Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 13 Farmakologi, Farmasi dan Obat alami

“ANALGESIK”

Dosen pembimbing tutorial:


drg. Pujiana Endah Lestari M.Kes
Disusun oleh Tutorial 15 :

1. Cita Kalaning Redja ( 191610101171 )

2. Isrofatullaily ( 191610101172 )
3. Khanun Nailufar ( 191610101173 )

4. Muhammad Fernando Akbarsyah ( 191610101174 )


5. Manta Fany ( 191610101175 )

6. Nabila Fauziyah Dewanto ( 191610101176 )


7. Afriz Yuda Purnama .N ( 191610101177 )
8. Agung Erdiyanto A.D.S ( 191610101178 )
9. Muhammad Firman Hidayat ( 191610101179 )

10. Dhara Ananda Karyudi ( 191610101180 )

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis hanturkan ke-hadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya lah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mengalami kesulitan,


terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya laporan ini dapat terselesaikan dengan
cukup baik. Karena itu, sudah sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa atau segala berkah dan rahmat-Nya sehingga laporan tutorial
skenario pertama Blok 13 Farmakologi, Farmasi Dan Obat Alami ini dapat selesai.
2. Dosen Pembimbing tutorial, drg. Pujiana Endah Lestari M.Kes yang telah memberi
masukan yang membantu bagi pengembangan ilmu yang telah didaptkan.
3. Teman-teman satu kelompok yang telah berpartisipasi dalam pembelajaran dan
penyusunan laporan.

Penulis sadar dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Akhir kata penulis
ucapkan terima kasih.

Bekasi, 4 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2

2.1 SKENARIO 2 .............................................................................................................. 2

2.2 TUTORIAL ................................................................................................................. 2

1) Step 1: Mengklarifikasi Istilah (Kata Sulit) ................................................................ 2

2) Step 2: Menetapkan Permasalahan (problem definition) ............................................ 3

3) Step 3: Menganalisi Masalah (menjawab permasalahan) ........................................... 3

4) Step 4: Mapping .......................................................................................................... 7

5) Step 5: Mennetukan Tujuan Pembelajaran (Learning Object) .................................... 7

6) Step 6: Belajar Mandiri (self-study) ............................................................................ 8

7) Step 7: Pembahasan Learning Object.......................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 49

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analgetik merupakan obat yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau
dapat disebut pula sebagai obat penghalang rasa nyeri, misalnya sakit kepala, otot, perut, dan
gigi dengan tanpa mengurangi atau menghilangkan kesadaran dari penderita. Obat analgesik
ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat dikarenakan obat ini dapat menghilangkan rasa
sakit atau nyeri meskipun obat analgesik ini tidak dapat menyembuhkan penyakit dari
penyebabnya.
Obat analgesik dibedakan menjadi 2 macam, yaitu analgesik opioid dan analgesik non-
narkotik. Anlgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium yang
berasal dari getah Papaverum somniferum yang mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
diantaranya, morfin, codein, tebain, dan papaverin (Dewoto, 2008). Sering terjadi
penyalahgunaan analgesik opioid karena adanya efek euforia dan ketagihan sehingga
penggunaannya pun dibatasi.
Analgesik jenis yang lain adalah analgesik non-narkotik. Yang termasuk jenis ini
adalah analgesik antipiretik dan obat AINS (Anti-inflamasi non steroid) dimana obat jenis ini
banyak diresepkan oleh dokter maupun dijual bebas tanpa resep dokter (Wilmana & Sulistia,
2008). Beberapa contoh obat analgesik non narkotik yang sering digunakan antara lain:
parasetamol, aspirin, ibuprofen, dan masih banyak lainnya.
Obat Anti-inflamasi non steroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang
heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia, tetapi mempunyai banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototipe obat golongan ini adalah aspirin.
Aspirin ini sangat luas penggunaannya, digolongkan obat bebas dan merupakan standart dalam
menilai efek obat sejenis
Klasifikasi kimiawi AINS tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari
subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda
subgolongan tapi memiliki sifat yang serupa. Sebagian besar efek terapi dan efek samping obat
AINS berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SKENARIO 2

Di awal pandemi covid 19, Tono, 20 th sakit gigi karena berlubang pada gigi
geraham 3, terutama bila terkena minuman dingin atau makanan yang terselib di gigi yang
lubang dan posisi tumbuhnya miring ke gigi depannya. Pada awal sakit, Tono minum
cataflam dan sembuh. 3 bulan kemudian gigi Tono kambuh lagi sakitnya, sekarang sakitnya
lebih lama dan tidak menghilang walaupun Tono sudah minum cataflam. Rasa sakit muncul
tiba-tiba bahkan saat tidur malam rasa sakit itu sering muncul dan intensitasnya semakin
lama dan dalam. Mau periksa ke dokter gigi, banyak dokter gigi yang tidak buka praktek,
akhirnya Tono selain minum cataflam dan ponstan juga memasukkan minyak kayu putih
ke dalam giginya yang berlubang dan hasilnya sakitnya lumayan berkurang bahkan sempat
tidak sakit dalam beberapa waktu, sakit maagnya kambuh. Sampai akhirnya giginya sakit
lagi dan pipinya bengkak, sakitnya membuat Tono tidak bisa tidur. Tono pergi ke RSGM
Unej. Oleh dokter gigi, Tono disarankan untuk mencabut gigi geraham 3 nya yang tumbuh
miring tersebut, dan memberikan obat metronidazole, kalium diklofenak dan analsik untuk
diminum sampai bengkaknya hilang baru dilakukan operasi gigi tersebut.

2.2 TUTORIAL

1) Step 1: Mengklarifikasi Istilah (Kata Sulit)


1. Cataflam
• Merupakan obat anti nyeri dengan kandungan kalium diklofenak (Cita)
• Mengandung diklofenak yang berfungsi sebagai pencetus peradangan atau rasa
sakit yaitu prostaglandin (Isro)
• Berfungsi untuk mencegah terjadinya nyeri dengan cara pengobatan
prostaglandin (Khanun)
2. Ponstan
• Obat yang memiliki kandungan asam mefanamat. Yang berfungsi sebagai
antinyeri tingkat ringan hingga sedang.biasanya digunakan sebagai untuk
meredakan keluhan nyeri sendi, sakit gigi, sakit kepala, atau nyeri haid (Fernando)

2
3. Analsik
• Obat yang mengandung metanizole dan diazepam yang berfungsi untuk
menghilangkan rasa nyeri sedang hingga berat. (Firman)
4. Maag
• Inflamasi dari mukosa lambung. (Cita)
• Merupakan sebuah luka pada lambung karena meningkatnya asam lambung yang
mengikis mukosa lambung serta menyebabkan rasa mual, perih, dan mulas.
(agung) yang disebabkan karena akibat dari peradangan atau luka yang terbuka
pada lambung (Dhara)
5. Metronidazole
• Merupakan salah satu antibiotik yang menghambat suatu bakteri. (Manta)
6. Kalium diklofenak
• Merupakan obat anti nyeri golongan OAINS (obat anti inflamasi non steroid)
untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang. Obat ini hanya digunakan jangka
pendek untuk meringankan nyeri akibat radang sendi, pengapuran tulang, sakit
gigi, kram menstruasi. (Afriz)

2) Step 2: Menetapkan Permasalahan (problem definition)


1. Bagaimana mekanisme terjadinya rasa nyeri pada gigi?
2. Bagaimana mekanisme kerja dari obat analgesik?
3. Bagaimana penggolongan dari obat analgesik?
4. Mengapa cataflam dapat meredakan rasa sakit?
5. Mengapa pasien setelah minum cataflam dan ponstan mengalami sakit maag?
6. Mengapa setelah menggunakan cataflam rasa sakitnya dapat kembali lagi?
7. Mengapa minyak kayu putih dapat berperan dalam mengurangi rasa sakit?
8. Apa obat penghilang nyeri gigi yang cocok untuk pasien?

3) Step 3: Menganalisi Masalah (menjawab permasalahan)


1. Bagaimana mekanisme terjadinya rasa nyeri pada gigi?
• Nyeri pada gigi disebabkan oleh stimulasi serabut saraf pada pulpa. Stimulus dapat
berupa termal, mekanis atau elektrik. Nosiseptor adalah reseptor sensorik khusus
yang bertugas untuk mendeteksi stimulus berbahaya, mengubah stimulus tersebut
menjadi sinyal elektrik kemudian disalurkan ke sistem saraf pusat. (dhara)
• Adanya pergerakan cairan intrapulpa yang akan merangsang sistem saraf. (khanun)

3
2. Bagaimana mekanisme kerja dari obat analgesik?
• Bekerja di dua tempat yaitu perifer dan sentral. Golongan obat NSAID bekerja
diperifer dengan menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim
siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan
analgesik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis
medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan
perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi. (fernando)
• Mekanisme obat Analgesik NSID yaitu dengan menghambat kerja enzim COX-1
dan Cox-2. Pada saat terjadi Inflamasi atau kerusakan jaringan. Pada saat terjadi
inflamasi, membran sel akan menghasilkan fosfolipid yang akan diubah menjadi
asam arakidonat. Asam arakidonat akan diubah menjadi Protaglandi oleh enzim
COX-1 dan COX-2. Obat ini Menghambat kerja dari enzim siklooksigenasi (COX)
dimana enzim ini berfungsi dalam membantu pembentukan prostaglandin saat
terjadinya luka dan menyebabkan rasa sakit serta peradangan. Ketika kerja enzim
COX terhalangi, maka produksi prostaglandin lebih sedikit, sehingga rasa sakit dan
peradangan akan berkurang. (khanun)
• Analgesik opioid
Mekanisme obat ini yaitu mengaktivasi reseptor opioid pada SSP untuk mengurangi
rasa nyeri. Aktivasi dari obat tersebut diperantarai oleh reseptor mikro (µ) yang dapat
menghasilkan efef analgesik di SSP dan perifer (isro)

3. Bagaimana penggolongan dari obat analgesik?


• Opioid
Opioid bekerja pada sistem saraf pusat secara selektif sehingga dapat mempengaruhi
kesadaran dan menimbulkan ketergantungan . Analgesik opioid bekerja pada
reseptor yang disebarluaskan di seluruh otak dan medulla spinalis. Analgesik opioid
bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf
spinal tidak terjadi.
• NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drugs) atau OAINS (Obat antiinflamasi
nonsteroid)
NSAID bekerja pada sistem saraf pusat maupun pada sistem saraf perifer. NSAID
diklasifikasikan beberapa kelompok sebagai berikut: Turunan asam salisilat, turunan

