Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat


serta nikmat-Nya sehingga tugas penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan.

Terima kasih kepada ibu dan bapak dosen mata kuliah psikologi
agama yang telah memberikan tugas ini kepada kami, sehingga dapat
menambah pengetahuan kami tentang psikologi Dhuafa dan Agniya’
dalam.

Kami berharap bahwa penyusunan makalah menjadi lebih baik


lagi, oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari ibu
bapak dosen mata kuliah untuk perbaikan makalah kami di waktu yang
akan datang.

Kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah


pengetahuan bagi para pembaca.

Pekanbaru, Juni 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... I

DAFTAR ISI ....................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi Agniya' dan Dhufa.................................................................


B. Pandangan Manusia Terhadap Kemiskinan ............................................................
C. Sisi Psikologis Dari Kekayaan dan Kemiskinan
D. Islam Menjawab Masalah Ketimpangan Sosial.......................................................
E. Hikmah zakat Dan infak .........................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aghniya adalah kosakata bahasa Arab, asal katanya ghoniyyun


yang artinya kurang lebih berkecukupan atau kaya. Kaum aghniya bisa
diterjemahkan sebagai konglomerat. Kaum dhuafa adalah golongan
manusia yang lemah, hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan, kelemahan,
ketakberdayaan, ketertindasan, dan penderitaan yang tiada putus.
Keadaan status ekonomi kemungkinan besar akan mempengaruhi
psikologis manusia. Hal ini bisa berimplikasi pada kejiwaan dan tingkat
stress seseorang. Namun hal ini tidak pula bisa dimaknai dengan
sepenuhnya, karena kekayaan bukanlah tolak ukur mutlak dari tingkat
kebahagiaan. Kebahagiaan sejatinya berasal dari hati yang selalu
bersyukur kepada Allah SWT.

Di dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang kekayaan


(agniya’) dan kemiskinan (dhuafa’), sisi psikologisnya, serta solusi dari
Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaum aghniya’ dan dhuafa?
2. Bagaimana keadaan psikologis kaum aghniya’ dan dhuafa?
3. Bagaimana sikap Islam terhadap aghniya’ dan dhuafa?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian aghniya’ dan dhuafa.
2. Untuk mengetahui bagaimana keadaan psikologis kaum aghniya’ dan
dhuafa.
3. Untuk mengetahui bagaimana sikap islam terhadap kaum agniya’ dan
dhuafa’?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi Agniya' dan Dhufa


Dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 32, Allah berfirman:
☼ ‫وما الحيوة الدنيا إال لعب و لهو وللدار األخرة خير للذين يتقون أفال تعقلون‬
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan,
kalau mereka mengetahui. (Al Ankabut: 64)
Dalam tafsir al-Qurtuby dikemukakan bahwa “senda gurau dan
main-main” yang dimaksudkan adalah gurauan dan permainan saja, yang
bersifat duniawi dan Allah hanya memberikan pada orang-orang
berkategorikan “al-Aghniya”, bisa diartikan orang yang memiliki harta
benda lebih banyak (kaya raya), tapi juga bisa diartikan dengan orang yang
diberikan kesempatan untuk memahami dunia secara lebih maksimal.1
Aghniya adalah kosakata bahasa Arab, asal katanya ghoniyyun
yang artinya kurang lebih berkecukupan atau kaya. Kaum aghniya bisa
diterjemahkan sebagai konglomerat.2
Kaum dhuafa adalah golongan manusia yang lemah, hidup dalam
kemiskinan, kesengsaraan, kelemahan, ketidakberdayaan, ketertindasan,
dan penderitaan yang tiada putus.
Kaum dhuafa dan mustadh’afin adalah manusia-manusia yang
hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan, kelemahan, ketidakberdayaan,
ketertindasan, dan penderitaan yang tiada putus. Berikut ini jenis-jenis
Dhuafa dan Mustadh’afin
Pertama, karena lemah ekonomi. Kedua, hidup mereka tergantung
dengan orang lain. Ketiga, tidak memiliki pekerjaan dan sumber
penghasilan. Keempat, menderita dan mendapat musibah. Kelima, tidak

