Anda di halaman 1dari 11

Ujian Tengah Semester

Semester Gasal 2021/2022


Manajemen Aset Infrastruktur (ENCV803602)
Afrijhon Saragih
2006545401

1. Identifikasi dan inventarisasi aset infrastruktur


Definsi dari:
a. Manajemen Aset Infrastruktur
Manajemen Aset Infrastruktur (MAI) adalah suatu program atau pengetahuan untuk
mengelola, suatu infrastruktur agar tetap bisa menjalankan fungsinya dengan baik secara terus
menerus sepanjang masih dibutuhkan, secara ekonomis, efisien, dan efektif dan memenuhi
prinsip green atau sustainability. MAI harus didasarkan pada pengetahuan yang baik atas
karakteristik infrastruktur yang sedang dikelola atau dibahas. Karakteristik infrastruktur bisa
sangat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik penting infrastruktur yang
harus dikenali dengan baik antara lain adalah: tipe, klas, fungsi, struktur, ekonomi, siklus
hidup, operasi, pemeliharaan, penghapusan (Suprayitno & Soemitro, 2018).
b. ISO 55000
ISO 55000 merupakan suatu standar internasional yang diterbitkan oleh The International
Organization for Standardization (ISO) yang memberikan gambaran umum tentang
manajemen aset, prinsip-prinsip dan terminologinya, serta manfaat yang diharapkan dari
penerapan manajemen aset (ISO 55000, 2014)
c. Find and Fix philosophy
Find and Fix Philosohy secara harafiah dapat diartikan menjadi “temukan dan perbaiki”.
Find and Fix philoshopy pada manajemen aset yaitu pengelolaan aset yang mengacu pada
prinsip reactive maintenance, dimana maintenance (perbaikan atau pergantian) terhadap suatu
aset dilakukan jika aset tersebut ditemukan rusak. Kelebihan Reactive maintenance yaitu
perbaikan sementara dapat dilakukan untuk mengembalikan kemampuan operasi suatu
alat/aset, dimana perbaikan secara permanen dapat ditunda sampai lain waktu dan
maintenance dapat dilakukan tetapi aset/peralatan masih tetap beroperasi sehingga dapat
memininalisir jumlah tenaga serta biaya. Namun kekurangannya yaitu kerusakan yang tidak
dapat di prediksi dan kapasitias produksi yang fluktuatif, level toleransi yang cukup tinggi
banyaknya jumlah scrap, tingginya biaya yang diakibatkan kecelakaan akibat breakdown pada
mesin atau peralatan.
Terdapat 3 (tiga) strategi dalam maintenance, yaitu reactive atau breakdown maintenance,
proactive maintenance termasuk preventive dan predictive maintenance, serta agrressive
maintenance.
Sumber:
1. Bahan ajar mata kuliah Manajemen Aset Infrastruktur “Infrastructure Asset Management”
oleh Jachrizal Sumabrata
2. “Linking maintenance strategic to performance” oleh Laura Swanson (International
journal of Economic 70 (2001) 237-244)

2. Valuasi dan penilaian aset infrastruktur


Penilaian adalah proses untuk memperkirakan nilai suatu aset dengan menggunakan asumsi-
asumsi tertentu jika aset itu dijual (Adams & Tolson, 2019).
Hasil dari proses penilaian bukan fakta, namun berupa serangkaian perkiraan harga yang paling
mungkin terjadi berdasarkan asumsi-asumsi tertentu (IVSC 2010).
Penilaian adalah serangkaian kegiatan untuk menentukan besaran suatu jenis nilai tertentu pada
suatu saat tertentu yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
penilaian dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (SE
Dirjen Pajak Nomor SE-54/PJ/2016).
Penilaian Properti adalah serangkaian kegiatan untuk menentukan besaran suatu jenis nilai
tertentu pada suatu saat tertentu yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan
suatu standar penilaian dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, atas suatu konsep hukum yang mencakup kepentingan, hak dan manfaat yang
berkaitan dengan suatu kepemilikan atas property (SE Dirjen Pajak Nomor SE-54/PJ/2016).

