Anda di halaman 1dari 38

BAB I

DAULAH ABBASIYAH
A. PENDAHULUAN
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya,
yaitu Dinasti Umayyah yang telah digulingkannya. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena
para pendiri dan penguasanya merupakan keturunan Abbas bin Abdul Mutholib, paman
Rasululullah. Nama Abbasiyah berasal dari kata al-Abbas dan Abbas itu adalah nama seorang
keturunan Bani Hasyim. Berdirinya Dinasti Abbasiyah dilatar belakangi oleh terjadinya
kekacauan dalam kehidupan bernegara Dinasti Umayyah. Akan tetapi, pada tahun 750 M
Daulah Bani Umayyah mengalami keruntuhan dengan berbagai faktor penyebab. Keruntuhan
Daulah Umayyah tersebut menjadi tonggak awal berdirinya kekuasaan Daulah Bani
Abbasiyah.
Khalifah pertama dari Daulah Abbasiyah adalah Abdullah As Saffah bin Muhammad
bin Ali Bin Abdulah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Dinamakan Daulah Bani Abbasiyah
karena para pendiri dan khalifah Daulah ini adalah keturunan al-Abbas ibn Abdul Muthalib,
paman Nabi Muhammad saw. Masa kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H /750 M s/d 656 H/1258 M. Bani Abbasiyah
ialah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (saat ini ibukota Irak). Di bawah
kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah, dunia Islam juga mengalami masa-masa kejayaan di
berbagai bidang peradaban dan kebudayaan Islam dengan ibu kota Baghdad sehingga
Baghdad dikenal sebagai pusat peradaban dunia.

B. KERUNTUHAN DAULAH BANI UMAYYAH


1. Masa-Masa Kemunduran Daulah Bani Umayyah
Dinasti Bani Umayyah yang didirikan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan pada tahun
41 H/661 M dan dilanjutkan oleh generasi keturunannya. Kekuasaan Bani Umayyah
berumur kurang lebih 91 tahun, yakni sejak berdirinya pada tahun 40 H hingga tahun 132
H (661 M- 750 M). Pendiri Daulah Umayyah bernama Muawiyah bin Abi Sufyan bin
Harb bin Umayyah. Daulah Umayyah menjadikan kota Damaskus sebagai pusat
pemerintahannya.
Ada lima khalifah besar dan menonjol pada masa Daulah Bani Umayyah, yaitu
sebagai berikut.
a. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M)
b. Abd al-Malik ibn Marwan (685-705M)
c. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715M)
d. Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M)
e. Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743M)
Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh
Yazid bin Abdul-Malik (720-724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam
ketenteraman dan kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap
pemerintahan Yazid bin Abdul- Malik yang cendrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan
khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini
muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan
Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh
golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang
khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat,
sehingga tidak berhasil dipadamkannya.
Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang
tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin
memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M. Daulah Umayyah
digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bagian dari Bani Hasyim itu sendiri, di
mana Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil
melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana.
Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di
timur (Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani
Umayyah di al-Andalus.
2. Faktor-Faktor Penyebab Keruntuhan Daulah Bani Umayyah
Ada beberapa faktor yang mehyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan
membawanya kepada kehancuran Faktor-faktor itu antara lain sebagai berikut.
a. Sistem Pergantian Khalifah Melalui Garis Keturunan
Sebagian besar khalifah Bani Umayyah mengangkat lebih dan seorang putra
mahkota. Biasanya putra tertua diwasiatkan terlebih dahulu untuk menduduki takhta
Setelah itu, wasiat dilanjutkan kepada putra kedua dan ketiga atau salah seorang
kerabat khalifah, seperti paman atau saudaranya. Putra mahkota yang lebih dahulu
menduduki takhta cenderung mengangkat putranya sendin, Peristiwa ini diawali oleh
penunjukan putra mahkota oleh Muawiyah kepada anaknya yang bernama Yazid bin
Muawiyah dan khalifah sesudahnya berlangsung secara turun-temurun.
Hal itu menimbulkan perselisihan karena diberlakukannya sistem pergantian
khalifah melalui garis keturunan ini berarti mengingkari salah satu isi dari perjanjian
"ammul jamaah Dalam perjanjian "ammul jamaah antara Hasan bin Ali dan
Muawiyah disebutkan bahwa setelah jabatan khalifah Muawiyah berakhir kekuasaan
akan diserahkan pada musyawarah dan pemilihan yang demokratis dari umat Islam
akan tetapi Muawiyah dan penerusnya justru mengangkat putra mahkota
b. Pemerintahan yang Tidak Demokratis dan Korup
Pada masa Khulafaur Rasyidin pemilihan khalifah dilakukan secara musyawarah
dan demokratis. Namun, Muawiyah mengingkan perjanjian "ammul jamaah dan
mengingkari prinsip senioritas dalam pemilihan pimpinan di kalangan bangsa Arab
Prinsip servoritas adalah pemimpin berasal dari orang yang tertua dan paling mampu
serta berpengalaman. Akibatnya beberapa khalifah Daulah Umayyah berasal bukan
dari garis keturunan Muawiyah.
Contohnya adalah ketika Marwan menginginkan anaknya Abdul Malik sebagai
khalifah sesudahnya dan Abdul Aziz sebagai khalifah sesudah Abdul Malik. Hal itu
membuat keadaan dalam istana serta pemerintahan menjadi tidak stabil dan
administrasi pemerintahan terlalaikan, pemerintahan menjadi lamban dan tidak
efisien. Akibatnya, para pejabat terdorong melakukan korupsi dan mementingkan diri
sendiri. Rakyat makin tidak menyukai pemerintahan Daulah Umayyah sehingga
penentangan muncul di mana-mana.

c. Adanya Konflik-Konflik Politik yang Terjadi di Masa Ali bin Abi Thalib
Latar belakang terbentuknya Daulah Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-
konflik politik yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin sebelumnya, yaitu Ali bin
Abi Thalib. Konflik-konflik politik yang muncul seperti adanya sisa-sisa Syiah (yang
mengultimatum diri sebagai pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan
oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara
tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan
terhadap gerakan- gerakan oposisi ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
d. Pertentangan Etnis antara Suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arabia Selatan
(Bani Kalb)
Pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arabia Selatan (Bani
Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam. Pada masa kekuasaan Daulah
Umayyah, pertentangan tersebut semakin meruncing terutama setelah kematian Yazid
bin Muawiyah (Yazid I). Ketika terjadi bentrokan antara kedua belah pihak, kabilah
Kalb dapat mengalahkan kabilah Qais yang mengantarkan Marwan I ke kursi
kekhalifahan. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Daulah Umayyah
mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
Bangsa Arab Selatan yang pada masa itu diwakili kabilah Kalb adalah pendukung
utama Muawiyah dan putranya, Yazid 1 ibu Yazid I, yang bernama Ma'sum, berasal
dan kabilah Kalb. Pengganti Yazid 1, Muawiyah II, ditolak oleh bangsa Arab Utara
yang diwakili oleh kabilah Qais dan mengakui kekhalifahan Abdullah bin Zubair
(Ibnu Zubair).
e. Sikap Hidup Mewah di Lingkungan Istana
Beberapa khalifah Umayyah yang pernah berkuasa diketahui hidup mewah dan
berlebih-lebihan. Hal ini menimbulkan rasa antipati rakyat kepada mereka. Kehidupan
dalam istana Bizantium agaknya mempengaruhi gaya hidup mereka. Yazid bin
Muawiyah (Yazid 1): misalnya, dikabarkan suka berhura-hura dengan memukul
gendang dan bernyanyi bersama para budak wanita sambil minum minuman keras.
f. Figur Khalifah yang Lemah
Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus yang merupakan bekas ibu kota
Kerajaan Bizantium, mengakibatkan gaya hidup mewah bangsawan Bizantium mulai
mempengaruhi keluarga Dinasti Umayah. Sangat berbeda jauh dari gaya hidup Islami
seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, dan Khulafaur Rasyidin. Gaya
hidup mewah seperti itu menyebabkan figur-figur khalifah menjadi figur yang lemah.
g. Hak Istimewa Bangsa Arab Suriah
Umayah bin Khalaf merupakan nenek moyang Dinasti Umayah yang telah
menetap lama di Suriah jauh sebelum Islam datang. Oleh karena itu, keberlangsungan
Dinasti Umayah tidak bisa dilepaskan dari orang-orang Suriah. Dinasti Umayah
membentuk aristokrasi kelas-kelas sosial dan tingkatan masyarakat. Tentara Suriah
adalah jantung kekuatan militer Dinasti Umayah. Sebagai sumber kekuatan mereka
memperoleh bagian terbesar dari harta rampasan, Maka dari itu, masyarakat Suriah
mendapat hak istimewa yang mengakibatkan terjadi kesenjangan sosial antara
masyarakat Suriah dan golongan lainnya. Keadaan itu memunculkan kecemburuan
kaum muslim Arab di Madinah, Mekah, dan Irak. Mereka memang dibebaskanı dari
beban membayar pajak yang dipikulkan kepada orang-orang muslim non-Arab
(Mawali) dan nonmuslim. Akan tetapi, kehidupan mereka tidak lebih baik
dibandingkan dengan keluarga-keluarga Suriah. Kecemburuan yang lebih besar
ditunjukkan oleh orang-orang muslim non-Arab pada umumnya dan lebih khusus lagi
adalah orang-orang Islam Persia.