1
http://makalahpsikologi.blogspot.com
2
https://id.answers.yahoo.com
mampu mencari rezeki. Keenam, tidak memiliki tempat tinggal. Ketujuh,
uzur dan lemah. Kedelapan, kehilangan mata pencaharian. Kesembilan,
penghasilan yang rendah dan tidak mencukupi. Kesepuluh, kehabisan
bekal dalam perjalanan.
B. Pandangan Manusia Terhadap Kemiskinan
1. Pandangan Kelompok Al Muqaddisin Atau Sanctifisme

Menurut kelompok ini kemiskinan bukanlah masalah akan


tetapi kemiskinan adalah nikmat Allah yang diberikan kepada hamba
yang dicintainya agar hatinya selalu bergantung kepada akhirat zuhud
terhadap dunia dan terhubung dengan Allah serta menyayangi sesama
sesungguhnya kekayaan hanya akan menjadikan manusia menjadi
sombong

2. Pandangan Kelompok Fatalisme Atau Al-Jabbariyin

Kelompok ini memandang bahwa kemiskinan itu merupakan


penderitaan dan ujian akan tetapi merupakan takdir yang tidak bisa
diubah, maka takdir ini merupakan kehendak dari Allah, Jika saja
Allah menghendaki niscaya ia akan menjadikan seluruh umat manusia
ingin menjadi kaya dan diberi harta karun, akan tetapi Allah
subhanahu wa ta'ala dan ingin meninggikan sebagian dari mereka di
atas sebagian yang lain dengan meluaskan rezeki sebagian mereka
menurut kehendak-nya, Tujuannya adalah untuk menguji mereka
dengan pemberiannya.

3. Pandangan Para Penyeru Shodaqoh Perseorangan

Kelompok ketiga berpandangan bahwa kemiskinan itu adalah


penderitaan ujian dan program yang memiliki yang memerlukan solusi
solusinya tidak hanya berfokus pada fakir miskin tetapi juga terhadap
hartawan supaya berkurban dan bersedekah kepada fakir miskin
kelompok ini juga menjanjikan kedermawanan tersebut mendapatkan
pahala yang baik disisi Allah.3

Namun di sisi lain pandangan ini tidak menentukan jumlah


yang wajib diberikan untuk kaum dhuafa’ dan tidak pula menetapkan
sanksi hukum tertentu bagi yang enggan mengeluarkannya, tidak pula
menyelenggarakan organisasi khusus untuk memperhatikan
kesejahteraan kaum dhuafa’. Sedekah dan bentuk amal sosial lain
diselenggarakan berdasarkan hati nurani. Sehingga kaum dhuafa’
tidak memiliki bagian yang jelas dari sedekah.

4. Pandangan Kelompok Kapitalisme

Kelompok ini memandang bahwa kemiskinan merupakan


kesulitan hidup dan problem namun yang bertanggung jawab atas hal
ini adalah orang miskin itu sendiri karena kemiskinan adalah akibat
nasib dan kemampuan masing-masing.

Salah satu yang termasuk dari kelompok ini adalah Qorun yang
berpendapat bahwa ia lebih berhak atas hartanya karena harta tersebut
menurutnya merupakan adalah hasil dari usahanya sendiri. 4

5. Pandangan Islam Yang Sebenarnya

Pandangan Islam yang sebenarnya terhadap kemiskinan ini


hampir sama dengan pandangan para penyeru sedekah, akan tetapi di
dalam Islam ditetapkan kewajiban mengeluarkan harta bagi kaum
aghniya’, sehingga ada jaminan harta bagi kaum dhuafa’. Selain itu
sanksi dalam Islam bagi orang yang enggan membayar zakat adalah
diperbolehkan untuk diperangi.

