Makalah PKP Kelompok A1 Pitiriasis Rosea
Makalah PKP Kelompok A1 Pitiriasis Rosea
PITIRIASIS ROSEA
Disusun oleh :
Kelompok A1
Apri Haryono Hafid 1206207256
Dyah Ayu Kusumoputri Buwono 1206207483
Ni Luh Rosvitha Amanda Dewi 1206207395
Narasumber :
Dr. dr. Irma Bernadette, SpKK(K)
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pitiriasis rosea merupakan suatu eksantema peradangan yang ringan, yang
belum diketahui penyebabnya. Diduga disebabkan oleh erupsi kulit terhadap
infeksi virus. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak maupun remaja,
seringkali didahului oleh gejala seperti flu.3 Pitiriasis rosea dapat sembuh
sendiri dimulai dengan lesi inisial berbentuk eritema dengan skuama halus.
Kemudian akan tampak lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan, dan
tungkai atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit. Biasanya akan sembuh
dalam waktu 3-8 minggu.2 Penyakit ini biasanya hanya memerlukan
tatalaksana simtomatik, namun gambaran lesi yang mirip juga dapat
ditemukan pada penyakit lain seperti tinea korporis, sifilis sekunder,
dermatitis numularis, dan erupsi obat alergi.1
2.2 Epidemiologi
Pitiriasis rosea dapat dijumpai pada semua usia terutama 15-40 tahun,
biasanya jarang pada usia kurang dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun.
Perbandingan penderita perempuan berbanding laki-laki adalah 1,5 : 1. 2
Secara umum di seluruh dunia, pitiriasis rosea diestimasikan merupakan 2%
dari penyakit kulit pada pasien rawat jalan. Di negara dengan 4 musim, sering
terjadi pada musim gugur dan musim semi, dan dapat ditemukan juga pada
musim panas di beberapa negara.1
2.3 Etiologi
Etiologi dari pitiriasis rosea belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan gambaran klinis dan epidemiologi diduga disebabkan oleh
infeksi virus. Berdasarkan bukti ilmiah, diduga penyakit ini berhubungan
dengan reaktivasi Human Herpes Virus (HHV)-7 dan HHV 6. Penyakit ini
juga tidak menular.2,4 Selain itu, dipikirkan juga virus influenza H1N1
3
sebagai kemungkinan penyebab dari pitiriasis rosea namun belum ada bukti
ilmiah yang cukup.1
Erupsi yang menyerupai pitiriasis rosea dapat terjadi setelah pemberian
obat, misalnya bismut, barbiturat, arsenik, metoksipromazin, kaptopril,
klonidin, interferon, metoksipromazin, ketotifen, ergotamin, metronidazol,
dan adalimumab. Walaupun beberapa erupsi obat dapat menyerupai pitiriasis
rosea, namun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pitiriasis rosea
disebabkan oleh obat. Terdapat pula laporan pasca vaksinasi cacar,
pneumokokus, virus hepatitis B, dan virus influenza H1N1 timbul erupsi
yang menyerupai pitiriasis rosea.2
eritroskuama, dapat juga berbentuk urtika, vesikel, dan papul. Pitiriasis rosea
yang berbentuk vesikel menyerupai varisela dan lebih sering terjadi pada
anak-anak. Lesi oral jarang terjadi. Dapat terjadi enantema dengan makula
dan plak hemoragik, bula pada lidah dan pipi. Lesi akan sembuh bersamaan
dengan sembuhnya lesi pada kulit. Lesi yang terbentuk dapat meninggalkan
bekas hiperpigmentasi yang hilang lebih lama. Penyakit ini juga jarang
mengalami rekurensi.2,4,5
2.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta dapat dibantu juga melalui pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan diagnosis banding.2
2.5.1 Anamnesis
Pasien dapat datang dengan keluhan lesi kemerahan yang awalnya satu
kemudian diikuti dengan lesi yang lebih kecil yang menyerupai pohon
cemara. Perjalanan klasiknya lesi tunggal awalnya muncul di batang tubuh
lalu beberapa hari hingga beberapa minggu kemudian muncul lesi-lesi lebih
kecil pada batang tubuh. Terkadang, lesi ini terasa gatal ringan. Pada 25%
kasus dari total kasus, gatal berat dapat timbul. Gatal derajat ringan-sedang
pada 50% kasus dan 25% sisanya tidak ada gatal. Biasanya lesi ini tidak sakit
atau gatal dan akan swasirna dalam waktu 2 bulan. Tempat predileksi yang
sering adalah pada batang tubuh, lengan atas bagian proksimal dan tungkai
atas sehingga menyerupai pakaian renang perempuan zaman dahulu.2,6
Gejala menyerupai flu seperti malaise, nyeri kepala, mual, hilang nafsu
makan, demam dan nyeri sendi dapat muncul pada sebagian kecil kasus.2
Lalu, di bawah ini juga terdapat beberapa gambar mengenai distribusi dari
lesi sekunder pada pitiriasis rosea.