Dengan demikian, adanya ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non-Arab,
yakni pendatang baru dari bangsa-bangsa yang dikalahkan yang disebut "Mawall".
Mereka bersama-sama bangsa Arab mengalami beratnya peperangan, tetapi
diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua. Golongan non Arab, terutama di Irak dan
wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali
menggambarkan inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang
diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
h. Kebencian Golongan Syiah
Bani Umayyah dibenci oleh golongan Syiah karena dipandang telah merampas
kekhalifahan dari tangan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Menurut golongan
Syiah, khilafah (kepemimpinan atau kekuasaan politik) atau imamah adalah hak Ali
dan Keturunannya karena diwasiatkan oleh Nabi Muhammad saw.
i. Munculnya Kekuatan Baru yang Dipelopori oleh Keturunan al-Abbas ibn Abd al-
Muthalib
Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-
Muthalib, Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim. golongan
Syi'ah dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani
Umayyah. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dengan kelompok Arab. dalam hal
pembebanan pajak yang gerakan revolusi Abbasiyah terlalu tinggi, kelompok inilah
yang mendukung gerakan revolusi Abbasiyyah.
Kelompok inilah yang menjadi kekuatan baru bagi keturunan al-Abbas ibn Abd
al- Muthalib untuk menggulingkan kekuasaan kekuasaan Daulah Bani Umayyah.
Keruntuhan Daulah Bani Umayyah benar-benar terjadi dengan kemenangan pasukan
Abul Abbas yang didukung oleh pasukan Abu Muslim al-Khurasani dalam
pertempuran Zab Hulu melawan pasukan Khalifah Marwan pada tahun 748 M.
Kekalahan, ini menjadi akhir dari kekuasaan Daulah Bani Umayyah dan menjadi
awal berdirinya Daulah Bani Abbasiya mulai tahun 750 M-1258 M.
3. Hikmah dari Keruntuhan Daulah Bani Umayyah
Keruntuhan Daulah bani Umayyah memberikan banyak pelajaran atau hikmah yang
bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun hikmah dari peristiwa
keruntuhan Daulah Bani Umayyah, yaitu sebagai berikut.
a. Kita tidak boleh rakus terhadap kekuasaan.
b. Kita tidak boleh boros dalam menggunakan uang negara.
c. Kita harus bersikap adil dan bijaksana dalam menjalankan kekuasaan.
d. Kita harus lebih mendekatkan diri dengan Allah Swt. dan taat menjalankan syariat
Islam.
e. Kita harus mau mendekati rakyat dan mengasihi fakir dan miskin.

C. Proses Berdirinya Daulah Abbasiyah


Babak ketiga dalam drama besar politik Islam ditandai dengan berdirinya Daulah
Abbasiyah. Daulah Abbasiyah menandakan sebuah era baru. Abbasiyah dijadikan nama
daulah karena pendirinya merupakan keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi
Muhammad saw. Daulah Abbasiyah berkuasa dalam rentang waktu yang panjang selama 550
tahun (750 1258 M). Daulah Abbasiyah berpusat di Baghdad dan Irak sebagai ibu kotanya
dengan wilayah kekuasaan meliputi Asia Barat, Asia Selatan, Afrika Utara, hingga Eropa.
1. Muncul Kelompok yang Tidak Puas
Berbagai permasalahan yang muncul menimbulkan berbagai konflik yang
mengganggu kestabilan pemerintahan secara internal maupun eksternal. Maka, terjadilah
kekacauan dalam kehidupan bernegara Daulah Umayyah. Akibatnya, sekitar abad ke-8
(720 M) kebencian terhadap pemerintahan Bani Umayyah semakin menjadi-jadi, sehingga
muncullah kelompok-kelompok yang merasa tidak puas atas kebijakan yang diterapkan.
Hal ini menjadi salah satu keuntungan bagi kelompok Bani Abbasiyah.
Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas terhadap Dinasti Umayyah yang
menyebabkan runtuhnya dinasti tersebut, yaitu sebagai berikut.
a. Kelompok muslim non Arab (Mawali) yang memprotes kedudukan mereka sebagai
warga kelas dua di bawah warga muslim Arab.
b. Kelompok Syiah dan Khawarij yang menganggap Dinasti Umayyah telah merampas
kekhalifahan.
c. Kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah, dan Irak yang merasa sakit hati atas
perlakuan istimewa terhadap penududuk Suriah
d. Kelompok muslim yang saleh, baik Arab maupun non Arab yang menganggap
keluarga Dinasti Umayyah bergaya hidup mewah jauh dari ajaran Islam.
Kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut membuat kekuatan gabungan yang
dikoordinasi oleh Ali bin Abdullah bin Abbas. Untuk mencari dukungan masyarakat luas.
kelompok Bani Abbasiyah melakukan propaganda yang mereka sebut sebagai usaha
dakwah.
Pada tahun 104 H=723 M, lahirlah putra pertama Muhammad al-Abbas yang
bernama Abdullah Bin Muhammad, dan kelak terkenal dengan sebutan Abul Abbas
(Bapak Abbas) yang menduduki jabatan khalifah pertama Daulah Bani Abbas.
Peluang emas yang dimiliki Bani Abbas untuk merebut kekuasaan Bani Umayyah
itu terjadi pada masa Khalifah Marwan Bin Muhammad (127-132 H = 745-750 M) yakni
khalifah Bani Umayyah terakhir. Pada masa ini kondisi pemerintahan Dinasti Umayyah
sudah sangat lemah.
2. Serangan-Serangan Bani Abbasiyah
Setelah Ali bin Abdullah bin Abbas meninggal kemudian digantikan oleh anaknya
yang bernama Muhammad bin Ali. Ia memperluas gerakan Bani Abbasiyah dan
menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan, yaitu al-Humaymah, Kufah, serta Khurasan.
a. Humaymah sebagai pusat perencanaan organisasi
b. Kufah sebagai kota peoghubung
c. Khurasan sebagai pusat gerakan praktis.
Selain menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan dakwah, Bani Abbas juga
menggunakan strategi yang cukup halus dalam gerakannya. Strategi-strategi Bani Abbas
untuk mendirikan Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.
a. Membentuk gerakan bawah tanah dengan tiga tokoh propaganda, yaitu Muhammad al-
Abbas, Ibrahim al-Imam, dan Abu Muslim al-Khurasani. Dari ketiga tokoh tersebut,
Abu Muslim al-Khurasani merupakan propagandis yang paling sukses dan terkenal.
b. Menerapkan politik bersahabat, artinya turunan Bani Abbas tidak memperlihatkan
sikap bermusuhan dengan Bani Umayyah.
c. Menggunakan nama Bani Hasyim (Ahlul Bait). Hal ini dimaksudkan agar mendapat
simpati umat dan dukungan dari kelompok pendukung Ali (Syiah)
d. Khurasan sebagai pusat kegiatan gerakan Bani Abbas yang dipimpin oleh Abu Muslim
al-Khurasani.
Untuk melakukan berbagai kegiatan propaganda, diangkatlah 12 propagandis yang
tersebar di berbagai wilayah, seperti di Khurasan, Kuffah, Irak, dan Mekah. Isu
ketidakadilan yang dilontarkannya mendapat banyak sambutan dari berbagai kelompok
yang tidak senang dengan pemerintahan Bani Umayyah. Para perwakilan kelompok
menyatakan kesetiaan kepada Abu Muslim al-Khurasani untuk membela Bani Hasyim dan
Bani Abbas.
Strategi ini ternyata berhasil menghimpun kekuatan besar dan dahsyat yang tidak
bisa dibendung lagi oleh golongan mana pun juga. Dalam perjuangannya untuk
mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah, para tokoh pendiri menerapkan cara
kepemimpinan yang bersifat kolektif (kolegial leadership), namun tertutup dengan gerakan
bawah tanah.
Muhammad bin Ali meninggal pada tahun 743 M, kemudian digantikan oleh
anaknya Ibrahim al-Imam. Ia kemudian menunjuk Abu Muslim al-Khurasani sebagai
panglima perangnya. Di tangan Abu Muslim al-Khurasani pergerakan dakwah ini
berkembang pesat. La mampu menarik simpati sebagian besar penduduk Khurasan.
Pernah dalam sehari ia berhasil menarik simpati penduduk dari sekitar 60 desa di sekitar
Merv, la berkampanye untuk memunculkan rasa kebersamaan di antara golongan
Alawiyyin, Syiah, dan orang-orang Persia untuk menentang Bani Umayyah yang telah
menindas mereka. la juga mengajak mereka bekerja sama dengan Abbasiyah untuk
mengembalikan kekhalifahan kepada golongan Bani Hasyim.