3
Komarudin Hidayat, Psikologi Beragama, (Bandung: Mizan publik, 2010), h.
133
4
Ibid. h. 133
C. Sisi Psikologis Dari Kekayaan dan Kemiskinan
Kekayaan yang tidak dibarengi dengan ketakwaan akan
melahirkan sikap sombong. Namun bukan berarti kekayaan
merupakan sebuah kesalahan, karena kekayaan akan menghasilkan
pahala jika digunakan pada kebaikan.
Kekayaan yang berkah adalah kekayaan yang
mengantarkan pemiliknya menuju ketakwaan bukan pada
kekufuran. Ada banyak kasus yang kita jumpai bahwa orang
bertindak apatis terhadap orang yang di bawah. Namun tidak
sedikit pula orang yang kaya memiliki kepedulian sosial yang
tinggi.
Begitu pula dengan kemiskinan, ada banyak dampak yang
ditimbulkan oleh kemiskinan ini, seperti keretakan rumah tangga,
rentannya untuk menjadi pelaku kejahatan, dan juga kemiskinan
bisa mengganggu psikologis manusia.
Menurut Hollingshead dan Redlich (1970) stratifikasi sosial
mempengaruhi jenis gangguan mentalnya yang akan diderita.
Kelompok kelas sosial rendah lebih besar prevalensi gangguan
psikiatrinya daripada masyarakat yang kelas sosial tinggi (Heller,
1984).
Di antara penyebab life stress yang sangat signifikan bagi
munculnya sakit mental adalah variabel status sosial ekonomi.
Dimana kelompok status sosial ekonomi rendah lebih potensial
enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dari kelas
sosial ekonomi tinggi ( kaplan dan sadock, 1994.5

Ketika menyelusuri jalan-jalan di kota besar, maka


pemandangan yang amat kontras antara mobil mewah yang
semakin memadati jalan, sementara di pinggiran jalan yang sama
tampak pengemis, pengamen, juga anak-anak terlantar.

5
Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental: Konsep Dan Penerapannya,
(Malang: UMM, 2002) Hal 100.
Mereka yang kurang memiliki empati, akan bersikap biasa
saja menyaksikan pemandangan itu. Bagi yang memiliki rasa
peduli tentu merasa prihatin. Bagaimana nasib mereka jika tidak
diperhatikan, tentulah akan menjadi sumber permasalahan sosial di
kemudian hari.

Dengan kondisi hidup seperti itu mereka rawan dengan


pemurtadan, aksi kekerasan serta pelecehan seksual terhadap
perempuan dan anak-anak.

Nasib mereka adalah tanggung jawab seluruh umat Islam.


Sayangnya, paham matrealisme dan individualisme sudah
meracuni sebagian umat Islam. Mereka merasa sedekah hanya akan
menghabiskan harta yang mereka raih dengan jerih payah serta
kerja keras. Dalam sebuah Hadis, Rasullullah SAW menyatakan:

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Allah akan menambah


kemuliaan kepada mereka yang mau memberi maaf dan tawadduk
(merendahkan ego karena Allah). (HR Muslim)

Matrealisme memandang harta yang dimiliki semata-mata


hasil jerih payah dan kerja keras. Memberikan harta kepada orang
lain yang membutuhkan hanya dianggap akan menguranginya.
Paham matrealisme sangat lekat dengan konsumerisme, di mana
orang gemar berperilaku konsumtif.

Tayangan televisi serta iklan-iklannya seolah mendorong


pola hidup yang konsumtif. Seseorang dengan keimanan yang
tidak cukup kuat akan mudah terpengaruh oleh iklan-iklan tersebut
sehingga timbullah keinginan untuk memiliki sesuatu yang lebih,
hingga lupa bagaimana caranya untuk bersyukur.

Acuan yang seringkali digunakan adalah “apa yang belum


dimiliki” dan bukannya “apa yang telah dimiliki”. Secara
psikologis, manusia seringkali merasa dirinya kekurangan. Perlu
diingat bahwa kebutuhan itu sifatnya terbatas sedangkan keinginan
sifatnya tidak terbatas. Mungkin saja seseorang menginginkan
mobil mewah yang luar biasa mahal, pada hal ia hanya
membutuhkan mobil sederhana untuk memudahkan pekerjaan dan
keperluannya.

