, sosial ekonomi dan
pola budayanya (Droste, 1995; Egan, 2003; Farina, 2000; Fowler, 2000; Hough,
1990; Konold, 2007; Longstreth, 2008).

Ilmu yang menjelaskan tentang saujana pada awalnya menjadi suatu


perdebatan karena dianggap tidak mewakili masyarakat kelas atas, khususnya pada
era awal tahun 1900an, saat para ilmuwan landsekap menjelaskan hubungan
landsekap dengan sejarah dan budayanya. Landsekap seringkali hanya dipahami
sebagai produk, bukan sebagai proses dan dianggap sekedar panorama dengan
bentang alamnya (Wilson dan Groth, 2003). Oleh karena itu hanya dipahami
sebagai bentang alam berupa fisik tanpa ada kehidupan masyarakatnya (Robertson
dan Richards, 2003).

Carl O Sauer, seorang ahli geografi yang menjadi tokoh saujana dengan ide
yang dicetuskan mulai tahun 1920an, mengemukakan bahwa saujana dibentuk oleh
sekelompok budaya dengan budaya sebagai pengantar manusia untuk melakukan
kegiatan di alam (Sauer, 1995). Saujana merupakan gambaran evolusi kehidupan
manusia dari waktu ke waktu (World Heritage Committee, 1992).

16
UNESCO (1991) menjelaskan tentang saujana dalam Droste dan Plachter
(1995) berdasarkan pada diskusi-diskusi tahun 1985 yang menekankan pada
interaksi manusia dan lingkungan alamnya. ICOMOS (2007) menjelaskan bahwa
saujana merupakan pemahaman pemikiran manusia terhadap alamnya yang
memiliki kemampuan dalam membaca cara hidup masyarakat dari waktu ke waktu.
Saujana merupakan kombinasi antara alam dan manusianya, yang mampu
menggambarkan evolusi kehidupan manusia dan tempat tinggalnya sepanjang
waktu, dibawah pengaruh peristiwa alam. Pada tahun 2008, ditekankan mengenai
keragaman manifestasi interaksi antara manusia dan lingkungan alamnya
(ICOMOS, 2008).

Secara khusus, dalam dokumen ICOMOS (2008) tersebut dijelaskan


beberapa istilah Cultural landscape, antara lain :

a. Head, 2000 yang menguatkan paham Sauerian dengan melihat saujana


dalam berbagai dimensi termasuk material dan simbolisnya;
b. Duncan dan Duncan, 1988 yang menegaskannya sebagai suatu transformasi
sosial dan ideologi politik ke dalam bentuk fisik;
c. Stratford, 1999 yang menuliskan bahwa landsekap membangun budaya
manusianya karena manusia beraktifitas dan berbudaya di lingkungan
tempat tinggalnya;
d. Selman, 2006 yang menjelaskan sebagai suatu wilayah yang dirasakan
manusia yang berada di dalamnya, yang disebabkan oleh faktor manusia
dan lingkungannya.

Saujana merupakan bagian dari transformasi alam yang dihasilkan dari


adanya tindakan manusia dengan konsep-konsep tertentu yang mampu
menunjukkan interaksi dan makna simbolik didalamnya (Fowler, 2000; Brandt,
2000). Tindakan yang dilakukan manusia ditujukan untuk menghasilkan ruang
yang dianggap lebih baik dari sebelumnya (Birks, 1988; Dodge, 1951).

17
Keyakinan atau cara pandang masyarakat akan sangat mempengaruhi
dalam pembentukan alam yang selalu berkembang dan dipengaruhi oleh budaya
(Gambar 2.1). Budaya dengan sistem keyakinannya sebagai pertimbangan
manusia dalam melakukan tindakan terhadap alam dengan proses berikutnya
menjadi bagian dari perubahan bentuk alam, ruang dan atau kawasan yang
akhirnya membentuk budaya masyarakat tertentu. Perkembangan budaya
masyarakat dan bentuk alam akan selalu terjadi dan menjadi proses yang unik
sebagai bentuk dari adanya interaksi manusia dengan alamnya untuk mencapai titik
keseimbangan yang dipengaruhi oleh waktu dan ruang.

Gambar 2.1. Konsep Saujana


(Sumber : Utami & Ikaputra, 2009)

Tanpa ada pengaruh sistem budaya yang diyakini oleh sekelompok


manusia, tidak bisa dikatakan sebagai cultural landscape (saujana) yaitu interaksi
manusia. Seperti dijelaskan dalam Sauer (1995) bahwa sistem budaya adalah agen
dan cultural landscape adalah hasil atau produknya yang diperjelas oleh Fowler
18
(2000) dan Buggey (2000) terkait dengan budaya tertentu yang preference dan
unik dari suatu komunitas tertentu atau bisa dikatakannya dengan budaya-budaya
tertentu. Sistem budaya yang selalu berproses akan membentuk saujana dengan
tetap didasarkan pada perubahan yang kemungkinan terjadi akibat adanya
perubahan sistem budaya yang cendrung selalu berubah. Budaya yang dimiliki
namun tidak diyakini, tidak akan dapat membentuk kegiatan yang menghasilkan
ruang.
Salah satu daerah di Indonesia yang sudah disepakati UNESCO dan The
World Heritage Committee di St. Petersburg, Rusia pada tanggal 29 Juni adalah
Bali dengan judul dokumen Cultural Landscape of Bali Province: The Subak
System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy. Filosofi Tri Hita
Karana Tri Hita Karana membentuk suatu saujana seluas 19.500 Ha di Bali
dengan konsep Subak-nya, yaitu sebuah sistem pengelolaan air dengan pengaturan
kanal dan bendungan yang sudah berkembang sejak abad 9 yang meliputi Pura
Taman Ayun.

2.2 Budaya sebagai Pengantar Manusia Melakukan Tindakan terhadap Alam

Alam berkembang dipengaruhi oleh budaya. Bahkan secara tegas


dikatakan alam adalah budaya dan budaya adalah alam, dengan memposisikan
masyarakat yang berada di dalamnya (Giblett, 2009). Budaya memberikan makna
pada suatu tempat kehidupan sebagai hasil dari interaksi manusia terhadap alamya
dengan budaya sebagai pengantar manusia melakukan tindakan (Sauer, 1995) yang
akan mempengaruhi perkembangan ruang (Rapoport, 1969; Lang, 1982; Rapoport,
1992).

Refleksi atas kondisi alam yang sudah ada menjadi pertimbangan utama
dalam melakukan suatu tindakan (Rapoport, 1992; Russel and Veitch, 1995).
Kegiatan merupakan perwujudan tindakan manusia yang dipengaruhi oleh
keyakinan dan pandangan hidupnya (Fowler, 2000; Longstreth, 2008; Rapoport,
1969).

