Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ILMU PENGANTAR HUKUM

DOSEN PEMBIMBING :

MAULANA IBRAHIM

DISUSUN OLEH :

AKMAL HAKIM AT TAMIMI

FARIZ HAWARIY SIREGAR

PUTRI NASUHA

MUHAMMAD GERALD

NURHATIFAH MANURUNG

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MEDAN

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Alhamdullilah , puji syukur kami panjatkan kehadiran allah swt yang maha kuasa hanya berkat
rahmat ,taufiq dan hidayahnya , sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan lancer , baik
dan tepat waktu. Sholawat serta salam senantiasa tersanjungkan kepangkuan Rasullah Saw ,
berserta keluarga , sahabar sahabat nya dan para pengikutnya yang telah membawa kita dari
jaman yang gelap gulita ke jalan yang terang benderang seperti sekarang ini. Penulisa makalah
ini guna melengkapi / memenuhi tugas kuliah “ ilmu pengantar hokum”

Dengan terselesaikan makalh ini penulis dengan penulis dengan ikhlas menyampaikan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantunya baik langsung maupun tidak langsung

Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khusunya bagi para pembaca pada umumnya .
akhirul kalam semoga segala usaha kita dalam peningkatan mutu pendidikan mendapat ridho
ALLAH SWT . Aaminnn….

Medan, 18 Oktober 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………I

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..II

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..3

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………...4

1. PENGERTIAN SUMBER HUKUM……………………………………………….5


2. SUMBER HUKUM MATERIL……………………………………………………5
3. SUMBER HUKUM FORMIL……………………………………………………...6
3.1 UNDANG UNDANG (STATUE)……………………………………………...8
3.2 KEBIASAAN (CUSTOM)……………………………………………………
3.3 YURISPEDENSI / ATAU KEPUTUSAN KEPUTUSAN HAKIM
(JURISPUDENCE)……………………………………………………………10
3.4 TRAKTAT (TREATY)……………………………………………………….12
3.5 PENDAPAT SARJANA HUKUM (DOKTRIN)…………………………….13
3.6 REVOLUSI (COUP DE’ATAT)…………………………………………….14

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN…………………………………………………………………………...14
PENDAHULUAN

Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, mungkin teman-teman pernah bertanya, dari mana hukum
berasal? Apakah Hukum turun begitu saja dari langit, atau apakah ada yang membuatnya. Kalau
ada yang membuatnya, lalu muncul pertanyaan siapa yang membuat hukum? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu memahami sumber-sumber hukum.

Pembahasan ini akan diawali dengan pengertian sumber hukum, lalu dilanjutkan dengan
pembahasan mengenai sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.

Sehingga sumber Hukum dapat diartikan sebagai bahan atau materi yang berisi hukum itu dibuat
dan dibentuk, proses terbentuknya hukum , dan bentuk hukum itu sehingga dapat dilihat,
dirasakan, atau diketahui. Menurut buku Pengantar Hukum Indonesia (2019) karya Rahman
Amin, sumber hukum yaitu segala sesuatu yang dapat melakukan, menimbulkan aturan hukum
serta tempat ditemukannya aturan hukum.

Sumber hukum inilah yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa. Jika aturan
dilanggar, maka sanksi tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
BAB II
PEMBAHASAN

 Pengertian Sumber Hukum

Hukum berkaitan erat dengan kepastian. Hukum hendak menciptakan kepastian dalam
mengatur hubungan antara orang-orang yang ada di dalam masyarakat. Masalah kepastian
Hukum tersebut berkaitan erat dengan masalah dari mana Hukum itu berasal. Pengertian
sumber Hukum menurut C.S.T. Kansil adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Bagir Manan memiliki pandangan
yang berbeda dengan Kansil. Menurut Bagir Manan dalam mengartikan apa itu sumber
Hukum harus memerlukan kehati-hatian, tanpa kehati-hatian dan kecermatan yang mendalam
mengenai apa yang dimaksud dengan sumber Hukum dapat menimbulkan kekeliruan, bahkan
menyesatkan.Sumber Hukum adalah tempat di mana kita dapat melihat bentuk perwujudan
Hukum. Sumber Hukum dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan atau
melahirkan Hukum sehingga menimbulkan kekuatan Hukum mengikat. Yang dimaksud
dengan segala sesuatu adalah Negara-faktor yang mempengaruhi timbulnya Hukum, dari
mana Hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma Hukum. Ringkasnya, sumber
Hukum adalah asal mula Hukum. Secara umum sumber Hukum dibagi menjadi dua, yaitu
sumber Hukum materiil dan sumber Hukum formil

