Oleh
ALPUL LAELY
NIM : 071STYC18
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi yang berjudul : “Gambaran Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)
Penderita Tuberkulosis Paru BTA + Diwilayah kerja RSUD Tanjung Lombok
Utara Tahun 2019” telah mendapat persetujuan pada :
Hari :
Tanggal :
Tahun : 2020
Mengetahui
Ketua Program Studi S1 Keperawatan
Supriyadi,S.Kep.,Ners.,M.Kep.
NIK : 3061107
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Penderita Tuberkulosis Paru BTA +
Diwilayah kerja RSUD Tanjung Lombok Utara Tahun 2019” dapat terselesaikan.
Proposal ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Ilmu Keperawatan S.1 STIKES Yarsi
Mataram.
dan motivasi selama penulisan Skripsi. Tidak lupa kami sampaikan banyak terima
kasih kepada :
telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan
4. Kepada orang tuaku tercinta yang telah membantu dan memberikan motivasi
Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi
sadari bahwa Skripsi ini jauh dari sempurna, tetapi kami berharap Skripsi ini
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman Cover.................................................................................................
ii
iii
ix
Daftar Lampiran................................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN
5
vi
14
vii
2.2.1 Definisi.................................................................................
14
2.2.2 Etiologi.................................................................................
15
15
17
18
20
21
2.2.8 Diagnosis..............................................................................
24
24
26
Tuberkolusis.........................................................................
26
viii
28
HIPOTESIS
29
30
31
31
31
31
4.2.1 Populasi................................................................................
31
4.2.2 Sampel..................................................................................
31
32
ix
32
32
33
33
33
34
34
34
34
4.6.1 Editing..................................................................................
34
4.6.2 Coding..................................................................................
34
x
4.6.3 Skoring..................................................................................
34
4.6.4 Tabulating............................................................................
35
35
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 4. Kuesioner
b. Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah.
Beratdan ringannya batuk darah yang timbul, tergantung dari
besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak
selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kavitas,
juga dapat terjadi katena ulserasi pada mukosa bronkhus. Batuk
darah inilah yang paling sering membawa penderita berobat ke
dokter.
c. Sesak nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan
kerusakan paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini
tidak pernah ditemukan.
d. Nyeri dada
Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat di
pleura terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.
2.2.4 Patofisiologi Tuberkulosis
Seseorang dicurigai menghirup basil Micobacterium tuberkulosis
akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan nafas ke
alveoli, dimana pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan
berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui sistem limfe
dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteksserebri) dan
area lain dari paru-paru (lobus atas).
Sistem kekebalan tubuh merespon dengan melakukan reaksi
inflamsi. Neutrofil dan magrofag memfagositosis (menelan) bakteri.
Limfosit yang spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan
(melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan inin
mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alfeoli dan terjadilah
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10
minggu setelah terpapar.
Masa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil
yang hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh magrofag yang
membentuk dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa
jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut Ghon
Tubercle.Materi yang terdiri atas magrofag dan bakteri menjadi
nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan
berbentuk kalsifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi
non-aktif.
Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal,
karena respons sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat
juga timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang
tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi ulserasi pada ghon tubercle, dan
akhirnya meanjadi perkijuan. Tuberkel yang ulserasi mengalami proses
penyembuhan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi
kemudian meradang, mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan
tuberkel, dan seterusnya. Peneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya.
Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau
berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar
getah bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang
mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang dikelilingi sel
epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respons berbeda dan
akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel
(Somantri, 2009: 67).
3) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas, seperti yang
a) Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
b) Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
c) Kembali diobati dengan BTA negative
3. Hasil Pemeriksaan Dahak secara Mikroskopis Langsung
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi
dalam: (Kemenkes RI, 2011)
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak, hasilnya BTA
positif.
2) 1 spesimen dahak, hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukan gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak, hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak pada pemeriksaan sebelumnyahasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto thoraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT,
bagi pasien dengan HIV negatif.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
2.2.8 Diagnosis
1. Diagnosis TB paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan
BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama.
c. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan fototoraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khaspada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
2. Diagnosis TB ekstra paru
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya
kaku kudukpada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura
(Pleuritis), pembesarankelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan deformitas tulangbelakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan
tubuh yang terkena (Kemenkes RI, 2011).