19
―…… The cultural landscape is fashioned out of a natural
landscape by culture group. culture is the agent, the natural are is
the medium, the cultural landscape the result (Sauer, 1995: 309)‖

Pernyataan Sauer (1995: 309) tersebut menjelaskan adanya keterkaitan


antara budaya dan alam. Budaya telah membentuk lingkungan baru yang
membutuhkan proses yang sangat panjang (Buggey, 2000; Fowler, 2000; Brown
dan Mitchell, 2005). Pemikiran dan budaya yang berbeda terkadang akan
memunculkan konflik lingkungan yang kemudian akan berkembang dalam
pemikiran dan budaya yang baru. Manusia membentuk tempat tinggalnya dan
tempat berkegiatan dengan budaya atau cara pandang yang ada (Brandt dan
Hassan, 2000; Brown, 2005; Sirisrisak, 2009).

Perkembangan pemikiran dan perilaku akan membentuk lingkungan yang


dianggap lebih baik dengan periode waktu tertentu (Birks, 1988). Lingkungan
berubah yang diikuti dengan perubahan kegiatan yang ada di dalamnya (Hough,
1990; Rapoport, 1977; Russell Veitch, 1995). Budaya menghuni (living cultures)
tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan perkembangan pemikiran
masyarakat dalam menyikapi alam sebagai ruang geraknya (Bernd, 1995). Ruang
sebagai hasil dari budaya masyarakat dijelaskan juga sebagai suatu produk yang
selalu berjalan seiring dengan pemikiran manusia (Lefebvre, 1991). Pemikiran
tersebut sangat mempengaruhi penggunaannya (Dodge, 1951; Longstreth, 2008).
Budaya berbeda akan menghasilkan tindakan yang berbeda pada alam
(Hough, 1991; Rapoport, 1992) yang menunjukkan adanya proses kehidupan.
Ruang-ruang fisik terbentuk adanya budaya dengan adanya proses budaya yang
selalu berkembang (Russell Veitch, 1995). Kondisi fisik yang telah terbentuk
dalam ruang-ruang tersebut membentuk keyakinan yang akan mendasari pada
perkembangan selanjutnya (Fowler, 2000).

20
2.3 Saujana Dalam Teori Perkembangan Kota Pusaka
2.3.1 Kota sebagai embrio yang selalu berkembang
Kota sebagai hasil interaksi manusia dengan alamnya akan selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan pemikiran manusia sebagai
pengguna ruang (Kostof, 1991; Madanipour,1996). Cara pandang, kepercayaan
dan kebiasaan menjadi beberapa aspek yang mempengaruhinya (Rapoport,1969;
Lang,1987; Veitch&Arkkelin,1995).

Kota selalu memulai dari kelahiran yang akan selalu tumbuh besar
dilatarbelakangi banyak aspek (Yunus, 2006). Kota dilahirkan sebagai embrio
yang akan selalu hidup dan berkembang seperti layaknya mahluk hidup. Diawali
dengan lahirnya janin yang ditandai dengan munculnya beberapa elemen utama,
elemen-elemen tersebut kemudian berkembang dengan munculnya elemen lainnya
yang membuat kota semakin tumbuh menjadi kota secara lengkap (Rossi,1982;
Papageorgeou,1969). Jika berbicara pertumbuhan atau perkembangan suatu kota
maka harus membicarakannya sebagai suatu kesatuan yang utuh (whole). Selain
itu juga harus berbicara tentang kelahiran, keaslian bentuk serta keberlanjutan
yang akan selalu menyertai pertumbuhan dan perkembangannya (Alexander,1987;
Mumford,1961).

Peradaban kota akan mengalami perkembangan selayaknya sebuah


organisme yaitu mengalami tahap lahir, berkembang, menurun dan akhirnya bisa
mati yang dikenal dengan six stage theory (Mumford,1961). Teori Nine- Stage
menceritakan tahapan demi tahapan yang diawali dengan tahapan terbentuknya
hunian tunggal sampai tahapan terbentuknya megapolis (Whynnne-Hammond
dalam Yunus,2006). Kota sebaiknya tumbuh dalam bentuk organik karena kota
bukanlah sebagai mesin yang akan berhenti pada tahap tertentu (Alexander,
1987). Oleh karena itu, kota organik membutuhkan suatu dasar yang kuat untuk
dijadikan acuan pada pola pertumbuhan berikutnya. Kota yang berkembang
secara organik akan menjadikan lingkungan binaannya lebih adaptif terhadap
kebutuhan masyarakat dan kebutuhan ruangnya (Alexander, 1987).

21
Kawasan bersejarah mempunyai peranan penting dalam perkembangan
kawasan yang disebutkan dengan historical building dan collective memory
(Rossi, 1982), fixed element (Rapoport, 1982) dan historic urban centers
(Papageorgeou, 1969), yang kesemuanya memaparkan bahwa dalam suatu kota
selalu diawali dengan tempat- tempat yang menjadi inti di kemudian hari. Inti
kota yang nantinya akan disebut dengan kawasan bersejarah akan menjadi
panduan perkembangan elemen-elemen kota di tahap berikutnya. Pada umumnya
kawasan bersejarah merupakan kawasan yang mempunyai karakter yang berbeda
yang nantinya bisa dijadikan arahan di masa yang akan datang (Asworth, 1991).

Menggambarkan suatu kawasan dapat dilakukan dengan konsep solid,


void dan linkage untuk menggambarkan suatu kawasan atau kota (Trancik, 1986).
Penggambaran ini terkait dengan tempat berkegiatan dalam bentuk solid
(bangunan), tempat beraktifatas di ruang terbuka (void) dan jalur yang
menghubungkan satu tempat dengan tempat yang lain (linkage). Collective
memory (Rossi, 1982) menjadi pertimbangan mendasar dalam pengembangan
wilayah kota. Collective memory dapat dijadikan penggambaran ruang kota yang
dibangun dan pencitraan kota. Collective memory suatu kawasan bisa
menggambarkan kenangan-kenangan yang mampu menghadirkan banyak cerita
dan banyak sejarah yang melingkupinya (Rossi, 1982). Dijelaskan lebih lanjut
oleh Rossi (1982); Alexander (1987) dan Papageorgeou (1969) bahwa kota yang
mempunyai karakter yang diikuti dengan perkembangan yang sesuai dengan
karakternya secara organik dengan beberapa perubahan yang terjadi akan
mempunyai tingkat kontinuitas yang tinggi.

Satu kota dimungkinkan mempunyai beberapa embrio sekunder. Embrio


sekunder ini merupakan lanjutan atau pengembangan dari embrio primer atau
embrio awal. Kawasan yang menjadi acuan dalam pengembangan kota
selanjutnya disebut dengan kawasan generator (Rossi, 1982). Kawasan generator
bisa berupa solid dan void. Kawasan embrio-embrio sekunder pada umumnya
menjadi daerah-daerah penghubung hinterland-nya. Kawasan sub-urban dalam
pengembangannya juga bisa menjadi embrio untuk daerah pengembangannya.

22
2.3.2 Pertumbuhan dan perkembangan kota

Kota yang menarik adalah kota yang berkarakter (Asworth, 1991).