Ibrahim al-Imam mendorong Abu Muslim al-Khurasani untuk merebut Khurasan
dan menyingkirkan orang-orang Arab yang mendukung Bani Umayyah. Sayangnya
rencana itu oleh penguasa Bani Umayyah, Ibrahim al-Imam ditangkap dan dihukum mati
oleh Khalifah Marwan II.
Kepemimpinan gerakan dakwah Bani Abbasiyah kemudian dipegang oleh
saudaranya, yaitu Abdullah bin Muhammad atau dikenal dengan Abu Abbas as-Saffah. la
tetap memberi kepercayaan kepada Abu Muslim al-Khurasani untuk menjadi panglima
perangnya dan memimpin perlawanan di Khurasan. Abu Muslim al-Khurasani adalah
seorang pemuda pemberani, pada usia 19 tahun beliau diangkat sebagai panglima perang
oleh Ibrahim Al Imam.
Abu Muslim al-Khurasani dengan cepat memulai gerakannya. Dengan pandai ia
memanfaatkan pertentangan antara suku Arab Yamani dan Arab Qaisy yang telah
berlangsung sejak dulu. Pada waktu Abu Muslim al-Khurasani memulai gerakannya,
gubemur Khurasan dijabat oleh Nasr bin Sayyar yang berasal dari Arab Qaisy. Abu
Muslim kemudian mendekati al-Kamiri, pimpinan suku Arab Yamani di Khurasan.
Dengan siasat adu domba, Gubemur Nasr bin Sayyar berhasil dikalahkan. Dengan bantuan
Yaman pula, Abu Muslim berhasil menduduki Kota Merv dan Nizabur.
Sementara itu, tentara Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh Kataba, jendral Abu
Muslim al-Khurasani maju ke sebelah barat didampingi oleh Khalid bin Barmak. Mereka
menyeberangi sungai Eufrat dan sampai ke medan Karbala. Dalam pertempuran tersebut,
Kataba dapat dikalahkan oleh Gubernur Bani Umayyah yang bernama Yazid bin Umar bin
Fuhairah.
Yazid bin Umar bin Fuhairah tidak menyerah pada Bani Abbasiyah kecuali setelah
As-Saffah menjanjikan padanya untuk memberikan rasa aman. Namun, mereka
mengingkari janji itu dengan membunuhnya. Tentara Bani Abbasiyah akhimya berhasil
menguasai Kufah.
Di bagian timur, tentara Bani Abbasiyah terus bergerak maju. Pada tahun 749 M.
putra Amir Marwan dikalahkan Abu Ayyub, seorang panglima Bani Abbasiyah. Perang ini
terjadi di dekat Sungai Zab bagian hulu sehingga disebut sebagai Perang Zab Hulu.
Khalifah Marwan II memimpin langsung usaha terakhir untuk mempertahankan
daulahnya. la mengerahkan bala tentara 120.000 orang dan menyeberangi Sungai Tigris
serta maju menuju Zab. Tentara Bani Abbasiyah dipimpin oleh Abdullah Bin Ali. Bani
Umayyah berhasil dikalahkan. Marwan II melarikan diri dan diburu dari satu tempat ke
tempat lain. Hingga akhimya ia ditemukan di Mesir dan dibunuh di sana. Damaskus
berhasil dikuasai pada tahun itu. Dengan demikian, semua wilayah pemerintahan berada di
bawah kendali Bani Abbasiyah kecuali Andalusia.
3. Silsilah Bani Abbasiyah
Berikut ini merupakan silsilah para khalifah dari Bani Abbasiyah, mulai dari Abbas
bin Abdul Muttalib sampal khalifah terakhir dari bani Abbasiyah yang berkuasa di
Baghdad.
Dalam silsilah Bani Abbasiyah terdapat tiga keluarga besar yang saling bersaing
memperebutkan kekuasaan, yaitu sebagai berikut.
a. Keluarga Alawiyin (didukung oleh kaum Syiah)
b. Keluarga Umayyah
c. Keluarga Abbasiyah
4. Pembaiatan Abu Abbas As-Saffah
Pada bulan Rabi ul Awal 749 M/ 750 M. Abu Abbas as-Saffah dibaiat sebagai amir
pertama Bani Abbasiyah la dibaiat di Masjid Kufah. As-Saffah artinya penumpah darah
karena beliau terkenal pemberani dan tidak mengenal belas kasihan kepada musuhnya di
medan perang.
Menurut para ahli sejarah, perpindahan pemerintahan dari Bani Umayyah kepada
Bani Abbasiyah lebih dari sekedar pergantian daulah. Kejadian itu merupakan revolusi
dari sejarah Islam, yaitu suatu titik balik yang sama pentingnya dengan Revolusi Prancis
dan Rusia dalam sejarah Barat.
5. Periodesasi Kekuasaan Daulah Abbasiyah
a. Periode Pertama
Periode pertama Daulah Abbasiyah mulai tahun 132 H atau 750 M sampai tahun
232 H atau 847 M. Sejak awal berdiri sampai pemerintahan ke sembilan Abu Ja'far al-
Wasiq, periode ini disebut juga pengaruh Persia pertama (1). Disebut periode Persia
pertama (1) karena pada periode ini terdapat sebuah keluarga bangsawan yang sangat
berpengaruh dalam pemerintahan Daulah Abbsiyah, yakni keluarga Barmak. Khalifah
Daulah Abbasiyah pada periode pertama adalah sebagai berikut.
1) Abu Abbas as-Saffah (132-137 H/750-754 M)
2) Abu Ja'far al-Mansur (137-159 H/754-775 M)
3) Al-Mahdi (159-169 H/775-785 M)
4) Musa al-Hadi (169-170 H/785-786 M)
5) Harun ar-Rasyid (170-194 H/786-809 M)
6) Al-Amin (194-198 H/809-813 M)
7) Al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M)
8) Al-Mu'tasim (218-227 H/833-842 M)
9) Al-Wasiq (227-232 H/842-847 M)
Periode Persia I menjadi masa keemasan dan kejayaan Daulah Abbasiyah.
Walaupun demikian bibit kemunduran Daulah Abbasiyah sudah muncul pada periode
ini, yaitu ketika terjadi perang saudara antara al-Amin dan al-Ma'mun.
b. Periode Kedua
Periode ini berlangsung tahun 232H/847M-334H/945 M). Sejak khalifah al-
Mutawakkil sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Bagdad. Periode II adalah
periode pengaruh Turki | karena tentara Turki menjadi tentara Daulah Abbasiyah yang
sangat mendominasi pemerintahan. Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode kedua
adalah sebagai berikut.
1) Al-Mutawakil (232-247H/847-861M)
2) Al-Muntasir (247-248H/861-862M)
3) Al-Musta'in (248-252H/862-866M)
4) Al-Mu'taz (252-255H/866-869M)
5) Al-Muhtadi (256-256H/869-870M)
6) Al-Mu'tamid (257-279H/870-892M)
7) Al-Mu'tadid (279-290H/892-902M)
8) Al-Muktafi (290-296H/ 902-908M)
c. Periode Ketiga
Daulah Abbasiyah periode ketiga dimulai tahun 334 H/945 M-447 H/1055 M. Sejak
berdirinya Daulah Buwalhiyah sampai masuknya Saljuk ke Bagdad. Periode ini disebut
juga Periode Persia kedua karena pada waktu itu sebuah golongan dari bangsa Persia
berperan penting dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu Daulah Buwaihi
Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode ketiga adalah sebagai berikut.
1) Al-Muti (335-364H/946-974M)
2) At-Tai (364-381H/974-991M)
3) Al-Qadir (381-423H/991-1031M)
d. Periode Keempat
Daulah Abbasiyah pada periode ini berlangsung dari tahun 447 H/1055 M- 590
H/1194 M. Sejak masuknya orang-orang dari Daulah Saljuk di Bagdad dipengaruhi
oleh bangsa Turki kedua karena pada waktu itu sebuah golongan dari bangsa Turki
berperan penting dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, yakni Daulah Saljuk.
Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode keempat adalah sebagai berikut.
1) Al-Qaim (423-468H/1031-1075M)
2) Al-Muqtadi (468-487H/1075-1094M)
3) Al-Mustazhir (487-512H/1094-1118M)
4) Al-Mustarsid (512-530H/1118-1135M)
5) Al-Rasyid (530-531H/1135-1136M)
6) Al-Muqtafi (531-555H/1136-1160M)
7) Al-Mustanjid (555-566H/1160-1170M)
8) Al-Mustadi (566-576H/1170-1180M)
9) An-Nasir (576-622H/1180-1225M)
e. Periode Kelima
Periode ini di mulai tahun 590 H/1194 M-656 H/1258 M dan tidak lagi dipengaruhi
oleh pihak manapun, namun kekuatan politik dan militer Daulah Abbasiyah sudah
lemah. Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode kelima adalah sebagai berikut.