4
anilin, turunan 5-pirazolon dan piraziladinon, turunan asam N-arilantranmilat,
turunan asam arilasetat dan hetero lasetat, turunan Oksikam.
NSAID dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Inhibitor selektif COX-1, seperti: aspirin
b. Inhibitor non-selektif terhadap COX, seperti: ibuprofen
c. Inhibitor selektif COX-2, seperti: meloxsicam
(Manta)
• Analgesik antipiretik = paracetamol, metamizole
Analgesik NSAID = aspirin, mefenamat, ketoprofen,diclofenac
Analgesik opioid = morphine, tramadol hidroklorida, pethidine, fentanyl
(Firman)

4. Mengapa cataflam dapat meredakan rasa sakit?


• Obat cataflam adalah salah satu jenis obat pereda nyeri yang lebih banyak dikenal
masyarakat sebagai obat sakit gigi. Obat ini sendiri tergolong ke dalam jenis obat
NSAID (Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs) atau obat anti inflamasi non
steroid. Kandungan di dalam obat cataflam adalah diclofenac potassium yang
bekerja dengan mengurangi zat penyebab peradangan maupun bengkak pada tubuh.
Banyak orang mengira bahwa obat cataflam hanya digunakan sebagai pereda sakit
gigi. Padahal, obat ini memiliki fungsi yang lebih luas yang patut diketahui. Jadi
fungsi obat cataflam secara umum berfungsi sebagai obat pereda nyeri atau anti
inflamasi sehingga cataflam bisa menghilangkan rasa nyeri sakit gigi. Cataflam juga
menghambat kerja enzim COX -1 dan COX-2 yang mensintesis prostaglandin
sebagai faktor nyeri. (Afriz)

5. Mengapa pasien setelah minum cataflam dan ponstan mengalami sakit maag?
• Terdapat beberapa kemungkinan. Pada orang yang telah memiliki riwayat penyakit
radang lambung obat ini memiliki resikonya bisa meningkat dengan mengonsumsi
obat-obatan tertentu. Untuk menghindari efek samping mungkin diberi resep obat
tambahan untuk membantu melindungi usus Anda, seperti lansoprazole atau
omeprazole. Efek analgesik adalah menghambat sekresi prostaglandin yang ada di
dinding lambung, dan memicu sekresi musin. Ada 2 tipe: normal dalam lambung

5
dan keluar jika tubuh mengalami peradangansehingga memacu rasa nyeri berlebih.
Pemberian obat AINS bekerja tidak secara selektif. (Agung)
• Penghambatan sintesis PG dapat menyebabkan berkurangnya ketahanan mukosa,
yang menyebabkan iritasi dalam bentuk lesi akut mukosa lambung dengan bentuk
ringan sampai berat. NSAIDs yang bersifat lipofilik dan asam mempermudah
trapping ion hidrogen masuk mukosa dan menimbulkan ulserasi. (Cita)

6. Mengapa setelah menggunakan cataflam rasa sakitnya dapat kembali lagi?


• Karena yang dihilangkan hanya rasa nyeri saja bukan sumber dari penyakit (Cita)
• Setiap obat memiliki masa kerja, pada skenario diatas dijelaskan bahwa reaksi obat
hilang setelah 3 bulan pemakaian. Jadi mungkin masa kerja obat cataflam sudah
habis sehingga rasa nyeri timbul kembali (Afriz)

7. Mengapa minyak kayu putih dapat berperan dalam mengurangi rasa sakit?
• Kayu putih merupakan obat analgesik pada obat-obat alami yang dapat
menghilangkan rasa nyeri. bagian digunakan adalah daun, yang memiliki kandungan
yang berfungsi sebagai analgesik (Nabila)
• Memberikan efek yang dapat merelaksasi otot, megurangi rasa sakit dan inflamasi
(Agung)
• Kandungan analgesik pada minyak kayu putih yaitu terpineol
• Kandungan Sineol pada minyak kayu putih dapat (Isro)
• Kandungan antiseptik pada minyak kayu putih, sehingga jika digunakan dalam
jangka waktu panjang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan flora rongga
mulut (Dhara)

8. Apa obat penghilang nyeri gigi yang cocok untuk pasien?


• Jenis analgesik paracetamol, Analgesik antipiretik, seperti paracetamol, metamizole
(Firman)
• Parasetamol adalah obat pereda nyeri dan penurun demam (golongan analgesik dan
antipiretik). Ini digunakan untuk meredakan rasa sakit ringan sampai menengah.
Parasetamol tidak membuat iritasi lambung sehingga aman digunakan bagi penderita
maag. selain itu juga dapat menggunakan ibuprofen atau meloxicam, karena
memiliki efek samping lebih kecil bagi lambung namun tetap efektif untuk
meredakan rasa nyerinya. Ibuprofen atau meloxisam (Isro)

6
• Menghindari nyeri perut, sebelum minum analgesik, minum obat pelindung lambung
dan usus, contoh: lansoprazole, omeprazole, sukrafate, multilox, antasida (Agung)
• Ibuprofen adalah obat anti inflamasi non steroid, obat ini berfungsi untuk meredakan
sakit serta meredakan peradangan. Obat ini dapat mengiritasi lambung, Jika ingin
mengurangi efek samping ke lambung, minum obat ini sehabis makan. (Dhara)

4) Step 4: Mapping

Obat Analgesik

Pengertian Klasifikasi

Non opioid /
Opioid
NSAID

Farmakodinamik &
farmakokinetik

Indikasi & kontra-


indikasi

Efek samping

5) Step 5: Mennetukan Tujuan Pembelajaran (Learning Object)


1. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami pengertian, mekanisme dan jenis dari
nyeri
2. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami pengertian dan penggolongan dari obat
analgesik
3. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami farmakodinamik dan farmakokinetik
dari obat analgesik opioid

7
4. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami farmakodinamik dan farmakokinetik
dari obat analgesik NSAID
5. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami indikasi dan kontraindikasi
penggunaan obat analgesik
6. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami efek terapi dan efek samping dari obat
analgesik
7. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami penggunaan obat analgesik pada anak-
anak
8. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami interaksi obat analgesik dengan obat
lainnya

6) Step 6: Belajar Mandiri (self-study)

7) Step 7: Pembahasan Learning Object


1. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami pengertian, mekanisme dan jenis
dari nyeri
A. Pengertian Nyeri
Menurut The International Association for the Study of Pain mendefinisikan
nyeri sebagai “perasaan yang tidak menyenangkan baik itu sensasi maupun emosi
yang berkaitan dengan adanya suatu kerusakan jaringan. Definisi ini mencakup
aspek objektif, proses fisiologi nyeri, subjektif, emosi dan psikologi. Respon nyeri
pada individu satu dengan individu yang lain berbeda. Rangsangan nyeri akan
diterima oleh nosiseptor kulit dan visera.
Sedangkan menurut Meliala tahun 2004, nyeri adalah suatu pengalaman
sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas
(ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,
intermiten,persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau
difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif
dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga
berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom.
B. Mekanisme Nyeri
Nyeri timbul akibat adanya suatu rangsangan oleh zat-zat algesik pada resptor
nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada beberapa
jaringan tubuh seperti periosteum, permukaan sendi, otot rangka dan pulpa gigi.

8
Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung bebas serat saraf aferen A delta dan C.
Rangsanga kuat (noxious stimuli) yang dideteksi di perifer, dirambatkan menuju
medula spinalis oleh 2 jenis serabut-serabut saraf kecil (A delta bermielin
diameter 1 – 5 mikrometer dan C tidak bermielin diameter 0,5 – 1 mikrometer).
Reseptor- reseptor ini diaktifkan oleh adanya rangsangan dengan intensitas tinggi,
misalnya termal, mekanik, elektrik atau rangsang kiwiawi.
Zat-zat algesik yang dapat mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H , asam
laktat, serotonin, bradiakinin, histamin dan prostaglandin. Selanjutnya setelah
reseptor diaktifkan oleh zat algesik tersebut implus nyeri akan disaluran melalui
beberapa saluran saraf. Secara umum ada empat tahap mekanisme nyeri yaitu:
1) Tranduksi
Proses stimulasi nyeri atau rangsangan nyeri baik berupa rangsang mekanis,
termis maupun kimiawi di terima oleh ujung-ujung saraf yang akan diubah
menjadi suatu aktifitas listrik.
2) Transmisi
Proses penyaluran implus melalui saraf sensoris menyusul proses tranduksi.
Implus ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai
neuroan pertama dari perifer ke medulla spinalis. Neuron aferen primer
merupakan pengirim dan penerima aktif sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya
berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya akan berhubungan
dengan banyak neuron.
3) Modulasi
Proses interkasi antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri di kornu
posterior. Proses ini desendern, di kontrol oleh otak sehingga persepsi nyeri ini
sangat pribadi dan subjektif, dipengaruhi latar belakang budaya, pendidikan,
atensi. Analgetik endogen yang dimaksud adalah endorfin, serotonin dan
noradrenalin. Kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang bisa
tertutup dan terbuka untuk menyalurkan implus nyeri. Proses tertutupnya atau
terbukanya pintu nyeri diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut.
Inhibisi Enkeplain berikatan dengan resepyor opioid pada neuron post sinaps dan
menginhibisi post sinaps (neuron proyeksi) Enkeplain berikatan dengan resepyor
opioid membran presinaps yang kemudian menginhibisi presinaps serabut saraf
aferen A delta dan C sehingga influs berhenti. Inhibisi ditambah dengan
pengiriman implus menyebabkan peri neuron terbuka atau gerbang terbuka dan

9
sinyal dilanjutkan ke otak. Aktibasi serabu A delta dan C akan menginhibisi
interneuron dan aktivasi projection neuron. Saat itu PN akan teraktivasi dan
implus disalurkan ke otak. Adanya aktivasi serabut A beta mengaktivasi
interneuron dan perineuron. Interneuron akan menginhibisi PN, sehingga PN
tidak aktif dan garbang tertutup. Serabut saraf A beta merupakan serabut
mekanoreseptor.
4) Persepsi
Hasil akhir dari proses interkasi yang kompleks dan unik dimulai dari proses-
proses tersebut diatas, sehingga menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang
dikenal sebagai persepsi nyeri. Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman
nyeri. Persepsi merupakan hasil dari psikologis dan karakteristik individu lainnya.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf
aferen. (Anas Tamsuri, 2006).