Gambar 3 dan 4. Pitiriasis rosea
Sumber: Wood GS, Reizner GT. Chapter 9: Other papulosquamous disorders. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology 3rd Ed. New York: Elsevier;
2012. Pg. 165-7
No Penyakit Karakteristik
1 Tinea korporis Pitiriasis rosea yang hanya berupa plak primer atau
bila letaknya di daerah inguinal dapat menyerupai
tinea korporis.
Gambaran klinis memang mirip karena terdapat
eritema dan skuama di tepi lesi dan berbentuk
anular.
Hal yang membedakan adalah pada tinea korporis:
1) gatal lebih berat, 2) skuama kasar, 3)
pemeriksaan KOH positif.
2 Sifilis sekunder Pitiriasis rosea tipe papular tanpa plak primer
menyerupai sifilis sekunder.
Terdapat riwayat chancre dan tidak ada riwayat
herald patch, tampak juga keterlibatan telapak
tangan dan kaki, pembesaran kelenjar getah bening,
kondiloma lata dan tes serologic sifilis positif.
3 Dermatitis Plak biasanya berbentuk sirkular, bukan oval. Lesi
numularis ditemukan lebih banyak di tungkai bawah atau
punggung tangan (tempat yang jarang ditemukan
pada pitiriasis rosea).
4 Psoriasis gutata Ukuran lebih kecil, tidak tersusun sesuai lipatan
kulit, skuama tebal.
5 Pitiryasis Penyakit berlangsung lebih lama, ukuran lebih kecil,
lichenoides skuama lebih tebal, tidak ada herald patch, dan lebih
chronica sering terjadi pada ekstremitas.
6 Dermatitis Tidak ada herald patch, lesi berkembang perlahan,
seboroik paling banyak di badan bagian atas, leher dan scalp,
warna lebih gelap, skuama lebih tebal dan
berminyak.
7 Erupsi obat Sering memberi gambaran atipikal, lesi biasanya
lebih besar lalu terjadi hiperpigmentasi dan berubah
menjadi dermatitis likenoid, perlu dilakukan
pemeriksaan riwayat penggunaan obat (arsenik,
barbiturat, bismut, kaptopril, klonidin, interferon-a,
isotretinoin, labetalol, metronidazole, omeprazole,
terbinafine, dan lain-lain)
8 Eritema anular Makula anular tanpa indurasi dengan skuama
sentrifugum berjejak (trailing scale) didalam tepi eritematosa,
biasanya tidak ada gejala.
