Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT APRIL 2013

ROSASEA

DISUSUN OLEH: Fatimah Yunikartika Akbar RizkyAmaliaRamadhani Noor Rashida Mohd Sidik PEMBIMBING: dr. A. Fausiah Abdullah SUPERVISOR: dr. Wiwiek Dewiyanti, M.Kes., Sp.KK C 111 09 252 C 111 09 290 C 111 09 844

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013 1

HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa: Nama : 1. Fatimah Yunikartika Akbar 2. RizkyAmaliaRamadhani 3. Noor Rashida Mohd Sidik Universitas : Hasanuddin Judul Referat : Rosasea Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar, April 2013 Mengetahui, Pembimbing Supervisor C111 09 252 C111 09 290 C111 09 844

dr. A. Fausiah Abdullah

dr. Wiwiek Dewiyanti, M.Kes., Sp.KK

DAFTAR ISI
Halaman Judul i Halaman Pengesahan .. ii Daftar Isi ... iii I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. Pendahuluan ... 1 Epidemiologi ...2 Etiologi Klasifikasi Patogenesis Diagnosis ............... 2 ... 3 ... 7 ................... 9 ................... 13 ... 16 ... 18

Diagnosis Banding Penatalaksanaan Prognosis

Daftar Pustaka... iv

ROSASEA
I. PENDAHULUAN Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit, berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Penyakit ini ditandai juga dengan adanya eritema yang berkepanjangan dan telangiektasis disertai dengan papul atau pustul. Selain itu, pada periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing). Pada kenyataannya tidak semua kasus sesuai dengan gambaran ini, di mana tidak semua ciri-ciri selalu muncul. Suatu usaha dilakukan baru-baru ini untuk menentukan kriteria diagnosis menyimpulkan bahwa adanya satu atau lebih dari tanda-tanda berikut dengan distribusi pada bagian sentral wajah dipikirkan sebagai rosasea yaitu flushing (kulit kemerahan dan terasa panas terbakar), eritema non transient, papul, pustul, dan telangiektasis. Walaupun rosasea telah banyak diketahui secara umum, rosasea tetap menjadi suatu kontroversi terutama pada ahli-ahli dermatologi, sebagian besar disebabkan karena patofisiologi yang belum jelas dan variasi gejala klinisnya. Pada praktiknya para klinisi dapat dengan mudah mengidentifikasi muka merah sebagai rosasea, walaupun terkadang dermatitis perioral, post adolescent acne, dan pemberian steroid topikal yang berlebihan memberikan gambaran klinis yang sama. Sebagian besar para ahli meyakini bahwa perubahan vaskular, terutama flushing merupakan suatu gambaran yang khas dan konstan yang diikuti dengan progresifitas ke arah inflamasi (papul dan pustul) dan adanya limfedema kronik, penebalan kulit, dan rinofima merupakan suatu komplikasi lanjut. Walaupun demikian, banyak kasus yang tidak menunjukkan pola yang jelas tentang hal tersebut.

II.

EPIDEMIOLOGI Rosasea lebih sering terjadi pada bangsa kulit putih (ras kaukasoid). Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan orang Afrika dan orang Asia juga dapat menderita rosasea. Pada bangsa kulit putih ditemukan penderita rosasea sekitar 10% dari jumlah total bangsa kulit putih. Puncak insiden dan beratnya penyakit terjadi pada dekade ketiga dan keempat, pada usia 30-50 tahun, dengan insiden puncak antara 40-50 tahun. Walaupun demikian, anak-anak, remaja, dewasa muda dan usia lanjut dapat menderita rosasea. Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Tapi rinofima, salah satu jenis rosasea, lebih sering menyerang laki-laki dibanding perempuan. Data insiden rosasea pada kelompok etnik yang berbeda sangat bervariasi dan secara umum data ini masih kurang dan lemah, tetapi dapat disimpulkan bahwa insiden dan mungkin deteksi rosasea tertinggi pada individu dengan kulit tipe I dan II, diikuti ras Asia dan insiden terendah pada populasi berkulit hitam. Insidensi penyakit ini juga sering didapatkan pada penduduk di Celtic (fototipe kulit I dan II) dan Mediterania Selatan. Frekuensi yang rendah atau jarang terdapat pada orang yang berwarna kulit gelap (fototipe kulit V dan VI, warna kulit coklat dan hitam).