Perubahan suatu kawasan dan sebagian kota dipengaruhi letak geografis dan
kondisi fisiknya. Kondisi geografis menentukan arah perkembangan dan
pertumbuhan kota, dan seringkali menjadi pertimbangan utama dalam menentukan
pola pergerakannya (Gallion, 1993). Kota merupakan artefak yang mampu
menceritakan setiap proses yang telah dijalani baik melalui ruang maupun waktu
(Kostof, 1991; Papageorgeou, 1987) yang akan selalu berubah dan berkembang
dengan pertimbangan banyak aspek. Hough dalam bukunya Out of Places,
mengatakan kota merupakan gabungan dari bentukan fisik dan budaya yang
keduanya mempunyai identitas yang unik (Hough, 1990).

Kota akan berkembang seiring dengan waktu menurut budaya, waktu,


politik dan kepercayaan atau cara pandang yang dianut di setiap periode waktu
(Kostof, 1991). Perubahan kota terjadi secara organik (Alexander, 1987) yang
berarti bahwa kota tumbuh secara bertahap mengikuti kebutuhan sosial, ekonomi,
budaya serta politik yang terjadi di setiap tahapan.

Sejarah ikut membatasi lingkup perkembangan kota. Sejarah merupakan


identitas diri suatu kota, yang jika bagian bersejarah kota ditinggalkan dan
berganti identitas baru maka akan muncul sejarah baru yang menyertainya (Rossi,
1982; Alexander, 1969; Rapoport, 1982). Christine Boyer dalam The City of
Collective Memory (1994) dalam Collective amnesia and individual memory: The
Dissolving Colonial City in The 19th Century (Diane Brand, 2006) menceritakan
tentang kota yang membutuhkan seni dalam mengatur kerangkanya dengan
menggunakan latar belakang sejarah kotanya.

Perkembangan kota yang dilakukan secara bertahap dan bermakna akan


dapat dinikmati oleh semua orang sebagai suatu serial perubahan (Alexander,
1987; Kostof,1991; Rossi, 1982). Rossi (1982) mengacu pada teori permanensi
dari Poete dan Lavedan melihat kota sebagai sejarah, yang terdiri atas dimensi
waktu masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Collective memory digunakan
untuk menjelaskan bahwa di tengah-tengah perubahan suatu kota, masih dapat
23
menyaksikan kehadiran nilai-nilai lama di masa kini (Rossi, 1982). Suatu kota
yang mempunyai sejarah, pasti memiliki historic urban centers yang merupakan
kawasan atau bagian kota yang memiliki nilai sejarah yang sampai saat ini masih
tetap ada dengan bentuk yang asli dan merupakan pembentuk struktur kota
(Papageorgeou, 1969).

2.4 Kota Pusaka sebagai Hasil Karya Manusia dan Perkembangannya

Heritage, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pusaka. Pusaka


adalah sesuatu yang mempunyai arti pada kehidupan masa lalu baik yang
berbentuk fisik maupun non fisik yang saat ini dapat menjadi bagian dari
kehidupan (Asworth dkk, 2007; Jokilehto,1999). Asworth (1995) juga menuliskan
bahwa pusaka adalah sesuatu yang terkait dengan hasil budaya manusia yang
terjadi di masa lalu yang mempunyai makna. Pusaka adalah refleksi yang terjadi
pada masa lalu. Pusaka tidak akan berarti jika tidak ada keterkaitan dengan
kehidupan saat ini dan berkembangnya juga karena adanya kehidupan (Asworth
dkk, 2007). Menurut ICOMOS Canada (1982) pusaka merupakan kombinasi
kegiatan, alam dan manusia dalam ruang dan waktu. Pusaka terkait dengan waktu
dan proses yang sangat panjang dan bermakna dalam suatu budaya, lingkungan
dan manusia (Rug, 2007; Whelan, 2007). Sehingga bisa dijelaskan bahwa pusaka
merupakan interaksi manusia pada masa lalu dengan masa kini terhadap
lingkungan tempat tinggalnya dan menempatkannya sebagai sarana yang
menghubungkan masa lalu dengan jaman modern (Asworth, 1995).

Pusaka pada awalnya hanya diperuntukkan monumen bersejarah dan harus


dalam bentuk fisik, namun seiring dengan waktu definisinya mengalami
perkembangan. Walaupun sudah dibahas sejak 6 M dengan Anthiquity, The
Theoderic The Great (455-526 M) yang merujuk pada beberapa pusaka dunia
(Jokilehto, 2005), langkah awal abad modern dimulainya pembicaraan tentang
pusaka yaitu pada tahun 1931 saat dikeluarkannya piagam Athena (Athena
Charter). Athena charter, berfokus baru pada monumen saja, merupakan hasil
dari The First International Congress of Architects and Technician of Historic
24
Monuments di Athena tahun 1931. Kongres ini mengemukakan pentingnya
kesinambungan sejarah khususnya pada monumen bersejarah yang mampu
memberikan karakter dan nilai yang lebih dengan cara melindunginya. Setiap
monumen diberlakukan kebijakan perlindungan yang berbeda karena menyangkut
nilai itu sendiri dan pengaruh pengambil kebijakan setempat. Masing-maing
negara mempunyai tanggung jawab dalam perlindungan monumen bersejarah
dengan menyesuaikan budaya yang berkembang dengan melibatkan para ahli.
Sementara itu perlu dilakukan sosialisasi pentingnya perlindungan monumen
bersejarah di dalam lingkungan pendidikan yaitu kepada anak-anak dan generasi
mudanya.

Berbeda dengan Athena Charter, dalam Venice Charter memandang lebih


luas tentang pusaka yaitu perlindungan bangunan dan lingkungan tapak
(Monuments and sites). Piagam ini merekomendasikan bahwa konsep monumen
bersejarah (hitoric monument) lingkupnya tidak hanya sebatas bangunan itu saja
namun menyangkut skala urban atau minimal lingkungan tapak terkecilnya.
Prinsip dasar tersebut bermula dari Athena Charter 1931 yang disokong
perkembangan yang lebih luas. Venice Charter, 1964 merupakan hasil dari The
nd
2 International Congress of Architect and Technicians of Historic Monument
yang diadakan di Venice tangal 25 – 32 Mei 1964. Masyarakat semakin
menyadari akan kesatuan manusia dengan lingkungan dan pemahaman tentang
bangunan-bangunan bersejarah kuno.

Kedua piagam, Athena Charter dan Venice Charter, secara prinsip


menunjukkan pentingnya melakukan perlindungan dan pelestarian monumen dan
lingkungan tapak serta metode-metode yang harus dilaksanakan. Penekanan hanya
pada melindungi untuk menyelamatkan hasil karya seni yang mempunyai nilai
sejarah pada monumen dan tapaknya.