2.7 Tatalaksana
Pitiriasis rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-
limiting) sehingga tatalaksana yang diberikan berupa tatalaksana suportif. Tujuan
dari terapi adalah untuk mengontrol gejala pruritus yang menyebabkan pasien
menggaruk lesi dan mencegah timbulnya komplikasi. Garukan tersebut berpotensi
menyebabkan terjadinya infeksi sekunder atau timbul lesi sekunder. Gejala
pruritus berat dapat ditemukan pada 25% pasien.1,2,10
Terdapat eduksi dan tatalaksana suportif menurunkan kemungkinan
terjadinya pruritus. Edukasi yang penting adalah anjuran untuk menghindari lesi
terpapar bahan yang berpotensi mengiritasi kulit, seperti zat pembersih. Selain itu,
dokter dapat memberikan terapi farmakologis berupa bedak asam salisilat dengan
mentol 0.5 – 1% dan lotion kalamin topikal. Pada pitiriasis rosea dengan
manifestasi klinis yang luas, dapat diberikan terapi sinar. Namun hal ini memiliki
kemungkinan timbulnya hiperpigmentasi pascainflamasi pada lesi.1,2
Pasien dengan pitiriasis roscea juga tidak perlu diisolasi. Tidak ada bukti
cukup yang mendukung bahwa pasien dengan pitiriasis rosea harus diisolasi.10
2.8 Prognosis
Prognosis pitiriasis rosea adalah baik. Pitiriasis rosea merupakan penyakit
yang bersifat self-limiting sehingga dapat sembuh spontan tanpa sekuele, tanpa
pemberian obat apapun dalam waktu tiga hingga delapan minggu. Lesi pada
pitiriasis rosea memiliki kemungkinan untuk menjadi hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi pascainflamasi tanpa timbulnya jaringan parut. Penyakit ini
memiliki kemungkinan terjadinya rekurensi, namun sangat kecil, yaitu hanya
2%.1,2
BAB III
ILUSTRASI KASUS
3.1 Anamnesis
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : An. RS
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 12 tahun
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta/ 5 April 2005
Status perkawinan : Belum menikah
Alamat : Jakarta Utara
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMP kelas X
Pekerjaan : Pelajar dan pekerja di cuci steam motor
11
bercak dengan sisik yang semakin tebal disangkal. Keluhan demam, nyeri kepala,
nyeri pada persendian, mual muntah, dan penurunan nafsu makan disangkal.
Keluhan bercak sudah diobati dengan pemberian obat salep asiklovir 5% tanpa
resep dokter. Keluhan tidak membaik setelah pemberian obat. Riwayat terkena
cacar air sebelumnya disangkal. Keluhan yang sama di keluarga ada. Ayah dan
kakak pasien memiliki keluhan bercak yang ukuran dan bentuknya dikatakan
sama dan terasa gatal di pinggang dan sela paha namun tidak diobati.
Riwayat sering sakit dan sering dirawat disangkal. Riwayat sakit ginjal
disangkal. Riwayat kuning disangkal. Riwayat kanker disangkal. Pasien menderita
penyakit tuberkulosis sejak 3 tahun sebelum masuk rumah sakit dan sedang dalam
pengobatan OAT. Pasien terdiagnosis uveitis TB sejak satu tahun sebelum masuk
rumah sakit dan rutin berobat di RSCM Kirana. Kini pasien mengonsumsi OAT
dan metilprednisolon (namun tidak mengetahui dosisnya).
Pasien memiliki kebiasaan berganti-gantian memakai handuk dengan
anggota keluarga yang lain. Pasien memelihara kucing kampung di dalam rumah.
Pasien tidak memiliki hobi berkebun. Riwayat penggunaan obat baru dalam satu
bulan terakhir disangkal.
3.6 Resume
Pasien, laki-laki, 12 tahun, datang dengan plak eritematosa berskuama
yang gatal di leher, perut, dan paha sejak satu minggu sebelum masuk rumah
sakit. Awalnya plak eritematosa muncul di perut kemudian lesi yang sama dengan
ukuran yang lebih kecil muncul di sekitarnya. Lesi tersebut terkadang digaruk
oleh pasien. Dari anamnesis didapatkan riwayat ayah dan kakak pasien memiliki
keluhan bercak yang sama dan terasa gatal di pinggang dan sela paha. Pasien
sedang dalam pengobatan tuberkulosis OAT dan metilprednisolon serta
didiagnosis uveitis TB sejak satu tahun sebelum masuk rumah sakit. Pasien
memiliki kebiasaan berganti-ganti handuk yang sama dan memiliki hewan
peliharaan kucing di dalam rumahnya. Dari pemeriksaan fisik pasien tampak sakit
ringan, hemodinamik stabil. Dari pemeriksaan dermatologikus pada regio leher
sisi kanan, terdapat plak eritematosa, soliter, berukuran numular, berbentuk oval
berbatas tegas dengan skuama kasar, kering, putih di permukaannya. Pada ketiak
kanan, perut, tungkai atas bagian fleksor dan tungkai bawah bagian ekstensor,
terdapat plak eritematosa multipel berukuran lentikular hingga numular,
berbentuk bulat hingga ireguler, berbatas tegas hingga difus, tersebar diskret, lesi
di dada tersusun sejajar tulang iga, tepi lebih tinggi dengan skuama halus di
permukaannya.
