SKENARIO 2: Analgesik
Dosen Pembimbing:
UNIVERSITAS JEMBER
2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya, laporan ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya. Laporan ini membahas mengenai pendekatan masalah kesehatan.
Dalam penyelesaian laporan tutorial skenario 2 blok 13 ini tentunya tidak dapat kami
selesaikan sendiri, saya banyak memperoleh bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada:
Kami sadar dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan
laporan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Kami harap laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua serta untuk menambah wawasan. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
SKENARIO 2 ANALGESIK
Di awal pandemi covid 19, Tono, 20 th sakit gigi karena berlubang pada gigi geraham
3, terutama bila terkena minuman dingin atau makanan yang terselib di gigi yang lubang dan
posisi tumbuhnya miring ke gigi depannya. Pada awal sakit, Tono minum cataflam dan
sembuh. 3 bulan kemudian gigi Tono kambuh lagi sakitnya, sekarang sakitnya lebih lama dan
tidak menghilang walaupun Tono sudah minum cataflam. Rasa sakit muncul tiba-tiba bahkan
saat tidur malam rasa sakit itu sering muncul dan intensitasnya semakin lama dan dalam. Mau
periksa ke dokter gigi , banyak dokter gigi yang tidak buka praktek, akhirnya Tono selain
minum cataflam dan ponstan juga memasukkan minyak kayu putih ke dalam giginya yang
berlubang dan hasilnya sakitnya lumayan berkurang bahkan sempat tidak sakit dalam
beberapa waktu, sakit maagnya kambuh. Sampai akhirnya giginya sakit lagi dan pipinya
bengkak, sakitnya membuat tono tidak bisa tidur. Tono pergi ke RSGM Unej. Oleh dokter
gigi , Tono disarankan untuk mencabut gigi geraham 3 nya yang tumbuh miring tersebut, dan
memberikan obat metronidazole, kalium diklofenak dan analsik untuk diminum sampai
bengkaknya hilang baru dilakukan operasi gigi tersebut.
Analgesik merupakan obat yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Obat
analgesic ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat karena obat ini dapat menghilangkan
rasa sakit atau nyeri meskipun tidak dapat menyebuhkan penyebab dari penyakitnya. Adapun
rasa nyeri sendiri merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus
dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan. Rasa nyeri dapat
dirasakan seperti rasa nyeri tajam, tertusuk, akut, dan seperti tersetrum yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari.
Obat analgetik terbagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan opioid, non-opioid, dan
adjuvant. Mekanisme kerja dari ketika golongan tersebut pun berbeda, obat analgesic
narkotik (opioid) bekerja pada SSP, sedangkan analgesic non-narkotik (non-opioid) disebut
pula sebagai NSAIDs (non-steroidal anti-inflamatory drugs) merupakan obat yang
menghambat terjadinya sintesis prostaglandin, yaitu dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Cataflam : obat yang digunakan untuk mengobati rasa sakit atau nyeri
2. Ponstan : mengandung asam mefenafat yang juga untuk pereda nyeri pada tingat
ringan dan sedang, mengurangi pembengkakan dan antiinflamasi
3. Metronidazole : obat antibiotic untuk mengobati infeksi, dengan cara menghentikan
bakteri/parasit
4. Kalium dikrofenat : masuk dalam obat anti nyeri dalam golongan OAINS, nama
lainnya kataflam
5. Analsik : untuk meringankan rasa nyeri juga, mengandung metamizole sama
diazepam, mengobati nyeri sedang sampai berat
Kalium Diklofenak adalah obat generik yang digunakan sebagai pereda nyeri,
nyeri ringan hingga sedang, khususnya ketika pasien juga mengalami peradangan, dan
mengurangi gangguan inflamasi (peradangan) secara umum. Kalium Diklofenak
termasuk dalam golongan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID)
Analsik adalah obat pereda nyeri yang mengandung 2 kombinasi zat aktif,
yaitu diazepam dan (metamizole). Analsik masuk dalam golongan obat NSAID (obat
antiradang nonsteroid/OAINS). Yang bekerja dengan menghambat produksi zat
tertentu yang menyebabkan peradangan dalam tubuh. Analsik biasa digunakan untuk
meredakan nyeri sedang sampai berat.