Di Amsterdam tanggal 21 – 25 Oktober 1975 diselenggarakan European


Architectural Heritage yang mengadopsi dari kegiatan Council of Europe Charter
(Architecture Heritage). Dasar pelaksanaan ini adalah “European Cultural
Convention” yang dilaksanakan tanggal 19 Desember 1954 dan The Preservation
25
and Rehabilitation of The Cultural Heritage of Monuments and Sites yang
dilaksanakan di Brusel tahun 1969. Ada beberapa konsep yang penting dalam
European Architectural Heritage, bahwa pusaka berfokus pada kehidupan yang
menyertai, tidak hanya terdiri dari monumen saja, namun juga termasuk
sekelompok bangunan dan desa yang berkarakteristik dalam seting alamiah dan
buatan. Tanpa lingkungan tidak akan berarti suatu bangunan yang berdiri tegak.
Perubahan peradaban yang secara cepat terjadi beresiko tinggi terhadap pusaka
yang harusnya dilindungi dan dipelihara. Kongres ini mempertimbangkan masa
depan pusaka yang sebagian besar merupakan pengintegrasian masyarakat di
dalam suatu lingkungan urban yang akan merupakan beban berat bagi pengambil
kebijakan dalam perencanaan pengembangan kota. Pusaka merupakan sesuatu
yang terpadu, yang mempunyai nilai baik dari segi spiritual, budaya, sosial dan
nilai ekonominya.

Mempertimbangkan Venice Charter, 1964 dan Resolution of 5th General


Asembly of ICOMOS (Mocow, 1978), Burra Charter merupakan hasil dari
ICOMOS Australia tanggal 19 Agustus 1979 di Burra, Autralia Selatan yang
kemudian direvisi tanggal 23 Febuari 1981, 23 April 1988 dan 26 Nopember 1999.
Burra Charter terkait dengan tempat-tempat yang mempunyai signifikansi budaya.
Signifikansi budaya adalah nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial dan spiritual
untuk generasi dahulu, sekarang dan masa yang akan datang. Ada beberapa
definisi yang dimuat di dalamnya, antara lain :
 place (tempat) yang diartikan sebagai tapak, area, bangunan atau karya
desain, kelompok bangunan atau hasil lain yang mempunyai keterikatan
dengan lingkungannya;
 cultural significance (signifikansi budaya) adalah bernilai estetika, sejarah,
ilmu pengetahuan atau sosial untuk generasi masa lalu, sekarang dan masa
mendatang;
 conservation (konservasi) adalah proses memelihara suatu tempat dari
signifikansi budaya;

26
 maintenance (pemeliharaan) adalah mempertahankan secara berkelanjutan
suatu tempat.
Di dalam Burra Charter juga dijelaskan secara detail tentang prinsip-prinsip
conservation (konservasi), preservation (preservasi), restoration (restorasi),
reconstruktion (rekonstruksi) dan adaption (pengurangan).

Pada tanggal 21 Mei 1981 ICOMOS-IFLA International Committee for


Historic Gardens, bertemu di Florence, dengan memutuskan tentang preservasi
taman-taman bersejarah yang nantinya berubah menjadi perkotaan. Definisi
taman-taman bersejarah (Historic Garden) menurut Florence Charter adalah :

 komposisi arsitektural dengan ruang terbukanya yang mempunyai


karakteristik sejarah yang menarik publik atau dari sisi point of view-nya;
 komposisi arsitektural yang unsur utamanya vegetasi dan kehidupan, yang
seimbang antara pergantian musim, pertumbuhan dan kerusakan alam oleh
pelaku yang harus tetap dijaga kelangsungannya.

Historic garden meliputi taman yang kecil, besar atau bahkan merupakan
suatu landscape. Adapun komposisi arsitektural dari taman-taman bersejarah
meliputi perencanaan dan topografinya, vegetasinya, termasuk spesies, proporsi,
skema warna, jarak dan tingginya masing-masing; karakteristik struktur dan
dekorasinya serta airnya, proses yang mencerminkan langit.

Washington Charter, 1987 berkonsentrasi pada area perkotaan bersejarah,


besar dan kecil termasuk kota, kota kecil dan pusat-pusat atau kawasan bersejarah
serta lingkungan alam dan buatan termasuk nilai budaya perkotaan tradisional.
Washington Charter on The Conservation of Historic Town and Urban Areas
merupakan hasil studi selama 12 tahun yang kemudian pada bulan Oktober 1987
dibahas di tingkat internasional. Pelaksanaannya konservasi area perkotaan
bersejarah harus terintegrasi dengan perkembangan politik, ekonomi dan sosial
dalam level. Elemen-elemen area bersejarah yaitu :

27
 urban pattern yang didefinisikan dengan bangunan dan jalan;
 hubungan antara bangunan, taman dan ruang terbuka;
 interior dan eksterior dari bangunan-bangunan yang dilihat dari skala,
ukuran, style, konstruksi, bahan, warna dan dekorasinya;
 hubungan antara perkotaan dan kota dan setting lingkungannya baik alami
maupun buatan serta
 berbagai macam fungsi perkotaan yang dialaminya.

Di Jakarta tanggal 14-15 Maret 1991 diselenggarakan “the Dialogue on


Architectural Heritage among NGOs if ASEAN Countries” yang dari pertemuan
tersebut menegaskan perlunya pelestarian bangunan dan lingkungan yang
berkarakter. Tahun 1992, ICOMOS New Zealand menetapkan piagam untuk
melestarikan tempat-tempat yang memiliki nilai cultural heritage. Tempat-tempat
yang memiliki nilai cultural heritage antara lain landscape, bangunan, taman
bersejarah, tapak arkeologi dan tradisional, tempat-tempat suci dan monumen.
Nara document, 1994 dan Istambul Declaration on Human Settlement, 1996,
menjelaskan pentingnya cultural heritage, heritage conservation, perlunya proteksi
dan pemeliharaan pusaka bersejarah, budaya dan alam, termasuk pola ruang
permukiman tradisional dan kehidupan manusianya, serta lansekap dan flora fauna
perkotaan dalam ruang terbuka dan hijau. Sementara tahun 1995, Council of
Europa menjelaskan tentang beberapa pemahaman landsekap, saujana, konservasi,
kebijakan lansekap dan polusi visual.

ICOMOS dengan Charter On The Protection And Management Of


Underwater Cultural Heritage, Bulgaria Oktober 1996 menjelaskan tentang
perkembangan pemahaman konservasi dalam bidang arkeologi dan merupakan
pengejawantahan dari hasil ICOMOS 1990 tentang konservasi arkeologi. Charter
tersebut menjelaskan tentang proteksi dan manajemen pusaka bawah air yang
berada di permukaan air dan di dasar lautan. Pada Oktober 1999 Charter On The
Built Vernakular Heritage ditetapkan ICOMOS di Mexico yang menjelaskan
pentingnya proteksi pada permukiman-permukiman vernakular yang sudah

28
terbentuk dengan nilai historis dan kehidupan budayanya yang sangat tinggi.
Proteksi terhadap pusaka struktur kayu ditetapkan ICOMOS pada tahun dan tempat
yang sama yaitu 1999 di Mexico juga dengan charter Principles for The
Preservation of Historic Timber Structures. Charter tersebut menjelaskan tentang
pentingnya proteksi dan preservasi struktur kayu dengan memahaminya sebagai
signifikansi budaya.