III. ETIOLOGI Etiologi rosasea tidak diketahui secara pasti. Ada berbagai hipotesis mengenai faktor penyebab, yaitu : 1. Makanan dan minuman Alkohol dan makanan berbumbu pedas diduga merupakan penyebab rosasea. Bahkan konstipasi, penyakit gastrointestinal dan penyakit kelenjar empedu telah pula dianggap sebagai faktor penyebabnya. 2. Psikis/emosional Belum banyak penelitian mengenai hubungan psikis dengan insiden terjadinya rosasea. Namun diduga ini terjadi akibat stres yang 5

berlebihan sehingga mengganggu fungsi kerja hormon yang nantinya memicu reaksi inflamasi. 3. Obat-obatan Adanya peningkatan bradikinin yang dilepaskan oleh adrenalin pada saat kulit kemerahan menimbulkan dugaan adanya peran berbagai obat, baik sebagai penyebab maupun yang dapat digunakan sebagai terapi rosasea. 4. Infeksi Demodex folliculorum dahulu dianggap berperan pada etiologi rosasea. Walaupun demikian, keterlibatan Demodex folliculorum ini masih perlu dibuktikan. 5. Musim/iklim Peran musim panas atau musim dingin termasuk di dalamnya peran sinar ultraviolet yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit sebagai penyebab eritema persisten masih diselidiki. 6. Imunologi Di lapisan dermoepidermal penderita rosasea ditemukan adanya deposit imunoglobulin oleh beberapa peneliti sedangkan di kolagen papiler ditemukan antibodi antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada dugaan faktor imunologi pada rosasea. 7. Lainnya Defisiensi vitamin dan hormonal diduga sebagai penyebab penyakit ini. IV. KLASIFIKASI National Rosacea Expert (NRS) Commitee, pada tahun 2002 menetapkan subtipe rosasea dan menggolongkannya ke dalam subtipe eritematotelangiektasis, papulopustular, phymatous dan okular. 1. Tipe Eritematotelangiektasis (Erythematotelangiectatic type) Rasa perih pada bagian sentral wajah, sering disertai dengan rasa panas dan terbakar yang merupakan tanda utama rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR). Warna kemerahan biasanya tersebar di 6

kulit sekitar mata. Pasien-pasien dengan rosasea tipe ini memiliki kulit bertekstur baik dengan penurunan kualitas kelenjar sebasea. Area yang eritem pada wajah terlihat kasar dengan batas seperti suatu proses yang kronik, seperti dermatitis ringan. Faktor pencetus yang paling sering menyebabkan rasa panas/terbakar ini termasuk stres emosional, minuman panas, alkohol, makanan berbumbu pedas, latihan, cuaca dingin atau panas. Pasien mengeluh rasa panas dan terbakar bertambah ketika menggunakan obat-obat topikal.

Gambar 1. Erythematotelangiectatic type

2.

Tipe papulopustular (Papulopustular rosacea) Rosasea papulopustular (PPR) merupakan bentuk klasik rosasea. Kebanyakan penderita adalah wanita berusia pertengahan dengan keluhan papul dan pustul pada bagian sentral wajah ( central portion). Telangiektasis yang terjadi agak sulit dibedakan dengan eritema.

Gambar 2. Papulopustular rosacea

3. Rosasea phymatous (phymatous rosacea) Rosasea tipe ini merupakan rosasea dengan penebalan pada kulit dan permukaan nodul yang iregular di daerah hidung, dagu, dahi, satu atau kedua telinga, dan atau kelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe rinofima (suatu perubahan pada hidung) secara histologis yaitu tipe glandula (akibat hiperplasia kelenjar sebasea) dan merupakan tipe yang lebih dominan, tipe fibrosa (akibat hiperplasia jaringan konektif), tipe fibroangiomatosis (hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh darah), dan tipe aktinik (akibat massa nodular jaringan elastis).

Gambar 3. Phymatous rosacea dan inflamasi

4.

Rosasea okular (Ocular rosacea) Manifestasi okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan pada kelopak mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva interpalpebra dan telangiektasis konjungtiva. Pasien mungkin mengeluh mata terasa perih atau terbakar, kering, dan iritasi dengan sensasi benda asing atau sensasi cahaya. Rosasea okular hampir mirip dengan rosasea phymatous, tetapi memiliki manajemen terapi yang berbeda. Oleh karena itu, harus ditanyakan pada pasien tentang keluhan dan gejala okular dan dilakukan pemeriksaan fisis untuk menentukan tipe rosasea. Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan stadium sebagai berikut : 1. Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis 2. Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil 3. Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang tebal, papul, pustul, nodul, jarang ada edema padat/keras pada bagian sentral wajah. Pada klasifikasi ini, stadium I analog dengan tipe eritematotelangiektasis, stadium II dengan tipe papulopustular, dan stadium III analog dengan tipe phymatous. Progresi dari satu stadium ke stadium lain tidak selalu terjadi. Rosasea dapat dimulai dengan stadium II atau III dan stadium-stadium itu dapat terjadi bersamaan.