Sumber Hukum Materil

Sumber Hukum materiil adalah tempat atau asal mula dari mana Hukum itu diambil.
Sumber Hukum materiil berkaitan erat dengan keyakinan atau perasaan Hukum individu dan
pendapat umum yang menentukan isi Hukum. Keyakinan atau perasaan Hukum individu
(anggota masyarakat) dan pendapat Hukum (legal opinion) dapat menjadi sumber Hukum
materiil. Selain itu sumber Hukum materiil bisa juga berupa hal-hal yang mempengaruhi
pembentukan Hukum seperti pandangan hidup, hubungan Hukuma dan politik, situasi
ekonomi, corak, peradaban (agama dan kebudayaan) serta letak geografis dan konfigurasi
internasional.

 Sumber Hukum Formil

Sumber Hukum formil adalah sumber Hukum yang dikenal dan digali dalam bentuknya
(peraturan perundang-undangan). Karena bentuknya tersebut maka sumber Hukum formil
diketahui dan ditaati sehingga memperoleh kekuatan Hukum. Perlu diketahui bahwa selama
belum mempunyai bentuk, maka suatu Hukum baru hanya merupakan perasaan Hukum atau
cita-cita Hukum yang belum mempunyai kekuatan mengikat.Sumber Hukum formil terdiri
dari undang-undang (statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim
(jurisprudence, jurisprudentie), traktat (treaty), dan pendapat sarjana Hukum (doktrin).
Selain lima sumber Hukum tersebut, juga terdapat sumber Hukum yang tidak normal yaitu
revolusi (coup d’etat).

 Undang-Undang (Statute)

Undang-undang merupakan suatu peraturan Hukuma yang memiliki kekuatan Hukum


yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa Hukuma. Undang-undang
memiliki dua pengertian, yaitu dalam arti material dan dalam arti formal.Undang-
undang dalam arti material berarti setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya
disebut undang-undang, yaitu tiap-tiap keputusan pemerintah, yang menetapkan
peraturan-peraturan yang mengikat secara umum atau dengan kata lain peraturan-
peraturan Hukum objektif.
Undang-undang dalam arti formal berarti keputusan pemerintah yang memperoleh
nama undang-undang karena bentuk, dalam mana ia timbul. Undang-undang dalam
arti formal biasanya memuat peraturan-peraturan Hukum dan biasanya sekaligus
merupakan undang-undang dalam arti material.
Di Indonesia pengertian undang-undang dalam arti formal mengacu pada
ketentuan Undang-Undang Dasar Hukuma Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat, sedangkan undang-undang dalam arti material adalah setiap keputusan
pemerintah yang menurut isinya memiliki sifat mengikat langsung bagi setiap
penduduk.

 Syarat berlakunya undang undang

Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang adalah diundangkan dalam


Lembaran Hukuma (LN) oleh Menteri/Sekretaris Hukuma. Adapun tanggal mulai
berlakunya suatu undang-undang adalah sesuai dengan tanggal yang ditentukan di dalam
undang-undang itu sendiri. Apabila tanggal berlakunya tidak disebutkan dalam undang-
undang, maka undang-undang tersebut mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak
diundangkan dalam Lembaran Hukuma untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah
lain baru berlaku 100 (seratus) hari setelah diundangkan dalam Lembaran
Hukuma.Setelah syarat berlakunya undang-undang terpenuhi, maka berlakulah fictie
Hukum, dimana setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang.
Sehingga apabila ada seseorang yang melanggar undang-undang tersebut, maka ia tidak
diperkenankan untuk membela atau membebaskan dirinya dengan Hukuma tidak tahu-
menahu mengenai adanya undang-undang tersebut.

 Berakhirnya kekuatan berlaku suatu undang undang

Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu undang-undang menjadi tidak berlaku,
yaitu:

1. Ditentukan sendiri dalam undang-undang itu


2. Jangka waktu undang-undang itu sudah lampau
3. Bertentangan dengan yurisprudensi tetap
4. Keadaan atau hal di mana undang-undang itu diundangkan sudah tidak ada lagi
5. Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi
yang lebih tinggi
6. Telah diadakan undang-undang baru yang isinya bertentangan dengan undang-
undang yang dahulu berlaku
7. Undang-undang tersebut isinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Hukuma
Republik Indonesia 1945
8. Suatu keadaan yang diatur oleh undang-undang sudah tidak ada lagi. Misalnya
undang-undang darurat perang atau keadaan bahaya mengatur penduduk keluar
malam. Setelah perang atau keadaan bahaya yang berakhir, maka keluar malam tidak
dilarang meskipun undang-undang darurat perang belum dicabut.