Pada tahun 2003 ICOMOS di Victoria Falls, Zimbabwe ditetapkan tentang


Charter Principles for The Analysis, Conservation and Structural Restoration of
Architectural Heritage. Charter ini menjelaskan mengenai arsitektur pusaka yang
tidak hanya melihat bangunan secara fisik namun termasuk nilai historis dan aspek
budaya yang menjadikannya lebih bernilai. Pada tempat dan waktu yang sama
yaitu di Zimbabwe, juga ditetapkan ICOMOS Principles for The Preservation and
Conservation-Restoration of Wall Paintings yang mengacu pada Venice Charter,
Amsterdam Declaration dan Nara Charter. UNESCO pada tahun 2003 juga
mengeluarkan ketetapan mengenai Intangible Cultural Heritage, yang menjelaskan
bahwa representasi, ekspresi, pengetahuan, ketrampilan serta instrumentnya,
artefak dan ruang budaya yang terkait dengan komunitas dan kelompoknya
merupakan pusaka budaya yang tidak berwujud.

ICOMOS, 2004 menjelaskan tentang cultural landscape, yang


mendefinisikan landsekap sebagai interaksi antara manusia sebagai pelaku dan
lingkungan dari waktu ke waktu. Pemahaman pemikiran manusia terhadap
alamnya yang memiliki kemampuan dalam membaca cara hidup masyarakat yang
menempatinya dari waktu ke waktu. Piagam ini merujuk dari ketetapan UNESCO
tahun 1972, yang menjelaskan tentang kota pusaka, yang kemudian dibahas
kembali secara sekilas pada tahun 1994, 1995 dan 1999. ICOMOS, 2008
menjelaskan tentang keragaman manifestasi interaksi antara manusia dan
lingkungan alamnya yang mencerminkan penggunaan lingkungan oleh manusia
sebagai pelakunya secara berkelanjutan, mengingat karakteristik dan batas-batas
alamnya yang dibentuk oleh hubungan spiritual dan budayanya.

29
Perkembangan pusaka di Indonesia diawali dengan adanya Piagam
Pelestarian Indonesia 2003 yang dihasilkan pada Tahun Pusaka 2003 yang
menjelaskan tentang pusaka Indonesia. Pusaka Indonesia terdiri atas pusaka alam,
pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang
istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa
dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai
kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang
sejarah keberadaannya. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka
budaya dalam kesatuan ruang dan waktu; pusaka budaya mencakup pusaka
berwujud dan pusaka tidak berwujud (tangible dan intangible cultural). UNESCO
menjelaskan bahwa pusaka yang berwujud dipengaruhi oleh adanya pusaka yang
tidak berwujud (Longstreth, 2008), yang dikaitkan dengan kondisi saat ini dan
masa lalu dengan penjelasan tidak berwujud banyak membahas tentang cerita
rakyat, tarian, bahasa, musik, tarian, ritual, mitos yang diyakini masyarakat,
makanan (Asworth, 2007), termasuk juga nilai yang diyakini masyarakat, konsep,
simbol dan karakter kota (Asworth, 2010; Longstreth, 2008).

2.5 Keterkinian (State of The Art)

Teori-teori kota bermunculan seiring dengan penelitian-penelitian yang


dilakukan oleh beberapa orang di penjuru dunia, yang akhirnya memunculkan
beberapa teori yang dianut oleh para peneliti berikutnya dan digunakan sebagai
standard perkembangan kota-kota di Asia dan khususnya di Indonesia.

Beberapa teori kota yang sampai saat ini masih sering digunakan antara lain
Lewis Mumford (1961), Aldo Rossi (1982), Christopher Alexander dkk (1987),
Spiro Kostof (1991), Ali Madanipour (1996), yang banyak berbicara tentang kota
dalam perkembangannya dan membicarakan tentang elemen-elemen yang
seringkali muncul dalam setiap kota. Kevin Lynch (1981), Trancik R (1986);
Cristopher Alexander dkk (1987) dan Alexander Cuthbert (1988), membahas
tentang kota-kota dengan teori perancangannya. Sementara Amos Rapoport

30
(1982) dan Alexander Papageorgeou (1969) membahas dengan mencoba memilah
elemen-elemen kota yang melihat unsur fix dan semi fix yang disebabkan oleh
proses perkembangannya dan pada buku Amos Rapoport (1982); Carl O Sauer,
(1995) dan John Lang (2005) menjelaskan tentang esensi budaya, lingkungan dan
perilaku manusianya sebagai salah satu faktor perkembangan kota yang selalu
berputar dan keberadaannya saling mempengaruhi.

Teori sosial budaya berkembang di jalur yang berbeda dengan usia yang
lebih panjang dari pada teori kota. Seiring dengan waktu terjadi perdebatan antara
beberapa disiplin ilmu yang saling mempertentangkan esensi dari teori-teori
tersebut dalam kehidupan manusia yang pada akhirnya memaksa mereka untuk
duduk bersama membahas kemungkinan terjadinya penggabungan antara ilmu-
ilmu yang ada untuk keseimbangan alam dan lingkungannya. Salah satu yang
membahas tentang kesejajaran teori sosial budaya dan lingkungan adalah Kurt
Lewin (1951) yang kemudian dibahas lebih mendetil oleh Russel Veitch dan
Daniel Arkellin (1995); John Lang (1982) dan Amos Rapoport (1969; 1982)
dengan aspek-aspek yang mendukung kemenerusan kehidupan lingkungan dan
kegiatannya.

Perkembangan penelitian yang ada dan fenomena merosotnya nilai alam


serta kehidupan lingkungan dari sisi sosial budaya membuat masyarakat khususnya
para peneliti untuk lebih berfokus pada penelitian interdisipliner yang mampu
menjawab pada tantangan kebutuhan lingkungan namun tetap berfokus pada
kebutuhan di setiap bidang. Oleh sebab itu muncullah banyak buku-buku yang
membahas tentang kota sebagai bagian dari sejarah kehidupan yang melingkungi
sosial budayanya.

Demikian halnya dengan penelitian pusaka dan kota pusaka dengan


elemennya, sebenarnya sudah menjadi perhatian dunia sejak abad 14 walaupun
pada saat itu masih sering terjadi perdebatan antara kepentingan industrialisasi,
modernisasi dan pelestarian. Perhatian tentang pusaka kemudian berkembang
setelah tahun 1900-an dengan adanya beberapa charter yang mendukungnya antara
lain Athena Charter (1931) dan Venice Charter (1964) yang mempunyai
31
penekanan yang berbeda di setiap charter dengan perkembangan yang cukup
significant dalam perkembangan pemahaman tentang pusaka dan pelestariannya,
sementara Nara Charter (1994) memberi pekananan pada nilai keaslian dari
pusaka itu sendiri. Jika awalnya hanya melihat monumen sebagai sesuatu yang
perlu diperhatian, namun seiring dengan waktu pertimbangan pusaka kota tidak
hanya terfokus pada monumen saja akan tetapi berkembang pada skala taman,
lingkungan dan kota bahkan saat ini sudah banyak aspek yang melingkupinya
terkait dengan berbagai disiplin ilmu yang mendukungnya. Perhatian dunia
semakin menguat pada saat ICOMOS dan UNESCO bekerja pada bidang yang
sama untuk menjelaskannya pada dunia bahwa pusaka dan pelestariannya yang
tidak hanya terfokus pada dunia barat (Eropa) dan negara maju (Jepang) akan
tetapi juga pada negara-negara yang lain . Bidang pembahasan juga semakin
meluas yang melibatkan banyak aspek ilmu.