1) Az-Zahir (622-623H/1225-1226M)
2) Al-Mustansir (623-640H/1226-1242M)
3) Al-Musta'sim (640-656H = 1242-1258M)
Pada periode V. pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak lagi dipengaruhi oleh pihak
manapun. Akan tetapi, kekuatan politik dan militer Daulah Abbasiyah sudah lemah
sehingga kekuasaan mereka tinggal meliputi wilayah Irak dan sekitarnya saja. Daulah
Abbasiyah runtuh pada tahun 1258 M, karena serangan tentara Mongol yang dipimpin
oleh Hulagu Khan,
6. Tokoh-tokoh yang Berperan dalam Sejarah Berdirinya Daulah Abbasiyah
Tokoh-tokoh yang berperan penting dalam proses berdirinya Bani Abbasiyah adalah
sebagai berikut.
a. Ali bin Abdullah bin Abbas
Muhammad bin Ali bin Abdullah (51 H-125 H/670 M-743 M), yang lebih dikenal
dengan nama Imam Muhamad al-Kamil, adalah putra Ali bin Abdullah dan cicit dari
Abbas bin Abdul-Muththalib, Muhamad al-Kamil adalah seorang tabi'in, garis leluhur
dari Dinasti Abbasiyah dan merupakan orang pertama yang mengkampanyekan agar
kekhalifahan dipegang oleh Bani Abasiyah.
Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib memulai usaha anti-Bani Umayyah
sejak masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz dan mendidik 12 kader untuk
menyebarkan gerakan mendukung keluarga nabi yang diperlakukan tidak adil oleh
Daulah Umayyah.
b. Muhammad bin Ali
Muhammad bin Ali merupakan tokoh utama pendiri Dinasti Bani Abbasiyah.
Beliau berhasil menghimpun kekuatan dan memiliki, pengikut-pengikut yang setia.
Abdullah bin Muhammad bergelar Abu Abbas As-Safah. Dia berhasil menumbangkan
khalifah Marwan bin Muhammad sebagai khalifah terakhir di Bani Umayyah. Namun
sayang. Muhammad bin Ali juga wafat sebelum cita-citanya terwujud.
c. Abdullah bin Muhammad (Abu Abbas as-Saffah)
Abdullah bin Muhammad adalah Abu Abbas as-Saffah. Gelar as-Saffah sama
dengan "Blood Hedder" yang artinya adalah haus darah. Gelar ini diberikan kepadanya
karena sikap kerasnya terhadap lawan-lawan politiknya.
Abu Abbas as-Saffah melanjutkan usaha-usaha dari ayahnya. Ia menggantikan posisi
saudaranya Ibrahim al-Imam dalam memimpin gerakan melawan Bani Umayyah.
Dalam kepemimpinannya, ia berhasil mengalahkan pasukan Bani Umayyah di Zab.
Hulu, sebuah anak sungai Tigris, Irak. Pasukannya berhasil mengalahkan pasukan Bani
Umayyah dan kemudian bergerak ke Syam (Suriah) dan sampai akhirnya seluruh Syam
dapat ditaklukkan. Ia dapat mengalahkan Khalifah Marwan bin Muhammad pada tahun
132 H/750 M. Dengan begitu, Marwan bin Muhammad menjadi Khalifah terakhir Bani
Umayyah.
Setelah mengalahkan Marwan bin Muhammad, ia kemudian dilantik menjadi
Khalifah Bani Abbasiyah pada tahun 750 M. la menjadi Khalifah pertama Bani
Abbasiyah dan sekaligus sebagai pendiri Daulah Bani Abbasiyah. Abu Abbas as-Saffah
berkuasa selama 4 tahun 9 bulan. Ia meninggal di Kota an-Nabar pada tahun 754 M. la
berkuasa sebagai khalifah mulai tahun 750 M hingga 754 M. Masa ini disebut läse
memasuki wilayah kekuasaan.
d. Abu Ja'far Al-Manshur
Abu Ja'far Al-Manshur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan
saudaranya Abul Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Manshur adalah putra Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung
Ibrahim Al- Imam dan Abul Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani
Abbasiyah. Pada awal pemerintahannya, Khalifah Abu Ja'far al-Manshur benar-benar
meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara dengan baik dan terkendali.
Selain meletakkan pondasi ekonomi, Khalifah Abu Ja'far al-Manshur juga
menertibkan pemerintah untuk memperkuat kekuasaan Bani Abbasiyah Penertiban ini
dilakukan dalam bidang administrasi dan mengadakan kerjasama antarpejabat
pemerintahan dengan sistem kerja lintas sektoral. la dianggap sebagai pendiri
sebenarnya Daulah Abbasiyah sehingga pantas dijuluki "Bapak Daulah Bani Abbas".
Hal ini dikarenakan Ja'far al-Mansyurlah yang meneguhkan sendi-sendi Daulah
Abbasiyah dengan cara menyusun peraturan-peraturan, undang-undang, dan menumpas
lawan-lawan politik yang membahayakan kekuasaannya. la meninggal pada bulan
Muharam 132 H/Agustus 775 M.
e. Abu Muslim al-Khurasani
Abu Muslim al-Khurasani lahir di Isfahan, Iran, pada sekitar tahun 718 dengan
nama asli Abdul al-Rahman ibn Al Muslim. panglima perang Dinasti Abbasiyah yang
sangat berjasa dalam usaha mengalahkan Dinasti Umayyah pada sekitar tahun 750.
Meski tidak terjun langsung di medan perang, ia menjadi agen propaganda yang
berpengaruh dan pengatur strategi yang cakap. la adalah pimpinan gerakan agama dan
politik di Khurasan, Persia (Iran), yang paling berjasa kepada Bani Abbas dalam usaha
menumbangkan Daulah Umayyah. Peran Abu Muslim al-Khurasani dalam
pembentukan Daulah Abbasiyah adalah membantu Ibrahim bin Muhammad bin Ali
dalam menyebarkan propaganda anti Bani Umayyah. Ia berhasil menarik simpati
masyarakat Khurasan. Bahkan para tuan tanah pada daerah itu untuk bergabung dengan
Bani Abbas dalam rangka menumbangkan Bani Umayyah. Namun sayang, usaha Abu
Muslim al-Khurasani dibalas dengan pembunuhan atas dirinya sendiri oleh khalifah
kedua Bani Abbas, Abu Ja'far al-Mansur. Al-Mansur memandang pengaruh Abu
Muslim al-Khurasani yang sedemikian besar menjadi ancaman bagi kelangsungan
kekuasaannya.
7. Berpindahnya Pusat Kekuasaan Ke Bagdad
Setelah Khalifah Abul Abbas as-Saffah meninggal, pemerintahan digantikan oleh
saudaranya yang bernama Abu Ja'far al-Mansyur. Pada saat beliau memerintah,
pemberotnakan dari golongan Rawandiyah (pengikut Abu Muslim al-Khurasani). dengan
dalih menuntut balas atas kematian Abu Muslim al-Khurasani.
Dengan adanya pemberontakan itu, khalifah al-Mansyur memandang bahwa Kota
Anbar tidak cocok lagi sebagai pusat pemerintahan. Kemudian beliau memindahkan
pusat pemerintahannya di Kota Bagdad. Latar belakang khalifah al-Mansyur memilih
Kota Bagdad sebagai pusat pemerintahan adalah sebagai berikut.
a. Adanya pemberontakan Rawandiyah terhadap khalifah Abu Ja'far al-Mansyur
b. Wilayah Bagdad cukup luas dan tanahnya subur.
c. Letak Bagdad sangat strategis dan mudah dijangkau oleh berbagai wilayah
Maka, dikatakan bahwa pendiri Kota Bagdad adalah khalifah Abu Ja'far al-Mansyur
dan arsitek yang membangun kota itu adalah Hajjaj bin Arthah dan Amran bin Wahdhah.
Untuk membangun kota Baghdad, Abu Ja'far al-Masyur mendatangkan para insinyur,
tukang batu dan para pekerja yang berpengalaman dari Syam, Syiria, Mosul. Basrah,
Kufah, Manshul, Dailami, dan Wasil. Pemilihan Baghdad sebagai pusat pemerintahan
Dinasti Abbasiyah didasarkan pada berbagai pertimbangan, seperti politik, keamanan,
sosial, serta geografis. Damaskus, Kufah, dan Basrah yang lebih dulu berkembang tidak
dijadikan pilihan lantaran di kota-kota itu masih banyak berkeliaran lawan politik Dinasti
Abbasiyah, yakni Dinasti Umayyah yang baru dikalahkan.
Dalam perkembangannya, Kota Bagdad menjadi kota yang sangat ramai, tidak
hanya karena terdapat pusat pemerintahan, juga karena jumlah penduduk kian
bertambah. Pertambahan jumlah penduduk disebabkan karena banyaknya para pendatang
dari luar kota bahkan luar negeri yang bertujuan untuk berdagang dan mencari ilmu
pengetahuan. Hal itu karena Kota Bagdad tidak hanya terkenal sebagai pusat
pemerintahan juga sebagai kota peradaban. Para penduduk asli dan pendatang melakukan
kerja keras untuk mengembangkan Bagdad sebagai pusat kota. Pada masa itu, Bagdad
merupakan kota termegah bahkan tercatat di dalam cerita seribu satu malam sebuah kota
impian.