3.9 Tatalaksana
Non medikamentosa :
Edukasi penyebab lesi
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
Kontrol 1 minggu lagi
Medikamentosa :
Krim pelembab Decubal 2 x 1
Difenhidramin 3 x 25 mg jika gatal
3.10 Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
Ad fungsionam : Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien adalah anak laki-laki berusia 12 tahun yang datang dengan keluhan
bercak merah bersisik yang gatal di leher, perut, dada, ketiak kanan, dan paha
sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan keluhan utama
tersebut, diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah diagnosis banding dari
plak eritroskuamosa, yaitu psoriasis, tinea korporis, dermatitis numularis, dan
pitiriasis rosea. Selanjutnya, Dari pemeriksaan dermatologikus pada regio leher
sisi kanan, terdapat plak eritematosa, soliter, berukuran numular, berbentuk oval
berbatas tegas dengan skuama kasar, kering, putih di permukaannya. Pada ketiak
kanan, perut, dan tungkai atas bagian fleksor dan tungkai bawah bagian ekstensor,
terdapat plak eritematosa multipel berukuran lentikular hingga numular,
berbentuk bulat hingga ireguler, berbatas tegas hingga difus, tersebar diskret, lesi
di dada tersusun sejajar tulang iga, tepi lebih tinggi dengan skuama halus di
permukaannya.
Kecenderungan diagnosis pasien ini mengarah kepada pitiriasis rosea
pertama dapat dilihat dari data epidemiologi yang terbanyak mengenai anak dan
remaja. Selain itu gejala yang muncul bersifat akut. Pada pasien ini tidak
ditemukan adanya gejala prodromal seperti demam, malaise, nyeri sendi maupun
adanya sakit kepala yang memang pada sebagian besar kasus tidak memiliki
gejala tersebut yang mendahului.1
Selanjutnya, dari anamnesis didapatkan distribusi lesi pasien yang khas
mengarah ke arah pitiriasis rosea yang diawali dengan bercak yang timbul di
daerah batang tubuh (herald patch) dan menyebar ke sekitarnya kemudian ke
leher dan ekstremitas. Pasien juga mengeluhkan adanya gatal pada lesi tersebut
yang dapat juga dikeluhkan oleh pasien dengan pitiriasis rosea. Riwayat pasien
yang menderita sakit kronik tuberkulosis mengindikasikan pasien memiliki daya
tahan tubuh yang lebih lemah membuat pasien rentan untuk terkena infeksi.1,2
Untuk menyingkirkan diagnosis banding yang lain, riwayat bercak
kemerahan dengan sisik yang tebal disangkal dan tampak lesi plak eritematosa
16
ukuran numular dengan skuama halus. Hal tersebut telah dapat menyingkirkan
diagnosis psoriasis.