Pada periode berikutnya terjadi perbincangan serius yang membahas


tentang cultural heritage, heritage city dan cultural landscape. Khususnya pada
bidang cultural landscape, terdapat cukup banyak buku yang sudah diterbitkan
sejak tahun 1995 dengan didukung penulisan di beberapa jurnal. Beberapa buku
membahas tentang cultural landscape, antara lain Michael Hough (1990) yang
menuliskan dalam salah satu bab di bukunya, Out of the Place, Restoring Identity
to the Regional Landscape (1990), dengan judul The Cultural Landscape :
Regional Identity by Necessity dan membahas masyarakat yang merespon alam
dalam kehidupannya; Carl O Sauer (1995) menuliskan tentang The Morphology of
Landscape yang membahas hubungan dinamis antara kondisi geografis terhadap
sosial budaya masyarakat sebagai pelaku kegiatan dalam kehidupannya dan Bernd
von Droste, Harald Platcher dan Mechtild Rossler (1995) dengan bukunya Cultural
Landscape of Universal Value yang menjelaskan tentang teori dasar bahwa
cultural landscape terkait dengan ruang dan masyarakat di dalamnya yang
menggunakan alam berdasarkan aspek sosial budayanya dan menjelaskannya
dalam beberapa kasus dengan penyajian makalah-makalah di dalam buku tersebut.

32
Sementara itu, sejak tahun 2000, penelitian mengenai cultural landscape
mulai berkembang pesat. Beberapa buku yang diterbitkan sejak tahun 2000, antara
lain adalah :

1. Robertson dan Richards (2003) dengan judul Studying Cultural Landscape,


yang banyak membahas tentang perjalanan pemahaman cultural landscape
yang diawali dengan konsep lansekap dalam definisi tradisional yakni
sebagai gambaran orang-orang kelas atas dan diakhiri dengan pemahaman
bahwa lansekap merupakan gambaran hubungan alam dengan kehidupan
manusianya yang mengandung makna budaya atau yang lebih dikenal
dengan cultural landscape dengan beberapa studi kasus.

2. Wilson and Groth (2003) dengan bukunya yang berjudul Everyday


America, Cultural Landscape Studies after J.B Jackson, yang membahas
tentang pemahaman Jackson tentang interaksi manusia terhadap alamnya
dengan budaya kehidupannya berdasarkan konsep sauer yang sudah dikenal
lebih dahulu.

3. Dieterich and Straaten (2004) menulis buku yang berjudul Cultural


Landscape and Land Use, The Nature Conservation – Society yang
membahas tidak hanya pada bagaimana penggunaan lahan menjadi sangat
penting dalam melihat hubungan interaksi manusia dengan alam dan
budayanya, akan tetapi juga menekankan pada pentingnya pelestarian pada
interaksi tersebut dengan berfokus pada kehidupan komunitas
masyarakatnya.

4. Wallach (2005) dengan buku yang berjudul Understanding Cultural


Lanscape, melalui pendekatan antropologi dalam studi geografi manusia
dan berfokus pada tata kehidupan masyarakat dan komunitas.

5. Lekan and Zeller (2005) dengan bukunya Germany’s Nature : Cultural


and Environmental History yang membahas tentang alam negara Jerman
dengan keunikannya dan melihat pada komunitas masyarakatnya dan
pelestarian alam dan kehidupan masyarakatnya dari waktu ke waktu.
33
6. Noble (2006) dengan pembahasan yang sangat unik dalam bukunya yang
berjudul Sons of The Movement : FTMS Risking Incoherence On A Post-
Queer Cultural Landscape, yang melihat cultural landscape dalam kelas
masyarakat dan menganalogikan dalam tubuh manusia.

7. Dodge (2007) dengan bukunya yang berjudul Black Rock, A Zuni Cultural
Landscape and The Meaning of Place, yang mengeksplorasi konsep lokasi,
cultural landscape dan keterhubungannya dalam suatu komunitas dengan
pendekatan etnografi, arkeologi, geografi budaya, geologi dan sejarah suatu
komunitas manusia.

8. Moore and Whelan (2007) dengan bukunya Heritage, Memory and The
Politics of Identity New Perspectives on The Cultural Landscape yang
menjelaskan tentang kondisi geografis dan alam pada suatu daerah yang
menjadi dasar terbentuknya saujana yang terkait dengan sejarah dan
politiknya.

9. Morrison dkk (2007) dengan judul Media and Values – Intimate


Transgressions in A Changing Moral and Cultural Landscape, membahas
mendalam tentang nilai keyakinan dan kebenaran dari masyarakat dalam
studi cultural landscape dengan menambahkan pada makna-makna
filosofisnya.

10. Czepcynski (2008) dengan bukunya yang berjudul Cultural Landscape of


Post-Socialist Cities, Representation of Power and Needs, membahas
tentang perubahan pemikiran masyarakat yang terbentuk dari keyakinan
dan budaya setempat yang dipengaruhi oleh kekuatan dan kepentingan
yang akan menjadi bagian dari serial kehidupan dan bisa dijadikan sebagai
labolatorium kehidupan dalam kategori pembelajaran masa lalu

11. Longstreth (2008) dengan bukunya yang berjudul Cultural Landscapes,


Balancing Nature and Heritage in Preservation Practice yang membahas
keterkaitan alam, budaya dan manusia sebagai pelaku kegiatan dalam suatu
lingkungan alam yang dikaitkan juga dengan pembentukan lingkungan.
34
12. ICOMOS (2008) dengan menyusun inventori World Heritage Cultural
Landscape yang mendeskripsikan secara ringkas namun terfokus pada
makna dan fungsi dari setiap lokasi yang sudah ditetapkan sebagai world
cultural landscape.

13. Calcatinge (2012) dengan bukunya yang berjudul Visions of The Real, An
Architect’s Approach on Cultural Landscape Studies, yang berfokus pada
pemahaman beberapa pendekatan teori cultural landscape dari beberapa
keilmuan dengan memposisikan ruang dalam kajian hubungan manusia
dengan alamnya.