10. Bagaimana khasiat minyak kayu putih sehingga dapat mengurangi rasa sakit
gigi?
Minyak kayu putih adalah suatu obat tradisional yang digunakan untuk
penyakit saluran nafas seperti asma,sinus,dan paru – paru. Didalam minyak kayu
putih itu ada kandungannya namanya eucalyptol dimana zat ini adalah bahan aktif
minyak kayu putih yang biasa digunakan untuk mengobati peradangan pada saluran
nafas. minyak kayu putih itu memiliki kandungan antimikroba terpinen-4-ol, 1,8-
cineol dan α- terpineol dimana kandungan ini memungkinkan dapat memperlambat
pertumbuhan s.mutans.
11. Mengapa sakit maagnya bisa kambuh setelah mengonsumsi kataflam dan
ponstan?
Sakit maag yang diderita tono kambuh karena cataflam mengandung asam
asetat dan ponstan mengandung asam mefenamat.
12. Apa obat penghilang nyeri untuk menghilangkan rasa sakit gigi pada penderita
sakit maag?
Obat penghilang nyeri gigi yang cocok untuk dikonsumsi penderita sakit
maag, yaitu :
• Antasida : Antasida adalah basa-basa lemah yang digunakan untuk mengikat secara
kimiawi dan menetralkan asam lambung. Obat-obat yang termasuk antasida yaitu
kombinasi Magnesium hidroksida dan Alumunium hidroksida (Antasida doen),
Alumina dan Magnesia (Maalox), Calcium carbonate dan Magnesia (Rolaids). Kontra
indikasi obat ini yaitu jangan diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal yang
berat karena akan menimbulkan hipermagnesia dan efek samping obat yaitu
konstipasi (sembelit) dan diare.
• Antibiotik : Antibiotik digunakan untuk menghambat dinding sel Helicobacter
pylori. Obat-obat yang termasuk antibiotik antara lain Amoksisilin, Metronidazole,
Tetrasiklin, Klaritromisin, dan Bismufh Subsalicylate. Kontra indikasi obat ini yaitu
hipersensitif terhadap antibiotik dan efek samping obat yaitu mual, muntah, diare,
sakit kepala.
• Histamine (H2) Blockers : Cara kerja H2 Blockers adalah mengurangi produksi
asam di lambung. Efek samping dari H2 Blockers yaitu sakit kepala, mual dan sakit
perut. Beberapa obat yang tergolong dalam H2 Blockers yaitu Famotidine (Pepcid
AC), Ranitidine (Zantac 75). dan Cimetidine.
Nyeri
Obat Analgesik
Mekanisme
Efek samping
Farmakokinetik dan
farmakodinamik
Kontraindikasi dan
indikasi
2.4 Learning objective
1. Mahasiswa mampu mengkaji dan menjelaskan dari pengerti dan jenis nyeri
(Rachel)
Nyeri merupakan bentuk respon langsung terhadap kejadian tidak
menyenangkan yang berkaitan langsung dengan kerusakan pada suatu jaringan,
seperti luka, inflamasi atau kanker. Nyeri sendiri disebabkan dapat berupa rangsangan
mekanis, kimiawi, atau fisik berupa kalor atau listrik. Nyeri sendiri diklasifikasikan
menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang
berlangsung selama ±7 hari dan biasanya terjadi secara tiba-tiba. Gejala yang timbul
biasanya berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari, hingga satu minggu dan sering
dihubungkan dengan adanya luka pada jaringan, inflamasi, prosedur yang
berhubungan dengan pembedahan, proses kelahiran bayi. Sedangkan nyeri kronik
adalah nyeri menetap dengan durasi lebih lama biasanya berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun. Nyeri kronik sendiri sulit diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, sehingga dapat menyebabkan gangguan
yang berat bagi pasien yang mengalaminya. Contoh nyeri kronis yaitu nyeri tulang
belakang, nyeri diabetes neuropati, nyeri rematik, migrain, artritis.
