Anda di halaman 1dari 8

GROUPTHINK THEORY

(Teori Pemikiran Kelompok)


Of Irvin L. Janis

Irving Janis, seorang peneliti Psikolog dari Yale University, merintis penelitian awal
pada teori groupthink. Pada awalnya groupthink didefinisikan sebagai berikut:

“I use the term groupthink as a quick and easy way to refer to the mode of thinking that
persons engage in when concurrence-seeking becomes so dominant in a cohesive
ingroup that it tends to override realistic appraisal of alternative courses of action.
Groupthink is a term of the same order as the words in
l the newspeak vocabulary George Orwell used in his dismaying world of 1984. In that
context, groupthink takes on an invidious connotation. Exactly such a connotation is
intended, since the term refers to a deterioration in mental efficiency, reality testing and
moral judgments as a result of group pressures.[6]:43

Lebih lanjut Janis menuliskan:

“The main principle of groupthink, which I offer in the spirit of Parkinson's Law, is this:
The more amiability and esprit de corps there is among the members of a policy-making
ingroup, the greater the danger that independent critical thinking will be replaced by
groupthink, which is likely to result in irrational and dehumanizing actions directed
against outgroups.[6]:44”

Untuk mempelajari groupthink Janis menetapkan pondasi utamanya yang dimulai


dengan penelitian pada “the American Soldier Project” di mana ia mempelajari efek dari
stres yang ekstrim pada kohesivitas kelompok. Setelah penelitian itu, ia tertarik untuk
mempelajari lebih lanjut mengenai cara-cara orang membuat keputusan di bawah
ancaman eksternal. Ketertarikan ini menyebabkan Janis mempelajari sejumlah
"bencana" dalam kebijakan luar negeri Amerika, seperti kegagalan untuk
mengantisipasi serangan Jepang di Pearl Harbor (1941); the Bay of Pigs Invasion
fiasco (1961); dan penuntutan atas Perang Vietnam (1964-1967) oleh Presiden Lyndon
Johnson. Berdasarkan pengamatan dan penelitiannya, dia kemudian menyimpulkan
bahwa dalam setiap kasus, keputusan terjadi terutama karena groupthink, yang
mencegah pandangan bertentangan yang diungkapkan dan kemudian dievaluasi.

West dan Turner (2008: 274) mendefinisikan bahwa pemikiran kelompok (groupthink)
sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan anggota kelompok ketika keinginan
mereka akan kesepakatan melampaui motivasi mereka untuk menilai semua rencana
tindakan yang ada. Jadi groupthink merupakan proses pengambilan keputusan yang
terjadi pada kelompok yang sangat kohesif, dimana anggota-anggota berusaha
mempertahankan konsensus kelompok sehingga kemampuan kritisnya tidak efektif lagi.

Jadi berdasarkan defenisi diatas, secara lebih sederhana dapat kita simpulkan bahwa
Groupthink adalah suatu fenomena psikologis yang terjadi dalam suatu kelompok, di
mana keinginan untuk mempertahankan suasana yang harmoni dalam pengambilan
suatu keputusan dari perbedaan pendapat lebih diutamakan atau kesesuaian hasil
pengambilan keputusan tidak rasional atau disfungsional. Maksudnya yaitu, anggota
kelompok mencoba untuk meminimalkan konflik dan mencapai keputusan konsensus
tanpa evaluasi kritis dari sudut pandang alternatif, dengan secara aktif menekan sudut
pandang perbedaan pendapat, dan dengan mengisolasi diri dari pengaruh luar.

Groupthink terjadi manakala ada semacam konvergenitas pikiran, rasa, visi, dan nilai-
nilai di dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok, dan
orang-orang yg berada dalam kelompok itu dilihat tidak sebagai individu, tetapi sebagai
representasi dari kelompoknya. Apa yang dipikirkan, dirasa, dan dilakukan adalah
kesepakatan satu kelompok. Tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara
groupthink itu yang berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang lain di
luarnya. Namun mengingat itu kepentingan kelompok, maka mau tidak mau semua
anggota kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu
kesepakatan bersama.
SYMPTOM (GEJALA)
Agar groupthink dapat diuji (testable), Irving Janis merancang delapan gejala
(symptoms) indikasi groupthink sebagai berikut:

Tipe I: Overestimasi kelompok - kekuasaan dan moralitas


Ilusi kekebalan (Illusions of invulnerability) menciptakan optimisme yang
berlebihan dan mendorong pengambilan risiko;
Kepercayaan yang tinggi (Unquestioned belief) dalam moralitas kelompok,
menyebabkan anggota untuk mengabaikan konsekuensi dari tindakan mereka.
Tipe II: Pemikiran Tertutup (Closed-Mindedness)
Peringatan Rasionalisasi (Rationalizing warnings ) yang mungkin menantang
asumsi kelompok;
Stereotip mereka yang berlawanan dengan kelompok sebagai orang yang
lemah, jahat, bias, dengki, impoten, atau bodoh.
Tipe III: Tekanan terhadap keseragaman
Sensor diri (Self-cencorship) dari ide-ide yang menyimpang dari konsensus
kelompok yang telah nyata;
Ilusi kebulatan suara (illusions of unanimity) di antara anggota kelompok, dimana
ketika seseorang diam dipandang sebagai kesepakatan;
Tekanan langsung kepada “conform placed” pada setiap anggota yang
mempertanyakan tindakan yang diambil oleh kelompok, dipandang sebagai
"ketidaksetiaan";
Mindguards - self-appointed adalah anggota kelompok yang diangkat/ditunjuk
untuk melindungi kelompok dari informasi yang bertentangan (dissenting
information).
Ilustrasi fenomena groupthink dalam sebuah diskusi kelompok

ASUMSI DASAR GROUPTHINK THEORY


Dalam teori ini, terdapat tiga asumsi penting, yaitu ( West & Turner, 2007 : 279 ):
Adanya kondisi dalam kelompok yang menyebabkan kohesivitas tinggi;
Pemecahan masalah dalam suatu kelompok merupakan proses yang menyatu;
Kompleksitas yang tinggi dalam suatu organisasi yang mempengaruhi
pengambilan keputusan.

Asumsi pertama menyatakan bahwa kelompok memiliki karakteristik kohesivitas. Dalam


hal ini kohesivitas dimaknai sebagai semangat kebersamaan ( esprit de corps ) yang
tinggi, dimana setiap anggota kelompok memiliki kemauan untuk bekerjasama dalam
batas-batas tertentu. Janis menjelaskan bahwa kohesivitas bisa menjadi hal yang baik
karena membawa anggota bersama-sama (bersatu) dan meningkatkan hubungan
interpersonal kelompok.

Asumsi kedua menyatakan bahwa persoalan pemecahan masalah yang terjadi dalam
kelompok merupakan kegiatan yang selalu ada dalam setiap kelompok. Dalam hal ini
Janis menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah yang timbul dalam
kelompok, setiap anggota di dalam kelompok akan berusaha untuk saling berhubungan
satu sama lainnya dan turut aktif dalam berpartisipasi memberikan pendapat/saran
dalam menyelesaikan permasalahan, namun ketika terjadi perbedaan pendapat akan
muncul kondisi dimana anggota kelompok cenderung menahan masukan dari orang
lain karena mereka takut mengalami penolakan. Mereka memliki kecenderungan untuk
memelihara hubungan antar anggota kelompok daripada memfokuskan perhatiannya
pada issue-issue yang masih dipertimbangkan oleh kelompok (menghindari
perpecahan).

Asumsi ketiga menyatakan bahwa adanya kompleksitas dalam suatu kelompok dan
pengambilan keputusan. Yang menjadi fokus pada asumsi ini yaitu mengacu pada
situasi yang terjadi pada kelompok yang melakukan pengambilan keputusan dan
kelompok yang berorientasi pada tugas. Adanya Perbedaan usia, sifat kompetitif,
ukuran kelompok, tingkat kecerdasan, komposisi gender dan gaya kepemimpinan
adalah beberapa hal yang menjadi penyebab kompleksnya suatu organisasi yang
kemudian berpengaruh dalam pengambilan keputusan organisasi. Selain itu latar
belakang budaya yang dimiliki oleh masing-masing anggota turut membuat proses
pengambilan keputusan menjadi tidak mudah. kelompok dan keputusan kelompok
akhirnya menjadi proses yang sulit dan menantang, tetapi melalui kerja kelompok orang
dapat mencapai tujuannya dengan lebih baik dan efesien.

6 NEGATIVE OUTCOMES OF GROUPTHINK DAN SOLUSINYA


Dalam penelitiannya Janis menemukan 6 (enam) hasil negative dari Groupthink, yaitu:
kelompok membatasi diskusi untuk hanya beberapa alternatif tanpa
mempertimbangkan berbagai kemungkinan kreatif. solusinya mungkin tampak
jelas dan sederhana untuk kelompok, dan ada eksplorasi sedikit dari ide-ide lain;
kelompok ini tidak terlalu kritis dalam memeriksa konsekuensi dari solusi pilihan;
Kelompok ini gagal memeriksa alternatif yang pada tidak disukai oleh mayoritas.
Pilihan minoritas dengan cepat dibantah dan diabaikan, tidak hanya oleh
mayoritas tetapi juga oleh orang-orang yang awalnya menyetujui alternatif
minoritas tersebut;
Kelompok ini tidak mencari pendapat ahli. Kelompok ini sudah merasa puas
dengan dirinya sendiri dan kemampuannya untuk membuat keputusan dan
(mungkin) merasa terancam oleh pihak luar (dalam hal adanya pendapat dari
luar kelompok);
Kelompok sangat selektif dalam mengumpulkan informasi yang tersedia. Para
anggota kelompok cenderung berkonsentrasi hanya pada informasi yang
mendukung rencana yang disukai oleh mayoritas anggota kelompok;
Kelompok ini begitu percaya diri pada ide-ide/rencana-rencana yang telah
mereka buat namun seringkali tidak mempertimbangkan rencana darurat,
kelompok ini tidak memperkirakan atau merencanakan kemungkinan terjadinya
kegagalan.

