Anda di halaman 1dari 43

BANI UMAYYAH 1

A. Latar Belakang

Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang
politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman politik Mu`awiyah sebagai Bapak
pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan
miring tentang pemerintahannya.[1]

Kekuasaan Daulah Umayyah dapat bertahan karena ditopang oleh paham kesukuan yang muncul
sejak terjadinya tragedy terbunuhnya Utsman. Kekuasaaan Daulah Umayyah ini selalu membawa
bendera suku Quraisy yang tidak dapat dilepaskan. Dan didukung pula adanya pribadi yang tangguh
dalam menghadapi berbagai kekacauan yang terjadi dan dapat mengontorol wilayah yang jauh dari
pusat kekuasaan. Pemerintahan ini juga mampu memposisikan paham kekuasaan absolute dalam
batas yang masih terkontrol. Hal ini didukung oleh makin koopratifnya kelompok Islam yang lain
terhadap pemerintah. Sedangkan dalam kehidupan sosial, kekuatan yang berpaham keislaman yang
pada masa Ali berlawanan dengan paham kesukuan, pada masa Daulah Umayyah justru berpaling
mendukung Mu`awiyah. Hal ini disebabkan karena Daulah Umayyah tidak menampakkan
permusuhan dengan paham-paham keislaman, yang sesungguhnya merupakan strategi penguasa
untuk menghindari terjadinya kekacauan akibat berkembangnya paham kesukuan.[2]

Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750) tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun
mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan
berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.
[3]

Walau pada awalnya Daulah Umayyah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun
kelompok ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan
kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu kekuatan kesukuan, gerakan oposan
dan paham keislaman secara umum, yang tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek
pemerintahan, aspek ekonomi dan sosial kemasyarakatan.[4]

Dari berbagai kemajuan yang dicapai Daulah Bani Umayyah yang dimulai oleh pendiri daulah
tersebut yakni Mu`awiyah Bin Abi Sufyan, ternyata tidak mampu membuat Daulah tersebut
langgeng, bahkan ia akhirnya jatuh menyisakan puing-puing kehancuran setelah munculnya
kekuatan baru dari Bani Abbasiyah

B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis akan bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

Apa faktor-faktor kemunduran Daulah Bani Umayyah?

Apa Sebab-sebab kehancuran Daulah Bani Umayyah?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kemunduran

Mu`awiyah mendirikan Daulah Umayyah pada tahun 41 H di Damaskus, dengan berdirinya pusat
pemerintahan Islam yang baru tersebut berarti bergeserlah pusat pemerintahan Islam dari Madinah
ke Damascus. Perpindahan ibu kota tersebut terjadi melalui proses yang panjang didukung oleh
strategi politik yang dibangun oleh Mu`awiyah. Dan Mu`awiyah memperoleh pengalaman politik
dalam masa yang cukup lama, yakni mulai masa Rasulullah SAW sampai masa khalifah yang terakhir.
[5]

Dengan berdirinya Daulah Umayyah, maka sistem politik dan pemerintahan berubah. Pemerintahan
khalifah tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah-khalifah
sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun-temurun melalui pemilihan, seorang
khalifah tidak lagi harus sekaligus pemimipin agama sebagimana khalifah-khalifah sebelumnya.
Urusan agama diserahkan kepada para ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika
dipandang perlu oleh khalifah.[6]

Selama masa pemerintahan dan kekuasaan khalifah pertama (Mu`awiyah), Daulah Umayyah banyak
mencapai keberhasilan, terutama penaklukan sejumlah kota penting di kawasan Asia Tengah, seperti
Kabul, Heart dan Gazna. Dalam pemerintahan, ia mendirikan beberapa departemen yang mengurus
masalah-masalah kepentingan umat, seperti playanan pos, pembagian tugas pemerintahan pusat
dan daerah, pemungutan pajak dan pengangkatan gubernur-gubernur di daerah.

Kalau ditelusuri lebih jauh daulah tersebut berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun,
dengan 14 orang khalifah. Yang dimulai oleh Mu`awiyah Ibn Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan Ibn
Muhammad. Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai
bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah.
Adapun urutan khalifah Daulah Umayyah adalah sebagai berikut:[7]

Mu`awiyah Bin Abu Sufyan


Yazid Bin Mu`awiyah (Abu Khalid al-Umawi)

Mu`awiyah Bin Yazid

Abdullah Bin Zubair

Abdul Malik Bin Marwan

Al-Walid Bin Abdul Malik

Sulaiman Bin Abdul Malik

Umar Bin Abdul Malik

Yazid Bin Abdul Malik Bin Marwan

Hisyam Bin Abdul malik

Al-Walid Bin Yazid Bin Abdul Malik

Yazid An-Naqish, Abu Khalid Bin Al-Walid

Ibrahim Bin Al-Walid Bin Abdul Malik

Marwan Bin Muhammad, Al-Himar

Empat orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu: Mu`awiyah, Abdul Malik, Al-
Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20
tahun saja. Dan para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar
mereka ialah: Mu`awiyah, Abdul Malik dan Umar Ibn Abdul Aziz.[8]

Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan,
sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, Mu`awiyah
mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukanya jika ia
meninggal, pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679. untuk mengamankan pencalonann
itu, Mu`awiyah melakukan bebagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh
lapisan masyarakat.[9]

Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka
masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar, Abdul Rahmn bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah
bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah
yang diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah
diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.[10]

Setelah Mu`awiyah wafat, Daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang goyah,
kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas dengan raja baru yang
sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota. Pengangkatan putera mahkota ini
mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan sipil yang menyebabkan
terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkepanjangan.

Maka setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia
terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga, kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn
Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi`ah (pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan
kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husain Ibn Ali pada tahun 680 M. namun
tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang tidak seimbang, kepalanya
dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di kubur di Karbala.[11]

Perlawanan kaum Syi`ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih
keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi`ah terjadi,
diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang mendapat dukungan dari kaum
Mawali pada tahun 685-687 M.[12] selain itu Bani Umayyah juga mendapat tantangan dari kaum
Khawarij, dan meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun
dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan gerakan oposisi dalam
pemerintahan Bani Umayyah.

Dan hubungan pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia juga
memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai keyakinan dan
kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.[13] tetapi
sayang sekali angin kedamain yang berhebus dari pesona kepemimpinan Umar yang adil dan
bijaksana ini tidak berlangsung lama, hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau
meninggal dunia. Penggantinya adalah Yazid Ibn Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda
dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan
rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Hisyam Ibn Abd. Malik
(724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahahn Bani Umayyah. kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh
golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya
kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayyah dan mengantinya dengan Daulah baru,
yakni Daulah Bani Abbasiyyah.

Sepeniggal Hisyam Ibn Abd. Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah
tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M
Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani.
[14] Marwan Bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan
dibunuh disana.[15]

Dari berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak mampu
menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari
fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang akhirnya berujung pada kejatuhan Bani
Umayyah dapat diidentifikasikan antar lain sebagai berikut:

Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan Himyariyah yang
berdiam di wilayah Suriah. Di zaman  Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya,
karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.

Ketidak puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu stastus yang
menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat
fasilitas dari penguasa  Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan
bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-
hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini
jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.

Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik
politik. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-
waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan  Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah
pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut
kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani  Umayyah dalam memimpin umat.[16]

B. Kehancuran

Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah,


kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya meningkatnya
kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa
Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki
pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut islam baru, mawali diperlakukan sebagai
masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis
merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler.
Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan
dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan
timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab
Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan
faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah
Abbasiyyah.[17]

Namun secara garis besar menurut Badri Yatim faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah
lemah dan membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :

Sistim pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi
Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota
keluarga istana

Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik
yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan
oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti
dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak
menyedot kekuatan pemerintah.

Pada masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan
Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang
persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di
Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan
suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani
Umayyah

Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah
dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian
penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang
Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru
yang dipelopori  oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan
penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh
pemerintahan Bani Umayyah.[18]

Dari uraian kemunduran dan kehancuran Daulah Bani Umayyah diatas, penulis melihat hal ini
merupakan sunnatullah bahwa setiap kekuasaan dan peradaban akan mencapai puncak

ِ ‫َوتِ ْلكَ اَأليَّا ُم نُد‬


ِ َّ‫َاول ْها َ بَ ْينَ الن‬
kemajuannya, dan akan menelusuri jurang kehancurannya dikemudian hari. […‫اس‬
]19

Kemunduran Bani Umayyah


Dinasti Bani Umayah mengalami masa kemunduran yang di tandai dengan melemahnya sistem
politik dan kekuasaan karena banyak persoalan yang dihadapi para penguasa dinasti ini.