Definisi:
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering
dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca
pembedahan.
Macam obat:
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang
luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi
efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang
timbul setelah pemberian parenteral (suntik) dengan dosis yang sama. Morfin dapat
melewati sawar uri (Sawar uri adalah Barier yang memisahkan darah ibu dengan
darah janin yang terdiri dari sel epitel vili dan sel endotel kapiler janin) dan
mempengaharui janin.
Absorbsi petidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi
kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam
plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat
bervariasi. Setelah pemberian petidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara
cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang
lebih 60% petidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme petidin terutama dalam
hati. Pada manusia petidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang
kemudian sebagian mengalami konyugasi.
Petidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3
dari satu dosis petidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Petidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan
intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi
dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.
1. Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi pada reseptor ini akan
menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan depresi respirasi.
2. Reseptor Kappa
3. Reseptor Sigma
Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga memperkuat
reseptor Mu.
Μ (MU) reseptor memiliki jumlah yang paling banyak di otak dan merupakan
reseptor yang paling berinteraksi dengan opioid analgesik untuk mengasilkan efek
analgesik. Sedangkan κ (Kappa) dan σ (Sigma) reseptor menunjukkan selektivitas
terhahap enkefalin dan dinorfin secara respektif.
1. Morfin
Bekerja sebagai agonis reseptor pada reseptor (MU / Mikro), morfin ini memiliki
afinitas lebih rendah daripada reseptor Delta dan Kappa. Efek morfin pada sistem
saraf ini memiliki dua sifat yaitu sifat depresi (analgesi , sedasi, perubahan emosi,
hipoventilasi alveolar) dan Stimulasi (Stimulasi Parasimpatis, miosis, mual,
hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan skresi hormone anti diuretike (ADH)).
2. Kodein
Termasuk dalam analgesik agonis opioid. KOdein dapat meningkatkan ambang
rasa nyeri dan mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi
nyeri diterima dari thalamus. Kodein juga merupakan antitusif yang bekerja pada
susunan saraf pusat dengan menekan pusat batuk.
Nyeri Akut :
A. Anak
1. PO (Per Oral) : > 6 bulan dengan BB < 50 Kg : 0.15 - 0.2 mg/KgBB tiap 3-4 jam
2. IM & IV (intramuskular dan intravena) : 0.1-0.2 mg/kgBB tiap 3-4 jam
B. Dewasa
1. PO : 10-30 mg/kgBB tiap 4 jam
2. IM : 5-10 mg/kgBB tiap 4 jam
3. IV : 2.5-5 mg/kgBB tiap 3-4 jam
Kodein :
Sebagai Analgesik :
8. Overdosis
1. Morfin
- Idiosinkrasi : Timbul eksitasi dengan tremor, dan jarang delirium
- Intoksikasi akut : Pasien akan tidur atau sopor atau kma jika intoksikasi cukup berat.
Frekuensi napas 2-3 kali per menit dan pupil sangat kecil
2. Kodein
Dapat menimbulkan ketergantungan, mual, muntah, idiosinkrasi, pusing dan sembelit.
Depresi pernafasan, terutama pada penderita asma, depresi jantung dan syok.
Kontraindikasi
- Pasien yang mengalami depresi napas akut dan alkoholisme akut.
- Harus dihindari pada pasien yang sedang mengalami cedera kepala karena dapat
mempengaruhi respon pupil yangg berhubungan dengan penilaian neurologis.
- Hipersensitivitas.
- Pasien yang memiliki penurunan atau gangguan pada fungsi hati.
- Gangguan pada fungsi ginjal.
- Kontraindikasi lainnya juga pada feokromositoma karena dapat menyababkan
tekanan darah naik yang merupakan respon terhadap pelepasan histamin.
Feokromositoma merupakan tumor yang dapat terjadi pada kelenjar adrenal.
Indikasi
- Opioid morfin dapat diindkasikan untuk nyeri sedang hingga berat.
