Anda di halaman 1dari 29

GROUP COMMUNICATION THEORY

NAMA DOSEN:

Dr. Muhamad Aras, S.Pd., M.Si

DISUSUN OLEH

Cakry Lientang W 2201923482

Inneza Dinda Pradyani 2201923476

Yuanita Amalia 2201923463

Master of Strategic Marketing Communication


Binus Graduate Program
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
2021
BAB I

LATAR BELAKANG

Komunikasi dalam kelompok merupakan bagian dari kegiatan keseharian.


Sejak lahir sudah mulai bergabung dengan kelompok primer yang paling dekat,
yaitu keluarga. Kemudian seiring dengan perkembangan usia dan kemampuan
intelektualitas, masuk dan terlibat dalam kelompokkelompok sekunder seperti
sekolah, lembaga agama, tempat pekerjaan dan kelompok sekunder lainnya yang
sesuai dengan minat ketertarikan
Kelompok memiliki tujuan dan aturan-aturan yang dibuat sendiri dan
merupakan konstribusi arus informasi diantara mereka. Sehingga mampu
menciptakan atribut kelompok sebagai bentuk karakteristik yang khas dan melekat
pada kelompok itu. Kelompok adalah sekumpulan orang-orang yang terdiri dari
dua atau tiga orang bahkan lebih. Kelompok mempunyai hubungan yang intensif
di antara mereka satu sama lainnya terutama kelompok primer. Kelompok
memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan masing-masing pribadi dalam kelompok
dan tujuan kelompok itu sendiri (Bungin, 2009).
Komunikasi kelompok (group communication) termasuk komunikasi tatap
muka karena komunikator dan komunikan berada dalam situasi saling berhadapan
dan saling melihat. Komunikasi kelompok adalah komunikasi dengan sejumlah
komunikasi. Karena jumlah komunikan itu menimbulkan konsekuensi, jenis ini
diklasifikasikan menjadi komunikasi kelompok kecil dan kelompok komunikasi
besar (Effendy, 2011)

1
BAB II

KAJIAN TEORITIS

1. TEORI PEMIKIRAN KELOMPOK

Groupthink Theory atau teori pemikiran kelompok yang dikemukakan oleh


Irving Janis. Dalam groupthink theory dinyatakan bahwa ketika anggota
kelompok memiliki nasib yang sama, mereka sangat menjunjung tinggi adanya
kohesivitas, karena dipengaruhi oleh kesamaan perasaan yang dimiliki oleh
anggota kelompok atau investasi emosional, sehingga pada akhirnya mereka
cenderung untuk mempertahankan identitas kelompok (West dan Turner, 2008).
Adanya pencapaian kebulatan suara dalam memecahkan masalah di dalam
kelompok, membuat mereka mengesampingkan motivasi mereka dalam menilai
alternatif-alternatif tindakan yang realistis (Mulyana, 2005).

Groupthink yang bersifat kohesif (terpadu) yaitu ketika ada usaha-usaha


keras di dalam kelompok yang dilakukan untuk mencapai suatu mufakat bersama,
untuk mencapai itu suara kolompok ini harus memiliki sikap yang sama untuk
meraih tujuan yang sama dan dapat mempererat hubungan di dalam kelompok
tersebut. Kepaduan dapat menjadi suatu hal yang baik karena membawa anggota
kelompok secara bersama-sama mempererat hubungan antar pribadi (Littejohn,
2013).

Irving Janis (dalam West dan Turner, 2008) mengungkapkan teori


groupthink memfokuskan pada kelompok pemecahan masalah (problem-solving
group) dan kelompok yang berorientasi pada tugas (task-oriented group). Tujuan
utamanya kedua kelompok tersebut adalah untuk mengambil keputusan dan
memberikan rekomendasi kebijakan. Tiga asumsi penting dikemukakan Irving
Janis (dalam West dan Turner, 2008) yang muncul dalam menuntun teori
groupthink ini, yaitu:

2
1. Terdapat kondisi-kondisi dalam kelompok yang menyebabkan tingginya
tingkat kohesivitas. Dalam asumsi ini dapat diamati bahwa anggota-anggota
dalam suatu kelompok seringkali memiliki perasaan yang sama atau investasi
emosional, dan akhirnya mereka cenderung untuk mempertahankan identitas
kelompok (West dan Turner, 2008). Menurut Janis dalam Bernthal (1993),
kohesivitas kelompok dapat memfasilitasi adanya pengambilan keputusan, dan
terjadinya groupthink lebih sering ditemui pada konteks dimana sebuah
kelompok didominasi adanya aspek kohesi secara sosial-emosional, yang
berorientasi untuk meningkatkan dan mempertahankan hubungan sosial di
dalam kelompok. Kohesi kelompok sendiri didefinisikan sebagai sebuah
tingkatan yang tinggi dari anggota dalam menilai keanggotaan mereka dalam
kelompok dan ingin terus bergabung di dalamnya (Bernthal, 1993).

2. Proses pemecahan masalah di dalam kelompok biasanya merupakan proses


yang menyatu. Menurut Gouran (dalam West dan Turner, 2008), ketika
anggota kelompok benar-benar berpartisipasi, karena mereka takut ditolak,
pada akhirnya mereka memiliki ketertarikan untuk mengikuti pemimpin ketika
saat pengambilan keputusan tiba.

3. Sifat dasar dari kebanyakan kelompok pengambilan keputusan dan kelompok


yang berorientasi pada tugas, bersifat kompleks. Marvin Shaw, Janet Fulk, dan
Joseph McGrath (dalam West dan Turner, 2008) mengemukakan bahwa
terdapat banyak pengaruh dalam kelompok, di antaranya adalah perbedaan
usia, sifat kompetitif individu, ukuran kelompok, kecerdasan anggota,
komposisi gender, dan gaya kepemimpinan yang ada, serta latar belakang
budaya dari tiap individu yang ada di dalam kelompok tersebut. Oleh karena
itulah, kelompok dan keputusan kelompok dapat menjadi sulit dan menantang,
tetapi melalui kerja kelompok, mereka dapat mencapai tujuan dengan lebih
baik dan efisien (West dan Turner, 2008).

Janis (dalam Littlejohn, 2013) pun mengungkapkan adanya sejumlah


gejala dalam fenomena teori pemikiran kelompok, yaitu:

3
1. Solusi kebal (illusion of invulnerability), ditunjukkan dari upaya anggota
menciptakan optimisme yang kuat dalam kelompok.

2. Kelompok menciptakan usaha kolektif untuk merasionalkan serangkaian


tindakan yang diputuskan.

3. Kelompok menjaga sebuah kepercayaan yang tidak terpatahkan dalam


moralitas bawaannya, dan membuat kelompok termotivasi dan bekerja
untuk hasil yang terbaik.