 Pengertian Lembaran Hukuma dan Berita Hukuma

Lembaran Hukuma pada zaman Hindia Belanda disebut Staatsblad (disingkat Stb.
Atau S.), sedangkan Berita Hukuma disebut De Javasche Courant yang pada zaman
Jepang disebut Kan Po. Setelah suatu undang-undang diundangkan dalam
Lembaran Hukuma, maka undang-undang tersebut diumumkan dalam Berita
Hukuma untuk kemudian diumumkan dalam Siaran Pemerintah melalui
radio/Hukuma l dan surat kabar.

Perbedaan antara Lembaran Hukuma dan Berita Hukuma adalah sebagai berikut:

1. Lemebaran Hukuma merupakan lembaran atau kertas tempat mengundangkan


(mengumumkan) semua peraturan-peraturan Hukuma dan pemerintah agar sah
berlaku. Penjelasan suatu undang-undang dimuat dalam Tambahan Lembaran
Hukuma yang mempunyai nomor berurut. Lembaran Hukuma diterbitkan oleh
Sekretariat Hukuma yang disebut dengan tahun penerbitannya dan nomor berurut.
2. Berita Hukuma merupakan suatu penerbitan resmi Sekretariat Hukuma yang
memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Hukuma dan
pemerintah dan memuat surat-surat yang dianggap perlu seperti akta pendirian PT,
Firma, Koperasi, nama-nama orang yang dinaturalisasi menjadi warga Hukuma
Indonesia dan lain-lain.

 Kebiasaan ( custom )

Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang tetap dilakukan
berulang-ulang dalam rangkaian perbuatan yang sama dan dalam waktu yang
lama. Suatu kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat secara Hukuma l apabila
kebiasaan tersebut dilakukan secara tetap atau ajek dan dilakukan berulang-ulang
dalam waktu yang lama, sehingga menimbulkan hak dan keharusan atau apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Singkatnya, kebiasaan
merupakan perbuatan yang dilakukan oleh banyak orang dan diulang-ulang,
sehingga menimbulkan kesadaran atau keyakinan bahwa perbuatan tersebut
memang patut untuk dilakukan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adat diartikan sebagai:

1. aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.
2. Cara (kelakukan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan.
3. Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, Hukum dan
aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu Hukuma.
4. Cukai menurut peraturan yang berlaku (di pelabuhan dan sebagainya).

Istilah adat tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi


kebiasaan, sehingga istilah Hukum adat seringkali disamakan dengan istilah
Hukum kebiasaan. Namun beberapa ahli Hukum menilai kurang tepat apabila
Hukum adat diartikan sebagai Hukum kebiasaan. Menurut Van Dijk, Hukum
kebiasaan adalah kompleks peraturan Hukum yang timbul karena kebiasaan
lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir
suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat.

Lebih lanjut Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa Hukum adat hakikatnya


merupakan Hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akibat Hukum
(das sein das sollen). Sehingga tidak semua kebiasaan dapat menjadi sumber
Hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo Kebiasaan yang dapat menjadi sumber Hukum


harus memenuhi syarat-syarat:

1. Syarat materiil, yaitu adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang, yang
merupakan suatu rangkaian perbuatan yang sama dan berlangsung untuk beberapa waktu
lamanya (longa et invetarata cosuetudo).
2. Syarat intelektual, maksudnya kebiasaan tersebut harus menimbulkan Hukuma
Hukuma l t (keyakinan umum) bahwa perbuatan itu merupakan suatu kewajiban
Hukum.
3. Adanya akibat Hukum apabila Hukum kebiasaan tersebut dilanggar.

Ada beberapa kelemahan yang menghambat penegakan Hukum kebiasaan. Yaitu


karena Hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis, sehingga tidak dapat dirumuskan
secara jelas dan sukar untuk menggantinya. Selain itu Hukum kebiasaan juga
tidak menjamin kepastian Hukum dan sering menyulitkan dalam beracara karena
kebiasaan sangat beragam.

