Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 2

BLOK 13 FARMAKO, FARMASI, DAN OBAT ALAMI

Kelompok Tutorial D Pembimbing: drg. Ayu Mashartini P., Sp.PM

Oleh:
Dyan Cordella K. (191610101036)
Almaratus Sholehah (191610101037)
Shania Anggita Sunyoto (191610101039)
Syifa Tiara Hasna (191610101040)
Ronin Dutta Amanda (191610101041)
Khadijah Freshanda N.M.E (191610101043)
Dayinta Zahra Qonita (191610101044)
Sonya Cut Yumita Putri (191610101045)
Kintan Rachmawati P. (191610101046)
Gysta Ayu Dwi K. (191610101047)
Ulrico Adnan Pamase (191610101048)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER

i
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan laporan ini, tentang Farmako, Farmasi, dan Obat Alami. Laporan ini
disusun untuk memenuhi hasil diskusi tutorial kelompok D pada skenario kedua yaitu Analgesik.
Penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan dan kerja sama berbagai pihak, oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. drg. Ayu Mashartini P., Sp.PM selaku dosen tutor yang telah membimbing jalannya diskusi
tutorial kelompok D Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember dan telah memberikan
masukan yang membantu, bagi pengembangan ilmu yang telah didapatkan.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam menyusun laporan ini. Dalam penyusunan laporan
ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Semoga laporan
ini dapat berguna bagi kita semua.
Jember, 4 Maret 2021

Tim Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................i
BAB I Pendahuluan ........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1

ii
1.2 Skenario ........................................................................................................1
1.3 Identifikasi Kata Sulit ................................................................................. 2
1.4 Menentukan Rumusan Masalah ....................................................................7
1.5 Menjawab Rumusan Masalah ........................................................................7
1.6 Mind Map........................................................................................................10 BAB
II Pembahasan .........................................................................................................12
2.1 Pengertian jenis obat analgesik ................................................................................12
2.2 Obat analgesik golongan opioid ............................................................................. 12
2.3 Obat analgesik golongan NSAID ……………………............................................21
2.4 Interaksi analgesic dengan obat lain ........................................................................26
BAB III Penutup ...............................................................................................................27
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................31
Daftar Pustaka ...................................................................................................................32

iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Rasa nyeri merupakan suatu gejala yang fungsinya memberi tanda tentang adanya
gangguan-gangguan di tubuh seperti adanya inflamasi atau peradangan, infeksi
mikroorganisme atau kejang otot (konvulsi). Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau
kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan tubuh akan
melepaskan zat yang disebut mediator nyeri. Zat ini merangsang, reseptor nyeri yang
letaknya pada ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini
rangsang dialirkan melalui syaraf sensoris ke SSP (Susunan Syaraf Pusat), melalui sumsum
tulang belakang ke talamus (optikus) kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar, di mana
rangsang terasa sebagai nyeri. Contoh mediator nyeri adalah histamin, serotonin,
plasmokinin (antara lain Bradikinin), prostaglandin, ion kalium. Rasa nyeri dapat dikurangi
atau dilenyapkan tanpa menghilangkan kesadaran dengan obat anelgetik. Analgesik
merupakan obat yang paling sering digunakan dan banyak dijual secara bebas di masyarakat
dan dapat diperoleh secara langsung tanpa menggunakan resep dokter. Oleh karena itu,
sangat penting untuk mengetahui tentang cara penggunaan obat-obat analgesik yang dijual
secara bebas ini dengan benar karena obat dapat menimbulkan efek samping atau toksik
disamping efek terapi sebagai fungsinya. Misalnya, reaksi sensitivitas (urtikaria, ruam),
toksisitas ginjal dan hati, ulkus gastrointestinal dan sebagainya.
1.2 SKENARIO 2
ANALGESIK
Di awal pandemi covid 19, Tono, 20 th sakit gigi karena berlubang pada gigi
geraham 3, terutama bila terkena minuman dingin atau makanan yang terselip di gigi yang
lubang dan posisi tumbuhnya miring ke gigi depannya. Pada awal sakit, Tono minum
cataflam dan sembuh. 3 bulan kemudian gigi Tono kambuh lagi sakitnya, sekarang sakitnya
lebih lama dan tidak menghilang walaupun Tono sudah minum cataflam. Rasa sakit muncul
tiba-tiba bahkan saat tidur malam rasa sakit itu sering muncul dan intensitasnya semakin
lama dan dalam. Mau periksa ke dokter gigi, banyak dokter gigi yang tidak buka praktek,
akhirnya Tono selain minum cataflam dan ponstan juga memasukkan minyak kayu putih ke
dalam giginya yang berlubang dan hasilnya sakitnya lumayan berkurang bahkan sempat
tidak sakit dalam beberapa waktu, sakit maagnya kambuh. Sampai akhirnya giginya sakit

1
lagi dan pipinya bengkak, sakitnya membuat tono tidak bisa tidur. Tono pergi ke RSGM
Unej. Oleh dokter gigi , Tono disarankan untuk mencabut gigi geraham 3 nya yang tumbuh
miring tersebut, dan memberikan obat metronidazole, kalium diklofenak dan analsik untuk
diminum sampai bengkaknya hilang baru dilakukan operasi gigi tersebut.

1.3 Identifikasi Kata Sulit


1. Analgesik
- Syifa: istilah untuk mewakili sekelompok obat sbg pereda nyeri
- Sonya: ada 2, nsaid & opioid, keduanya memiliki cara kerja beda
- Khadijah: aspirin, acetamynocen, kodein
- Shania: cara kerjanya bekerja pada nociceptor yang dapat menghambat reseptor
nyeri tersebut
- Gysta: cara penggunaanya disesuaikan dengan obatnya, analgesik oral, topical
- Kintan: opioid, cara kerja pd reseptor agonis kuat, parsial, antagonis
2. Cataflam
- Ronin: obat nsaid, mengambat enzim COX, meredakan inflamasi
- Dayinta: Kalium Diklofenak atau Potassium Diclofenac merupakan obat golongan
Obat Antiinflmasi NonSteroid (OAINS) yang memiliki aktifitas antiinflamasi atau
antiradang dan antinyeri.
Fungsi:
a. Obat Osteoarthritis
Obat ini berfungsi untuk meredakan rasa nyeri yang timbul akibat arthritis. Agar
dapat merasakan manfaat dari obat ini umumnya diperlukan waktu sekitar 2
minggu dengan konsumsi rutin agar manfaat penuh obat dapat dirasakan. b.
Meredakan Nyeri punggung
Obat ini juga dapat membantu meredakan rasa nyeri pada punggung akibat
berbagai faktor.
c. Pereda Nyeri Haid
Karena sifat obat itu sendiri yang berfungsi untuk mengurangi produksi zat dalam
tubuh penyebab nyeri maka obat ini juga sering digunakan untuk meredakan nyeri
akibat haid

