Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

MIOPIA PROGRESIF

Disusun Oleh:

Maria Grace Wilianto 42200400

Febrina Eva Susanto 42200401

Yeremia Wicaksono Putro 42200402

Debby Kurniawan C S 42200403

Gracia Sella Imanuel 42200404

Dosen Pembimbing Klinik:


dr. Edy Wibowo, Sp. M., MPH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
II. EPIDEMIOLOGI
III. ETIOLOGI
IV. ANATOMI
V. PATOFISIOLOGI
VI. KLASIFIKASI
VII. MANIFESTASI KLINIS
VIII. DIAGNOSIS KLINIS
IX. DIAGNOSIS BANDING
X. KOMPLIKASI
XI. PENATALAKSANAAN
XII. EDUKASI
XIII. PROGNOSIS
DAFTAR PUST77AKA
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Rabun jauh atau disebut Miopia berasal dari bahasa Yunani yang artinya
“pandangan dekat” (nearsightedness) ialah keadaan pada mata akibat objek jatuh tepat
di depan retina sehingga jarak pandang terlampau jauh.
Miopia merupakan mata dengan daya lensa positif yang lebih kuat sehingga
sinar yang sejajar atau datang dari tak terhingga difokuskan di depan retina. Kelainan
ini diperbaiki dengan lensa negatif sehingga bayangan benda tergeser ke belakang dan
diatur agar tepat jatuh di retina

Progresivitas adalah besarnya perubahan derajat miopia mulai dari pertama


kali didiagnosis menderita miopia sampai pada waktu sekarang.
Besarnya progresivitas derajat miopia didapat dari selisih derajat miopia
sekarang dengan derajat miopia pertama kali, kemudian dibagi lama menderita dalam
tahun. Jadi nilai ini merupakan nilai rata-rata progresivitas miopia.
Nilai progresivitas miopia didapat dengan menggunakan rumus:
Rata-rata progresivitas mata miopia fisiologis atau intermediat -0.5D per tahun.
Progresivitas lebih cepat terjadi pada miopia dengan kelainan retina, tekanan
intraokuar >16 mmHg, miopia lebih dari -3 dioptri saat usia <11 tahun.
Seseorang yang menderita miopia dikatakan progresif apabila ada peningkatan miopia
≥ -0.5D, dan miopia dikatakan tidak progresif bila peningkatan derajat miopia <
-0.5D.

II. EPIDEMIOLOGI
Miopia yang bersifat progresif terjadi pada masa anak-anak dan akan stabil
ketika mencapai usia 20 tahun atau akhir remaja. Data WHO memperkirakan bahwa
246 juta orang di seluruh dunia memiliki gangguan penglihatan yang meliputi
ametropia (miopia, hipemetropia atau astigmatisme) sebesar 43 %, katarak 33 %,
glaukoma 2 %. Kejadian miopia akan semakin meningkat dan diestimasikan separuh
dari penduduk dunia menderita miopia pada tahun 2020 (WHO, 2014). Asia
dilaporkan menduduki posisi pertama dengan Cina sebagai negara dengan angka
miopia tertinggi di dunia (Yu et al., 2011). Di Indonesia, prevalensi kelainan refraksi
menempati urutan pertama, meliputi 25% penduduk atau sekitar 55 juta jiwa (Usman
dkk, 2014). Sedangkan prevalensi miopia di Indonesia dengan spherical equivalent
(SE) lebih dari -0,5 D pada usia di atas 21 tahun adalah 48,1% (Pan et al., 2012).

III. ETIOLOGI
Miopia merupakan gangguan refraksi akibat daya bias optik yang terlalu
besar. Miopia dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti:
● Usia
Pada usia muda pertumbuhan anatomis bola mata semakin cepat. Hal ini
menyebabkan daya bias mata terlalu besar atau terlalu kuat. Ini terjadi karena
diameter anterior-posterior mata terlalu panjang dibandingkan dengan
kekuatan pembiasan kornea dan lensa. Oleh karena itu sinar yang masuk akan
jatuh di depan retina.
● Lama aktivitas melihat dekat
Membaca terus menerus selama lebih dari 30 menit dapat meningkatkan faktor
risiko miopia. Selain itu membaca dalam jarak dekat (<30 cm) dapat
meningkatkan risiko sebesar 1,2 kali.
● Intensitas cahaya
Intensitas cahaya yang kurang dapat menimbulkan kelelahan mata. Kelelahan
mata akan memicu terjadinya miopia.
● Posisi tubuh ketika membaca
Posisi tubuh saat membaca dapat mempengaruhi kerja mata. Posisi yang tanpa
disadari membuat jarak baca menjadi dekat, seperti baca dengan posisi
tengkurap akan meningkatkan risiko miopia.