Gambar 1. Mekanisme nosisepsi. Dikutip dari: Dominic Wu, Pain management,


2012.

C. Neuroregulator Nyeri
Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf
dibagi dalam dua kelompok besar yaitu neurotranmitter yang mengirimkan
10
implus-implus elektrik melewati rongga sinaps anatar dua serabut saraf dan dapat
melewati rongga sinaps anatara dua serabut saraf dan bersifat sebagai penghambat
atau dapat pula mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator dipercaya bekerja secra
tidak langsung dengan meningkatkan atau menurunkan efek partokular
neurotransmitter. (Anas Tamsuri, 2006).
Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran impuls nyeri
antara lain adalah:
(1) Neurotransmiter
• Substansi P (Peptida)
Ditemukan di neuron nyeri pada kornu dorsalis (peptide eksitator) yang
berfungsi untuk menstranmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan dapat
menyebabkan vasodilatasi dan edema.
• Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi
nyeri.
• Prostaglandin
Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dipercaya dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
(2) Neuromodulator
• Endorfin
Diaktivasi oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal, dan traktus
gastrointestinal yang berfungsi memberi efek analgesik
• Bradiakinin
Bekerja pada reseptor saraf perifer, menyebabkan peningkatan stimulus
nyeri.Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan
prostaglandin.

D. Mediator Kimiawi nyeri


Beberapa neuropeptida dan asam amino eksitatorik yang berfungsi sebagai
neurotransmitter pada neuron aferen menimbulkan adanya sensasi nyeri.
Stimulasi noxius seringkali diasosiasikan dengan sejumlah mediato rinflamasi.
Mediator inflamasi mungkin menyebabkan directly algogenic atau menimbulkan
efek algogenik dari stimulus lain, Mediator kimia ini akan mempengaruhi pada

11
kanal ion membran nosiseptif melalui kopling lasung pada reseptor membran
untuk substansi spesifik. (ion hidrogen, ATP, serotonin 5-HT3) atau lebih sering
melalui mekanisme tak langsung yang dimediasi oleh intracellular second
messenger (bradykinin, sitokin, prostanoid, histamin H1, serotonin 5-HT1)
Bradykinin adalah agen algogenik poten yang juga mensensitisasi nosiseptor
pada aksi lain algogenik, meningkatkan permeabilitas vaskuler. Katekolamin
dilibatkan dalam nosiseptif di segmen medulla spinalis, dan efeknya dimediasi
oleh α2-adrenoreseptor. Sitokin adalah peptida yang secara regular diproduksi di
semua sel. Sitokin ini mempunyai aksi pleiotropik; sitokin anti inflamasi dan
growth factor berkontribusi pada hiperalgesia inflamasi. Pelepasan TNF-α
distimulasi bradykinin. Stimulasi ini akan menghasilkan IL-1 dan IL-6, yang akan
menginduksi adanya hiperalgesia melalui produksi produk-produk
siklooksigenase. Serotonin dilepaskan oleh platelet dalam respon pada PAF
adalah directly algogenic dan meningkatkan efek nosisepsi bradykinin pada saraf
sensoris.
Prostaglandin dalam mekanisme berasal dari kerusakan jaringan yang akan
melepas fosfolipid dari membran sel yang dipecah oleh fosfolipase untuk
membentuk asam arakidonat. Oksidasi asam arakidonat yang dikatalasi
siklooksigenase menghasilkan siklus prostaglandin. Enzim siklooksigenase
dikode oleh dua enzim (COX-1 dan COX-2). COX-1 diproduksi oleh sel normal
juga, karena prostaglandin ini juga penting untuk fungsi perlindungan misalnya
produksi mukosa gaster dan perbaikan aliran darah ginjal. COX-2 adalah bentuk
terinduksi dari enzim yang diasosiasikan dengan inflamasi. COX-2 diinduksi
dalam sel endhotel, makrofag dan fibroblast synovial, sel mast, kondrosit, dan
osteoblas setelah trauma jaringan oleh agen inflamasi. Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor pada aksi substansi algogenik lain dan pada stimulasi
mekanis. Leukotrien adalah produk lipooksigenase dari metabolisme asam
arakidonat yang juga mempunyai properti algogenik.

E. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan jenisnya, nyeri diklasifikasikan menjadi:
1) Nyeri fisiologis (nyeri sederhana)
Pada nyeri sederhana stimuli noxious ringan dan berlangsung singkat sehingga
tidak menimbulkan kerusakan jaringan. Stimuli mengaktivasi nosiseptor sehingga

12
mengeluarkan potensial aksi yang dijalarkan oleh serabut saraf aferen (SSA) ke
cortex, sehingga selanjutnya timbul persepsi nyeri. Nyeri fisiologik penting untuk
mempertahankan kelangsungan hidup setiap makhluk, sebab dapat
membangunkan atau mengaktivasi withdrawal reflex, (misalnya seseorang akan
menepuk nyamuk yang menggigitnya) sistem autonomik dan meningkatkan
kewaspadaan, emosional dan respons neurohumeral.
2) Nyeri nosiseptif
Nyeri yang disebabkan karena adanya kerusakan jaringan baik secara sensorik
maupun viseral. Stimusi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung
akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan
ujung saraf sensoris dan simpatik.
3) Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh llesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera pada jalur serat sarat perifer,
inflitrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi
yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
adanya rasa yang tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogik dapat menyebabkan
allyodina. Nyeri ini sering menunjukkan respon yang bburuk pada pemberian
anlgetik konvensional.
4) Nyeri psikogenik
Nyeri yang berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalanya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabilal keadaan jiwa pasien tenang.
Berdasarkan timbulnya nyeri, nyeri dibedakan menjadi:
1) Nyeri akut
Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang dipengaruhi oleh adanya stimulus
noksius karena cedera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot atau viseral.
Nyeri tipe ini biasanya berkaitan dengan stress neuroendrokin yang seimbang
dengan intensitasnya. Bentuk yang paling sering yaitu paska trauma, paska bedah
dan nyeri obstetri. Begitu pula dengan nyeri yang berkaitan dengan penyakit
seperi infark miokard, pankreatitis dan batu ginjal. Kebanyakan nyeri akut akan
sembuh dengan sendirinya atau berkurang denga terapi dalam beberpa hari atau
minggu. Ketika nyeri gagal untuk disembuhkan karena sesuatu hal baik
penyembuhan yang abnormal atau terpai tidak adekuat, maka akan menjadi nyeri
kronis.

13
Bentuk nyeri akut dapat berupa:
• Nyeri sensoris: nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
• Nyeri somatik : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
• Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
2) Nyer kronis
Nyeri koronis bersifat berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tandada-
tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri ini sangat subjektif dan
dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lainnya. Nyeri tersebut dapat
berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah operasi atau awalnya berupa nyeri akut
yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka atau awalnya beruoa nyeri akut
lalu menetap hingga melebihi 3 bulan. Nyeri kronoos bisa nosiseptif, saraf atau
keduanya.
Pasien dengan nyeri kronis biasanya sudah tidak tida ada respon neuroendrokin
aau respon yang sangat menurun dan memiliki gangguan tidur dan afektif atau
suasan hati. Bentuk yang paling umum dari nyeri kronis termasuk gangguan
muskulosskeletal, gangguan organ dalam kronis, lesi saraf perifer, atau nyeri
ganglia dorsal (nyeri paska herpes), lesi pada sistem saraf pusat dan nyeri kanker
metastase.
Berdasarkan derajat nyeri, nyeri dibedakan menjadi:
1) Nyeri ringan adalah nyeri yang timbul saat beraktivitas atau saat menjelang tidur
2) Nyeri sedang adalah nyeri yang terjadi terus menerus sepanjang hari
3) Nyeri berat tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri
Sedangkan berdasarkan kecepatannya, nyeri dibagi menjadi 2 kelompok:
• Nyeri melalui serabut A
• Nyeri melalui serabut C
Berdasarkan penilaian dengan Visual Analog Skill (VAS), dengan mengukur
intensitas nyerinya, digolongkan menjadi 3:
• Ringan : Sakit gigi, nyeri otot, Haid. VAS : kurang dari 4.
• Sedang : Sakit punggung, migrain, rematik. VAS : 4-7.
• Berat : Kejang usus, kolik (batu empedu), batu ginjal, kanker. VAS : lebih
dari 7.

14
Berdasarkan sifatnya, nyeri dibagi menjadi :
1) Incidental pain
Yaitu nyeri yang timbul sewaktu - waktu lalu menghilang.
2) Steady pain
Yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama.
3) Paroxysmal pain
Yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri
tersebut biasanya menetap kurang lebih 10-15 menit, lalu menghilang,
kemudian timbul lagi
Klasifikasi Obat Golongan Opioid. Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat
golongan opioid dibagi menjadi :
1) Agonis penuh (kuat)
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis
2) Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
Agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis
dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan
mengurangi efeknya
3) Campuran agonis dan antagonis,
Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang
memiliki efek agonis pada subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial
agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.
4) Antagonis.

Sedangkan berdasarkan rumus bangunnya, obat golongan opioid dibagi


menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan
benzomorfan (Farmakologi dan Terapi, 2016:215)

2. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami pengertian dan


penggolongan dari obat analgesik
Obat analgesik digolongkan menjadi:

1. Analgetik antipiretik

Contoh obat yang tergolong Analgetik antipiretik adalah:

15
1.1 Paracetamol
Bekerja pada pusat pengatur suhu di hipotalamus untuk menurunkan suhu
tubuh.
1.2 Metamizole
Memiliki efek analgetik, antipiretik dan spasmolitik. Metamizole ini
mempunyai anti inflamasi yang lemah.

2. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) / NSAID


Contoh Obat yang tergolong Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
adalah:

2.1 Aspirin
Aspirin merupakan golongan OAINS yang banyak digunakan sebagai
analgetik, antipiretik serta anti inflamasi.

2.2 Ibuprofen
Memiliki efek analgesic serupa dengan aspirin, namun efek anti
inflamasinya tidak terlalu kuat atau lebih lemah.

2.3 Asam Mefenamat


Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik, untuk anti inflamasi
asam mefenamat kurang efektif dibandingkan aspirin.

