“ANALGESIK”
2. Isrofatullaily ( 191610101172 )
3. Khanun Nailufar ( 191610101173 )
Puji Syukur penulis hanturkan ke-hadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya lah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
1. Tuhan Yang Maha Esa atau segala berkah dan rahmat-Nya sehingga laporan tutorial
skenario pertama Blok 13 Farmakologi, Farmasi Dan Obat Alami ini dapat selesai.
2. Dosen Pembimbing tutorial, drg. Pujiana Endah Lestari M.Kes yang telah memberi
masukan yang membantu bagi pengembangan ilmu yang telah didaptkan.
3. Teman-teman satu kelompok yang telah berpartisipasi dalam pembelajaran dan
penyusunan laporan.
Penulis sadar dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Akhir kata penulis
ucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analgetik merupakan obat yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau
dapat disebut pula sebagai obat penghalang rasa nyeri, misalnya sakit kepala, otot, perut, dan
gigi dengan tanpa mengurangi atau menghilangkan kesadaran dari penderita. Obat analgesik
ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat dikarenakan obat ini dapat menghilangkan rasa
sakit atau nyeri meskipun obat analgesik ini tidak dapat menyembuhkan penyakit dari
penyebabnya.
Obat analgesik dibedakan menjadi 2 macam, yaitu analgesik opioid dan analgesik non-
narkotik. Anlgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium yang
berasal dari getah Papaverum somniferum yang mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
diantaranya, morfin, codein, tebain, dan papaverin (Dewoto, 2008). Sering terjadi
penyalahgunaan analgesik opioid karena adanya efek euforia dan ketagihan sehingga
penggunaannya pun dibatasi.
Analgesik jenis yang lain adalah analgesik non-narkotik. Yang termasuk jenis ini
adalah analgesik antipiretik dan obat AINS (Anti-inflamasi non steroid) dimana obat jenis ini
banyak diresepkan oleh dokter maupun dijual bebas tanpa resep dokter (Wilmana & Sulistia,
2008). Beberapa contoh obat analgesik non narkotik yang sering digunakan antara lain:
parasetamol, aspirin, ibuprofen, dan masih banyak lainnya.
Obat Anti-inflamasi non steroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang
heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia, tetapi mempunyai banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototipe obat golongan ini adalah aspirin.
Aspirin ini sangat luas penggunaannya, digolongkan obat bebas dan merupakan standart dalam
menilai efek obat sejenis
Klasifikasi kimiawi AINS tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari
subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda
subgolongan tapi memiliki sifat yang serupa. Sebagian besar efek terapi dan efek samping obat
AINS berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SKENARIO 2
Di awal pandemi covid 19, Tono, 20 th sakit gigi karena berlubang pada gigi
geraham 3, terutama bila terkena minuman dingin atau makanan yang terselib di gigi yang
lubang dan posisi tumbuhnya miring ke gigi depannya. Pada awal sakit, Tono minum
cataflam dan sembuh. 3 bulan kemudian gigi Tono kambuh lagi sakitnya, sekarang sakitnya
lebih lama dan tidak menghilang walaupun Tono sudah minum cataflam. Rasa sakit muncul
tiba-tiba bahkan saat tidur malam rasa sakit itu sering muncul dan intensitasnya semakin
lama dan dalam. Mau periksa ke dokter gigi, banyak dokter gigi yang tidak buka praktek,
akhirnya Tono selain minum cataflam dan ponstan juga memasukkan minyak kayu putih
ke dalam giginya yang berlubang dan hasilnya sakitnya lumayan berkurang bahkan sempat
tidak sakit dalam beberapa waktu, sakit maagnya kambuh. Sampai akhirnya giginya sakit
lagi dan pipinya bengkak, sakitnya membuat Tono tidak bisa tidur. Tono pergi ke RSGM
Unej. Oleh dokter gigi, Tono disarankan untuk mencabut gigi geraham 3 nya yang tumbuh
miring tersebut, dan memberikan obat metronidazole, kalium diklofenak dan analsik untuk
diminum sampai bengkaknya hilang baru dilakukan operasi gigi tersebut.
2.2 TUTORIAL
2
3. Analsik
• Obat yang mengandung metanizole dan diazepam yang berfungsi untuk
menghilangkan rasa nyeri sedang hingga berat. (Firman)
4. Maag
• Inflamasi dari mukosa lambung. (Cita)
• Merupakan sebuah luka pada lambung karena meningkatnya asam lambung yang
mengikis mukosa lambung serta menyebabkan rasa mual, perih, dan mulas.
(agung) yang disebabkan karena akibat dari peradangan atau luka yang terbuka
pada lambung (Dhara)
5. Metronidazole
• Merupakan salah satu antibiotik yang menghambat suatu bakteri. (Manta)
6. Kalium diklofenak
• Merupakan obat anti nyeri golongan OAINS (obat anti inflamasi non steroid)
untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang. Obat ini hanya digunakan jangka
pendek untuk meringankan nyeri akibat radang sendi, pengapuran tulang, sakit
gigi, kram menstruasi. (Afriz)
3
2. Bagaimana mekanisme kerja dari obat analgesik?
• Bekerja di dua tempat yaitu perifer dan sentral. Golongan obat NSAID bekerja
diperifer dengan menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim
siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan
analgesik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis
medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan
perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi. (fernando)
• Mekanisme obat Analgesik NSID yaitu dengan menghambat kerja enzim COX-1
dan Cox-2. Pada saat terjadi Inflamasi atau kerusakan jaringan. Pada saat terjadi
inflamasi, membran sel akan menghasilkan fosfolipid yang akan diubah menjadi
asam arakidonat. Asam arakidonat akan diubah menjadi Protaglandi oleh enzim
COX-1 dan COX-2. Obat ini Menghambat kerja dari enzim siklooksigenasi (COX)
dimana enzim ini berfungsi dalam membantu pembentukan prostaglandin saat
terjadinya luka dan menyebabkan rasa sakit serta peradangan. Ketika kerja enzim
COX terhalangi, maka produksi prostaglandin lebih sedikit, sehingga rasa sakit dan
peradangan akan berkurang. (khanun)
• Analgesik opioid
Mekanisme obat ini yaitu mengaktivasi reseptor opioid pada SSP untuk mengurangi
rasa nyeri. Aktivasi dari obat tersebut diperantarai oleh reseptor mikro (µ) yang dapat
menghasilkan efef analgesik di SSP dan perifer (isro)
4
anilin, turunan 5-pirazolon dan piraziladinon, turunan asam N-arilantranmilat,
turunan asam arilasetat dan hetero lasetat, turunan Oksikam.
NSAID dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Inhibitor selektif COX-1, seperti: aspirin
b. Inhibitor non-selektif terhadap COX, seperti: ibuprofen
c. Inhibitor selektif COX-2, seperti: meloxsicam
(Manta)
• Analgesik antipiretik = paracetamol, metamizole
Analgesik NSAID = aspirin, mefenamat, ketoprofen,diclofenac
Analgesik opioid = morphine, tramadol hidroklorida, pethidine, fentanyl
(Firman)
5. Mengapa pasien setelah minum cataflam dan ponstan mengalami sakit maag?
• Terdapat beberapa kemungkinan. Pada orang yang telah memiliki riwayat penyakit
radang lambung obat ini memiliki resikonya bisa meningkat dengan mengonsumsi
obat-obatan tertentu. Untuk menghindari efek samping mungkin diberi resep obat
tambahan untuk membantu melindungi usus Anda, seperti lansoprazole atau
omeprazole. Efek analgesik adalah menghambat sekresi prostaglandin yang ada di
dinding lambung, dan memicu sekresi musin. Ada 2 tipe: normal dalam lambung
5
dan keluar jika tubuh mengalami peradangansehingga memacu rasa nyeri berlebih.