IV. ANATOMI
Seseorang dapat melihat benda dengan cara menerima rangsangan berupa
cahaya. Pada prosesnya dikenal istilah berupa refraksi. Refraksi merupakan keadaan
dimana sekumpulan sinar melalui satu media transparan ke media lain yang
transparan tetapi berbeda kepadatannya. Media refraksi terdiri dari:
1. Kornea
Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata bagian depan. Kornea berfungsi sebagai pelindung dan “jendela” yang
dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Kornea bersifat tembus cahaya
karena strukturnya yang uniform, avaskular, dan deturgenses.
2. Kamera Okuli Anterior
Kamera okuli anterior berisi Humor Aqueous. Humor Aqueous merupakan
hasil produksi badan siliar yang memiliki jaringan vaskular. Jika terjadi
hambatan aliran cairan bilik mata akan meningkatkan tekanan bola mata.
3. Lensa
Lensa terletak di belakang pupil dan melekat pada badan siliar melalui zonula
zinn. Lensa bersifat avaskular dan tidak mempunyai persarafan. Pada mata
lensa berfungsi memfokuskan gambar pada retina. Lensa bersifat elastis,
sehingga dapat berakomodasi untuk memfokuskan bayangan benda jauh
maupun dekat.
4. Kamera Okuli Posterior
5. Badan Siliar
Badan Siliar merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak
diantara lensa dan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata dan
berfungsi sebagai penerus sinar dari lensa ke retina.
6. Retina
Retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang meneruma
rangsangan cahaya (fotoreseptor). Lapisan fotoreseptor retina terdiri dari sel
batang dan sel kerucut. Sel batang merupakan sel yang sensitif terhadap
cahaya, sedangkan sel kerucut lebih sensitif dalam membedakan warna.
..

V. PATOFISIOLOGI
Penelitian-penelitian terdahulu mengemukakan bahwa miopia disebabkan oleh
pemanjangan sumbu bola mata, namun penyebab yang mendasarinya masih belum
diketahui sepenuhnya. Terdapat dua teori utama tentang terjadinya pemanjangan
sumbu bola mata pada miopia, yaitu teori biologik dan teori mekanik. Teori biologik
menganggap bahwa pemanjangan sumbu bola mata akibat dari kelainan pertumbuhan
retina (overgrowth) dan teori mekanik mengemukakan adanya penekanan (stress)
sklera sebagai penyebab pemanjangan sumbu bola mata. Mekanisme pemanjangan
sumbu bola mata adalah adanya penekanan bola mata oleh muskulus rektus medial
dan obliq superior. Otot rektus media bersifat miopiagenik karena kompresinya
terhadap bola mata pada saat konvergensi. Sedangkan muskulus obliq superior juga
menekan bola mata saat melihat atau bekerja terlalu lama. Seperti diketahui, penderita
miopia selalu menggunakan konvergensi berlebihan. Konvergensi berlebihan
disebabkan karena penderita miopia memiliki jarak pupil yang lebar, selain itu orbita
juga lebih rendah sehingga porsi muskulus obliq superior yang menekan bola mata
lebih besar sehingga terdapat pengaruh anatomi dari mata terhadap terjadinya miopia.