2
d. Sakit Gigi
Obat sakit gigi cataflam lebih dikenal karena fungsinya untuk mengobati sakit gigi.
Obat ini ampuh dalam mengatasi rasa sakit yang timbul akibat sakit gigi. Oleh
karena itu tidak heran cataflam obat sakit gigi yang sering diandalkan oleh
masyarakat. Meski begitu, obat ini juga memiliki fungsi secara umum sebagai
pereda nyeri tidak hanya untuk sakit gigi. e. Nyeri Akibat Asam Urat
Asam urat berlebih dapat menyebabkan pembengkakan dan nyeri pada persendian
terutama anggota gerak. Obat cataflam berfungsi untuk menurunkan rasa sakit dan
nyeri tersebut.
f. Gusi Bengkak
Selain sakit gigi, cataflam juga dapat digunakan untuk gusi bengkak. Obat ini dapat
meredakan pembengkakan akibat peradangan yang terjadi pada gusi.
- Della: diklofenak potassium, mengurangi peradangan, mengurangi keluhan nyeri
- Syifa: kontraindikasi pada pasien dengan riwayat kesehatan hipersensitif, urtikaria,
asma
- Kintan: efek samping meningkatkan sakit jantung, tukak lambung, sakit kepala,
edema
- Alma: sebagai anti radang, pada berbagai jenis nyeri karena efek anti radang kuat
3. Ponstan
- Khadijah: termasuk OAINS, bahan utama asam mefenamat. Efek samping diare,
pusing, mual
- Sonya: asam mefenamat menghambat prostaglandin, kontraindikasi alergi asam
mefenamat, pendarahan kronis, gagal jantung, dsb
- Dayinta: obat ini mengandung Asam Mefenamat yang diindikasikan untuk
menghilangkan nyeri ringan hingga sedang, misalnya sakit kepala, sakit gigi,
dismenore primer (nyeri perut pada saat haid), termasuk nyeri yang disebabkan oleh
trauma, nyeri otot dan pasca operasi. Asam mefenamat merupakan antiinflamasi
nonsteroid yang bekerja dengan menghambat proses sintesis prostaglandin dalam
jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga memiliki efek
analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Kontraindikasi:

a. Ulserasi GI (peradangan kronis pada saluran cerna) atau penyakit inflamasi (atas
atau bawah).

3
b. Gagal ginjal atau hati.
c. Bronkospasme (penyempitan saluran udara), rinitis alergi (peradangan yang
terjadi pada rongga hidung akibat reaksi alergi) dan urtikaria (gatal seperti
biduran) bila diobati dengan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lain.
Penggunaan bersamaan dengan antikoagulan kumarin meningkatkan risiko
perdarahan saluran cerna dan non-saluran cerna.
- Della: Peningkatan risiko terjadinya efek samping Ponstan jika digunakan bersama
dengan obat OAINS lainnya, seperti aspirin, penurunan efektivitas Ponstan jika
digunakan bersama dengan probenecid, peningkatan risiko terjadinya efek samping
obat golongan glikosida jantung, methotrexate, atau mifepristone, peningkatan
risiko terjadinya perdarahan saluran cerna jika digunakan bersama obat
antidepresan, antikoagulan, atau kortikosteroid
- Ronin: dosis sehari 3x1, mengurangi efek samping dikonsumsi setelah makan
- Kintan berinteraksi dengan obat antikoagulan karena terikat kuat dgn protein
plasma
- Alma: dapat berpotensi membuat iritasi lambung
4. Kalium diklofenak
- Shania: golongan OAINS, diklofenak ada 2: kalium diklofenak, hanya boleh dibeli
dengan resep dokter
- Khadijah: mengobati nyeri ringan-sedang, sakit gigi, mens, kontraindikasi
gangguan ginjal, hipersensitivitas, tekanan darah tinggi, asma, gangguan pada hati,
gangguan ginjal, anemia, gangguan pembekuan darah.
- Gysta: senyawa turunan phenyl asetat, menyebabkan iritasi lambung,
- Sonya: hipertensi, nyeri dada, mual, insomnia
- Della: ains, digunakan pada kerusakan musculoskeletal, pereda rasa sakit,
inflamasi. Dapat meningkatkan risiko pendarahan pada GI, memiliki indeks terapi
yang lebih tinggi
- Dayinta: Kontraindikasi
1. Hipersensitif terhadap diklofenak atau NSAID lainnya.
2. Gagal jantung sedang hingga berat, penyakit jantung iskemik, penyakit arteri
perifer, penyakit serebrovaskular.

4
3. Penggunaan AINS, antiplatelet, antikoagulan lainnya secara bersamaan.
4. Gangguan hati atau ginjal berat.
5. Kehamilan (trimester ketiga).
- Ronin: dapat menjadi antipiretik, tidak boleh minum bareng aspiran karena
menurunkan aktivitas
- Kintan: mekanisme dengan menghambat sintesis prostaglandin melalui
penghambatan COX 1 & 2, tidak ada dalam keadaan normal, ada pada saat
inflamasi spt artritis
5. Metronidazole
- Khadijah: antibiotik mengobati bakteri, menghentikan pertumbuhan bakteri dan
protozoa, efek samping, yaitu kulit kering dkk.
- Syifa: berdifusi memasuki organisme dg cara difusi melewati membran sel dari
patogen anaerob dan aerob, langkah kedua melibatkan aktivasi reduktif.
Pengurangan metronidazol menciptakan gradien konsentrasi dalam sel yang
mendorong penyerapan lebih banyak obat dan mendorong pembentukan radikal
bebas yang bersifat sitotoksik, langkah tiga, interaksi dengan target intraseluler,
dicapai dengan partikel sitotoksik yang berinteraksi dengan DNA sel inang yang
mengakibatkan kerusakan untai DNA dan destabilisasi DNA heliks yang fatal.
langkah keempat adalah pemecahan produk sitotoksik.Sonya: kontraindikasi
hiper terhadap metronidazole, hamil, menyusui, dkk.
- Della: efek samping pusing, mual, mutah, diare, dkk.
- Kintan: cara kerja menghambat metabolisme asam nukleat (merusak replikasi &
dna pada mikroba), digunakan untuk mengontrol keradangan gusi, infeksi paru2,
dkk.
- Dayinta: Metronidazole umumnya ditoleransi baik oleh tubuh, dengan tidak ada
atau hanya sedikit efek samping. Efek samping yang terjadi umumnya hanya
bersifat sementara, dan kembali normal setelah obat dihentikan, seperti mual,
muntah, sakit kepala, insomnia, pusing, mengantuk, dispepsia atau timbul ruam
pada kulit. Selain obat minum, obat infus, dan obat supositoria, metronidazole
juga tersedia dalam bentuk obat ovula (tablet untuk vagina). Ovula digunakan
untuk mengatasi vaginosis bakterialis pada pasien dewasa .