D. IBRAH DARI PERISTIWA DAULAH BANI ABBASIYAH
1. Ibrah atau Nilai-Nilai dari Proses Berdirinya Daulah Bani Abbasiyah
Ada nilai-nilai positif atau ibrah yang terkandung dalam sejarah proses berdirinya
Daulah bani Abbasiyah yang bisa kita teladani dalam kehidupan kita. Nilai-nilai positif
atau ibrah yang tampak dalam sejarah proses berdirinya Daulah bani Abbasiyah tersebut,
antara lain, sebagai berikut.
a. Bersungguh-sungguh dalam belajar baik di sekolah maupun di rumah agar cita-cita
yang digantungkan setinggi langit bisa tercapai
b. Bersikap pantang menyerah dalam proses meraih cita-cita walaupun banyak
waktu,hambatan, rintangan.
c. Berani melakukan pengorbanan agar cita-cita itu tercapai, baik pengorbanan materi,
tenaga bahkan nyawa.
d. Mengutamakan aspek bekerja sama dengan orang lain dalam meraih cita-cita dan
saling menolong terhadap sesama umat Islam dalam usaha tersebut.
e. Selalu mengutamakan kepentingan agama di atas kepentingan dunia.
f. Hidup secara optimis, dinamis, inovatif dan slap menerima kritik konstruktif.
g. Punya pandangan hidup yang lebih baik yang berdasarkan pada norma susila, norma
budaya, norma hukum dan norma agama.
h. Berani berjuang demi nusa, bangsa, dan negara.
2. Nilai-Nilai Positif dari Para Khalifah Pilihan dari Daulah Bani Abbasiyah
Selain menjabat sebagai kepala negara, Bani Abbasiyah juga mengklaim dirinya
sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, artinya selain sebagai kepala Negara Bani
Abbasiyah juga sebagai kepala agama, yang disebut juga negara teokrasi. Negara teokrasi
yaitu sistem pemerintahan yang berlandaskan ketuhanan (Islam). Terlihat dalam
seremonial kenegaraan dan keagamaan simbol keislaman selalu dipergunakan. Seperti
pada pelaksanaan salat Jumat khalifah mengenakan jubah (burdah) dan tongkat seperti
yang pernah dilakukan Nabi Muhammad saw.. Terlebih lagi ketika khalifah al-Mansur
menyatakan bahwa dirinya Innama Ana Sulthan Allah fiardhihi (Sesungguhnya saya
adalah kekuasaan Allah di buminya). Makna yang dimaksud adalah khalifah yang
berlanjut dan berganti merupakan mandat dari Allah Swt. Selain dari gelar takhta khalifah
juga diberi gelar imam, yaitu pemimpin dari masyarakat muslim. Hal inilah yang membuat
bahwa kedudukan khalifah selain menjabat sebagai kepala negara juga merangkap sebagai
imam dari agama Islam.
Maka, ibrah atau, nilai-nilai positif dari para khalifah pilihan Daulah bani Abbasiyah,
antara lain, sebagai berikut
a. Memiliki sikap berani bertanggung jawab terhadap segara permasalahan yang
dipimpinnya, baik permasalahan umum maupun permasalahan dunia. Terlihat dari
sikap para khalifah yang meletakkan dirinya sebagai kepala agama.
b. Memegang syiar dan dakwah Islam serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-
hari. Tampak pada penampilan yang selalu memperlihatkan simbol keagamaan.
c. Menjaga keseimbangan antara kehidupan di dunia untuk mencapai kebahagiaan di
akhirat, terlihat dari peran dan jabatan khalifah selain menjabat sebagai kepala negara
juga merangkap sebagai imam dari agama Islam.
BAB II
PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH
ABBASIYYAH

A. PENDAHULUAN
Daulah Abbasiyah merupakan salah satu pilar kejayaan umat Islam pada masa klasik.
Pada zamannya, tidak ada bangsa yang menandingi gemerlapnya peradaban dan kemajuan
ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, sehingga bisa dikatakan bahwa zaman
keemasan Islam muncul pada saat itu. Daulah Abbasiyah berkuasa selama hampir enam abad
(132-656 H/750- 1258 M), didirikan oleh Abul Abbas as-Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-
Khurasani, seorang panglima Muslim yang berasal dari Khurasan, Persia dan Abu Ja'far Al
Manshur.
Bani Abbas mendirikan kekhalifahan baru yang bertahan selama 500 tahun. la pun
memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Baghdad, Irak. Baghdad pun dengan cepat tumbuh
menjadi pusat perdagangan, budaya, dan pusat aktivitas intelektual. Para khalifah Daulah
Bani Abbasiyah menyadari betul bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa terletak pada
sumber daya manusia yang berkualitas. Maka, berasal dari dasar pemikiran tersebut para
khalifah Daulah Bani Abbasiyah sangat menaruh perhatian kepada bidang pendidikan. Hal itu
dibuktikan dengan berkembangnya bidang politik dan pemerintahan, kemajuan di bidang
sosial dan budaya, kemajuan di bidang ekonomi dan pertanian, kemajuan pengetahuan dan
tekhnologi dan kemajuan ilimu-ilmu keagamaan. Berikut materi tentang perkembangan
peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyah.

B. Perkembangan Kebudayaan/Peradaban Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah di


Bidang Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, kegiatan pendidikan dan pengajaran mencapai
kemajuan gemilang. Sebagian khalifah Abbasiyah merupakan orang berpendidikan.
Sebenarnya, pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah kegiatan pendidikan telah tersebar
di wilayah muslim, tapi baru pada masa Bani Abbasiyah-lah bidang pendidikan dan
pengajaran mencapai kemajuan pesat.
Berkembang pesatnya kebudayaan Islam ditandai dengan berkembang luasnya
lembaga- lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah (sekolah-sekolah) formal serta
universitas- universitas dalam berbagai pusat kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga
pendidikan, sekolah- sekolah dan universitas-universitas tersebut nampak sangat dominan
pengaruhnya dalam membentuk pola kehidupan dan budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu
pengetahuan yang berrkembang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan pembentukan
dan perkembangan berbagai macam aspek budaya kaum muslim.
Berikut beberapa perhatian khalifah yang sangat besar sehingga mendorong dalam
bidang ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah.
1. Terjadinya asimilasi budaya, bahasa, pengetahuan antara bangsa Arab dan bangsa
lainnya yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan filsafat.
2. Gerakan penerjemahan berbagai ilmu pengetahuan dari bahasa asing ke dalam bahasa
Arab di masa khalifah al-Mansur, dengan dibentuknya dewan penerjemahan bahasa
Latin.
3. Pendirian pusat studi dan kajian yang diberi nama Baitul Hikmah. Tempat ini bukan
saja hanya menjadi pusat studi orang-orang di wilayah Baghdad, tetapi hampir dari
seluruh penjuru dunia.
4. Pembentukan Majelis Munadzarah pada masa Khalifah Abdullah al-Makmun menjadi
pusat kajian yang mengupas segala persoalan hukum keagamaan.
Pada zaman pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses pengalihan ilmu
pengetahuan dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai buku karangan bangsa-bangsa
terdahulu seperti buku-buku karya bangsa-bangsa Yunani, Persia, serta sumber dari berbagai
naskah yang ada di kawasan Timur Tengah dan Afrika seperti, Mesopotamia, dan Mesir.
Pada masa Bani Abbasiyah inilah, perhatian khalifah terhadap ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani memuncak, terutama pada masa Khalifah al-Makmun. Buku-buku ilmu
pengetahuan dan filsafat dari berbagai bahasa diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dengan
begitu umat Islam semakin mudah untuk meningkatkan keilmuannya. Kegiatan penerjemahan
buku-buku ini berlangsung kira-kira satu abad lamanya. Dengan demikian, kedudukan
Bahasa Arab semakin tinggi, karena Bahasa Arab tidak saja menjadi bahasa kenegaraan
tetapi juga bahasa pengantar bagi bangsa-bangsa lain yang ikut belajar kemajuan ilmu
pengetahuan dari dunia Islam.
Sejak awal berdirinya, Kota Baghdad ini sudah menjadi pusat peradaban dan
kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad terdapat
beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Bait al-Hikmah, yaitu
lembaga ilmu pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu. Selain itu Baghdad
juga sebagai pusat penerjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa
Arab. Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi dan sekolah biasa yang memenuhi
kota itu. Dua di antaranya yang terpenting adalah perguruan Nizhamiyyah, didirikan oleh
Nizham al-Mulk, wazir Sultan Seljuk, pada abad ke-5 H dan perguruan Mustansiriyah,
didirikan dua abad kemudian oleh Khalifah Mustanshir Billah. Sebenarnya, keberadaan
lembaga Baitul Hikmah sudah dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid dengan nama Darul
Hikmah. Baitul Hikmah memiliki perpustakaan yang sangat lengkap di dalamnya terdapat
ruang baca dan tempat tinggal bagi para penerjemah. Lembaga ini juga mempunyai ruang
pertemuan sebagai tempat diskusi bagi para Ilmuwan dan tempat pengamatan bintang.