Gambar 4. Ocular Rosacea

V.

PATOGENESIS 9

Patogenesis rosasea adalah multifaktorial, tetapi sangat jelas hubungannya dengan hiperaktivitas vaskular. Eritema pada rosasea ini disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah superfisial wajah. Diduga terjadi atrofi pars papilare dermis yang menyebabkan visualisasi kapiler kulit menjadi lebih jelas. Pasien rosasea memberikan riwayat wajah yang mudah memerah dan mengeluhkan warna kulit yang memerah sedikit demi sedikit. Makanan dan obat-obatan yang menginduksi vasodilatasi wajah terlihat sejalan dengan perkembangan rosasea. Pasien dengan rosasea memiliki kulit yang mudah teriritasi. Sebagai contoh, pasien sering mengeluh mengalami rasa perih dan terbakar jika menggunakan kosmetik dan obat-obatan topikal. Vasodilatasi pasien rosasea lebih besar dan persisten dibandingkan yang terlihat pada orang normal. Stimulasi suhu adalah penyebab dari food-induced flushing pada kebanyakan pasien, misalnya suhu kopi dan teh yang panas dapat menyebabkan wajah kemerahan. Walaupun rosasea tidak secara umum dianggap sebagai penyakit neurokutaneus, penting diketahui bahwa flushing atau wajah kemerahan dimediasi oleh suatu fungsi neural dan dengan demikian rosasea pun memiliki dasar neurologi. Didapatkan adanya hubungan yang erat antara sistem vaskular dan sistem imun, sama seperti pemberian anti inflamasi yang pada kenyataan cukup efektif sebagai terapi rosasea. Hal ini memberi kesan bahwa sel-sel radang seperti neutrofil dan mediator inflamasi lainnya merupakan faktor utama patofisiologi terjadinya rosasea. Ketidakstabilan pembuluh darah (vascular instability/vascular lability) terjadi karena faktor hormon, stres emosional, makanan, paparan sinar matahari, pelepasan substansi vasoaktif dan infestasi Demodex folliculorum. Hal ini mengakibatkan terjadi pelepasan mediator inflamasi, di antaranya yaitu sitokin yang akan menginduksi terjadinya proses inflamasi. Flushing atau rasa panas pada rosasea lebih sering dimediasi oleh pelepasan substansi vasoaktif daripada mekanisme refleks saraf, tetapi hal ini belum dapat ditetapkan sebagai dasar patofisiologi dan kedua mekanisme 10

ini pun dapat berperan penting. Mediator inflamasi yang dimaksud termasuk serotonin, bradikinin, prostaglandin, substansi P, peptida opiod dan gastrin. Kadar substansi P dalam darah meningkat pada beberapa pasien tetapi tidak selalu terjadi. Peptida opiod dikemukakan sebagai mediator dari flushing pada rosasea berdasarkan aksi supresi dari antagonis opiod, nalokson. Sering pula dianggap bahwa rosasea berhubungan dengan gejala-gejala pada gastrointestinal, walaupun hanya sedikit bukti nyata yang mendukung pendapat ini. Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel pustul yang meradang pada hidung penderita rosasea. Demodex folliculorum merupakan suatu tungau yang hidup dalam lumen folikel glandula sebasea pada kepala yang diduga sebagai penyebab rosasea pada usia pertengahan. Spesies Demodex (tungau yang secara normal hidup pada folikel rambut manusia) mungkin berperan dalam patogenesis rosasea. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Demodex folliculorum menyukai daerah kulit yang merupakan predileksi rosasea seperti hidung dan pipi. Demodex folliculorum ini terlihat lebih banyak pada pasien rosasea papulopustular dibandingkan dengan individu normal. Selain itu, folikel yang didiami oleh tungau ini dapat memberikan respon inflamasi lokal. Banyak peneliti juga mengemukakan bahwa terjadi infiltrasi respon imun sel T-helper yang mengelilingi antigen Demodex folliculorum pada pasien rosasea. Walaupun demikian, penelitian lain menunjukkan pula hal yang sebaliknya. Penelitian tersebut menyatakan bahwa Demodex folliculorum tidak menyebabkan respon inflamasi pada rosasea. Oleh sebab itu, diperlukan lebih banyak penelitian dan studi untuk menentukan apakah Demodex folliculorum bersifat patogen. Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh photoaging/solar aging akibat paparan sinar matahari juga berperan dalam patogenesis rosasea karena terjadi aktivasi sistem imun yang dapat mengakibatkan inflamasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, paparan sinar matahari juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan vaskular yang akhirnya menginduksi 11