5
- Ronin: obat mengandung alcohol tidak boleh diminum bareng metronidazole.
Per oral setelah makan, dosis 7,5 mg/kg BB
- Gysta: menyembuhkan infeksi genital, mengobati penyakit periodontal, dapat
menurunkan bakteri anaerob kokus gram +/-
- Alma: pengecualian pada infeksi bakteri pylori bisa digunakan Bersama obat
lain
6. Analsik
- Della: obat golongan OAINS, farmakoterapi menghambat produksi sel yang
menyebabkan inflamasi, mengandung metanizol, diazepam yang termasuk
golongan benzodiazepine berfungsi untuk menghasilkan efek tenang pada sistem
saraf pusat. Sedangkan metamizole dapat meredakan nyeri.
- Sonya: efek samping mengantuk, vertigo, konstipasi, mual, dkk.
- Shania: efek samping alergi obat, seperti ruam kulit, gatal, bengkak pada tubuh,
dll.
- Kintan: OAINS, kontraindikasi ibu hamil & menyusui, pasien dengan tekanan
sistolik <100mmhg, glaucoma sudut sempit, memiliki riwayat gangguan
pernapasan, paru akut, psikosis, riwayat alergi
- Dayinta: Analsik merupakan obat yang masuk ke dalam golongan obat keras
sehingga penggunaannya tidak bisa sembarangan dan harus menggunakan resep
dokter, kandungan metamyzole yang ada dalam obat ini bekerja dengan cara
menghambat hormon prostaglandin yang menimbulkan rasa nyeri pada tubuh
dan menurunkan suhu tubuh ketika demam. Sedangkan diazepam yang
terkandung dalam analsik bekerja dengan cara meningkatkan asam gamma
aminobutyric (GABA) yang mengurangi rasa nyeri dan menghasilkan efek
tenang, Obat analsik dikontraindikasikan penggunaannya oleh orang dengan
riwayat hipersensitif dengan kandungan metampiron dan diazepam, atau
kandungan lain dalam obat analsik. Selain itu obat ini juga dikontraindikasikan
terhadap orang yang memiliki tekanan darah rendah (hipotensi), gangguan
pernapasan, glaukoma, wanita hamil, menyusui, atau berencana melakukan
program kehamilan

6
- Ronin: dosis 1 tablet, jika belum berefek bisa diminum sampai 4x sehari, tidak
boleh minum bareng alcohol, dan yang mendepresi sistem pusat
- Ulrico: Penggunaan Analsik harus hati-hati pada penderita gangguan fungsi hati
atau ginjal, penderita gangguan pembentukan darah/kelainan darah, dan orang
yang mengalami depresi

1.4 Menentukan Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan obat analgesik?
2. Apa saja klasifikasi obat analgesik?
3. Bagaimana cara kerja obat analgesik?
4. Bagaimana efek samping dari obat analgesik?
5. Apakah minyak kayu putih efektif terhadap rasa nyeri?
6. Mengapa pada malam hari rasa nyeri semakin meningkat?
7. Bagaimana interaksi antara cataflam dengan ponstan?
8. Bagaimana obat analgesik yang cocok terhadap pada pasien penderita maag?

1.5 Menjawab Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan obat analgesik?
- Shania: obat analgesik merupakan obat sedative, dapat mengurangi nyeri, penggunaan
berlebih menimbulkan efek samping
- Della: analgesik merupakan senyawa dosis terapeutik yang dapat mengurangi rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
2. Apa saja klasifikasi obat analgesik?
- Khadijah: dIbagi menjadi 2, non narkotik dan narkotik, non narkotik (salilsilat,
paraaminofenol, pirazolon, antranilat) narkotik (alkaloid alam, derivate semi sintetis,
derivate sintetik = metadon, antagonis morfin)
- Shania: analgesik adiofan, membantu analgesik narkotika dan non narkotika, seperti
kortikosteroid, anti depresan, antikonvulsan

7
-
Dayinta: Analgesik Non-opioid, Analgesik nonopioid merupakan obat yang dapat
mengurangi rasa nyeri dan bekerja di perifer sehingga tidak mempengaruhi kesadaran
serta tidak menimbulkan ketergantungan. Obat ini dapat mengurangi gejala nyeri
ringan sampai nyeri sedang. Analgesik Opioid, Analgesik opioid merupakan obat
yang bekerja di reseptor opioid pada sistem saraf pusat (SSP). Obat ini diberikan
untuk mengatasi nyeri sedang sampai nyeri berat sesuai dengan kekuatan dari nyeri
yang dirasakan dan kekuatan dari obat tersebut.
- Syifa: perbedaan jenis opioid dan non opioid, analgesik opioid: senyawanya homogen
karena merupakan turunan dari opioid, contoh: morfin di metilasi jadi kodein, morfin
dimetilasi jadi heroin, sedangkan yang non opioid: struktur kimianya heterogen. msa:
aspirin terdiri dari asetaminofen dan asam mefenamat.
- Gysta: opioid= agonis, campuran = nalbuphine, antagonis = nalokson
- Della: analgesik non arkotik, struktur kimia ada 2 antipiretika, bukan steroid.
Antipiretika untuk meredakan gejala simtomatik, misal acetaminophen, nsaid
mempunyai efek analgesik, pada diklofenak
3. Bagaimana cara kerja obat analgesik?
- Sonya: Mekanisme analgesik di dalam tubuh yaitu dengan cara menghalangi
pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri, saraf sensoris, dan sistem saraf pusat.
Analgesik non opioid bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase yang
akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin di mana prostaglandin adalah
mediator nyeri, sedangkan analgesik golongan opioid bekerja di sentral menempati
reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis yang menjaga pelepasan transmiter dan
rangsang nyeri sehingga terjadi penghambatan rasa nyeri.
- Ronin: mekanisme secara umum bekerja pada SSP, mengikat reseptor akan
menginformasikan untuk pengurangan masuknya ion kalsium, mengakibatkan
hiperpolarisasi dengan meningkatkan kalium
4. Bagaimana efek samping dari obat analgesik?
- Khadijah: yang paling umum adalah gangguan lambung, usus, kerusakan darah, hati,
ginjal, dan reaksi alergi di kulit

8
-
Syifa: opioid apabila penggunaan jangka panjang menyebabkan konstipasi karena
pada GI ada reseptor opioid, dapat merangsang sekresi asam lambung dan
menurunkan aliran darah ke ginjal
- Gysta: dapat menyebabkan hipersensitivitas seperti asma bronkial, menyebabkan
kerusakan darah karena menghambat tromboksan (membentuk trombosit) sehingga
terganggu, penghambatan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi pada arteri ginjal
- Sonya: gangguan lambung karena prostaglandin berperan dalam melindungi mukosa
lambung sehingga rentan mengalami gangguan.
5. Apakah minyak kayu putih efektif terhadap rasa nyeri?
- Ronin: daunnya mengandung terpineol dapat digunakan sebagai obat analgesik,
berasal dari senyawa a-pimema,
- Dayinta: analgesik alami, mengurangi rasa sakit kepala, perut, meringankan nyeri
sendi
- Syifa: berfungsi sebagai antiseptic, analgesik, antibakteri, kaya akan terpineol, sineol,
alfa terpineol, dapat menghambat pertumbuhan bakteri s. mutans, menghambat
pertumbuhan c. albicans (meningkatkan permeabilitas sel dan menghambat
pernapasan jamur)
6. Mengapa pada malam hari rasa nyeri semakin meningkat?
- Kintan: karena sistem pertahanan menurun, siang hari sistem pertahanan normal,
semakin mendekati waktu istirahat akan semakin menurun sehingga sistem
pertahanan di saraf memuncak dan timbul rasa nyeri
- Alma: pengaruh dari kelenjar saliva, sekresi saliva menurun, saliva mengalami
penurunan fungsi
7. Bagaimana interaksi antara cataflam dengan ponstan?
- Sonya: Kombinasi dari kedua obat analgesik akan memberikan efek yang sinergis di
mana menggabungkan dua obat yang sifatnya sama akan mengarahkan ke efek yang
lebih besar dari yang diharapkan karena kandungan asam mefenamat yang terdapat
pada obat ponstan dan kalium diklofenak yang terdapat pada obat cataflam memiliki
konsentrasi puncak dalam plasma yang sama yaitu 2-4 jam. Postan dan cataflam