Pemberian obat AINS bekerja tidak secara selektif. (Agung)
• Penghambatan sintesis PG dapat menyebabkan berkurangnya ketahanan mukosa,
yang menyebabkan iritasi dalam bentuk lesi akut mukosa lambung dengan bentuk
ringan sampai berat. NSAIDs yang bersifat lipofilik dan asam mempermudah
trapping ion hidrogen masuk mukosa dan menimbulkan ulserasi. (Cita)
7. Mengapa minyak kayu putih dapat berperan dalam mengurangi rasa sakit?
• Kayu putih merupakan obat analgesik pada obat-obat alami yang dapat
menghilangkan rasa nyeri. bagian digunakan adalah daun, yang memiliki kandungan
yang berfungsi sebagai analgesik (Nabila)
• Memberikan efek yang dapat merelaksasi otot, megurangi rasa sakit dan inflamasi
(Agung)
• Kandungan analgesik pada minyak kayu putih yaitu terpineol
• Kandungan Sineol pada minyak kayu putih dapat (Isro)
• Kandungan antiseptik pada minyak kayu putih, sehingga jika digunakan dalam
jangka waktu panjang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan flora rongga
mulut (Dhara)
6
• Menghindari nyeri perut, sebelum minum analgesik, minum obat pelindung lambung
dan usus, contoh: lansoprazole, omeprazole, sukrafate, multilox, antasida (Agung)
• Ibuprofen adalah obat anti inflamasi non steroid, obat ini berfungsi untuk meredakan
sakit serta meredakan peradangan. Obat ini dapat mengiritasi lambung, Jika ingin
mengurangi efek samping ke lambung, minum obat ini sehabis makan. (Dhara)
4) Step 4: Mapping
Obat Analgesik
Pengertian Klasifikasi
Non opioid /
Opioid
NSAID
Farmakodinamik &
farmakokinetik
Efek samping
7
4. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami farmakodinamik dan farmakokinetik
dari obat analgesik NSAID
5. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami indikasi dan kontraindikasi
penggunaan obat analgesik
6. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami efek terapi dan efek samping dari obat
analgesik
7. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami penggunaan obat analgesik pada anak-
anak
8. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami interaksi obat analgesik dengan obat
lainnya
8
Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung bebas serat saraf aferen A delta dan C.
Rangsanga kuat (noxious stimuli) yang dideteksi di perifer, dirambatkan menuju
medula spinalis oleh 2 jenis serabut-serabut saraf kecil (A delta bermielin
diameter 1 – 5 mikrometer dan C tidak bermielin diameter 0,5 – 1 mikrometer).
Reseptor- reseptor ini diaktifkan oleh adanya rangsangan dengan intensitas tinggi,
misalnya termal, mekanik, elektrik atau rangsang kiwiawi.
Zat-zat algesik yang dapat mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H , asam
laktat, serotonin, bradiakinin, histamin dan prostaglandin. Selanjutnya setelah
reseptor diaktifkan oleh zat algesik tersebut implus nyeri akan disaluran melalui
beberapa saluran saraf. Secara umum ada empat tahap mekanisme nyeri yaitu:
1) Tranduksi
Proses stimulasi nyeri atau rangsangan nyeri baik berupa rangsang mekanis,
termis maupun kimiawi di terima oleh ujung-ujung saraf yang akan diubah
menjadi suatu aktifitas listrik.
2) Transmisi
Proses penyaluran implus melalui saraf sensoris menyusul proses tranduksi.
Implus ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai
neuroan pertama dari perifer ke medulla spinalis. Neuron aferen primer
merupakan pengirim dan penerima aktif sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya
berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya akan berhubungan
dengan banyak neuron.
3) Modulasi
Proses interkasi antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri di kornu
posterior. Proses ini desendern, di kontrol oleh otak sehingga persepsi nyeri ini
sangat pribadi dan subjektif, dipengaruhi latar belakang budaya, pendidikan,
atensi. Analgetik endogen yang dimaksud adalah endorfin, serotonin dan
noradrenalin. Kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang bisa
tertutup dan terbuka untuk menyalurkan implus nyeri. Proses tertutupnya atau
terbukanya pintu nyeri diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut.
Inhibisi Enkeplain berikatan dengan resepyor opioid pada neuron post sinaps dan
menginhibisi post sinaps (neuron proyeksi) Enkeplain berikatan dengan resepyor
opioid membran presinaps yang kemudian menginhibisi presinaps serabut saraf
aferen A delta dan C sehingga influs berhenti. Inhibisi ditambah dengan
pengiriman implus menyebabkan peri neuron terbuka atau gerbang terbuka dan
9
sinyal dilanjutkan ke otak. Aktibasi serabu A delta dan C akan menginhibisi
interneuron dan aktivasi projection neuron. Saat itu PN akan teraktivasi dan
implus disalurkan ke otak. Adanya aktivasi serabut A beta mengaktivasi
interneuron dan perineuron. Interneuron akan menginhibisi PN, sehingga PN
tidak aktif dan garbang tertutup. Serabut saraf A beta merupakan serabut
mekanoreseptor.
4) Persepsi
Hasil akhir dari proses interkasi yang kompleks dan unik dimulai dari proses-
proses tersebut diatas, sehingga menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang
dikenal sebagai persepsi nyeri. Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman
nyeri. Persepsi merupakan hasil dari psikologis dan karakteristik individu lainnya.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf
aferen. (Anas Tamsuri, 2006).
C. Neuroregulator Nyeri
Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf
dibagi dalam dua kelompok besar yaitu neurotranmitter yang mengirimkan
10
implus-implus elektrik melewati rongga sinaps anatar dua serabut saraf dan dapat
melewati rongga sinaps anatara dua serabut saraf dan bersifat sebagai penghambat
atau dapat pula mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator dipercaya bekerja secra
tidak langsung dengan meningkatkan atau menurunkan efek partokular
neurotransmitter. (Anas Tamsuri, 2006).
Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran impuls nyeri
antara lain adalah:
(1) Neurotransmiter
• Substansi P (Peptida)
Ditemukan di neuron nyeri pada kornu dorsalis (peptide eksitator) yang
berfungsi untuk menstranmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan dapat
menyebabkan vasodilatasi dan edema.
• Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi
nyeri.
• Prostaglandin
Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dipercaya dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
(2) Neuromodulator
• Endorfin
Diaktivasi oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal, dan traktus
gastrointestinal yang berfungsi memberi efek analgesik
• Bradiakinin
Bekerja pada reseptor saraf perifer, menyebabkan peningkatan stimulus
nyeri.Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan
prostaglandin.
11
kanal ion membran nosiseptif melalui kopling lasung pada reseptor membran
untuk substansi spesifik. (ion hidrogen, ATP, serotonin 5-HT3) atau lebih sering
melalui mekanisme tak langsung yang dimediasi oleh intracellular second
messenger (bradykinin, sitokin, prostanoid, histamin H1, serotonin 5-HT1)
Bradykinin adalah agen algogenik poten yang juga mensensitisasi nosiseptor
pada aksi lain algogenik, meningkatkan permeabilitas vaskuler. Katekolamin
dilibatkan dalam nosiseptif di segmen medulla spinalis, dan efeknya dimediasi
oleh α2-adrenoreseptor. Sitokin adalah peptida yang secara regular diproduksi di
semua sel. Sitokin ini mempunyai aksi pleiotropik; sitokin anti inflamasi dan
growth factor berkontribusi pada hiperalgesia inflamasi. Pelepasan TNF-α
distimulasi bradykinin. Stimulasi ini akan menghasilkan IL-1 dan IL-6, yang akan
menginduksi adanya hiperalgesia melalui produksi produk-produk
siklooksigenase. Serotonin dilepaskan oleh platelet dalam respon pada PAF
adalah directly algogenic dan meningkatkan efek nosisepsi bradykinin pada saraf
sensoris.
