Anda di halaman 1dari 22

Polarisasi Grup

Polarisasi kelompok adalah gejala mengumpulnya pendapat kelompok pada satu


pandangan tertentu. dan hal ini berdampak ekstrem dalam artian jika suatu kelompok
mendukung suatu pendapat maka setelah diskusi mereka akan lebih mendukung begitu pula
sebaliknya, jika suatu kelompok menetang suatu pendapat maka setelah diskusi mereka akan
lebih menentang lagi.
Contoh dari polarisasi kelompook adalah: Dalam suatu kelompok yang berjumlah 70
anggota diadakan musyawarah untuk memilih keputusan, ada lima orang tidak setuju dengan
keputusan bersama, namuk karena 65 orang anggota setuju dengan keputusan tersebut,
setelah didiskusikan kembali lima orang tersebut ikut setuju dalam mengambul keputusan
yang telah disepakati.
Dalam sejarah, Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, pernah dihadapkan oleh
dilema terkait perlakuan terhadap pulau Kuba. Ia dihadapkan oleh dua pilihan, yakni
menginvasi Kuba atau menyelesaikan masalah dengan cara diplomatis. Kemudian, Presiden
Kennedy membentuk sebuah komite untuk membantunya meninjau kedua pilihan tersebut.
Namun, komite memberikan masukan yang cenderung memilih untuk menginvasi Kuba,
yakni memilih pilihan yang lebih berisiko. Dalam hal ini, komite tersebut cenderung tidak
menahan diri untuk memilih jalur diplomatis, melainkan mereka berpolarisasi.

a. The Risky-Shift Phenomenon

Hal yang terjadi pada kelompok komite Kennedy disebut dengan the risky-shift
phenomenon, yakni kecenderungan sebuah kelompok untuk mengambil keputusan yang lebih
berisiko dibandingkan keputusan seorang individu. Fenomena ini dapat diukur dengan
choice-dilemma questionnaire yang berisi pertanyaan untuk mempertimbangkan pilihan bagi
individu ataupun kelompok. Salah satu contoh kuisionernya adalah mempertimbangkan
peluang dan resiko seorang pekerja untuk menetap pada pekerjaannya saat ini atau memilih
untuk merintis usaha baru dengan orang lain. Hasil dari pengisisan kuisioner oleh beberapa
individu menujukkan mayoritas memutuskan untuk menetap. Namun, saat individu-individu
bergabung menjadi sebuah kelompok untuk mengulas kembali keputusan dan mengisi
kuisioner, hasil keputusannya bergeser ke pilihan yang lebih berisiko.

b. Proses Polarisasi dalam Kelompok

Proses Polarisasi dalam Kelompok Selama masa penelitian, para peneliti menemukan
kemungkinan sebuah anomaly, yakni cautious shift. Cautious shift terlihat saat individu
maupun kelompok yang diteliti menunjukkan hasil yang konsisten untuk tetap memilih opsi
yang tidak terlalu berisiko. Penemuan ini ditelusuri 16 lebih lanjut dengan berbagai kelompok
lainnya. Pada tahun 1969, para peneliti menemukan bukti bahwa individu dapat bergerak
menuju dua pilihan sekaligus setelah berdiskusi kelompok, yang memungkinkan cautious dan
risky shift terjadi secara bersamaan (Doise, 1969). Selain itu, peneliti menemukan bahwa
hasil dari diskusi kelompok tidak hanya menguatkan pilihan antara berhati-hati atau
mengambil risiko, melainkan juga mempengaruhi perilaku, kepercayaan, dan pandangan
individu terkait masalah yang dibahas (Myers, 1962). Salah satu contoh yang disebut oleh
Moscovici dan Zavalloni (1969) adalah orang-orang di Eropa yang secara umum menyukai
pemerintahan di sana dan sangat tidak menyukai orang Amerika. Dengan melakukan diskusi,
perilaku menyukai pemerintah semakin meningkat dan perilaku tidak menyukai orang
Amerika semakin memburuk.
Beberapa waktu kemudian, para peneliti menyadari bahwa munculnya risky shift
setelah diskusi kelompok adalah bagian dari proses yang umum. Arah pergeseran tersebut
bergantung pada preferensi awal rata-rata kelompok. Misalnya, ketidaksukaan cara mengajar
guru tertentu dalam sekumpulan pelajar akan semakin bertumbuh setelah diskusi. Hal ini
yang disebut oleh Myers dan Lamm (1976) sebagai group polarization atau polarisasi
kelompok, yaitu kondisi saat rata-rata respon postgroup cenderung ekstrem ke arah yang
sama dengan rata-rata tanggapan kelompok.

c. Penyebab Terjadinya Polarisasi Kelompok

Terjadinya polarisasi dalam kelompok melibatkan beberapa pengaruh interaksi sosial


yang terjadi dalam sebuah kelompok. Pengaruh interaksi sosial yang dikatakan oleh Friedkin
(1999) adalah perbandingan sosial, persuasi, dan identitas sosial (Friendkin, 1999). Teori
perbandingan sosial menyatakan bahwa individu secara spontan membandingkan dirinya
dengan orang lain dalam kelompoknya untuk mengulas pilihannya. Apabila pandangan
individu berbeda dengan kelompok, maka individu akan mengubah pandangannya ke arah
yang sama dengan kelompoknya. Polarisasi terjadi apabila individu menemukan norma
kelompok pada masalah yang dibahas, sehingga mereka mengajukan klaim atas posisi yang
melebihi norma tersebut ke arah manapun mayoritas anggota kelompok mendukung. Apabila
mayoritas anggota menyukai rencana A, maka keinginan untuk menciptakan citra positif
dalam kelompok akan membuat anggota menyatakan bahwa mereka benar-benar menyukai
rencana tersebut.
Dalam teori argument persuasif, anggota kelompok mengubah opininya dalam rangka
merespon opini anggota lain dalam kelompoknya 17 (Burnstein & Vinkour, 1977). Anggota
kelompok membuat argumen lebih untuk mendukung arah yang mayoritas dalam rangka
menunjukkan argumen yang konsisten dengan norma kelompok tersebut. Hasilnya, para
anggota saling memengaruhi satu sama lain ketika banyak argumen dilontarkan untuk
menyetujui pilihan yang dominan. Skema penentuan keputusan kelompok juga dapat
membuat para anggota lebih mendukung pilihan yang ekstrem daripada pilihan yang
moderat.
Teori identitas sosial menambahkan poin dari teori argument persuasif, yaitu bahwa
anggota kelompok tidak terpengaruh oleh isi dari argumen anggota lain, melainkan
terpengaruhi oleh konsensus opini kelompok tersebut. Dalam diskusi, apabila individu
meyakini bahwa anggota lain menunjukkan perilaku relatif ekstrem terhadap isu yang
dibahas, maka anggota yang mengidentifikasi dirinya dengan kelompok akan bergeser ke
arah tersebut. Hal ini menyebabkan menurunnya keberagaman opini dalam kelompok.
Peristiwa yang terjadi juga mampu mendiferensiasikan kelompok in-group dari kelompok
lainnya. Misalnya, apabila kelompok lain menentukan pilihan yang ekstrem, maka kelompok
akan memilih pilihan yang lebih berhati-hati.