9
-
bekerja dengan cara menghambat pembentukan zat kimia tubuh yang disebut
prostaglandin.
Kintan: kombinasi memberikan efek sama, jika digunakan bersamaan efek samping
dikhawatirkan semakin besar
- Gysta: direkomendasikan hanya 1 saja yang diminum, jika ingin diminum harus
berjarak 4 jam
- Alma: sakit maag efek dari kedua obat yang sinergis, mekanisme bergantung pada
COX, COX 2 meningkatkan saat radang, efek cataflam menghambat COX 2, namun
COX 1 tetap sehingga perlindungan mukosa lambung menurun. Asam lambung
mengalami ketidaknormalan sehingga ph rongga mulut tidak seimbang dan
bertambah penumpukan plak
8. Bagaimana obat analgesik yang cocok terhadap pada pasien penderita maag?
- Gysta: obat golongan nsaid selektif, COX 1 proteksi lambung yang besar,
direkomendasikan yang menghambat COX 2 nya seperti asam mefenamat

1.6 Mind Map

10
-

Obat
Analgesik

Non
Opioid Adjuvant
opioid

Farmakokinetik Farmakodinamik Efek samping Penggunaan

11
1.7 Menentukan Learning Objective
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian jenis obat analgesik
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian, mekanisme kerja,
farmokinetik, farmokodinamik, indikasi, efek samping dan kontraindikasi obat analgesik
golongan opioid.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian, mekanisme kerja,
farmokinetik, farmokodinamik, indikasi, efek samping dan kontraindikasi obat analgesik
golongan NSAID.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interaksi analgesik dengan obat yang
lainnya
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penggunaan bahan alam untuk obat
analgesik.

12
BAB II PEMBAHASAN

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian jenis obat analgesik.


SYIFA, 19-040:
Analgesik adalah bahan atau obat yang digunakan untuk menekan atau
mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menyebabkan hilangnya kesadaran. Analgetik
terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu analgetik opioid dan analgetik nonopioid.
Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang selain memiliki efek analgetik, juga
memiliki efek seperti opium (Gunawan, 2008 dalam Pandey, dkk., 2013). Nyeri adalah
perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman)
kerusakan jaringan. (Tjay dan Rahardja, 2007). Rasa sakit atau nyeri merupakan pertanda
ada bagian tubuh yang bermasalah, yang merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah
melindungi serta memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di dalam
tubuh seperti peradangan (rematik,encok), infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri
timbul karena adanya rangsangan mekanis ataupun kimiawi, yang dapat menimbulkan
kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator
(perantara) nyeri seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian, mekanisme kerja,
farmokinetik, farmokodinamik, indikasi, efek samping dan kontraindikasi obat
analgesik golongan opioid.
DELLA, 19-036:
Obat Analgesik Golongan Opioid
Analgesik Opiod
Analgesik opioid bekerja pada reseptor yang disebarluaskan di seluruh otak dan
medulla spinalis. Analgesik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di
kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan
perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri,
meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. (Farmakologi
dan Terapi, 2016).

13
Reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ), dan kappa (ҡ). Reseptor µ memperantarai
efek analgesik mirip morfin, euphoria, depresi nafas, miosis, berkurangnya motilitas
saluran cerna. Reseptor ҡ diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan
pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi nafas yang tidak sekuat agonis µ. Reseptor δ
yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor epsion yang sangat selektif terhadap
betaendorfin tetapi tidak mempunyai afinitas seperti enkefalin (Farmakologi dan Terapi,
2016).
Klasifikasi Obat Golongan Opioid
Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi : (1)
Agonis penuh (kuat), (2) Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), (3) Campuran
agonis dan antagonis, dan (4) Antagonis.
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis
parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser agonis
kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang
merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada
subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe
reseptor opioid lainnya.
A. Morfin dan Alkaloid Opium
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah dikeringkan.
1) Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non- opioid.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma,
kolik renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis akut, dan nyeri
akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah (Farmakologi dan Terapi,
2016).
2) Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena
morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga mempunyai
afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan ҡ (Farmakologi dan Terapi,
2016). Efek morfin terhadap Susunan Saraf Pusat berupa analgesia dan narkosis.

14
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang
menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali menimbulkan
disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah (Farmakologi
dan Terapi, 2016).
3) Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, namun dapat diabsorbsi melalui kulit
luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin juga dapat diabsorbsi usus.
Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan
dalam tinja dan keringat. Sebagian kecil dikeluarkan bersama dengan cairan
lambung. (Farmakologi dan Terapi, 2016).
4) Efek samping
Idiosinkrasi dan alergi. Idiosinkrasi merupakan suatu efek gejala yan tidak jelas.
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah, tremor, insomnia. Reaksi alerginya
berupa urtikaria, dermatitis kontak, pruritus, dan bersin.
Intoksikasi akut. Biasanya terjadi karena akibat percobaan bunuh diri. Pasien akan
tidur atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lambat, kulit muka
merah tidak merata, tekanan darah menurun, pupil sangat kecil, pembentukan urin
berkurang, suhu bada rendah, tomnus otot rangka rendah, mandibula relaksasi dan
lidah dapat menyumbat jalan napas. (Farmakologi dan Terapi, 2016).
B. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain
1) Indikasi
Meperidin yang juga dikenal sebagai petidin. Meperidin hanya digunakan untuk
menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan
atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin
digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat
praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan
morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin (Farmakologi
dan Terapi, 2016).
2) Farmakodinamik
Efek farmakodinamik meperidin dan derivat fenilpiperidin lain serupa satu
dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor µ. Pada

15
Susunan Saraf Pusat, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi
napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit
setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam (Farmakologi dan
Terapi, 2016).
3) Farmakokinetik
Metabolisme meperidin terutama di hati. Pada manusia, meperidin mengalami
hidrolisis melalui asam meperidinat yang kemudian sebagaian menjadi alami
konjugasi.
4) Efek samping
Efek samping ringan: pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual muntah,
perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi,disforia, dan sedasi. Obstipasi
dan retensi urin jarang terjadi.
5) Kontraindikasi
Dosis harus dikurangi pada pasien orang tua dan penderita penyakit hati karena
tejadinya perubahan pada disposisi obat. Dosis dikurangi bila diberikan
bersamaan dengan antiskopsis, hipnotik sedatif, dan obat lain penekan SSP.
C. Metadon dan Opioid Lain
1) Metadon
a. Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang
dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit
lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah
pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian oral. Obat ini
menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai
analgesik pada persalinan (Farmakologi dan Terapi, 2016).
b. Farmakodinamik
Di Susunan Saraf Pusat, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan
efek 10 mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali timbul efek sedasi
yang jelas. Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuat
seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal.

16
Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hipotemia, dan
pelepasan ADH (Farmakologi dan Terapi, 2016).
c. Farmakokinetik
Metadon diabsorpsi dalam usus dan ditemukan dalam plasma setelah 30 menit
pemberian oral. Metadon cepat keluar dalam darah dan menumpuk di
paruparu, hati, ginjal, dan limfa, hanya sebagian kecil yang masuk di otak.
Sebagian besar ditemukan dalam urin dan tinja. Sebagian besar diekskresi
empedu. Dan kurang dari 10 persen mengalami ekskresi dalam bentuk asli.

d. Efek samping
Perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, mual
dan muntah. Yang jarang terjadi adalah halusinasi selintas dan urtikaria
hemoragik.
2) Propoksifen
a. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang,
yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen
bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama
asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari,
dengan atau tanpa asetosal (Farmakologi dan Terapi, 2016).
b. Farmakodinamik
Propoksifen terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang selektif
dibandingkan morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek
yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg 22 propoksifen
parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidin
parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di
tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesik
yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri.
Obat ini tidak berefek antitusif (Farmakologi dan Terapi, 2016).
c. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorbsi setelah diberikan secara oral maupun parenteral.