4. Kelompok memiliki stereotipe yang negatif terhadap kelompok-kelompok


luar, kelompok saingan atau musuh.

5. Tekanan langsung (direct pressure) mendesak anggota untuk tidak


mengungkapkan pendapat yang berbeda.

6. Sensor diri (self-censorship), membuat individu mengurungkan niat untuk


menyampaikan pendapat yang berlawanan dan akhirnya menekan mereka
untuk diam.

7. Ilusi mufakat (illusion of unanimity) terjadi dengan keputusan yang


seolaholah disepakati bersama, dan membuat kelompok merapatkan
solidaritas.

8. Munculnya pikiran waspada (mindguards) untuk melindungi kelompok


dan pemimpin dari opini maupun informasi yang berlawanan dan tidak
diinginkan.

Karena terlalu banyak energi yang tercurahkan untuk membangun


hubungan yang positif, hal ini pula yang dapat mempengaruhi pada pemikiran
kelompok. Selain dapat membawa hal positif, Janis menyimpulkan bahwa
pemikiran kelompok juga dapat menghasilkan sesuatu yang negatif (Littejohn,
2013).

4
1. Kelompok membatasi diskusi hanya untuk beberapa alternatif tanpa
mempertimbangkan kemungkinan kreatif.

2. Posisi awal diberikan oleh sebagian besar anggota tidak pernah dikaji kembali
untuk mencari hal yang tidak dapat diduga. Dengan kata lain, kelompok tidak
kritis dalam menguji percabangan solusi.

3. Kelompok gagal untuk menguji kembali semua alternatif yang bukan dari
mayoritas. Pendapat minoritas dengan cepat dibubarkan dan diabaikan, tidak
hanya oleh mayoritas, namun oleh semua yang awalnya sepihak.

4. Pendapat para ahli tidak dicari, melainkan kelompok puas dengan pendapat
dan kemampuannya sendiri untuk membuat keputusan dan mungkin merasa
terancam oleh orang luar kelompok.

5. Kelompok sangat selektif dalam mengumpulkan dan menghadirkan informasi


yang ada. Anggota cenderung memusatkan hanya pada informasi yang
mendukung rencana.

6. Kelompok begitu percaya diri dengain ide-idenya yang tidak


mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada dari rencana dan
tidak meramalkan kegagalan dari sebuah rencana serta rencana cadangan.

Ada tiga faktor yang mendukung terjadinya teori pemikiran kelompok


antara lain:

1. Kohesifitas tinggi

Kohesifitas atau keterpaduan kelompok dapat menuntun suatu kelompok pada


sebuah teori pemikiran kelompok. Dalam sebuah kelompok yang memiliki
kohesifitas tinggi maka tugas-tugas anggota dikerjakan dengan penuh
semangat dan antusias. Walau memang keuntungannya bisa mengerjakan
tugasnya dengan baik tetapi ada tekanan terhadap sesama anggota untuk
memenuhi standar kelompok. Biasanya anggota kelompok jadi mengikuti

5
keputusan kelompok daripada mengemukakan pendapat yang bertentangan
alasannya karena takut adanya penolakan dari kelompok.

2. Faktor Struktural

Karakteristik struktural spesifik atau kesalahan mendorong terjadinya teori


pemikiran kelompok. Faktor ini juga berhubungan dengan isolasi kelompok,
yakni:

a. Isolasi kelompok (isolation group)

Sebuah kelompok menutup kelompoknya dari pendapat dari kelompok


luar yang memengaruhi keputusan kelompok. Padahal ada kemungkinan
pendapat kelompok luar tersebut membantu pengambilan keputusan.

b. Kekurangan kepemimpinan imparsial (lack of imparsial leadership)

Sebuah kelompok dipimpin oleh pemimpin yang memiliki minat pribadi


terhadap hasil akhir. Pemimpin seperti ini tidak akan mendengarkan opini
alternatif lain dari anggota kelompok.

c. Kurangnya prosedur pengambilan keputusan (lack of decision making


procedure)

Tidak adanya prosedur dalam mengambil keputusan dalam suatu


kelompok dan kegagalan untuk memiliki norma yang berpengaruh dalam
mengevaluasi masalah.

d. Homogenitas latar belakang (homogeneity of members background)

Tanpa keragaman latar belakang sosial, pengalaman, dan ideologi akan


mempersulit pengambilan keputusan yang diambil dari sudut pandang
yang berbeda.

6
3. Tekanan Kelompok

Jika dalam sebuah kelompok yang sedang berdiskusi mengambil keputusan


suatu masalah sedang mengalami tekanan yang berat dari dalam atau pun dari

Asumsi Teori Pemikiran Kelompok

Berikut merupakan 3 asumsi penting dalam Groupthink Theory:

1. Kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas yang


tinggi, mengamati bahwa anggota kelompok sering kali memiliki perasaan
yang sama atau emosional, maka mereka cenderung untuk mempertahankan
identitas kelompok. Pemikirian kolektif ini biasanya menyebabkan sebuah
kelompok memiliki hubungan yang baik, tetap bersatu, memiliki semangat
kebersamaan dan memiliki kohesivitas tinggi.

2. Kedua, pemecahan masalah kelompok pada dasarnya merupakan suatu proses


terpadu. Jadi, menyadari situasi ini, anggota kelompok, pada dasarnya
berjuang untuk mendapatkan kebersamaan tersebut. Dennis Gouran (1998)
mencatat bahwa kelompok-kelompok yang rentan terhadap keterbatasan
anggota, yang berarti bahwa anggota kelompok memegang masukan atau
informasi mereka sendiri daripada risiko penolakan dari grup. Menurut
Gouran, ketika anggota kelompok berkontribusi, memiliki perasaan takut
ditolak. Dan anggota kelompok lebih termotivasi untuk mengikuti pemimpin
mereka saat pengambilan keputusan diwaktu yang diperlukan.

3. Kelompok dan proses pengambilan keputusan kelompok sering kompleks.


Asumsi ini bergantung pada sifat kelompok dalam pemecahan masalah dan
tugas biasanya sulit atau rumit. Dalam perjalanan menuju pengambilan
keputusan, kelompok harus berurusan dengan negosiasi, dan kompleksitas
yang sulit dalam kelompok. Negosiasi akan terjadi, oleh karena itu kelompok
dan keputusan kelompok dapat menjadi lebih sulit, namun lazimnya melalui
kerja kelompok, orang dapat mencapai tujuan mereka dengan lebih baik dan

7
lebih efisien.