d. Konsekuensi dari Polarisasi Kelompok

Adanya polarisasi kelompok memberikan dampak positif dan negatif pada keputusan
yang dominan, serta ekstrem. Polarisasi kelompok dapat memberikan dampak yang positif,
contohnya apabila sekelompok orang berkumpul dan membahas polusi dunia yang semakin
memburuk, serta membahas cara-cara ekstrem untuk menanggulanginya, maka kelompok
akan lebih bersemangat dalam mengatasi polusi dunia dengan pilihan yang ekstrem. Banyak
inovasi dan ide baru yang dapat ditemukan saat polarisasi semakin dikuatkan dalam
kelompok. Walaupun terkadang polarisasi menjadi sumber terbentuknya bias dan error,
polarisasi dapat memberi dampak yang menguntungkan bagi kelompok maupun anggotanya.
Victicms Groupthink

Irving Janis tertarik dengan grup ExCom milik Presiden Kennedy. Panitia, seperti
banyak panitia lainnya, gagal membuat keputusan terbaik yang bisa diambil. Janis mengejar
wawasan ini dengan mencari kelompok lain yang membuat kesalahan serupa dalam
penilaian. Dan dia menemukan banyak yang memenuhi syarat: Perwira angkatan laut senior
yang mengabaikan peringatan berulang kali tentang niat agresif Jepang mengenai Pearl
Harbor dan mengambil beberapa langkah untuk mempertahankannya; Staf pembuat
kebijakan Presiden Truman yang merekomendasikan agar pasukan AS melintasi paralel ke-
38 selama Perang Korea, mendorong China untuk bersekutu dengan Korea Utara melawan
Amerika Serikat; Staf Presiden Nixon yang memutuskan untuk menutupi keterlibatan dalam
pembobolan di Watergate. Setelah mempelajari kelompok-kelompok ini dan kesalahan
penilaian mereka, dia menyimpulkan bahwa mereka menderita groupthink — “suatu cara
berpikir yang dilakukan orang ketika mereka sangat terlibat dalam ingroup yang kohesif, pola
berulang yang terjadi dalam situasi groupthink. Dia mengatur gejala-gejala ini ke dalam tiga
kategori: melebihlebihkan kelompok, pikiran tertutup, dan tekanan menuju keseragaman
(Janis, 1972, 1982, 1983, 1985, 1989; Janis & Mann, 1977; Longley & Pruitt, 1980; Wheeler
& Janis, 1980).

I. Gejala Diskusi Kelompok

Menurut Janis, ada 3 gejala, tanda, atau indikator dalam diskusi kelompok (Forsyth, 2010),
yaitu:

1. Overestimation of the Group (menaksir terlalu tinggi) Para anggota dalam kelompok
berasumsi terlalu tinggi terhadap kelompoknya sendiri. Kelompok meyakini mereka dapat
bekerja dengan sangat baik walaupun sebenarnya tidak. Janis menyebutnya sebagai ilusi
kekebalan (illusion of invulnerability).

2. Closed-mindedness (berpikiran tertutup) Kelompok hanya berpegang pada satu cara tanpa
peduli dengan alternatif atau pilihan cara yang lain. Selain itu, kelompok hanya mendukung
keputusan awal melalui rasionalisasi.

3. Pressures toward Uniformity (adanya tekanan menuju kesepakatan) Kelompok berusaha


untuk menyamakan pemikiran dan saling setuju. Menurut Janis, ada 4 indikator, antara lain:
a. Self-cencorship, yaitu kecenderungan anggota kelompok untuk tidak mengemukakan
pendapatnya dalam diskusi dan menyimpan keraguan untuk dirinya sendiri atau memberikan
pendapatnya langsung pada pemimpin diskusi.

b. Illusion of unanimity, yaitu kondisi dimana anggota kelompok tidak memberikan


suaranya, baik setuju maupun tidak, sehingga dianggap menerima keputusan dalam diskusi
atau setuju dengan hasil dalam diskusi. Dengan begitu, muncul kebulatan suara.

c. Direct pressure, yaitu tekanan untuk tetap setuju dengan apapun hasil dalam diskusi.

d. Self-appointed mindguard, yaitu menjaga kelompok dari informasi yang salah yang
berdampak buruk bagi kelompoknya dengan menolak anggota yang berusaha menyanggah
dalam suatu diskusi dan menekan mereka yang menolak untuk tetap diam.

II. Pengambilan Keputusan yang Gagal

a. Mindguard, yaitu usaha individu untuk menjaga anggota kelompoknya dari hal atau
informasi negatif yang dapat merusak keutuhan kelompok.

b. Abilence paradox, yaitu kecenderungan anggota kelompok untuk tidak mengemukakan


penolakannya dalam diskusi hanya untuk menghindari konflik selama diskusi. 19

c. Pluralistic ignorance, yaitu suatu kecenderungan anggota dalam kelompok untuk menolak
suatu hal dalam diskusi, tetapi memilih untuk menerimanya karena beranggapan semua orang
menyetujui.

d. Entrapment, yaitu kondisi dimana individu lebih memilih untuk mengeluarkan biaya pada
hal yang diinginkan atau dipilih daripada hal yang telah sesuai dengan standar.

e. Sunk cost, yaitu kehilangan sumber daya.

III. Munculnya Groupthink

Karena kompleksitas model groupthink, beberapa tes dari seluruh model telah dilakukan.
Namun, para peneliti telah berusaha untuk mereplikasi temuan Janis melalui studi kasus arsip
dari kelompok sejarah dan politik lainnya. Mereka juga telah memeriksa aspek-aspek tertentu
dari teori—seperti dampak kohesi dan tekanan pada kelompokkelompok pembuat keputusan
—untuk menentukan apakah asumsi-asumsi kuncinya bertahan di bawah pengawasan
empiris. Kajian-kajian tersebut, yang diulas secara singkat selanjutnya, terkadang
mendukung, terkadang menantang, dan terkadang memperjelas teori Janis. Studi Kasus
Pengarsipan Janis, dengan menggunakan metode pengarsipan, membandingkan kelompok
yang membuat keputusan yang sangat buruk dengan kelompok yang membuat pilihan yang
sangat baik untuk menentukan apakah kelompok yang rentan kesalahan menunjukkan lebih
banyak gejala pemikiran kelompok. Dalam karya selanjutnya, ia memperbesar kumpulan
kasusnya menjadi total 19 kelompok pengambil keputusan dan memiliki penilai eksternal
yang bekerja dari teks sejarah yang sama menilai gejala kelompok. Seperti yang diperkirakan,
semakin tinggi jumlah gejala groupthink, semakin tidak menguntungkan hasil musyawarah
kelompok (r = .62; Herek, Janis, & Huth, 1987, 1989; Welch, 1989).