Metode valuasi dan penilaian aset yang diketahui beserta penjelasannya


Dalam proses Penilaian dapat menggunakan lebih dari satu pendekatan Penilaian untuk
memperoleh hasil Penilaian yang akurat dan obyektif, dan harus diungkapkan alasannya dalam
Laporan Penilaian. Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam Penilaian Properti terdiri dari:
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach)
Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) adalah pendekatan Penilaian yang
menggunakan data transaksi atau penawaran atas properti yang sebanding dan sejenis dengan
Objek Penilaian, yang didasarkan pada suatu proses perbandingan dan penyesuaian.
Dalam menggunakan Pendekatan Data Pasar berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Menggunakan data pasar properti pembanding terkini;
2) Properti pembanding merupakan properti yang sebanding dan sejenis dengan Objek
Penilaian, berupa data transaksi atau penawaran yang bersumber dari penjual, pembeli,
penyewa, instansi, lembaga, agen properti, broker, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
asosiasi, aparat desa/lurah/kecamatan, iklan dan lain-lain.
3) Melakukan penyesuaian jenis data atas properti pembanding, untuk jenis data penawaran,
atau jenis data lainnya.
4) Melakukan penyesuaian waktu atas properti pembanding yang diperoleh untuk
mendapatkan estimasi nilai pasar Objek Penilaian per Tanggal Penilaian.
5) Membandingkan Objek Penilaian yang akan dinilai dengan data transaksi pembanding
yang telah dianalisis, dengan menggunakan faktor-faktor penyesuaian (adjustment),
antara lain:
a) Penggunaan;
b) Lokasi;
c) Karakteristik fisik (luasan, bentuk, ukuran, elevasi, topografi);
d) Hak-hak yang terkandung dalam properti;
e) Kewajaran kondisi penjualan.
6) Melakukan penyesuaian atas kondisi objek pembanding terhadap Objek Penilaian dengan
menetapkan penyesuaian secara konsisten.
7) Dalam melakukan penyesuaian terhadap properti pembanding dapat menggunakan teknik
penyesuaian sebagai berikut:
a) Teknik Penyesuaian Persentase (Procentage Adjustment);
b) Teknik Penyesuaian Biaya (Cost Adjusment);
c) Teknik Perbandingan Data Berpasangan (Paired Data Comparison);
d) Teknik Pemeringkatan Kualitas (Quality Rating); atau
e) Teknik Statistik.
8) Merata-ratakan nilai properti pembanding setelah penyesuaian untuk menghasilkan
indikasi nilai Objek Penilaian.
2. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
Pendekatan Pendapatan (Income Approach) adalah pendekatan Penilaian dengan cara
mengkonversi pendapatan bersih selama periode tertentu yang dapat dihasilkan oleh Objek
Penilaian dengan Tingkat Diskonto tertentu.
Dalam menggunakan Pendekatan Pendapatan berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Digunakan untuk Penilaian properti yang memiliki kriteria antara lain:
(1) menghasilkan pendapatan baik yang sudah beroperasi, belum beroperasi atau yang
digunakan sendiri (owner occupied);
(2) tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik untuk dikembangkan
sebagai properti yang menghasilkan pendapatan; dan/atau
(3) tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik untuk dikembangkan
sebagai properti yang dapat dijual secara bertahap (kapling per kapling).
2) Proses analisis terhadap laporan arus kas dan laba rugi sekurang-kurangnya untuk 3 (tiga)
tahun terakhir laporan keuangan yang diperoleh pada properti yang menghasilkan
pendapatan dan sudah beroperasi.
Metode yang digunakan dalam Pendekatan Pendapatan adalah sebagai berikut:
1) Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method);
2) Metode Kapitalisasi Langsung (Direct Capitalization Method);
3) Metode Penyisaan (Residual Technique Method); atau
4) Metode Pengganda Pendapatan Kotor (Gross Income Multiplier).
3. Pendekatan Biaya (Cost Approach)
Pendekatan Biaya (Cost Approach) adalah pendekatan Penilaian berdasarkan Biaya
Pembangunan Baru atau Biaya Penggantian Baru setelah dikurangi dengan Penyusutan.
Dalam menggunakan Pendekatan Biaya berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Prosedur yang harus dilakukan adalah:
a) menentukan estimasi biaya dengan metode Biaya Pembangunan Baru atau Biaya
Penggantian Baru;
b) menghitung jumlah penyusutan dari Objek Penilaian; dan
c) mengurangi besarnya estimasi biaya yang telah ditentukan dengan jumlah penyusutan
untuk memperoleh indikasi nilai Objek Penilaian.
2) Perhitungan Biaya Pembangunan Baru atau Biaya Penggantian Baru menggunakan salah
satu dari teknik sebagai berikut:
a) Teknik Survei Kuantitas (Quantity Survey Technique).
b) Teknik Unit Terpasang (Unit In Place Technique)
c) Teknik Meter Persegi (Square Meter Technique/Cost to Capacity Technique)
d) Teknik Indeks Biaya (Cost Indexing Technique)
3) Dalam penggunaan Pendekatan Biaya, estimasi besarnya penyusutan ditentukan melalui
teknik penyusutan sebagai berikut:
a) Teknik ekstarksi pasar
b) Teknik umur ekonomis
c) Teknik Breakdown
4) Dalam hal Pendekatan Biaya menghasilkan Nilai Pasar maka Biaya Penggantian Baru,
Biaya Pembangunan Baru, dan penyusutan yang digunakan, diperhitungkan berdasarkan
data pasar, atau data yang sesuai dengan kelaziman yang ada di pasar, atau yang
seluruhnya berasal dari pasar.
5) Dalam hal Pendekatan Biaya menghasilkan Nilai Dalam Penggunaan (Value in Use) atau
Nilai Pasar Untuk Penggunaan Yang Ada (Market Value for the Existlng Use) digunakan
Metode Biaya Penggantian Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost Method),
dengan ketentuan:
a) Objek Penilaian memenuhi kriteria sebagai Properti Khusus (Specialized Property).
b) Objek Penilaian tidak memiliki data pasar atau memiliki data yang tidak berbasis
pasar, tetapi perlu mempertimbangkan keadaan pasar atas Objek Penilaian sesuai
dengan penggunaannya.
c) Perhitungan Biaya Pembangunan Baru atau Biaya Penggantian Baru dan penyusutan
berdasarkan data yang tidak berbasis pasar, tetapi perlu mempertimbangkan keadaan
pasar atas Objek Penilaian sesuai dengan penggunaannya.
(Sumber: Lampiran I Petunjuk Teknis Penilaian Properti Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-54/PJ/2016 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Properti, Penilaian Bisnis, dan
Penilaian Aset tak Berwujud untuk Tujuan Perpajakan).