2.4 Diclofenac
Memiliki Efek analgetik, anti inflamasi dan antipiretik. Pada klasifikasi
selektivitas penghambatan COX, Diclofenac termasuk dalam kelompok
COX-2 Inhibitor. Diclofenac terdiri atas 2 jenis, yaitu Natrium Diclofenac dan
Kalium Diclofenac.
Perbedaan antara Natrium Diclofenac dan Kalium Diclofenac adalah
Kalium Diclofenac lebih larut air dan dapat diabsorbsi dengan cepat sehingga
memiliki anset kerja yang lebih cepat dibandingkan dengan Natrium
Diclofenac. Oleh karena itu Kalium Diclofenac biasanya hanya diindikasikan
untuk penanganan kondisi yang memerlukan efek analgetik yang cepat.

2.5 Ketorolac
Ketorolac merupakan OAINS yang memiliki ativitas sebagai analgetik

16
dan anti inflamasi. Ketorolac menghambat sintesis prostaglandin dan dapat
dianggap sebagai analgetik yang bekerja perifer karena tidak memiliki edek
terhadap reseptor.

2.6 Sebagai contoh lain ada Ketoprofen, Dextoprofen, Piroxicam, Melocicam


dan Celexocib

3. Analgetik Opioid
Analgetik opiod digunakan untuk mengurrangi nyeri sedang sampai
berat, terutama pada bagian visceral. Penggunaan dapat mengakibatkan
ketergantungan dan toleransi, tetapi hal ini bukan alas an untuk tidak
digunakannya dalam mengatasi nyeri pada penyakit terminal. Penggunaan
opioid kuat dimungkinkan sesuai untuk beberapa kasus nyeri kronis non-
keganasan. Contoh obat yang tergolong dalam analgetik opioid adalah:
Morphine, Tramadol hidroklorida, pethidine, fentanyl dan codein.

Klasifikasi Obat NSAID (Nonsteriodal anti-inflamatory drugs)


Obat NSAID merupakan obat yang dapat mngeruangi rasa sakit yang
bekerja di perifer sehingga tidak mempengaruhi keasadarn serta tidak
menimbulkan ketergantungan. Mekanisme aksi obat golongan ini adalah
menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX) sehingga proses
pembentukan asam arakhidonat menjadi prostaglandin terhambat. Selain
sebagai obat penghilang nyeri, obat ini juga dapat mengurangi peradangan
(inflamasi) dan menurunkan demam (antipiretik) (Tjay dan Rahardja, 2007).
Biasanya obat yang bekerja sebagai analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik
digolongan sebagai obat NSAID (Non Steroid Antiinflamatory Drugs).

17
Mekanisme Kerja kerja NSAID berdasarkan Enzim COX-1 dan COX-2
(Konturek, P et al., 2005)
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah obat yang paling sering
diresepkan di dunia. Golongan obat heterogen ini termasuk aspirin dan
beberapa penghambat siklooksigenase (COX) selektif atau non-selektif
lainnya. NSAID non-selektif adalah yang tertua dan disebut NSAID
tradisional atau konvensional.NSAID non-selktif bekerja pada enzim COX-1
dan COX-2. Sedangkan NSAID selektif disebut inhibitor COX-2.

Contoh obat-obat NSAID (Non selectif NSAID dan Selective NSAID)


(Batlouni, M.,2010).

18
Opioid juga dapat menimbulkan efek samping yang lebih banyak
dibandingkan analgesik non opioid bahkan dapat menyebabkan
ketergantungan dan kecanduan sehingga obat - obat golongan ini tidak dijual
bebas, hanya karena obat obatan opioid termasuk golongan narkotik.

3. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami farmakodinamik dan


farmakokinetik dari obat analgesik opioid
Opioid
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan:
(1) Golongan Fenantren, misalnya Morfin dan Kodein dan (2) Golongan
Benizilisokinolin, misalnya Noskapin dan Papaverin (Farmakologi dan
Terapi, 2016:215-216).
Analgesik opioid bekerja pada reseptor yang disebarluaskan di seluruh
otak dan medulla spinalis. Analgesik opioid bekerja di sentral dengan cara
menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi
penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi (Naharuddin, 2013:13). Analgesik opioid terutama digunakan untuk
meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan
berbagai efek farmakodinamik yang lain
Opioid bekerja pada sistem saraf pusat secara selektif sehingga
dapat mempengaruhi kesadaran dan menimbulkan ketergantungan jika
dikonsumsi dalam jangka panjang. untuk meredakan kisaran nyeri lebih
luas, biasanya digunakan untuk rasa nyeri yang hebat, misalnya pasca
pembedahan. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan
reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang
berperan pada transmisi dan modulasi nyeri
Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah
otak yang mengandung peptide yang memiliki sifat farmakologik menyerupai
opioid. Terdapat 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ), dan
kappa (ҡ).
• Reseptor µ memperantarai efek analgesik mirip morfin, euphoria, depresi
nafas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna.

19
• Reseptor ҡ diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan
pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi nafas yang tidak sekuat agonis µ.
• Selain itu disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif
terhadap enkefalin dan reseptor epsion yang sangat selektif terhadap beta-
endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas seperti enkefalin (Farmakologi dan
Terapi, 2016:214-215)
Klasifikasi Obat Golongan Opioid. Berdasarkan kerjanya pada reseptor,
obat golongan opioid dibagi menjadi :
(1) Agonis penuh (kuat)
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis
(2) Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
Agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis
dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan
mengurangi efeknya
(3) Campuran agonis dan antagonis,
Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu
parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.
(4) Antagonis.
Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi
derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan
(Farmakologi dan Terapi, 2016:215).

Obat-Obat Golongan Analgesik Opioid


1. Morfin dan Alkaloid Opium
Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan
karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga
mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan ҡ (Farmakologi
dan Terapi, 2016:217).
Efek morfin terhadap Susunan Saraf Pusat berupa analgesia dan
narkosis. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang
sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali

20
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan
muntah (Farmakologi dan Terapi, 2016:217).
Analgesia. Efek analgesia yang ditimbulkan oleh opioid terutama karena
kerja opioid di reseptor µ. · Reseptor µ dan K dapat juga ikut berperan dalam
menjmbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal dan juga menyebabkan
miosis yang ditimbulakn oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulmotor. Opioid menimbulkan- analgesia dengan cara berikatan dengan
reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang
berperan.pada transmisi dan modulasi nyeri. Agonis opioid melalui reseptor
µ, K, dan δ pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi
penglepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang
mentransmisi nyeri di komu dorsalis medula spinalis. Dengan demikian
opioid memiliki efek -analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medula
spinaus; Selain itu µ agonis juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps
melalui reseptor µ di otak.
Miosis. Morfin dan kebanyakan obat opioid lainnya bekerja pada
reseptor µ dan K menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan
pada segmen otonom inti saraf oculomotor. Pada intoksikasi morfin, pin point
pupils merupakan gejala yang khas. Oilatasi berlebihan hanya timbul pada
sladium akhir intoksikasi morfin.
Depresi napas. Morfin menimbulkan depresi napas secara printer dan
bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak.
Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa
menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dasis toksik dapat
menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit. Pada depresi napas, terjaai
penurul'lan frekuensi napas, volume semenit dan tidal exchange, akibatnya
Pco2 dalam darah dan udara alveolar meningkat dan kadar 02 dalam darah
menurun. Kepekaan pusat napas terhadap C02 berkurang. Kadar CO2
5%tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonal.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung,
morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang
sedangkan sfingter pilorus berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung
ke duodenum diperlambat. Di usus halus, morfin mengurangi sekresi

21
empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus
halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan
propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus
besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih
keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung.
Perubahan baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun
akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid
lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap
perubahan sikap.
Pada otot olos, morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin merendahkan tonus uterus
pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan.
Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore.
KULIT. Dalam dosis terapi, morfin menyetiabkan pelebaran
pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas ter.utama
di flush area (muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin
sebagian disebabkan oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan
seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat.
Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu badan turun
akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan
mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi,
hiperglikemia timbul tidak tetap akibat pelepasan adrenalin yang
menyebabkan glikogenolisis. Morfin membuat volume urin berkurang
akibat merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan
pelepasan ADH.
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi
melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga dapat
diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih
rendah dibanding secara parenteral.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami
konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam

22
bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi
ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan
bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2, yang
kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-
demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari
kodein, norkodein dan morfin.
2. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin lain
Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia,
depresi napas dan efek sentral lain. Pemberian meperidin kepada pasien
yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia.
Analgesia. Efek anaJgetik meperidin serupa dengan efek analgetik
morfin. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian
oral dan mencapai puncak dalam 2 jam.
Sedasi, euforia dan eksitasi. Pada dosis ekuianalgenetik sedasi yang
terlihat sama dengan sedasi pada morfin. Pernberian meperidin kepada pasien
yang- menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia
Di saluran napas, meperidin dalam dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas sama kuat dengan morfin. Pemberian
meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia kornea, dengan akibat
menghilangnya refleks kornea.
OTOT POLOS. Saluran cerna. Kontraksi propulsif dan nonpropulsif
saluran cema berkurang, tetapi dapat timbul spasme dengan tiba-tiba serta
penlnggian tonus usus. Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu. Di
otot bronkus, Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin
dan metakolin, namun pemberian dosis terapi meperidin tidak banyak
mempengaruhi otot bronkus normal. balam dosis besar obat ini justru dapat
menimbulk_an bronkokonstriksi.
Ureter. Setelah pemberian meperidin dosis terapi, peristaltik ureter -
berkurang. Hal ini -di!lebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat
dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju filtrasi glomerulus.

23
SISTEM KARDIOVASKULAR. Pemberian dosis terapi meperidin
pada pasien yang berbaring tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak
menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran EKG. Efek
spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah
daripada morfin. Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu.
Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan
metakolin, dapat menyebabkan peristaltik ureter berkurang, dan sedikit
merangsang uterus dewasa yang tidak hamil.
Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung
baik, akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah
suntikan IM. Setelah PO, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas
pertama dan kadar maks dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Pada
manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang
kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin bentuk utuh sangat
sedikit ditemukan dalam urin. Seanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demetilasi.
3. Metadon dan Opioid Lainnya
a. Metadon
Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan
efek 10 mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali timbul efek
sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat
bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek
antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH.
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan
menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. Metadon juga
menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba.
Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis.
Pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat.
Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan vasodilatasi
perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian

24
metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi kadang-kadang timbul
sinus bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2
sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan vasodilatasi
serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.

Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar dalam plasma yang
tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat protein
plasma.
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam
plasma darah setelah 30 menit PO; kadar puncak dicapai setelah 4 jam.
Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati,
ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar
maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian
parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati. Salah satu
reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian besar metadon
yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil
biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari 10% mengalami
ekskresi bersama empedu.
4. Propoksifen

Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya. Propoksifen
terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang selektif dibandingkan
morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat
dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral
menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidine
parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di
tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesik
yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri.
Obat ini tidak berefek antitusif.
Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun parenteral.

25
Efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO. Biotransformasi
propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.
Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu paruh 15 jam.

4. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami farmakodinamik dan


farmakokinetik dari obat analgesik NSAID
NSAID membentuk kelompok kimiawi yang beragam, tetapi semuanya
memiliki kemampuan untuk menghambat siklooksigenase (COX), dan
penghambatan sintesis prostaglandin yang dihasilkan sebagian besar
bertanggung jawab atas efek terapeutiknya. Sayangnya, penghambatan
sintesis prostaglandin di mukosa lambung sering mengakibatkan kerusakan
gastrointestinal (dispepsia, mual, dan gastritis) efek samping yang lebih serius
termasuk perdarahan gastrointestinal dan perforasi. COX ada di jaringan
sebagai isoform konstitutif (COX-1) tetapi di tempat inflamasi, sitokin
merangsang induksi isoform kedua (COX-2), penghambatan COX-2
dianggap bertanggung jawab atas tindakan anti-inflamasi NSAID, sedangkan
penghambatan COX-1 bertanggung jawab atas toksisitas gastrointestinal
(Goodman, et al., 2018).

• Mekanisme Kerja dan Efek Terapeutik NSAID


Prostaglandin dilepaskan ketika sel rusak, dan aspirin dan INSAID
menghambat bioslnfesisnya pada semua tipe sel. Akan tetapi, aspirin dan
tNSAID umumnya tidak menghambat pembentukan mediator inflamatori
lain, termasuk eikosanoid lain seperti LT. Meski pun efek klinis obat-obat ini
secara jelas menghambat Sintesis prostaglandin, perbedaan besar

26
antarindividu dan intraindividu dalam respons klinis dapat diketahui. Pada
konsentrasi tinggi, NSAID juga diketahui dapat mengurangi produksi radikal
superoksida, menginduksi apoptosis, menghambat ekspresi molekul adhesi,
menu- runkan nitrogen monoksida sinfase, menurunkan sitokin
proinflamatori (contohnya, TNF-a dan lL-1), mengubah aktivitas limfasit, dan
mengganggu fungsi membran seluler. Akan tetapi, terdapat perbedaan
pendapat me- ngenai kerja ini yang berperan dalam aktivitas anti-inflamatoi
NSAID pada konsentrasiyang dicapai selama terapi (Goodman, et al., 2018).
• EFEK ANALGESIK.
Sebagai analgesik, obat mirip-aspirin hanya efektif terhadap nyeri
dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia,
artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, terutama terhadap nyeri
yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesikniya jauh lebih lemah
daripada efek analgesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip-aspirin
tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral
yang merugikan. Obat mirip-aspirin hanya mengubah persepsi modalitas
sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya
saraf aferen, tidak teratasi dengan.obat mirip-aspirin. Sebaliknya nyeri kronis
pascabedah dapat diatasi oleh obat mirip-aspirin.
• EFEK ANTIPIRETIK.
Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan suhu badan
hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini mempertihatkan
efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena
bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. lni berkaitan
dengan hipotesis bahwa COX yang ada di sentral otak terutama COX-3
dimana hanya parasetamol dan beberapa obat AINS lainnya dapat
menghambat. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan
digunakan sebagai antipiretik atas alasan tersebut.
• EFEK ANTl-INFLAMASI.
Kebanyakan obat mirip-aspirin, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan
sebagai antiinflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, misalnya
artritis reumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat
bahwa obat mirip-aspirin ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi

27
yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan,
memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan
muskuloskeletal ini.

SALISILAT
Asam asetil satisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin
adalah analgesik antipiretik dan anti-inflamasi yang luas digunakan dan
digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan
standar dalam menilai efek obat sejenis.

A. Farmakodinamik
Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang banyak digunakan
sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja
cepat dari efektif sebagai antipiretik. Dosis toksik obat ini justru
memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi demam
dan hiperhidrosis.
• Efek terhadap pemapasan.
Efek salisilat pada pernapasan penting dimengerti, karena pada gejala
pemapasan tercermin seriusnya gangguan keseimbangan asam basa dalam
darah. Salisilat merangsang pernapasan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pada dosis terapi salisilat mempertinggi konsumsi oksigen dan
produksi C02. Peninggian PC02 akan merangsang pemapasan sehingga
pengeluaran C02 melalui alveoli bertambah dan PC02 dalam plasma turun.
Meningkatnya ventilasi ini pada awalnya ditandai dengan pernapasan yang

28
lebih dalam sedangkan frekuensi hanya sedikit bertambah, misalnya pada
latihan fisik atau menghisap banyak C02. Lebih lanjut salisilat yang mencapai
medula, merangsang langsung pusat pernapasan sehingga terjadi
hiperventilasi dengan pemapasan yang dalam dan cepat. Pada keadaan
intoksikasi, hal ini bertanjut menjadi alkalosis respiratoar.
• Efek terhadap keseimbangan asam-basa.
Dalam dosis terapi yang tinggi, salisilat menyebabkan peningkatan
konsumsi oksigen dan produksi C02 terutama di otot rangka karena
perangsangan fosforilasi oksidatif. Karbondioksida yang dihasilkan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan pernapasan sehingga
karbondioksida dalam darah tidak meningkat.
• Efek urikosurik.
Efek ini sangat ditentukan oleh besarnya dosis. Dosis kecil (1 g atau 2 g
sehari) menghambat ekskresi asam urat, sehingga kadar asam urat dalam
darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g sehari . Biasanya tidak merigubah ekskresi
asam urat. Tetapi pada dosis lebih dari 5 g per hari terjadi peningkatan
ekskresi asam urat melalui urin, sehingga kadar asam urat dalam darah
menurun.
• Efek terhadap darah.
Pada orang sehat aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan
Hal ini bukan karena hipoprotrombinemia, tetapi karena asetilasi
siklooksigenase trombosit sehingga pembentukan txaz terhambat Dosis
tunggal 650 mg aspirin dapat memperpanjang masa perdaratian kira-kira 2
kali lipat. Pada pemakaian obat antikoagulan jangka lama sebaiknya berhati-
hati memberikan aspirin, karena bahaya perdarahan mukosa lambung.
Sekarang, aspirin dosis kecil digunakan untuk profilaksis trombosis koroner
dan serebral.
• Efek terhadap hati dan ginjal.
Salisilat bersifat hepatotoks-ik dan ini berkaitan dengan dosis, bukan
akibat reaksi imun. Gejala yang sering terlihat hanya kenaikan SGOT dan
SGPT, beberapa · pasien dilaporkan menunjukkan hepatomegali, anoreksia,
mual dan ikterus. Bila terjadi ikterus pemberian-aspirin harus dihentikan
karena dapat terjadi nekrosis hati yang fatal. Oleh sebab itu aspirin tidak

29
dianjurkan diberikan kepada pasien dengan penyakit hati kronik.
B. Farmakokinetik.
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam
bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di ·usus halus bagian atas.
Kadar tertinggi dicapai _kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan
absorpsinya tergantung dari kecepatan disintegrasi dao disolusi tablet, ph
permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Absorpsi pada
pemberian secara rektal, lebih lambat dan tidak sempurna sehingga cara ini
tidak dianjurkan. Asam salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat, terutama bila
dipakai sebagai obat gosok atau salep. Keracunan dapat terjadi dengan olesan
pada kulit yang luas. Metil-salisilat juga diabsorpsi dengan Gepat melalui
kulit utuh, tetapi penyerapan di lamb1,mg lambat dan lama bertahan di
lambung, oleh karena itu bila terjadi keracunan, bilas lambung masill berguna
walaupun_obat sudah ditelan lebih dari 4 jam.
Setelah diabsorpsi, salisilat segera men-yebar ke seluruh jaringail tubuh dan
cairan transelular sehingga ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal,
cairan peritoneal, liur dan air susu. Obat ini mudah menembus sawar darah
otak dan sawar uri. Kira-kira 80% sampai 90% salisilat plasma terikat pada
albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam
salisilat terutama dalam hati, sehingga hanya kira-kira 30 menit terdapat
dalam plasma.
Biotransformasi salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di
mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk
metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan
empedu.
PARAAMINOFENOL
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat dilihat
strukturnya pada Gambar 2 . Asetaminofen (parasetamol) merupakan
metabolit fenasetin dengan efek antipiretik. Efek antipiretik ditimbulkan oleh
gugus aminobenzen.

