Anda di halaman 1dari 29

EXISTENTIALIST

CRIMINOLOGY
EXISTENTIALISM
REVISIT

FRANK SINATRA
https://www.youtube.com/watch?v=qpXNRrtuo38
6 PRINCIPLES OF EXISTENTIALISM
(Bigelow, 1961)
• Existence precedes essence (Keberadaan mendahului esensi):

• Tidak ada yang absolut, artinya tidak ada yang menetapkan kriteria atau definisi
yang mengatakan apa sesuatu itu atau apa yang seharusnya.
• Setiap orang ditentukan oleh apa yang mereka lakukan, bukan siapa mereka
sehingga etnisitas, agama, status sosial ekonomi menjadi tidak penting
ketimbang apa yang mereka perbuat.
• Pengalaman hidup setiap orang mempunyai keunikan tersendiri.
6 PRINCIPLES OF EXISTENTIALISM
(Bigelow, 1961)
Reason is powerless to deal with the complexity of human life
(Nalar tidak berdaya menghadapi kompleksitas kehidupan
manusia)

• Logika tidak sempurna dan tidak mampu sepenuhnya memahami keberadaan


manusia.
• Sebagian besar kehidupan dikendalikan oleh faktor-faktor selain logika dan
akal.
• Seseorang harus diterima untuk seluruh keadaannya dan tidak dibagi menjadi
kualitas baik dan buruk, atau nalar dan emosi.
6 PRINCIPLES OF EXISTENTIALISM
(Bigelow, 1961)
Alienation (Pengasingan)

• Keadaan di mana manusia lebih menggantungkan diri pada sains dan teknologi
daripada iman/ agama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘besar’ tentang
kehidupan. Kondisi ini kemudian menciptakan lebih banyak lagi kategorisasi
‘orang’ dalam masyarakat.
• Sains dan teknologi hanya semakin menjauhkan orang dari hal-hal yang dulu
memberi makna dan tujuan hidup.
• Kalau dulu orang melakukan pekerjaan yang memiliki tujuan langsung namun
dalam masyarakat modern, banyak kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan tidak
lagi memiliki tujuan langsung atau mempunyai manfaat.
6 PRINCIPLES OF EXISTENTIALISM
(Bigelow, 1961)
Anxiety (Kegelisahan/ Kecemasan)

• Kemajuan teknologi menjanjikan lebih banyak kenyamanan tetapi tidak dalam


mengurangi rasa takut kita akan kematian.
• Seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, iman dalam
agama berkurang.
• Karena dalam agama kematian itu biasanya dianggap sebagai semacam promosi
(ganjaran karena telah menjalani pola kehidupan yang tepat), maka hilangnya
iman sering disertai dengan meningkatnya ketakutan akan kematian.
6 PRINCIPLES OF EXISTENTIALISM
(Bigelow, 1961)
The Encounter with Nothingness (Pertemuan dengan
Ketiadaan)

• Terasing dari Tuhan, alam, sesama manusia, dan dirinya sendiri...maka satu-
satunya yang tersisa adalah ketiadaan.
• Yang tersisa hanyalah individu dan tidak ada yang lain yang pasti.
• Peristiwa terjadi tanpa tujuan atau rencana yang jelas, misalnya hal buruk
terjadi pada orang baik, hal baik terjadi pada orang jahat, dll.
6 PRINCIPLES OF EXISTENTIALISM
(Bigelow, 1961)
Freedom (Kebebasan/ Kemerdekaan)

• Ditentukan hanya dengan pilihan kita sendiri.


• Kita memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang kita yakini sebagai hal yang
benar untuk dilakukan, dengan alasan kita sendiri.
• Namun, dengan kebebasan muncul tanggung jawab dan kecemasan.
• Tanggung jawab menyebabkan stres, yang pada akhirnya menghalangi kita akan
suatu kebebasan yang sejati.
EXISTENTIALIST
CRIMINOLGY
WHAT CAUSES CRIME?