- Dapat juga diindikasikan untuk mengurangi cardiac preload ataupun cardiac
after load sekunder terhadap efek vasodilatasi.
- Analgesic opioid terutama morfin dan kodein memiliki efek antitusif sehingga
dapat diindikasikan pada pasien yang mengalami batuk. Hal ini karena antitusif
merupakan obat yang bisa menghentikan rangsang batuk dan bisa menurunkan
frekuensi serta intensitas batuk dengan menekan refleks batuk di batang otak dan
atau melalui blokade reseptor sensorik (reseptor batuk) di saluran bronchus.
- Analgesik opioid juga dapat diindikasikan untuk diare. Obat anti diare golongan
opioid dapat mengatasi diare dengan memperlambat gerakan feses di dalam
saluran cerna sehingga dapat meningkatkan penyerapan air dan elektrolit kembali
ke dalam tubuh.
Pengaruh dengan obat lain
- Opioid yang diberikan bersama dengan benzodiazepine dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah, penurunan indeks cardiac, penurunan laju nadi dan
terjadi peningkatan resistensi sistemik.
- Kombinasi obat morfin dengan golongan depresan seperti benzodiazepin dapat
meningkatkan resiko depresi pernapasan.
- Morphin dapat meningkatkan efek blok dari obat golongan penlemas otot dan
resiko depresi nafas. Pasien yang menerima simetidin dan morphin secara
bersamaan dapat timbul efek samping berupa apnea, kebingungan dan kedutan
otot.
NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti inflamasi non
steroid (OAINS) merupakan suatu kelompok obat yang berfungsi sebagai anti
inflamasi, analgetik dan juga antipiretik. NSAID merupakan obat yang heterogen,
dimana beberapa obat itu terlihat berbeda secara kimiawi. Walaupun demikian, obat-
obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.
Obat golongan NSAID dinyatakan sebagai obat anti inflamasi non steroid, karena ada
obat golongan steroid yang juga berfungsi sebagai anti inflamasi.
Farmakokinetik
Sebagian besar NSAID terikat pada protein plasma (95-99%), dan pengikatan
ini mungkin terjadi jenuh dengan potensi interaksi dengan obat-obatan yang bersaing
untuk situs pengikatan yang sama. Pola sebaran memiliki pengaruh yang signifikan
pada tindakan farmakologis dan efek samping dari NSAID. Kebanyakan senyawa
mencapai cukup konsentrasi di sistem saraf pusat ke efek analgesik sentral, sementara
kinetika mereka dalam fokus inflamasi tampaknya dipengaruhi oleh karakteristik
fisikokimia tertentu, seperti keasaman. Obat asam (pKa 4–5), termasuk diklofenak,
ibuprofen, ketoprofen, atau lumiracoxib, tampaknya terakumulasi dan bertahan di
jaringan yang meradang, seperti di cairan synovial sendi yang meradang (diulas di
Brune dan Patrignani [31]). Akumulasi ini mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a. Lingkungan mikro asam lokal yang disebabkan oleh peradangan
memfasilitasi difusi nonionic obat-obatan ini masuk ke bagian dalam sel;
Sesampainya disana, pH intraseluler yang lebih tinggi menyebabkan ionisasi obat.
Proses ini, disebut penjebakan ion, meningkatkan konsentrasi intraseluler obat.
b. Perubahan hemodinamik jaringan selama inflamasi termasuk
meningkat aliran darah terlokalisasi dan edema, memungkinkan obat yang terikat-
protein dan obat yang tidak terikat protein keluar ke jaringan.
c. Konsentrasi albumin yang tinggi di radang jaringan dan cairan sinovial
menyajikan afinitas tinggi untuk protein ini.
d. Mungkin pH ekstraseluler agak asam mengurangi pengikatannya pada
protein plasma dan meningkatkan fraksi bebas obat.