Adat istiadat merupakan peraturan-peraturan atau kebiasaan Hukuma yang sejak


lama ada dalam masyarakat dengan maksud untuk mengatur tata tertib. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Hukum adat merupakan bagian dari Hukum kebiasaan,
namun tidak semua adat bersifat Hukum.

 Yurisprudensi / Keputusan-Keputusan Hakim (Jurisprudence,


Jurisprudentie)

Yurisprudensi berasal dari bahasa Latin Hukuma l tial yang berarti


pengetahuan Hukum, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut jurisprudence yang
artinya ilmu Hukum atau ajaran Hukum umum atau teori Hukum umum (general
theory of law). Pada Hukuma common law, yurisprudensi diartikan sebagai suatu
ilmu pengetahuan Hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan Hukum
lain. Sedangkan Hukuma statute law atau civil law mengartikan yurisprudensi
sebagai putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan Hukum tetap
dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau
kasus yang sama.

Yurisprudensi merupakan istilah teknis dalam Hukum Indonesia yang artinya


sama dengan jurisprudentie dalam bahasa Belanda atau jurisprudence dalam
bahasa Prancis, yang berarti peradilan tetap atau Hukum peradilan. Kehadiran
keputusan hakim atau yurisprudensi sebagai salah satu sumber Hukum di
Indonesia dimulai pada masa Hindia Belanda. Pada masa tersebut yang menjadi
peraturan pokok adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia
(ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia) atau
yang disingkat AB.

Pasal 23 AB menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu


perkara dengan Hukuma bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak
menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk
dihukum karena menolak untuk mengadili. Dengan demikian seorang hakim
berhak untuk membuat peraturan sendiri demi menyelesaikan suatu perkara.
Singkatnya, apabila undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang
dapat dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara, maka hakim harus membuat
peraturan sendiri.

Menurut Prof. Subekti yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau


pengadilan yang telah berkekuatan Hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah
Agung sebagai pengadilan kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang
sudah berkekuatan Hukum tetap. Sehingga tidak semua putusan hakim pada
tingkat pertama atau pada tingkat banding dapat dikategorikan sebagai
yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan
notasi oleh Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah
memenuhi standar Hukum yurisprudensi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi adalah keputusan


hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim
kemudian mengenai masalah yang sama. Ada beberapa hal yang menyebabkan
seorang hakim menggunakan putusan hakim terdahulu:

1. Pertimbangan psikologis
2. Pertimbangan praktis
3. Memiliki pendapat yang sama
Yurisprudensi terbagi menjadi dua macam, yaitu yurisprudensi tetap dan
yurisprudensi tidak tetap. Yurisprudensi tetap berarti putusan hakim yang terjadi
karena rangkaian putusan yang serupa atau sama dan dijadikan dasar bagi
pengadilan (standard arresten) untuk memutuskan suatu perkara. Sedangkan
yurisprudensi tidak tetap adalah putusan hakim terdahulu yang tidak dijadikan
dasar bagi pengadilan (bukan standard arresten). Yurisprudensi tidak tetap
umumnya berupa yurisprudensi yang menerapkan undang-undang (Hukum
materiil) yang tidak pernah digunakan sebagai sumber Hukum oleh hakim-hakim
berikut atau di bawahnya.

 Traktat (Treaty)

Apabila ada dua orang yang melakukan Hukuma l atau kata sepakat mengenai
suatu hal, lalu mereka mengadakan perjanjian, maka mereka menjadi terikat pada
isi perjanjian yang telah disepakati tersebut. Hal ini disebut asas pacta sunt
servanda yang berarti setiap perjanjian harus ditaati atau ditepati (agreements are
to be kept). Dengan kata lain perjanjian mengikat para pihak yang
mengadakannya.

Pada ruang lingkup yang lebih tinggi yaitu Hukuma, asas tersebut juga berlaku.
Seluruh warga Hukuma yang terlibat dalam perjanjian antar Hukuma harus
mentaati isi perjanjian tersebut. Perjanjian yang dilakukan oleh dua Hukuma atau
lebih disebut traktat. Ada beberapa jenis traktat sesuai dengan jumlah Hukuma
yang terlibat di dalamnya, yaitu:

1. Traktat bilateral, adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua Hukuma.


2. Traktat multilateral, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh lebih dari dua Hukuma.
3. Traktat kolektif, merupakan perjanjian antar beberapa Hukuma dan kemudian terbuka
bagi Hukuma-hukuma lainnya untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.