Prostaglandin dalam mekanisme berasal dari kerusakan jaringan yang akan
melepas fosfolipid dari membran sel yang dipecah oleh fosfolipase untuk
membentuk asam arakidonat. Oksidasi asam arakidonat yang dikatalasi
siklooksigenase menghasilkan siklus prostaglandin. Enzim siklooksigenase
dikode oleh dua enzim (COX-1 dan COX-2). COX-1 diproduksi oleh sel normal
juga, karena prostaglandin ini juga penting untuk fungsi perlindungan misalnya
produksi mukosa gaster dan perbaikan aliran darah ginjal. COX-2 adalah bentuk
terinduksi dari enzim yang diasosiasikan dengan inflamasi. COX-2 diinduksi
dalam sel endhotel, makrofag dan fibroblast synovial, sel mast, kondrosit, dan
osteoblas setelah trauma jaringan oleh agen inflamasi. Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor pada aksi substansi algogenik lain dan pada stimulasi
mekanis. Leukotrien adalah produk lipooksigenase dari metabolisme asam
arakidonat yang juga mempunyai properti algogenik.
E. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan jenisnya, nyeri diklasifikasikan menjadi:
1) Nyeri fisiologis (nyeri sederhana)
Pada nyeri sederhana stimuli noxious ringan dan berlangsung singkat sehingga
tidak menimbulkan kerusakan jaringan. Stimuli mengaktivasi nosiseptor sehingga
12
mengeluarkan potensial aksi yang dijalarkan oleh serabut saraf aferen (SSA) ke
cortex, sehingga selanjutnya timbul persepsi nyeri. Nyeri fisiologik penting untuk
mempertahankan kelangsungan hidup setiap makhluk, sebab dapat
membangunkan atau mengaktivasi withdrawal reflex, (misalnya seseorang akan
menepuk nyamuk yang menggigitnya) sistem autonomik dan meningkatkan
kewaspadaan, emosional dan respons neurohumeral.
2) Nyeri nosiseptif
Nyeri yang disebabkan karena adanya kerusakan jaringan baik secara sensorik
maupun viseral. Stimusi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung
akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan
ujung saraf sensoris dan simpatik.
3) Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh llesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera pada jalur serat sarat perifer,
inflitrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi
yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
adanya rasa yang tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogik dapat menyebabkan
allyodina. Nyeri ini sering menunjukkan respon yang bburuk pada pemberian
anlgetik konvensional.
4) Nyeri psikogenik
Nyeri yang berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalanya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabilal keadaan jiwa pasien tenang.
Berdasarkan timbulnya nyeri, nyeri dibedakan menjadi:
1) Nyeri akut
Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang dipengaruhi oleh adanya stimulus
noksius karena cedera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot atau viseral.
Nyeri tipe ini biasanya berkaitan dengan stress neuroendrokin yang seimbang
dengan intensitasnya. Bentuk yang paling sering yaitu paska trauma, paska bedah
dan nyeri obstetri. Begitu pula dengan nyeri yang berkaitan dengan penyakit
seperi infark miokard, pankreatitis dan batu ginjal. Kebanyakan nyeri akut akan
sembuh dengan sendirinya atau berkurang denga terapi dalam beberpa hari atau
minggu. Ketika nyeri gagal untuk disembuhkan karena sesuatu hal baik
penyembuhan yang abnormal atau terpai tidak adekuat, maka akan menjadi nyeri
kronis.
13
Bentuk nyeri akut dapat berupa:
• Nyeri sensoris: nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
• Nyeri somatik : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
• Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
2) Nyer kronis
Nyeri koronis bersifat berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tandada-
tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri ini sangat subjektif dan
dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lainnya. Nyeri tersebut dapat
berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah operasi atau awalnya berupa nyeri akut
yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka atau awalnya beruoa nyeri akut
lalu menetap hingga melebihi 3 bulan. Nyeri kronoos bisa nosiseptif, saraf atau
keduanya.
Pasien dengan nyeri kronis biasanya sudah tidak tida ada respon neuroendrokin
aau respon yang sangat menurun dan memiliki gangguan tidur dan afektif atau
suasan hati. Bentuk yang paling umum dari nyeri kronis termasuk gangguan
muskulosskeletal, gangguan organ dalam kronis, lesi saraf perifer, atau nyeri
ganglia dorsal (nyeri paska herpes), lesi pada sistem saraf pusat dan nyeri kanker
metastase.
Berdasarkan derajat nyeri, nyeri dibedakan menjadi:
1) Nyeri ringan adalah nyeri yang timbul saat beraktivitas atau saat menjelang tidur
2) Nyeri sedang adalah nyeri yang terjadi terus menerus sepanjang hari
3) Nyeri berat tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri
Sedangkan berdasarkan kecepatannya, nyeri dibagi menjadi 2 kelompok:
• Nyeri melalui serabut A
• Nyeri melalui serabut C
Berdasarkan penilaian dengan Visual Analog Skill (VAS), dengan mengukur
intensitas nyerinya, digolongkan menjadi 3:
• Ringan : Sakit gigi, nyeri otot, Haid. VAS : kurang dari 4.
• Sedang : Sakit punggung, migrain, rematik. VAS : 4-7.
• Berat : Kejang usus, kolik (batu empedu), batu ginjal, kanker. VAS : lebih
dari 7.
14
Berdasarkan sifatnya, nyeri dibagi menjadi :
1) Incidental pain
Yaitu nyeri yang timbul sewaktu - waktu lalu menghilang.
2) Steady pain
Yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama.
3) Paroxysmal pain
Yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri
tersebut biasanya menetap kurang lebih 10-15 menit, lalu menghilang,
kemudian timbul lagi
Klasifikasi Obat Golongan Opioid. Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat
golongan opioid dibagi menjadi :
1) Agonis penuh (kuat)
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis
2) Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
Agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis
dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan
mengurangi efeknya
3) Campuran agonis dan antagonis,
Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang
memiliki efek agonis pada subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial
agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.
4) Antagonis.
1. Analgetik antipiretik
15
1.1 Paracetamol
Bekerja pada pusat pengatur suhu di hipotalamus untuk menurunkan suhu
tubuh.
1.2 Metamizole
Memiliki efek analgetik, antipiretik dan spasmolitik. Metamizole ini
mempunyai anti inflamasi yang lemah.
2.1 Aspirin
Aspirin merupakan golongan OAINS yang banyak digunakan sebagai
analgetik, antipiretik serta anti inflamasi.
2.2 Ibuprofen
Memiliki efek analgesic serupa dengan aspirin, namun efek anti
inflamasinya tidak terlalu kuat atau lebih lemah.
2.4 Diclofenac
Memiliki Efek analgetik, anti inflamasi dan antipiretik. Pada klasifikasi
selektivitas penghambatan COX, Diclofenac termasuk dalam kelompok
COX-2 Inhibitor. Diclofenac terdiri atas 2 jenis, yaitu Natrium Diclofenac dan
Kalium Diclofenac.