Seperti diketahui, bahwa setelah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, para khalifah Bani Umayah tidak
ada yang dapat di andalkan untuk mengendalikan pemerintahan dan keamanan denga baik. Selain
itu mereka juga tidak dapat mengatasi pemberontakan di dalam negeri secara tuntas. Bahkan
mereka tidak mampu lagi menjaga keutuhan dan persatuan di kalangan keluarga Bani Umayah
sehingga sering terjadi pertikaian di dalam rumah tangga istana. Penyebabnya adalah perebutan
kekuasaan. Siapa yang akan menggantikan kedudukan khalifah dan seterusnya.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dari keruntuhan Bani Umayyah antara lain:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi
Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas, sehingga menyebabkan
terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.

2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik
yang terjadi di masa ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhu-. Sisa-sisa Syi’ah dan Khawarij terus menjadi gerakan
oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di
masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah.

3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays)
dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang
persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non-Arab), terutama di
Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan
suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani
Umayyah.

4. Lemahnya para khalifah, kecenderungan mereka hidup santai, sikap hidup mewah di lingkungan
istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka
mewarisi kekuasaan dan keluarnya mereka dari prinsip-prinsip Islam yang menjadi tonggak tegaknya
sebuah negara. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap
perkembangan agama sangat kurang.

5. Pertikaian para khalifah dan permusuhan mereka satu sama lain padahal tadinya seia–sekata dan
satu tangan dalam menghadapi pihak luar. Yazid bin Walid Abu Khalid yang bergelar “an-Naqidh”
misalnya, mengkudeta khalifah dan membunuh misannya Walid hanya untuk bisa menjadi khalifah.

6. Banyak bermunculan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi yang memecah belah


eksistensi negara.

7. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas bin Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan
penuh dari Bani Hasyim dan dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani
Umayyah. Wallahul musta’an.

Setelah sekian lama mengalami masa-masa kemunduran akhirnya dinasti umayah benar-benar
mengalami kehancuran atu keruntuhan. Keruntuhan ini terjadi pada masa pemerintahan Marwan
bin Muhammad setelah memerintah lebih kurang 46 tahun. (744-750 M)

KEMAJUANNYA

Seni budaya/sastra meningkat pada masa Bani Umayyah terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa
dan seni bangunan (arsitektur). Sementara seni tari tidak dimasukkan dalam kategori seni budaya,
sekalipun tari-tarian berkembang luas khususnya dalam istana-istana dan gedung-gedung orang
kaya.

Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:

a. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:


- Al-Ulumul Islamiyah

- Al-Ulumud Dakhiliyah

b. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliah

3. Perkembangan ekonomi bani umayyah ditandai dengan penggunaan mata uang dinar, dirham dan
perunggu.

4. Administrasi pemerintahan pada masa Bani Umayyah meliputi; jabatan khalifah (kepala negara)
yang memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan jabatan-jabatan dan jalannya pemerintahan,
wizarah (kementerian) yang bertugas membantu atau mewakili khalifah dalam melaksanakan
tugasnya sehari-hari, kitabah (kesekretariatan), dan hijabah (pengawalan pribadi).

DINASTI ABBASIAH

Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah

Kekhalifahan bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari kekhalifahan bani Umayyah, diman
pendiri bani Abbasiyah adalah keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad SAW yaitu Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang di
terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.  
Ketika dinasti Umayyah berkuasa bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan. Bani
Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi pada kegiatan
keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani abbas, seperti Ali bin
Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan,
meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal
dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan
gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan
pembantaian terhadap seluruh bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang
berkuasa. 
Orang-orang Abbasiyah, sebut saja bani Abbas merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah keturunan bani Hasyim yang secara nasab keturunan
lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang-orang Umayyah secara paksa menguasai
kekhalifahan melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan dinasti Abbasiyah
mereka mengadakan gerakan yang luar biasa dalam bentuk pemberontakan terhadap bani
Umayyah.[1] Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai
gerakan rahasia. Akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan
kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir yaitu Marwan bin
Muhammad. Ibrahim tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran
sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya yaitu Abul Abbas untuk
menggantikan kedudukannya ketika tahu ia akan dibunuh dan memerintahkan untuk pindah ke
Kufah dan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. 
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir
ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan. Abdullah bin Ali,
salah seorang paman Abul abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir,
Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri. Khalifah ini terus menerus
melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir wilayah Al-Fayyum,
tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salih bin Ali, dengan demikian maka tumbanglah
kekuasaan dinasti Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah
pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shafah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah. [2] 
Abdullah bin Muhammad alias Abul Al-Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti
Abbasiyah tahun 750 M. Dalam khutbah pelantikan yang disampaikan di Masjid Kufah, ia
menyebut dirinya dengan Al-Saffah (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini
sebenarnya menjadi permulaan yang kurang baik diawal berdirinya dinasti ini, dimana
kekuatannya tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai kebijaksanaan politiknya.
[3] 

      B.     Masa Kekuasaan Bani Abbasiyah.

Kekuasaan bani Abbasiyah berlangsung  dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H
(750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Selam dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang di
terapkan  berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Para Khalifah Bani
Abbasiyah berjumlah 37 Khalifah. Selama dinasti Abbasiyyah berkuasa, pola pemerintahan yang
di terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.

1)      Sistem politik pemerintahan dan bentuk negara.

a.       Sistem politik.

Adapaun sistem politik yang di jalankan oleh daulah Abbasiyah antara lain:

I.            Para Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sementara para mentri, gubernur,
panglima, dan pegawailainya banyak di angkat dari golongan mawali turunan persia.  
 II.            Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi sosial dan kebudayaan. 
 III.            Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
IV.            Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya. 
 V.            Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintah.[4] 

b.      Sistem pemerintahan dan bentuk negara.

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik iti, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan bani Abbasiyyah dalam 4 periode berikut:

1   .  Masa Abbasiyyah I, yaitu semenjak lahirnya daulah Abbasyyiah tahun 132H ( 750M ) sampai
meninggalnya khaliah Al-Watsiq 232H (847M).

2   .  Masa Abbasiyyah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232H (847M) sampai
berdirinya daulah Buwaihiyyah di bagdad pada tahun 334H (946M).

3    .   Masa Abbasiyyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334H (946M) sampai
masuknya kaum Saljuk ke Bagdad tahun 447H (1055M).
4      .    Masa Abbasiyyah IV, yaitu masuknya orang orang saljuk ke Bagdad tahun 447H (1055M)
sampai jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun
656H (1258M).[5]

Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode :

1)      Periode pertama (750–847 M)

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini
juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750
M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-
Mansur (754–775 M). 
Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai
koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri
dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga
terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak,
kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat
anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya,
menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-
persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu.   
Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara
Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah al-Mansur juga
membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping
membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim
pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar
surat, pada masa al-Mansur, jabatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan
pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.  
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya
membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah
perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan
senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian
Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi
sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut
nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.  
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809
M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid
untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat
kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi.[6] Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid
lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah
yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini
menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.  
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada
masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada
masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.  
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan
antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka
dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang
sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.     

2)      Periode kedua (847-945 M)

Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah
pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung
mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat.
Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini
memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-
Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga
kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam
Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan
Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.  
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah
yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan
cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah.
Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap
memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira
Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang
yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya
dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya,
di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan
pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik
Islam. 
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini
adalah sebagai berikut: 

a        .       Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara
komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan
pelaksana pemerintahan sangat rendah.

b       .      Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.

 c     .       Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah
merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

3)      Periode ketiga (945 -1055 M)

Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah
lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah.
Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi
kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan
untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan
demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah
pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.  
Di dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode
ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu
Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan
juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah
sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran
antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya. 

4)      Periode keempat (1055-1199 M). 

     Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani
Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad.
Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama
kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syi’ah. Sebagaimana pada periode
sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana
menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan
madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap
kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari.
Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para
cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari,
penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali
dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi
wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai
masing-masing propinsi tersebut.[7]

5)      Periode kelima (1199-1258 M)

Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal di
periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup
besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan
berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang
sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang
berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah
Islam, yang disebut masa pertengahan. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah
Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor
penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada
periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak
sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat,
para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.[8]

    C.    Kemajuan Peradaban Bani Abbassiyyah

Peradaban dan kebudayaan islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaan pada
masa Abbassiyyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbassiyyah pada periode ini lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Puncak
kejayaan dinasti Abbassiyyah terjadi pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809M) dan
anaknya Al Ma’mun (813-833M). Ketika Ar Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur,
kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas
wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India. Pada masanya, hidup pula para Filsuf,
pujangga, ahli baca Al qur’an, dan para Ulama di bidang Agama didirikan perpustakaan yang di
beri nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi.

v  Bagdad sebagai pusat peradaban islam.