Selain itu, terdapat faktor risiko yang dapat mempengaruhi seseorang untuk
mengalami miopia, yaitu.
1. Genetik dan lingkungan
Anak dengan orangtua yang menderita miopia cenderung mengalami miopia.
hal ini dikarenakan tendensi dalam suatu keluarga lebih mungkin disebabkan
lingkungan yang mendorong untuk melakukan kegiatan yang berjarak dekat
dengan intens dalam keluarga, daripada faktor genetik. Orang tua dengan
miopia biasanya akan menetapkan standar akademik yang tinggi atau
mewariskan kesukaan membaca pada anak-anak mereka.
2. Faktor perilaku
Kebiasaan atau aktivitas melihat dekat jangka panjang menyebabkan miopia
melalui terbentuknya bayangan buram di retina (retina blur) yang terjadi
selama fokus dekat. Kebiasaan membaca dalam jarak dekat (< 30 cm) dan
lama (> 30 menit) dapat meningkatkan terjadinya miopia karena menyebabkan
otot siliaris menjadi tinggi sehingga lensa menjadi cembung yang
mengakibatkan bayangan objek jatuh di depan retina. Penggunaan komputer
dalam jangka lama juga dapat menyebabkan miopia. Miopia mulai timbul bila
mengoperasikan komputer minimal 4 jam sehari dan paling banyak diderita
oleh orang yang bekerja dengan melihat dekat selama 8-10 jam per hari. Hal
ini dikarenakan memperberat kerja otot mata untuk mengatur fokus dan
menimbulkan ketegangan mata. Selain itu, menonton televisi dengan intensitas
tertentu juga berpengaruh terhadap derajat miopia. Sinar biru yang
dipancarkan televisi dapat menyebabkan degenerasi retina dengan merusak
sitokrok oksidase dan menghambat pernafasan sel, dan menimbulkan keluhan
kelelahan akibat kekakuan leher dan bahu, pusing, penglihatan buram, mata
merah dan perih, serta nyeri pada mata dan wajah.
VI. KLASIFIKASI
Berdasarkan beratnya miopia (tingginya dioptri), miopia dibagi dalam kelompok,
sebagai berikut :
1) Miopia sangat ringan : ≤ 1 dioptri
2) Miopia ringan : < 3.00 dioptri
3) Miopia sedang : 3.00 – 6.00 dioptri
4) Miopia berat : > 6.00 – 9.00 dioptri
5) Miopia sangat berat : > 9.00 dioptri
Miopia berdasarkan penyebabnya :
● Miopia aksial, yaitu sumbu aksial mata lebih panjang dari normal (diameter
antero-posterior lebih panjang, bola mata lebih panjang). Untuk setiap
millimeter tambahan panjang sumbu, mata kira-kira lebih mioptik 3 dioptri.
● Miopia kurvatura/refraktif, yaitu kurvatura kornea atau lensa lebih kuat / lebih
reraktif dari normal (kornea terlalu cembung atau lensa mempunyai
kecembungan yang lebih kuat).
● Miopia indeks, di mana indeks bias mata lebih tinggi dari normal, misalnya
pada diabetes mellitus. Miopia berdasarkan perjalanan penyakitnya :
○ Miopia stasioner yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
○ Miopia progresif yaitu miopia yang bertambah terus progresifitasnya
pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata.
○ Miopia maligna yaitu bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan
pada fundus okuli dan panjang bola mata, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan.

VII. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis yang umumnya didapatkan pada seseorang yang mengalami
miopia, yaitu.
1. Penderita miopia akan mengatakan melihat jelas dalam jarak dekat atau pada
jarak tertentu dan melihat kabur jika pandangan jauh.
2. Penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan mata untuk mencegah
aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole.
3. Timbulnya keluhan yang disebut astenopia konvergensi karena pungtum
remotum (titik terjauh yang masih bisa dilihat jelas) yang dekat sehingga mata
selalu dalam keadaan konvergensi. Bila keadaan tersebut menetap, maka
penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia.
VIII. DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis miopia ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis dan


pemeriksaan oftalmologis. Gejala klinis pada miopia antara lain berupa penglihatan buram
jika melihat atau membaca dari jarak jauh dan kadang-kadang disertai dengan nyeri kepala,
sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Secara klinis anak menunjukkan
kecenderungan menyipitkan / memicingkan matanya untuk mendapatkan efek pinhole yang
positif.

Pemeriksaan oftalmologis yang dilakukan adalah pemeriksaan tajam penglihatan


secara subjektif dengan menggunakan kartu Snellen chart pada jarak 6 meter untuk
mendapatkan koreksi terbaik. Kelainan refraksi diukur dalam derajat dioptri dan sebutan
miopia menggunakan tanda – (minus). Berdasarkan derajatnya miopia dbedakan menjadi 3,
yaitu miopia ringan (kurang dari -1,5 D), miopia sedang (1,5 D s/d -6,0 D), dan miopia tinggi
(lebih dari -6,0 D). Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran
bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata miopia, yang terdapat pada daerah
papil saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid. Pada mata dengan miopia tinggi
akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi
retina bagian perifer. Pemeriksaan oftalmologis lain adalah pemeriksaan refraksi objektif
dengan menggunakan streak retinoskopi.