30
A. Farmakodinamik.
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu
tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperi
salisilat.
Efek anti-ilnflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak
digunakan sebaga~ antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lamburig tidak
terlihat pada kedua obat ini, demikian juga · gangguan pemapasan dan
keseimbangan asam basa.
B. Farmakokinetik.
Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempuma melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam.waktu ½ ~ 1 jam dan masa
paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam
plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh
enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam
glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan - asam sulfat Selain itu obat ini
juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat
menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi
melalui ginjal, . Sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan .sebagian besar
dalam bentuk terkonjugasi.
ASAM MEFENAMAT
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai anti-inflamasi,
asam mefenamat kurang efektif dibandingkan aspirin. Asam mefenamat
terikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian interaksi terhadap
obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cema

31
sering timbul misalnya dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala
iritasi lain terhadap mukosa lambung. Pada orang usia lanjut efek samping
diare hebat lebih sering dilaporkan: Efek samping lain yang berdasarkan
hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokonstri). Anemia hemolitik
pernah dilaporkan. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari.
Karena efek toksiknya maka di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan
untuk diberikan kepada anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil, dan
pemberian tidak mefebihi 7 hari. Penelitian klinis menyimpulkan bahwa
penggunaan selama haid mengurangi kehilangan darah secara bermakna.
IBUPROFEN
A. Farmakodinamik
Ibuprofen merupakan penghambat enzim siklooksigenase pada
biosintesis prostaglandin, sehingga konversi asam arakhidonat ke
prostaglandin menjadi terganggu. Prostaglandin ini sendiri berperan dalam
produksi nyeri dan inflamasi, sehingga dengan adanya penghambat tersebut
dapat menurunkan rasa nyeri ( Septian dkk, 2016).
B. Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorbsi melalui pemberian oral melalui usus. Konsentrasi
plasma maksimum biasanya tidak lebih dari 1-2 jam dan ibuprofen terikat
pada protein plasma lebih dari 99% serta dieleminasi sebagian besar melalui
urin dengan waktu paruh 1,8- 2,4 jam. Dosis: 60 mg / kg (maks. 2,4 g) setiap
hari.Ibuprofen menghambat aktivitas enzim siklooksigenase I dan II, sehingga
terjadi reduksi pembentukan prekursor prostaglandin dan tromboksan.
Selanjutnya, akan terjadi penurunan dari sintesis prostaglandin, oleh enzim
sintase prostaglandin
KETOPROFEN
A. Farmakodinamik
Mekanisme kerja ketoprofen yaitu menghambat sintesis prostaglandin
sehingga dapat memiliki efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik.
Diketahui prostaglandin mempunyai dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2,
dimana COX-2 ekspresinya meningkat pada keadaan inflamasi sedangkan
COX-1 bertindak mempertahankan mukosa lambung dan trombosit dalam
keadaan utuh. Ketoprofen merupakan OAINS yang tidak selektif sehingga
dapat menghambat kedua isoform sehingga tidak hanya memberikan efek

32
analgesik antiinflamasi tetapi efek samping terhadap gastrointestinal juga
meningkat. Ketoprofen dengan pemberian secara peroral mempunyai efek
terhadap gastrointestinal baik secara langsung karena obat ini bersifat asam
maupun secara sistemik yang menghambat sekresi mukus, bikarbonat, dan
prostaglandin. Efek samping penggunaan OAINS pada gastrointestinal adalah
perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus atau perforasi dan obstruksi serta
dyspepsia.

B. Farmakokinetik
Ketoprofen diserap secara cepat dan sempurna dalam saluran cerna.
Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 60-90 menit setelah
pemberian oral, 99 % ketoprofen terikat dengan protein plasma. Waktu paruh
eliminasi pada orang tua selama 5 jam dan 3 jam pada orang dewasa. Dosis:
2-4 dd 25-50 mg
PIROXICAM
A. Farmakodinamik
Piroxicam lebih selektif menyekat COX-1 yang selalu ada diberbagai
jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan fisiologi tubuh seperti
produksi mukus di lambung. Piroxicam mempunyai efek analgetik dengan
menghambat sintesa prostaglandin sebagai mediator pnimbul rasa sakit (
Palupi,DA dan Wardani,PI, 2017).
B. Farmakokinetik
Piroksikam diabsorbsi sempurna setelah pemberian oral. Konsentrasi
puncak dalam plasma terjadi dalam 2-4 jam. Setelah diabsorbsi piroksikam
banyak terikat di protein plasma (99%). Kurang dari 5 % piroxicam di
ekskresi melalui urin (Goodman dan Gilman, 2008). Dosis: 1 dd 20 mg
DIKLOFENAK
A. Farmakodinamik
Diklofenak merupakan analgesik yang mempunyai cara kerja
mengambat sintesa dari prostaglandin di dalam tubuh
B. Farmakokinetik
Absorbsi dikofenak melalui saluran cerna berlangsung cepat dan
sempurna. Laju absorbsi akan melambat jika diberikan bersamaan dengan
makanan, tapi tidak dengan jumlah yang diabsrobsi. Obat akan terikat 99%

33
pada protein plasma dengan waktu paruh 2-3 jam. Metabolisme diklofenak
berlangsung dihati dan disekresi dalam urin (65 %) dan empedu (35%). Dosis:
75–150 mg setiap hari dalam 2–3.
CELECOXIB
A. Farmakodinamik
Celecoxib bekerja dengan cara menghambat selektif COX-2. Pada
dosis biasa COX-1 tidak ada hambatan, maka prostaglandin dengan daya
protektifnya atas mukosa lambung-usus tetap terbentuk.
B. Farmakokinetik
Celecoxib diserap mencapai kadar darah maksimal setelah 2-3 jam.
Profil plasmanya adalah 97 % dan masa paruh eleminasi 8-12 jam. Celecoxib
dalam hati diubah menjadi metabolik inaktif yang dikeluarkan besama kemih
(Suyani dkk, 2015). Dosis: 200 mg setiap hari dalam 1-2 dosis terbagi,
meningkat jika perlu maksimal 200 mg dua kali sehari.

5. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami indikasi dan


kontraindikasi penggunaan obat analgesik
Analgetik-Antipiretik
Merupakan obat atau zat-zat yang mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Sedangkan bila menurunkan panas
disebut Antipiretika. Atas kerja farmakologisnya, analgetik dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu: analgetik perifer (non-narkotik dan analgetik
narkotik).
1. Parasetamol
Indikasi: nyeri ringan sampai sedang dan pireksia
Kontraindikasi: gangguan fungsi hati
Peringatan: gangguan fungsi hati, ginjal dan letergantumgam alkohol
Efek samping: Reaksi hipersensitivitas, kelainan darah, kerusakan ginjal dan
hati.
2. Asetosal
Indikasi: Nyeri ringan sampai sedang dan demam
Peringatan: asma alergi, gangguan fungsi ginjal, menurunnya fungsi hati,
dehidrasi, kehamilan, pasien lansia dan defisiensi G6PD
Efek samping: biasanya ringan dan tidak sering, tetapi kemungkinan untuk

34
terjadi iritasi saluran cerna dengan pendarahan ringan yang
asimptomatis, memanjangnya waktu pendarahan,
bronkospasme, dan reaksi pada kulit hipersensitif.
3. Antalgin
Indikasi: nyeri ringan sampai sedang dan pireksia
Peringatan: gangguan fungsi hati, ginjal dan ketergantungan alcohol
Kontraindikasi: penderita hipersensitif, hamil dan wanita menyusui, penderita
dengan tekanan sistoli kurang dari 100 mmhg
Efek samping: iritasi lambung, hyperhidrosis

4. Tramadol
Indikasi: nyeri akut atau kronik yang berat dan nyeri pada pasca operasi
Peringatan: pasien dengan trauma kepala dan tekanan intrakranial
Kontraindikasi: penderita yang hipersensitif terhadap tramadol atau opiate
dan penderita yang mendapatkan pengobatan dengan
penghambat MAO, intosikasi akut dengan alcohol,
hiptonika, analgetika atau obat obat yang bekerja pada SSP,
seperti obat obat tranquiliser, hiptonik
Efek samping: mual, muntah, lesu, letih, ngantuk, pusing, ruam kulit,
takikardia, peningkatan tekanan darah, muka merah
a. Analgetik Perifer (non narkotik)
Semua analgetik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu
menurunkan suhu. Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan
tidak bekerja sentral :
1) Golongan salisilat (Aspirin, Aspilets, Bodrexin, Naspro)
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin.
Obat ini diindikasikan untuk sakit kepala, nyeri otot, demam. Sebagai
contoh aspirin dosis kecil digunakan untuk pencegahan thrombosis
koroner dan cerebral. Asetosal adalah analgetik antipirentik dan anti
inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas.
Efek sampingnya yaitu perangsangan bahkan dapat menyebabkan iritasi
lambung dan saluran cerna. Dosis oral 325-650 mg, 4-6 jam/hari
2) Golongan para aminofenol (Panadol Tempra Biogesic)
Terdiri dari fenasetin dan asetaminofen (parasetamol ). Indikasinya

35
untuk nyeri ringan sampai sedang dan pireksia. Kontraindikasinya
gaungguan fungsi hati.
Efek sampingnya: kerusakan fungsi ginjal, hati, reaksi hipersensitivitas
dan kelainan darah.
3) Golongan pirazolon(dipiron)
Dipiron sebagai analgetik antipirentik, karena efek inflamasinya lemah.
Efek samping semua derivate pirazolon dapat menyebabkan
agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.
4) Golongan antranilat
Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan
ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/atau
antiradang, sehingga tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri,
melainkan juga pada demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan
peradangan seperti rematik dan encok. Efek samping yang paling umum
adalah gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan
ginjal dan juga reaksi alergi kulit. terutama terjadi pada penggunaan lama
atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu penggunaan analgetika secara
kontinu tidak dianjurkan.

b. Analgetik Narkotik
Khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri sedang sampai hebat,
seperti fraktur dan kanker. Analgesik ini bekerja pada syaraf pusat. Obat
ini tidak hanya menekan nyeri, tetapi juga menekan pernafasan dan batuk.
Banyak narkotik mempunyai efek antitusif dan anti diare selain
kemampuannya meredam nyeri. Penggolongan analgetik narkotik adalah
sebagai berikut :
Obat Pertimbangan pemakaian
Morfin Indikasi: analgetik selama dan setelah
pembedahan.
Kontra indikasi: depresi pernafasan akut,
alkoholisme akut, penyakit perut akut.
Efek samping: mual, muntah, konstipasi,

36
ketergantungan/ indiksi pada over dosis
Kodein fosfat Indikasi: nyeri ringan sampai sedang.
Kontra indikasi: depresi pernafasan akut,
alkoholisme akut, penyakit perut akut
Efek samping : mual, muntah, konstipasi,
ketergantungan/ indiksi over dosis.
Meperidin (Demerol) Indikasi: nyeri sedang,
Efek samping: menurunkan tekanan darah,
pusing. Pada cidera kepala, dapat menimbulkan
peningkatan TIK
Hidromorfon Untuk nyeri hebat. Merupakan narkotik kuat, 5-
10 kali lebih hebat dari morfin. Dapat menekan
pernafasan dan digunakan untuk nyeri pada
kanker terminal.