Contoh obat :
1. Derivat salisilat
a). Aspirin
Merupakan obat untuk mengurangi rasa sakit dan menurunkan demam. Perlu diingat,
sebaiknya konsumsi aspirin setelah makan, karena obat ini dapat menimbulkan sakit
maag. Untuk mengatasi demam dan nyeri. Dosis untuk orang dewasa: 325-650 mg setiap
4 jam sekali atau 975 mg setiap 6 jam sekali, atau 500-1000 mg setiap 4-6 jam. Maksimal
4 g/hari selama 10 hari.
b). Salisilamid
Salisilamid merupakan amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgesic dan
antipiretik mirip asetosal,
Untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Obat ini
mempunya efek anti-inflamasi yang kuat. Tetapi memiliki efek samping yang serius
seperti agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal.
a). Asam mefenamat : Asam mefenamat sebagai analgesik dan terikat sangatkuat pada
protein plasma.
b). Meklofenamat : Obat ini meningkatkan efek antikoagulan oral.
a). Indometasin : obat ini lebih efektif daripada aspirin, merupakan obat penghambat
prostaglandin terkuat. Efek samping menimbulkan efek terhadap saluran cerna
seperti nyeri abdomen, diare, pendarahan saluran cerna, dan pancreatitis, serta
menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan hati. Dosis obat minum
kapsul Dewasa: 25 mg, 2–3 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 150–200
mg per hari
7. Derivat oxicam
a). Peroksikam
b). Meloksikam
Waktu paruh dalam plasma lebih dari 45 jam sehingga dapat diberikan hanya sekali
sehari. Absorpsi berlangsung cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma.
Obat analgesic adjuvan adalah obat yang mempunyai indikasi untuk terapi
namun efek analgesiknya hanya didapat pada kondisi tertentu. Analgesic adjuvan
adalah jenis obat untuk mengurangi nyeri neuropati yang sering kali underdiagnosed
atau tidak adekuatnya terapi ataupun keduanya. Biasanya keluhan yang sering
disampaikan oleh pasien seperti perasaan panas seperti terbakar, seperti tertembak,
terpanah ataupun tertusuk pada bagian sekitar dermatomal, dimana struktur neuralnya
mengalami kerusakan. Namun dalam pemberian obat ini tidak memberi efek yang
begitu ampuh untuk mengurangi nyeri neuropati.
1. Antidepresan
Pada mulanya tidak dirancang sebagai analgesik, tetapi dilaporkan memiliki
efek anallgesik untuk nyeri kronis. Antidepresan yang spesifik dengan efek analgesik
yaitu antidepresan trisiklik (TCA) dan serotonin noradrenalin reuptake inhibitor
(SNRI). SNRI efektif digunakan untuk mengobati depresi, namun tidak untuk nyeri
kronis.
Mekanisme utama antidepresan menghambat nyeri neuropatik yaitu pertama
meningkatkan noradrenalin pada spinal cord, kedua bekerja pada LC sehingga
langsung menginhibisi nyeri dan meningkatkan aktivitas sistem inhibitor nyeri pada
jalur noradrenergik. Efek inhibitor noradrenalin melalui jalur tambahan mengalami
peningkatan akibat dopamin dan 5-HT mengalami peningkatan pada sistem saraf
pusat.
Efek farmakologis antidepresan melibatkan pengikatan dengan transporter
noradrenalin dan serotonin (5-HT). Terjadi peningkatan kadar noradrenalin dan 5-HT
di celah sinaptik akibat inhibisi pada reuptake neurotransmitter. Inhibisi reuptake
noradrenalin meningkatkan efek analgesik terutama di dorsal horn spinal cord melalui
reseptor α2-adrenergik. Reseptor α2- circle adrenergik bergabung dengan G-protein
inhibitor (Gi), yang menghambat presinaptik kanal Voltage-gated Ca2+ dorsal horn
spinal cord sehingga menginhibisi pelepasan neurotransmitter eksitatori dari serabut
aferen primer. Pada saat yang sama, G-protein coupled membuka kanal K+ di post
sinaptik dorsal horn spinal cord, sehingga membran sel hiperpolarisasi, dan
eksitabilitas menurun. Reseptor α2-adrenergik yang diekspresikan dalam interneuron
kolinergik dari dorsal horn spinal cord bergabung dengan Gprotein eksitatori (GS)
oleh aksi dari brain-derived neurotrophic factor (BDNF) melalui reseptor TrkB dan
asetilkolin dirilis oleh stimulasi adrenergik α2 reseptor. Akibatnya, reseptor
muskarinik, yang menginduksi gamma-aminobutyric acid (GABA) rilis, berkontribusi
pada efek penghambatan aktivasi reseptor α2- adrenergik pada nyeri neuropatik.