Khalifah al-Makmun memberikan tugas penerjemahan kepada Yahya bin Mansur,
Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq, dan Sabain Sabit bin Qurra. Pelaksanaan penerjemahan
pertama dilakukan terhadap buku yang berbahasa Suriah. Setelah itu baru dilakukan
penerjemahan terhadap karya tulis Yunani terutama dalam bidang kedokteran dan ilmu
astronomi. Secara khusus ilmu astronomi untuk menentukan/mengetahui arah Kakbah.
Dengan adanya Baitul Hikmah itu, Kota Bagdad menjadi pusat dalam dunia ilmu
pengetahuan, filsafat, kesusastraan, dan syariat Islam.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, didirikanlah lembaga ilmu
pendidikan formal seperti madrasah, kuttab, masjid, majelis munadarah, dan darul hikmah.
Darul Hikmah menjadi pusat ilmu pengetahuan sehingga melahirkan para ilmuwan dari
berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga membawa kejayaan Daulah
Abbasiyah dan mencapai puncak keemasan.
C. Perkembangan Kebudayaan/Peradaban Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah di
Bidang Penertiban Administrasi Pemerintahan
Usaha membangun peradaban emas juga terjadi pada bidang administrasi pemerintahan
Daulah Abbasiyah, antara lain, sebagai berikut.
1. Membentuk Wizaraat dan Departemen
Pada masa kepemimpinannya khalifah Daulah Abbasiyah dibantu oleh seorang
Perdana Menteri (Wazir) atau yang menjabat disebut Wizaraat. Wizaraat ada dua, yakni
sebagai berikut.
a. Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidensial), yaitu wazir hanya sebagai
pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah
b. Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet), yaitu wazir berkuasa penuh untuk memimpin
pemerintahan, sedangkan Khalifah hanya sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya
fungsi khalifah sebagai pengukuh Daulah-Daulah lokal sebagai gubernurnya khalifah.
Dibentuk pula departemen yang bertugas membantu wazir, yaitu sebagai berikut.
a. Departemer Luar Negeri (Diwanul Kharij).
b. Departemen Urusan Pengawasan Negara (Diwanul Ziman).
c. Départemen Pertahanan dan Keamanan Negara (Diwanul Jund atau Jundi).
d. Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja (Diwanul Akarah).
e. Departemen Pos dan Telekomunikasi (Diwanur Rasail).
2. Membentuk Dewan Sekretaris Negara (Diwanul Kitabah)
Dewan ini sudah ada sejak masa pemerintahan Bani Umayyah. Dewan ini bertugas
untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan
yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul
kuttab (sekretaris negara). Tugas diwanul kitaabah mengurusi berbagai macam urusan
pemerintahan. Diwanul kitaabah terdiri atas lima orang sekretaris, yaitu sebagai berikut.
a. Sekretaris Persuratan (Katib Ar-Rasail).
b. Sekretaris Keuangan (Katib al-Kharraj).
c. Sekretaris Tentara (Katib al-Jund).
d. Sekretaris Kepolisian (Katib Asy-Syurtah).
e. Sekretaris Kehakiman (Katib al-Qadi).
3. Mengangkat Amir dan Syaikh Al Qura
Pengangkatan kepala daerah untuk menjaga daerah wilayah kekuasaan Daulah
Abbasiyah yang dipimpin oleh gubernur (Amir). Untuk memudahkan koordinasi
pemerintah pusat dan daerah, di bawah gubernur dibentuk pemerintah desa (Qaryah) yang
dipimpin oleh Syaikhul Qaryah (Kepala Desa).
4. Pembentukan Baitul Mal atau Kas Negara
Baitul Mal mengurusi tiga hal, yaitu sebagai berikut.
a. Perbendaharaan atau kas negara (Diwanul Khitabah)
b. Hasil bumi (Diwanul Azra'ah)
c. Perlengkapan tentara (Diwanu Khaza' Inussilah).

5. Membentuk Mahkamah Agung


Mahkamah Agung terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Al-Qada bertugas mengurusi perkara-perkara agama. Hakimnya disebut al-Qadi.
b. Al-Hisbah bertugas mengurusi masalah-masalah umum, baik perdata maupun pidana
Hakimnya disebut al-Muhtasib.
c. An Nazar fil Mazalim bertugas menyelesaikan perkara-perkara dari tingkat al-Qada
dan al-Hisbah. Hakimnya disebut Sahibul-Mazalim.
D. Perkembangan Kebudayaan/Peradaban Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah di
Bidang Politik dan Militer
1. Di Bidang Politik
Di bidang politik Daulah Abbasiyah menjalan hubungan persahabatan yang baik
dengan negara-negara lain, antara lain sebagai berikut.
a. Menjalin kerjasama politik dengan Raja Frank di sebagian wilayah Andalusia
(Spanyol). Tujuannya adalah, untuk mengantisipasi meluasnya pengaruh Daulah
Umayyah.
b. Menjalin hubungan dengan Afrika Barat. Tujuannya adalah, menambah kekuatan dan
kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, Irak
2. Di Bidang Militer
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka
pemerintah Daulah Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang
disebut Diwanul Jundi, yang mengatur semua yang berkaitan dengan kemiliteran dan
pertahanan keamanan.
Ada lima periode kepemimpinan Daulah Abbasiyah dalam mewujudkan
kemandirian politik dan militer. Dalam setiap periode terjadi perubahan pemegang
kekuasaan, sistem pemerintahan, dan kebijakan militer. Berikut periode politik dan militer
Daulah Abbasiyah.
a. Periode Pertama (750-847 M) Periode Pengaruh Persia I
Periode pertama disebut juga periode pengaruh Persia pertama. Dinasti
Abbasiyah pada periode ini berada dalam tahap perkembangan dan pemerintahannya
sangat kuat yang ditunjukkan oleh hal-hal berikut.
a) Adanya pengaruh yang sangat kuat sebuah keluarga dari bangsa Persia, yaitu
keluarga Barmak. Pendiri keluarga Barmak, yaitu Khalid bin Barmak adalah
orang yang ikut berjasa dalam usaha militer Daulah Abbasiyah ketika
menumbangkan Daulah Umayyah. Pada masa Khalifah Abu Jafar al-Mansur,
Khalid bin Barmak diangkat sebagai wazir. Keluarga Barmak selanjutnya
memiliki pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pemerintahan Daulah
Abbasiyah hingga masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid.
b) Para khalifahnya adalah panglima-panglima angkatan bersenjata yang selalu
memenangi peperangan, sehingga mampu mengendalikan pemerintahan dengan
sangat baik. Di samping itu, beberapa orang di antara mereka adalah para ulama
yang menyukai ilmu pangetahuan. Pada masa inilah perkembangan pemikiran
berlangsung dan merupakan puncak kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah
Khalifah Abu Abbas as-Safah melakukan usaha militer dengan menghancurkan
sisa-sisa kekuatan Daulah Umayyah. Paman Khalifah Abu Abbas as Safah yang
bernama Abdullah bin Ali mengatur segala cara untuk melenyapkan semua keluarga
dan pengikut Daulah Umayyah. Keberanian dan kekejaman dalam rangkaian
peperangan pada zamannya membuat Abu Abbas mendapat gelar as-Saffah yang
berarti Si Haus Darah.
Khalifah Abu Abbas meninggal pada tahun 754 M dan digantikan oleh
saudaranya, Abu Jafar al-Mansur. la mampu mengonsolidasikan kekuatan pendukung
Daulah Abbasiyah dan bersikap tegas terhadap siapa pun yang membahayakan
kelangsungan Daulah Abbasiyah, Sikap itu ia tunjukkan kepada Abdullah bin Ali,
pamannya yang diangkat sebagai gubernur di Suriah oleh Abu Abbas as-Safah.
Abdullah bin Ali pernah mendapat janji dari Khalifah Abu Abbas as-Safah, bahwa ia
akan diangkat sebagai penggantinya kelak. Naiknya Abu Jafar al-Mansur sebagai
khalifah membuatnya kecewa. Abdullah bin Ali kemudian memberontak. Abu Jafar
al-Mansur kemudian mengirimkan Abu Muslim al-Khurasani untuk menumpas
pemberontakan itu.
Pada pertempuran yang terjadi di dekat Nasibin, pasukan Abdullah bin Ali
berhasil dihancurkan. Pada perkembangan selanjutnya, Khalifah Abu Jafar al-Mansur
beranggapan bahwa Abu Muslim al-Khurasani sangat membahayakan kedudukannya
secara politis. Hal itu karena Abu Muslim al-Khurasani mempunyai pendukung yang
sangat besar di Khurasan. Kemudian Khalifah Abu Jafar al-Mansur berencana untuk
memindahkannya sebagai Gubernur di Suriah. Akan tetapi, Abu Muslim al-Khurasani
menolak karena merasa bahwa Khurasan adalah negerinya. Penolakan itu
mengakibatkan Abu Muslim al-Khurasani dijatuhi hukuman mati pada tahun 755 M.
Para pengikut Abu Muslim al- Khurasani kemudian memberontak, tetapi dapat
dipadamkan oleh Khalifah Abu Jafar al-Mansur.
