FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2021 Perspektif Filsafat Pendidikan Terhadap Psikologi Judul Pendidikan Humanistik Jurnal Jurnal Sains Psikologi Volume dan Halaman Jilid 19, Nomor 1, hlm 31-36 Tahun Maret 2017 Penulis Fadhil Hikmawan Unit Kerja Penulis Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada
Jumlah Halaman 6 Halaman, 2.262 Kata. Reviewer Nurlaeli Abdullah Tanggal 11 November 2021 Tujuan ditulisnya perspektif filsafat pendidikan terhadap psikologi humanistik adalah untuk mendeskripsikan Tujuan Penelitian secara kritis perspektif filsafat pendidikan yang ada dalam psikologi pendidikan humanistik.
1. Metode dalam kajian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research). 2. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumen. Metode Penelitian 3. Data dalam penelitian ini adalah buku dan jurnal yang relevan dengan filsafat, filsafat pendidikan, dan psikologi pendidikan humanistik. 4. Teknik analisis data dalam kajian ini adalah analisis tematik. Subjek Penelitian Peserta didik Hasil dan Pembahasan HASIL Hasil penelitian menunjukkan filsafat pendidikan psikologi pendidikan humanistik adalah filsafat pendidikan yang memandang pendidikan sebagai proses memanusiakan peserta didik sehingga mampu berkembang dan beraktualisasi diri dengan segenap potensi asli yang ada dalam dirinya. PEMBAHASAN Pada artikel ini dideskripsikan tentang filsafat pendidikan dalam aliran psikologi pendidikan humanistik. Deskripsi filsafat pendidikan dalam aliran psikologi pendidikan humanistik berisi tentang pengertian dan cabang-cabang dari filsafat, filsafat pendidikan, dan filsafat pendidikan dalam aliran psikologi pendidikan humanistik. Psikologi humanistik adalah salah satu dari tiga aliran klasik dalam psikologi, selain aliran psikologi behavioristik dengan tokohnya John B. Watson dan aliran psikologi psikonanalis dengan tokohnya Sigmund Freud. Aliran psikologi pendidikan humanistik adalah aliran psikologi yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan manusia yang unik dan memiliki potensi-potensi individu yang baik. Aliran ini banyak memperoleh pengaruh dari aliran filsafat humanistik dengan tokoh J.J. Rousseau dan aliran eksistensialisme dengan tokohnya J.J. Sartre (Saifulah, 1983). Selain diterapkan dalam bidang psikologi konseling, psikologi industri dan organisasi, dan psikologi klinis, perkembangan aliran psikologi humanistik diterapkan pula dalam bidang pendidikan. Penerapan psikologi humanistik dalam bidang pendidikan lazim disebut dengan istilah psikologi pendidikan humanistik. Berdasar rasional bahwa setiap aliran psikologi, termasuk psikologi pendidikan, memiliki dasar filsafat maka dalam aliran psikologi pendidikan humanistik pada penelitian ini dideskripsikan secara kritis tentang dasar filsafat pendidikan yang ada dalam aliran psikologi pendidikan humanistik.
Kesimpulan 1. Filsafat pendidikan psikologi pendidikan humanistik
adalah filsafat pendidikan yang memandang pendidikan sebagai proses memanusiakan peserta didik sehingga mampu berkembang dan beraktualisasi diri dengan segenap potensi asli yang ada dalam dirinya. Perspektif filsafat pendidikan terhadap psikologi pendidikan humanistik dapat dilihat dari aspek ontologi pendidikan, epistemologi pendidikan, dan aksiologi pendidikan. 2. Dari sudut ontologi kependidikan, psikologi pendidikan humanistik menjelaskan bahwa pendidikan adalah proses memanusiaan subjek didik atau peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi-potensi baik untuk mencapai aktualisasi diri. Dasar epistemologi psikologi pendidikan humanistik adalah plural (rasional, intuisionisme, dan fenomenologi). Berbeda dari psikologi pendidikan behavioristik yang cenderung memiliki pendekatan bebas nilai (value free approach), psikologi pendidikan humanistik memiliki pendapat bahwa proses pendidikan semestinya adalah lekat nilai atau terkandung nilai (value laden).
Kekuatan Penelitian Dalam artikel ini terdapat banyak referensi dari
pendapat beberapa ahli yang relevan dengan tema yang dibahas. Selain itu, pembahasannya mudah di pahami dengan penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai sehingga pembaca dapat menangkap poinpoin penting dalam artikel ini. Serta metode yang digunakan lengkap. Kelemahan Penelitian Perlu dilakukan penelitian/kajian lebih lanjut dengan mengkaji variabel yang lebih luas dan kajian teori yang mendalam dalam menemukan variabel-variabel lain yang diduga berpengaruh signifikan terhadap kompetensi peserta didik .