Model Alternatif Groupthink bukanlah ide yang tidak jelas yang hanya diketahui oleh mereka
yang mempelajari kelompok. Hanya tiga tahun setelah publikasi analisis Janis tahun 1972,
istilah groupthink muncul di Webster's New Collegiate Dictionary (Turner & Pratkanis,
1998b). Teori ini menawarkan wawasan tentang kelompok yang sangat membingungkan—
mereka yang membuat keputusan yang salah arah—dan telah diterapkan pada pembuat
keputusan politik, aliran sesat, bisnis, dan komunitas. Pada tahun 2004, misalnya, Komite
Intelijen Senat AS menyimpulkan bahwa komunitas intelijen pemerintah AS telah
menunjukkan sejumlah gejala pemikiran kelompok ketika secara keliru menyimpulkan
bahwa negara Irak sedang merakit senjata pemusnah massal (Senat Pilih AS Komite Intelijen,
2004). Teori ini berfungsi sebagai pengingat bahwa jika kita ingin memahami peristiwa
politik yang mengubah kehidupan orang-orang di seluruh dunia, kita harus memahami
kelompok. Namun, para peneliti terus memperdebatkan validitas model itu sendiri (Baron,
2005). Beberapa, mencatat dukungan teori yang terbatas, menyarankan bahwa itu harus
direvisi secara drastis. Yang lain merasa bahwa juri masih keluar dan mendorong lebih
banyak penelitian. Yang lain telah mengusulkan model alternatif.

Teori sentris-kelompok Arie Kruglanski dan teorinya preferensi untuk keteraturan,


prediktabilitas, ketegasan, dan pikiran tertutup. rekan (2006), seperti Janis, telah
mengidentifikasi sindrom yang menjadi ciri kelompok dan sering menyebabkan mereka
membuat keputusan yang salah. Mereka menamakan sindrom ini kelompok-sentrisme, karena
terutama muncul dari upaya anggota kelompok untuk mempertahankan dan mendukung
kesatuan kelompok mereka. Kelompok yang berpusat pada kelompok cenderung terburu-buru
membuat penilaian berdasarkan informasi yang tidak mencukupi, terutama jika mereka
menghadapi situasi yang mengganggu kapasitas mereka untuk memproses informasi—
tekanan waktu, ambiguitas yang parah, kebisingan, atau kelelahan. Mereka lebih mungkin
untuk menolak anggota yang tidak setuju dengan kelompok, dan mereka mengungkapkan
keinginan yang kuat untuk persetujuan dengan anggota lain. Pemikiran yang distereotipkan
dan kecenderungan untuk mendukung ingroup atas outgroup meningkat, dan kemauan untuk
berkompromi untuk mencapai solusi integratif selama tawar-menawar menurun. Kelompok
ini juga berusaha untuk penutupan kognitif-"keinginan untuk jawaban yang pasti untuk
sebuah pertanyaan, jawaban tegas, daripada ketidakpastian, kebingungan, atau ambiguitas"
(Kruglanski et al., 2002, hal. 649)—dan mengadopsi lebih struktur terpusat dengan pemimpin
otokratis. Diskusi kelompok-kelompok ini didominasi oleh anggota kelompok berstatus
tinggi yang memiliki dampak yang jauh lebih besar pada komunikasi dan keputusan
kelompok daripada anggota biasa. Konsekuensi dari group-centrism ini konsisten dengan
gejala groupthink yang diidentifikasi oleh Janis (De Dreu, 2003).

Identitas Sosial dan Model Ubiquity Robert Baron (2005), setelah meninjau banyak
penelitian yang ada tentang teori Janis, setuju dengan Janis bahwa anggota kelompok sering
berjuang untuk konsensus, dan dalam melakukannya mereka cenderung membatasi
perbedaan pendapat, merendahkan kelompok luar, dan salah menilai kompetensi kelompok
mereka sendiri. Model groupthink di mana-mana Baron, bagaimanapun, menunjukkan bahwa
kualitas-kualitas ini ada di mana-mana fitur kelompok, bukan yang langka. Mereka hanya
menyebabkan masalah, Baron menyarankan, ketika tiga kondisi terpenuhi. Pertama, bukan
kesatuan kelompok itu sendiri yang meningkatkan gejala pemikiran kelompok, melainkan
ancaman terhadap identitas sosial bersama yang mungkin terjadi jika kelompok tersebut
gagal (Haslam et al., 2006; Turner & Pratkanis, 1998a). Kedua, kelompok harus menjadi
salah satu yang telah mengembangkan seperangkat norma yang membatasi pendapat anggota
berkaitan dengan topik yang sedang dibahas. Ketiga, groupthink lebih mungkin jika anggota
kelompok kurang percaya diri. Dalam kasus seperti itu mereka cenderung mengandalkan
penilaian orang lain, dengan hasil bahwa kelompok tersebut tidak mempertimbangkan
alternatifnya secara memadai (Sniezek, 1992).

IV. Mencegah Groupthink

Kennedy tidak menganggap enteng kegagalan Bay of Pigsnya. Pada bulan-bulan setelah
kekalahan itu, dia mengeksplorasi penyebab pengambilan keputusan yang buruk dari
kelompoknya. Dia memecat orang-orang yang dia rasa telah menyesatkannya, menerapkan
prosedur yang lebih baik untuk menangani informasi, dan belajar bagaimana menguraikan
pesan dari staf militernya. Perubahan ini mempersiapkannya untuk masalah besar berikutnya
yang dihadapi pemerintahannya—Krisis Rudal Kuba tahun 1962. Ketika Kennedy
mengetahui bahwa Uni Soviet sedang membangun pangkalan rudal di Kuba, ia
mengumpulkan ExCom lagi. Kali ini, Kennedy dan para penasihatnya membuat keputusan
yang tepat. Pada dasarnya orang yang sama yang bertemu di ruangan yang sama dan dipandu
oleh pemimpin yang sama bekerja sama kerasnya di bawah tekanan yang sama. Kedua krisis
tersebut terjadi di wilayah yang sama di dunia, melibatkan kekuatan asing yang sama, dan
dapat menyebabkan konsekuensi yang sama seriusnya.