pelepasan mediator-mediator inflamasi. Degradasi aktinik pada vaskular dan kolagen perivaskular serta jaringan elastis secara langsung menurunkan integritas mekanik pembuluh darah dan meningkatkan hiperesponsif pembuluh darah kecil di wajah. Angiogenesis yang dicetuskan oleh inflamasi dapat pula dihubungkan dengan timbulnya telangiektasis. Faktor angiogenik disimpan dalam matriks ekstraselular dilepaskan oleh protease neutrofil atau dilepaskan dan diaktivasi oleh makrofag. Proses inflamasi selanjutnya berperan dalam patogenesis eritema dan telangiektasis. Enzim-enzim degradasi, termasuk protease seperti elastase yang dilepaskan dari neutrofil yang teraktivasi akan merusak jaringan ikat yang mengelilingi pembuluh darah. Solar elastosis dapat pula menyebabkan kegagalan sistem limfatik. Ketika volume eksudat protein berlebih dalam drainase sistem limfatik, cairan ekstraseluler terakumulasi pada kulit bagian superfisial. Hal ini mengakibatkan terjadinya edema pada kulit dan peradangan, dimana seringkali didahului dengan hipertrofi jaringan ikat. Neutrofil ini melepaskan protein yang mendegradasi protein matriks, menyebabkan fibroplasias, suatu proses awal terjadinya rinofima. VI. DIAGNOSIS A. Manifestasi Klinik Rosasea terbatas pada wajah dan kulit kepala serta bermanifestasi dalam 4 fase yaitu fase pra rosasea, fase vaskular, fase inflamasi dan fase lanjut. Pada fase pra rosasea, pasien mengeluhkan kulit yang kemerahmerahan, disertai dengan rasa perih yang tidak nyaman. Pencetus yang umumnya dilaporkan untuk kelainan ini di antaranya adalah paparan sinar matahari, stres emosional, cuaca panas atau dingin, alkohol, makanan berbumbu pedas, latihan berat, angin, kosmetik, dan air mandi yang panas atau air minum yang panas. Gejala-gejala ini menetap sepanjang fase lain penyakit ini. 12

Pada fase vaskular, pasien mengalami eritema pada wajah dan edema dengan telangiektasis multipel, kemungkinan sebagai akibat dari instabilitas vasomotor yang persisten atau menetap. Pada fase inflamasi, sering diikuti dengan perkembangan papul dan pustul yang steril. Beberapa pasien berkembang ke tahap lanjut rosasea, ditandai dengan hiperplasia jaringan kasar pada pipi dan hidung (rinofima) yang disebabkan oleh inflamasi jaringan, deposit kolagen dan hiperplasia glandula sebasea. Rosasea okular bermanifestasi sebagai kombinasi dari blefarokonjungtivitis, iritis, skleritis, dan keratitis, menimbulkan rasa gatal, sensasi benda asing, eritema, dan edema pada mata. Secara umum, terdapat riwayat wajah kemerahan dan rasa perih/terbakar dengan peningkatan temperatur kulit sebagai respon dari stimulus panas pada mulut (saat meminum air panas), makanan pedas, dan alkohol. Paparan sinar matahari (rosasea sering dihubungkan dengan solar elastosis) dan udara panas (misalnya pada koki yang selalu berdekatan dengan kompor yang panas) dapat mengakibatkan terjadi eksaserbasi. Akne dapat didahului dengan rosasea selama bertahun-tahun, meskipun demikian, rosasea mungkin dan biasanya timbul tanpa didahului riwayat akne atau seboroik. Lesi pada kulit meliputi : 1. Lesi awal pada kulit Warna kemerahan yang terasa panas (red face), papul yang kecil dan papulopustul (2-3 mm), pustul sering kecil dan berada pada apeks papul. Tidak terdapat komedo. 2. Lesi Lanjut Wajah berwarna merah dan papul yang merah kehitaman dan terdapat nodul. Lesi tersebar dan memiliki ciri-ciri tersendiri. Telangiektasis ditandai adanya hiperplasia kelenjar sebasea dan limfadema pada rosasea yang kronik menyebabkan ketidakteraturan bentuk hidung, dahi, kelopak mata, telinga dan dagu. Karakteristik distribusi rosasea adalah lesi yang lokasinya 13