2. TEORI PENYUSUNAN
Teori strukturasi atau structuration theory adalah teori umum mengenai
tindakan sosial yang merupakan hasil pemikiran sosiologis Inggris terkenal,
Anthony Giddens. Kata kunci dalam teori strukturasi: “struktur” dan “agensi”.
Menurut Anthony Giddens yang dimaksud dengan “struktur” adalah
“rules and resources” yang dipakai pada produksi dan reproduksi sistem.
Sedangkan “agensi” adalah individu. Dalam teori ini, struktur dan agensi tidak
dipandang sebagai dua hal yang terpisah, karena jika demikian akan muncul
dualisme struktur-agensi. Struktur dan agensi, menurut Giddens, harus dipandang
sebagai dualitas (duality), dua sisi mata uang yang sama. Teori Konvergensi
Simbolik yang diteliti dari riset Robert Bales mengenai komunikasi dalam
kelompok-kelompok kecil. Kemudian gagasan tersebut di kembangkan oleh
Ernest Bormann dan kemudian direplikasi ke dalam tindakan retoris masyarakat
dalam skala yang lebih luas dari sekedar proses komunikasi kelompok kecil.
Menjelaskan terkait suatu proses pertukaran pesan yang menimbulkan
kesadasaran suatu kelompok yang menghasilkan sebuah makna, motif dan
persamaan bersama (Littejohn, 2013)
Teori ini menyatakan bahwa tindakan manusia adalah proses
menghasilkan dan mereproduksi berbagai sistem sosial melalui praktik, Dengan
kata lain, ketika kita berkomunikasi satu sama lain, kita menciptakan struktur —
pola aturan dan norma — yang berkisar dari institusi sosial dan budaya yang besar
hingga hubungan individu yang lebih kecil, saling mempengaruhi dan hal ini
berlangsung terus menerus, tanpa henti.
Giddens membedakan 3 (tiga) dimensi internal pelaku, yaitu motivasi tak
sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical consciousness), dan
kesadaran diskursif (discursive consciousness) (Littejohn, 2013).
Asumsi utama yang diajukan Giddens diambil dari sosiologi interpretif
terkait kemampuan manusia untuk mengetahui (knowledgeability) dan
keterlibatan kemampuan tersebut dalam pengambilan tindakan. Menurutnya,

8
‘menjadi manusia’ adalah menjadi agent yang memiliki tujuan yang tidak hanya
memiliki alasan logis bagi tindakannya, tetapi juga mampu melakukan elaborasi
diskursif atas alasan-alasan tersebut. Lebih jauh, Giddens menyebut
bahwa knowledgeability memiliki bentuk reflektif yang merupakan bagian penting
dari praktik sosial yang berulang. (Littejohn, 2013)
Dalam (Griffin, 2003) Ada beberapa istilah yang perlu dipahami untuk
memahami teori ini, yaitu:
1. Fantasy Chain

 Bormann memberi makna bahwa rantai fantasi yaitu serangkaian ide di


mana para anggotanya tergabung bersama seperti sebuah fantasi. Ia
mencadangkan istilah fantasi untuk mendramatisasi pesan yang dengan antusias
dianut oleh seluruh kelompok. Sebagian besar pesan yang mendramatisasi tidak
mendapatkan reaksi seperti itu. Mereka sering kali tidak mau mendengarkan, atau
anggota kelompok mendengarkan tetapi bersikap cuek terhadap apa yang
dikatakan. Namun seperti yang dicatat Bormann, "Beberapa pesan yang
mendramatisasi menyebabkan ledakan simbolis dalam bentuk reaksi berantai di
mana anggota bergabung sampai seluruh kelompok menjadi hidup”. Rantai fantasi
membawa yang ada di dalam kelompok satu ma lain saling berbagi cerita ke
dalam konvergensi simbolik. Rantai fantasi menciptakan landasan pengertian
bersama sehingga membuat kelompok mampu mencapai komunikasi yang
empatik.
2. Fantasy Theme
Definisi teknis Bormann tentang fantasi adalah "interpretasi bersama yang
kreatif dan imajinatif dari peristiwa yang memenuhi kebutuhan psikologis atau
retorika kelompok". Borman mendefinisikan bahwa tema fantasi adalah sebuah isi
pesan yang di dramatisasi hingga menciptakan rantai fantasi. Pikirkan tema fantasi
sebagai isi pesan yang mendramatisasi yang berhasil memicu rantai fantasi.
Karena tema fantasi mencerminkan dan menciptakan budaya kelompok, semua
peneliti SCT berusaha mengidentifikasi tema atau tema fantasi yang dimiliki
anggota kelompok.
3. Fantasy Type

9
Fantasi dengan tema yang berulang saat dibicarakan pada situasi, karakter
dan juga latar belakang yang lain, namun dengan alur cerita yang serupa atau
sama. Ketika kerangka narasi sama sama, tapi karakter, tokoh, atau settingnya
berbeda, maka tema tersebut dapat diartikan masuk ke dalam satu jenis fantasi
yang sama. Sementara, bila terdapat beberapa tema fantasi, atau kerangka narasi
yang berbeda, itu berarti terdapat beberapa tipe fantasi.
4. Rhetorical Vision
Seperti yang dijelaskan Bormann, “Fantasi yang dimulai dalam kelompok
kecil sering kali dijadikan pidato publik, diangkat oleh media massa dan
'disebarluaskan ke publik yang lebih luas”. Perkembangan fantasi tersebut akan
menjadi fantasi masyarakat luas dan membentuk rhetorical community
(komunitas retoris). Dalam setiap analisis fantasi atau visi retoris yang lebih luas,
selalu terdapat empat elemen pokok, yaitu: (1) tokoh-tokoh yang terlibat
(dramatic personae atau character); (2) Alur cerita (plot line); (3) latar (scene) ;
dan (4) agen penentu kebenaran cerita (sanctioning agents).
3. TEORI FUNGSIONAL
Teori fungsional komunikasi kelompok memandang proses sebagai
instrumen dimana kelompok membuat keputusan, menekankan hubungan antara
kualitas komunikasi dan kualitas output kelompok. Komunikasi melakukan
sejumlah hal atau persimpangan dalam sejumlah cara untuk menentukan hasil
kelompok (Littlejohn, 2013).
Ini adalah cara berbagi informasi, adalah cara anggota kelompok
mengeksplorasi dan mengidentifikasi kesalahan dalam berpikir, dan merupakan
alat persuasi. Pendekatan fungsional telah sangat dipengaruhi oleh pragmatik
mengajar diskusi kelompok kecil.Dalam buku Littlejohn mengenai Teori Analisis
Proses Interaksi (Interaction-Process Analysis) menekankan komunikasi
merupakan percakapan di mana memfokuskan diri untuk berinteraksi antara
manusia dengan manusia daripada karakteristik individu. Di mana pergerakannya
dinamis dalam membentuk dan memahami kelompok itu sendiri, biasanya dimulai
atau memfokuskan pada kelompok yang lebih kecil.