Untuk menjawab permasalahan yang terjadi dalam groupthink khususnya dalam hal
pembuatan keputusan, Janis mengusulkan suatu kelompok agar dalam pembuatan
keputusan melakukan langkah-langkah berikut:
Mendorong setiap orang dalam kelompok untuk menjadi evaluator yang kritis
dan berani untuk mengungkapkan keberatannya;
Jangan memilih pemimpin yang mementingkan pilihannya dibanding pilihan
mayoritas kelompok yang lebih rasional;
Mengatur beberapa kelompok pembuat kebijakan yang independen dan terpisah;
Dibagi menjadi subkelompok;
Mendiskusikan permasalahan apa yang sedang terjadi dengan orang lain di luar
kelompok;
Mengundang orang luar ke dalam kelompok untuk membawa ide-ide segar;
Menetapkan seseorang/beberapa orang pada setiap pertemuan untuk menjadi
devil’s advocate guna menentang pendapat mayoritas (sekalipun mereka
sebenarnya setuju dengan pendapat itu;
Meluangkan waktu yang cukup untuk mengamati sinyal peringatan (warning
signal);
mengadakan pertemuan kedua untuk mempertimbangkan kembali keputusan
yang telah dipilih sebelum menjadi keputusan final kelompok (tidak terburu-buru
dalam mengambil sebuah keputusan).

KRITIK TERHADAP TEORI


Kritik E.M Griffin (1997) terhadap groupthink Janis adalah tidak adanya penelitian
komprehensif mengenai kasus-kasus yang dianggap memenuhi kualifikasi groupthink,
seperti Challenger-nya USA, sehingga faktor kohesifitas kelompok yang mendominasi
terjadinya groupthink sulit diukur kadarnya. Intinya, Griffin mempertanyakan bagaimana,
kenapa dan sejauh mana kohesifitas kelompok bisa membuat keputusan yang
difinalisasi adalah salah/keliru.

Menelaah fenomena groupthink dimana kebanyakan kasus yang diambil oleh Janis
berasal dari Amerika Serikat yang menganut paham demokrasi, Mulyana
mempertanyakan mungkinkan groupthink atau fenomena sejenis itu juga terjadi di
negara timur seperti Indonesia yang mewarisi budaya feodal dan paternalistik yang
masyarakatnya ditandai dengan hubungan patron dan klien? Setiap teori atau konsep
memang terikat budaya dan karena itu belum tentu berlaku dalam budaya lain.
Groupthink boleh jadi muncul juga dalam komunikasi kelompok di kalangan elite politik
kita, hanya saja ciri-cirinya mungkin agak lain. Misalnya, apakah keputusan yang
diambil mantan Presiden Soharto berlandaskan groupthink yang dihasilkan Soeharto
dan para pembantunya, setidaknya groupthink yang khas Indonesia yang lebih diwarnai
oleh pendapat Soeharto? Atau apakah keputusan-keputusan Soeharto itu berdsarkan
obrolan keluarga besar Cendana di meja makan? Semua itu rasanya masih samar
kalaupun bukan misteri dan memerlukan kajian lebih dalam. Masih bisa kita ingat,
cukup banyak keputusan Soeharto dan para pembantunya ini yang menghasilkan
tindakan-tindakan yang dianggap sebagai kekeliruan fatal yang kesemuanya
berakumulasi, merugikan rakyat banyak, menciptakn ketidakpuasan mereka dan
akhirnya menimbulkan krisis politik dan ekonomi kita belakangan ini.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas diperlukan studi yang lebih seksama
lewat wawancara mendalam dengan orang-orang yang pernah terlibat dalam
pengambilan keputusan-keputusan tersebut dan dokumen-dokumen yang relevan.
DAFTAR PUSTAKA

Griffin, Em. “A first Look at Communication Theory”. Eight Edition. Boston: McGraw-Hill,
2012

Janis, I. L. (November 1971). "Groupthink". Psychology Today 5(6)

Littlejohn, Stephen W, and Foss, Karen A. 2009. “Encyclopedia of Communication


Theory”. California: SAGE Publications

Mulyana, Deddy. 2005. “Pengantar Ilmu Komunikasi”.Bandung: Remaja Rosda Karya

Sendjaja, Sasa Djuarsa. 2004. “Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka


West, Richard and Turner, Lynn H. “Introducing Communication Theory: Analysis and
Application”. Third Edition. Boston: McGraw-Hill, 2007

Anda mungkin juga menyukai