Jika acuannya selalu kepada keinginan, maka manusia akan


selalu merasa kekurangan sehingga kepekaan mereka terhadap
lingkungan sekitar yang serba kekurangan akan semakin tumpul.

Tanpa disadari, sikap acuh tersebut menimbulkan


kemarahan serta rasa benci dari orang yang memang kekurangan.
Mereka bisa saja berpikir bahwa semua orang memang tidak peduli
terhadap mereka, dan orang kaya harus dirampok dan dicuri
terlebih dahulu, baru keluar uangnya.

Kemerataan sosial dapat dicapai apabila yang berkelebihan


harta bersyukur serta mengeluarkanh hartanya untuk kaum dhuafa’.
Sedangkan mereka yang kekurangan dapat memanfaatkan bantuan
tersebut supaya lebih mandiri. Firman Allah Subhanahua Ta’ala
dalam alquran:

Dan berikanlah hak keluarga-keluarga yang dekat, kaum


miskin dan yang terlantar dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan uang secara boros.

Sungguh para pemboros betul-betul saudara setan, dan


setan itu sangat ingkar kepada (nikmat) tuhannya. (QS al-isra 17:
26-27)

Tidaklah sempurna ibadah manusia yang selama hidupnya


hanya mementingkan hablun minallah, seperti shalat puasa dan
lain sebagainya. Antara hablun minallah dan hablun minannas
harus sejalan dan seimbang. Sebab esensi ibadah yang bersifat
langsung kepada Allah adalah agar bisa diimplementasikan ke
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya orang yang shalatnya
khusu’ akan terjaga kesuciannya dari perbuatan dosa, karena sholat
dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji serta mungkar. Pada
akhirnya ia memberi rasa tentram bagi lingkungan sekitarnya.

Bagi orang yang sempurna puasanya, maka ia akan


merasakan bagaimana sakitnya menahan lapar dan haus selama
berpuasa, hal ini akan menimbulkan rasa kasih sayang dari dalam
dirinya kepada kaum miskin. Sifat kikirnya hilang dan berganti
dengan kedermawanan.

Dan bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, maka


selama pelaksanaan hajinya bersama ribuan umat Islam yang
memakai pakaian ihram yang sama putih. Tidak ada perbedaan
antara jendral dengan orang lemah di atas kursi roda, tidak ada
perbedaan antara yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam.
Tidak ada perbedaan antara orang kaya raya dengan kaum dhuafa’
yang dihajikanya.

Maka dengan begitu maka tidak ada lagi kaum awam yang
dilecehkan karena merasa sebagai orang yang pendidikan rendah.
Tidak memandang hina kaum jelata hanya karena membanggakan
kebangsawanan6.

D. Kekayaan Dan Kemiskinan Serta Segala Problematikanya

Sistem Islam telah mengharamkan gaya hidup yang


bermewah mewah yang telah memecah manusia menjadi minoritas
kaya dan mayoritas miskin. Dalam rangka menjauhi gaya hidup
mewah, Islam mengharamkan wadah-wadah dari emas perak dan
lain-lain yang bertahtakan permata sebab yang demikian ini alat-
6
Iman Rachman, Islam Menjawab Semua Masalah Hidup, (Jakarta: Erlangga, 2011), hal. 53.
alat kemewahan orang-orang yang sombong sebagaimana juga
emas dan sutra telah diharamkan bagi laki-laki.