17
Biotransformasinya dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.
d. Efek samping
Mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut, kantuk. Dalam dosis toksik dapat
menimbulkan depresi SSP dan depresi napas.
D. Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek
kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid endogen sedang
aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis
opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson yang dapat diberikan pemberian oral
dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada nalokson. Dalam dosis besar
keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis
(Farmakologi dan Terapi, 2016).
1) Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akiat takar lajak
opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu
persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini
nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis
dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid (Farmakologi dan Terapi,
2016:230).
2) Farmakodinamik
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson menurunkan ambang
nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi; mengantagonis efek
analgetik plasebo; mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan
lewat jarum akupuntur. Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek
nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam analgesia di atas.
Dugaan yang sama juga timul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada
hewan dalam keadaan syok, dan efeknya dalam mencegah overating dan obesitas
pada tikus-tikus yang diberi stres berat. Nalorfin dan levalorfan juga
menimbulkan depresi napas yang diduga karena kerjanya pada reseptor κ.
Berbeda dengan morfin, depresi napas tidak bertambah dengan bertambahnya
dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat depresi napas oleh

18
morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat morfin dosis besar
(Farmakologi dan Terapi, 2016).
3) Farmakokinetik
Obat ini dimetabolisme di hati. Waktu paruhnya sekitar 1 jam dengan masa kerja
1-4 jam.
E. Agonis Parsial
1) Pentazosin
a. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi kurang efektif
dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan untuk
medikasi praanestesik. Bila digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin
dapat mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin (Farmakologi
dan Terapi, 2016:231).
b. Farmakodinamik
Efeknya terhadap Susunan Saraf Pusat mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang timbul
agaknya karena efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya berbeda dengan
analgesia akibat morfin. Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat
daripada morfin. Pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia dan efek
psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya dapat diantagonis oleh nalokson.
Diduga timbulnya disforia dan efek psikotomimetik karena kerjanya pada
reseptor δ (Farmakologi dan Terapi, 2016).
c. Farmakokinetik
Diserap melalui peroral maupun parenetal. Dimetabolisme secara intensif di
hati. Lalu diekskresi sebagai metabolit melalui urin.
2) Tramadol
Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis reseptor µ yang
lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan
norepinefrin dan serotonin (Farmakologi dan Terapi, 2016:232).
Tramadol adalah analgesik opioid sintetik yang bekerja di sentral untuk
mengatasi nyeri sedang hingga berat. Efek analgesik tramadol dihasilkan melalui

19
jalur opioid dengan cara berikatan dengan reseptor µ dan jalur non-opioid (efek
monoaminergik) dengan cara menghambat pengambilan norepinefrin dan
serotonin. Afinitas tramadol terhadap reseptor µ relatif rendah sehingga aktivitas
opioid tramadol tergolong lemah bila dibandingkan dengan opioid lain seperti
morfin dan kodein (Naharuddin, 2013:13).
a. Mekanisme Kerja Tramadol
Tramadol merupakan opioid sintetik yang tidak mengandung opioid.
Tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, tetapi dapat bertindak
setidaknya sebagian dengan mengikat reseptor µ opioid, menyebabkan
penghambatan jalur nyeri meningkat. Tramadol dan motabolit aktifnya (M1)
berikatan dengan reseptor µ opioid di susunan saraf pusat yang
menyebabkan penghambatan jalur nyeri yang meningkat, mengubah persepsi
dan respons terhadap nyeri, juga menghambat pengambilan kembali
norepinefrin dan serotonin, yang juga memodifikasi tingkatan jalur nyeri.
b. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100%
bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati dan
diekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol
dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah
penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama
analgesia sekitar 6 jam. Dosis Maksimal per hari yang dianjurkan 400 mg
(Farmakologi dan Terapi, 2016:232). Bioavailabilitas tramadol pelepasan
segera 75%, pelepasan diperpanjang 85-90%. Onset: ~ 1 jam. Durasi: 9 jam.
Waktu plasma puncak yaitu pada pelepasan segera, 1,5 jam, dan pada
pelepasan diperpanjang 12 jam. Dimetabolisme di hati oleh CYP2D6 dan
CYP3A4 melalui N- dan O-demethylation dan glucuronidation/sulfation.
Metabolitnya yaitu M1 (O-desmethyltramadol, aktif). Metabolit M1
memiliki afinitas 200 kali lebih besar untuk reseptor opioid daripada obat
induk.
c. Indikasi

20
Tramadol digunakan untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat parah.
Formulasi pelepasan Tramadol yang diperpanjang diindikasikan untuk
pasien yang membutuhkan manajemen nyeri sedang sampai berat setiap saat
untuk jangka waktu yang lama.
d. Efek samping
Mual, muntah, mulut kering, sedasi, sakit kepala

Jawaban Tambahan LO:


DAYINTA, 19-044:
Dalam tubuh terdapat opioid (zat mirip opioid/narkotika) endogen, yaitu
enkefalin, endorphin dan dinorfin. Dalam keadaan nyeri opioid endogen menduduki
reseptornya untuk mengurangi nyeri. Apabila nyeri tidak tertanggulangi, dibutuhkan
opioid eksogen, yaitu analgetik narkotik. Analgetik narkotik bekerja dengan menduduki
sisa nosiseptor yang belum diduduki endorphin. Pada penggunaan kronis terjadi stimulasi
pembentukan reseptor baru dan penghambatan produksi endorphin di ujung saraf otak.
Untuk memperoleh efek analgesic yang sama semua reseptor harus diduduki, untuk itu
dosis perlu dinaikkan. Akibatnya terjadilah kebiasaan (toleransi) dan ketagihan (adiksi).
GYSTA, 19-047:
Obat-obat opioid memiliki efek ketergantungan yang dapat diobati dengan beberapa cara,
salah satunya melalui Metadon. Metadon adalah golongan narkotik, tetapi lebih sedikit
mengakibatkan ketergantungan daripada narkotik yang digantikannya. Dalam program
pelepasan, orang yang bersangkutan menerima satu dosis metadon untuk dua hari
pertama yang kira-kira sama dengan dosis obat yang diadiksi. Setelah dua hari, dosis
metadon dikurangi 5-10 mg sampai orang tersebut sepenuhnya lepas dari metadon. Jika
pemakaian kronik dari narkotik dihentikan, gejala-gejala putus obat (sindroma abstinensi)
akan muncul, seperti menguap, berkeringat hebat, air mata mengalir, tidur gelisah,
merasa kedinginan, muntah, diare, takhikardia, midriasis, tremor, kejang otot, reaksi
psikis hebat (gelisah, mudah marah, khawatir mati).
ALMA, 19-037:
Opoioid campuran yaitu bekerja dengan mengikat pada reseptor opoid, tetapi
sedikit mengaktivasi daya kerjanya. Contoh obatnya nalorfin, atau nalbufin.