simetris pada wajah. Jarang pada leher, dada (area berbentuk V), punggung, dan kulit kepala. 3. Lesi yang khas, meliputi rinofima (pembesaran hidung), metofima (pembesaran pada dahi), blefarofima (pembengkakan kelopak mata), otofima (pembengkakan daun telinga yang mirip seperti bunga kol), dan gnatofima (pembengkakan dagu) karena hiperplasia dari glandula sebasea dan terjadi fibrosis. Pada palpasi, lesi khas tersebut terasa lembut dan kenyal seperti karet. Keterlibatan mata pada rosasea berakibat blefaritis kronik, konjungtivitis, dan episkleritis. Keratitis rosasea, sekalipun jarang, dapat timbul.

Gambar 5. Rosasea stadium III dengan rinofima

B. Histopatologi Perubahan histologi tergantung stadium dari proses yang terjadi. Biasanya terdapat ketidakteraturan pada jaringan ikat kulit bagian atas, ditandai dengan adanya edema, kerusakan serabut otot dan sering terjadi elastosis yang berat. Fase inflamasi ditandai adanya sel limfosit, histiosit, polimorfonuklear, sel plasma, dan benda asing tipe giant cell.

14

Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel rambut daerah yang mengalami gangguan. Tidak ada gambaran histologis yang spesifik untuk rosasea, tetapi kombinasi dari beberapa tanda-tanda klinik dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Gambaran histopatologis yang paling sering ditemukan pada rosasea adalah infiltrasi sel radang limfohistiosit dalam jumlah besar yang letaknya agak berjauhan satu dengan yang lain di sekitar pembuluh darah kulit, telangiektasis, edema, elastosis, dan terdapat gangguan struktur kulit bagian atas.

Gambar 6. Gambaran histopatologi dari rosasea

C. Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada tes diagnostik yang spesifik sebab diagnosis utamanya didasarkan atas gambaran klinik saja. Kultur bakteri dapat dilakukan jika dicurigai terdapat infeksi Staphylococcus aureus dan secara khusus infestasi Demodex folliculorum.

VII. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea yaitu papul/pustul wajah dan flushing atau eritema. 15

1.

Papul atau pustul pada wajah a. Akne vulgaris Dapat terjadi pada umur remaja, kulit seboroik, terdapat komedo, papul, pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu, dada, dan punggung bagian atas. Tidak ada telangiektasis. Sedangkan pada rosasea, tidak terdapat komedo, ditemukan dilatasi vaskular, terjadi pada usia pertengahan, dan umumnya terbatas pada 2/3 wajah.

Gambar 7. Akne Vulgaris

b. Dermatitis perioral Terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan dagu, polimorfi tanpa telangiektasis dan keluhan gatal. Berbeda dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak terdapat telangiektasis dan flushing.

16

Gambar 8. Dermatitis perioral

2.

Flushing atau eritema pada wajah a. Dermatitis Seboroik Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea, tetapi yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama berminyak dan agak gatal dengan tempat predileksi retroaurikular, alis mata, dan sulkus nasolabialis.

Gambar 9. Dermatitis seboroik pada wajah. Terlihat eritema dan skuama kekuningan pada dahi , pipi, sulkus nasolabialis dan dagu

17

b. Lupus Eritematosus Sistemik Meskipun SLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis terlihat eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan berbentuk kupu-kupu.

Gambar 10. SLE nampak gambaran eritema pada kedua pipi yang memberi gambaran mirip kupu-kupu

c. Dermatomiositis Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang menyerang kulit dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai oleh adanya edema dan inflamasi periorbita, eritema pada wajah, leher, dan bagian atas tubuh.