Perbedaan antara Natrium Diclofenac dan Kalium Diclofenac adalah
Kalium Diclofenac lebih larut air dan dapat diabsorbsi dengan cepat sehingga
memiliki anset kerja yang lebih cepat dibandingkan dengan Natrium
Diclofenac. Oleh karena itu Kalium Diclofenac biasanya hanya diindikasikan
untuk penanganan kondisi yang memerlukan efek analgetik yang cepat.
2.5 Ketorolac
Ketorolac merupakan OAINS yang memiliki ativitas sebagai analgetik
16
dan anti inflamasi. Ketorolac menghambat sintesis prostaglandin dan dapat
dianggap sebagai analgetik yang bekerja perifer karena tidak memiliki edek
terhadap reseptor.
3. Analgetik Opioid
Analgetik opiod digunakan untuk mengurrangi nyeri sedang sampai
berat, terutama pada bagian visceral. Penggunaan dapat mengakibatkan
ketergantungan dan toleransi, tetapi hal ini bukan alas an untuk tidak
digunakannya dalam mengatasi nyeri pada penyakit terminal. Penggunaan
opioid kuat dimungkinkan sesuai untuk beberapa kasus nyeri kronis non-
keganasan. Contoh obat yang tergolong dalam analgetik opioid adalah:
Morphine, Tramadol hidroklorida, pethidine, fentanyl dan codein.
17
Mekanisme Kerja kerja NSAID berdasarkan Enzim COX-1 dan COX-2
(Konturek, P et al., 2005)
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah obat yang paling sering
diresepkan di dunia. Golongan obat heterogen ini termasuk aspirin dan
beberapa penghambat siklooksigenase (COX) selektif atau non-selektif
lainnya. NSAID non-selektif adalah yang tertua dan disebut NSAID
tradisional atau konvensional.NSAID non-selktif bekerja pada enzim COX-1
dan COX-2. Sedangkan NSAID selektif disebut inhibitor COX-2.
18
Opioid juga dapat menimbulkan efek samping yang lebih banyak
dibandingkan analgesik non opioid bahkan dapat menyebabkan
ketergantungan dan kecanduan sehingga obat - obat golongan ini tidak dijual
bebas, hanya karena obat obatan opioid termasuk golongan narkotik.
19
• Reseptor ҡ diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan
pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi nafas yang tidak sekuat agonis µ.
• Selain itu disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif
terhadap enkefalin dan reseptor epsion yang sangat selektif terhadap beta-
endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas seperti enkefalin (Farmakologi dan
Terapi, 2016:214-215)
Klasifikasi Obat Golongan Opioid. Berdasarkan kerjanya pada reseptor,
obat golongan opioid dibagi menjadi :
(1) Agonis penuh (kuat)
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis
(2) Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
Agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis
dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan
mengurangi efeknya
(3) Campuran agonis dan antagonis,
Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu
parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.
(4) Antagonis.
Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi
derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan
(Farmakologi dan Terapi, 2016:215).
20
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan
muntah (Farmakologi dan Terapi, 2016:217).
Analgesia. Efek analgesia yang ditimbulkan oleh opioid terutama karena
kerja opioid di reseptor µ. · Reseptor µ dan K dapat juga ikut berperan dalam
menjmbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal dan juga menyebabkan
miosis yang ditimbulakn oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulmotor. Opioid menimbulkan- analgesia dengan cara berikatan dengan
reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang
berperan.pada transmisi dan modulasi nyeri. Agonis opioid melalui reseptor
µ, K, dan δ pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi
penglepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang
mentransmisi nyeri di komu dorsalis medula spinalis. Dengan demikian
opioid memiliki efek -analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medula
spinaus; Selain itu µ agonis juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps
melalui reseptor µ di otak.
Miosis. Morfin dan kebanyakan obat opioid lainnya bekerja pada
reseptor µ dan K menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan
pada segmen otonom inti saraf oculomotor. Pada intoksikasi morfin, pin point
pupils merupakan gejala yang khas. Oilatasi berlebihan hanya timbul pada
sladium akhir intoksikasi morfin.
Depresi napas. Morfin menimbulkan depresi napas secara printer dan
bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak.
Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa
menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dasis toksik dapat
menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit. Pada depresi napas, terjaai
penurul'lan frekuensi napas, volume semenit dan tidal exchange, akibatnya
Pco2 dalam darah dan udara alveolar meningkat dan kadar 02 dalam darah
menurun. Kepekaan pusat napas terhadap C02 berkurang. Kadar CO2
5%tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonal.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung,
morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang
sedangkan sfingter pilorus berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung
ke duodenum diperlambat. Di usus halus, morfin mengurangi sekresi
21
empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus
halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan
propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus
besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih
keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung.
Perubahan baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun
akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid
lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap
perubahan sikap.
Pada otot olos, morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin merendahkan tonus uterus
pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan.
Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore.
KULIT. Dalam dosis terapi, morfin menyetiabkan pelebaran
pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas ter.utama
di flush area (muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin
sebagian disebabkan oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan
seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat.
Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu badan turun
akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan
mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi,
hiperglikemia timbul tidak tetap akibat pelepasan adrenalin yang
menyebabkan glikogenolisis. Morfin membuat volume urin berkurang
akibat merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan
pelepasan ADH.
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi
melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga dapat
diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih
rendah dibanding secara parenteral.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami
konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam
22
bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi
ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan
bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2, yang
kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-
demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari
kodein, norkodein dan morfin.
2. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin lain
Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia,
depresi napas dan efek sentral lain. Pemberian meperidin kepada pasien
yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia.
Analgesia. Efek anaJgetik meperidin serupa dengan efek analgetik
morfin. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian
oral dan mencapai puncak dalam 2 jam.
Sedasi, euforia dan eksitasi. Pada dosis ekuianalgenetik sedasi yang
terlihat sama dengan sedasi pada morfin. Pernberian meperidin kepada pasien
yang- menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia
Di saluran napas, meperidin dalam dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas sama kuat dengan morfin. Pemberian
meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia kornea, dengan akibat
menghilangnya refleks kornea.
OTOT POLOS. Saluran cerna. Kontraksi propulsif dan nonpropulsif
saluran cema berkurang, tetapi dapat timbul spasme dengan tiba-tiba serta
penlnggian tonus usus. Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu. Di
otot bronkus, Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin
dan metakolin, namun pemberian dosis terapi meperidin tidak banyak
mempengaruhi otot bronkus normal. balam dosis besar obat ini justru dapat
menimbulk_an bronkokonstriksi.
Ureter. Setelah pemberian meperidin dosis terapi, peristaltik ureter -
berkurang. Hal ini -di!lebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat
dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju filtrasi glomerulus.
23
SISTEM KARDIOVASKULAR. Pemberian dosis terapi meperidin
pada pasien yang berbaring tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak
menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran EKG. Efek
spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah
daripada morfin. Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu.
Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan
metakolin, dapat menyebabkan peristaltik ureter berkurang, dan sedikit
merangsang uterus dewasa yang tidak hamil.
Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung
baik, akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah
suntikan IM. Setelah PO, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas
pertama dan kadar maks dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Pada
manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang
kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin bentuk utuh sangat
sedikit ditemukan dalam urin. Seanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demetilasi.
3. Metadon dan Opioid Lainnya
a. Metadon
Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan
efek 10 mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali timbul efek
sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat
bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek
antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH.
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan
menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. Metadon juga
menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba.
Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis.
Pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat.
Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan vasodilatasi
perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian
24
metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi kadang-kadang timbul
sinus bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2
sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan vasodilatasi
serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.
Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar dalam plasma yang
tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat protein
plasma.