10
Komunikasi adalah alat untuk menyampaikan informasi, komunikasi
adalah cara anggota kelompok menjelajahi dan mengenal kesalahan dalam
pemikiran, dan komunikasi juga berfungsi sebagai alat persuasi. Pendekatan
fungsional sangat dipengaruhi oleh sifat pragmatis pengajaran diskusi kelompok
kecil. Menurut Dowey, proses pemecahan masalah dalam kelompok terdiri dari
enam langkah yaitu: (1) pernyataan kesulitan, (2) penentuan masalah, (3) analisis
masalah, (4) saran penyelesaian, (5) membandingkan alternatif dan pengujian
alternatif terhadap seperangkat tujuan atau kriteria, dan (6) melaksanakan solusi
terbaik (Littlejohn, 2013).
Rudy Hirokawa dan rekannya menjelaskan bagaimana kelompok dapat
membuat keputusan yang keliru. Ia bermaksud mengindentifikasi faktor-faktor
yang seharusnya dipertimbangkan kelompok agar dapat mengambil keputusan
yang benar sehingga kelompok dapat menjadi lebih efektif. Kelompok biasanya
memulai dengan mengitentifikasi dan menilai suatu masalah (identifying and
assessing a problem), dan pada tahap ini mereka harus menjawab pertanyaan
seperti: apa yang terjadi? mengapa? siapa yang terlibat? apa bahayanya? siapa
yang dirugikan?. Selanjutnya, kelompok harus mengumpulkan dan mengevaluasi
informasi (gather and evaluates informasition) mengenai masalah yang dihadapi.
Ketika kelompok membahas berbagai kemungkinan solusi, informasi akan terus
diterima dan terkumpul. Kemudian kelompok membuat berbagai usulan alternatif
(alternative proposals) untuk mengatasi masalah dan mereka juga membahas
tujuan (objectives) yng ingin dicapai dalam pemecahan masalah. Berbagai tujuan
dan usulan alternatif kemudian dievaluasi dengan tujuan akhirnya adalah untuk
mencapai k terhadap arah tindakan yang hendak diambil. Berbagai faktor yang
berperan mengahasilkan keputusan yang salah dapat dengan mudah dilihat dari
proses pengambilan keputusan. Pertama, penilaian masalah yang dilakukan secara
tidak sepatutnya (improper assessment) yang disebabkan analisis situasi yang
tidak cukup atau tidak tepat. Kelompok gagal melihat masalah atau kelompok
tidak secara tepat mengidentifikasi sebab-sebab masalah. Sumber kesalahan kedua
dalam pengambilan keputusan adalah penetapan tujuan yang tidak tepat
(inappropriate goal and objectives). Kelompok menolak atau mengabaikan

11
tujuan-tujuan penting yang dicapai, atau kelompok mengerjakan hal-hal yang
sebenarnya tidak perlu. Masalah yang ketiga adalah penilaian kualitas positif atau
negatif yang tidak sesuai (improper assessment of positive and negative qualities),
yaitu mengabaikan kelebihan atau kekurangan tertentu atau mengabaikan
keduaduanya, atau kelompok terlalu melebih-lebihkan hasil positif atau negatif
yang diharapkan. Keempat, kelompok mengembangkan basisi informasi yang
tidak mencukupi (inadequate information base) yang dapat terjadi dalam beberapa
cara yaitu menolak informasi yang valid dan menerima informasi yang tidak
valid. Terlalu sedikit menerima informasi atau sebaliknya terlalu banyak
informasi yang diterima dapat menimbulkan kelebihan beban kerja dan
kebingungan. Terakhir berdasarkan informasi yang diterima kelompok ternyata
membuat “alasan yang salah” (fauly reasoning) untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu (Griffin, 2003).
Menurut Bales dalam buku (littlejohn, 2013):
1. Ketika manusia tidak memberikan suatu informasi yang tidak cukup,
kelompok tersebut akan memiliki “permasalahan dalam komunikasi”.
2. Jika manusia tidak berbagi opini, kelompok tersebut akan mengalami
“permasalahan dalam evaluasi”.
3. Jika mereka tidak memberi atau tidak meminta suatu saran, kelompoknya akan
mengalami derita “permasalahan dalam kendali”.
4. Ketika suatu kelompok tidak adanya kesepakatan, anggotanya akan terkena
efek “permasalahan dalam keputusan”.
5. Jika terdapat dramatisasi yang tidak dapat mencukupi, lalu akan timbul
“permasalahan ketegangan”.
6. Pada akhirnya ketika kelompok tidak ramah, maka akan muncul
“permasalahan dalam reintegrasi”, seperti yang diartikan oleh Bales yaitu
kelompok tidak akan bisa membangun kembali suatu perasaan kesatuanatau
kepaduan dalam kelompok.

Teori fungsional membatasi prediksinya untuk pengambilan keputusan


dan masalah menyelesaikan kelompok yang mencoba bekerja dengan cara yang
rasional, memiliki sumber daya dan kemampuan untuk memecahkan masalah, dan

12
termotivasi untuk membuat keputusan yang baik. teori fungsional mengusulkan
bahwa komunikasi dalam kelompok yang efektif akan mencakup pertimbangan
kriteria untuk keputusan yang efektif. Didalam sebuah kelompok juga dibutuhkan
komunikasi untuk memberikan penjelasan kepada para anggota tentang apa yang
harus dilakuka dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja.
Diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk mencapai citacita dan
tujuan yang mufakat dalam suatu kelompok.  Melalui komunikasi dalam
kelompok, dapat membangun kebersamaan antar pengurus dan anggota, sehingga
dapat menghindari dan mengatasi terjadinya konflik-konflik di dalamnya
(Morissan, 2013).

4. FEMINIST CRITIQUE COMMUNICATION IN SMALL GROUP

Teori Feminist Critique of Small Group Theory dikembangkan oleh


Robert D. Bales. Teori ini berawal dari kritik terhadap kelompok-kelompok kecil
dari para cendikiawan feminist, mereka mencoba memberikan penjelasan tentang
strategi komunikatif yang digunakan oleh para perempuan untuk mengatasi
tindakan penindasan terhadap perempuan. Teori ini memiliki beberapa subteori,
yaitu bahasa dan gender, akses ke ruang publik dan suara didalam ruang tersebut,
cara peneliti teori komunikasi feminis berteori tentang feminisme dan teori, dan
teori tentang maskulinitas dan identitas.