Membatasi Pencarian Prematur Persetujuan Jika kesesuaian adalah norma dalam kelompok
Teluk Babi, perbedaan pendapat diperjuangkan oleh kelompok selama Krisis Rudal. Kennedy
dengan sengaja menangguhkan aturan diskusi yang memandu pertemuan semacam itu;
agenda dihindari, dan ide-ide baru disambut. Meskipun tekanan untuk menyesuaikan diri
muncul dari waktu ke waktu selama diskusi, para anggota merasa sangat nyaman dalam peran
mereka sebagai skeptis, kritis pemikir bahwa mereka mampu menahan godaan untuk
mengikuti konsensus. Faktanya, kelompok itu tidak pernah mencapai kesepakatan 100%
tentang keputusan untuk mengembalikan kapal Soviet. Suasana penyelidikan terbuka dapat
dikaitkan dengan perubahan yang dirancang dan diimplementasikan oleh Kennedy. Dia
meninggalkan gaya kepemimpinan tertutupnya untuk menjadi pemimpin terbuka karena dia
(1) dengan hatihati menolak untuk menyatakan keyakinan pribadinya di awal sesi, malah
menunggu sampai orang lain membiarkan pandangan mereka diketahui; (2) memerlukan
diskusi penuh dan tidak memihak tentang pro dan kontra dari setiap kemungkinan tindakan;
(3) meyakinkan bawahannya bahwa dia akan menerima kritik yang sehat dan mengutuk “ya”;
(4) mengatur agar kelompok itu bertemu tanpa dia dalam beberapa kesempatan; dan (5)
mendorong anggota kelompok tertentu untuk berperan sebagai pembangkang, atau
pendukung setan, selama diskusi kelompok. Kennedy juga mengatur agar komite ini bertemu
secara terpisah dalam dua subkelompok. Anggota komite telah mempraktekkan pendekatan
ini pada keputusan masalah kebijakan lainnya, dan mereka puas bahwa itu menghasilkan
banyak manfaat: Kesepakatan sewenang-wenang dengan pandangan subkelompok lain tidak
mungkin; anggota staf tingkat bawah merasa lebih nyaman mengekspresikan sudut pandang
mereka dalam pertemuan yang lebih kecil; dan kehadiran dua koalisi dalam pertemuan-
pertemuan gabungan berikutnya hampir menjamin debat yang bersemangat (Wheeler &
Janis, 1980).

Memperbaiki Kesalahpahaman dan Bias Citra Janis tentang orang sebagai pengambil
keputusan enggan tidak cukup cocok dengan anggota komite eksekutif. Para peserta
sepenuhnya menyadari bahwa beberapa tindakan harus diambil, dan mereka menyerah pada
tugas mereka yang sulit. Konflik pengambilan keputusan mereka dipicu oleh keraguan dan
kekhawatiran atas pertanyaan yang tidak dapat mereka jawab, dan terkadang, mereka pasti
tergoda untuk meredakan ketidaknyamanan mereka dengan melebih-lebihkan superioritas
Amerika, meremehkan Rusia, dan menyangkal besarnya bahaya. Namun melalui pemrosesan
informasi yang waspada, mereka berhasil menghindari kesalahan persepsi, ilusi, dan
kesalahan ini. Menurut versi resmi dari insiden ini, tidak ada jejak ilusi superioritas yang
telah meresapi sesi perencanaan invasi Teluk Babi terbukti selama pertemuan komite
eksekutif. Orang-orang itu tahu bahwa mereka dan keputusan mereka tidak sempurna dan
bahwa angan-angan tidak akan memperbaiki situasi. Presiden Kennedy berulang kali
mengatakan kepada kelompok itu bahwa tidak ada ruang untuk kesalahan, salah perhitungan,
atau pengawasan dalam rencana mereka, dan pada setiap pertemuan, para anggota secara
terbuka mengakui risiko dan bahaya luar biasa yang terlibat dalam mengambil langkah-
langkah pemaksaan terhadap Rusia. Setiap solusi dianggap cacat, dan bahkan ketika blokade
telah diatur dengan susah payah, para anggota mengembangkan rencana darurat jika gagal.

Karena para anggota mengakui kekurangan dan ketidaktahuan pribadi mereka, mereka
dengan sukarela berkonsultasi dengan para ahli yang bukan anggota kelompok. Tidak ada
pernyataan anggota kelompok yang dianggap sebagai fakta sampai diverifikasi secara
independen, dan ide-ide dari anggota staf tingkat rendah yang lebih muda diminta pada setiap
diskusi. Para peserta juga mendiskusikan kegiatan kelompok dengan staf mereka sendiri dan
memasuki setiap pertemuan yang dipersenjatai dengan keraguan dan kritik dari pihak luar
yang tidak memihak ini. Panitia membahas etika situasi dan solusi yang diusulkan. Misalnya,
meskipun beberapa anggota merasa bahwa Rusia telah membiarkan diri mereka terbuka
terhadap setiap tanggapan kekerasan yang dianggap tepat oleh Amerika, mayoritas
berpendapat bahwa tindakan akhir harus konsisten dengan "warisan dan cita-cita
kemanusiaan Amerika" (Janis, 1972, hal. .157). Ilusi moralitas dan kekebalan seharusnya
diminimalkan bersama dengan persepsi bias dari kelompok luar (lihat, untuk interpretasi
alternatif dari kejadian ini, Alterman, 2004). tindakan, dengan sengaja mempertimbangkan
dan kemudian mempertimbangkan kembali potensi efek dari tindakan mereka, berkonsultasi
dengan para ahli, dan membuat rencana darurat yang terperinci jika blokade gagal
menghentikan Rusia. Banyak yang pada awalnya menyukai intervensi militer, tetapi
mayoritas anggota kelompok bersikeras agar alternatif lain dieksplorasi. Permintaan ini
menyebabkan pencarian alternatif yang diperluas, dan segera daftar berikut muncul:

1. Tidak melakukan apa-apa.


2. Memberikan tekanan pada Uni Soviet melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa.

3. Mengatur pertemuan puncak antara pemimpin kedua negara.

4. Diam-diam bernegosiasi dengan Castro.

5. Memulai aksi angkatan laut tingkat rendah yang melibatkan blokade pelabuhan Kuba.

6. Membombardir situs dengan pelet kecil, membuat rudal tidak bisa dioperasikan.

7. Luncurkan serangan udara terhadap situs dengan peringatan dini untuk mengurangi korban
jiwa.

8. Luncurkan serangan udara tanpa peringatan terlebih dahulu.

9. Melakukan serangkaian serangan udara terhadap semua instalasi militer Kuba.

10. Menyerang Kuba.

Setelah daftar ini selesai, para pria fokus pada setiap tindakan sebelum beralih ke opsi
berikutnya. Mereka mempertimbangkan pro dan kontra, menyempurnakan kekurangan yang
tidak terduga, dan memperkirakan kemungkinan keberhasilan. Selama proses ini, para ahli
dari luar dikonsultasikan untuk memberi anggota penanganan yang lebih baik atas masalah
tersebut, dan rencana kontinjensi dieksplorasi secara singkat. Bahkan alternatif-alternatif
yang awalnya ditolak dibangkitkan dan didiskusikan, dan kelompok tersebut
menginvestasikan banyak usaha untuk mencoba menemukan detail yang terlewatkan. Ketika
konsensus tentang rencana blokade akhirnya berkembang, kelompok itu kembali ke alternatif
ini, mempertimbangkan kembali aspek-aspek bermasalahnya, dan dengan cermat meninjau
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengimplementasikannya. Pesan dikirim ke Rusia,
strategi militer dilakukan untuk mencegah kesalahan apa pun yang akan meningkatkan
konflik, dan serangkaian tindakan bertahap dikembangkan untuk dilakukan jika blokade
gagal. Sekutu dihubungi dan diberitahu tentang niat AS, dasar hukum intervensi didirikan
dengan mengatur blokade belahan bumi yang disetujui oleh Organisasi Amerika Negara, dan
negara-negara Afrika dengan bandara yang bisa digunakan oleh Rusia untuk menghindari
blokade laut diperingatkan untuk tidak bekerja sama. Mengutip Robert Kennedy, “Tidak ada,
apakah masalah berat atau detail kecil, adalah diabaikan” (1969, hal. 60).
Grup dan Keputusan : Perspektif Fungsional

Teori fungsional pengambilan keputusan kelompok meyakini bahwa kelompok dengan


kemampuan pengambilan keputusan yang baik umumnya menggunakan prosedur yang
mengatur bagaimana mereka mengumpulkan, menganalisis, dan menimbang informasi.
Secara umum, kelompok mengambil keputusan dengan melalui tahapan-tahapan sebagai
berikut (Forsyth, 2010).

a. Fase orientasi, yang meliputi proses mendefinisikan masalah, menetapkan tujuan, dan
mengembangkan strategi.

b. Fase diskusi, yang meliputi proses mengumpulkan informasi mengenai situasi yang
dihadapi, dan mengidentifikasi, serta mempertimbangkan pilihan-pilihan yang dimiliki.

c. Fase keputusan, meliputi proses menetapkan solusi melalui permufakatan, voting, maupun
proses pengambilan keputusan sosial lainnya.

d. Fase implementasi, yang meliputi proses realisasi keputusan dan pengujian dampak
keputusan tersebut.

A. Orientasi
Sebuah keputusan dimulai dengan munculnya problema yang membutuhkan
solusi. Dalam fase orientasi, kelompok perlu mengorganisasi prosedur yang akan
digunakan. Di akhir fase orientasi, anggota kelompok haruslah telah memahami
tujuan, prosedur, dan pekerjaan yang perlu dilakukan. Hasil dari fase orientasi, antara
lain:
a) Pendefinisian Masalah
Model mental bersama adalah hasil utama yang diharapkan diakhir fase
orientasi. Model mental tersebut merupakan sebuah skema kognitif yang
mengorganisasi informasi deklaratif dan procedural terkait situasi masalah,
yang dimiliki setiap anggota kelompok (Forsyth, 2010).
b) Proses Perencanaan
Pentingnya proses perencanaan dapat dilihat dari tingkat keberhasilan
kelompok dengan perencanaan baik yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang tidak memiliki perencanaan (Hirokawa, 1980). Perencanaan
yang melibatkan tenggat dan kendala waktu juga mampu meningkatkan
performa kelompok. Sering kali proses perencanaan diabaikan dan muncul
bias anti-perencanaan. Salah satunya kecenderung mengaplikasikan metode
yang pernah mereka gunakan sebelumnya untuk projek di masa kini dan
bahkan di
masa mendatang (Forsyth, 2010).
B. Diskusi
Selama fase diskusi, anggota kelompok berkumpul dan memproses informasi
yang diperlukan dalam mengambil keputusan. Anggota kelompok juga berbagi
informasi, mengekspresikan persetujuan atau ketidaksetujuan, dan mencari informasi,
serta klarifikasi yang lebih banyak. Sebuah pendekatan pemrosesan informasi
berasumsi bahwa individu berambisi untuk menetapkan keputusan yang baik dengan
memanfaatkan informasi yang relevan dan memprosesnya, sehingga implikasi
masalah dapat dipahami dengan baik. Selain itu, pendekatan pemrosesan informasi
kolektif mengasumsikan hal yang sama dengan menambahkan bahwa terdapat kerja
kognitif selama diskusi kelompok (Forsyth, 2010). Hasil dari fase diskusi, antara lain:
a) Memori Kolektif
Memori kolektif merupakan kombinasi memori kelompok, termasuk memori
anggotanya, model mental bersama, dan system ‘transaksi memori’. Namun,
sebuah kelompok terbukti memiliki memori yang kurang terstruktur
dikarenakan fenomena free-ride. Fenomena tersebut dapat dilihat dari
kurangnya usaha anggota kelompok dalam mengingat detail karena anggapan
bahwa anggota lain dapat melakukannya untuk mereka. Kecenderungan
inimengakibatkan ketidakmampuan kelompok untuk mengingat
detailkeputusan, kecuali telah ditulis dalam hitungan menit (Forsyth, 2010).
b) Pertukaran Informasi
Pertukaran informasi atau ‘transaksi memori’ yang terjadi di antara anggota
kelompok dapat memperkuat akses terhadap informasi dan proses recall
informasi. Ketika sebuah kelompok bertukar informasi, dapat terjadi proses
cross-cueing dimana para anggota dapat saling bertukar petunjuk untuk
mengingat informasi yang mungkin dilupakan (Forsyth, 2010).
c) Pemrosesan Informasi
Sebuah kelompok mampu memproses informasi secara mendalam melalui
diskusi dibandingkan dengan individual. Menggunakan lebih banyak waktu
secara efektif untuk diskusi aktif sifatnya esensial dalam menghasilkan
keputusan kelompok yang berkualitas (Forsyth, 2010).