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam
plasma darah setelah 30 menit PO; kadar puncak dicapai setelah 4 jam.
Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati,
ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar
maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian
parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati. Salah satu
reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian besar metadon
yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil
biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari 10% mengalami
ekskresi bersama empedu.
4. Propoksifen
Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya. Propoksifen
terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang selektif dibandingkan
morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat
dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral
menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidine
parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di
tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesik
yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri.
Obat ini tidak berefek antitusif.
Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun parenteral.
25
Efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO. Biotransformasi
propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.
Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu paruh 15 jam.
26
antarindividu dan intraindividu dalam respons klinis dapat diketahui. Pada
konsentrasi tinggi, NSAID juga diketahui dapat mengurangi produksi radikal
superoksida, menginduksi apoptosis, menghambat ekspresi molekul adhesi,
menu- runkan nitrogen monoksida sinfase, menurunkan sitokin
proinflamatori (contohnya, TNF-a dan lL-1), mengubah aktivitas limfasit, dan
mengganggu fungsi membran seluler. Akan tetapi, terdapat perbedaan
pendapat me- ngenai kerja ini yang berperan dalam aktivitas anti-inflamatoi
NSAID pada konsentrasiyang dicapai selama terapi (Goodman, et al., 2018).
• EFEK ANALGESIK.
Sebagai analgesik, obat mirip-aspirin hanya efektif terhadap nyeri
dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia,
artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, terutama terhadap nyeri
yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesikniya jauh lebih lemah
daripada efek analgesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip-aspirin
tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral
yang merugikan. Obat mirip-aspirin hanya mengubah persepsi modalitas
sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya
saraf aferen, tidak teratasi dengan.obat mirip-aspirin. Sebaliknya nyeri kronis
pascabedah dapat diatasi oleh obat mirip-aspirin.
• EFEK ANTIPIRETIK.
Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan suhu badan
hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini mempertihatkan
efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena
bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. lni berkaitan
dengan hipotesis bahwa COX yang ada di sentral otak terutama COX-3
dimana hanya parasetamol dan beberapa obat AINS lainnya dapat
menghambat. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan
digunakan sebagai antipiretik atas alasan tersebut.
• EFEK ANTl-INFLAMASI.
Kebanyakan obat mirip-aspirin, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan
sebagai antiinflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, misalnya
artritis reumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat
bahwa obat mirip-aspirin ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi
27
yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan,
memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan
muskuloskeletal ini.
SALISILAT
Asam asetil satisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin
adalah analgesik antipiretik dan anti-inflamasi yang luas digunakan dan
digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan
standar dalam menilai efek obat sejenis.
A. Farmakodinamik
Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang banyak digunakan
sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja
cepat dari efektif sebagai antipiretik. Dosis toksik obat ini justru
memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi demam
dan hiperhidrosis.
• Efek terhadap pemapasan.
Efek salisilat pada pernapasan penting dimengerti, karena pada gejala
pemapasan tercermin seriusnya gangguan keseimbangan asam basa dalam
darah. Salisilat merangsang pernapasan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pada dosis terapi salisilat mempertinggi konsumsi oksigen dan
produksi C02. Peninggian PC02 akan merangsang pemapasan sehingga
pengeluaran C02 melalui alveoli bertambah dan PC02 dalam plasma turun.
Meningkatnya ventilasi ini pada awalnya ditandai dengan pernapasan yang
28
lebih dalam sedangkan frekuensi hanya sedikit bertambah, misalnya pada
latihan fisik atau menghisap banyak C02. Lebih lanjut salisilat yang mencapai
medula, merangsang langsung pusat pernapasan sehingga terjadi
hiperventilasi dengan pemapasan yang dalam dan cepat. Pada keadaan
intoksikasi, hal ini bertanjut menjadi alkalosis respiratoar.
• Efek terhadap keseimbangan asam-basa.
Dalam dosis terapi yang tinggi, salisilat menyebabkan peningkatan
konsumsi oksigen dan produksi C02 terutama di otot rangka karena
perangsangan fosforilasi oksidatif. Karbondioksida yang dihasilkan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan pernapasan sehingga
karbondioksida dalam darah tidak meningkat.
• Efek urikosurik.
Efek ini sangat ditentukan oleh besarnya dosis. Dosis kecil (1 g atau 2 g
sehari) menghambat ekskresi asam urat, sehingga kadar asam urat dalam
darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g sehari . Biasanya tidak merigubah ekskresi
asam urat. Tetapi pada dosis lebih dari 5 g per hari terjadi peningkatan
ekskresi asam urat melalui urin, sehingga kadar asam urat dalam darah
menurun.
• Efek terhadap darah.
Pada orang sehat aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan
Hal ini bukan karena hipoprotrombinemia, tetapi karena asetilasi
siklooksigenase trombosit sehingga pembentukan txaz terhambat Dosis
tunggal 650 mg aspirin dapat memperpanjang masa perdaratian kira-kira 2
kali lipat. Pada pemakaian obat antikoagulan jangka lama sebaiknya berhati-
hati memberikan aspirin, karena bahaya perdarahan mukosa lambung.
Sekarang, aspirin dosis kecil digunakan untuk profilaksis trombosis koroner
dan serebral.
• Efek terhadap hati dan ginjal.
Salisilat bersifat hepatotoks-ik dan ini berkaitan dengan dosis, bukan
akibat reaksi imun. Gejala yang sering terlihat hanya kenaikan SGOT dan
SGPT, beberapa · pasien dilaporkan menunjukkan hepatomegali, anoreksia,
mual dan ikterus. Bila terjadi ikterus pemberian-aspirin harus dihentikan
karena dapat terjadi nekrosis hati yang fatal. Oleh sebab itu aspirin tidak
29
dianjurkan diberikan kepada pasien dengan penyakit hati kronik.
B. Farmakokinetik.
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam
bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di ·usus halus bagian atas.
Kadar tertinggi dicapai _kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan
absorpsinya tergantung dari kecepatan disintegrasi dao disolusi tablet, ph
permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Absorpsi pada
pemberian secara rektal, lebih lambat dan tidak sempurna sehingga cara ini
tidak dianjurkan. Asam salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat, terutama bila
dipakai sebagai obat gosok atau salep. Keracunan dapat terjadi dengan olesan
pada kulit yang luas. Metil-salisilat juga diabsorpsi dengan Gepat melalui
kulit utuh, tetapi penyerapan di lamb1,mg lambat dan lama bertahan di
lambung, oleh karena itu bila terjadi keracunan, bilas lambung masill berguna
walaupun_obat sudah ditelan lebih dari 4 jam.
Setelah diabsorpsi, salisilat segera men-yebar ke seluruh jaringail tubuh dan
cairan transelular sehingga ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal,
cairan peritoneal, liur dan air susu. Obat ini mudah menembus sawar darah
otak dan sawar uri. Kira-kira 80% sampai 90% salisilat plasma terikat pada
albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam
salisilat terutama dalam hati, sehingga hanya kira-kira 30 menit terdapat
dalam plasma.
Biotransformasi salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di
mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk
metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan
empedu.
PARAAMINOFENOL
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat dilihat
strukturnya pada Gambar 2 . Asetaminofen (parasetamol) merupakan
metabolit fenasetin dengan efek antipiretik. Efek antipiretik ditimbulkan oleh
gugus aminobenzen.
30
A. Farmakodinamik.
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu
tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperi
salisilat.
Efek anti-ilnflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak
digunakan sebaga~ antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lamburig tidak
terlihat pada kedua obat ini, demikian juga · gangguan pemapasan dan
keseimbangan asam basa.