1. Bahasa dan gender

Teori in mencoba untuk menjelaskan korelasi antara gender, jenis kelamin, dan
bahasa dalam setiap percakapan yang berlangsung. Pembahasannya fokus pada
bagaimana gender membatasi dan mempengaruhi cara berkomunikasi antara laki-
laki dan perempuan. Para feminist berasumsi bahwa sebagian besar masyarakat
memiliki asumsi bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan bertindak dan
melakukan komunikasi sesuai dengan apa yang telah tertanam di masyarakat. Hal
ini memiliki dampak yang cukup kuat untuk mempengaruhi seseorang dalam
berkomunikasi.

13
2. Akses ke ruang publik dan suara didalam ruang tersebut

Teori ini mencoba menjelaskan tentang siapa saja yang sebenarnya memiliki
akses ke ruang publik, memiliki suara di dalam ruang tersebut, dan hal-hal apa
saja yang membatasi dalam ruang tersebut. Ketika membahas tentang akses pada
ruang publik, para feminis berfokus pada peranan dan pembatasan yang dihadapi
oleh perempuan dalam ruang kerja mereka. Bagaimana suatu perusahaan atau
organisasi membangun identitas khusus bagi laki-laki dan perempuan dan
bagaimana mereka berusaha mempertahankan tahta atau posisi mereka dalam
struktur perusahaan.

3. Teori tentang maskulinas dan identitas

Teori ini membantu untuk memahami bagaimana nilai komunikasi dan ekspektasi
membuat individu bertindak sesuai dengan apa yang telah dibangun oleh
masyarakat. Hal ini secara singkat memaksaan individu untuk melakukan praktik
komunikasi sesuai dengan apa yang ditetapkan. Teori ini memberik perhatian
lebih pada ideologi dan asumsi yang belum benar adanya, asumsi ini hanya
dibangun untuk kepentingan sebelah pihak.

5. MUTED THEORY

Muted theory dikembangkan oleh Edwin Ardener dan Shirley Ardener yang
berfokus pada cara-cara praktik komunikasi kelompok dominan yang membukam
atau merendakahkan kata-kata, gagasan, dan wacana kelompok minoritas. Secara
singkat “Muted Theory” membahas tentang pembungkaman suatu kelompok
tertentu atau kelompok monoritas, biasanya sering terjadi pada perempuan,
misalnya dalam hal politik dengan membatasi suara atau partisipasi mereka. Teori
ini berkaitan dengan apa dan seberapa banyak orang dengan status sosial yang
berbeda berkomunikasi. Kapan dan dimana mereka berbicara, dengan kata dan
konsep apa, dalam metode dan saluran apa, dan dengan akibat apa.

14
Cheris Kramarae, mengembangkan kembali teori ini dan memfokuskannya secara
lebih spesifik pada komunikasi. Gagasan utamanya adalah, perbedaan pengalaman
yang disebabkan oleh pembangian kerja yang tidak seimbang menghasilkan
persepsi yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Hal ini membuat wanita
merasa sulit untuk mengartikulasikan sebuah ide karena pengalaman mereka tidak
banyak. Oleh karenanya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial mereka (para
perempuan) harus melalui proses penerjemah untuk mengartikulasikan sebua
fenomena dan bertindak dalam lingkungannya.

6. SOCIAL IDENTITY THEORY

Social identity theory berfokus pada bagaimana seseorang mencapai sebuah


identitas sosial di dalam sebuah kelompok. Identitas sosial ini merupakah hasil
dari kedudukan dan pencapaian seseorang yang berhadapan dengan individu atau
kelompok lainnya. Pada umumnya, setiap kelompok akan saling berjuang dan
berkompetisi untuk mendapatkan kekuasaan, startus, dan prestis. Berikut ini ada
beberapa cara yang digunakan oleh individu mendapatkan identitas sosial mereka;

1. Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial adalah strategi yang digunakan individual untuk membentuk
identitas sosial dengan meninggalkan suatu kelompok yang tingkatnya lebih
rendah untuk menaikan hirarki status meeka.
2. Kompetisi Sosial
Kompetisi sosial atau perubahan sosial adalah sebuah strategi yang ditujukan
untuk membalikkan status sosial mereka, biasanya hal ini sering ditemui pada
kelompok-kelompok yang memiliki status lebih rendah, mereka mencoba untuk
merusak perubahan sosial dalam kasus anggota kelompok yang lebih dominan.
3. Kreativitas Sosial
Kreativitas sosial adalah sebuah strategi dimana anggota kelompok yang memiliki
status lebih rendah mencoba untuk mempertahankan identitas sosial mereka dan
para kelompok yang startusnya lebih tinggi mencoba untuk menjauhkan diri dari
anggota kelompok yang lebih rendah. Kreativitas sosial mirip dengan kompetisi

15
sosial, mereka mencoba berbagai cara untuk mempertahankan kelompoknya dan
mencari cara untuk mengejar kreativitas sosial mereka.

7. SOCIO-EGOCENTRIC AND GROUP CENTRIC THEORY

Teori ini dikemukakan oleh Joseph Bonito, dkk, didasari dengan


melakukan kritik atas Socio-Egocentric Model yang dikemukakan oleh Dean
Hawes melalui Socio-Egocentric and Group-Centric Model. Jika Hewes
berpendapat bahwa komunikasi dalam kelompok hanya dilakukan karena
anggotanya memiliki kepentingan tertentu (socio-egocentric), maka Bonito, dkk,
memiliki pendapat berbeda.
Menurut Bonito, dkk (Littlejohn, dkk., 2017), selain memiliki kepentingan
pribadi (socio-egocentric), para anggota kelompok juga melakukan komunikasi
demi kepentingan bersama (group-centric).  Tentu saja pendapat Bonito
berlawanan dengan pendapat yang dimiliki oleh Hewes.
Biasanya, komunikasi egosentris terjadi dalam kelompok jika masalah
yang perlu diselesaikan sangat mudah, kelompok dibentuk dalam sebuah
penelitian, hasil kerja yang dibutuhkan bersifat informasi dan prosedur, diskusi
dilakukan di awal kelompok terbentuk, anggota kelompok memiliki keterlibatan
yang rendah dan anggota kelompok tidak memiliki sejarah bekerja bersama
(Littlejohn, dkk., 2017).
Sedangkan komunikasi grupsentris merupakan bentuk komunikasi yang
terjadi ketika masalah yang perlu dipecahkan lebih sulit, kelompok terbentuk
secara alami, hasil kerja yang dibutuhkan bersifat pemecahan masalah dan
argumentative, diskusi dilakukan dalam proses kelompok bekerja, anggota
kelompok memiliki keterlibatan yang besar dan anggotanya pun telah memiliki
sejarah bekerja bersama (Littlejohn, dkk., 2017).