Kota Bagdad sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat aktifitas pengembangan ilmu
antara lain Baitul Hikmah. Sebagai ibu kota Bagdad mencapai puncaknya pada masa Harun Ar-
Rasyid walaupun kota tersebut belum 50 tahun di bangun. Kemegahan dan kemakmurn
tercermin dalam istana khalifah yang luasnya sepertiga dari kota Bagdad yang berbentuk bundar
dengan di lengkapi beberapa banguna sayap dan ruang audiensi yang di penuhi berbagai
perlengkapan yang terindah, dengan demikian, dinasti Abbassiyyah dengan pusatnya di Bagdad
sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan
dalam berbagai bidang kehidupan dapat di sebutka beberapa berikut:  
Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid dan putranya Al-Makmun ketika mendirikan
sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropong bintang, perpustakaan terbesar yang di
beri nama Baitul Hikmah dan dilengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan. 

a)      Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan


Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid
dijadikan centre of edication. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan
keilmuan dan teknologi. Lembaga ini kita kenal dua tingkatan yaitu :

1    .      Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak
mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar
ilmu agama.

2   .      Tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah
atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.

b)      Corak Gerakan Keilmuan.

Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik. Kajian keilmuan yang
kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, disamping kajian yang
bersifat pada Al-Qur’an dan Al-Hadis; sedang astronomi, mantik dan sastra baru dikembangkan
dengan penerjemahan dari Yunani.

c)      Kemajuan dalam Bidang Agama

Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang terutama dua metode
penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Dalam bidang hadis, pada zamannya
hanya bersifat penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada zaman
ini juga mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasian itu secara ketat
dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadis Shahih, Dhaif, dan Maudhu. Bahkan
dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan takdil rawi yang
meriwayatkan  hadis tersebut.

1    )      Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal, seperti Imam
Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibnu
Hambal (780-855 M).

2   )      Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab yang semakin
dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah
nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi, arudh dan insya. Sebagai kelanjutan dari masa Amawiyah I
di Damaskus.

d)     Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi


Kemajuan ilmu teknologi (sains) sesungguhnya telah direkayasa oleh ilmu Muslim. Kemajuan
tersebut adalah sebsgai berikut.

1    )      Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh
Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia adalah astronom Muslim pertama yang membuat
astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-
ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibnu Isa Al-Asturlabi, Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-
Khayyam dan Al-Tusi.

2   )      Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah ibnu Rabban Al-Tabari.
Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus Al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah Al-Razi, Al-Farabi,
dan Ibnu Sina.

3    )      Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-815 M). Sebenarnya
banyak ahli kimia Islam ternama lainnya seperti Al-Razi, Al-Tuqrai yang hidup pada abad ke-12
M.

4   )      Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah
Ahmad bin Al-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir Al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu
bumi yang masyhur adalah ibnu Khurdazabah.

e)      Perkembangan Politik dan Administrasi

Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam benar-benar berada di
puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini
merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, terutama pada masa Khalifah
Al-Makmun.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan


antara lain:

1    )      Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad

2    )      Memusnahkan keturunan Bani Umayyah

3   )      Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah
memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali.

4   )      Menumpas pemberontakan-pemberontakan

5   )      Menghapus politik kasta.[9]


f)       Bidang Ekonomi

1    )      Perdagangan dan industri

Segala usaha di tempuh untuk memajukan perdagangan dengan memudahkan jalan-jalanya,


seperti di bangun sumur dan tempat peristirahatan di jalan-jalan yang dilewati oleh kafilah
dagang, dibangun armada-armada dagang, dan di bangun armada-armada untuk melindungi
pantai negara dari serangan bajak laut. Serta membetuk suatu badan khusus yang bertugas
mengawasi pasaran dagang, mengatur ukuran timbangan, menentukan harga pasaran
(mengatur politik dagang) agar tidak terjadi penyelewengan.

2   )      Pertanian dan perkebunan

Kota-kota administratif seperti Basrah, Khufah, Mosul, dan al-Wasit menjadi pusat usaha-usaha
pengembangn pertanian dan rawa-rawa di sekitar Kuffah di keringkan dan di kembangkan
menjadi kawasan pertanian  yang subur. Untuk menggarap daerah-daerah pertanian tersebut di
datangkanlah buruh tani dalam jumlah yang besar dari Afrika Timur guna menciptakan ekonomi
pertanian dan perkebunan yang intensif. Di samping itu usaha untuk mendorong kaum tani agar
lebih intensif di lahkukan beberapa kebijakan antara lain:

    Ø  Memperlakuhkan ahli zimmah dan nawaly dengan perlakuan yang baik dan adil, serta


menjamin hak milik dan jiwa mereka.

Ø  Mengambil tindakan yang keras terhadap pejabat yang berlaku kejam terhadap
petani.Ø Memperluas daerah pertanian dan membangun kanal-kanal dan bendungan baik besar
maupun kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak ada irigasi.

     3)      Pendapatan Negara

Selain dari sektor perdagangan, pertanian, dan perindustrian, sumber pendapatan negara juga
berasal dari pajak. Pada masa Harun al-Rasyid, pemasukan pada sektor ini mencapai 272
juta dirham dan 4,5 juta dinar. Sementara pada masa al-Mu’tashim, pajak yang berhasil
terkumpul meningkat sebesar 314.271.350 dirham dan 5.102.00 dinar. Pendapatan juga berasal
dari jizyah, zakat, ‘asyur al tijarah, dan kharaj.

4)      Sistem Moneter

Sebagai alat tukar, para pelaku ekonomi menggunakan mata uang dinar (pedanag barat) dan
dirham (pedagang timur). Penggunann dua mata uang ini menurut Azumardi Azra, memiliki dua
konsekuensi. Pertama, mata uang dinar harus di perkenalkan di wilayah-wilayah yang selama ini
hanya mengenal mata unag dirham. Kedua, dengan mengeluarkan banyak mata uang emas,
mengurangi penyimpanan emas batangan  atau perhiasan sekaligus menjamin peredaran uang
dengan kebutuhan pasar. Kebijakan di sektor ini adalah di ciptaknya sistem pembayaran dengan
sistem cek agar memepermudah para kafilah-kailah dagang bertransaksi.[10]

    D.    Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyyah

Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan kehancuran
yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

Adapun faktor internal,  yaitu:

1     )      Persaingan antar bangsa

Khalifah Abbasiyah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang persia.
Persekutuan di latar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan pada masa bani Umayyah
berkuasa (sama-sama tertindas). Pada masa ini persaingan antara bangsa menjadi pemicu untuk
saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah di
rasakan sejak awal khalifah Abbasiyah sendiri.

2   )      Kemerosotan ekonomi

Pada periode kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat


lebih besar. Hal ini disebabkan wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak terjadi
kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak, dan banyak dinasti
kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti.

3    )      Konflik keagamaan

Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Mazuisme, Zoroasterisme, dan Mazzdakisme. Antara orang beriman
dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya
konflik Syiah dan Ahlussunnah. Terjadi Mihnah pada masa al-Ma’mun (813-833 M) yang
menjadikan Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Negara. Al-Mutawakkil (847-861 M) menghapus
Mu’tazilah digantikan dengan golongan Salaf pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap
Mu’tazilah yang rasional, menyempitkan horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit kembali pada
masa Buwaihi dan Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung al-Ghazali tidak
menguntungkan bagi pengembangan kreativitas entelektual Islam.
Faktor eksternal kemunduran dinasti Bani Abbasiyah, yaitu:

1    )      Perang Salib

Perang antara umat Kristen dengan umat Islam yang berlangsung dari tahun 1095-1291 M, telah
menelan banyak korban jiwa, ini menyebabkan khilafah Bani Abbasiyah menjadi lemah. Dalam
kondisi demikian , mereka bukan menjadi bersatu tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti
kecil yang memerdekakan  diri dari pemerintahan pusat Dinasti Abbasiyah di Baghdad.

2   )      Serangan Hulagu Khan

Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-serangan menuju Baghdad dengan
mengalahkan Khurasan di Persia dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada tanggal 10
Februari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota Baghdad. Perintah untuk
menyerah ditolak oleh khalifah al-Musta’shim (khalifah terakhir Bani Abbasiyyah), sehingga
Baghdad dikepung dan dihancurkan.[11]

      E.     Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyyah

Akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyyah ialah ketika Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol
yang dipimpin oleh Haluga Khan, 656H/1258M. Hulagu Khan adalah seorang saudara Kubilay
Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudara Mongkhe Khan yang
menugaskanya untuk mengembalikan wilayah wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuanya.
Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia
banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Baghdad dibumihanguskan
dan diratakan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-
Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul dibaitul Hikmah dibakar dan dibuang
disungai Tigris sehingga berubahlah warna air tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam
karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.[12]

B a g h d a d : P us a t K e j a y a a n A b b a s i y a h
Ilustrasi Kota Baghdad

Periode kejayaan dinasti Abbasiyah dimulai sejak masa kekhalifahan al-Mahdi (775-785) hingga
al-Wathiq (842-847), dan mencapai puncaknya secara khusus pada masa pemerintahan Harun al-
Rasyid (786-809) dan putranya al-Makmun (813-833). Pada masa Harun al-Rasyid Baghdad mulai
muncul sebagai pusat peradaban dunia, dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional
yang luar biasa.