21
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian, mekanisme kerja,
farmokinetik, farmokodinamik, indikasi, efek samping dan kontraindikasi obat
analgesik golongan NSAID.
SONYA, 19-045:
Pengertian
NSAID merupakan obat anti-inflamasi yang memiliki struktur molekular berbeda
dari steroid. Secara kimiawi, NSAID merupakan senyawa turunan dari asam asetat, asam
propionat, pirazol, dan zat kimia lainnya. NSAID bekerja dengan menghambat kerja dari
enzim siklooksigenase (Zahra, 2017). Selain memiliki efek sebagai antiinflamasi,
NSAIDs juga memiliki efek sebagai analgesik dan antipiretik (Imananta, 2018).
Analgetik non narkotik tidak bersifat adiktif dan kurang kuat jika dibandingkan dengan
analgesik narkotik. Analgesik ini disebut juga analgesik perifer sebab menghambat
terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer (Woro, 2016).
Mekanisme Kerja
NSAID bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase. Enzim ini
berperan penting dalam jalur metabolisme asam arakidonat, yaitu mengkatalis perubahan
asam arakidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan. Terdapat dua isoform enzim
siklooksigenase yaitu siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2. Enzim siklooksigenase-1
terdapat di platelet, endotelium vaskular, epitelium gastrointestinal, otak, tulang
belakang, dan ginjal yang berperan dalam meregulasi fungsi trombosit, proteksi mukosa
gastrointestinal, dan proteksi terhadap fungsi ginjal jika mengalami gangguan perfusi.
Namun, enzim siklooksigenase-2 diaktivasi oleh beberapa sitokin dan menginduksi
kaskade inflamasi. Enzim ini banyak ditemukan di plak aterosklerotik, makula densa, dan
interstisial medula ginjal yang berperan dalam persepsi nyeri serta metabolisme air dan
garam (Zahra, 2017).

22
Gambar. Jalur pembentukan prostonoid dan tempat kerja obat-obatan yang menghambat
jalur ini

(Sumber: Katzung, 2014)

Berdasarkan selektivitas enzim siklooksigenasi (COX) yang dihambat, obat NSAID dibagi
menjadi:
1. Obat NSAID COX-1 Selective Inhibitor

Obat NSAID COX-1 selective inhibitor menghambat enzim COX-1 yang


berperan dalam homeostasis tubuh dimana enzim COX-1 terdapat di gastrointestinal,
ginjal, platelet dan endothelium. Contoh obat NSAID COX-1 selective inhibitor:

23
SC560, FR 12047, mafezolac, P6 dan TFAP. NSAID COX-1 selective inhibitor
menghambat biosinntesis prostasiklin, tromboksan A2 dan Prostaglandin E2.
- Prostaglandin I2 (prostasiklin) memiliki peran yang penting dalam fisiologis
ginjal, sehingga penghambatan sintesisnya dapat menyebabkan retensi cairan
(Zahra & Carolia, 2017).
- Penghambatan sintesis Prostaglandin E2 menyebabkan meningkatnya sekresi
asam gastic, berkurangnya sekresi bikarbonat, berkurangnya sekresi mucus
(Karin & Banoo, 2012).
- COX 1 inhibitor memblok aktivitas vasokonstriktor dan agregasi platelet yang
diinduksi dari tromboksan. Sehingga COX-1 Inhibitor menghasilkan
antitrombotik.
2. Obat NSAID COX-2 Selective Inhibitor
Obat NSAID COX-2 selective inhibitor menghambat enzim COX-2 dalam
sintesis prostaglandin inflammatory dan mediator inflamasi lain (protease) yang
berperan pada kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Penghambatan ini menyebabkan
obat NSAID COX-2 selective inhibitor berefek anti-inflamasi, analgesia dan
antipiretik. Enzim COX-2 terdapat di sel-sel imun (makrofag, dll), sel endotel
pembuluh darah dan fibroblast sinovial. Contoh obat NSAID COX1 selective
inhibitor: Etoricoxib, parecoxib, lumiracoxib (Lelo, A. 2002).

Farmakodinamik, Farmakokinetik, Indikasi, Efek Samping, dan Kontraindikasi


Obat-obatan NSAID

1. Natrium Diklofenak
Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
dengan efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik yang digunakan secara luas pada
nyeri akut, subakut, dan kronis. Salah satu kelebihan utama dari natrium diklofenak
adalah kemampuannya untuk memblokir isoenzim cyclooxygenase-2 (COX2) 10 kali
lipat lebih besar dibandingkan dengan OAINS lain. Hal ini menyebabkan
berkurangnya insiden gangguan gastrointestinal, tukak lambung, dan perdarahan
gastrointestinal.
a. Farmakodinamik

24
Efek analgesik natrium diklofenak jauh lebih lemah daripada efek analgesik
opioid. Namun tidak seperti opioid, natrium diklofenak tidak akan menimbulkan
ketagihan dan efek sentral yang merugikan. Sebagai analgesik, natrium
diklofenak mempunyai onset yang cepat dan durasi yang panjang serta berguna
untuk mengobati nyeri akut hingga kronik. Obat ini juga telah terbukti memiliki
efek yang menguntungkan dalam serangan migrain. Dalam kondisi peradangan
paskatrauma dan paskaoperasi, natrium diklofenak dengan cepat mengurangi
nyeri spontan dan nyeri pada gerakan serta mengurangi pembengkakan inflamasi
dan edema luka. Ketika digunakan bersamaan dengan opioid untuk pengelolaan
nyeri paskaoperasi, natrium diklofenak secara signifikan mengurangi kebutuhan
opioid. Sebagai antipiretik, natrium diklofenak akan menurunkan suhu badan
hanya pada keadaan demam. Sedangkan sebagai antiinflamasi, natrium
diklofenak sering dimanfaatkan pada pengobatan kelainan muskuloskeletal seperti
artritis reumatoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. OAINS ini dapat
meredakan nyeri saat istirahat, nyeri saat bergerak, kekakuan pada pagi hari, dan
pembengkakan sendi. (Sulistia G., 2016).
b. Farmakokinetik
Absorpsi natrium diklofenak melalui saluran cerna berlangsung cepat dan
sempurna. Laju absorpsi akan melambat jika diberikan bersamaan dengan
makanan, tapi tidak dengan jumlah yang diabsorpsi. Obat ini terikat 99% pada
protein plasma dan mengalami efek lintas awal (first pass) sebesar 40-50%.
Walaupun waktu paruh singkat yaitu 1-3 jam, natrium diklofenak diakumulasi di
cairan sinovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari
waktu paruh obat tersebut. Metabolisme natrium diklofenak berlangsung di hati
oleh isoenzim sitokrom P450 subfamili CYP2C menjadi 4-hidroksidiklofenak,
metabolit utama, serta bentuk terhidroksilasi lain. Metabolit tersebut akan
diekskresi dalam urin (65%) dan empedu (35%) setelah mengalami glukoronidasi
dan sulfasi. (Burke, 2011).
c. Indikasi: paling umum digunakan untuk kondisi yang berkaitan dengan jenis nyeri
muskuloskeletal kronis, seperti artritis rematoid, osteoartritis, spondilitis ankilosa,
dan gout.