Obat anti-inflamasi nonsterold seperti asam mefenamat harus dihindari


terutama pada usia kehamilan ketujuh sampai kesembilan, kecuali
mendapat pertimbangan dokter karena manfaatnya lebih besar ketimbang
risiko terhadap janin.
Obat analgesik seperti antiplatelet asetosal dan antipiretik sebaiknya
dihindari. Hal tersebut dikarenakan dapat meningkatkan risiko
pendarahan ketika proses persalinan. Penggunaan dalam dosis tinggi bisa
mengakibatkan hipertensi yang menetap pda bayi yang baru lahir.
Obat pengurang rasa sakit seperti aspirin, jika seorang ibu hamil
menggunakan Aspirin, terutama setelah 32 minggu, dia bisa menyebabkan
aliran darah bayi disalurkan ke uterus. Ini bisa menyebabkan kematian
pada bayi.

6. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami efek terapi dan efek


samping dari obat analgesik
Efek terapi ains (non opioid)
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik dan anti
inflamasi, dengan derajat yang berbeda-beda. Misalya parasetamol
bersifat anti piretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya sangat

37
rendah.
- Efek analgesik
Obat ini hanya efektif terhdap nyeri dengan intensitas rendah sampai
sedang seperti sakit kepala, mialgia, atralgia dan nyeri lain yang berasal
dari integumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan
inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik
opiat, tetapi bedanya NSAID tidak menimbulkan efek ketagihan dan tidak
menimbulkan efek sentral yang merugikan.
- Efek Antipiretik
Obat ini hanya menurunkan suhu badan hanya pada saaat demam. Tidak
semuanya bersifat sebagai anti piretik karena bersifat toksik bila
digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan anti reumatik
lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik.
- Efek Anti inflamasi
NSAID terutama yang baru, lebih banyak dimanfaatkan sebagai anti
inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti artritis
reumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat
bahwa obat ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang
berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan,
memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan
muskuloskeletal ini.

Efek samping ains


Efek samping yag paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung
atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat
perdarahan saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada
masing-masing obat. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah:
(1) iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali asam
lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan; (2) iritasi atau
perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis
PGE2 dan PGI2. Kedua prostaglandin ini banyak ditemukan di mukosa
lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan
merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif.
38
Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral. Efek samping
lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis
tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan. Efek ini
dimanfaatkan untuk terapi profilaksis trombo-emboli. Obat yang
digunakan sebagai terapi profilaksis tromboemboli dari golongan ini
adalah aspirin.
Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2,
berperan dalam gangguan homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak
banyak mempengaruhi fungsi ginjal. Pada beberapa orang dapat terjadi
reaksi hipersensitivitas. Mekanisme ini bukan suatu reaksi imunologik
tetapi akibat tergesernya metabolisme asam arakhidonat ke arah jalur
lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien. Kelebihan leukotrien inilah
yang mendasari terjadinya gejala tersebut

Efek terapi (opioid)


Morfin adalah obat yang biasa digunakan dalam manajemen dari nyeri
akut maupun kronis. Sering dijumpai juga penggunaan morfin sebagai
analgesic sebelum dilakukannya operasi, untuk anestesi regional dan nyeri
sendi. Efek analgesic morfin mengambil bagian pada mu(µ) opioid
receptor (MOR), sebuah G protein-coupled receptor (GPCR) pada sel-sel
neuron (Flemming, 2010). Mereka juga memberikan efek pada system
pernapasan, mengurangi laju pernapasan dan mendapatkan reflex jalan na
Morfin dapat meringankan rasa sakit yang disebabkan oleh serangan
jantung atau infark miokard. Nyeri ini biasanya berupa nyeri dada yang
parah dan menyiksa yang sering menjalan ke sisi dalam lengan kiri, leher,
punggung, dan kepala. Bidang ini adalah salah satu penggunaan morfin
yang penting dalam praktik klinis saat ini (Pathan dan Williams, 2012).
Selain itu, morfin juga dapat menghilangkaan nyeri tulang dan sendi yang
parah, menghilangkan rasa sakit sebelum, selama dan setelah operasi
terutama operasi besar yang melibatkan tulang dan organ besar (Charles,
2002). Morfin juga dapat digunakan sebagai anestesi umum untuk
menenangkan pasien, juga anestesi regional seperti anestesi spinal atau
epidural (Chang, et al, 2010).fas, efek yang dianggap menguntungkan
selama anestesi (Chang, et al, 2010).

39
Efek samping
Tramadol merupakan analgetik opioid yang diindikasikan untuk
mengobati nyeri sedang sampai berat, baik yang bersifat akut maupun
kronik. Lebih dari 90 negara di dunia telah memakai obat ini sebagai
analgetik, namun penggunaan tramadol juga mengakibatkan efek
samping, antara lain adalah depresi napas, mengantuk, mual muntah, dan
menyebabkan ketergantungan.8 Ketorolak merupakan salah satu NSAID
yang sering digunakan dalam mengatasi nyeri pascabedah karena
memiliki efek analgesia yang kuat serta efek anti-inflamasi.
Ketorolak juga sama efektif dengan morfin dan petidin yang dapat
mencegah nyeri akut pascabedah dari tingkat nyeri sedang sampai dengan
berat tanpa menyebabkan depresi pada pernapasan. Pemberian ketorolak
juga harus diwaspadai karena berkaitan dengan peningkatan risiko
perdarahan pada daerah pembedahan yang disebabkan oleh waktu
perdarahan meningkat, perdarahan gastrointestinal, dispepsia, dan juga
menyebabkan gangguan ginjal. Ketorolak juga masih memiliki efek
samping lain seperti mual, nyeri kepala, mengantuk, palpitasi, dan pruritus
• Toleransi dan ketergantungan
• Depresi pernafasan
• Hipotensi
Efek samping penggunaan NSAID
a) Lambung
Pada lambung, COX-1 memediasi produksi prostaglandin
PGE 2 & PGI 2 memainkan peran penting dalam mengatur produksi
bikarbonat dan lendir, serta mengatur aliran darah normal. Masing-
masing efek ini membantu melindungi sel-sel yang melapisi dinding
lambung dari efek erosif asam lambung (cairan lambung memiliki pH
normal 1,5-3,5) (Wallace, 2008).
Oleh karena efek obat NSID yang bekerja memblokir produksi
prostaglandin yang dimediasi COX-1 di perut oleh aspirin dan NSAID
non-selektif lainnya (misalnya ibuprofen, naproxen) dapat
meningkatkan kejadian tukak lambung (dan gejala terkait termasuk
perdarahan & nyeri) . Spektrum ulkus peptikum yang disebabkan oleh
NSAID dapat berkisar dari superfisial hingga besar, dengan

40
perdarahan akut yang relatif umum. Bukti ulkus endoskopi telah
diamati pada 10-30% pasien yang menggunakan NSAID, dan
komplikasi ulkus serius terjadi pada 1-2% pasien (Conaghan, 2012;
Seminerio et al, 2014).

Gambar Patogenenis kerusaka lambung oleh obat NSAID


b) Ginjal
Fungsi prostaglandin ginjal terutama sebagai vasodilator di
ginjal. Pada individu sehat, dampak prostaglandin pada perfusi ginjal
relatif terbatas. Namun, dalam pengaturan vasokonstriksi ginjal yang
berkepanjangan yang berkembang selama pengaturan usia lanjut,
gagal jantung, dan gagal ginjal, sintesis prostaglandin
ditingkatkan. Dalam kondisi ini ketika fungsi ginjal terganggu,
produksi prostaglandin berperan penting untuk menjaga aliran darah
ginjal dan melindungi laju filtrasi glomerulus (GFR) dengan
menurunkan resistensi arteri pra-glomerulus (aferen). Dalam
pengaturan ini, bahkan penggunaan NSAID secara episodik dapat
menurunkan aliran darah melalui glomerulus, dan meningkatkan
risiko cedera ginjal akut (Luciano & Perazella, 2015).

c) Sistem Kardiovaskular
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dalam sistem
penghambatan yang lebih besar dari COX-2 vs COX-1 (seperti yang
dihasilkan oleh "coxibs" selektif COX-2) dapat menyebabkan

41
keseimbangan normal antara efek yang dihasilkan oleh prostasiklin &
tromboksan, yang mengakibatkan peningkatan kemungkinan agregasi
trombosit dan vasokonstriksi. Efek ini dapat menjelaskan insiden
yang lebih tinggi dari infark miokard dan stroke yang diamati ketika
obat ini telah digunakan secara klinis.
d) Kerusakan Hati
Jenis obat analgesik terutama paracetamol dapat menyebabkan
kerusakan pada hati. Peroksida yang terbentuk oleh metabolism
parasetamol dalam tubuh dapat menyebabkan menjadi racun bagi hati.

7. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami penggunaan obat analgesik


pada anak-anak
Sudah banyak obat-obatan yang termasuk golongan analgesik yang
diberikan kepada anak-anak, yakni OAINS. Banyak macam obat yang
termasuk kedalam golongan AINS, tetapi yang sudah mendapatkan izin FDA
yakni dari golongan Indol, tolmetin atau naproksen sebagai analgesik
pediatrik. Adapula Indometason, tetapi indometason hanya digunakan untuk
terapi ductus arteriosus dan memiliki manfaat sebagai analgesic narkotik
pasca bedah pada anak-anak. Sayangnya, indometason memiliki efek toksik
bagi ginjal pengguna.
Pemilihan OAINS yang sudah teruji keamanannya untuk digunakan
pada anak yakni aspirin, tolmetin (naproksen), dan ibuprofen. Untuk
pemberian aspirin, sangat tidak diperbolehkan diberikan kepada anak-anak
berusia dibawah 12 tahun. Hal ini dapat menyebabkan terjadi Reye’s
Syndrome. Sebagai pengganti aspirin, untuk meredakan demam dapat diganti
dengan paracetamol. Sebagai antipiretik-analgesik untuk anak , parasetamol
juga dianggap suatu pilihan yang tepat, akan tetapi tetap harus
mempertimbang kan kemungkinan efek samping terhadap kondisi tubuh anak.
Pertimbangan pemilihan obat AINS pada anak ini tentunya didasarkan
pada hasil penelitian para ahli yang telah diuji keamanannya. Hal yang harus
menjadi perhatian penting adalah pemberian obat secara rasional dan
pemahaman dasar gambaran farmakokinetik dan farmakodinamik obat.