Baghdad menjadi saingan satu-satunya bagi Bizantium. Kejayaannya berjalan seiring dengan
kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Kemegahan Baghdad mencapai puncaknya pada
masa al-Rasyid, dengan julukan Baghdad sebagai “kota melingkar”. Sementara itu kemajuan
keilmuwan Baghdad mencapai puncaknya pada masa al-Makmun, dengan didirikannya Baitul
Hikmah sebagai pusat perpustakaan dan kajian keilmuwan.

Kota Melingkar Baghdad

Kemegahan Baghdad tercermin dari bangunan istananya, istana khalifah menempati sepertiga
ruang kota Baghdad. Bagian istana yang paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang
dilengkapi dengan karpet, gorden, dan bantal terbaik dari Timur.
Harun al-Rasyid merupakan khalifah yang sangat mencintai keilmuwan, dia begitu senang bergaul
dengan orang-orang berilmu, selain itu dia selalu mengagunggkan perintah dan larangan Allah.
Dia tidak menyukai perdebatan dalam masalah agama, dan tidak suka membicarakan sesuatu
yang tidak jelas nashnya.

Harun al-Rasyid

Meskipun hidup di istana yang sangat megah, al-Rasyid merupakan pemimpin yang dikenal
dengan kedermawanannya. Dia tidak segan-segan memberikan sedekah dalam jumlah banyak
bagi orang-orang yang membutuhkan. Kebesaran al-Rasyid, menjadi contoh ideal kerajaan Islam
dan penerusnya.

Sifat dan perilaku yang sama juga tergambarkan pada putra al-Rasyid, yaitu al-Makmun. Al-
Makmun merupakan sosok yang begitu mencintai literatur-literatur keilmuwan, bahkan dia
menugaskan orang-orangnya untuk mencari literatur-literatur kuno ke penjuru dunia. Meskipun
demikian banyak sejarawan yang dengan ceroboh menggambarkan kedua pemimpin saleh
tersebut sebagai pribadi buruk yang senang mabuk-mabukan.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, dengan keras menentang pendapat tersebut. Al-Rasyid


dan al-Makmun merupakan pemimpin saleh yang menjauhkan diri dari khamr, mereka hanya
mengkonsumsi perasan kurma yang pada masa itu memang tidak melanggar syari’at agama.
Sehingga, mereka sama sekali tidak pernah mabuk karena khamr.

Kemegahan istana dan harta yang melimpah pada masa al-Rasyid,  juga sering disalah gunakan
saudara-saudaranya untuk berfoya-foya. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh ‘Ulayyah,
saudara perempuan al-Rasyid. ‘Ullayah menjadi wanita pertama yang menggenakan pengikat
kepala berhiaskan permata, hanya untuk menutupi bekas luka di dahinya.
Baghdad sempat mengalami kehancuran, ketika terjadi perang saudara antara al-Makmun, al-
Amin, dan pamannya Ibrahim ibn al-Mahdi. Perang yang dipicu keserakahan al-Amin, yang tidak
melaksanakan amanat ayahnya Harun al-Rasyid, untuk memberikan otonomi wilayah kekuasaan
Abbasiyah bagian timur kepada al-Makmun.

Tidak lama setelah itu, saat al-Makmun menjadi Khalifah, Baghdad kembali bangkit menjadi pusat
perdagangan dan intelektual. Pada masa ini, sepajang pelabuhan ditambatkan ratusan kapal dari
penjuru dunia. Tujuan mereka selain berdagang, banyak juga yang mempunyai tujuan untuk
mencari ilmu.

Para pedagang memainkan peranan utama, bagi perkembangan perekonomian Baghdad. Selain
itu, para pekerja professional dokter, pengacara, guru, penulis, dan sebagainya mulai
mendapatkan kedudukan penting pada masa al-Makmun.

Kemegahan Baghdad selain tergambarkan dari literatur-literatur sejarah, juga masih dapat kita
temukan pada karya-karya sastra yang terkenal hingga sekarang. Mulai dari cerita seribu satu
malam, hingga cerita jenaka Abu Nawas, seorang penyair kesayangan al-Rasyid.

Kemajuan Ekonomi Daulah Abbasiyah

Sama seperti kemajuan negeri-negeri terdahulu, ekonomi menjadi salah satu faktor terpenting
bagi kejayaan suatu imperium. Hal yang sama juga berlaku pada masa imperium Abbasiyah.
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan, dengan Baghdad menjadi pusatnya.

Sektor industri yang berasal dari daerah-daerah kekuasaan Abbasiyah, menjadi aspek penting
bagi geliat perdagangan Abbasiyah. Tercatat kain linen di Mesir, sutra dari Syria, dan Irak, kertas
dari Samarkand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir, dan kurma dari Irak.

Bersamaan dengan kemajuan daulah Abbasiyah, dinasti T’ang di China juga mengalami periode
kejayaan, sehingga hubungan perdagangan antara kedua imperium menambah semarak kegiatan
perdagangan dunia. Banyak kapal-kapal China yang bersandar di pelabuhan Baghdad, begitu juga
banyak perkampungan Arab di pelabuhan China.

Selain melalui jalur laut, perdagangan juga dilakukan memalui darat melewati Jalan Sutra. Dari
sana, barang-barang dagangan dari Abbasiyah dikirim ke wilayah China dan India. Barang-barang
dari Eropa pun harus melalui bandar perdagangan Abbasiyah, jika ingin mengirimkan barang ke
China dan India. Begitulah gambaran perekonomian Abbasiyah, yang menjadi faktor kemajuan
imperium tersebut.
S i s t e m P e m e r i n t a h a n A b b a s i y a h P e r i o d e Ke j a y a a n

Di bawah Khalifah, Jabatan Wazir memainkan peran vital dalam struktur pemerintahan
Abbasiyah. Memasuki abad ke-9, jabatan Wazir telah berkembang menjadi kepala pemerintahan,
dengan berbagai macam tugas seperti mengontrol birokrasi, menyeleksi petugas-petugas
gubernur, dan terlibat di dalam kewenangan pengadilan Mazalim.

Pengembangan fungsi dan jabatan pemerintahan pusat pada intinya merupakan usaha
memusatkan kekuasaan imperium, dan khalifdah semakin mudahmengendalikan, dan menjalin
komunikasi dengan wilayah-wilayah provinsi dai kota Baghdad.

Selain kecenderungan pemerintah yang bersifat memusat ini, wilayah provinsi yang ada tidak
seluruhnya diperintah oleh birokrasi. Terdapat peringkat pengontrolan pada tingkatan tiap
provinsi, ada yang dikontrol langsung oleh pemerintah ada pula yang secara longgar kurang
mendapatkan kontrol pemerintah.

Beberapa provinsi yang dikontrol secara langsung adalah Irak, Mesopotamia, Mesir, Syria, Iran
Barat dan Khuzistan yang secara geografis sangat dekat dengan Baghdad. provinsi-provinsi
tersebut diorganisir untuk menumbuhkan kepatuhan kalangan pejabat terhadap kehendak
pemerintah pusat, dan menjamin penyetoran pajak wilayah provinsi kepada pemerintah pusat.
Jabatan Gubernur relatif pendek, untuk mencegah pengembangan dukungan lokal yang dapat
digunakan untuk memberontak.

Selain pemerintahan yang diperintah secara langsung terdapat beberapa daerah yang tidak
mungkin dikontrol oleh pemerintah pusat. Secara Geografis, provinsi-provinsi itu terletak di
dataran tinggi Caspian-Jilan, Provinsi-provinsi di Asia Tengah, dan sebagian besar provinsi Afrika
Utara. Di wilayah-wilayah tersebut, Khalifah hanya membentuk sebuah garnisun untuk
mengawasi pengumpulan pajak dan upeti.

Pemerintahan daerah diorganisir untuk kepentingan pajak. Beberapa survei dilakukan di


kampung-kampung untuk memastikan jumlah tanah pertanian, jenis tanaman, dan target panen,
selanjutnya informasi ini disampaikan ke pemerintah pusat. Pajak dari seluruh daerah haruslah
dapat diperkirakan sebelumnya, sebagain untuk kepentingan masing-masing daerah.