Secara prinsip tidak ada metode penilaian yang paling baik atau paling akurat (Lorenz, Truck, dan
Lutzkendorf, 2006).
Pendekatan perbandingan data pasar sering dianggap sebagai pendekatan yang paling akurat jika
terdapat pasar property yang aktif yang kemudian diikuti oleh pendekatan pendapatan dan terakhir
pendekatan biaya (Bellman dan Lind, 2019).
Nilai properti yang dihasilkan dari pendekatan biaya tidak akurat, karena dalam penilaiannya
hanya mempertimbangkan penyusutan fisik, sedangkan penyusutan fungsi dan penyusutan
ekonomi tidak menjadi perhatian (Prasetyo K.A, 2020)

3. Risiko, pemangku kepentingan dan optimasi aset infrastruktur


Konflik kepentingan pada infrastruktur kota (urban infrastructure) dan bagaimana usulan
penyelesaianya
Banyak beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan pada pembangunan
infrastruktur perkotaan.
Studi kasus pembangunan megaproyek The New Yogyakarta International Airpot.
Terdapat tiga pemicu utama konflik terkait pembangunan megaproyek The New Yogyakarta
International Airport, yaitu:
a. ketidaksepakatan mengenai sumber daya lahan yang muncul dari ambisi pemerintah untuk
merespon tekanan untuk mengubah lahan pedesaan di wilayah tersebut menjadi kawasan
perkotaan dengan konsep aerotropolis dan MICE
b. tata kelola proyek yang buruk
c. faktor-faktor sosial lainnya.
Sumber: “Drivers of Conflict in Urban Infrastructure: Case Study of the New Yogyakarta Airport”
oleh Muchamad Imam Fitriantoro (Jurnal Politik, Vol. 6, No.1, Agustus 2020, DOI:
https://doi.org/10.7454/jp.v6i1.214).
Usulan penyelesaiannya:
1. Pendekatan secara sosial dan politik kepada pemerintah daerah Yogyakarta termasuk pada
pihak keraton Yogyakarta dan Pakualaman.
2. Pendekatan secara sosial dan budaya kepada masyarakat sekitar yang terkena dampak
3. Peningkatan konsultasi kepada pihak-pihak yang terdampak
4. Adanya pendampingan kepada masyarakat untuk meyakinkan masyarakat yang terkena
dampak dapat menerima hak-haknya secara penuh.
5. Pelaksana proyek menerapkan tata kelola proyek yang baik.
6. Pemberdayaan masyarakat setempat dalam pelaksanaan proyek.