2.2.9 Pengobatan Tuberkulosis
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis (TB Paru) bertujuan untuk
menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktifitas serta kualitas
hidup, mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak
buruk selanjutnya, mencegah terjadinya kekambuhan, memutuskan
rantai penularan dan mencegah resitensi M. Tuberkulosis terhadap
obat anti tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014: 20). 2.1.10.2 Prinsip
pengobatan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting
dalam pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu
upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari
kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
(Kemenkes RI, 2014: 20)
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk oaduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
b. Diberikan dalam dosis yang tepat.
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
sampai selesai pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah
kekambuhan.
2. Tahapan Pengobatan Tb
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) menderita mendapat obat
setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan obat. Jikapengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB
BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada
tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dortmant) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).
2.2.10 Hasil Pengobatan Pasien Tuberkulosis
a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang (Follow-up) hasilnya negatif pada
AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya (Kemenkes RI, 2011).
b. Pengobatan lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada
AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya (Kemenkes RI, 2011).
c. Meninggal
Pasien yang meninggal dari masa pengobatan karena sebab
apapun (Kemenkes RI, 2011).
d. Pindah (Transfer out)
Pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan
(register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui (Kemenkes
RI, 2011).
e. Putus berobat(Defaulted)
Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai (Kemenkes RI, 2011).
f. Gagal
Pasien yang pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan (Kemenkes RI, 2011).
g. Keberhasilan pengobatan (Treatment success)
Jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan
pada pasien dengan BTA+ atau biakan positif (Kemenkes RI, 2011)
2.3 Kerangka Teori
Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat
4.7.4 Tabulating
Pada tahap ini, data yang sama dikelompokkan dengan teliti dan
teratur kemudian dihitung dan dijumlahkan, setelah itu dituliskan dalam
bentuk tabel-tabel.
No Umur n %
1 <20 tahun 5 8,6
2 20-35 tahun 43 74,2
3 >35 tahun 10 17,2
Jumlah 58 100
No PHBS n %
1 Baik 11 19,0
2 Cukup 17 29,3
3 Kurang 30 51,7
Jumlah 58 100
Berdasarkan Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa dari 58 pasien
tuberkulosis paru BTA+ sebagian besar perilaku hidup bersih dan sehat
berada pada kategori kurang sebanyak 30 orang (51,7%) dan sebagian
kecil perilaku hidup bersih dan sehat berada pada kategori baik
sebanyak 11 orang (19,0%).
5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Berdasarkan Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa dari 58
pasien tuberkulosis paru BTA+ sebagian besar berada pada kelompok
umur 20-35 tahun sebanyak 43 orang (74,2%) dan sebagian kecil
berada pada kelompok umur <20 tahun sebanyak 5 orang (8,6%).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dijelaskan
bahwa lebih dari separuh penderita tuberkulosis paru BTA+ di RSUD
Tanjung terjadi pada kelompok usia produktif. Menurut asumsi
peneliti, usia produktif dapat mempengaruhi terjadinya penyakit
tuberkulosis paru BTA+, karena orang yang berusia produktif biasanya
akan bekerja dan melakukan aktivitas di luar rumah. Sehingga mudah
terpapar dengan sumber polusi. Selain itu dengan aktivitas yang tinggi
dan kurang istirahat dapat menyebabkan penurunan sistim imun,
sehingga rentan terjadinya infeksi termasuk infeksi tuberkulosis.
Hal ini sesuai dengan pendapat Achmadi (2013), yang
menyatakan bahwa di Indonesia 75 persen penderita TB Paru adalah
kelompok usia tenaga kerja produktif. Karakteristik umur dapat
mempengaruhi kejadian Tuberkulosis Paru BTA+ karena semakin tua
umur seseorang maka semakin rentan terkena penyakit tuberkulosis
paru. Faktor umur dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko
untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya
kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena
diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap
tuberkulosis paru dengan baik.
5.2.2 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Pada Pasien Tuberkulosis Paru
BTA
Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai gambaran
perilaku hidup bersih dan sehat pada pasien tuberkulosis paru BTA +
diketahui bahwa dari 58 pasien tuberkulosis paru BTA+ sebagian besar
perilaku hidup bersih dan sehat berada pada kategori kurang sebanyak
30 orang (51,7%) dan sebagian kecil perilaku hidup bersih dan sehat
berada pada kategori baik sebanyak 11 orang (19,0%).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dijelaskan
bahwa tingkat perilaku hidup bersih dan sehat pada pasien tuberkulosis
paru BTA+ di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Utara
sebagian besar masuk dalam kategori kurang sebesar 51,7%.