42
Dalam aspek farmakokinetik, waktu pengosongan lambung dan derajat
keasamaan lambung pada anak harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan waktu
pengosongan lambung pada anak memiliki intensitas yang lebih lambat
dibandingkan dengan orang dewasa. Begitu juga dengan derajat keasaman
lambung, dimana derajat keasamaan lambung pada anak lebih rendah
darpiada dewasa. Kedua hal tersebut harus diperhatikan sangat penting karena
dapat mempengaruhi proses absorbsi obat dalam tubuh.
Sedangkan dalam aspek farmakodinamik, menyangkut mekanisme kerja
agen-agen farmakologik, dimana pada individu yang belum matang dapat
berubah antara lain karena pengurangan atau peningkatan jumlah reseptor
tempat bekerjanya obat (hormone, neurotransmitter) dan ketidakmatangan
metabolik struktur dan fungsional dari reseptor.
Untuk memilih antipiretika-analgesik pada anak harus selalu
mempertimbangkan kemungkinan efek samping terhadap kondisi tubuh anak. Faktor
obat dan faktor penderita juga menjadi suatu pertimbangan yang mutlak dipahami.
Untuk mengatasi ini, maka dianjurkan agar seorang dokter sebaiknya mengenal
dengan baik 4 jenis obat AINS yang berbeda sehingga dapat melakukan pemilihan
sesuai dengan kondisi pasien. Diantaranya adalah obat AINS yang memiliki waktu
paruh yang panjang dan waktu paruh yang pendek dan minimal 2 jenis obat AINS
dari kelas kimiawi lainnya.
Takaran Dosis Obat Untuk Anak-Anak
• Paracetamol

• Ibuprofen

43
• Aspirin

• Petidin

• Morfin
- Untuk Bayi

44
- Untuk balita usia 1 bulan – 1 tahun

- Anak usia 1 – 12 tahun

8. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami interaksi obat analgesik


dengan obat lainnya
Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya,
atau hal yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya.
Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau
minuman yang dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam
kehidupan sehari-hari, tidak jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari
satu macam obat, misal menggunakan obat ethical, obat bebas tertentu selain
yang diresepkan oleh dokter maupun mengkonsumsi makanan dan minuman
tertentu seperti alkohol dan kafein. Perubahan efek obat akibat interaksi obat
dapat bersifat membahayakan karena dapat meningkatnya toksisitas obat
maupun mengurangi khasiat obat. Namun, interaksi dari beberapa obat juga
dapat bersifat menguntungkan seperti efek hipotensif diuretik bila

45
dikombinasikan dengan beta-bloker dapat digunakan sebagai pengobatan
hipertensi (Fradgley, 2016).
Inhibiror enzim pengonversi-angiotensin (angiotensin-converrting enzym,
ACE) bekerja, sedikitnya sebagian dengan mencegah pemecahan kinin yang
menstimulasi produksi prostaglandin. NSAID dapat melemahkan efektivitas
inhibitor ACE dengan menghambat produksi vasodilator dan prostaglandin
natriuretik. Karena hiperkalemia, kombinasi NSAID dan inhibitor ACE juga
dapat menyebabkan bradikardia sehingga menimbulkan sinkop terutama pada
lansia dan penderita penyakit comorbid (hipertensi, diabetes meilitus,
penyakit jantung iskemik. NSAID meningkatkan frekuensi atau tingkat
keparahan ulserasi gastro-intestinal ketika dikombinasikan dengan
glukokortikoid dan menambah risiko perdarahan pada pasien yang mendapat
terapi wyfarin. Beberapa NSAID terikat dengan protein plasma sehingga
dapat menggantikan obat lain dari tempat ikatannya. Interaksi tersebut dapat
terjadi pada pasien yang diberikan salisilat atau NSAID lain (Syarif, et al.,
2007).

1. Umur Penderita
○ Bayi dan balita
Proses metabolik belum sempurna, efek obat dapat lain.
○ Orang Lanjut usia
Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita
penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis.
Orang lanjut usia sering kali fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi
obat terganggu kemungkinan fungsi hati juga terganggu, dan diet pada
lanjut usia sering tidak memadai.

2. Penyakit yang sedang diderita


Pemberian obat yang merupakan kontra-indikasi untuk penyakit
tertentu.

● Fungsi Hati Penderita


Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan metabolisme obat
terganggu karena biotransformasi obat sebagian besar terjadi di hati.

46
● Fungsi ginjal penderita
Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat terganggu.
Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam darah, juga dapat
memperpanjang waktu paruh biologik obat. Dalam hal ini ada 3 hal yang
dapat dilakukan, yaitu:
a. Dosis obat dikurangi
b. Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau
c. Kombinasi dari kedua hal diatas.
● Kadar protein dalam darah/serum penderita
Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka akan
berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya tinggi.
● pH urin penderita
pH urin dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh.
● Diet penderita
Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat. (Joenoes, 2002).

Interaksi obat analgetika non-opioid


Salah satu analgetika non narkotik yang banyak terlibat dalam interaksi
obat adalah NSAID. NSAID berinteraksi dengan beberapa obat dan dengan
NSAID sendiri. Interaksi obat paling penting melibatkan NSAID adalah
interaksi dengan heparin dan antikoagulan oral. Pemberian bersamaan
diketahui meningkatkan risiko perdarahan. Hal ini disebabkan karena
kemampuan NSAID untuk menghambat agregasi platelet dan memindahkan
senyawa antikoagulan dari tempat ikatan protein plasmanya sehingga
meningkatkan efeknya. Selain itu, pemberian bersaamaan NSAID apa pun
dengan probenesid menyebabkan peningkatan efek NSAID. Interaksi obat
lain yang melibatkan NSAID adalah interaksi dengan diuretik loop dan
antihipertensi. Pemberian bersamaan NSAID dan senyawa diuretik atau
antihipertensi menyebabkan penurunan efikasi senyawa tersebut. Interaksi
yang melibatkan parasetamol yaitu interaksi dengan obat/kelas obat
meliputi, kotrasepsi oral diketahui dapat menurunkan efikasi dari
parasetamol, sedangkan untuk probenesid dan propanolol diketahui dapat
meningkatkan keefektifan parasetamol (Mozayani dan Raymond, 2012).

47
Interkasi obat analgetika opioid
Analgesik opioid dan obat lain berinteraksi melalui beberapa
mekanisme. Banyak interaksi hasil dari induksi atau inhibitor sitokrom P450
sistem mono- oksigenase hati. Eliminasi opioid sebagian besar tergantung
pada metabolisme hati, sehingga dapat menjadi signifikan secara klinis.
Carbamazepine, phenytoin dan barbiturat dapat meningkatkan metabolisme
opioid berkaitan dengan metabolisme hati. Interaksi yang melibatkan
mekanisme farmakodinamik lebih umum daripada yang farmakokinetik.
Interaksi tersebut diwujudkan secara klinis sebagai sebagai adiktif/sinergis
atau antagonis, efek farmakologis yang sama atau berlawanan pada sistem
tubuh yang sama (Maurer dan Bartkwoski, 1993).

48
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2017. Makasar : MMN. Publishing. 2017
Anonim. 2015. “Chapter I : Analgesik Opioid”. http://repository.usu.ac.id/
bitstream/handle/123456789/24542/Chapter%20I.pdf;jsessionid=E5698E23E67B058D8
50E490EF759795?sequence=5. Di akses pada tanggal 5 April 2015.
Aryasa, T. 2016. Obat Antikonvulsan Sebagai Analgesik. Bagian Anesthesia dan Reanimasi
FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
Bahrudin, M. (2018). Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan dan
Kedokteran Keluarga, 13(1), 7-13.
Bushra R, A.N., An Overview of Clinical Pharmacology of Ibuprofen. OMJ, 2018. 25(3): p.
155-161.
Batlouni, M. (2010). Nonsteroidal anti-inflammatory drugs: cardiovascular, cerebrovascular
and renal effects. Arq Bras Cardiol, 94(4), 556-563.
Dewi, A. R. M. F. K., Yuliyani, A. S., Dianita, B. R., Trimanda, D. A. W., Erliana, F. T.,
Kurniawan, H., ... & Nita, Y. (2020). PENGETAHUAN DAN PENGGUNAAN OBAT
ANALGESIK DAN ANTIPIRETIK PADA IBU HAMIL. Jurnal Farmasi
Komunitas, 7(1), 8-16.
Dewoto, Hedi. 1971. FARMAKOLOGI DAN TERAPI Edisi V. Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapi FK UI.
Fadhila, Qonita Zahra; Soraya Ratnawulan Mita; Tiana Milanda. REVIEW: STUDI IN-VIVO
SEDIAAN TRANSDERMAL KETOPROFEN SEBAGAI ANTIINFLAMASI. Program
Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universtas Padjadjaran. Suplemen Volume 16
Nomor 3
Fajriani, F. (2008). Pemberian Obat-Obatan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) pada
Anak. Journal of Dentistry Indonesia, 15(3), 200-204.
Goodman, L. S., Brunton, L. L., Chabner, B., & Knollmann, B. C. (2018). Goodman &
Gilman's pharmacological basis of therapeutics. 13th ed. New York: McGraw-Hill.
Katzung, B.G., 2012. Basic & Clinical Pharmacology. 12th ed., USA: McGraw Hill
Companies.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi Dasar & Klinik. McGraw Hill. New York.
2010
Katzung BG, ed. (2015). Basic and clinical pharmacology. 13th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 1203 p.

49
Konturek, P. C., Kania, J., Burnat, G., Hahn, E. G., & Konturek, S. J. (2005). Prostaglandins
as mediators of COX-2 derived carcinogenesis in gastrointestinal tract. Journal of
physiology and pharmacology: an official journal of the Polish Physiological Society, 56,
57-73.
Kurniawan, S. N., Handoko, E. A. 2018. Mekanisme Molekular Analgesik (Molecular
Mechanism of Analgesic) dalam Continuing Neurological Education (CNE-7),
Comprehensive Approach To Pain Management. UB Media, Universitas Brawijaya,
Malang. p29-49. ISBN 978-602-462-103-2
National Library of Medicine. Piroxicam.
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Piroxicam
Neal, Michael. 2005. At a Glance : FARMAKOLOGI MEDIS. Jakarta : Penerbit
Erlangga.U.S. National Library of Medicine. Pubchem: Diclofenac.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
Nugraha, M. W. D. (2009). Evaluasi Penggunaan Obat pada Masa Kehamilan Pasien Rawat
Jalan di RSU Santa Elisabeth Purwokerto periode Oktober-Desember 2008. Skripsi.
Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Olson, James. 1995. BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2008.
Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC
Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., & Muchtar, A. (2007). Farmakologi dan Terapi
edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

50

Anda mungkin juga menyukai