25
d. Efek samping: terjadi pada sekitar 30% penderita, meliputi ulserasi
gastrointestinal, kenaikan enzim hepar, trombositopenia, gangguan fungsi ginjal,
gangguan sistem saraf pusat, mual, eritema kulit, sakit kepala, serta alergi.
e. Kontraindikasi: pemakaian selama kehamilan dan pasien yang mengalami tukak
lambung.
2. Asam Mefenamat
Asam mefenamat termasuk NSAID turunan asam anthranil yang secara reversibel
menghambat enzim siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2 (COX-1 dan COX-2),
sehingga menghasilkan sintesis prekursor prostaglandin yang berkurang. Asam
mefenamat memiliki sifat analgesik dan antipiretik dengan aktivitas antiinflamasi
ringan (Lacy dkk, 2009). a. Farmakodinamik
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik dan anti-inflamasi, tetapi kurang
efektif jika dibandingkan dengan aspirin. Asam mefenamat terikat sangat kuat
pada protein plasma. Dengan demikian interaksi terhadap obat antikoagulan harus
diperhatikan (Gunawan, 2011). Asam mefenamat merupakan asam fenilantranilat
yang mengalami N- substitusi. Pada analgesia, asam mefenamat merupakan satu–
satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan kerja perifer. Senyawa
fenamat memiliki sifat-sifat tersebut karena kemampuanya menghambat
siklooksigenase. Selain itu, senyawa fenamat juga mengantagonis efek
prostaglandin tertentu (Goodman dan Gilman, 2008).
b. Farmakokinetik
Obat bersifat asam seperti asam mefenamat akan diabsorbsi di lambung. Di
lambung asam mefenamat mengalami bentuk molekul, sehingga dapat dengan
mudah menembus membran tempat absorbsinya. Kadar plasma puncak (kadar
senyawa bioaktif tertinggi yang terukur dalam plasma) dapat dicapai 1 sampai 2
jam setelah pemberian 2x250 mg kapsul asam mefenamat (Sulistia G., 2016).
Asam mefenamat memiliki dua produk metabolit, yaitu hidroksimetil dan turunan
suatu karboksi, keduanya dapat diidentifikasi dalam plasma dan urin. Asam
mefenamat dan metabolitnya berkonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian
besar diekskresikan lewat urin, tetapi ada juga sebagian kecil yang melalui feces.

26
Pada pemberian dosis tunggal, 67% dari total dosis diekskresikan melalui urin
sebagai obat yang tidak mengalami perubahan atau sebagai 1 dari 2 metabolitnya.
20-25% dosis diekskresikan melalui feces pada 3 hari pertama (Sulistia G.,2016).
c. Indikasi
Mengatasi rasa sakit dan nyeri yang ditimbulkan dari rematik akut dan kronis,luka
pada jaringan lunak, pegal pada otot dansendi, dismonore, sakit kepala, sakit gigi,
setelah operasi dll (Daud, 2018).
d. Efek Samping
Gangguan pada saluran cerna misalnya dispepsia, diare sampai diare berdarah,
dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Selain itu, berdasarkan
hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokonstriksi (Sulistia G.,2016). e.
Kontraindikasi
Kepekaan terhadap asam mefenamat, radang atau tukak pada saluran pencernaan
(Daud, 2018).
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interaksi analgesik dengan obat
yang lainnya. SYIFA, 19-040:
A. Interaksi obat analgesik opioid
Umumnya, interaksi obat terjadi pada pasien yang sakit berat atau dirawat inap yang
membutuhkan banyak obat. Selalu terdapat kemungkinan interaksi obat ketika pasien
diberi analgesik opioid (Katzung, et al, 2012).

B. Interaksi obat NSAID dengan obat lain:


1) Antihipertensi

27
Pada pasien hipertensi, penambahan NSAID ke obat antihipertensi dapat
mengurangi efektifitas obat antihipertensi, dengan kontrol tekanan darah yang
buruk. Selain efek pada tekanan darah, terdapat kekhawatiran bahwa interaksi
NSAID dengan Antihipertensi dapat meningkatkan risiko cedera ginjal akut,
karena kedua kelas tersebut memiliki efek ginjal. pasien hipertensi yang
menjalani pengobatan ACEI atau hidroklorotiazid harus menghindari penggunaan
NSAID.
2) Antitrombotik
Interaksi obat antara NSAID dan obat antitrombotik telah dipelajari secara
ekstensif, karena dapat menimbulkan konsekuensi yang serius. Pemberian
NSAID dan aspirin kardioprotektif secara simultan dapat mengakibatkan
persaingan untuk mengakses situs aktif COX - 1. Secara teoritis, hal ini dapat
menyebabkan penurunan penghambatan ireversibel aspirin terhadap platelet
COX-1, dengan penurunan efikasi klinis selanjutnya ( pencegahan peristiwa
trombotik yang tidak diinginkan).
FDA merekomendasikan penggunaan ibuprofen setidaknya 8 jam sebelum dan
30 menit setelah aspirin untuk mengurangi kemungkinan interaksi. Selain itu,
meskipun NSAID tidak menyebabkan interaksi farmakodinamik langsung
dengan warfarin, penggunaan bersamaan dapat meningkatkan kemungkinan
perdarahan gastrointestinal.
3) Alkohol
Studi kasus-kontrol yang menggunakan 1224 pasien rawat inap ditemukan
peningkatan 2,7 kali lipat dalam risiko perdarahan GI pada individu yang secara
teratur mengonsumsi ibuprofen dan mengonsumsi alkohol. Studi lain yang
menggunakan 1.083 pasien rawat inap menemukan bahwa adanya penggunaan
NSAID atau riwayat penyalahgunaan alkohol menyebabkan tingginya kejadian
perdarahan GI parah.
4) Methotrexate
Interaksi NSAID dengan obat methotrexate dapat menyebabkan peningkatan
risiko terjadinya efek samping methotrexate, terutama gangguan fungsi ginjal
(gagal ginjal, pancytopenia), terutama apabila digunakan dengan dosis tinggi.

28
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penggunaan bahan alam untuk obat
analgesik.
SYIFA, 19-040:
Pengobatan dengan menggunakan obat tradisional saat ini sangat populer dan
semakin disukai oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena disamping harganya murah
dan mudah di dapat juga mempunyai efek samping yang relatif sedikit. Banyak tanaman
disekitar kita belum dimanfaatkan dengan baik bahkan ada tanaman yang dianggap tidak
bermanfaat. Hal ini dapat terjadi karena keterbatasan informasi kepada masyarakat, untuk
itu perlu dilakukan pengembangan penelitian ilmiah terhadap tanaman obat tradisional
sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesehatan masyarakat.