Asumsi dari teori Socio-Egocentric adalah :

 Komunikasi dalam kelompok hanya dilakukan karena anggotanya


memiliki kepentingan tertentu

16
 Terjadi dalam kelompok jika masalah yang perlu diselesaikan sangat
mudah
 Hasil kerja yang dibutuhkan bersifat informasi dan prosedur
 Anggota kelompok memiliki keterlibatan yang rendah dan anggota
kelompok tidak memiliki sejarah bekerja bersama

Asumsi dari teori Group-Centric Model adalah :

 Komunikasi dalam kelompok hanya dilakukan karena kepentingan


bersama
 Hasil kerja yang dibutuhkan bersifat pemecahan masalah dan
argumentative
 Anggota kelompok memiliki keterlibatan yang besar dan anggotanya pun
telah memiliki sejarah bekerja bersama

8. BONA FIDE GROUP THEORY


Teori kelompok bonafide (bona fide group theory) adalah merupakan
kritikan dari Linda Putman dan Cyinthia Stohl (Stohl 2003) yang diberikan
terhadap gagasan dari Robert Bales mengenai teori analisis proses. Bona fide
berarti terpercaya (bonafide), sedangkan suatu kelompok bonafide adalah
kelompok yang terbentuk secara alami.

Kelompok bonafide memiliki dua karakteristik, yaitu pertama


memiliki perbatasan yang dapat dilalui, dilewati atau ditembus maksudnya apa
yang dimaksud orang dalam dan orang luar seringkali kebur, cair, dan
berubah-ubah. Elemen ini menyatakan bahwa batasan bukanlah hal yang bisa
ditentukan dan tidak bersifat permanen, juga tidak ditentukan oleh tujuan,
tugas, lokasi fisik, dan keberadaan anggota kelompok. Secara teori, cara
dimana anggota kelompok berubah, menentukan, mengalami, dan negosiasi
batasannya dapat ditemukan dalam nexus interaktif diantara:

a. Menjadi anggota beberapa kelompok berbeda.

17
b. Anggota kelompok memiliki peranan yang representatif akan
kelompoknya.

c. Anggota berganti fungsi peran.

d. Formasi identitas kelompok atau sejauh mana anggota memiliki rasa


bahwa mereka termasuk didalam kelompok (sense of belonging).

Kedua yaitu bersifat independen dengan lingkungan yang berarti


kelompok bergantung pada lingkungan dan sebaliknya. Konteks kelompok
adalah bagaimana sebuah kelompok bergantung dan berkontribusi kepada
lingkungan fisik, sosial, dan tugasnya. Dalam teori Bona Fide, ketergantungan
adalah variabel dinamik yang saling bernegosiasi sebagai konteks yang
dibangun secara sosial melalui;

a. Komunikasi intergroup (antara satu kelompok sosial ke kelompok lain)


dan intragroup (antara anggota di dalam satu kelompok).

b. Aksi yang terkoordinasi di dalam suatu kelompok.

c. Negosiasi juridiksi dan otonomi.

d. Interpretasi dimana terdapat hubungan intergroup pada masa sekarang


dan masa lalu.

Fungsi yang dimiliki kelompok selain menyelesaikan dan mengatasi


konflik, kelompok juga harus mengatur dan menyesuaikan pekerjaannya
secara utuh dengan situasi dimana kelompok bekerja. Dalam kehidupan
sebenarnya, kerja kelompok selalu dipengaruhi oleh masukan dan kemudian
menciptakan keluaran yang akan selalu mempengaruhi kelompok sekaligus
sistem secara keseluruhan.

9. SYMBOLIC CONVERGENCE THEORY

18
Symbolic Convergence Theory atau biasa dikenal sebagai fantasy-
theme analysis, merupakan salah satu teori komunikasi kelompok yang
digagas oleh Ernest Bormann, John Cragan dan Donal Shields. Teori ini
membahas bagaimana setiap orang dalam kelompok memiliki suatu realitas
bersama melalui komunikasi (Littlejohn, dkk., 2017).
Dalam teori ini, penggambaran kita terhadap suatu hal dapat
mempengaruhi kepercayaan bersama (Littlejohn, dkk., 2017). Adanya
komunikasi memungkinkan tiap anggotanya untuk membicarakan
penggambaran tersebut melalui percakapan dengan orang lain. Semakin sering
dibicarakan, lama-lama hal tersebut akan diyakini bersama.
Penggambaran tersebut dikenal dengan konsep Rhetorical Vision. Pada
dasarnya, Rhetorical Vision merupakan sebuah citra visual yang memuat
karakter, cerita, dan kejadian tertentu (Littlejohn, dkk., 2017).

Dalam (Griffin, 2012:248-253) Ada beberapa istilah yang perlu dipahami


untuk memahami teori ini, yaitu:

1. Fantasy Chain

 Bormann memberi makna bahwa rantai fantasi yaitu serangkaian ide di


mana para anggotanya tergabung bersama seperti sebuah fantasi. Rantai fantasi
membawa yang ada di dalam kelompok satu ma lain saling berbagi cerita ke
dalam konvergensi simbolik. Rantai fantasi menciptakan landasan pengertian
bersama sehingga membuat kelompok mampu mencapai komunikasi yang
empatik.

2. Fantasy Theme

Borman mendefinisikan bahwa tema fantasi adalah sebuah isi pesan yang
di dramatisasi hingga menciptakan rantai fantasi. Pikirkan tema fantasi sebagai isi
pesan yang mendramatisasi yang berhasil memicu rantai fantasi.

19
3. Fantasy Type

Fantasi dengan tema yang berulang saat dibicarakan pada situasi, karakter
dan juga latar belakang yang lain, namun dengan alur cerita yang serupa atau
sama. Ketika kerangka narasi sama sama, tapi karakter, tokoh, atau settingnya
berbeda, maka tema tersebut dapat diartikan masuk ke dalam satu jenis fantasi
yang sama. Sementara, bila terdapat beberapa tema fantasi, atau kerangka narasi
yang berbeda, itu berarti terdapat beberapa tipe fantasi.

4. Rhetorical Vision

Seperti yang dijelaskan Bormann, “Fantasi yang dimulai dalam kelompok


kecil sering kali dijadikan pidato publik, diangkat oleh media massa dan
'disebarluaskan ke publik yang lebih luas”.
Adapaun fungsi dari teori ini yaitu untuk mengurangi ketegangan di dalam
suatu kelompok dan akan lebih menguatkan ikatan emosi di dalam orang-orang
yang terlibat di dalamnya.

10. EFFECTIVE INTERCULTURAL WORK GROUP

Effective Intercultural Workgroup Communication Theory merupakan


teori yang dikembangkan oleh John Oetzel dan didasari dari input process output
model (model input proses output) (Littlejohn, dkk., 2017). Pada dasarnya teori ini
berfokus pada kelompok dengan anggota yang memiliki latar belakang budaya
yang berbeda.