Pasal 11 Undang-Undang Dasar menentukan bahwa Presiden dengan persetujuan


DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Hukuma
lain. Traktat atau perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR sebelum
diratifikasi adalah perjanjian yang mengandung materi sebagai berikut:

1. Soal-soal politik atau persoalan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri,
yaitu mengenai perjanjian perbatasan wilayah, perjanjian persahabatan, perjanjian
ekonomi dan teknis pinjaman uang.
2. Persoalan yang menurut Hukuma perundang-undangan harus diatur dengan undang-
undang, yaitu kewargahukumaan dan soal kehakiman.

Proses pembuatan traktat terdiri dari empat tahap, meliputi:

1. Perundingan isi perjanjian oleh utusan pihak-pihak yang bersangkutan. Hasil perundingan
tersebut dinamakan konsep traktat (sluiting-oorkonde). Sidang perundingan biasanya
melalui forum konferensi, kongres, muktamar atau Hukuma-sidang lainnya.
2. Perjanjian masing-masing parlemen bagi Hukuma yang memerlukan persetujuan dari
parlemen.
3. Ratifikasi atau pengesahan oleh kepala Hukuma seperti raja, presiden atau perdana
menteri dan diundangkan dalam lembaran Hukuma.
4. Pertukaran piagam antar pihak yang mengadakan perjanjian, apabila perjanjian bersifat
multilateral maka piagam diarsipkan oleh salah satu Hukuma berdasarkan kesepakatan
atau diarsipkan di markas besar PBB.

 Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Doktrin Hukum adalah pendapat para ahli atau sarjana Hukum


ternama/terkemuka. Doktrin berkaitan erat dengan yurisprudensi. Hakim dalam
memutus sebuah perkara seringkali mengutip pendapat para sarjana yang
dipandang memiliki kemampuan dalam persoalan yang ditanganinya. Doktrin atau
pendapat para sarjana Hukum menjadi dasar keputusan-keputusan yang akan
diambil oleh seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.

Pendapat para sarjana Hukum yang merupakan doktrin adalah sumber Hukum.
Ilmu Hukum merupakan sumber Hukum, tapi bukan Hukum karena tidak
langsung mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang. Ilmu Hukum
tersebut akan mengikat dan mempunyai kekuatan Hukum apabila dijadikan
pertimbangan Hukum dalam putusan pengadilan.

Dalam Hukum internasional pendapat para sarjana Hukum merupakan sumber


Hukum yang sangat penting. Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional
(Statute of the International Court of Justice) mengakui bahwa dalam menimbang
dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman, yaitu:

1. Perjanjian-perjanjian internasional (international conventions).


2. Kebiasaan-kebiasaan internasional (insternational customs).
3. Asas-asas Hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
4. Keputusan hakim) dan pendapat-pendapat sarjana Hukum.

 Revolusi (Coup d’etat)

Selain lima sumber Hukum yang telah dibahas sebelumnya, beberapa penulis juga
menambahkan revolusi (coup d’etat) sebagai sumber Hukum. Revolusi atau
kudeta (coup d’etat) merupakan salah satu sumber Hukum yang abnormal atau
tidak normal. Revolusi adalah suatu tindakan dari warga Hukuma yang
mengambil alih kekuasaan di luar cara-cara yang diatur dalam konstitusi suatu
Hukuma.
BAB III

KESIMPULAN

Hukum berkaitan erat dengan kepastian. Hukum hendak menciptakan kepastian dalam mengatur
hubungan antara orang-orang yang ada di dalam masyarakat. Masalah kepastian Hukum tersebut
berkaitan erat dengan masalah dari mana Hukum itu berasal. Pengertian sumber Hukum menurut
C.S.T. Kansil adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan
sanksi yang tegas dan nyata.

Sumber Hukum materiil adalah tempat atau asal mula dari mana Hukum itu diambil. Sumber
Hukum materiil berkaitan erat dengan keyakinan atau perasaan Hukum individu dan pendapat
umum yang menentukan isi Hukum.

Sumber Hukum formil adalah sumber Hukum yang dikenal dan digali dalam bentuknya
(peraturan perundang-undangan). Karena bentuknya tersebut maka sumber Hukum formil
diketahui dan ditaati sehingga memperoleh kekuatan Hukum.

Anda mungkin juga menyukai