Administrasi yang hirakris ini tidak mencakup seluruh tanah garapan. Sejumlah tanah pertanian,
termasuk perkebunan imperium Timur Tengah yang terdahulu, properti gereja, tanah-tanah liar,
dan tanah yang disita oleh khalifah, tidak termasuk bagian dari dari administrasi provinsial.
Sistem perpajakan yang maju ini juga turut serta mendorong kemajuan imperium Abbasiyah.
Kebangkitan Intelektual Daulah Abbasiyah

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, kejayaan dinasti Abbasiyah tidak dapat dilepaskan dari
kebangkitan intelektual pada masa itu. Kebangkitan intelektual sebagian besar disebabkan oleh
masuknya berbagai pengaruh asing, sebagian dari Indo-Persia dan Suriah, dan yang paling
dominan dari pengaruh Yunani.

Gerakan intelektual ini ditandai oleh gerakan penerjemahan karya-karya berbahasa Persia,
Sansakerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab. Sebenarnya, gerakan penerjemahan telah dimulai
sejak masa dinasti Umayyah. Gerakan penerjemahan semakin berkembang pada masa dinasti
Abbasiyah, jika pada masa Umayyah metode penerjemahan dilakukan per-kata maka pada masa
Abbasiyah penerjemahan dilakukan per-kalimat. Dari metode ini, terjemahan menjadi lebih
mudah untuk dipahami.

Pada masa awal kebangkitan penerjemahan, bahasa Yunani diterjemahkan ke bahasa Syria, baru
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. hal ini dikarenakan para penerjemah biasanya
berasal dari pendeta Kristen Syria yang hanya memahami bahasa Yunani, dan bahasa Syria.

Dengan semakin gencarnya gerakan penerjemahan, semakin memperkaya literatur-literatur ilmu


pengetahuan, filsafat, dan sastra dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab Islam yang sebelumnya
tidak terlalu mempunyai  keingintahuan yang tinggi, menjelma menjadi penerima dan pewaris
peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua.

Hanya dalam waktu beberapa tahun sarjana-sarjana Arab telah mampu menyerap ilmu dan
budaya yang dikembangkan selama berabad-abad oleh orang Yunani. Selain Yunani, peradaban
lain yang banyak berpengaruh pada pembentukan budaya universal Islam adalah budaya India,
terutama dalam bidang mistiisme, astronomi dan matematika. Sementara untuk bidang sastra,
pengaruh Persia begitu dominan dalam perkembangan sastra Abbasiyah.
al-Makmun

Titik tertinggi pengaruh Yunani terjadi pada masa al-Makmun. Kecenderungan rasionalistik
khalifah dan para pendukungnya dari kelompok Muktazilah, yang menyatakan bahwa teks-teks
keagamaan harus bersesuaian dengan nalar manusia, mendorongnya untuk mencari pembenaran
bagi pendapatnya itu dari karya-karya filsafat Yunani.

Tidak lengkap rasanya membahas gerakan penerjemahan masa Abbasiyah, tanpa membahas
tokoh utama penerjamahan masa itu. Ketua penerjemahan masa keemasan Abbasiyah adalah
Hunayn ibn Ishaq, seorang penganut sekte Ibadi dari Kristen Nestor. Dia merupakan pelopor
penerjemahan langsung dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Salah satu keberhasilannya adalah
menerjemahkan tujuh buku Galen tentang anatomi, yang versi Yunaninya tidak ditemukan lagi
pada masa berikutnya. Selain karya Galen, karya Plato, Republik dan
Aristoeles, Categories termasuk beberapa literatur Yunani yang berhasil ia terjemahkan.

Baitul Hikmah: Pusat Kajian Keilmuwan Masa Kejayaan  Abbasiyah

Pada masa pemerintahan al-Makmun, dia membangun Bayt al-Hikmah (rumah kebikjasanaan),


sebuah perpustakaan, akademi, dan biro penerjemahan, yang dalam hal ini merupakan lembaga
pendidikan paling penting pada masanya.

Institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi serupa di masa Imperium Sasania Persia, yang
bernama Jundishapur Academy. Tetapi berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya
menyimpan karya-karya sastra, pada masa Abbasiyah fungsi institusi ini diperluas.

Baitul Hikmah telah dirintis sejak 815 M, kemudian Baitul Hikmah dipergunakan secara lebih maju
yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari berbagai penjuru dunia,
dari Bizantium hingga India. Di institiusi ini, al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa al-
Khawarizmi yang terkenal sebagai ilmuwan muslim di bidang matematika dan astronomi.

Orang-orang Persia juga masih dipekerjakan di Baitul Hikmah. Direktur perpustakaan Baitul
Hikmah sendiri adalah seorang nasionalis Persia, dan ahli Pahlewi, Sahl ibn Harun. Sehingga pada
masa al-Makmun Baitul Hikmah selain sebagai perpustakaan, berkembang menjadi pusat
kegiatan studi, dan penelitian. Sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwa Baitul Hikmah memberikan
kontribusi luar biasa bagi perkembangan keilmuwan muslim pada masanya.

DINASTI UMAYYAH 2
BAB II

PEMBAHASAN

BANI UMAYYAH SPANYOL

A.    Penaklukan Spanyol dan sejarahterbentuknya dinasti Umayyah Spanyol

Spanyol/Andalusia di kuasai oleh umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid (705-715 M) salah
seorang khalifah Daulah Umayah yang berpusat di Damaskus.[1] Bani Umayyah
merebut Spanyol dari bangsa Gothia pada masa khalifah al Walid ibn ‘Abd al Malik (86-96/705-715).
Penaklukan Spanyol diawali dengan pengiriman 500 orang tentara muslim dibawah pimpinan Tarif
ibn Malik pada tahun 91/710. Pengiriman pasukan Tarif dilakukan atas undangan salah satu raja
Gothia Barat, dimana salah satu putri ratu Julian yang sedang belajar di Toledo (ibu kota Visigoth)
telah diperkosa oleh raja Roderick. Karena kemarahan dan kekecewaannya, umat Islam diminta
untuk membantu melawan raja Roderick. Pasukan Tarifa mendarat di sebuah tempat yang kemudian
diberi nama Tarifa. Ekspedisi ini berhasil, dan Tarifa kembali ke Afrika Utara dengan membawa
banyak Ghanimah. Musa ibn Nushair, Gubernur Jenderal al Maghrib di Afrika Utara pada masa itu,
kemudian mengirimkan 7000 orang tentara di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad. Ekspedisi II ini
mendarat di bukit karang Giblartar (Jabal al Thariq) pada tahun 92/711. Sehubungan Tentara Gothia
yang akan dihadapi berjumlah 100.000 orang, maka Musa Ibn Nushair menambah pasukan Thariq
menjadi 12.000 orang.[2]

Pertempuran pecah di dekat muara sungai Salado (Lagund Janda) pada bulan Ramadhan 92/19 Juli
711. Pertempuran ini mengawali kemenangan Thariq dalam pertempuran-pertempuran berikutnya,
sampai akhirnya ibu kota Gothia Barat yang bernama Toledo dapat direbut pada bulan September
tahun itu juga. Bulan Juni 712 Musa ibn Nushair berangkat ke Andalusia membawa 18.000 orang
tentara dan menyerang kota-kota yang belum ditaklukan oleh Thariq sampai pada bulan Juni tahun
berikutnya. Di kota kecil Talavera Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada Musa, dan pada saat
itu pula Musa mengumumkan bahwa Andalusia menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani
Umayyah yang berpusat di Damaskus. Penaklukan Islam di Andaluisa oleh Thariq hampir meliputi
seluruh wilayah bagiannya, keberhasilannya tidak terlepas dari bantuan Musa ibn Al Nushair.[3]

Ketika Daulah Bani Umayyah Damaskus runtuh pada tahun 132/750, Andalusia menjadi salah satu
provinsi dari Daulah Bani Abbas. Salah satu pangeran Dinasti Umayyah yang bernama Abd al Rahman
ibn Mu’awwuyah, cucu khalifah Umawiyah kesepuluh Hisyam Ibn Abd al Malik berhasil melarikan
diri dari kejaran-kejaranorang-orang Abbasiyah setelah runtuhnya pemerintahan Bani Umayyah di
Damaskus dan menginjakan kaki di Spanyol. Atas keberhasilannya meloloskan diri ia diberi gelar al
Dâkhil.

Keberhasilan pemuda 21 tahun itu, merupakan sejarah menarik dalam sejarah peradaban islam.
Dalam pengepungan yang dilakukan oleh pengikut Abbasyiah, ia berhasil lolos dan bersembunyi
dirumah seorang arab badui ditepi sungai Euffart, akan tetapi para pengepung itu muncul dekat
dengan tempat persenbunyiannya lalu Abdurrahman mencuburkan diri kesungai dan selamat
sampai keseberang. Lolos dari pengepungan itu Abdurrahman ke Spanyol setelah melewati
Palestina, Mesir, dan Afrika Utara selama 5 tahun, tetapi ketika di Afrika Utara ia hampir dibunuh
oleh gubernur setempat.