4. Tinjauan Kasus
Kesimpulan dari referensi yang dibaca selama perkuliahan
1. “Preliminary Reflexion on Basic Principle of Infrastructure Asset Management” oleh
Hitapriya Suprayitno dan Ria Asih Aryani Soemitro (Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur &
Fasilitas – Vol. 2, No. 1, Maret 2018, https://garuda.ristekbrin.go.id)
Kesimpulan:
Manajemen Aset Infrastruktur (MAI) adalah suatu program atau pengetahuan untuk
mengelola, suatu infrastruktur agar tetap bisa menjalankan fungsinya dengan baik secara terus
menerus sepanjang masih dibutuhkan, secara ekonomis, efisien, dan efektif dan memenuhi
prinsip green atau sustainability. MAI harus didasarkan pada pengetahuan yang baik atas
karakteristik infrastruktur yang sedang dikelola atau dibahas. Karakteristik infrastruktur bisa
sangat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik penting infrastruktur yang
harus dikenali dengan baik antara lain adalah: tipe, klas, fungsi, struktur, ekonomi, siklus
hidup, operasi, pemeliharaan, penghapusan.
2. “A Procurement Policy-making Pathway to Future-Proof Large-Scale Transport
Infrastructure Asset” oleh Peter E.D. Love, Lavagnon A. Ika, Jane Matthews, Xinjian Li dan
Weili Fang (Research in Transportation Economic, Published by Elsevier Ltd, 2021,
https://doi.org/10.1016/j.retrec.2021.101069)
Kesimpulan:
Model tradisional yang telah digunakan untuk pengadaan proyek skala besar tampak kurang
tepat. Oleh karena itu, disarankan untuk beralih dari sikap “understand, reduce, respond” yang
berlaku saat ini kepada sikap “understand, embrace, adapt” yang lebih memadai terhadap
kompleksitas dan ketidakpastian dalam pengadaan proyek.
Saran kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan:
1) Ada kebutuhan untuk memastikan bahwa intelligent assets and systems yang dirancang
merespon data aset. Dalam hal ini, manajer aset akan memainkan peran integral dalam
proses desain dan memastikan bahwa data terstruktur dan terstandarisasi untuk
memastikan konektivitas antara 'pengguna' dan 'sistem' selama operasi dan pemeliharaan.
2) Ada kebutuhan bagi Australia, seperti banyak negara lain, untuk mengamanatkan
penggunaan BIM agar proses dapat terintegrasi secara digital dan data serta AI dapat
digunakan secara efektif untuk meningkatkan pengambilan keputusan.
3) Perlu ada pergeseran dari kolaborasi reaktif ke integrasi proaktif, di mana insentif
keuangan diberikan kepada organisasi yang terlibat dalam budaya belajar.
4) Pembiayaan, di sini penekanannya ditempatkan pada memilih sumbernya berdasarkan
bukti transaksional dan mengembangkan bentuk kontrak dan asuransi sebagai akibat dari
keterlibatan dalam cara-cara baru dalam melakukan pekerjaan.
3. “Stakeholder Prioritisation by Mayors and CEOs in Infrastructure Asset Decisions” ditulis
oleh Pavithra Siriwardhane dan Dennis Taylor (Journal of Accounting & Organizational
Change Vol. 10 No.3, 2014 pp. 355-381, Emerald Group Publishing Limited 1832-5912, DOI
10.1108/JAOC-03-2012-0018)
Kesimpulan:
1) Lebih banyak persamaan daripada perbedaan antara persepsi Walikota dan CEO berkaitan
dengan atribut kekuasaan, legitimasi dan urgensi kelompok pemangku kepentingan yang
berbeda. Dengan demikian, baik Walikota dan CEO, ratarata, memiliki persepsi yang
sama tentang kelompok pemangku kepentingan yang mereka berikan kekuasaan yang
lebih tinggi (yaitu departemen pemerintah negara bagian, media lokal dan kelompok
kepentingan masyarakat) dan urgensi yang lebih tinggi (yaitu pembayar tarif, pengguna
dan kelompok kepentingan masyarakat).
2) Baik Walikota maupun para CEO memandang stakeholder dalam pengambilan keputusan
infrastruktur sebagai sebagian besar “bergantung pada harapan” (yaitu tidak memiliki
kekuatan tetapi memiliki klaim sah yang mendesak).
4. “Effectiveness of Infrastructure Asset Management: Challenges For Public Agencies” oleh