A HOLLYWOOD ACTRESS
COMMANDS A FEE OF $3 MILLION
FOR A FILM ROLE, YET IS FOUND
GUILTY OF STEALING A $1600
GUCCI DRESS. KLEPTOMANIAC OR
THRILL-SEEKER?
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Don Crewe dan Ronnie Lippens (2009) menyerukan bahwa Kriminologi
Eksistensialis sangat berpotensi untuk memperkaya studi kejahatan dan
penyimpangan.
• Kriminologi Eksistensialis merupakan pemikiran dan konsep eksistensialis
dalam melakukan kajian kriminologis terhadap penyimpangan, pengendalian
kejahatan, dan peradilan pidana.
• Kriminologi Eksistensialis selaras dengan perkembangan sosial dan budaya saat
sekarang ini dan dapat dikarakteristikkan sebagai sesuatu yang bersifat
kontingensi, tidak dapat diprediksi, terbuka terhadap perubahan, melakukan
detradisionalisasi, sungguh-sungguh sebuah konsep ‘becoming’ (menggunakan
ungkapan eksistensialis). Di satu sisi, kondisi ini sangat mirip dengan kondisi
setelah perang berakhir (Crewe and Lippens, 2009).
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
KAJIAN KRIMINLOGIS DENGAN PENDEKATAN
EKSISTENSIALIS (Crewe and Lippens, 2009)

David Matza (1969), seorang teoritisi Sub-Kultur dalam bukunya ‘Becoming Deviant’ terinspirasi oleh ‘Saint Genet’, sebuah
karya dari Sartre. Namun sayangnya ‘Becoming Deviant’ terlambat untuk mendapatkan sebuah momentum di mana pada saat
itu strukturalisme Perancis telah berhasil menarik minat yang tinggi dari khalayak akademik, termasuk kriminologi (setidaknya
di Eropa) .

PEACEMAKING EXISTENTIAL CRIMINOLOGY/ THE


CULTURAL
CRIMINOLOGY CRIMINOLOGY OF TRANSGRESSION/ CRIMINOLOGY
TRANSGRESSIVE BECOMING

Antara lain Richard


Antara lain oleh Jeff
Quinney, Hal Pepinsky, Antara lain oleh Jack Katz, Jeff Ferrell, Stephen Ferrell, Mike Presdee,
Kevin Anderson, Gregg Lyng, Dragan Milovanovic, Bruce Arrigo, dan Keith Hayward dan Jock
Barak, Bruce Arrigo, Larry Willem Schinkel. Young.
Tifft dan Dennis Sullivan,
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
Crewe, D. (Ed.), Lippens, R. (Ed.). (2009). Existentialist
Criminology. London: Routledge-Cavendish
Book Summary
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
The Book Overview

• Buku ini adalah kumpulan esai yang ditulis oleh kriminolog dan sosiolog dari
universitas yang berbasis di Amerika Utara dan Eropa (terutama Amerika
Serikat dan Inggris) yang memiliki minat dalam mengembangkan lebih lanjut
bidang kriminologi budaya. (Dearey, 2009)
• Kriminologi Eksistensialis menangkap ketertarikan yang muncul dari para
kriminolog untuk menggunakan pemikiran dan konsep eksistensialis dalam
melakukan kajian kriminologis terhadap penyimpangan, pengendalian kejahatan,
dan peradilan pidana. (CRC Press, 2011)
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
The Book Overview