Dalam teori ini, suatu kelompok dengan keberagaman budaya (input)


memiliki frekuensi berinteraksi yang menciptakan pengaruh pada tiap anggota
kelompok (process) dan menimbulkan hasil baik kepuasan/ketidapuasan (output).
Keberagaman budaya dalam kelompok terbagi dalam tiga buah kluster

20
yakni individualism-collectivism (individualism-kolektivisme), self-construal (ma
kna diri) dan face concerns (perhatian padah wajah).

Kluster pertama, individualism-collectivism (individualism-kolektivisme)


membedakan individu dalam kelompok dengan dua ciri khas. Anggota kelompok
dengan orientasi individualime merupakan individu yang independen yang
cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan
kelompok. Biasanya individu dengan orientasi ini bergabung dengan kelompok
karena kepentingan tertentu. Contoh: kelompok belajar.

Sedangkan anggota kelompok dengan orientasi kolektivisme merupakan


individu yang merasa sebagai bagian dari kelompok dan cenderung
mengutamakan tujuan kelompok dibandingkan tujuan pribadi. Misal, kelompok
gerakan perempuan penyintas perkosaan yang memperjuangkan pengesahan RUU
KUHP demi keadilan bagi perempuan di Indonesia.

Kluster kedua yakni self-construal (makna diri) merupakan bagaimana


anggota kelompok memaknai dirinya sendiri. Biasanya, mereka memaknai dirinya
dengan dua parameter yakni independen dan interdependen. Anggota kelompok
yang merasa dirinya independen biasanya berpikir bahwa dirinya unik. Sedangkan
anggota yang merasa interdependen biasanya lebih cenderung berfokus pada
bagaimana mereka berhubungan dengan anggota lainnya.

Kluster ketiga ialah face concerns (perhatian padah wajah). Pada dasarnya,


kluster ini memuat perbedaan individu dalam menciptakan personal
image (gambaran diri). Anggota kelompok dapat menciptakan gambaran diri
melalui self-face concern yang berfokus pada gambaran untuk diri sendiri, other
face yang berfokus pada gambaran diri orang lain dan mutual face yang
menyangkut pada hubungan dengan orang lain.

21
BAB III

CONTOH KASUS

1. TEORI PEMIKIRAN KELOMPOK

22
Terjadi pada waktu meledaknya pesawat ruang angkasa Challenger.
Padahal salah satu mekaniknya sudah faham kalau ada yang tidak beres dengan
pesawat tersebut, sebelum diadakan peluncuran. Tetapi karena kepala mekanik
sudah mengatakan bahwa pesawat dalam kondisi siap luncur, maka para anggota
mekanik harus menjalankan tugasnya. Akhirnya, pesawat itu meledak diangkasa
yang menewaskan seluruh awaknya. Namun para mekanik tetap membela
kelompoknya dengan alasan bahwa suatu kecelakaan lumrah saja terjadi. Jadi
tidak ada pihak yang salah. Namun tentunya, pengakuan mereka dianggap
demikian oleh masyarakat sejauh media massa memberitakannya sesuai dengan
alasan seluruh mekanik tersebut.

Contoh kedua, Penyerangan Pearl Harbour tahun 1941 bulan Desember


menyebabkan Amerika Serikat terlibat Perang Dunia II. Padahal sebelumnya
intelijen Amerika Serikat melaporkan kabar tentang persiapan Jepang menyerang
Amerika Serikat di kawasan Pasifik. Namun, laporan tersebut tidak
dipertimbangkan para komandan Amerika Serikat karena menganggap bahwa
pesawat Jepang diyakini tidak bisa terbang sampai Pearl Harbour.

2. TEORI PENYUSUNAN
Ketika dalam sebuah kelompok halal bi halal, saya menjadi orang yang
mencari informasi tentang cathering termurah. Maka, di keesokan harinya, saat
ada keperluan yang sama dalam kelompok, maka saya akan langsung dipercaya
untuk mencari makanan tersebut.
Contoh kedua, Penggunaan Bahasa gaul di kalangan anak muda di Jakarta.
Penggunaan bahasa gaul dengan bermacam orang dalam berbagai situasi, baik itu
formal dan nonformal, dan berbagai media, baik cetak maupun elektronik,
meyebabkan bahasa gaul menggeser peran bahasa daerah dalam komunikasi
sehari-hari. Mereka ingin menunjukkan identitas. Mereka dengan sadar
memperluas penggunaan bahasa gaul di ranah publik, termasuk di sekolah.
Mereka menggunakan bahasa gaul untuk lebih mengekspresikan diri—bahkan
terkadang mendramatisasi—dan itu tidak bisa mereka lakukan dengan
menggunakan bahasa Indonesia standar. 

23
3. TEORI FUNGSIONAL
Ada segerombolan remaja laki – laki yang membentuk kelompok tim
futsal, mereka ingin mengikutin turnamen bergengsi. Tetapi mereka belum
mempunyai jersey tim. Masing – masing dari mereka mulai menambahkan uang
agar bisa membeli jersey tersebut akan tetapi uang itu tidak menutupi. Akhirnya
mereka berdiskusi bagaimana cara bisa mendapatakan uang secara bersama –
sama dan cara tersebut disepakati agar semua anggota mempunyai rasa memiliki
untuk berusaha mendapatkan uang agar bisa membeli jersey tim futsal. Berbagai
kemungkinan solusi tersebut terus diterima dan terkumpul dan kemudian
pengambilan keputusan pun dibuat.  
Contoh kedua, Saya memiliki kelompok dengan beberapa teman dekat
saya, suatu ketika saat kami sesang berkumpul dan membeli makanan, salah satu
teman saya tidak ikut makan. Ketika ditanya mengapa, (1) dia menjawab bahwa ia
tidak ada uang. Lalu ketika ditanya lagi, (2) dia menjawab bahwa uangnya sudah
habis dipakai untuk pengobatan ibunya yang sedang sakit, bahkan ibunya masih
membutuhkan dana yang lebih banyak lagi untuk pengobatan, jadi ia tidak bisa
membeli makanan di kampus. Lalu saya dan teman saya yang lainnya berinisiatif
untuk membantu pengobatan ibunya dan membelikannya makanan. (3) Kemudian
masing-masing dari kami memberikan solusi, setelah solusi terkumpul, kami
mulai mencari jalan terbaik dan memutuskan untuk sepakat dengan alternatif yang
telah dipilih

4. FEMINIST CRITIQUE COMMUNICATION IN SMALL GROUP


Contoh dari Feminist Critique Communication in Small Group theory dapat
kita lihat dalam sebuah film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, yaitu
sebuah film yang menceritakan seorang ibu yang mencari pembunuh anaknya
dengan menggunakan papan reklame atau billboard. Kasus pembunuhan terhadap
anaknya telah terjadi hampir setahun yang lalu, namun hingga saat itu
pembunuhnya belum bisa ditangkap oleh polisi. Hal ini membuat sang ibu geram