Daan Schraven, Andreas Hartmann and Geert Dewulf (Built Environment Project and Asset
Management, Vol. 1 No.1, 2011, pp. 61-74, Emerald Group Publishing Limited 2044-124X,
DOI 10.1108/20441241111143786)
Kesimpulan:
Studi kasus di sebuah lembaga provinsi Belanda menunjukkan bahwa upaya untuk
meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan menimbulkan beberapa tantangan.
Tantangan utama dapat digambarkan sebagai keselarasan antara tiga bidang keputusan:
tujuan, situasi dan intervensi, dengan tujuan yang jelas berfungsi sebagai alasan untuk
keputusan dalam dua bidang lainnya. Ketiga area keputusan tersebut saling terkait, dan
keterkaitan inilah yang membuat pengambilan keputusan manajemen aset menjadi kompleks
dan dinamis.
Manajemen asset efektif jika:
1) tujuan infrastruktur digunakan untuk mengevaluasi situasi aset infrastruktur dan kriteria
evaluasi secara jelas diturunkan dari tujuan;
2) intervensi infrastruktur mempertimbangkan situasi aset infrastruktur saat ini dan masa
depan, dan pengambil keputusan mampu mengatasi ketidakpastian masa depan dan
persyaratan yang berubah;
3) intervensi infrastruktur menghasilkan situasi infrastruktur yang sesuai dengan tujuan
infrastruktur; dan
4) tujuan infrastruktur terus dipantau dan dievaluasi berdasarkan intervensi infrastruktur
yang diterapkan dan perubahan situasi infrastruktur yang tidak terduga.
5. “Tantangan Manajemen Aset Infrastruktur Publik yang Berkelanjutan” oleh Prof. Reini D.
Wirahadikusumah yang disampaikan pada Orasi Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi
Bandung 16 Maret 2019
Kesimpulan:
1) Kesamaan tujuan, pemahaman serta rencana tindak
- Memperkuat networks antara tiga pilar: Pemerintah, Industri, Akademis
2) Reduce, reuse, recycle
- Memahami life-cycle produk konstruksi
3) Perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup melalui upaya pelestarian
- Tahap perencanaan pembangunan yang tertib agar mengacu pada rencana tata ruang
yang telah memiliki legalitas
4) Mitigasi risiko keselamatan, kesehatan, perubahan iklim dan bencana
- Tata ruang diselaraskan dengan mitigasi bencana dan perubahan iklim
- Meningkatkan pengawasan dan alokasi biaya K3 dari pemilik proyek/Pemerintah
5) Orientasi pada siklus hidup
- Pemahaman pada model penurunan kondisi fasilitas fisik, dan metoda pemeliharaan
dan preservasi
- Penganggaran yang layak untuk tahapan operasional dan pemeliharaan sampai
berakhirnya masa layanan infrastruktur.
6) Orientasi kepada pencapaian mutu yang diinginkan
- Peningkatan jumlah tenaga terampil dan manajer proyek di sektor konstruksi
7) Inovasi teknologi untuk perbaikan yang berlanjut
- Link-and-match antara industri dengan perguruan tinggi
- Sinergi anggaran R&D konstruksi di Pemerintah, Industri, PT
8) Dukungan kelembagaan, kepemimpinan dan manajemen dalam implementasi
- Memperkuat networks antara tiga pilar: Pemerintah, Industri, Akademis
6. “Pemerintah Daerah dan Manajemen Aset Infrastruktur” oleh Joel Friedman dan Andrew
McLernon (Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia, 2016)
Kesimpulan:
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan manajemen aset infrastruktur oleh
Pemerintah Daerah
1) Pemerintah Daerah harus mengikuti dengan lebih cermat prosedur-prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2014 dan dalam Peraturan
Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) no. 17 Tahun 2007.
2) Setelah sebuah aset dicatat pada daftar sebuah SKPD, maka SKPD yang bersangkutan
harus menjamin bahwa dana akan dialokasikan untuk O&M.
3) SKPD harus menjamin bahwa ketika sebuah aset diserahterimakan antar SKPD, seperti
ketika SKPD Dinas PU membangun sebuah fasilitas kemudian mengalihkannya kepada
SKPD lain untuk pemberian layanan, pengalihan tersebut diakui oleh bupati atau walikota
melalui surat resmi.