Kedatangan Abdurrahman di bumi Spanyol disambut baik oleh penduduk di beberapa kota di bagian
selatan, dan menjadikannya sebagai penguasa mereka. Misalnya, Sidona dan Sevilla. Akan tetapi ada
juga penguasa yang tidak menyukai kedatangan abdurrahman yaitu Yusuf ibn Rahman Al-fihri,
gubernur Spanyol (Andalusia) waktu itu. Ketika Abdurrahman dan pengikutnya ke Coedoba. Yusuf al-
fihri mempersiapkan pasukannya untuk menghadang Abdurrahman, dan kedua pasukan ini bertemu
di Bakkah.

Pada tahun 138/756 al Dâkhil berhasil menyingkirkan Yusuf ibn Abd al rahman al Fihri yang
menyatakan diri tunduk kepada dinasti Bani Abbas, dan sejak saat itu ia memporklamirkan bahwa
Spanyol lepas dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas. Al Dâkhil memproklamirkan diri sebagai khalifah
dengan gelar amîr al mu’minîn. Sejak saat itulah babak kedua kekuasan Dinasti Ummayah
dimulai.Pemerintahan Bani Umayyah Spanyol (Bani Umayyah II) merupakan pemerintahan pertama
yang memisahkan diri dari dunia pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah. Pendirinya adalah
Abdurrahman ad Dakhil bin Mu’awiyah bin Hisyam bin Abd Malik al Umawi.

 Karena pengaruhnya semakin besar dan keadaan berada dibawah kendalinya, maka Abu ja’far al
Manshur mengirimkan pasukannya beberapa kali untuk mengalahkan Abdurrahman. Namun,
usahanya untuk mengalahkan Abdurrahman selalu tidak berhasil. Karena itulah, dia memberinya
gelar “Shaqr Quraisy” karena dia sangat kagum padanya dan akhirnya berhenti memeranginya.

Dengan demikian, maka dimulailah peradaban Islam baru di Spanyol yang dinamakan Dinasti
Umayyah Spanyol (Umayyah II)

B.     Masa Pemerintahan Bani Umayyah Spanyol


Diantara khalifah - khalifah Umayyah II yang terkemuka diantaranya:
* Abdurrahman ad Dakhil (755-788 M)

* Al Hakam bin Hisyam (796-821 M)

* Abdurrahman ibnul Hakam (821-852 M)

* Muhammad bin Abdurrahman (852-886 M)

* Abdullah bin Muhammad (889-912 M)

* Abdurrahman bin Muhammad (912-961 M)

Al Dâkhil berhasil meletakan sendi dasar yang kokoh bagi tegaknya Daulah bani Umayyah II di
Spanyol. Pusat kekuasan Umayyah di Spanyol dipusatkan di Cordova sebagai ibu kotanya. Al Dâkhil
berkuasa selama 32 tahun, dan selama masa kekuasaannya ia berhasil mengatasi berbagai masalah
dan ancaman, baik pemberontakan dari dalam maupun serangan musuh dari luar. Ketangguhan al
Dâkhil sangat disegani dan ditakuti, karenanya ia dijuliki sebagai Rajawali Quraisy. Pada masa
didirikannya dinasti Umayyah II ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan baik
dibidang politik maupun bidang peradaban. Abd al-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova
dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang
kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abd al-Rahman al-
Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai pada periode ini,
terutama di zaman Abdurrahman al-Ausath. Bani Umayyah II mencapai puncak kejayaannya pada
masa al Nashir dan kekuasaannya masih tetap dapat dipertahankan hingga masa kepemimpinan
Hakam II al Muntashir (350-366/961-976).

Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik
yang mencari kesahidan (Martyrdom)[4]. Gangguan politik yang paling serius pada periode ini
datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk
negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas
membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh
Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan
antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi[5]

Namun ada yang berpendapat pada masa ini dibagi menjadi dua yaitu masa KeAmiran (755-912) dan
masa ke Khalifahan (912-1013)[6]. Jadi Gelar yang digunakan pada masa dinasti ini adalah Amîr, dan
ini tetap dipertahankan oleh penerusnya sampai awal pemerintahan amir kedelapan Abd al Rahman
III (300-350/912-961). Proklamasi Khilafah Fathimiyyah di Ifriqiyah (297/909, serta merosotnya
kekuatan Daulah Abasiyyah sepeninggal al Mutawakkil (232-247/847-861) mendorong Abd al
rahman III untuk memproklamasikan diri sebagai khalifah dan bergelar amîr al mu’minîn.[7] Ia juga
menambahkan gelar al Nashir dibelakang namanya mengikuti tradisi dua khalifah lainnya. Jadi
penggunaan khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa
Muktadir, Khalifah daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya
sendiri.Menurut penilainnya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah
sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk
memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih.
Karena itulah gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah
pada masa ini ada tiga orang yaitu Abd al-Rahman al-Nasir (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan
Hisyam II (976-1009 M). 

    Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi
kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad. Abd al-Rahman al-Nasir mendirikan universitas Cordova

    Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan
khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-
kota tertentu. 

Kekuasaan Umayyah mulai menurun setelah al Muntashiru wafat. Ia digantikan oleh putera mahkota
Hisyam II yang beru berusia 10 tahun. Hisyam II dinobatkan menjadi khalifah dengan gelar al
Mu’ayyad. Muhammad ibn Abi Abi Amir al Qahthani yang merupakan hakim Agung pada masa al
Muntashir berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan dan menempatkan khalifah dibawah
pengaruhnya. ia memaklumkan dirinya sebagai al Malik al Manshur Billah (366-393/976-1003) dan ia
terkenal dalam sejarah dengan sebutan Hajib al Manshur.

Kekuasaan Hakim Agung al Manshur diteruskan oleh Abd al Malik ibn Muhammad yang bergelar al
Malik al Mudhaffar (393-399/1003-1009). Pada masa selanjutnya al Mudhaffar digantikan oleh Abd
al rahman ibn Muhammad yang bergelar al Malik al Nashir li Dinillah (399/1009) dan sejak saat itu
kestabilan politik Umayyah mulai merosot dengan terjadinya berbegai kemelut di dalam negeri yang
akhirnya meruntuhkan dinasti Umayyah.

Keruntuhan Bani Umyyah diawali dengan pemecatan al Mu’ayyad sebagai khalifah oleh sejumlah
pemuka-pemuka Bani Umayyah. Kemudia para pemuka tersebut bersedia mengangkat al Nashir
sebagai khalifah. Akan tetapi pada kenyataanya dengan turunnya al Mu’ayyad perebutan kursi
khilafah menjadi tidak bias dihindari. Dalam tempo 22 tahun terjadi 14 kali pergantian khalifah, yang
umumnya melalui kudeta, dan lima orang khalifah diantaranya naik tahta dua kali. Daulah Umawiyah
akhirnya runtuh ketika Khalifah Hisyam III ibn Muhammad III yang bergelar al Mu’tadhi (418-
422/1027-1031) disingkirkan oleh sekelompok angkatan bersenajata.

C.    Eksisitensi Bani Umayyah spanyol

Kemajuan Peradaban Dinasti Umayyah II

Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai
kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa
dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks. Diantara kemajuan tersebut
diantaranya:

1.      Kemajuan Intelektual

Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas
Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat
Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan
Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara
bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih menentang
kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual
terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan
pembangunan fisik di Spanyol[8]. Perkembangan tersebut meliputi:

A.    Filsafat.

Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah
Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke
Eropa pada abad ke-12. minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada
abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd al-
Rahman (832-886 M). 

Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-
Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Tokoh utama yang kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail,
penduduk asli Wadi Asa, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut
tahun 1185 M.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di
gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Rusyd dari Cordova[9]. la lahir tahun 1126 M dan meninggal
tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan
kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama.

Pada abad ke 12 diterjemahkan buku Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicenne) mengenai kedokteran.
Diahir abad ke-13 diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari Al-
Qanun[10]. Ibnu Rusyd memiliki sikap realisme, rasionalisme, positivisme ilmiah Aristotelian. Sikap
skeptis terhadap mistisisme adalah basis di mana ia menyerang filsafat Al-Ghazali.[11]

B.     Sains.

Abbas ibn Farnas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang
menemukan pembuatan kaca dari batu.[12] Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu
astronomi. la dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa
lamanya. la juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata
surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan.
Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran
dari kalangan wanita. Dan Fisika. Kitab Mizanul Hikmah (The Scale of Wisdom), ditulis oleh Abdul
Rahman al-Khazini pada tahun 1121, adalah satu karya fundamental dalam ilmu fisika di Abad
Pertengahan, mewujudkan “tabel berat jenis benda cair dan padat dan berbagai teori dan kenyataan
yang berhubungan dengan fisika.

Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal.
Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia
dan Ibn Bathuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudra Pasai dan Cina. Ibn Khaldun
(1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dart Tum adalah perumus
filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol yang kemudian pindah ke
Afrika. 

C.     Fiqih.

Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan
mazhab ini disana adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn
Yahya yang menjadi qadhi pad masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya yaitu Abu Bakr
ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.[13] 

D.    Musik dan Kesenian.


Seni musik Andalusia berkembang dengan datangnya Hasan ibn Nafi’ yang lebih dikenal dengan
panggilan Ziryab. Ia adalah seorang maula dari Irak, murid Ishaq al Maushuli seorang musisi dan
biduan kenamaan di istana Harun al Rasyid. Ziryab tiba di Cordova pada tahun pertama
pemerintahan Abd al Rahman II al Autsath. Keahliannya dalam seni musik dan tarik suara
berpengaruh hingga masa sekarang. Hasan ibn Nafi’ dianggap sebagai peketak pertama dasar dari
musik Spanyol modern. Ialah yang memperkenalkan notasi do-re-mi-fa-so-la-si. Notasi tersebut
berasal dari huruf Arab. Studi-studi musikal Islam, seperti telah diprakarsai oleh para teoritikus al-
Kindi, Avicenna dan Farabi, telah diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan Latin sampai periode
pencerahan Eropa. Banyak penulis-penulis dan musikolog Barat setelah tahun 1200, Gundi Salvus,
Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adam de Fulda, dan George Reish dan Iain-lain, menunjuk kepada
terjemahan Latin dari tulisan-tulisan musikal Farabi. Dua bukunya yang paling sering disebut adalah
De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.

E.     Bahasa dan Sastra.

Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat
diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor duakan
bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan
berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn
Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Gharnathi.

Pada permulaan abad IX M bahasa Arab sudah menjadi bahasa resmi di Andalusia. Pada waktu itu
seorang pendeta dari Sevilla menerjemahkan Taurat kedalam bahasa Arab, karena hanya bahasa
Arab yang dapat dimengerti oleh murid-muridnya untuk memahami kitab suci agama mereka. Hal
seperti itu terjadi pula di Cordova dan Toledo. Menurut al Siba’i pada saat itu tidak jarang dari
penduduk setempat yang beragama Nashrani lebih fasih berbahasa Arab daripada (sebagian) bangsa
Arab sendiri[14].

Berikut ini nama-nama ilmuwan beserta bidang keahlian yang berkembang di Andalusia masa dinasti
Bani Umayyah :

No Nama Bidang Keahlian Keterangan

1 Abu Ubaidah Muslim Ibn  Astrolog , Ahli Hitung Dikenal sebagaiShahih al


Ubaidah al Balansi Qiblatkarena banyak sekali
Ahli gerakan bintang-
mengerjakan penetuan
bintang
arah shalat.
2. Abu al Qasim Abbas ibn - Astronomi Ilmi kimia, baik kimia murni
Farnas maupun terapan adalah
- Kimia
dasar bagi ilmu farmasi
yang erat kaitannya dengan
ilmu kedokteran.

3 Ahmad ibn Iyas al Kedokteran Hidup pada masa Khalifah


Qurthubi Muhammad I ibn abd al
rahman II Ausath

4. Al Harrani

5. Yahya ibn Ishaq Hidup pada masa khalifah


Badullah ibn Mundzir

6. Abu Daud Sulaiman ibn Hidup pada masa awal


Hassan khalifah al Mu’ayyad

7 Abu al Qasim al Zahrawi - Dokter Bedah Di Barat dikenal dengan


Abulcasis. Karyanya
- Perintis ilmu penyakit
berjudul al Tashrif li man
telinga
‘Ajaza ‘an al Ta’lif, dimana
- Pelopor ilmu pada abad XII telah
penyakit kulit diterjemahkan oleh Gerard
of Cremona dan dicetak
ulang di Genoa (1497M),
Basle (1541 M) dan di
Oxford (1778 M) buku
tersebut menjadi rujukan di
universitas-universitas di
Eropa.

8 Abu Marwan Abd al Ahli sejarah, Penyair salah satu bukunya


Malik ibn Habib dan ahli nahwu sharaf berjudul al Tarikh

9 Yahya ibn Hakam Sejarah, Penyair

10 Muhammad ibn Musa al Sejarah wafat 273/886. Menetap di


razi Andalusia pada tahun
250/863

11 Abu Bakar Muhammad - Sejarah Dikenal dengan Ibn


ibn Umar Quthiyah , Wafat 367/977
dan Bukunya berjudul
Tarikh Iftitah al Andalus

12 Uraib ibn Saad - Sejarah  Wafat 369/979, Meringkas


Tarikh al- thabari,
menambahkan kepadanya
tentang al Maghrib dan
Andalusia, disamping
memberi catatan indek
terhadap buku tersebut.

13 Hayyan Ibn Khallaf ibn - Sejarah & sastra  Wafat 469/1076, Karyanya
Hayyan : al Muqtabis fi Tarikh Rija
al Andalus dan al Matin.

14 Abu al Walid Abdullah - Sejarah Lahir di Cordova tahun


ibn Muhammad ibn al 351/962 dan wafat
- Penulis biografi
faradli. 403/1013. Salah satu
karyanya berjudul Tarikh
Ulama’i al Andalus

Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat pada masa Umayyah tidak terlepas dari kecintaan dan
hasrat yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, tidak hanya dikalangan penduduk akan tetapi juga
terlebih di kalangan penguasa. Pada masa al Muntashir terdapat tidak kurang dari 800 buah sekolah,
70 perpustakaan pribadi disampin perpustakaan umum.[15]

2.      Kemegahan bangunan fisik.

Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian umat Islam sangat banyak. Dalam
perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi
baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-
kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi,
dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan
untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan
hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan
na’urah (Spanyol: Noria). Di samping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi,
perkebunan jeruk, kebun-kebun, dan taman-taman[16].

Industri, di samping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi Spanyol
Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar.

Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan


gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiman, dan taman-taman. Di
antara pembangunan yang megah adalah mesjid Cordova, kota Al-Zahra, Istana Ja’fariyah di
Saragosa, tembok Toledo, istana Al-Makmun, mesjid Seville, dan istana Al-Hamra di Granada.

Faktor-Faktor Pendukung Kemajuan

Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan
berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abd al-Rahman al-
Dakhil, Abd al-Rahman al-Wasith dan Abd al-Rahman al-Nashir.

Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi,
sehingga, mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang
Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah
sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing.

Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik
agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat
bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing.

Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol,
hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan
seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur,
sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun umat
Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat api yang disebut kesatuan budaya dunia
Islam[17].

D.    Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah Spanyol (Cordova)

1.      Konflik Islam dengan Kristen


Para penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas
dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka
mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada
perlawanan bersenjata.38 Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa
kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan negara Islam di Spanyol
tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan Kristen. Pada abad ke-11 M umat Kristen
memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran[18].

2.      Tidak Adanya Ideologi Pemersatu

Kalau di tempat-tempat lain, para mukalaf diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di
Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak
pernah menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih
memberi istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para mukalaf itu, suatu ungkapan yang dinilai
merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan
merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri
tersebut. Hal ini menunjukkan tidak adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan, di
samping kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu[19].

3.      Kesulitan Ekonomi

Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan sangat “serius”, sehingga lalai membina perekonomian[20]. Akibatnya timbul
kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.

4.      Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan

Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan
Bani Umayyah runtuh dan Muluk Al-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan
Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, di antaranya juga disebabkan
permasalahan ini[21].

5.      Keterpencilan

Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. la selalu berjuang sendirian, tanpa
mendapat bantuan kecuali dan Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang
mampu membendung kebangkitan Kristen di sana[22].