• Crewe dan Lippens menyatakan bahwa eksistensialisme adalah sebuah kajian


manusia yang berakar pada posisi filosofis yang mengatakan bahwa kajian
ilmiah maupun moral tidak akan memadai untuk mengungkapkan pertanyaan
mengenai sifat manusia. Eksistensialisme adalah bentuk kajian tentang sifat
manusia yang menempatkan kualitas esensial sebagai manusia dalam konsep
kebebasan dan keaslian.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Will to Self Consummation and Will to Crime: A Study in
Criminal Motivation, D. Crewe
o Crewe menggunakan karya dan gagasan Heidegger dalam konteks konsep
‘becoming’ - bagaimana manusia sampai pada tahapan memandang diri mereka
sendiri sebagai objek masa depan.
o Crewe kemudian mengembangkan dan selanjutnya menerapkan gagasan ‘will to
self-consummation’-nya yang mengkritik konsep David Matza, yaitu ‘the will to
crime’, di mana Ia menyimpulkan bahwa keinginan (‘will’) untuk seseorang
melakukan kejahatan sejatinya tidak mungkin, tetapi perilaku menyimpang atau
bermasalah kemungkinan merupakan hasil dari sebuah ‘will to transgress.’
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Being Accused, Becoming Criminal, G. Pavlich
o Pavlich menunjukkan bagaimana pemikiran Nietzsche memungkinkan kita
memahami kriminalitas sebagai sesuatu yang kompleks.
o Bagi Nietzsche, deskripsi dan evaluasi tidak berbeda; namun demikian
keinginan, pilihan, untuk mengklasifikasikan keberadaan dengan cara tersebut
sudah merupakan sebuah pernyataan etis, dan merupakan pernyataan yang
selalu harus kita pertanggung jawabkan, meskipun ada upaya-upaya menekan
rasa untuk ‘menghindar,’ ‘beritikad buruk,’ dan ‘menjadi tidak autentik.’
o Mengingat kontribusi Nietzsche terhadap pemikiran eksistensial, Pavlich
mengajukan pertanyaan tentang bagaimana tanggung jawab tersirat oleh
peristiwa yang terlalu umum yang kemudian menciptakan penjahat sebagai
elemen objektif yang melawan untuk menetapkan perintah tertentu.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Biaphobia, State Violence, and the Definition of Violence,W. Schinkel
o Berdasarkan pada fenomenologi Husserl dan ontologi Heidegger, Willem Schinkel
menyempurnakan definisi ontologis tentang kekerasan sebagai pengurangan
keberadaan (‘being’).
o Pengurangan keberadaan merupakan proses ontologis yang selalu terjadi ketika
orang-orang memasuki ranah interaksi. Karenanya, kekerasan adalah pengurangan
produktif dari cakrawala ontologis yang mendasari tatanan konvensional yang sah.
o Dilihat dari perspektif ini, maka sikap negatif aprioristik terhadap kekerasan dapat kita
sebut sebagai bentuk biaphobia, yang merupakan penyangkalan dari kekuatan aktif
kehidupan yang Nietzsche sebut sebagai ‘denial of life.’
o Schinkel menunjukkan bagaimana gagasan biafobik tentang kekerasan memperoleh
perbedaan antara kekerasan yang sah dan kekerasan tidak sah yang membentuk
negara modern menghindari pertanyaan legitimasi dalam proses tersebut.
o Schinkel, dengan meninggalkan konsep kekerasan yang masuk akal dan biafobik untuk
kekerasan ontologis kemudian membuka ruang bagi kritik refleksif terhadap tatanan
moral dan hukum.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Existentialism, Edgework, and the Contingent Body: Exploring the
Criminological Implications of Ultimate Fighting, S. Lyng, R.
Matthews, and W. Miller
o Stephen Lyng, Rick Matthews, dan William Miller menggambarkan tesis mereka
dengan menampilkan bukti empiris tentang Ultimate Fighting dengan menguji
pemikiran eksistensialis dan pendekatan 'edgework’ terhadap agen risiko.
o Pengujian terhadap Ultimate Fighting memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi
hubungan kritis antara disiplin, dominasi, body contigent, dan transendensi pengalaman
dalam pertemuan kekerasan yang bersifat non-pidana dan kriminal.
o Dengan menunjukkan relevansi ide-ide eksistensialis dengan meningkatnya
ketidakpastian struktural dan refleksivitas masyarakat berisiko serta kemunculan
‘edgework’ sebagai ekspresi agen risiko dalam konteks sosial ini, Lyng dan rekan-
rekannya juga menggarisbawahi pentingnya memasukkan tubuh ke dalam eksistensialis
sebagai analisis struktur risiko dan agensi.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Scrounging:Time, Space, and Being, J. Ferrell
o Dalam kontribusinya, Jeff Ferrell menceritakan pengalamannya sendiri sebagai
pemulung. Terinspirasi oleh Situationism, ia mengembangkan apa yang ia sebut
dengan 'etnografi eksistensial' di mana ia menggambarkan bagaimana
pengalamannya sebagai pemulung tidak hanya menulis dan menciptakan peta