Kuesioner PHBS yang digunakan dalam penilaian PHBS pada
responden yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Lombok Utara mencakup kesehatan lingkungan dan gaya hidup pasien
tuberkulosis paru TBA+. Jadi melalui penilaian PHBS kepada
responden tersebut, secara tidak langsung bisa didapatkan gambaran
umum responden mengenai kesehatan lingkungan dan gaya hidup.
Pada pelaksanaan penilaian PHBS terhadap pasien tuberkulosis paru
TBA + tersebut.
Hasil ini menunjukkan bahwa responden yang PHBS-nya
kurang di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Utara,
perlu adanya usaha untuk merubah kebiasaan perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) yang belum sesuai agar menjadi lebih baik untuk
menghindari suatu penyakit. Kebiasaan hidup yang kurang baik
tersebut diantaranya belum terbiasanya responden untuk menggosok
gigi 2 kali sehari dan kurangnya olah raga minimal 2 kali seminggu,
hal ini sesuai dengan latar belakang responden yang sebagian besar
buruh sehingga mereka tidak terbiasa atau tidak sempat untuk
melakukannya secara rutin. Kebiasaan merokok responden yang
termasuk tinggi berdasarkan jawaban kuesioner yaitu sehabis makan
kemudian merokok, menghabiskan rokok 1 bungkus dalam sehari yang
menjadi risiko menderita penyakit pernapasan dan merokok bergantian
dengan orang lain yang sangat berisiko terjadinya penularan
Tuberkulosis Paru.
Selain itu kebiasaan hidup pada pasien tuberkulosis paru BTA +
di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Utara seperti
menutup makanan dan minuman dimeja makan belum diterapkan
sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari, hal ini menyebabkan bakteri
Tuberkulosis dapat dengan mudah hinggap di makanan atau minuman,
sehingga akhirnya menyebabkan penularan Tuberkulosis Paru BTA+.
Kebiasaan menjemur alat-alat tidur seperti kasur, bantal, selimut, dan
membuka ventilasi (jendela rumah) setiap hari juga belum sepenuhnya
dilakukan responden khususnya kelompok kasus, sehingga wajar
apabila bagi responden yang pernah atau sedang menderita
Tuberkolusis Paru memiliki perilaku hidup bersih dan sehat yang
kurang baik. Sebagian besar responden juga belum memeriksakan
setiap keluhan kesehatan ke fasilitas kesehatan, sehingga jika ternyata
terkena Tuberkulosis Paru, kondisi penyakitnya akan semakin kronik
karena tidak segera mendapat pengobatan dan sangat berisiko
menularkan ke anggota keluarga dan orang-orang di sekitarnya.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tuberkulosis
terutama banyak terjadi di populasi yang mengalami stres, gizi jelek,
penuh sesak, ventilasi rumah yang tidak bersih serta perawatan yang
tidak cukup dan perpindahan tempat. Selain itu, genetik ternyata
memiliki peran kecil, namun faktor-faktor lingkungan berperan besar
pada insidensi kejadian tuberculosis. Lingkungan rumah menjadi salah
satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan
penghuninya (Notoatmodjo, 2012).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Deska Adi Kurniawan (2010) tentang : “Hubungan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kejadian Tuberkulosis Paru
pada warga di Kelurahan Jaraksari, Wonosobo, Jawa Tengah” dari
hasil penelitiannya diketahui bahwa sebagian besar responden PHBS -
nya masih dalam kategori kurang baik yaitu sebanyak 16 orang
(76,2%), dan hanya ada 5 orang (23,8%) yang masuk dalam kategori
baik. Hasil ini berarti pada kelompok kasus mayoritas responden
PHBS-nya belum baik, sehingga perlu adanya usaha untuk merubah
kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang belum sesuai
agar menjadi lebih baik untuk menghindari suatu penyakit.
Kebiasaan hidup yang kurang baik tersebut diantaranya belum
terbiasanya responden untuk mengosok gigi 2 kali sehari dan
kurangnya olah raga minimal 2 kali seminggu, hal ini sesuai dengan
latar belakang responden yang sebagian besar buruh sehingga mereka
tidak terbiasa atau tidak sempat untuk melakukannya secara rutin.