Antidepresan trisiklik (TCAs)
Anti-depresan trisiklik (TCAs) telah digunakan bertahun-tahun untuk
mengobati kanker yang telah dibuktikan manfaatnya oleh beberapa peneliti untuk
manajemen nyeri kanker. TCAs tidak mahal dan hanya dikonsumsi sekali sehari.
TCAs bekerja mengurangi nyeri dengan cara menghambat reuptake norephinefrin dan
serotonin sehingga kadar keduanya tetap tinggi.
Efek samping yang ditimbulkan yaitu efek antikolinergik seperti mulut kering,
retensi urin dan konstipasi. Lalu dapat menyebabkan hipotensi ortostatik dan sedasi.
TCAs harus dihindari oleh pasien dengan riwayat penyakit jantung coroner karena
dapat memicu interval QT yang berkepanjangan dan aritmia jantung, sehingga
pemeriksaan dengan elektrokardiografi diperlukan pada pasien dengan usia diatas 40
tahun dan dosis awal ditritasi.
Analgesik adjuvant (adjuvant analgesic) yang merupakan obat yang
mempunyai sifat analgesik lemah atau tidak ada sifat analgesik sama sekali apabila
diberikan sendiri, namun dapat meningkatkan efek agen analgesic lain. Obat ini dapat
dikombinasikan dengan analgesic primer sesuai dengan sistem WHO Analgesic
Ladder untuk mengurangi rasa nyeri. Analgesik adjuvant biasanya diberikan kepaada
pasien yang menggunakan berbagai obat sehingga keputusan mengenai administrasi
dan dosis obat harus dibuat dengan pemahaman yang jelas dari tahap penyakit dan
tujuan perawatan.
Sebagian analgesic adjuvant mempunyai efek yang bagus pada beberapa
situasi nyeri tertentu sehingga diberikan nama multipurpose adjuvant analgesics
(antidepressants, corticosteroids, α2-adrenergic agonists, neuroleptics). Ada juga yang
spesifik pada kondisi nyeri tertentu saja, seperti pada nyeri neuropatik
(anticonvulsants, local anesthetics, N-methyl-D-aspartate receptor antagonists), nyeri
tulang (calcitonin, bisphosphonates, radiopharmaceuticals), nyeri otot (muscle
relaxants), atau nyeri pada obstruksi usus (octreotide, anticholinergics)
• Dosis oral: 0,2-0,5 mg/kg (nyeri neuropatik pathic) dan 1-5 mg/kg/hari
(antidepresan).
• Umur 2-12 tahun: oral 0,2-0,5 mg/kg (maksimal 25 mg), diminum malam hari dan
alua perlu dapat dinaikkan 1 mg/kg 2 x sehari.
• Umur 12-18 tahun: oral 10-25 mg/kg, diminum malam hari dan dapat dinaikkan
hingga maksimal 75 mg.
• Efek samping: mengantuk, sedasi, letargi, mulut dan mata kering, penglihatan
kabur, hipotensi, dan konstipasi.
• Dianjurkan untuk diberikan pada anak besar mengingat efek samping yang
ditimbulkan.
ANTIKONVULSAN
1. GABAPENTIN
Gabapentin adalah analog struktural dari asam gammaaminobutirat
penghambat neurotransmitter (GABA); Namun, ia memiliki sedikit aktivitas di
reseptor GABA. Sebaliknya, diperkirakan bahwa gabapentinoids mengerahkan efek
utamanya dengan mengikat subunit a2-d dari saluran kalsium dengan gerbang
tegangan. Gabapentin juga menghambat pelepasan GABA presinaptik dan
menginduksi pelepasan glutamat di lokus coeruleus yang terletak di batang otak. Oleh
karena itu, gabapentin bekerja juga pada sistem penghambatan noradrenergik yang
menurun.