Pada tahun 758 M, kaum Rawandiyah memberontak. Setelah pemberontakan itu
dapat dipadamkan, muncullah pemberontakan Muhammad dan Ibrahim. Khalifah Abu
Jafar al-Mansur kemudian bersikap keras terhadap mereka yang akhirnya
memunculkan pemberontakan ini. Tentara Daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh Isa
bin Mahan berhasil menghancurkan mereka. Tidak lama kemudian, kaum Khayar dan
kaum Kurdi memberontak di Mesopotamia. Untuk mengatasinya Khalid bin Barmak
diangkat sebagai gubernur di sana dan berhasil mengendalikan pemerintahan.
Sementara itu, kaum Khawarij di Afrika Utara juga memberontak.
Khalifah Abu Jafar al- Mansur mengangkat Aqlab sebagai gubernur di Afrika
Utara pada tahun 765 M untuk mengatasi pemberontakan tersebut. Khalifah Abu Jafar
al-Mansur berusaha merebut kembali Spanyol dari tangan Abdullah Ad-Dakhil, akan
tetapi usahanya gagal. Selain mengatasi pemberontakan dalam negeri, Khalifah Abu
Jafar al-Mansur juga berperang melawan Bizantium. Pada tahun 759 M. Khalifah Abu
Jafar al-Mansur memimpin langsung sebuah ekspedisi ke Tabaristan.
Abu Jafar al-Mansur digantikan oleh anaknya, al-Mahdi. Khalifah al-Mahdi
berbeda dengan ayahnya, ia menghadapi lawan politiknya dengan cara yang lebih
lembut. Ia membebaskan lawan politiknya yang dipenjarakan oleh ayahnya. Di
antaranya Hasan, anak Ibrahim. Ia juga mengembalikan hak-hak istimewa kota-kota
suci yang dicabut oleh ayahnya. Harta para keturunan Nabi dan Ali bin Abi Thalib
yang dirampas juga dikembalikan lagi.
Pada masa Khalifah al-Mahdi, muncul seorang pemimpin yang bernama Hisyam
bin Hakim. Ia mengaku sebagai "nabi yang berkerudung". Hisyam bin Hakim adalah
seorang laki-laki bertubuh kecil yang berwajah jelek. la menyembunyikan wajah
jeleknya dibalik sebuah topeng yang selalu dipakainya. Oleh karena itu, ia mendapat
julukan al-Muqanna. la berhasil memperoleh banyak pengikut dan menentang
pemerintahan Daulah Abbasiyah. Namun, akhirnya ia berhasil dikalahkan dan
dibunuh.
Setelah itu, seorang Syaikh bernama Ibnu Abdul Quddus mendakwahkan ajaran-
ajaran yang merupakan zoroasterianisme yang terselubung. Para pengikutnya disebut
kaum Zindik. Khalifah al-Mahdi menganggap mereka telah merusak kebiasaan
masyarakat dan keyakinan agama. Mereka akhimya ditumpas habis. Peperangan
dengan Bizantium berkobar lagi ketika mereka menyerang wilayah-wilayah provinsi
perbatasan. Khalifah al-Mahdi mengirimkan Ibnu Kahtaba dan berhasil memukul
mundur tentara Bizantium, Setelah itu Khalifah al-Mahdi berangkat ke Mosul untuk
memerangi orang-orang Romawi Tentara Romawi berhasil dihancurkan. Ratu
Bizantium yang bernama Irene, janda Raja Leo VI meminta perdamaian dan bersedia
membayar upeti tahunan kepada kaum muslimin.
Khalifah al-Mahdi digantikan oleh al-Hadi. Masa pemerintahannya sangat
singkat. hanya sekitar satu tahun. Pada masa itu, terjadi pemberontakan hebat dari
keturunan Ali yang bernama Idris. Saudara Muhammad dan Ibrahim, melarikan diri
ke Magrib (Maroko) dan menetap di Kota Fez. la kemudian berhasil mendirikan
Daulah Idrisiyah yang bertahan selama hampir dua abad. Wilayahnya meliputi bagian
utara Afrika yang sekarang termasuk wilayah Maroko dan Aljazair.
Pada tahun 786 M, al-Mahdi meninggal karena sakit. Takhta khalifah selanjutnya
diduduki oleh Harun al-Rasyid. la merupakan khalifah terbesar dalam sejarah Daulah
Abbasiyah. Namanya melegenda dalam kisah "seribu satu malam. Kebesaran Harun
al-Rasyid disepadankan dengan Charlemagne (Karel Agung) Raja Franca yang
kemudian menjadi kaisar Romawi. Dua raja besar ini menjalin hubungan diplomatik
dan bersekutu untuk menghadapi Daulah Umayyah di Spanyol dan Bizantium. Selain
itu, Harun al-Rasyid juga menjalin hubungan dengan raja-raja Cina.
Pada awal pemerintahannya, kaum Khawarij kembali memberontak. Ibrahim bin
Aqlab kemudian diangkat menjadi gubernur kemudian berhasil memulihkan
keamanan dan ketenteraman. Ia juga berhasil mengirimkan 40.000 dinar tiap tahun ke
Baghdad. Khalifah Harun al-Rasyid kemudian memberikan jabatan gubernur Afrika
Utara kepada Ibrahim dan anak keturunannya. Mereka dikenal sebagai Daulah
Aqlabiyah.
Di Armenia, orang Khazan yang dibantu oleh orang-orang Yunani memberontak.
Khalifah Harun al-Rasyid segera bertindak cepat dan berhasil menumpas mereka.
Pada tahun 787 M, kaum muslimin berhasil menguasai Kabul dan Sanjar. Setelah itu,
wilayah-wilayah perbatasan kembali diserbu dan dikacaukan oleh tentara Bizantium.
Ketika itu, Bizantium dipimpin oleh Irene. Pada tahun 802 M, Irene dibunuh oleh
panglimanya sendiri, seorang perwira Romawi yang bernama Nicleporus. Nicleporus
selanjutnya menguasai takhta Bizantium. Melihat adanya perpecahan di kalangan
penguasa Bizantium tersebut, Khalifah Harun al-Rasyid segera menyerang Bizantium.
la berhasil menguasai Heraclea dan Tyana pada tahun 806 M.
Pada masa Khalifah Harun al-Rasyid juga ditandai dengan jatuhnya kekuasaan
Barmak. Keberhasilan mereka dalam mendukung pemerintahan khalifah-khalifah
sebelumnya telah membuat mereka menjadi keluarga yang kaya raya. Mereka
membangun tempat tinggal dan istana yang megah. Kemegahannya hanya kalah oleh
istana khalifah. Demikian kemasyhuran mereka. Hal itu membuat banyak bangsawan
Arab di istana menjadi iri. Pemimpin bangsawan Arab yang bernama Fazal bin Rabi
memberi laporan kepada khalifah bahwa keluarga Barmak mengadakan gerakan
rahasia untuk menghancurkan Daulah Abbasiyah. Mendengar berita itu, Khalifah
Harun al-Rasyid marah, ia menghukum seluruh anggota keluarga Barmak.
Khalifah Harun al-Rasyid meninggal pada tahun 809 M. la digantikan oleh
putranya, al-Amin. Atas permintaan Ratu Zubaidah dan saudaranya-Isa bin Jafar,
ketiga putra mereka akan diangkat sebagai khalifah secara berturut-turut. Mereka
adalah al-Amin, al-Makmun, dan Qasim. Tidak berapa lama kemudian, kedua
saudaranya, yaitu al-Amin dan al-Makmun terlibat dalam perang saudara karena
memperebutkan takhta kekhalifahan. Perebutan takhta itu sebagai akibat persaingan
yang sengit dan kecemburuan antara bangsawan Arab dan bangsawan di istana
Bagdad. Golongan bangsawan Arab mendukung al-Amin, sedangkan golongan
bangsawan Persia mendukung al-Makmun. Keadaan memaksa al-Makmun segera
membuat basis pertahanan yang kuat di Khurasan. Al-Amin kemudian mengirimkan
50.000 orang tentara yang dipimpin oleh Ali bin Isa. Adapun al-Makmun kemudian
mengirimkan Tahir bin Husain dengan 40.000 tentara untuk menghadapi tentara al-
Amin tersebut. Dengan gemilang, Tahir bin Husain mampu mengalahkan Ali bin Isa
dalam sebuah pertempuran di dekat Ray pada tahun 811 M. Tidak lama kemudian,
jendral-jendral al-Makmun berhasil mengalahkan tentara al-Amin. Mereka kemudian
mengepung Baghdad.
Pada tahun 813 M, pasukan al-Makmun berhasil menguasai Baghdad, sedangkan
al-Amin terbunuh dalam peristiwa itu. Secara politis, kemenangan al-Makmun atas al-
Amin bisa diartikan sebagai dominasi bangsa Persia atas bangsa Arab.
Setelah al-Makmun naik takhta, enam tahun pertama digunakan untuk mendalami
berbagai ilmu pengetahuan di Merv, Khurasan. Ia tidak segera menduduki takhta di
Bagdad. Hal itu dilakukannya dengan tujuan sebagai berikut.