REVIEW JURNAL
MEMBANGUN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF
FILSAFAT PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA NURLAELI BDULLAH
10540962715
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2021
Membangun Karakter Dalam Perspektif Filsafat
Judul Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Jurnal Jurnal Filsafat Indonesia Volume dan Halaman Vol. 2 No. 2 Tahun 2019 Penulis I Gusti Agung Made Gede Mudana Unit Kerja Penulis Jurusan Pendidikan Agama dan Bahasa Bali, STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Indonesia Jumlah Halaman 7 Halaman, 3.591 Kata. Reviewer Nurlaeli Abdullah Tanggal 11 November 2021 Untuk mengupayakan terjadinya transformasi nilai Tujuan Penelitian untuk pembentukan karakter anak bangsa.
Pembentukan karakter peserta didik melibatkan tri
Subjek Penelitian pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Metode penelitian Metode yang dipergunakan di dalam artikel ini adalah study kepustakaan, yaitu menelaah sumber pustaka primer dan sekunder yang terkait dengan karakter dalam perspektif filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara. Hasil dan Pembahasan Ki Hadjar Dewantara Ki Hadjar Dewantara sewaktu kecil mendapat pendidikan formal pertama kali pada tahun 1896. Akan tetapi, Ki Hadjar Dewantara merasa kecewa karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama sebab mereka hanya rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya dalam melakukan perjuangannya, baik dalam dunia politik maupun pendidikan. Ki Hadjar Dewantara juga menentang kolonialisme dan foedalisme yang menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan kemerdekaan dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan merata (Soeratman, 1985).
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang
Pendidikan Karakter Pengertian Pendidikan Karakter Sistem pendidikan Indonesia masih jauh dari kata berhasil untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang cerdas ilmu dan perilaku, sehingga perlu adanya perombakan sistem pendidikan agar dapat menghasilkan generasi yang cerdas akal dan budi pekertinya. Definisi pendidikan yang dikembangkan Ki Hadjar Dewantara, menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan moral sebagai suatu proses yang dinamis dan berkesinambungan. Keseimbangan unsur cipta, rasa, dan karsa yang tidak dapat dipisah-pisahkan ini memperlihatkan bahwa Ki Hadjar Dewantara tidak memandang pendidikan hanya sebagai proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan pendidikan adalah sebagai daya dan upaya yang dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak peserta didik dapat selaras dengan dunianya (Taman Siswa, 1967). Tujuan Pendidikan Karakter Tujuan pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya (Suparlan, 1984). Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu Kontinuitas, Konvergensi, dan Konsentris. Dasar Pendidikan Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa, yang meliputi: asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebudayaan, asas kebangsaan, asas kemanusiaan. Pokok Ajaran/ Sistem Pendidikan Pokok ajaran Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan yang cocok untuk anakanak Indonesia adalah Pendidikan Nasional. Untuk menyelengarakan pendidikan nasional, beliau mendirikan Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa yang kemudian dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Falsafah pendidikannya adalah menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada budaya Barat. Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among, setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani (MLPTS, 1992). Simpulan dan Saran 1. Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara (ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) adalah wasiat luhur yang patut dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter. 2. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya, secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya. 3. Penyelenggaraan pendidikan jangan terjebak pada pencapaian target sempit yang hanya melakukan transfer pengetahuan, tetapi perlu dengan sengaja mengupayakan terjadinya transformasi nilai untuk pembentukan karakter anak bangsa. 4. Pembentukan karakter peserta didik perlu melibatkan tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) secara sinergis. Pengembangan karakter peserta didik perlu memperhatikan perkembangan budaya bangsa sebagai sebuah kontinuitas menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap memiliki sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentris). 5. Asas dan dasar pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara merupakan landasan dasar yang kokoh untuk membangun karakter bangsa, bersendi pada budaya bangsa dengan tidak mengabaikan budaya asing. Kekuatan Penelitian Metode penelitian lengkap.
Kelemahan Penelitian Perlu dilakukan penelitian/kajian lebih lanjut dengan
mengkaji variabel yang lebih luas dan kajian teori yang mendalam dalam menemukan variabel-variabel lain yang diduga berpengaruh signifikan terhadap kompetensi penyuluh pertanian.