C. Keputusan
Skema keputusan sosial adalah metode kelompok untuk menggabungkan individu.
Skema keputusan sosial adalah sebuah strategi atau aturan yang digunakan dalam
kelompok untuk memilih satu alternatif dari berbagai alternatif yang diusulkan dan
dibahas selama musyawarah kelompok. Hal ini termasuk aturan keputusan yang
diakui secara eksplisit (kelompok menerima alternatif yang disukai oleh mayoritas)
dan prosedur keputusan implisit (kelompok menerima alternatif yang disukai oleh
masukan anggota paling kuat dalam satu keputusan kelompok). Beberapa skema
keputusan sosial yang umum adalah sebagai berikut (Hastie & Kameda, 2005).
a) Delegating decisions
seseorang individu, subkelompok, atau pihak eksternal membuat
keputusan untuk kelompok. Di bawah skema otoritas, pemimpin, presiden,
atau individu lain membuat keputusan akhir dengan atau tanpa masukan dari
anggota kelompok. Bentuk delegasi lain termasuk meminta seorang ahli untuk
menjawab (anggota yang paling tahu) atau membentuk subkomite yang terdiri
dari beberapa anggota untuk mempelajari masalah dan mencapai kesimpulan.
b) Averaging decisions
Setiap anggota kelompok membuat keputusannya sendiri-sendiri (baik
sebelum atau sesudah diskusi kelompok) dan rekomendasi pribadi ini dirata-
ratakan bersama untuk menghasilkan keputusan kelompok nominal. Dalam
prosesnya, tidak perlu selalu berinteraksi dengan anggota.
c) Plurality decisions
Anggota mengekspresikan preferensi individu mereka dengan
pemungutan suara, baik secara terbuka ataupun dengan pemungutan suara
rahasia. Dalam kebanyakan kasus, kelompok memilih alternatif yang disukai
oleh mayoritas anggota (skema aturan mayoritas yang sangat umum), tetapi
dalam beberapa kasus pluralitas yang lebih substansial (seperti skema
mayoritas dua pertiga) diperlukan sebelum keputusan menjadi final.
d) Unanimous decisions (konsensus)
Kelompok membahas masalah tersebut hingga mencapai kesepakatan
tanpa suara. Keputusan ini diberlakukan pada banyak juri di Amerika Serikat.

e) Random decisions
Kelompok menentukan keputusan akhir dengan kebetulan, contohnya
dengan melempar koin.
Setiap skema keputusan memiliki kekuatan dan juga kelemahan.
Misalnya, pendelegasian dapat menghemat waktu dan tepat untuk masalah
yang tidak terlalu penting, tetapi hal ini dapat membuat para anggota seakan
dirampas haknya. Kelompok yang hanya membuat ratarata tanpa diskusi dapat
membuat keputusan sewenang-wenang yang gagal memuaskan salah satu
anggota kelompok, yang pada akhirnya hanya merasa sedikit bertanggung
jawab untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Kebanyakan kelompok, setidaknya dalam budaya Barat, mengandalkan
beberapa jenis prosedur pemungutan suara untuk membuat keputusan akhir
(Mann, 1986). Pemungutan suara adalah cara untuk membuat keputusan yang
jelas, bahkan untuk masalah yang memecahkan kelompok. Bedasarkan
perbandingan para peneliti, pluralitas paling konsisten dalam menghasilkan
keputusan yang superior. Namun, pluralitas juga memiliki kekurangan. Ketika
telah mendekati waktu pemungutan suara, beberapa kelompok mungkin
merasa
terasing/terabaikan. Akibatnya, mereka menjadi tidak puas dan cenderung
dengan berath hati memberikan dukungan untuk keputusan tersebut (Castore
& Murnighan, 1978). Beberapa kelompok menghindari kekurangan ini dengan
mengandalkan konsensus untuk membuat keputusan. Skema keputusan
konsensus seringkali melibatkan dan mengarah pada komitmen tingkat tinggi
terhadap keputusan, serta kelompok. Misalnya, ketika sembilan orang di
dewan juri mendukung putusan bersalah, tiga anggota juri yang tersisa dapat
menahan informasi yang mereka yakini akan menyebabkan perbedaan
pendapat dalam grup (Kameda, et al., 2002). Kelompok seringkali memilih
untuk mencapai konsensus pada pertanyaan yang membutuhkan penilaian
sensitif seperti masalah moralitas, tetapi mereka menyukai skema pemungutan
suara dengan aturan mayoritas pada tugas-tugas pemecahan masalah (Kaplan
& Miller, 1987).

D. Implementasi
Apabila keputusan dibuat, dua pekerjaan penting tetap harus dilakukan. Pertama,
keputusan harus dilaksanakan. Kedua, kualitas keputusan harus dievaluasi. Faktor
yang mempengaruhi implementasi (Forsyth, 2010), antara lain:
1. Procedural justice
Mengandung persepsi tentang keadilan dan legitimasi metode yang
digunakan untuk membuat keputusan, menyelesaikan perselisihan, dan
mengalokasikan sumber daya, penggunaan prosedur yang adil, dan tidak
memihak. Termasuk evaluasi anggota grup tentang keadilan dalam proses
yang digunakan grup untuk membuat keputusannya.
2. Participation and voice
Banyak faktor yang memengaruhi persepsi tentang keadilan prosedural,
tetapi ketika individu percaya bahwa mereka memiliki suara dalam
masalah tersebut dan dapat mengungkapkan kekhawatiran yang mereka
miliki, serta adanya orang lain yang mendengarkan dan menanggapi,
maka mereka cenderung lebih terlibat dalam pelaksanaan keputusan akhir.

Siapa yang Memutuskan – Individu atau Kelompok?

Presiden Kennedy diberi dokumen rahasia JCSM-57-61 berisi “Evaluasi Militer Rencana
Militer Para CIA – Kuba,” pada awal Februari. Ia menyarankan Amerika Serikat agar
mempersenjatai dan melatih sekelompok orang buangan Kuba, yang kemudian akan kembali
ke tanah air mereka untuk memimpin pemberontakan melawan pemimpin negara Kuba saat
ini. Tidak menutup kemungkinan Kennedy dapat mempelajari laporan tersebut dan membuat
keputusan pada saat itu. Namun, ia menyerahkan keputusan pada sebuah kelompok daripada
membuat pilihan itu sendiri (Forsyth, 2010).
Membuat keputusan dalam kelompok menawarkan sejumlah keuntungan dibandingkan
membuat keputusan sendiri. Kelompok dengan sumber daya informasi yang lebih besar dan
kapasitas untuk memproses informasi tersebut mungkin dapat mengidentifikasi solusi yang
lebih baik, serta mendeteksi kesalahan dalam penalaran. Anggota juga dapat menemukan
keputusan kelompok lebih memuaskan daripada keputusan individu, terutama apabila
kelompok menggunakan proses pengambilan

keputusan pembangunan konsensus. Bagaimanapun, keputusan kelompok memakan lebih


banyak waktu daripada yang individu luangkan dan kelompok terlalu sering mengorbankan
kualitas demi ketepatan waktu. Beberapa masalah juga begitu sepele, berbelit-belit, atau
sangat diperdebatkan, sehingga pendekatan kelompok berakhir dengan kegagalan (Forsyth,
2010).