Pengujian atau test yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan mata secara umum atau
standar pemeriksaan mata, terdiri dari :

1) Uji ketajaman penglihatan pada kedua mata dari jarak jauh (Snellen) dan jarak
dekat (Jaeger).
2) Uji Pinhole untuk memastikan gangguan refraksi pada mata
3) Uji penglihatan terhadap warna, uji ini untuk membuktikan kemungkinan ada
atau tidaknya kebutaan.
4) Uji gerakan otot-otot mata
5) Mengukur tekanan cairan di dalam mata
6) Pemeriksaan segmen anterior dan segmen posterior
IX. DIAGNOSIS BANDING
Hipermetropi
Keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Penyebab kelainan ini
dapat dikarenakan diameter posterior anterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura
kornea dan lensa yang lebih lemah dan perubahan indeks refraktif. Manifestasi klinis
dari hipermetropi yaitu bila 3 dioptri atau lebih atau pada usia tua mengeluhkan
pandangan jauh kabur, pandangan dekat lebih cepat buram, sakit kepala pada daerah
frontal akibat melihat dekat jangka panjang, sensitive terhadap cahaya.
Astigmatisma
Astigmatisma adalah suatu keadaan dimana berkas sinar tidak difokuskan pada satu
titik tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan permukaan kornea. Penyebab dari kelainan ini akibat adanya perbedaan
diameter anterio posterior bola mata, kurvatura kornea dan lensa serta indek bias
kedua mata. Manifestasi klinis dari penyakit ini terjadi pandangan kabur, head tilting,
menengok untuk melihat jelas, mempersempit palpebra, memegang bahan bacaan
lebih dekat.
Presbiopia
Presbiopia adalah keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut. Gangguan
akomodasi pada presbiopi terjadi akibat kelemahan otot akomodasi dan lensa mata
yang tidak kenyal atau berkurang elastisnya akibat sklerosis lensa. Manifestasi klinis
dari presbiopia bila 3 dioptri atau lebih atau pada usia tua mengeluhkan pandangan
jauh kabur, pandangan dekat lebih cepat buram, sakit kepala pada daerah frontal
akibat melihat dekat jangka panjang, sensitive terhadap cahaya.

X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada penderita miopia, yaitu:
1) Ablasio retina
Merupakan komplikasi tersering. Biasanya didahului dengan timbulnya hole
pada daerah perifer retina akibat proses-proses degenerasi dari daerah ini.
2) Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan
2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara
perlahan-lahan, namun proses ini akan
meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan
hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat
bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps
badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya
akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan
kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi karena
luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata.
3) Glaukoma
Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia
sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi
dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan
ikat penyambung pada trabekula.
4) Trombosis dan perdarahan koroid
Sering terjadi pada obliterasi dini pembuluh darah kecil. Biasanya terjadi di
daerah sentral, sehingga timbul jaringan parut yang mengakibatkan tajam
penglihatan.
5) Katarak
Transparansi lensa berkurang. Dilaporkan bahwa pada orang dengan miopia,
onset katarak muncul lebih cepat.

XI. PENATALAKSANAAN
1) Pemberian koreksi lensa
Koreksi miopia dengan menggunakan lensa konkaf atau lensa negatif,
perlu diingat bahwa cahaya yang melalui lensa konkaf akan disebarkan.
Karena itu, bila permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu besar,
seperti pada miopia, kelebihan daya bias ini dapat dinetralisasi dengan
meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata. Besarnya kekuatan lensa yang
digunakan untuk mengkoreksi mata miopia ditentukan dengan cara trial and
error, yaitu dengan mula-mula meletakkan sebuah lensa kuat dan kemudian
diganti dengan lensa yang lebih kuat atau lebih lemah sampai memberikan
tajam penglihatan yang terbaik. Pasien miopia yang dikoreksi dengan
kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan
maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.00 dioptri
memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian juga bila diberi sferis -3.25
dioptri, maka sebaiknya diberikan koreksi -3.00 dioptri agar untuk
memberikan istirahat mata dengan baik setelah dikoreksi.
2) Rigid Gas Permeable Contact Lens (RGP)
Merupakan suatu jenis lensa kontak rigid (kaku) yang digunakan untuk
mengoreksi tajam penglihatan. dengan kelebihan tidak mudah kotor karena
memiliki kadar air kurang dari 5%. Satu lensa RGP yang dirawat dengan baik
dapat bertahan hingga lebih dari 2 tahun. Disamping itu, RGP memiliki
transmisi oksigen yang besar, sehingga komplikasi seperti kekurangan oksigen
(hipoksia), penyebaran pembuluh darah baru, iritasi, kekeruhan pada kornea
dan lain-lain dapat diminimalkan. dibandingkan dengan Soft Contact Lens
(SCL), RGP menurunkan progresivitas miopia lebih baik.
3) Tetes mata atropine
Progresifitas miopia juga dapat ditekan dengan pemberian tetes mata
obat golongan anti-muskarinik seperti atropine dan pirenzepin dalam
konsentrasi kecil (0,5%, 0,25%, dan 0,1%), karena atropine akan menghambat
akomodasi. Konsentrasi yang tinggi (1%) meningkatkan insiden dan derajat
efek samping lokal seperti midriasis, fotofobia, buram, dan dermatitis alergi
serta efek samping sistemik. Pirenzepin sebagai obat selektif M1 dapat
mengurangi progresivisitas miopia dan pemanjangan aksial bola mata tanpa
efek samping atropin, yaitu midriasis dan sikloplegik.
4) Mencegah perburukan dengan cara :
a) Jarak baca 35 – 45 cm.
b) Aktifitas pemakaian mata jarak dekat dan jauh bergantian. Misalnya
setelah membaca atau melihat gambar atau menggunakan komputer 45
menit, berhenti dahulu untuk 15 – 20 menit, beristirahat sambil
melakukan aktifitas lain.
c) Mengatur program harian. Seharusnya diharuskan aktifitas luar dengan
melihat jarak jauh, misalnya kegiatan olah raga.