REVIEW JURNAL
DASAR EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
NURLAELI BDULLAH
10540962715
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2021
Judul Dasar Epistemologi Dalam Filsafat Pendidikan Islam
Jurnal Jurnal Mudarrisuna
Volume dan Halaman Vol. 9 No. 2 Tahun July-Desember 2019 Penulis Abidin Nurdin1, Sri Astuti A. Samad2, Munawwarah A. Samad3 Unit Kerja Penulis 1Universitas Malikussaleh, Aceh, Indonesia 2,3Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Aceh, Indonesia Jumlah Halaman 17 Halaman. Reviewer Nurlaeli Abdullah Tanggal 11 November 2021 Untuk mengetahui betapa pentingnya memahami sekaligus mempraktikkan epistemologi sebagai dasar filsafat pendidikan Islam. Agar ilmu yang diajarkan memiliki dasar Tujuan Penelitian yang jelas dan benar karena akan berpengaruh pada tujuan, media, materi dan metode pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik.
Subjek Penelitian Tenaga Pendidik
Hasil dan Pembahasan 1. Epistemologi dalam Pendidikan Islam Masalah mendasar yang dihadapi manusia saat ini adalah problema ilmu dan adab. Karena ilmu dipisahkan dari nilai- nilai adab, sehingga berdampak pada munculnya the loss of adab (hilangnya adab). Pendidikan Islam dalam kajian Islam selama ini, belum dikembangkan di atas kerangka epistemologinya yang jelas. Hingga kini belum ada tawaran konseptual mengenai bangunan epistemologi pendidikan Islam sebagai sarana atau pendekatan dalam pengembangan pendidikan Islam. Al-Attas mengeritik Barat tentang kebahagiaan (happiness) yang mengikuti pemikiran Aristotelian hanya menyentuh aspek duniawi yang sampai saat ini menjadi konsep manusia modern. Karena itu, titik fokus epistemologi Islam di samping menekankan pada konsep yang holistik dan komperhensif tidak parsial dan partikular. Konsep-konsep kelimuan yang dikembangkan peradaban Barat sekuler merupakan tantangan terbesar umat Islam. Oleh karena itu, al-Attas menegaskan bahwa secara konseptual, antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Adapun filsafat pendidikan Islam berasal dari filsafat hidup Islam, hal itu mencakup kebenaran (truth) yang bersifat spekulatif dan praktikal yang menolong untuk menafsirkan tentang manusia, sifat-sifat ilahiyah-Nya, nasib kesudahannya, dan keseluruhan hakikat (reality). Senada dengan al-Attas dan Langgulung, Zuhairini mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam memberikan kontribusi ke arah pengembangan konsep-konsep filosofis dari pendidikan Islam, yang secara otomatis akan menghasilkan teori-teori baru dalam ilmu pendidikan Islam, dan kedua kearah perbaikan pemahaman dan pembaharuan praktek dan pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh sebab itu, disinilah pentingnya landasan epistemologi dalam pendidikan Islam yang mengakui tidak hanya empirisme dan rasionalisme sebagai pilarnya. Akan tetapi juga mengakui indra, akal, intuisi dan yang paling penting adalah wahyu sebagai kerangka dan sumber keilmuannya. 2. Konsep Ilmu dalam Filsafat Pendidikan Islam Menurut al-Ghazali, ilmu diperoleh oleh manusia dengan dua cara, yaitu: daruri (apriori) dan bukan daruri. Lebih lanjut Fahmy Zarkasyi menerangkan bahwa menurut al- Ghazali dalam konsep epistemologi Islam realitas tidak hanya terbatas pada fisik atau lahiriyah dari dunia saja, tetapi juga mencakup realitas supra duniawi atau realitas yang tertulis dalam Lembaran Takdir (lauhin mahfudz). Karena itu al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua yaitu ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan agama (syar’iyah) dan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan intelek („aqliyah). Perbedaan konsep pengetahuan al-Ghazali adalah teori kepastian yang dapat dicapai dengan dua cara; pertama, melalui pengetahuan rasional; kedua, melalui pengetahuan dan pengalaman keagamaan. Sejalan dengan al-Ghazali, al- Attas juga membagi pencapaian ilmu dalam dua kategori, yaitu. Pertama adalah ilmu adalah sesuatu yang datang dari Allah dan diberikan kepada insan sebagai karunia-Nya. Kedua, adalah sesuatu yang dicapai oleh jiwa yang aktif dan kreatif berdasarkan daya usaha akliahnya sendiri, yang telah melalui pengalaman, penyelidikan dan pengkajian. Dipertegas kembali oleh Alparslan Acikgenc dan Wan Daud, yakni Pertama; ilmu diisyaratkan sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT. dapat dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; kedua sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa pada makna sesuatu atau objek ilmu. Ilmu yang dimiliki manusia muncul dari dua saluran: pertama saluran luar, yakni khayal dari pancaindra. Sedangkan yang kedua, saluran dalam, yakni ilham atau wahyu dari malaikat dari Allah. Dapat dibayangkan jika landasan epistemologi pendidikan Islam tidak berberdiri di atas paradigma Islam yang jelas. Maka ontologi dan aksiologi pendidikan Islam juga akan melenceng dan jauh dari tujuan pendidikan Islam yang sesungguhnya. Akibatnya pendidikan Islam perlahan tapi pasti akan kehilangan ruhnya, disebabkan tidak adanya visi keilahian. Pendidikan yang mengusung rasio hanya akan mengantarkan manusia pada keyakinan mendewakan akal, kemudian empiris pada akhirnya melahirkan mazhab positivisme sebuah aliran dalam filsafat pendidikan yang menggiring pemahaman untuk menafikan campur tangan Tuhan dalam kehidupan manusia.