Membuat keputusan dalam kelompok menawarkan sejumlah keuntungan


dibandingkan membuat keputusan sendiri. Kelompok dengan sumber daya informasi yang
lebih besar dan kapasitas untuk memproses informasi tersebut mungkin dapat
mengidentifikasi solusi yang lebih baik, serta mendeteksi kesalahan dalam penalaran.
Anggota juga dapat menemukan keputusan kelompok lebih memuaskan daripada keputusan
individu, terutama apabila kelompok menggunakan proses pengambilan keputusan
pembangunan konsensus. Bagaimanapun, keputusan kelompok memakan lebih banyak waktu
daripada yang individu luangkan dan kelompok terlalu sering mengorbankan kualitas demi
ketepatan waktu. Beberapa masalah juga begitu sepele, berbelit-belit, atau sangat
diperdebatkan, sehingga pendekatan kelompok berakhir dengan kegagalan (Forsyth, 2010).

Mengingat manfaat dan kewajiban kelompok, model pengambilan keputusan normatif


Victor Vroom menunjukkan bahwa berbagai jenis situasi memerlukan jenis metode
pengambilan keputusan yang berbeda (Vroom, 2003; Vroom & Jago, 1988, 2007; Vroom &
Yetton, 1973). Dalam beberapa kasus, pembuat keputusan bahkan tidak diperkenankan
berkonsultasi dengan orang lain sebelum ia membuat pilihan. Dalam kasus lain, pemimpin
harus mencari masukan dari kelompok atau bahkan menyerahkan keputusan kepada
kelompok sepenuhnya. Meskipun prosedur dapat berlangsung di mana saja, pengambilan
keputusan dapat berpusat pada pemimpin otoriter hingga berpusat pada kelompok yang
demokratis. Model terbaru Vroom mengidentifikasi lima jenis dasar dari proses pengambilan
keputusan (Forsyth, 2010), antara lain:

1. Decide
Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan dan
mengumumkannya kepada kelompok. Pemimpin mengandalkan informasi
yang tersedia baginya pada saat itu maupun informasi dari anggota
kelompok. Anggota hanya memberikan informasi kepada pemimpin dan
pemimpin tidak dapat memberi tahu anggota kelompok mengapa
informasi tersebut diperlukan.

2. Consult (individual)
Pemimpin berbagi masalah dengan anggota kelompok secara individu,
mendapatkan ide dan saran mereka satu lawan satu tanpa bertemu sebagai
kelompok penuh. Pemimpin kemudian membuat keputusan yang mungkin
tidak mencerminkan pengaruh anggota kelompok.
3. Consult (kelompok)
Pemimpin mendiskusikan masalah dengan anggota sebagai kesatuan
kelompok dan secara kolektif mendapatkan masukan mereka. Kemudian,
pemimpin membuat keputusan yang mungkin tidak mencerminkan
pengaruh anggota kelompok.
4. Fasilitate
Pemimpin mengoordinasikan analisis kolaboratif masalah untuk membantu
kelompok mencapai konsensus tentang masalah tersebut. Pemimpin aktif
dalam proses, tetapi tidak mencoba mempengaruhi kelompok untuk
mengadopsi solusi tertentu. Pemimpin menerima keinginan kelompok dan
melaksanakan setiap keputusan yang didukung oleh seluruh kelompok.
5. Delegate
Apabila kelompok telah berfungsi secara mandiri tanpa pemimpinnya,
maka ia dapat menyerahkan masalah tersebut pada kelompok. Kelompok
mencapai keputusan tanpa keterlibatan langsung pemimpin, tetapi
pemimpin memberikan dukungan, arahan, klarifikasi, dan sumber daya
seperti yang diinginkan oleh kelompok.

Model normatif Vroom tidak menganjurkan satu metode pengambilan keputusan yang
lebih unggul dari yang lain. Sebaliknya, situasi perlu dipertimbangkan dan dipilih pendekatan
yang paling sesuai dengan konteks yang diberikan. Salah satu faktor terpenting yang perlu
dipertimbangkan adalah pentingnya keputusan itu sendiri. Apabila masalah tidak terlalu
penting, maka dapat diselesaikan dengan menggunakan metode yang melibatkan paling
sedikit waktu dan individu. Namun, apabila masalah menjadi semakin penting, faktor
situasional lain juga harus dipertimbangkan, seperti: a) Apakah pemimpin memiliki
pengetahuan yang substansial tentang masalah tersebut? b) Apakah kelompok mengetahui
lebih banyak tentang masalah tersebut? c) Akankah kelompok berkomitmen pada solusi dan
implementasinya apabila tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, serta apakah itu
penting?

d) Seberapa baik anggota kelompok bekerja sama? e) Apakah konflik dalam kelompok begitu
tinggi sehingga anggota tidak dapat bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut? Secara
umum, apabila masalahnya sederhana, pemimpinnya cukup tahu konsekuensi dari keputusan
yang buruk relatif kecil. Sebaliknya, pendekatan yang berfokus pada kelompok paling baik
apabila diperlukan solusi berkualitas tinggi, bersama dengan dukungan kelompok untuk
menerapkannya. Namun, pemilihan pendekatan individu atau pendekatan kelompok begitu
kompleks sehingga Vroom dan rekan-rekannya telah mengembangkan program komputer
yang memandu pilihan antara memutuskan, berkonsultasi, memfasilitasi, dan mendelegasikan
(Vroom, 2003).

Model normatif menyintesis studi kepemimpinan, pengambilan keputusan kelompok,


dan keadilan prosedural untuk memprediksi kapan pilihan harus dibuat oleh otoritas, serta
kapan pilihan harus ditangani oleh kelompok. Meskipun model yang dibuat terlalu
menyederhanakan proses yang kompleks, model tersebut menerjemahkan ide-ide teoretis
menjadi saran-saran konkret sebagai pendekatan praktis dalam pengambilan keputusan
kelompok. Penelitian yang ada juga mendukung asumsi dasar yang mendasari model
tersebut. Misalnya, Vroom dan rekan-rekannya melaporkan bahwa ketika manajer ahli
membaca studi kasus keputusan kepemimpinan membuat rekomendasi tentang metode
kepemimpinan yang sesuai, saran mereka bertepatan dengan prediksi model normatif
(Vroom, 2003).