Pada manusia, pemberian bersama hidrokodon atau morfin dapat
menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma gabapentin. Penundaan selama 2 jam
juga dianjurkan bila gabapentin diberikan bersamaan dengan aluminiummagnesium
hidroksida karena dapat menurunkan absorpsi gabapentin.
Gabapentin disetujui oleh US Food and Drug Administration sebagai obat
antiepilepsi dan antihiperalgesik tambahan (untuk nyeri neuropatik yang terkait
dengan neuralgia postherpetik) pada manusia.
Sebuah meta-analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa dosis tunggal
gabapentin atau pregabalin yang diberikan sebelum operasi mengurangi konsumsi
opioid pada periode pasca operasi. Gabapentin memberikan kontrol nyeri yang
memadai pada periode awal setelah operasi caesar tanpa meningkatkan efek samping
pada ibu atau bayi. Namun, itu tidak meningkatkan skor nyeri atau mengurangi
kebutuhan opioid bila digunakan pada pasien sakit kritis dengan patah tulang rusuk
atau sebelum histerektomi dengan laparoskopi.
• Dosis oral: 10mg/kg (2-6 tahun), 10mg/kg (6- 12 tahun), 300mg (12-18 tahun)
• Usia 2-12 tahun: oral 10 mg/kg pada hari-1, 2x/hari hari-2, dan 3x/hari pada hari-
3. Dosis pemeliharaan 10 - 20 mg/kg 3 x sehari.
• Usia 12-18 tahun: oral 300 mg pada hari-1, 2 x 300 mg pada hari-2, dan 3 x 300
mg pada hari-3. Maksimal 800 mg 3 sehari.
• Efek samping: mengantuk dan pusing.
• Jangan dihentikan seketika dan jangan diberikan pada anak dengan gangguan
psikiatrik.
2. KETAMINE
Dosis subanestetik ketamin digunakan sebagai variabel atau infus laju konstan
(CRI) untuk manajemen nyeri pada periode perioperatif. Pemberian bolus tunggal saja
untuk analgesia perioperatif jarang terjadi karena pembersihannya yang cepat. Obat
ini diberikan untuk mencegah atau mengobati hiperalgesia dan allodynia yang
umumnya terkait dengan sensitisasi sentral selama operasi besar.
3. TRAMADOL
Tramadol adalah obat analgesik aksi ganda. Ini adalah agonis opioid lemah
sintetis yang bekerja di pusat dan penghambat reuptake serotonin dan norepinefrin.
Oleh karena itu, selain efek opioidnya, tramadol menghasilkan modulasi sentral
nosisepsi dengan meningkatkan aktivitas noradrenergik dan serotoninergik. Tramadol
biasanya diberikan untuk pengobatan nyeri akut dan kronis. Ini sering diresepkan
untuk nyeri pasca operasi jangka panjang.
Pertimbangan pemilihan obat AINS pada anak ini tentunya didasarkan pada
hasil penelitian yang telah menguji keamanannya, yang dilakukan oleh para ahli.
Hal yang harus menjadi perhatian penting adalah pemberian obat secara rasional
dan pemahaman dasar gambaran farmakokinetik dan farmakodinamik obat.
Obat-obat AINS banyak digunakan untuk pasien anak. Satu-satunya obat dari
kelompok indol yang diizinkan oleh FDA adalah
Selain itu, Pemilihan obat AINS pada anak yang sudah diuji penggunaanya
pada anak, yaitu
- aspirin, naproksen atau tolmetin, kecuali untuk pemberian aspirin pada anak
kemungkinan dapat terjadi Reye’s Syndrome. Pada kasus demikian untuk
menurunkan panas atau demam pada anak aspirin dapat diganti dengan
asetaminofen.