B. Farmakokinetik.
Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempuma melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam.waktu ½ ~ 1 jam dan masa
paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam
plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh
enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam
glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan - asam sulfat Selain itu obat ini
juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat
menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi
melalui ginjal, . Sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan .sebagian besar
dalam bentuk terkonjugasi.
ASAM MEFENAMAT
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai anti-inflamasi,
asam mefenamat kurang efektif dibandingkan aspirin. Asam mefenamat
terikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian interaksi terhadap
obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cema
31
sering timbul misalnya dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala
iritasi lain terhadap mukosa lambung. Pada orang usia lanjut efek samping
diare hebat lebih sering dilaporkan: Efek samping lain yang berdasarkan
hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokonstri). Anemia hemolitik
pernah dilaporkan. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari.
Karena efek toksiknya maka di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan
untuk diberikan kepada anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil, dan
pemberian tidak mefebihi 7 hari. Penelitian klinis menyimpulkan bahwa
penggunaan selama haid mengurangi kehilangan darah secara bermakna.
IBUPROFEN
A. Farmakodinamik
Ibuprofen merupakan penghambat enzim siklooksigenase pada
biosintesis prostaglandin, sehingga konversi asam arakhidonat ke
prostaglandin menjadi terganggu. Prostaglandin ini sendiri berperan dalam
produksi nyeri dan inflamasi, sehingga dengan adanya penghambat tersebut
dapat menurunkan rasa nyeri ( Septian dkk, 2016).
B. Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorbsi melalui pemberian oral melalui usus. Konsentrasi
plasma maksimum biasanya tidak lebih dari 1-2 jam dan ibuprofen terikat
pada protein plasma lebih dari 99% serta dieleminasi sebagian besar melalui
urin dengan waktu paruh 1,8- 2,4 jam. Dosis: 60 mg / kg (maks. 2,4 g) setiap
hari.Ibuprofen menghambat aktivitas enzim siklooksigenase I dan II, sehingga
terjadi reduksi pembentukan prekursor prostaglandin dan tromboksan.
Selanjutnya, akan terjadi penurunan dari sintesis prostaglandin, oleh enzim
sintase prostaglandin
KETOPROFEN
A. Farmakodinamik
Mekanisme kerja ketoprofen yaitu menghambat sintesis prostaglandin
sehingga dapat memiliki efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik.
Diketahui prostaglandin mempunyai dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2,
dimana COX-2 ekspresinya meningkat pada keadaan inflamasi sedangkan
COX-1 bertindak mempertahankan mukosa lambung dan trombosit dalam
keadaan utuh. Ketoprofen merupakan OAINS yang tidak selektif sehingga
dapat menghambat kedua isoform sehingga tidak hanya memberikan efek
32
analgesik antiinflamasi tetapi efek samping terhadap gastrointestinal juga
meningkat. Ketoprofen dengan pemberian secara peroral mempunyai efek
terhadap gastrointestinal baik secara langsung karena obat ini bersifat asam
maupun secara sistemik yang menghambat sekresi mukus, bikarbonat, dan
prostaglandin. Efek samping penggunaan OAINS pada gastrointestinal adalah
perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus atau perforasi dan obstruksi serta
dyspepsia.
B. Farmakokinetik
Ketoprofen diserap secara cepat dan sempurna dalam saluran cerna.
Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 60-90 menit setelah
pemberian oral, 99 % ketoprofen terikat dengan protein plasma. Waktu paruh
eliminasi pada orang tua selama 5 jam dan 3 jam pada orang dewasa. Dosis:
2-4 dd 25-50 mg
PIROXICAM
A. Farmakodinamik
Piroxicam lebih selektif menyekat COX-1 yang selalu ada diberbagai
jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan fisiologi tubuh seperti
produksi mukus di lambung. Piroxicam mempunyai efek analgetik dengan
menghambat sintesa prostaglandin sebagai mediator pnimbul rasa sakit (
Palupi,DA dan Wardani,PI, 2017).
B. Farmakokinetik
Piroksikam diabsorbsi sempurna setelah pemberian oral. Konsentrasi
puncak dalam plasma terjadi dalam 2-4 jam. Setelah diabsorbsi piroksikam
banyak terikat di protein plasma (99%). Kurang dari 5 % piroxicam di
ekskresi melalui urin (Goodman dan Gilman, 2008). Dosis: 1 dd 20 mg
DIKLOFENAK
A. Farmakodinamik
Diklofenak merupakan analgesik yang mempunyai cara kerja
mengambat sintesa dari prostaglandin di dalam tubuh
B. Farmakokinetik
Absorbsi dikofenak melalui saluran cerna berlangsung cepat dan
sempurna. Laju absorbsi akan melambat jika diberikan bersamaan dengan
makanan, tapi tidak dengan jumlah yang diabsrobsi. Obat akan terikat 99%
33
pada protein plasma dengan waktu paruh 2-3 jam. Metabolisme diklofenak
berlangsung dihati dan disekresi dalam urin (65 %) dan empedu (35%). Dosis:
75–150 mg setiap hari dalam 2–3.
CELECOXIB
A. Farmakodinamik
Celecoxib bekerja dengan cara menghambat selektif COX-2. Pada
dosis biasa COX-1 tidak ada hambatan, maka prostaglandin dengan daya
protektifnya atas mukosa lambung-usus tetap terbentuk.
B. Farmakokinetik
Celecoxib diserap mencapai kadar darah maksimal setelah 2-3 jam.
Profil plasmanya adalah 97 % dan masa paruh eleminasi 8-12 jam. Celecoxib
dalam hati diubah menjadi metabolik inaktif yang dikeluarkan besama kemih
(Suyani dkk, 2015). Dosis: 200 mg setiap hari dalam 1-2 dosis terbagi,
meningkat jika perlu maksimal 200 mg dua kali sehari.
34
terjadi iritasi saluran cerna dengan pendarahan ringan yang
asimptomatis, memanjangnya waktu pendarahan,
bronkospasme, dan reaksi pada kulit hipersensitif.
3. Antalgin
Indikasi: nyeri ringan sampai sedang dan pireksia
Peringatan: gangguan fungsi hati, ginjal dan ketergantungan alcohol
Kontraindikasi: penderita hipersensitif, hamil dan wanita menyusui, penderita
dengan tekanan sistoli kurang dari 100 mmhg
Efek samping: iritasi lambung, hyperhidrosis
4. Tramadol
Indikasi: nyeri akut atau kronik yang berat dan nyeri pada pasca operasi
Peringatan: pasien dengan trauma kepala dan tekanan intrakranial
Kontraindikasi: penderita yang hipersensitif terhadap tramadol atau opiate
dan penderita yang mendapatkan pengobatan dengan
penghambat MAO, intosikasi akut dengan alcohol,
hiptonika, analgetika atau obat obat yang bekerja pada SSP,
seperti obat obat tranquiliser, hiptonik
Efek samping: mual, muntah, lesu, letih, ngantuk, pusing, ruam kulit,
takikardia, peningkatan tekanan darah, muka merah
a. Analgetik Perifer (non narkotik)
Semua analgetik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu
menurunkan suhu. Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan
tidak bekerja sentral :
1) Golongan salisilat (Aspirin, Aspilets, Bodrexin, Naspro)
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin.
Obat ini diindikasikan untuk sakit kepala, nyeri otot, demam. Sebagai
contoh aspirin dosis kecil digunakan untuk pencegahan thrombosis
koroner dan cerebral. Asetosal adalah analgetik antipirentik dan anti
inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas.