Fakir miskin dalam Islam bukanlah suatu kasta, ataupun


sesuatu yang abadi melainkan sebuah perjalanan yang berpindah
tempat, bersembunyi dan akhirnya menghilang. Sementara itu fakir
miskin tiada lain adalah individu-individu yang kadang-kadang
hari ini miskin dan esok kaya, sebab berbagai pintu peluang dan
kesempatan terbuka terus bagi semua orang. Allah SWT
berfirman:

Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka


dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui. (QS. An-Nur:32)

Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah


kesempitan. (QS. At-Thalaq:7)

Dalam hal membungakan uang, sistem Islam


mengharamkan monopoli dan riba, karena kedua cara ini adalah
pondasi yang dijadikan sebagai asas paham kapitalis. Islam juga
melarang keras menumpuk-numpuk dan mendiamkan uang dengan
mengancam para pelakunya dengan siksa yang amat berat.7

Dalam mengatur harta anak yatim, Islam menganjurkan


agar harta harta anak yatim dikembangkan dalam bentuk usaha
agar harta warisan yang mereka terima tidak dimakan oleh zakat
dari tahun ke tahun. Harta ini bisa saja dikembangkan dalam
bentuk usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan, hal ini
merupakan tanggung jawab dari wali anak yatim atau orang-orang
yang menanggung anak yatim tersebut. Intinya sistem Islam
mewajibkan agar muslim agar kaum muslimin menjaga keadilan

7
Dr. Yusuf Qardhawi, Shodaqoh Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan (terj), (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2013). Hal.188.
dalam setiap hubungan usaha di antara manusia dengan kaidah
yang lebih teliti tujuannya agar masing-masing pihak dapat
memperoleh haknya dan tidak saling mencurangi.

Islam mengajarkan umatnya bahwa kehormatan dan


kemuliaan manusia bukanlah terletak pada harta, emas atau
peraknya, akan tetapi karena ilmu, iman dan taqwanya, juga karena
amal salehnya.

Sesungguhnya orang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah


orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS Al-Hujurat: 13).

Masyarakat jahiliah mengukur kemuliaan seseorang dengan


banyaknya kekayaan, kedudukan ataupun kekuasaan yang
dimilikinya. Dengan demikian nilai orang memiliki uang Rp1.000
adalah Rp1.000 atau nilai orang yang mempunyai dirham adalah
dirham.

Kekayaan dan kesejahteraan masyarakat muslim


pemerintah mencapai puncaknya pada masa Umar bin Abdul Aziz,
pada masa Umar bin Abdul Aziz ini tidak ditemukan pula muslim
yang berhak menerima zakat karena tingginya kesejahteraan
masyarakat pada masa itu, bahkan Jauh sebelum masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz beberapa wilayah juga tertolong oleh
pemerintahan Islam serta keadilan di masa Umar Bin Khattab
sehingga mencapai kekayaan besar. Diceritakan bahwa Umar Bin
Khattab pernah memarahi gubernurnya karena mengirim kekayaan
dari wilayah pelosok ke wilayah pusat. Lantas Umar mengatakan
kepada Gubernurnya bahwa dia tidak mengutusnya untuk
memunguti pajak tetapi untuk mengambil harta dari kelompok
kaya untuk diberikan kepada fakir miskin fakir setempat.

E. Islam Menjawab Masalah Ketimpangan Sosial


Solusi Islam mengentaskan kemiskinan (1). Bekerja (2).
Zakat (3). Baitul mal zakat (4). Menunaikan hak di luar zakat :
(a). Hak Tetangga (b). Berkurban pada hari raya Idul Adha (c).
Kifarat melanggar sumpah (d). Kifarat Zhihar (e). Fidyah orang
lanjut usia dan orang sakit yang berkepanjangan (f). Sembelihan
hadyu (g). Hak tanaman ketika panen hak mencukupi fakir miskin.
(5). Sedekah sukarela dan kedermawanan setiap orang negara
setiap orang (6). Waqaf8

F. Hikmah zakat Dan infak

Di dalam al-qur’an dijelaskan, yang artinya:

“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang


lain, dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan
(rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama-sama
(merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah.” (An-Nahl/16:71)

Kesenjangan itu perlu didekatkan, dan sebagai salah satu


caranya adalah dengan zakat dan infak, sebagaimana firman Allah,
yang artinya:

“Dan pada harta mereka ada hak orang miskin yang


meminta dan orang yang hidup kekurangan.” (Adz-
Dzaariyaat/51:19)

Sabda Rasulullah SAW, yang artinya:

“Bentengilah (jagalah) hartamu dengan zakat, obatilah


orang sakit dengan sedekah, dan siapkan doa (sebagai penangkal)
untuk menghadapi bala bencana.” (HR.Thabrani dan Abu Na’im)

8
Dr. Yusuf Qardhawi, Shodaqoh Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan (terj), (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2013). Hal.42.
Di antara hikmah zakat dan infak:

Pertama, menyucikan harta dari kemungkinan masuknya


harta orang lain ke dalam harta yang di miliki tanpa sengaja. Selain
itu, hak orang lain pun memang ada dalam harta yang di miliki itu,
sebagaimana firman Allah, yang artinya :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-


orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat para
mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang di
wajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (at-Taubah/9:60)
Kedua, menyucikan jiwa si pemberi zakat dari sifat kikir
(bakhil). Ketiga, membersihkan jiwa si penerima zakat dari sifat
dengki, biasanya terjadinya kesenjangan dalam masyarakat
mengenai status sosial, atau jurang terlalu jauh antara si kaya dan si
miskin, maka akan terjadi kecemburuan sosial yang berujung pada
tindak kejahatan.
Hal ini terjadi karena adanya rasa iri hati, kecemburuan
sosial, sifat dengki terhadap orang kaya. Sekiranya orang kaya
peduli terhadap nasib mereka, zakat dapat di salurkan dan
terkoordinir dengan baik, maka peminta-minta akan berangsur
hilang dari jalanan. Di samping itu harus ada arahan, bahwa para
mustahik (penerima zakat) itu pada suatu saat harus berupaya
menjadi muzaki (pemberi zakat).
Keempat, membangun masyarakat lemah. Masih banyak
masalah sosial kemasyarakatan yang memerlukan dana. Bagian
(asnaf) fisabilillah cakupannya lebih luas, yaitu yang berhubungan
dengan kepentingan umat islam, sepanjang tidak bertentangan
dengan dasar-dasar pokok ajaran agama islam.9

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu dengan


berpasangan, dan pasangan dari kaya adalah berkecukupan. Sesungguhnya
kemiskinan yang merajalela di atas muka bumi saat ini bisa jadi
diakibatkan karena diterapkannya sistem ekonomi liberal sekuler yang
menguntungkan salah satu pihak dan merugikan banyak pihak. Islam

9
M. Ali Hasan, Zakat Dan Infak, (Jakarta: Kencana, 2006), hal 18.
adalah agama yang sempurna, Islam telah mengatur lingkup kehidupan
umatnya termasuk masalah perekonomian.

Maka solusi sempurna yang dapat menyelesaikan permasalahan


hingga ke akar-akarnya adalah sistem perekonomian Islam, di mana di
dalam islam diatur bagaimana kepemilikan seorang muslim terhadap harta
yang dimilikinya sehingga harta yang ia miliki tidak hanya yang mati
sendiri tanpa memikirkan orang lain

B. Saran

Kita ini adalah manusia maka lakukanlah tugas kemanusiaan. Ungkapan ini
sederhana namun memiliki makna yang mendalam, kata-kata ini mengajak para
pendengarnya agar lebih memiliki empati terhadap sesama manusia, maka sudah
seharusnya yang memiliki kelebihan harta agar menyisihkan sebagiannya untuk
diberikan kepada yang berkekurangan. Setiap manusia wajib menghargai segala
yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Hasan, M. Ali. 2006. Zakat Dan Infak. Jakarta: Kencana.


Hidayat, Komarudin. 2010. Psikologi Beragama. Bandung: Mizan publik.
Notosoedirjo ,Moeljono. 2002. Kesehatan Mental: Konsep Dan Penerapannya.
Malang: UMM.
Nuruddin, Amiur. 2010. Dari Mana Sumber Hartamu?. Jakarta: Erlangga
Rachman, Iman. 2011. Islam Menjawab Semua Masalah Hidup. Jakarta:
Erlangga,.
http://makalahpsikologi.blogspot.com
https://id.answers.yahoo.com
https://brainly.co.id

Anda mungkin juga menyukai