4) Aset yang didanai melalui anggaran Pemerintah Indonesia (APBN) harus pula dialihkan
kepada Pemda.
5) Penilaian aset harus diperbarui secara reguler sebagaimana ditetapkan dalam PP no. 27
Tahun 2014.
Manajemen aset yang lebih baik secara bertahap akan menghasilkan peningkatan
akuntabilitas Pemerintah Daerah kepada warganya
Banyak faktor lain mempengaruhi akuntabilitas Pemda terhadap para konstituennya:
komitmen di pihak para politisi untuk melayani masyarakat mereka, rencana dan anggaran
yang transparan, birokrasi yang berfungsi dengan baik, dan tuntutan masyarakat akan
peningkatan akuntabilitas.
7. “Hambatan Penerapan Konstruksi Berkelanjutan: Perspektif Pemerintah” oleh Debby Willar
dan Bambang Trigunarsyah (Media Komunikasi Teknik Sipil Volume 27, No.1, 2021, 18-28)
Kesimpulan:
Ditemukannya hambatan-hambatan yang merata terjadi pada empat sektor, yaitu Bina Marga,
Cipta Karya, Sumber Daya Air, dan Perumahan Permukiman di Provinsi Sulawesi Utara,
dalam menerapkan kebijakan konstruksi berkelanjutan disepanjang siklus hidup proyek
infrastruktur.
8. “Challenges in Infrastructure Asset Management” oleh A.K. Parlikad dan M. Jafari (IFAC-
PapersOnline 49-28, 2016, 185-190, hosting by Elsevier Ltd,
https://doi.org/10.1016/j.ifacol.2016.11.032)
Kesimpulan:
Adapun yang menjadi tantangan dalam pengelolaan aset infrastruktur yaitu sebagai berikut:
1) Pemantauan dan Prediksi Kinerja Aset
Penggunaan sistem perusahaan yang efektif untuk menyediakan informasi yang
mendekati/real-time tentang kegagalan aset merupakan tantangan utama. Tantangan
terkait juga untuk mengembangkan perkiraan yang akurat dari dampak/efek tindakan
intervensi pada kinerja aset.
2) Manajemen Data
Berbagi data dan informasi dalam bentuk semantik terbuka di seluruh pemangku
kepentingan industri merupakan tantangan besar. Penerapan standar berbagi data akan,
secara teoritis, memungkinkan organisasi untuk berbagi data dengan lebih rela dan efektif.
Pengembangan solusi yang sesuai dengan BIM menawarkan industri kemampuan untuk
mengelola data aset secara efisien. Penggunaan data yang baik memungkinkan organisasi
untuk memahami risiko.
3) Mengoptimalkan Investasi
Mengoptimalkan rencana pemeliharaan tahunan untuk portofolio aset yang beragam
dengan tujuan untuk memberikan nilai maksimum kepada para pemangku kepentingan
selama jangka waktu tertentu merupakan proposisi yang menantang.
4) Perubahan Budaya Organisasi
Menerapkan sistem yang baik adalah perubahan besar organisasi dan budaya -
membutuhkan perubahan dalam proses, metode, teknik, dan dalam beberapa kasus,
bahkan struktur organisasi.
9. ISO 55000:2014 (E)
Kesimpulan:
ISO 55000 merupakan suatu standar internasional yang diterbitkan oleh The International
Organization for Standardization (ISO) yang memberikan gambaran umum tentang
manajemen aset, prinsip-prinsip dan terminologinya, serta manfaat yang diharapkan dari
penerapan manajemen aset.
ISO 55000 dapat diterapkan untuk semua jenis aset dan oleh semua jenis dan ukuran
organisasi.
10. “Para Penilai, Hati-Hati! Evaluasi atas Akurasi Teknik Estimasi Penyusutan Nilai Bangunan
dalam Pendekatan Biaya untuk Penilaian Properti” oleh Kristian Agung Prasetyo (Simposium
Nasional Keuangan Negara 2020, Halaman 163 dari 1115)
Kesimpulan:
Nilai properti yang dihasilkan dari pendekatan biaya tidak akurat, karena dalam penilaiannya
hanya mempertimbangkan penyusutan fisik, sedangkan penyusutan fungsi dan penyusutan
ekonomi tidak menjadi perhatian.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa model statistika yang diuraikan dalam paper ini dapat
menghasilkan estimasi penyusutan dengan lebih transparan dan efisien karena ketiga jenis
penyusutan dapat dihitung sekaligus. Ini pada gilirannya dapat meningkatkan akurasi estimasi
nilai yang dihasilkan oleh pendekatan biaya sehingga hasil estimasi nilainya lebih mendekati
nilai pasar.

Anda mungkin juga menyukai