Efek sampingnya yaitu perangsangan bahkan dapat menyebabkan iritasi
lambung dan saluran cerna. Dosis oral 325-650 mg, 4-6 jam/hari
2) Golongan para aminofenol (Panadol Tempra Biogesic)
Terdiri dari fenasetin dan asetaminofen (parasetamol ). Indikasinya
35
untuk nyeri ringan sampai sedang dan pireksia. Kontraindikasinya
gaungguan fungsi hati.
Efek sampingnya: kerusakan fungsi ginjal, hati, reaksi hipersensitivitas
dan kelainan darah.
3) Golongan pirazolon(dipiron)
Dipiron sebagai analgetik antipirentik, karena efek inflamasinya lemah.
Efek samping semua derivate pirazolon dapat menyebabkan
agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.
4) Golongan antranilat
Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan
ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/atau
antiradang, sehingga tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri,
melainkan juga pada demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan
peradangan seperti rematik dan encok. Efek samping yang paling umum
adalah gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan
ginjal dan juga reaksi alergi kulit. terutama terjadi pada penggunaan lama
atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu penggunaan analgetika secara
kontinu tidak dianjurkan.
b. Analgetik Narkotik
Khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri sedang sampai hebat,
seperti fraktur dan kanker. Analgesik ini bekerja pada syaraf pusat. Obat
ini tidak hanya menekan nyeri, tetapi juga menekan pernafasan dan batuk.
Banyak narkotik mempunyai efek antitusif dan anti diare selain
kemampuannya meredam nyeri. Penggolongan analgetik narkotik adalah
sebagai berikut :
Obat Pertimbangan pemakaian
Morfin Indikasi: analgetik selama dan setelah
pembedahan.
Kontra indikasi: depresi pernafasan akut,
alkoholisme akut, penyakit perut akut.
Efek samping: mual, muntah, konstipasi,
36
ketergantungan/ indiksi pada over dosis
Kodein fosfat Indikasi: nyeri ringan sampai sedang.
Kontra indikasi: depresi pernafasan akut,
alkoholisme akut, penyakit perut akut
Efek samping : mual, muntah, konstipasi,
ketergantungan/ indiksi over dosis.
Meperidin (Demerol) Indikasi: nyeri sedang,
Efek samping: menurunkan tekanan darah,
pusing. Pada cidera kepala, dapat menimbulkan
peningkatan TIK
Hidromorfon Untuk nyeri hebat. Merupakan narkotik kuat, 5-
10 kali lebih hebat dari morfin. Dapat menekan
pernafasan dan digunakan untuk nyeri pada
kanker terminal.
37
rendah.
- Efek analgesik
Obat ini hanya efektif terhdap nyeri dengan intensitas rendah sampai
sedang seperti sakit kepala, mialgia, atralgia dan nyeri lain yang berasal
dari integumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan
inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik
opiat, tetapi bedanya NSAID tidak menimbulkan efek ketagihan dan tidak
menimbulkan efek sentral yang merugikan.
- Efek Antipiretik
Obat ini hanya menurunkan suhu badan hanya pada saaat demam. Tidak
semuanya bersifat sebagai anti piretik karena bersifat toksik bila
digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan anti reumatik
lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik.
- Efek Anti inflamasi
NSAID terutama yang baru, lebih banyak dimanfaatkan sebagai anti
inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti artritis
reumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat
bahwa obat ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang
berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan,
memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan
muskuloskeletal ini.
39
Efek samping
Tramadol merupakan analgetik opioid yang diindikasikan untuk
mengobati nyeri sedang sampai berat, baik yang bersifat akut maupun
kronik. Lebih dari 90 negara di dunia telah memakai obat ini sebagai
analgetik, namun penggunaan tramadol juga mengakibatkan efek
samping, antara lain adalah depresi napas, mengantuk, mual muntah, dan
menyebabkan ketergantungan.8 Ketorolak merupakan salah satu NSAID
yang sering digunakan dalam mengatasi nyeri pascabedah karena
memiliki efek analgesia yang kuat serta efek anti-inflamasi.
Ketorolak juga sama efektif dengan morfin dan petidin yang dapat
mencegah nyeri akut pascabedah dari tingkat nyeri sedang sampai dengan
berat tanpa menyebabkan depresi pada pernapasan. Pemberian ketorolak
juga harus diwaspadai karena berkaitan dengan peningkatan risiko
perdarahan pada daerah pembedahan yang disebabkan oleh waktu
perdarahan meningkat, perdarahan gastrointestinal, dispepsia, dan juga
menyebabkan gangguan ginjal. Ketorolak juga masih memiliki efek
samping lain seperti mual, nyeri kepala, mengantuk, palpitasi, dan pruritus
• Toleransi dan ketergantungan
• Depresi pernafasan
• Hipotensi
Efek samping penggunaan NSAID
a) Lambung
Pada lambung, COX-1 memediasi produksi prostaglandin
PGE 2 & PGI 2 memainkan peran penting dalam mengatur produksi
bikarbonat dan lendir, serta mengatur aliran darah normal. Masing-
masing efek ini membantu melindungi sel-sel yang melapisi dinding
lambung dari efek erosif asam lambung (cairan lambung memiliki pH
normal 1,5-3,5) (Wallace, 2008).
Oleh karena efek obat NSID yang bekerja memblokir produksi
prostaglandin yang dimediasi COX-1 di perut oleh aspirin dan NSAID
non-selektif lainnya (misalnya ibuprofen, naproxen) dapat
meningkatkan kejadian tukak lambung (dan gejala terkait termasuk
perdarahan & nyeri) . Spektrum ulkus peptikum yang disebabkan oleh
NSAID dapat berkisar dari superfisial hingga besar, dengan
40
perdarahan akut yang relatif umum. Bukti ulkus endoskopi telah
diamati pada 10-30% pasien yang menggunakan NSAID, dan
komplikasi ulkus serius terjadi pada 1-2% pasien (Conaghan, 2012;
Seminerio et al, 2014).
c) Sistem Kardiovaskular
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dalam sistem
penghambatan yang lebih besar dari COX-2 vs COX-1 (seperti yang
dihasilkan oleh "coxibs" selektif COX-2) dapat menyebabkan
41
keseimbangan normal antara efek yang dihasilkan oleh prostasiklin &
tromboksan, yang mengakibatkan peningkatan kemungkinan agregasi
trombosit dan vasokonstriksi. Efek ini dapat menjelaskan insiden
yang lebih tinggi dari infark miokard dan stroke yang diamati ketika
obat ini telah digunakan secara klinis.
d) Kerusakan Hati
Jenis obat analgesik terutama paracetamol dapat menyebabkan
kerusakan pada hati. Peroksida yang terbentuk oleh metabolism
parasetamol dalam tubuh dapat menyebabkan menjadi racun bagi hati.
42
Dalam aspek farmakokinetik, waktu pengosongan lambung dan derajat
keasamaan lambung pada anak harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan waktu
pengosongan lambung pada anak memiliki intensitas yang lebih lambat
dibandingkan dengan orang dewasa. Begitu juga dengan derajat keasaman
lambung, dimana derajat keasamaan lambung pada anak lebih rendah
darpiada dewasa. Kedua hal tersebut harus diperhatikan sangat penting karena
dapat mempengaruhi proses absorbsi obat dalam tubuh.
Sedangkan dalam aspek farmakodinamik, menyangkut mekanisme kerja
agen-agen farmakologik, dimana pada individu yang belum matang dapat
berubah antara lain karena pengurangan atau peningkatan jumlah reseptor
tempat bekerjanya obat (hormone, neurotransmitter) dan ketidakmatangan
metabolik struktur dan fungsional dari reseptor.