14. Plieninger and Bieling (2012) dengan bukunya yang berjudul Iresilience
and The Cultural Landscape, Understanding and Managing Change in
Human-Shaped Environments, membahas tentang interaksi manusia dengan
pendekatan sosial ekonomi, ekologi, politik untuk memahami perubahan
tata spasial yang ada

15. Calcatinge (2013) dengan bukunya yang berjudul The Need for a Cultural
Landscape Theory, An Architect Approach yang membahas secara detil
pemahaman teori cultural landscape sebelum dan setelah dicetuskan oleh
Sauer serta membawa studi ini dalam ranah filsafat ilmu yang
memposisikan dalam filosofis keilmuan, ontologi, epistemologi dan
metodologinya. Dijelaskan juga mengenai space dan place yang dikaji
dengan pendekatan arsitektural dan lingkungan. Selain itu juga dilakukan
pembahasan dialog antar teori yang pernah dimunculkan dalam keilmuan
cultural landscape.

Terdapat beberapa jurnal yang telah dipublikasi dalam rentang waktu


sepuluh tahun terakhir yang dihitung dari akhir pencarian data penelitian ini yakni
tahun 2000-2010 dan tiga tahun terakhir pada saat penyusunan buku ini. Selain
jurnal, seperti telah dituliskan dalam keaslian penelitian, ada tiga disertasi yang
telah disusun dengan fokus saujana Borobudur, Indonesia serta beberapa disertasi

35
dengan beberapa kasus lainnya. Buku, disertasi dan jurnal yang membahas saujana
(cultural landscape) bisa ditabelkan seperti dibawah ini :

Tabel 2.1. Daftar Buku, Disertasi dan Jurnal yang Membahas Tentang Saujana
Kajian Penelitian

Lingkungan
Keruangan

Manusia
Penulis

Budaya
Sejarah
No Judul Bidang Ilmu
Buku/Jurnal

A Buku
1 Robertson Studying Cultural Landscape Lingkungan
dan Richards,
2003
2 Wilson and Everyday America, Cultural Landscape Geografi
Groth, 2003 Studies after J.B Jackson
3 Dieterich and Cultural Landscape and Land Use, The Lingkungan
Straaten, Nature Conservation – Society
2004
4 Wallach, Understanding Cultural Lanscape Geografi
2005
5 Lekan and Germany’s Nature: Cultural and Lingkungan
Zeller, 2005 Environmental History
6 Noble, 2006 Sons of The Movement : FTMS Risking Gender
Incoherence On A Post-Queer Cultural
Landscape
7 Dodge, 2007 Black Rock, A Zuni Cultural Geografi
Landscape and The Meaning of Place
8 Moore and Heritage, Memory and The Politics of Lingkungan
Whelan, Identity New Perspectives on The
2007 Cultural Landscape
9 Morrison Media and Values – Intimate Sosial
dkk, 2007 Transgressions in A Changing Moral Budaya
and Cultural Landscape
10 Czepcynski, Cultural Landscape of Post-Socialist Sosial
2008 Cities, Representation of Power and Budaya
Needs
11 Longstreth, Cultural Landscapes, Balancing Lingkungan
2008 Nature and Heritage in Preservation
Practice
12 Calcatinge, Visions of The Real, An Architect’s Arsitektur
2012 Approach on Cultural Landscape
Studies
13 Plieninger Iresilience and The Cultural Lingkungan
and Bieling, Landscape, Understanding and
2012 Managing Change in Human-Shaped
Environments
14 Calcatinge, The Need for a Cultural Landscape Arsitektur
2013 Theory, An Architect Approach

36
B Disertasi
Amanatidou, Analysis and Evaluation of a Pelestarian
2005 Traditional Cultural Landscape as a Lingkungan
basis for its Conservation Management
A case study in Vikos-Aoos National
Park – Greece
Soeroso, Penilaian Kawasan Pusaka Borobudur
2007 dalam Kerangka Perspektif
Multiatribut Ekonomi Lingkungan dan
Implikasinya Terhadap Kebijakan
Manajemen Ekowisata
Everts, 2008 Exploring The Meanings And Cultural Lingkungan
Landscapes Of Elder Residents In Two
Saskatchewan Rural Communities
Gavra, 2012 Cultural Landscapes In Metaliferi Geografi
Mountains
Fatimah, A Study on Community-based Cultural Arsitektur
2012 Landscape Conservation in Borobudur Lingkungan
Rahmi, 2012 Pusaka Saujana Borobudur Studi Lingkungan
Hubungan antara Bantanglahan dan
Budaya Masyarakat

C Jurnal
1 Fowler, 2000 Cultural Landscape of Britian Lingkungan
2 Terkenli, Landscape of Tourism : Towards a Lingkungan
2002 Global Cultural Economy of Spape ?
3 Mitchell, Cultural Landscape : The Dialectical Lingkungan
2002 landscape – Recent Landscape
Research in Human Geography;
4 Taylor, 2002 Fragmentation and Cultural Lingkungan
Landscapes : Tightening The
Relationship Between Human-being
and The Environement
5 Toupal, 2003 Cultural Landscape as A Methodology Lingkungan
for Understanding natural Resource
Management Impacts in The Western
Uniterd States
6 Schmitz, Relation between Landscape Typology Lingkungan
2003 and Socioeconomic Structure
Scenarios of Change in Spanish
Cultural Landscapes
7 Carr, 2004 Mountain Places, Cultural Spaces L
The Intepretation of Culturally
Significant Landscapes
8 Anyon dkk, Natural Setting as Cultural Landscapes Lingkungan
2005 : The Power of Place and Tradition
9 Matthews Landscape as A Fokus for Integrating
and Selman , Human and Environmental Processes
2006
10 Mills, 2006 Boundaries of The Nation in The Space
of The Urban : Landscape and Social
Memory in Istanbul
11 Taylor, 2006 Landscape and Memory : Cultural Lingkungan
Landscape, Intangible Values and
Some Thoughts on Asia
37
12 Taylor, 2007 Cultural Landscape as Open Air Pelestarian
Museum, Borobudur World Heritage Lingkungan
Site and Its Setting
13 Soeroso, Manfaat Ekonomi Konservasi Saujana Ekonomi
2007 Borobudur Lingkungan
14 Soeroso, Konservasi Saujana Budaya Kawasan Ekonomi
2007 Borobudur : Zonasi Ulang dengan Lingkungan
Pendekatan Ekosistem
15 Soeroso, Nilai Ekonomi Saujana Budaya Ekonomi
2007 Kawasan Borobudur, Sebuah Lingkungan
Eksperimen Pilihan
16 Soeroso, Konservasi Lingkungan Kawasan Ekonomi
2007 Borobudur dengan Manajemen Lingkungan
Berbasis pada Pembangunan
Masyarakat Lokal
17 Buckey dkk, Cultural Landscape in Mongolia Pelestarian
2007 Tourism Lingkungan
18 Tanudirjo, Cultural Landscape Heritage Sejarah
2007 Management in Indonesia An
Archaelogical Persepective
19 Marignani Planning Restoration in Cultural Sejarah
dkk, 2008 Landscape in Italy Using an Object-
Based Approach and Historical
Analysis
20 Gamble, Kumeyaay Cultural Landscape of Baja Lingkungan
2008 California’s Tijuana River Watershed
21 Adishakti, The Architectural Design Concept Of Arsitektur
2008 Borobudur Cultural Landscape
Development1
22 Akagawa and Cultural Landscape in Asia and The Pelestarian
Sirisrisak, Pasific : Implications of The World Lingkungan
2008 Heritage Convention
23 Fatimah, A Study on Citizens’ Organizations Pelestarian
2009 Relationship on Cultural Landsca[e Lingkungan
Conservation Initiatives in Borobudur
Sub District Level, Indonesia
24 Hakim dkk, Cultural Landscape and Ecotourism in Pariwisata
2009 Bali Island, Indonesia
25 Araujo and Cultural Landscape And Tourism on Pariwisata
Bicalho, Historic Ranches of The Pantanal
2009 Wetlands of Brazil
26 Rosmalia, The Notion on Urban Cultural Arsitektur
2010 Landscape from the Perspective of
Landscape Architecture
Case Study: Cirebon City, West Java
27 Pauliet, 2010 Transformation of rural-urban cultural Perencanaan
landscapes in Europe: Integrating Kota
approaches from ecological, socio-
economic and planning perspectives
28 Nunta dan Determinant of cultural heritage on the Lingkungan
Sahachaisaer spatial setting of cultural
ee, 2010 landscape: a case study on the
northern region of Thailand