kota ilegal, tetapi juga dapat mengubah diri, terutama saat menjelajah dan
berkelok-kelok dengan kecepatan melambat, dalam kehidupan sehari-hari di
kalangan marjinal.
o Ferrel berpendapat bahwa pengalaman dari hidup di lorong-lorong kota dan
ruang-ruang kota yang ditinggalkan, dan kebebasan eksistensial yang
menyertainya, pada akhirnya merupakan sebuah kreativitas terkait pemikiran
ulang terhadap nilai hidup dan transformasi diri.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• White-Collar Offenders After the Fall from Grace. Stigma, Blocked
Paths and Resettlement, B. Hunter
o Ben Hunter menggunakan literatur eksistensial untuk memberikan pemahaman
tentang reaksi para ‘white-collar offenders’ terhadap perlakuan mereka di tangan sistem
peradilan pidana dan program “resettlement” yang mereka dapatkan setelah hukuman
selesai.
o Hunter mengumpulkan data dari akun otobiografi yang diterbitkan di mana pelaku
kejahatan kerah putih tersebut mendiskusikan pelanggaran dan hukuman mereka.
Dalam otobiografi tersebut juga disebutkan bagaimana ketakutan mereka terhadap
dunia yang sah.
o Deteksi terhadap pelanggaran mereka menempatkan apa yang dianggap masa depan
sebelumnya dalam posisi bahaya. Buntut dari hukuman kemungkinan besar merupakan
pencarian untuk menentukan siapa mereka di dunia yang ‘sah’, yaitu dunia tempat di
mana mereka dulu yang kemudian harus dipikirkan kembali di mana sebenarnya posisi
mereka dalam dunia tersebut.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• ‘We Just Live Day-to-Day’. A Case Study of Life after Release
Following Wrongful Conviction, S. Farrall
o Stephen Farrall juga menganalisis refleksivitas eksistensial di mana Ia berupaya
untuk menganalisis pengalaman ‘resettlement’ dari mereka yang secara salah
dihukum (wrongfully convicted) dan kemudian dibebaskan. Dia berfokus pada
aspek eksistensial dari pengalaman seorang tahanan yang mengalami peristiwa
itu, yaitu Angela Cannings.
o Farral mengeksplorasi hilangnya 'dunia asumsi' mereka, serta dilema
eksistensial lainnya yang dihadapi oleh Cannings yang secara tak terelakkan
menimbulkan masalah baru namun terabaikan oleh program ‘resettlement’.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• The Seductions of Conformity. The Criminological Importance of
a Phenomenology of Exchange, S. Mackenzie
o Simon Mackenzie mempertimbangkan fenomenologi pertukaran karena
menurutnya ada kemungkinan hal tersebut menjadi relevan untuk
memproduksi keberadaban dan pencegahan kriminalitas dan perilaku anti-
sosial.
o Ia membangun suatu filosofi kontribusi sosial dan hubungan timbal balik sosial,
di mana Ia merenungkan cara-cara yang akan memuaskan hasrat mereduksi
kejahatan dari kepentingan politik saat ini dalam konteks aktivasi masyarakat.
o Ia berpendapat, bahwa fenomenologi pertukaran mungkin benar-benar muncul
dengan sendirinya sebagai sarana untuk memahami elemen-elemen tertentu
dari keterlibatan sosial dan pemecahannya sebagai aspek pengalaman berada di
dunia yang ditemui oleh para pelaku kejahatan.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Existentialism and the Criminology of the Shadow, B. Arrigo and
C.Williams
o Bruce Arrigo dan Christopher Williams membangun sejumlah teori kritis,
termasuk karya Erich Fromm tentang kebebasan negatif, spontanitas yang
terlantar, dan mekanisme pelarian dalam rangka melakukan kajian kritis untuk
memeriksa kontur dari apa yang mereka sebut ‘criminology of the shadow’.
o Arrigo dan Williams menambahkan kritik terhadap peradilan pidana berbasis
bukti, hukuman aktuaria (auctaria penology), dan pemolisian risiko (yang
semuanya bekerja untuk menghapus perbedaan antara subjek kejahatan, yaitu
pelanggaran, dan subyek kejahatan, yaitu pelanggar), Mereka membahas dilema
eksistensialis dalam mempertahankan criminology of the stranger.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Towards Existential Hybridization? A Contemplation on the
Being and Nothingness of Critical Criminology, R. Lippens
o Dan akhirnya, Ronnie Lippens memperkenalkan dan memperluas tesis bahwa
kriminologi kritis mungkin dapat menemukan kembali dirinya melalui
pemikiran eksistensialisme Sartre. Dimulai dengan analisis ekstensif sejarah
kriminologi kritis pasca perang, Lippens kemudian menawarkan 'gambar
penuntun' (terutama hibridisasi eksistensial) yang disarankan, mungkin dapat
memberikan kriminologi kritis dengan tujuan baru.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY
• Apa yang menyebabkan kejahatan?