Untuk memilih antipiretika-analgesik pada anak harus selalu
mempertimbangkan kemungkinan efek samping terhadap kondisi tubuh anak. Faktor
obat dan faktor penderita juga menjadi suatu pertimbangan yang mutlak dipahami.
Untuk mengatasi ini, maka dianjurkan agar seorang dokter sebaiknya mengenal
dengan baik 4 jenis obat AINS yang berbeda sehingga dapat melakukan pemilihan
sesuai dengan kondisi pasien. Diantaranya adalah obat AINS yang memiliki waktu
paruh yang panjang dan waktu paruh yang pendek dan minimal 2 jenis obat AINS
dari kelas kimiawi lainnya.
Takaran Dosis Obat Untuk Anak-Anak
• Paracetamol
• Ibuprofen
43
• Aspirin
• Petidin
• Morfin
- Untuk Bayi
44
- Untuk balita usia 1 bulan – 1 tahun
45
dikombinasikan dengan beta-bloker dapat digunakan sebagai pengobatan
hipertensi (Fradgley, 2016).
Inhibiror enzim pengonversi-angiotensin (angiotensin-converrting enzym,
ACE) bekerja, sedikitnya sebagian dengan mencegah pemecahan kinin yang
menstimulasi produksi prostaglandin. NSAID dapat melemahkan efektivitas
inhibitor ACE dengan menghambat produksi vasodilator dan prostaglandin
natriuretik. Karena hiperkalemia, kombinasi NSAID dan inhibitor ACE juga
dapat menyebabkan bradikardia sehingga menimbulkan sinkop terutama pada
lansia dan penderita penyakit comorbid (hipertensi, diabetes meilitus,
penyakit jantung iskemik. NSAID meningkatkan frekuensi atau tingkat
keparahan ulserasi gastro-intestinal ketika dikombinasikan dengan
glukokortikoid dan menambah risiko perdarahan pada pasien yang mendapat
terapi wyfarin. Beberapa NSAID terikat dengan protein plasma sehingga
dapat menggantikan obat lain dari tempat ikatannya. Interaksi tersebut dapat
terjadi pada pasien yang diberikan salisilat atau NSAID lain (Syarif, et al.,
2007).
1. Umur Penderita
○ Bayi dan balita
Proses metabolik belum sempurna, efek obat dapat lain.
○ Orang Lanjut usia
Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita
penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis.
Orang lanjut usia sering kali fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi
obat terganggu kemungkinan fungsi hati juga terganggu, dan diet pada
lanjut usia sering tidak memadai.
46
● Fungsi ginjal penderita
Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat terganggu.
Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam darah, juga dapat
memperpanjang waktu paruh biologik obat. Dalam hal ini ada 3 hal yang
dapat dilakukan, yaitu:
a. Dosis obat dikurangi
b. Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau
c. Kombinasi dari kedua hal diatas.
● Kadar protein dalam darah/serum penderita
Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka akan
berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya tinggi.
● pH urin penderita
pH urin dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh.
● Diet penderita
Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat. (Joenoes, 2002).
47
Interkasi obat analgetika opioid
Analgesik opioid dan obat lain berinteraksi melalui beberapa
mekanisme. Banyak interaksi hasil dari induksi atau inhibitor sitokrom P450
sistem mono- oksigenase hati. Eliminasi opioid sebagian besar tergantung
pada metabolisme hati, sehingga dapat menjadi signifikan secara klinis.
Carbamazepine, phenytoin dan barbiturat dapat meningkatkan metabolisme
opioid berkaitan dengan metabolisme hati. Interaksi yang melibatkan
mekanisme farmakodinamik lebih umum daripada yang farmakokinetik.
Interaksi tersebut diwujudkan secara klinis sebagai sebagai adiktif/sinergis
atau antagonis, efek farmakologis yang sama atau berlawanan pada sistem
tubuh yang sama (Maurer dan Bartkwoski, 1993).
48
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2017. Makasar : MMN. Publishing. 2017
Anonim. 2015. “Chapter I : Analgesik Opioid”. http://repository.usu.ac.id/
bitstream/handle/123456789/24542/Chapter%20I.pdf;jsessionid=E5698E23E67B058D8
50E490EF759795?sequence=5. Di akses pada tanggal 5 April 2015.
Aryasa, T. 2016. Obat Antikonvulsan Sebagai Analgesik. Bagian Anesthesia dan Reanimasi
FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
Bahrudin, M. (2018). Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan dan
Kedokteran Keluarga, 13(1), 7-13.
Bushra R, A.N., An Overview of Clinical Pharmacology of Ibuprofen. OMJ, 2018. 25(3): p.
155-161.
Batlouni, M. (2010). Nonsteroidal anti-inflammatory drugs: cardiovascular, cerebrovascular
and renal effects. Arq Bras Cardiol, 94(4), 556-563.
Dewi, A. R. M. F. K., Yuliyani, A. S., Dianita, B. R., Trimanda, D. A. W., Erliana, F. T.,
Kurniawan, H., ... & Nita, Y. (2020). PENGETAHUAN DAN PENGGUNAAN OBAT
ANALGESIK DAN ANTIPIRETIK PADA IBU HAMIL. Jurnal Farmasi
Komunitas, 7(1), 8-16.
Dewoto, Hedi. 1971. FARMAKOLOGI DAN TERAPI Edisi V. Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapi FK UI.
Fadhila, Qonita Zahra; Soraya Ratnawulan Mita; Tiana Milanda. REVIEW: STUDI IN-VIVO
SEDIAAN TRANSDERMAL KETOPROFEN SEBAGAI ANTIINFLAMASI. Program
Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universtas Padjadjaran. Suplemen Volume 16
Nomor 3
Fajriani, F. (2008). Pemberian Obat-Obatan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) pada
Anak. Journal of Dentistry Indonesia, 15(3), 200-204.
Goodman, L. S., Brunton, L. L., Chabner, B., & Knollmann, B. C. (2018). Goodman &
Gilman's pharmacological basis of therapeutics. 13th ed. New York: McGraw-Hill.
Katzung, B.G., 2012. Basic & Clinical Pharmacology. 12th ed., USA: McGraw Hill
Companies.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi Dasar & Klinik. McGraw Hill. New York.
2010
Katzung BG, ed. (2015). Basic and clinical pharmacology. 13th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 1203 p.
49
Konturek, P. C., Kania, J., Burnat, G., Hahn, E. G., & Konturek, S. J. (2005). Prostaglandins
as mediators of COX-2 derived carcinogenesis in gastrointestinal tract. Journal of
physiology and pharmacology: an official journal of the Polish Physiological Society, 56,
57-73.
Kurniawan, S. N., Handoko, E. A. 2018. Mekanisme Molekular Analgesik (Molecular
Mechanism of Analgesic) dalam Continuing Neurological Education (CNE-7),
Comprehensive Approach To Pain Management. UB Media, Universitas Brawijaya,
Malang. p29-49. ISBN 978-602-462-103-2
National Library of Medicine. Piroxicam.
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Piroxicam
Neal, Michael. 2005. At a Glance : FARMAKOLOGI MEDIS. Jakarta : Penerbit
Erlangga.U.S. National Library of Medicine. Pubchem: Diclofenac.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
Nugraha, M. W. D. (2009). Evaluasi Penggunaan Obat pada Masa Kehamilan Pasien Rawat
Jalan di RSU Santa Elisabeth Purwokerto periode Oktober-Desember 2008. Skripsi.
Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Olson, James. 1995. BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2008.
Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC
Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., & Muchtar, A. (2007). Farmakologi dan Terapi
edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
50