Sebagian kecil responden yang mandi sedikitnya 2 kali dalam sehari,
dengan alasan keadaan kota Wonosobo yang dingin dan lembab.
Kebiasaan merokok responden yang termasuk tinggi berdasarkan
jawaban kuesioner yaitu sehabis makan kemudian merokok,
menghabiskan rokok 1 bungkus dalam sehari yang menjadi risiko
menderita penyakit pernapasan dan merokok bergantian dengan orang
lain yang sangat berisiko terjadinya penularan Tuberkulosis Paru.
Selain itu kebiasaan hidup menutup makanan dan minuman
dimeja makan belum diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan sehari-
hari, hal ini menyebabkan bakteri Tuberkulosis dapat dengan mudah
hinggap di makanan atau minuman, sehingga akhirnya menyebabkan
penularan Tuberkulosis Paru. Kebiasaan menjemur alat-alat tidur
seperti kasur, bantal, selimut, dan membuka ventilasi (jendela rumah)
setiap hari juga belum sepenuhnya dilakukan responden khususnya
kelompok kasus, sehingga wajar apabila bagi responden yang pernah
atau sedang menderita Tuberkolusis Paru memiliki perilaku hidup
bersih dan sehat yang kurang baik. Sebagian besar responden juga
belum memeriksakan setiap keluhan kesehatan ke fasilitas kesehatan,
sehingga jika ternyata terkena Tuberkulosis Paru, kondisi penyakitnya
akan semakin kronik karena tidak segera mendapat pengobatan dan
sangat berisiko menularkan ke anggota keluarga dan orang-orang di
sekitarnya.
Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) yaitu untuk meningkatkan pengetahuan, sikap,
kesadaran dan kemampuan masyarakat agar hidup bersih dan sehat,
serta meningkatkan peran serta aktif masyarakat termasuk swasta dan
dunia usaha dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
sehingga masyarakat dapat terhindar dari penyakit (Dinkes, 2016).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang “Gambaran
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Pada Pasien Tuberkulosis Paru
BTA+ di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Utara”, maka dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar perilaku hidup bersih dan sehat pada
pasien tuberkulosis paru BTA+ berada pada kategori kurang sebanyak 30
orang (51,7%)
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Tenaga Kesehatan
Disarankan kepada tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Lombok Utara agar hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai tambahan informasi dan promosi kesehatan tentang
pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu juga diharapkan
lebih meningkatkan ilmu yang berkaitan dengan perilaku hidup bersih
dan sehat dan penyakit Tuberkulosis Paru BTA+, sehingga masyarakat
akan mengetahui informasi dengan baik untuk diterapkan agar angka
kejadian Tuberkulosis Paru dapat ditekan semaksimal mungkin.
6.2.2 Bagi Masyarakat
Disarankan kepada masyarakat khususnya pasien tuberkulosis paru
BTA+ agar hasil penelitian ini dapa dijadikan sebagai tambahan
informasi dan meningkatkan wawasan tentang perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) serta lebih aktif untuk berperilaku hidup bersih dan
sehat dengan cara menjaga kesehatan diri dan kebersihan rumah serta
lingkungan sekitar di manapun berada. Selain itu masyarakat lebih aktif
mencari informasi, pengetahuan dan penerapan dalam kehidupan serta
aktif berperan serta diberbagai penyuluhan kesehatan mengenai
pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terhadap
penularan Tuberkulosis Paru
6.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar hasil penelitian ini
dapat dijadikan sebagai literatur untuk melakukan penelitian tentang
gambaran perilaku hidup bersih dan sehat pada pasien tuberkulosis paru
BTA+ dengan menambahkan beberapa variabel yang belum diteliti.
,
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta : EGC.
Dinas Provinsi NTB, 2018. Jumlah Seluruh Pasien TB. Mataram : NTB.
RSUD Tanjung Lombok Utara, 2018. Jumlah Penderita TB paru BTA+ baru.
Mataram : Lombok Utara.
World Health Organization. 2011. The World Medicine Situation 2011 3ed.
Rational Use of Medicine. Geneva.
KUESIONER
PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU BTA + DIWILAYAH KERJA RSUD
TANJUNG LOMBOK UTARA
TAHUN 2019
A. Identitas
1. Nama Anda :
2. Umur :
3. Pendidikan :
4. Pekerjaan :
5. Sudah berapa lama terinfeksi TB :
6. Apakah sudah sembuh atau belum :
7. Lama Pengobatan :