Gambar 11. Dermatomiositis. Terdapat eritema dan edema pada wajah, terutama pada daerah sekitar mata

18

VIII. PENATALAKSANAAN Topikal Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah menjauhkan dari bahan bahan yang dapat mengiritasi seperti sabun, alkohol, larutan obat, dan yang dapat merusak kulit. Hanya sabun tertentu yang dapat digunakan. Melindungi diri dari sinar matahari sangat penting dilakukan yaitu dengan faktor pelindung 15 atau yang lebih tinggi selalu di rekomendasikan seperti spektrum UVA dan UVB. Biasanya antibiotik efektif pada pasien dengan akne. Tetracycline, Eritromycin dan Klindamycin dengan konsentrasi 0,5% - 2% sering diberikan. Metronidazole adalah derivate synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari peneitian klinis, metronidazole 0,75% gel tropikal atau krim 1% dapat menyembuhkan lesi hingga 68% 91%. Bentuk gel adalah yang paling efektif untuk papul dan pustul rosasea. Imidazole juga biasa digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya adalah sebagai anti inflamasi dan imunosupresan dan bactericidal. Efek toksin imidazole sangat rendah dan bisa mentoleransi kulit pasien yang sensitif. Adapalene Neftoic acid derivate terbaru dengan poten retinoid acid reseptor agonis dan anti inflamasi. Adapalene terbukti aman sebagai penatalaksanaan topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalene gel 0,1% berefek kuat pada papul dan pustul tapi kurang signifikan pada eritem dan telangiektasis. Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang mengurangi iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal kortikosteroid bisa digunakan kecuali untuk rosasea fulminant. Sistemik Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromycin biasanya efektif tetapi tetracyclin yang paling efektif. Tetracyclin-HCL, oxytetracyclin, doxyciclin dan minocycline biasanya efektif dalam mengontrol papul dan pustul dari rosasea dan mengurangi eritem. Dapat 19

dimulai dengan dosis 1 1,5 g tetracyclin-HCL dan oxytetracyclin per hari, serta 50 g minocycline dan doxyciclyn diberikan dua kali sehari. Tetracyclin oral efektif pada roasea oftalmica. Isotretionin juga efektif meskipun mempunyai resiko yang lebih daripada tetracyclin. Obat ini bisa digunakan untuk rosasea yang resisten terutama yang tidak berespon terhadap antibiotik, seperti rosasea lupoid, rosasea stage III, rosasea gram negatif, rosasea conglobate, rosasea fulminant. Dosisnya 0,5 1 mg/kg/hari. Efek samping pada mata yang paling sering terjadi. Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan pada rosasea fulminant contohnya prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.

Thenewenglandjournalofmedicine

20

Tabel 1. Treatment of Papulopustular Rosacea

IX.

PROGNOSIS Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode akut. Namun ada pula yang remisi secara spontan.

21

DAFTAR PUSTAKA 1. Wolff K, Johnson RA. Rosacea. Disorders of Sebaceous and Apocrine Glands. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of 2. Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2009. p. 3, 9-13, 5, 50, 372, 9. Jones JB. Rosacea. Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses, Flushing and Flushing Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffths C, editors. Rooks Text Book of Dermatology. 7 th ed. Massachusets: Blackwell Publishing Company; 2004. p. 2199-204. 3. 4. 5. Diamantis S, Waldorf HA. Rosacea : Clinical Presentation and Pathophysiology. J Drugs Dermatol. 2006. Crawford GH, Pelle MT, James WD. Rosacea: I. Etiology, pathogenesis, and subtype classification. J Am Acad Dermatol. 2004;51:327-41. Pelle MT. Rosacea. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 703-9. 6. Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea, Rinofima. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. p. 261-3. 7. Padova MPD, Iorizzo M, Tosti A. Rosacea. In: Tosti A, Grimes PE, Padova MPD, editors. Color Atlas of Chemical Peels. New York: Springer; 2002. p. 185-98. 8. 9. Bikowski J, Torok L, Torok H. Rosacea Management: A Three-Pronged Approach. Practical Dermatology. 2007:60-3. Rosacea. In: James WD, G.Berger T, Elston DM, editors. Andrews Dissease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphi: Saunders Company; 2006. p. 245-8. 10. Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, et al. Standard grading system for rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert 22

Committee on the Classification and Staging of Rosacea. J Am Acad Dermatol. 2004;50:907 11. Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini RP. Rosacea. Acne and Acneiform Dermatoses. In: Callen JP, Horn TD, Mancini AJ, Salasche SJ, Schaffer JV, Schwarz T, et al., editors. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1985. 12. 13. 14. 15. Gupta A, Chaudhry M. Rosacea and its management: an overview. JEADV. 2005;19:273-85. Jansen T, Plewig G. Rosacea: classification and treatment. J R Soc Med. 1997;90:144-50. Altinyazar HC, Koca R, Tekin NS, Esturk E. Adapalene vs. metronidazole gel for the treatment of rosacea. Int J Dermatol. 2005;44:252-5. Powell FC. Rosacea. N Engl J Med. 2005;352:793-803.

23

Anda mungkin juga menyukai