E.     Pengaruh Peradaban Islam Di Eropa


Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam
bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian, dan peradaban antar negara. Orang-orang
Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan
negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan
fisik[23]. Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-
16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M[24]

Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari
banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol,
seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol,
mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan itu
adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama.
Universitas pertama eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M tiga puluh
tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman Pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah
universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-
universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang
paling banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.[25]

Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu
menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14
M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab
yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin.[26]

Masa Kemunduran

Sejak tahun 976 M sudah terasa kemunduran dalam menerapkan sistem kekhalifahan, dan puncak
kebangkrutannya pada tahun 1013 M. Sekalipun memang cukup misterius dalam meneliti penyebab
kemundurannya, namun paling tidak diantara gejala umum penyebab utamanya adalah:

1.    Adanya keretakan antara kelas atas dan bawah di mana tidak adanya komunikasi politik yang
intensif. Antara pegawai istana, ulama dan penguasa ekonomi tidak menunjukkan hubungan yang
erat dengan masyarakat malah lebih mengutamakan dan selalu bergantung pada pemerintahan.
Kelas bawah petani, buruh di desa-desa kurang memperoleh hak-hak sosial yang memadai.[9]

2.    Munculnya kholifah-kholifah yang lemah

Setelah Hakam  II wafat daan di gantikan oleh Hasyim II yang baru berusia 11 tahun. Dalam usia yang
masih sangat muda ia harus memikul tanggung jawab yang sangat besar. Karena tidak mampu
menjalankan roda pemerintahan kemudian dikendalikan oleh ibunya yang dibantu oleh Muhammad
Ibn Abi Umar (Hajib Al Mansur) yang ambisius dan haus kekuasaan. Sejak saat itu kholifah hanya
dijadikan sebagai boneka oleh Al-Mansur dan penggantinya. Ketika Al-Mansur Wafat di ganti oleh
anaknya Rahman, penguasa yang tidak punya kecakapan, gemar ber foya-foya dan tidak disenangi
rakyat sehingga negara menjadi tidak stabil dan lambat lalun mengalami kemunduran.[10]

3.    Konflik antara islam dan kristen

Setelah menaklukkan Spanyol, penduduk Spanyol dibiarkan memeluk agamanya, mempertahankan


hukum dan tradisi mereka. Penguasa islam hanya mewajibkan mereka membayar upeti, dan tidak
memberontak. Kebijakan ini ternyata menjadi bumerang. Penduduk spanyol menggalang kekuatan
untuk menyerang penguasa islam. Pertentangan islam dan kristen tak berhenti sampai setelah
jatuhnya islam. Orang-orang Kristen selalu berasa bahwa kedatangan umat  Islam  merupakan
sebuah ancman. Setelah kekuasaan Islam lemah, satu persatu kota-kota yang dikuasaai Islam jatuh
ke tangan orang Kristen.

4.    Munculnya Muluk Ath-Thawaif

Munulnya Muluk Ath-Thawaif (dinasti-dinasti kecil) secara politis telah menjadi indikasai akan
kemunduran islam di Sepanyol, karena dengan terpecahnya kekuasaan kholifah menjadi dinasti-
dinasti kecil. Kekuaranpun mencadi terpecah-pecah dan lemah. Lemahnya kekuasaan islam secara
politis telah dibaca oleh orang-orang Kristen dan tak disia-siakan oleh pihak musuh untuk menyerang
imperium tersebut.[11]

5.    Kemerosotan ekonomi

Di paruh kedua masa islam Sepanyol, para penguasa mementingkan pembangunan fisik dengan
mendirikan bangunan-bangunan megah dan monumental. Demikian juga dibidang iptek, pemerintah
yang giat mengembangkan bidang ini sehingga di bidang ekonomi kurang mendapat perhatian.
Selain itu banyak anggaran negara yang terserap untuk membiayai tentara bayaran demi keamanan
negara.

Adapun penyebab atau faktor- faktor yang menyebabkan kemunduran dari Dinasti Umayyah hingga
berujung kepada runtuhnya Dinasti Tersebut adalah :
Faktor Intern
a. Khalifah memiliki kekuasaan yang absolut. Khalifah tidak mengenal kompromi. Menentang
khalifah berarti mati. Contohnya adalah peristiwa pembunuhan Husein dan para pengikutnya di
Karbala. Peristiwa ini menyimpan dendam di kalangan para penentang Bani Umayyah, terjadi
pergolakan politik yang menyebabkan situasi dan kondisi dalam negeri dan pemerintahan terganggu.
b. Gaya hidup mewah para khalifah. Kebiasaan pesta dan berfoya-foya di kalangan istana, menjadi
faktor penyebab rendahnya moralitas mereka, disamping mengganggu keuangan negara.
Contohnya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan dikenal sebagai seorang khalifah yang suka berfoya-
foya dan memboroskan uang negara. Sifat – sifat inilah yang tidak disukai masyarakat, sehingga
lambat-laun mereka melakukan gerakan pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan dinasti
Bani Umayyah.
c. Tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai sistem pengangkatan khalifah. Hal ini berujung pada
perebutan kekuasaan di antara para calon khalifah. Hal ini meyebabkan perebutan kekuasaan
diantara ahli waris. Bahkan karena inilah kekuasaan Dinasti Umayyah runtuh dan Muluk al- Thawaif
muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan
Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan masalah ini.
Faktor Ekstern
a. Konflik Islam dengan Kristen. Para penguasa muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna.
Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan- kerajaan Kristen
takhlukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hokum dan adat mereka, termasuk posisi
hierarki tradisional, asal tidak ada perlawanan senjata. Namun demikian kehadiran Arab Islam telah
memperkuat rasa kebangsaan Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan kerajaan Islam di
Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan Islam dan Kristen. Pada abad ke- 11M umat Kristen
memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.
b. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu. Kalau ditempat- tempat lain para Muallaf diprelakukan sebagai
orang Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana polotik yang dijalankan Bani Umayyah di
Damaskus, orang- orang Arab tidak pernah menerima orang- orang pribumi. Akibatnya, kelompok-
kelompok etnis non Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu
menadatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio- ekonomi Negara tersebut.
c. Kesulitan Ekonomi. Di paruh ke dua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat serius, sehingga lalai membina perekonomian.
Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan
militer.
d. Keterpencilan. Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang
sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian tidak ada kekuatan
alternative yang mampu membendung kebangkitan Kristen disana.
e. Banyaknya gerakana pemberontakan selama masa-masa pertengahan hingga akhir pemerintahan
Bani Umayyah. Usaha penumpasan para pemberontak menghabiskan daya dana yang tidak sedikit,
sehingga kekuatan Bani Umayyah mengendur.
f. Pertentangan antara Arab Utara (Arab Mudhariyah) dan Arab Selatan (Arab Himariyah) semakin
meruncing, sehingga para penguasa Bani Umayyah mengalami kesulitan untuk mempertahankan
kesatuan dan persatuan serta keutuhan negara.
Setelah sekian lama mengalami masa-masa kemunduran akhirnya Dinasti Bani Umayyah benar-
benar mengalami kehancuran atau keruntuhan. Keruntuhan ini terjadi pada masa pemerintahan
Marwan bin Muhammad setelah memerintah lebih kurang 6 tahun (744-750) M).
Keruntuhan dinasti Bani Umayyah ditandai dengan kekalahan Marwan bin Muhammad dalam
pertempuran zab hulu melawan pasukan Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 748 M. Pada
peristiwa ini terjadi pembersihan etnis terhadap anggota keluarga Bani Umayyah. Sementara yang
tersisa masih hidup, terus dikejar kemudian dibunuh. Bahkan Marwan bin Muhammad yang sempat
melarikan diri dapat ditangkap dan kemudian dibunuh oleh pasukan Abu Muslim al-Khurasani.
Pertikaian dan pembunuhan ini menimbulkan kekacauana sosial dan politik, sehingga negara
menjadi tidak aman dan masyarakat yang pernah merasa tersisih bersatu dengan kelompok Abu
Muslim dan Abul Abbas. Bergabungnya masyarakat untuk mengalahkan kekuatan Bani Umayyah,
menandai berakhirnya masa masa kejayaan Bani Umayyah, sehingga sekitar tahun 750 M Bani
Umayyah tumbang.
Adapun sebab- sebab utama terjadinya keruntuhan dinasti Bani Umayyah adalah sebagai berikut :
a. Terjadinya persaingan kekuasaana di dalam anggota keluarga Bani Umayyah.
b. Tidak ada pemimpin politik dan militer yang handal yang mampu mengendalikan kekuasaan dan
menjaga keutuhan negara.
c. Munculnya berbagai gerakan perlawanan yang menentang kekuasaan Bani Umayyah, antara lain
gerakan kelompok Syi’ah.
d. Serangan pasukan Abu Musim al-Khurasani dan pasukan Abul Abbas ke pusat-pusat pemerintahan
dan menghancurkannya.
Ibrah dari Runtuhnya Dinasti Umayyah Di Spanyol (Andalusia)
Keruntuhan Daulah Umayyah II di Spanyol merupakan suatu peristiwa sejarah yang perlu kita gali
hikmahnya. Di antara hikmah yang dapat diambil dari peristiwa tersebut adalah :
a. Dalam menjalankan sebuah pemerintahan sebaiknya diberikan kepada orang yang memenuhi
keriteria kecakapapan kepemimpinan seperti adil, bijaksana, mempunyai kemampuan manajerial,
berwawasan ke depan dan seterusnya.
b. Pergantian kepemimpinan sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan seorang
yang mempunyai kepemimpinan baik menjadi seorang pemimpin.

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan


Komen

Anda mungkin juga menyukai