Group as Imperfect Decision Maker

Banyak yang merasa diskusi dalam sebuah kelompok buang-buang waktu, sehingga
muncul beberapa candaan, seperti “Mencoba memecahkan masalah dalam kelompok seperti
membereskan kemacetan dengan membunyikan bel kendaraanmu.” (Forsyth, 2010).
Meskipun informasi yang didapat akan jauh lebih besar dan berpotensi untuk meredakan ego
individu dengan adanya kelompok, seringkali tujuan belum tercapai. Menurut Forsyth (2010),
ada beberapa alasan mengapa diskusi kelompok seringkali tidak efektif.

A. Kesulitan dalam Diskusi Kelompok


Dalam diskusi kelompok, kesalahpahaman tentu tidak dapat dihindari. Hal ini dapat
disebabkan oleh banyaknya anggota kelompok yang kesulitan mengungkapkan
maksudnya secara jelas, sehingga terjadi kesalahan dalam menangkap pesan. Tidak
hanya itu, menurut Campbell (1958), Collins & Guetzkow (1964), ada beberapa hal
yang mempengaruhi kesalahan dalam penangkapan pesan, antara lain:

1. Level (menyederhanakan pesan)


Ini adalah bukti bahwa manusia merupakan cognitive miser. Manusia
senantiasa menghemat energi untuk mencerna pesan-pesan kompleks dan
lebih memilih mencerna informasi yang sederhana.
2. Sharpen (memoles perbedaan atau pesan)
Sebagai contoh, membumbui suatu cerita dengan pesan yang lebih
dramatis.
3. Assimilate (menginterpretasikan informasi agar sesuai dengan
kepercayaan pribadi)
Ini termasuk confirmation bias, yaitu suatu keadaan di mana individu
memercayai, mencari, dan mengolah informasi yang mengonfirmasi
kepercayaan awal individu. Ini tentu menghambat individu untuk
menerima informasi baru yang lebih valid dibandingkan dengan
pengetahuan awal individu.
Salvo, Nikkel, & Monroe (1989) melakukan percobaan dengan
menanyakan “Apa yang membatasi efektivitas sebuah pertemuan?” pada
569 pekerja penuh waktu yang menunjukkan permasalahan dalam
pengambilan keputusan, antara lain:
a. Kemampuan komunikasi
b. Perilaku egosentris
c. Kepasifan anggota
d. Melenceng dari topik awal
e. Interupsi
f. Perilaku negatif pemimpin
g. Sikap dan emosi

Kemampuan komunikasi masuk dalam pengaruh tertinggi. Hal ini


membuktikan penjelasan di atas mengenai penyebab kegagalan suatu diskusi
adalah kesalahpahaman yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan
komunikasi.

Menurut Janis & Mann (1977), diskusi kelompok lebih digunakan


untuk menghindari permasalahan daripada mengambil keputusan. Hal ini
dapat disebabkan dan terlihat dari hal-hal sebagai berikut :

a. Prokrastinasi, yaitu kondisi kelompok lebih memilih menunda


keputusan daripada mencari alternatif lain.
b. Menyetujui hal yang terlihat baik tanpa memikirkannya secara penuh.
c. Menolak tanggung jawab dengan melimpahkannya ke pihak lain.
d. Satisficing, yaitu menerima solusi yang mudah dan berisiko rendah
daripada mencari solusi terbaik.
e. Lebih memilih berfokus pada isu yang kecil daripada isu yang luas.

B. The Shared Information Bias


Kondisi di mana individu membicarakan informasi yang telah diketahui
banyak anggota (shared information) dan menyimpan sendiri atau sedikit
membicarakan informasi yang tidak diketahui umum (unshared information) dapat
menjadi berbahaya. Apabila informasi yang tidak dibagikan tersebut mengandung
informasi yang sangat dibutuhkan dan berpengaruh pada keputusan terbaik, tetapi
tidak ada yang mendapatkan informasi tersebut, kelompok akan mengambil keputusan
dengan infomasi yang sudah diketahui seluruh anggota saja (Forsyth, 2010).
Bias semakin kuat apabila diskusi hanya digunakan untuk mencapai
kesepakatan, bukan keputusan terbaik. Dalam mencapai kesepakatan, kuncinya adalah
persetujuan seluruh atau sebagian besar anggota kelompok. Di sini individu akan
cenderung pasif dan menyimpan informasinya karena dianggap tidak penting atau
bahkan dapat memperpanjang diskusi yang sebelumnya hampir mencapai kesepakatan
(Forsyth, 2010). Bias ini merefleksikan nature of group discussion, yaitu kondisi
kelompok yang berjuang menemukan keputusan terbaik sekaligus memiliki motif
lain, yaitu membentuk reputasi diri yang baik dan bersaing dengan sesama anggota
kelompok (Wittenbaum, et al., 2004).
Menurut Wittenbaum (1998), ada beberapa cara mencegah bias, antara lain:
a. Menghadirkan anggota senior yang berpengalaman, karena menurut
studi mengenai pengambilan keputusan pada anggota medis, tercatat
anggota senior memberikan penekanan lebih pada unshared
information.
b. Menggunakan pendekatan advokasi daripada diskusi umum. Menurut
Loue (2006), pendekatan advokasi adalah pendekatan yang melibatkan
pemimpin, media massa dan kemitraan, serta memobilisasi massa agar
motivasi individu dapat ditarik ke arah kelompok atau secara kolektif.
Selain itu, pendekatan advokasi berfungsi untuk membangun kapasitas
pengelolaan program yang mendukung kemampuan advokasi.
c. Menekankan pentingnya perbedaan pendapat agar mendapatkan
peningkatan keragaman opini dalam kelompok. Hal ini memotivasi
individu untuk mengeluarkan gagasan dalam pikirannya.
d. Penggunaan GDSS (Group Decision Support System). GDSS adalah
perangkat yang membantu memecahkan masalah dengan menyediakan
tempat diskusi yang mendukung pertukaran pendapat dan diskusi
organisasi. Contohnya adalah email, conference, dll.

C. Kesalahan Pengambilan Keputusan


Seringkali, keputusan yang diambil sebuah kelompok justru merugikan atau
kurang tepat, beberapa kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat disebabkan
oleh pengabaian informasi penting dan penggunaan informasi tidak penting secara
berlebihan. Selain itu, dapat disebabkan oleh permasalahan kognitif individu, seperti
bias. Menurut Kerr, MacCoun, & Kramer (1996), ada tiga tipe kesalahan seperti pada
tabel berikut ini.

Anda mungkin juga menyukai