3. Wahyu sebagai Landasan Epistemologis
Dalam kerangka epistemologi Islam, wahyu merupakan landasan pertama dan utama sebagai sumber ilmu dan kebenaran selanjutnya intuisi, akal, kemudian indra. Hal ini hanya mampu dijangkau dengan ilmu tauhid dan keyakinan karena akal terbatas untuk mencernanya. Pada konteks ini kekuasaan Allah SWT. meliputi segala sesuatu di alam semesta ini termasuk gempa bumi dan daun yang jatuh. Seorang sarjana Muslim seperti Abdurrahman Saleh Abdullah menegaskan bahwa Al-Quran dan Hadis adalah asas bagi pendidikan Islam sebab al-Quran mengandung segala sesuatu mengenai petunjuk bagi manusia terkait dengan kehidupan dunia dan akhirat. Ironisnya sampai saat ini wahyu sebagai landasan epistimologis atau sumber ilmu masih ada yang tidak menerima, terutama kalangan ilmuan Barat yang memicu kekacauan besar dalam dunia keilmuan dan kemanusiaan saat ini. Pendidikan Islam dan konteks epistemologis memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Jadi, asas ilmu dan peradaban Islam itu adalah konsep seminal dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah. Konsep-konsep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan, dan dikembangkan menjadi berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan. Jika ditelaah lebih jauh kajian tentang filsafat pendidikan Islam, maka tidak akan pernah jauh dari pembahasan; konsep fitrah, hakikat manusia, hubungan manusia dengan alam, konsepsi kehidupan manusia dan beberapa kajian yang terkait dengan ontologi, epistemologi, aksiologi dan aliran-aliran filsafat. Kesimpulan 1. Epistemologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang sumber ilmu pengetahuan atau teori tentang ilmu pengetahuan. Studi filsafat pendidikan Islam meyakini bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu di atas akal dan panca indra. Karena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya bersandar pada capaian akal dan indrawi tetapi lebih dari ilmu ia berpijak pada kebenaran Ilahi yang kemudian dapat disebut teosentris, bukan antroposentris atau ilmu yang berlandaskan pada rasionalisme manusia. Bahkan pada batas tertentu intuisi berupa kasyf dapat dijadikan sebagai metode pencapaian kebenaran ilmu. Antroposentrisme sebagaimana dikembangkan oleh Barat hanya akan terjebak pada kebenaran semu yang mempertuhankan manusia dengan kekuatan akal yang sebenarnya terbatas. 2. Jika merujuk pada epistemologi al-Ghazali dan al-Attas maka ilmu pengetahuan bersumber pada dua hal; pertama, melalui pengetahuan rasional; kedua, melalui pengetahuan dan pengalaman keagamaan. Pertama adalah pengetahuan tentang makhluk dan yang kedua adalah realitas Ilahi. Namun, pola pikir integratif secara eksplisit tampak ketika ia menegaskan bahwa kepastian pengetahuan rasional tidak ada nilainya jika tidak disertai dengan kepastian yang diperolah dari pengetahuan realitas Ilahi. 3. Realitas Ilahi yang dijelaskan oleh wahyu sebagai bersumber ilmu kemudian memberikan kepastian kepada akal tentang kebenaran. Wahyu sebagai sumber filsafat pendidikan Islam sebagaimana dijelaskan oleh filosof dan sarjana Muslim seperti al-Ghazali, al-Attas, Abdullah dan Langgulung. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh Barat, sehingga pemikiran mereka hanya berputar-putar pada kebenaran semu yang tidak memiliki ujung dan pangkal, berbeda dengan epistemologi Islam diikat oleh kebenaran Ilahi berdasar pada Tauhid. Kekuatan Penelitian Dalam jurnal ini terdapat banyak referensi dari pendapat beberapa ahli yang relevan dengan tema yang dibahas. Selain itu, pembahasannya mudah di pahami dengan penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai sehingga pembaca dapat menangkap poinpoin penting dalam jurnal ini. Kelemahan Penelitian Perlu dilakukan penelitian/kajian lebih lanjut dengan mengkaji variabel yang lebih luas dan kajian teori yang mendalam dalam menemukan variabel-variabel lain yang diduga berpengaruh signifikan terhadap kompetensi peserta didik .