XII. EDUKASI
1) Mencegah terjadinya kebiasaan buruk
a) Anak dibiasakan duduk dengan posisi tegak sejak kecil
b) Mengistirahatkan mata setiap melakukan pekerjaan dengan
pengelihatan dekat
c) Batasi jam membaca
d) Mengatur jarak baca yang tepat
e) Jangan biasakan anak untuk membaca dengan posisi tiduran di lantai
maupun tempat tidur
f) Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau
melihat jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah miopia
2) Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan menunggu
sampai ada gangguan pada mata. Jika tidak diperbaiki sejak awal, maka
kelainan yang ada bisa permanen, misalnya pada bayi prematur harus terus
dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruangan inkubator untuk melihat
apakah ada tanda-tanda retinopati.
3) Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan
konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi juling.
Patuhi setiap perintah dokter dalam program rehabilitasi tersebut
4) Walaupun sekarang jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil tetap perlu
memperhatikan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama hamil

XIII. PROGNOSIS
Miopia memiliki efek negatif terhadap kepercayaan diri, jenjang karir, dan kondisi
kesehatan mata. Miopia juga berhubungan dengan peningkatan resiko beberapa
kelainan okular seperti glaukoma, katarak subkapsular posterior, ablasi retina,
degenerasi retina miopia, dan kebutaan.
DAFTAR PUSTAKA

Basri S. Etiopatogenesis dan penatalaksanaan miopia pada anak usia sekolah. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala 2014;14(3):181-6.

Biro, M Frank. 2020. Normal Puberty. Uptodate. Diakses pada 27 Januari 2021.

Coats, David K. 2020. Refractive Errors in Children. Uptodate. Diakses pada 27 Januari
2021.

Ilyas, Sidarta. 2005. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Jones LA, Sinnott LT, Mutti DO, Mitchell GL, Moeschberger ML, Zadnik K. Parental
History of Myopia, Sports and Outdoor Activities, and Future Myopia. Investigative
Ophthalmology & Visual Science. 2007;48(8):3524-32.

Lee CY, Sun CC, Lin YF, Lin KK. Effects of topical atropine on intraocular pressure and
myopia progression: A prospective comparative study. BMC Ophthalmol. 2016;16:114. doi:
10.1186/s12886-016-0297-y

Mian, Shahzad. 2019. Visual Impairment in Adults: Refractive Disorders and Presbyopia.
Uptodate. Diakses pada 27 Januari 2021

Pan CW, Ramamurthy D, Saw SM. Worldwide prevalence and risk factors for myopia.
Ophthalmic Physiol Opt. 2012;32(1):3–16.

Usman S. Hubungan Antara Faktor Keturunan, Aktivitas Melihat Dekat Dan Sikap
Pencegahan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Terhadap Kejadian Miopia.
2014.

WHO. (2014). Vision 2020 The Right to Sight. World Health Organization Publication Data.
Diakses pada 16 Maret 2014.
Yu L, Li, Z.K. Gao, J.R. Liu, J.R & Xu, C.T. ( 2011). Epidemiology, Genetics And
Treatments For Myopia. International Journal o f Ophthalmology, 658–69

Anda mungkin juga menyukai