24
dan ingin mencari pembunuhnya dengan caranya sendiri. Sebenarnya hal ini juga
sebagai bentuk protes sang ibu terhadap polisi. Namun, penggunaan papan
reklame ini ternyata tidak didukung oleh orang-orang, banyak orang yang justru
marah dan memaksa sang ibu untuk menurunkan iklannya. Pihak kepolisianpun
kesal dan meminta sang ibu untuk menurunkan iklannya, karena kasus anaknya
sudah ditutup dan polisi telah melakukan yang terbaik untuk menemukan
pembunuh anaknya namun tetap tidak tertangkap. Kejadian ini memperlihatkan
bahwa sang ibu tidak memiliki suara dan banyak orang yang mencoba untuk
membungkam sang ibu, namun sang ibu tetap mencari berbagai cara agar kasus
anaknya dibuka kembali dan dicari pelakunya hingga tertangkap.

5. MUTED THEORY
Kehidupan pekerja dalam luxury industry, misalnya dalam sebuah brand
ternama Gucci, terdapat 2 orang karyawan dengan posisi yang sama (marketing),
salah satu dari mereka biasanya menggunakan barang2 branded juga dan satu
lainnya tidak menggunakan barang branded. Kemudian mereka sedang
dihadapkan dalam masalah untuk meningkatkan penjulan dan menentukan target
market. Kemudian karyawan yang tidak pernah menggunakan barang branded ini
memberikan sebuah ide atau insight, lalu head of marketing mereka yang
memimpin meeting tersebut langsung menolak dan mengatakan bahwa insight
yang diberikan tidak bisa diaplikasikan karena ia merasa bawa karyawan ini tidak
akan tahu cara menarik audience karena ia saja tidak tau apa yang disukai oleh
audience mereka.

6. SOCIAL IDENTITY THEORY


Contoh dari Social Identity Theory misalnya seorang influencer atau
selebgram Awkarin atau Karin Novilda. Seperti yang kita ketahui bahwa Awkarin
memulai karirnya sebagai penyanyi bersama dengan teman-temannya, namun hal
ini nyatanya tidak berjalan mulus, karena ia justru mendapatkan hujatan dan caci-
maki oleh masyarakat. Tidak jarang Awkaring dianggap sebagai selebgram yang
hanya mencari sensasi untuk terkenal. Hal ini membuat nama Awkarin terkenal

25
sebagai selebgram dengan beragam kasus sensasionalnya. Namun, Awkarin
sendiri tidak tinggal diam, ia mencoba mengubah nama baiknya dan mencari
serangkaian cara untuk dapat membuat namanya menjadi influencer yang baik
dimata masyarakat. Beberapa caranya adalah mobilitas sosial, ia mulai
meninggalkan teman-teman lamanya dan bergabung dengan selebgram lainnya
yang lebih terkenal dan memiliki nama baik, kemudian Awkarin juga
memanfaatkan kreativitas sosial untuk berkompetisi dengan kelompok-kelompok
lain yang lebih dominan.

7. SOCIO-EGOCENTRIC AND GROUP CENTRIC THEORY


Contoh socio-egocentric yaitu kelompok tugas di dalam kelas, di mana
biasanya kelompok tugas ini akan dibentuk oleh guru jadi para siswa tidak
bisa memilih kelompok tugas nya secara mandiri. Dalam mengerjakan tugas
secara kelompok ini pasti ada salah satu siswa yang memiliki kepentingannya
sendiri misalnya hanya ingin mengerjakan tugas nya secara mandiri padahal
ini adalah tugas kelompok. Hal ini bisa disebabkan mungkin saja anggota
kelompok tidak saling mengenal dan belum pernah bekerja sama sebelumnya.
Sehingga terjadilah soci-egocentric di dalam kelompok tugas ini.
Contoh Group centric yaitu adanya sebuah kelompok dokter-dokter
spesialis yang akan melakukan operasi jantung pada pasien. Kelompok dokter-
dokter ini terdiri dari dokter-dokter yang memang ahli dalam bidangnya dalam
keberlangsungan dan keberhasilan operasi jantung. Dalam kelompok ini akan
terjadi kerjasama yang baik dan pasti nya mereka sudah pernah bekerja sama
sebelumnya.

8. BONA FIDE GROUP THEORY


Klub sepak bola U-23 Indonesia merupakan klub sepak bola yang
anggotanya berasal dari beberapa klub daerah. Dalam pertandingan sepak bola
ini para anggota akan menembus sebuah batasan yang biasanya tidak
diterapkan di klub daerah nya misalnya harus beradaptasi dengan anggota lain

26
dan menjalin kepercayaan antar anggota sepak bola sehingga dalam
pertandingan akan tercipta klub sepak bola yang solid atau terpercaya.

9. SYMBOLIC CONVERGENCE THEORY


Konvergensi simbolik sering terjadi dalam kelompok. Contohnya
adalah jika suatu kelompok sudah merasa jenuh dan tidak bersemangat dalam
mengerjakan tugas kelompok, biasanya secara tidak sengaja munculnya
fantasi dari salah satu anggota kelompok. Misalnya kelompok tersebut sedang
mencari bahan untuk presentasi marketing, salah satu anggota kelompok
berbicara “Instagram” secara tidak langsung anggota kelompok yang lain akan
membuka Instagram dan mulai mendiskusikan kembali tentang tugas
kelompok tersebut. Biasanya ‘celetukan’ ini akan teringat jika anggota
kelompok saling bekerja sama lagi.

10. EFFECTIVE INTERCULTURAL WORK GROUP


Contoh dari teori ini adalah AIESEC yaitu merupakan sebuah
kelompok yang berisikan anak muda pelajar dari seluruh dunia, yang akan
saling tukar pikiran tentang apapun dan biasanya akan membahas isu-isu
hangat dari Negara nya untuk mendapatkan saran dari adanya perbedaan
budaya. Dalam kelompok ini akan terjadi proses pertukaran budaya yang akan
saling dipelajari.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, O. U. (2011). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja


Rosda Karya
Littlejohn, S. W., Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of Communication
Theory. United Kingdom: SAGE Publications.

27
Griffin, E. (2003). A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-
Hill Companies.
Morissan. 2013. Teori komunikasi : Individu Hingga Massa . Jakarta : Kencana.
Mulyana Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
West, R., Turner, L. H. (2008). Introducing Communication Theory Analysis and
aplication. New York: McGraw-Hill Companies.

28

Anda mungkin juga menyukai