29
Hampir seluruh tanaman yang berefek analgetik mempunyai kandungan minyak atsiri,
sehingga diduga bahwa kemungkinan efek analgetik tersebut karena adanya minyak atsiri.
Memang diketahui salah satu efek minyak atsiri adlah sebagai analgetik, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan adanya kandungan zat aktif lainnya yang berfungsi sebagai
analgetik.
Contoh Penggunaan Bahan Alami sebagai analgesik:

30
1) Minyak kayu putih
Minyak kayu putih (Cajuputi Oil /CO) merupakan minyak esensial yang
dihasilkan dari daun dan ranting-ranting muda tanaman Melaleuca cajuputi Powell.
Minyak kayu putih berfungsi sebagai antiseptik, analgesik, bakterisid karena kaya akan
terpinen-4-ol, 1,8 cineole, dan α-terpineol (Rosdiana, et a, 2016).
Kandungan daun kayu putih yang mempunyai efek analgetik adalah α-terpineol
(Tuhu, 2007). Efek analgesik α-terpineol (100 mg / kg) sebanding dengan gabapentin
sebagai obat nyeri antineuropati standar. Efek analgesik dari α-terpineol dimediasi
melalui penekanan sel mikroglial tulang belakang dan penurunan kadar sitokin
inflamasi jaringan dengan cara menghambat hipereksresi sitokin inflamasi yang
diinduksi lipopolisakarida termasuk TNF-α, IL-1β, dan IL-6; sambil meningkatkan
sitokin anti-inflamasi, misalnya IL-10 di makrofag (Soleimani, et al, 2019).
Secara empirik, daun kayu putih berkhasiat untuk menghilangkan bengkak dan
nyeri (analgetika). Khasiat lain dari daun kayu putih antara lain untuk sakit radang usus,
diare, reumatik, asma, radang kulit ekzema, insomnia dan sakit kepala. Pengobatan
dapat dilakukan dengan meremas daun kayu putih lalu diletakkan pada bagian tubuh
yang sakit atau dapat juga dilakukan dengan meminum rebusan daun kayu putih ini
(Tuhu, 2007).
2) Bawang putih
Bawang putih (Allium sativum) termasuk golongan analgesik karena mengandung
allicin dan saltivin yang memiliki kemampuan sebagai anti-inflamasi dan analgesik.
Bawang putih mempunyai khasiat anti inflamasi yang mekanisme kerjanya dengan cara
menghambat aktivitas cyclooxcigenase enzyme sehingga terjadi hambatan pembentukan
prostaglandin. Pada luka yang terkontaminasi, akan terjadi proses peradangan dan proses
peradangan ini akan merangsang pengaktifan sitokin seperti IL-1 beta, IL-6, interferon
alpha dan TNF alpha. Sitokin ini akan menstimulasi preoptik hipotalamus untuk
meningkatkan PGE1 dan PGE2 yang dapat merangsang peningkatan produksi panas.
Ekstrak bawang putih pada konsentrasi tertentu mampu menurunkan panas dan reaksi
peradangan melalui mekanisme penghambatan pembentukan prostaglandin (Utami dkk.,
2009).

31
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Obat analgesik merupakan zat untuk menekan atau mengurangi rasa sakit atau nyeri
tanpa menyebabkan hilangnya kesadaran. Analgetik terbagi menjadi dua kelompok utama
yaitu analgetik opioid dan analgetik nonopioid. Analgesik opioid bekerja pada reseptor yang
disebarluaskan di seluruh otak dan medulla spinalis. Reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ),
dan kappa (ҡ). Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi :
(1) Agonis penuh (kuat), (2) Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), (3) Campuran
agonis dan antagonis, dan (4) Antagonis. Pada obat analgesic golongan NSAID
(nonsteroidal anti-inflammatory drugs) yang merupakan turunan dari asam asetat, asam
propionat, pirazol, dan zat kimia lainnya bekerja dengan menghambat kerja dari enzim
siklooksigenase sehingga memiliki efek sebagai antiinflamasi. Namun, NSID juga memiliki
efek sebagai analgesik dan antipiretik.

Daftar Pustaka
Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug Information
Handbook 17th Edition, American PharmacistAssociation.
Burke A, Smyth E, FitzGerald GA. 2011. Analgesic-Antipyretic Agents; Pharmacotherapy of
Gout. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, editors Goodman & Gillmans The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 12th ed. California: The McGraw Hill
Companies; 2011. p. 698.
Goodman and Gilman. 2008. Manual Farmakologi dan Terapi. Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Gunawan, Sulistia Gan. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Heri, Aulia Annisa Putri, Anas Subarnas. 2020. Morfin : Penggunaan Klinis dan Aspekaspeknya.
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran. Farmaka Volume 17 (3): 134-141

Imananta, Fadila Putri dan Sulistyaningsih. 2018. Artikel Tinjauan: Penggunaan Nsaids (Non
Steroidal Anti Inflamation Drugs) Menginduksi Peningkatan Tekanan Darah Pada
Pasien Arthritis. Jurnal Farmaka. Vol. 16, No. 1, hlm. 72-79

32
Indijah, SW., et al. 2016. Farmakologi. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes RI.
Karin & Banoo, 2012. Review on NSAIDs: Frequently Used Drugs with Underlying Risks.
Bangladesh Pharmaceutical Journal. 15(2): 187-191
Katzung, Bertram G., Susan, B.Masters., and Anthony, J.Trevor., 2012. Farmakologi Dasar &
Klinik. Edisi 12. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Mutschler, Ernst. (1991). Dinamika obat: Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi (edisi 5).
Bandung: ITB.
Oliviu Vostinaru. 2017. Adverse Effects and Drug Interactions of the Non Steroidal Anti
Inflammatory Drugs, Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs, IntechOpen, DOI:
10.5772/intechopen.68198. Available from:
https://www.intechopen.com/books/nonsteroidal-anti-inflammatory-
drugs/adverseeffects-and-drug-interactions-of-the-non-steroidal-anti-inflammatory-
drugs
Rosdiana Nova, et al. 2016. Gambaran Daya Hambat Minyak Kelapa Murni Dan Minyak Kayu
Putih Dalam Menghambat Pertumbuhan Streptococcus mutans. Jurnal Syiah Kuala Dent
Soc, 2016, 1 (1): 43 – 50
Septiani, Neneng. 2017. Pola Penggunaan Obat Analgetik Dengan Resep Dokter Di Apotek
Kota Medan Tahun 2016. Skripsi. Medan. Universitas Sumatera Utara
Soleimani, Mohsen et al. 2019. Analgesic effect of α-terpineol on neuropathic pain induced by
chronic constriction injury in rat sciatic nerve: Involvement of spinal microglial cells
and inflammatory cytokines. Iranian journal of basic medical sciences vol. 22,12
(2019): 1445-1451. doi:10.22038/IJBMS.2019.14028
Subekti, Windy Laiitifa dan Taufik Eko Nugroho. 2015. Pengaruh Pemberian Natrium
Diklofenak Dosis 1,4 Mg/Kgbb Dan 2,8 Mg/Kgbb Terhadap Kadar Ureum Tikus
Wistar. Vol. 4, No. 4, hlm. 1111-1118
Suha, Ayuda. 2017. Gambaran Penggunaan Obat Anti Nyeri Pada Penderita Nyeri Kepala di
Puskesmas Kedai Durian Kecamatan Medan Johor. Skripsi. Medan. Universitas
Sumatera Utara

33
Tuhu, P. F. S., Purwantiningsih, Wahyuni, A. S. 2007, Efek Analgetika Ekstrak Etanol Daun
Kayu Putih (Melaleuca leucadendron L.) Pada Mencit Jantan. Jurnal Pharmacon,
Volume 8, No. 2, 40– 43.
Utami Yulian Wiji, Murniati Anis, Sumarno.2009. Efek Perawatan Luka Terkontaminasi
Dengan Ekstrak Bawang Putih Lanang Dalam Mempercepat Penurunan Eritema. Jurnal
Kedokteran Yarsi. Vol.17 (1): 021-030

Woro, I Sujati. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak farmasi: Farmakologi. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
Zahra & Carolia, 2017. Obat Anti-inflamasi Non-steroid (OAINS): Gastroprotektif vs
Kardiotoksik. Jurnal Majority, Medical Journal of Lampung University. 6(3):153-158

34

Anda mungkin juga menyukai