Lesi pitiriasis rosea tidak selalu tipikal berupa herald patch. Seringkali lesi
tersebut menyerupai lesi kulit lain yang bentuknya menyerupai tinea korporis atau
sifilis sekunder sehingga disebut pitiriasis rosea atipikal. Pada pasien ini, saat
dilakukan pemeriksaan KOH dari lesi-lesi yang ada, hasilnya negatif, telah dapat
menyingkirkan tinea korporis. Diagnosis sifilis sekunder dapat tersingkir karena
terdapat lesi primer terlebih dahulu (herald patch) dan pada pasien anak sangat
jarang akibat sifilis.1,2
Selanjutnya, lesi plak dengan ukuran numular tidak ditemukan pada
tungkai bawah atau punggung tangan telah menyingkirkan diagnosis dermatitis
numularis. Skuama tidak tebal dan tidak berminyak juga telah menyingkirkan
diagnosis dermatitis seboroik. Erupsi obat dapat disingkirkan karena tidak ada
riwayat penggunaan obat-obat baru dalam sebulan terakhir yang berpotensi
menyebabkan erupsi obat ditambah dengan lesi yang tidak berukuran plakat.2
Eritema anular sentrifugum masih belum dapat tersingkirkan karena
merupakan salah satu pertimbangan jika menemukan lesi annular eritematosa dan
pada kasus ini pitiriasis rosea masih atipikal sehingga perlu pemeriksaan
penunjang berupa biopsi kulit karena diagnosis eritema anular sentrifugum
didiagnosis berdasarkan pemeriksaan biopsi.2,8,9
Berdasarkan Standar Kedokteran Dokter Indonesia 2012, pitiriasis rosea
termasuk ke dalam kelompok lesi eritro-skuamosa dengan kompetensi 4A, artinya
seorang lulusan dokter umum diharapkan mampu membuat diagnosis klinis dan
melakukan penatalaksanaan penyakit secara mandiri dan tuntas.10
Tatalaksana pada pasien berupa tatalaksana edukasi dan medikamentosa.
Edukasi yang diberikan kepada pasien adalah mengenai penyakit ini tidak
berbahaya dan dapat sembuh spontan. Selain itu, kebiasaan menggaruk ketika
gatal dapat berpotensi menyebabkan timbulnya infeksi lain. Pemberian
antipruritus bertujuan untuk mengurangi gejala gatal pada pasien. Pasien juga
dianjurkan untuk kontrol satu minggu kemudian untuk melihat perbaikan lesi dan
keluhan.1
Prognosis pada pasien adalah bonam, karena pitiriasis rosea yang bersifat
dapat sembuh spontan tanpa sekuele.1
BAB V
KESIMPULAN
Pasien, laki-laki, 12 tahun, datang dengan keluhan bercak merah bersisik yang
gatal di leher, perut, dada, ketiak kanan, dan kaki kiri sejak satu minggu sebelum
masuk rumah sakit. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien didianosis mengalami pitiriasis rosea atipikal. Terapi yang
diberikan adalah terapi suportif berupa pemberian krim pelembab Decubal 2 x 1,
dan difenhidramin 3 x 25 mg. Prognosis ad vitam bonam, ad functionam bonam,
ad sanationam bonam. Hal ini karena penyakit ini merupakan penyakit yang dapat
sembuh spontan tanpa sekuele dengan angka rekurensi rendah (2%).
19
REFERENSI
1. Schwartz R. Pityriasis Rosea [online]. [updated: Apr 04, 2017; cited: Apr
18, 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1107532-overview#a2
2. Djuanda A, Triestianawati W. Pitiriasis Rosea Dalam: Menaldi SL,
Bramono K, Indriari W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2016. Hal. 225-6.
3. Samjoe D, Menaldi SL, Wisnu M. Penyakit Kulit yang Umum di Indonsia.
Jakarta: Medical Multimedia Indonesia. Hal.21
4. Weller R, Hunter H, Mann M. Clinical Dermatology. 5 th ed. Oxford: John
Wiley & Sons; 2015. Hal.68
5. Pride H, Yan A, Zaenglein A. Requisites in Dermatology: Pediatric
Dermatology. Philadelphia: Elsevier; 2008. Hal.23-4
6. Blauvelt A. Pityriasis rosea. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine 8th Ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2012. Pg. 458-
63.
7. Wood GS, Reizner GT. Chapter 9: Other papulosquamous disorders. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology 3rd Ed. New York:
Elsevier; 2012. Pg. 165-7.
8. Sterling JC. Chapter 25: Viral infections. In: Griffiths CEM, Barker J,
Bleiker T, Chalmers R, Creamer D. Rook’s textbook of dermatology 9th
Ed. United Kingdom: Willey Blackwell; 2016. Pg. 25.89-92.
9. James WD, Berger TG, Elston DM, Neuhaus IM. Chapter 11: Pityriasis
rosea, pityriasis rubra pilaris, and other papulosquamous and
hyperkeratotic diseases. In: James WD, Berger TG, Elston DM, Neuhaus
IM. Andrews’ disease of the skin clinical dermatology 12th Ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016. Pg. 199-201.
10. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 2012
20