38
29 Hendriatining Cultural Landscape Mapping: The Perencanaan
sih dkk, 2010 Basis for Managing a Sustainable Kota
Future?
30 Paftală, The Contemporary Dilemma Of The Lingkungan
Ciubotărița, Cultural Landscape. The Case Of Iasi
2011 Municipality
31 Xuan, Bin, The Ecological Protection Research Lingkungan
2011 Based on the Cultural Landscape
Space Construction in Jingdezhen
32 Mashuri, Konsep Pelestarian Pusaka Saujana Di Arsitektur
2011 Kawasan Lembah Bada
33 Moreira dkk, Temporal (1958-1995) Pattern of Sejarah
2011 Change in A Cultural Landscape of
Northwestern Portugal : Implications
for Fire Occurrence
34 Watson dkk, Traditional Wisdom: Protecting Lingkungan
2011 Relationships with Wilderness as a
Cultural Landscape
35 Backhaus, Regional Environmental Governance: Ekonomi
2011 Interdisciplinary Perspectives, Lingkungan
Theoretical Issues, Comparative
Designs (RECov)
36 Singh, 2011 Rural Cultural Landscape : Asian Lingkungan
Vision of Man-Nature Interrelatedness
and Sustainability.
37 Luekveerawa Cultural Landscape for Sustainable Pariwisata
ttana, 2012 Tourism Case Study of Amphawa
Community
38 Nunta dan Cultural Landscape, Urban Settlement Perencanaan
Sahachaisaer and Dweller’s Perception: A Case Kota
ee, 2012 Study of a Vernacular Village in
Northern Thailand
39 Fatimah, Evaluation of Rural Tourism Initiatives Pelestarian
2012 in Borobudur Sub-District, Indonesia, Lingkungan
A Study on Rural Tourism Activities for
Cultural Landscape Conservation
40 Utami, 2012 Seeking Cultural Landscape on Arsitektur
Magelang
41 Roman Genesis of the cultural landscape of Geografi
Fedorov, Urals and Siberia
2013
42 Utami, 2013 Cultural Landscape Heritage in Arsitektur
Indonesia, Case Study :
Magelang, Central Java
43 Huang dkk, A Correlation Research of the Ekonomi
2013 West Lake Cultural Landscape Lingkungan
Protection and Tourism
Development—Based on the
Principal Component Index

Buku, jurnal serta disertasi maupun penelitian yang telah disebutkan di


atas akan memperkaya satu sama lain dengan pendekatan dan fokus yang berbeda.

39
Buku-buku tersebut banyak terfokus pada pemahaman teori dengan beberapa studi
kasus tanpa menjelaskan secara rinci satu kasus tertentu untuk mendapatkan teori
umum.

Selain itu, sampai saat ini belum ada yang menjelaskan tata ruang suatu
kota dengan pendekatan cultural landscape yang secara detil memperlihatkan
interaksi manusianya terhadap alam dalam membentuk kota dan kawasannya,
khususnya ruang dengan studi kasus suatu kota. Beberapa jurnal dan buku terlihat
sudah masuk dalam ranah keruangan atau dalam bidang arsitektur, namun tidak
membahas saujana dengan kajian interaksi manusia dalam membentuk ruang
perkotaan. Penelitian ini bisa dijadikan titik tolak pertama dalam mempelajari
saujana perkotaan dengan pendekatan arsitektur dan lingkungan dengan
mempertimbangkan aspek sejarah perkembangan ruang dan budaya masyarakatnya
seperti yang telah disebutkan dalam sub bab keaslian penelitian di bab I.

Teori budaya lokal yang mempengaruhi perkembangan kota-kota di


Indonesia khususnya kota-kota bersejarah dengan alam sebagai inspirasi dalam
perkembangannya masih jarang ditemukan. Oleh karena itu dibutuhkan teori lokal
yang mampu menjawab keberadaan kota pusaka dengan melihat sosial budaya dan
lingkungannya disertai dengan keunikan dan karakteristik masing-masing daerah.
Teori lokal dibangun dengan pertimbangan bahwa setiap daerah mempunyai
keunikan dan karakteristik yang harus dieksplorasi keberadaannya sebagai ragam
dan kekayaan teori di Indonesia. Hal ini didukung dengan sejarah panjang setiap
daerah di Indonesia dengan perbedaan di masing-masing daerah dengan keunikan
ruang dan budaya masyarakat setempat. Penyelarasan teori kota, sosial budaya dan
lingkungan menjadi salah satu penekanan dalam meneliti keunikan dan
karakteristik tersebut dengan fokus kajian bidang arsitektur dan perencanaan.

Mengacu pada tabel 1.1 dan 1.2, penelitian ini membangun teori lokal
tentang interaksi manusia dalam mengembangkan ruang di Kota Magelang dengan
mengacu pada empat aspek pembahasan yaitu arsitektur, lingkungan, sejarah dan
budaya.

40
2.6 Posisi Penelitian terhadap Teori

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian dengan basis ilmu arsitektur


dan perencanaan, yang berfokus pada bentuk ruang kota dengan memahami
konsep-konsep yang melatarbelakangi terbentuknya ruang tersebut dengan seting
ruang kota. Penelitian ini mengeksplorasi terbentuknya ruang yang saat ini masuk
dalam wilayah administrasi kota, diawali dengan adanya ruang saat menjadi daerah
perdikan sampai saat ini (2010).

Untuk mendukung eksplorasi dan sebagai latar belakang pengetahuan


(background knowledge), dalam penelitian ini akan didukung dengan teori-teori
yang telah dibahas di atas. Teori-teori tentang interaksi manusia dalam
membentuk ruang dengan terori budaya sebagai pengantar manusia dalam
membentuk ruang dan didukung teori embrio kota, perkembangan dan
pertumbuhan kota, kota pusaka dan teori saujana akan sangat mendukung
keberadaan penelitian ini.

41

Anda mungkin juga menyukai