• Contoh 1: 'Bored' teens arrested for


Sebring window-shooting spree (Fox News,
2017). “Both of them just indicated that
they're bored. They just really didn't have
anything to do,” offered Det. Du'wayne
Kelly with the Highlands County Sheriff’s
Office. Logan Lashley, 19, of Babson Park
and his 17-year-old cousin, Reno Lashley
of Avon Park, will be charged with
felonies and tried as adults.
EXISTENTIALIST CRIMINOLGY

• Contoh 2: Setya Novanto (e-KTP). Setnov masuk dalam


kelompok orang yang disebut oleh Sutherland sebagai orang
yang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi
dalam pekerjaannya. Meski demikian, Ia memilih jalan untuk
melakukan kejahatan.
• Perilaku Setnov, berdasarkan pemberitaan media massa,
mengonfirmasi pemikiran Satre yaitu “We are who we choose
to be.We become who we choose to become.”
BIBLIOGRAPHY
Bigelow, Gordon E. (1961).A Primer of Existentialism. College English, v23 n3 p171-78
Crewe, D. (Ed.), Lippens, R. (Ed.). (2009). Existentialist Criminology. London: Routledge-Cavendish
Dostoevsky, Fyodor. (1917). Crime and Punishment. New York: P.F. Collier & Son
Lippens, R., Hardie-Bick, J., (2015). Existential Dimensions in the Socio-Legal Sphere:
Introduction. Oñati Socio-legal Series [online], 5 (3), 846-849
Logan, Nicholas (2014).An Existentialist Critique of Punishment. _Stance_ 7:69-77.
Sulhin, I.,(2010). Filsafat (Sistem) Pemasyarakatan. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7
Sulhin, I.,(2017).“Sekilas Perkembangan Teori Penologi”, Makalah-Simposium dan Pelatihan Hukum
Pidana dan Kriminologi ke-IV, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia dan
Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang Nusa Tenggara Timur
Young, C. (2012).Authenticity, Nihilism and the Feminine in Existentialist
Criminology. Cambrian Law Review Vol. 43

Anda mungkin juga menyukai