- kemudian ada ibufrofen turut menjadi pilihan dan terbukti aman untuk anak-
anak. Dimana dia lebih berperan sebagai analgesik untuk menekan nyeri.
jadi obat obat yang tergolong dalam obat anti inflamasi Non steroid umumnya
mempunyai efek samping berupa iritasi lambung (gastritis) atau maag.
Efek samping tersebut berkaitan dengan efek antiplatelet yang minimal oleh
penghambat COX-2 karen dari segi kajian farmakologi molekuler diketahui
bahwa COX-2 sangat dibutuhkan dalam menjaga kesehatan jantung. Pada
penelitian Shinmura dkk disimpulkan bahwa COX-2 adalah protein
kardioprotektif, sehingga jika aktivitas COX-2 dihambat akan berakibat semakin
meningkatnya kejadian kardiovaskuler. Efek toksik melalui penghabatan COX 1
yang dapat menyebabkan difungsi renal dan ulserasi mukosa labmung.
Pada mekanisme lokal gastritis terjadi karena OAINS bersifat lipofilikdan asam,
sehingga mempermudah penangkapan ion hidrogen masuk mukosa lambungdan
menimbulkan kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Kentjono, Widodo Ario dkk. Emergency on Ortorhinolaryngology Head & Neck Surgery :
Latest Clinical Update. Surabaya. Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga.
Munir, Badrul dkk. 2018. Continuing Neurological Education (CNE-7) Comprehensive
Approach to Pain Management. UB Media, Universitas Brawijaya, Malang. p29-49.
ISBN 978-602-462-103-2
Majority | Volume 5 | Nomor 5 | Desember 2016 Hubungan Konsumsi OAINS terhadap
Gastritis, Fathan Muhi Amrulloh, Mahasiswa, FakultasKedokteran, Universitas
Lampung.
Anti Inflamasi Non Steroid ( Ains ) Indonesian Journal of Dentistry 2008; 15 (3): 200-204
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia PEMBERIAN OBAT-OBATAN ANTI
INFLAMASI NON STEROID ( AINS ) PADA ANAK oleh Fajriani, Bagian Ilmu
Kesehatan Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin
Woro, Sujati. 2016. Farmakologi. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Heri, A. A. P., & Subarnas, A. (2019). Morfin: Penggunaan Klinis dan Aspek-
Aspeknya. Farmaka, 17(3), 134-141.
Linnisaa, U. H., dan Wati, S. E. 2014. Rasionalitas Peresepan Obat Batuk Ekspektoran Dan
Antitusif Di Apotek Jati Medika Periode Oktober-Desember 2012. Indonesian Journal on
Medical Science, 1(1):30-39.
Ruel dan Steagall. 2019. Adjuvant Analgesics in Acute Pain Management. Elsevier Inc.
Hasbar, A. 2017. Karakteristik Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri di Puskesmas
Batua Kota Makassar Pada Bulan Februari 2017. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Cregg, R., Russo, G., Gubbay, A., Branford, R., & Sato, H. (2013). Pharmacogenetics of
analgesic drugs. British journal of pain, 7(4), 189–208.
https://doi.org/10.1177/2049463713507439
Cohen B, Ruth LJ, Preuss CV. Opioid Analgesics. [Updated 2021 Feb 17]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459161/
Anonimus. 2015. Petunjuk Teknis: Program Paliatif Kanker Anak. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Lanas, A. (2016) ‘NSAIDs and aspirin: Recent advances and implications for clinical
management’, NSAIDs and Aspirin: Recent Advances and Implications for Clinical
Management, pp. 1–263. doi: 10.1007/978-3-319-33889-7.
Suwandi, N. D., Abrori, C. and Hasan, M. (2018) ‘Kadar Puncak ( C max ), Waktu Puncak
( T max ), Waktu Paruh ( T ½ ) dan Bersihan Teobromin pada Sukarelawan Sehat setelah
Pemberian Dark Chocolate Bar Per Oral ( The Maximum Consentration ( C max ) ,
Maximum Time ( T max ) , Half- time ( T ½ ) and Clearan’, Pustaka kesehatan, 6(2), pp.
257–261.