1) Mendinginkan perasaan dan reaksi penduduk ibukota atas meninggalnya al-Amin.
2) Menjajaki kekuatan pendukung al-Amin dalam lingkungan keluarga Daulah
Abbasiyah
Selama masa itu, pemerintahan diserahkan kepada Fazal bin Sahal. Pada awalnya,
pemerintahan Fazal bin Sahal menghadapi pemberontakan orang-orang Badui di Irak
serta orang-orang Syiah yang selalu memperjuangkan haknya atas kekhalifahan. Di
lain pihak, selama pengasingan di Merv, Khalifah al-Makmun justru terkena pengaruh
Syiah. Ia bahkan berniat mewariskan kekhalifahan kepada Imam Ali Reza. Namun,
Imam Ali Reza terlebih dahulu meninggal sehingga perpindahan kekuasaan itu tidak
terlaksana.
Pada tahun 819 M, Khalifah al-Makmun memegang sendiri pemerintahan. la
kemudian mempercayakan pemerintahan kota-kota suci kepada seorang keturunan
Ali. Kufah dan Basrah diserahkan kepada dua orang saudara khalifah. Tahir bin
Husain diangkat menjadi gubernur Khurasan. Anak Tahir bin Husain yang bernama
Abdullah dipercayai memegang jabatan gubernur di Mesir dan Suriah.
Pada tahun 826 M, Khalifah al-Makmun menikah dengan Khadijah Buran, yaitu
anak Hasan bin Sahal. Khadijah Buran pada masa selanjutnya memberi pengaruh
yang besar dalam berbagai kebijakan khalifah. Sementara itu, kaum Khawarij
memberontak di Khurasan. Tahir bin Husain berhasil menumpas pemberontakan
tersebut. la dan keturunannya kemudian memerintah di Khurasan secara turun
temurun sehingga terkenal sebagai Daulah Tahiriyah. Selain itu, Khalifah al-Makmun
juga terlibat peperangan dengan bangsa Romawi la mendirikan beberapa benteng
sebagai pertahanan militer di Tayanna, Asia Kecil. Setelah Khalifah al-Makmun
meninggal pada tahun 833 M, takhta diduduki oleh al-Muktasim saudara al-Makmun.
sama halnya dengan Khalifah al-Makmun.
Khalifah al-Muktasim juga menganut paham Muktazilah. Keputusan yang paling
penting adalah merekrut orang-orang Turki sebagai tentara yang dibayar secara
proporsional. Tentara Turki ini dibentuk untuk mengimbangi kekuatan pengawal
pribadi khalifah yang tuntutannya tidak bisa dipenuhi oleh khalifah. Namun dalam
perkembangannya, tentara Turki tersebut makin mendominasi pemerintahan, bahkan
mereka ikut campur dalam pengangkatan raja-raja dan gubernur di wilayah Daulah
Abbasiyah. Khalifah al-Muktasim berusaha menghilangkan dominasi tentara Turki
dengan memindahkan ibukota ke Samara Di Samara, ia mendirikan istana dan barak-
barak bagi 250.000 tentara. Sebagian kota itu diberikannya kepada kepala-kepala suku
Turki, Khalifah al-Muktasim kemudian menghadapi pemberontakan kaum Zatt. Kaum
Zatt adalah orang-orang yang berimigrasi ke Persia beberapa abad sebelumnya.
Mereka bermukim di pinggir Sungai Tigris dan Eufrat. Mereka merampok kafilah-
kafilah dagang, menyerang permukiman, dan memungut bea atas kapal-kapal yang
melewati daerah mereka, akibatnya pasokan barang ke Bagdad terputus. Khalifah al-
Muktasim menumpas pemberontakan itu dengan tegas. Mereka dipaksa pindah ke
perbatasan Sisilia. Beberapa kelompok dari mereka menyeberang ke Eropa dan
sebagian yang lain pergi mengembara. Pada tahun 839 M. seorang pangeran dari
Tabaristan yang bernama Maizar memberontak, tetapi segera dapat ditumpas.
Khalifah al-Muktasim digantikan oleh Khalifah al-Wasiq. Ia merupakan khalifah
terakhir pada periode pertama. Kebijakannya yang paling menentukan adalah dengan
mengangkat seorang perwira Turki bernama Asyaus sebagai wakilnya. Hal itu sangat
menguntungkan posisi orang-orang Turki dan merugikan posisi orang-orang Arab.
Pada masa itu, terjadi pemberontakan orang suci yang bernama Ahmad bin Nasr di
Bagdad. Ia menentang pemindahan penguasa Daulah Abbasiyah terhadap kaum non-
Muktazilah. Ahmad bin Nasr berhasil ditangkap, diadili dengan tuduhan melakukan
bid'ah, dan dihukum mati.
b. Periode Kedua (847-945 M) Periode Pengaruh Turki 1
Berbeda dengan periode pertama, pada periode kedua ini justru Daulah Bani
Abbasiyah mengalami kemunduran. Periode ini berlangsung sejak tahun 847-945
Masehi. Setelah Khalifah al-Wasiq meninggal, la digantikan oleh al-Mutawakkil.
Khalifah al-Mutawakkil memerintah selama lima belas tahun. Masa pemerintahannya
menjadi awal kemunduran Daulah Abbasiyah. Ia tidak lagi menggunakan teologi
Muktazilah. Imam Ahmad bin Hambal pun dibebaskan. Sejumlah pembesar dan
pemuka kaum Muktazilah meninggal di tangannya. Khalifah al-Mutawakkil juga tidak
begitu toleransi terhadap keturunan Ali. Kebun Fedak milik keluarga nabi yang
pernah disita oleh Khalifah Marwan dan dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Abdul
Aziz disita kembali oleh Khalifah al-Mutawakkil.
Di tengah ketidakstabilan pemerintahan Daulah Abbasiyah, Bizantium
menyerang provinsi muslim di Sisilia, Asia Kecil dan merebut Dimyat di Mesir.
Rakyat banyak yang tidak puas. Hal itu menimbulkan banyak kekacauan. Pasukan
pengawal Turki mengambil keuntungan dari situasi itu dan mencoba mengambil alih
kekuasaan. Khalifah al-Mutawakkil berusaha menghindari pasukan Turki tersebut
dengan memindahkan ibukota ke Damaskus, akan tetapi pasukan pengawal Turki
tersebut malah membunuhnya. Khalifah berikutnya adalah al-Muntasir. Namun ia
meninggal ketika baru memerintah selama 6 bulan. la digantikan oleh al-Musta'in.
Karena perseteruannya dengan para pengawal Turkinya, Khalifah al-Musta'in
melarikan diri ke Bagdad. Para pengawal Turkl itu kemudian mengangkat al-Mu taz,
anak al-Mutawakkil sebagai khalifah. Setelah memerintah selama tiga tahun, Khalifah
al-Mu'taz dipaksa turun oleh al-Muhtadi. Khalifah al-Muhtadi berusaha
mengembalikan kekuasaan khalifah. Hal itu segera membuat bentrok dengan pasukan
pengawal Turki. la dipenjarakan hingga meninggal. Khalifah kemudian dijabat oleh
al-Mu'taqmid anak sulung al-Mutawakkil yang hidup. Ia memerintah selama 12 tahun.
Setelah itu, takhta kekhalifahan dipegang oleh al-Mu'tadid. la seorang pemberani yang
memerintah selama 12 tahun. Usaha militernya ditandai dengan keberhasilannya
merebut Mesir dari tangan bangsa Romawi.
Khalifah al-Mu'tadid meninggal pada tahun 902 M dan digantikan oleh anaknya
al- Muktafi. la seorang penguasa yang bijaksana dan adil. la meninggal setelah
memerintah selama 5 tahun. la digantikan oleh al-Muktadir yang menduduki takhta
selama 25 tahun. Ia memiliki seorang menteri yang saleh dan cakap bernama Ibnu
Furat. Menjelang akhir masa kekuasaannya, pemegang kendali pemerintahan yang
sebenarnya adalah ibunya. Ia seorang wanita yang berwatak mulia dan mempunyai
kecapakan yang mengagumkan. Setelah kematian Khalifah al-Muktadir, takhta
khalifah dipegang Abu Mansur. la adalah anak al-Muktadir yang lain dan bergelar al-
Qahir, la seorang yang kejam. Oleh karena itu, ia dibenci oleh orang-orang Turki, ia
segera diturunkan dari takhta dan digantikan oleh Ar-Radi, anak al-Muktadin. Pada
masa pemerintahannya, Muhammad bin Raikam, gubernur Wasil dan Basra merebut
kekhalifahan akan tetapi ia digulingkan oleh jenderal Turki yang bernama Balkan.
Khalifah al-Radi kemudian digantikan oleh al-Muttaqi akan tetapi ia hanya
merupakan boneka dari seorang jendral Turki, yang bernama Tuzun. Pada masa
pemerintahannya, orang-orang Yunani menyerang Edessa dan membunuh kaum
muslimin.
c. Periode Ketiga (945-1055 M) Pengaruh Persia II
Periode ketiga berlangsung sejak tahun 945-1055 Masehi. Pada periode ini
Daulah Bani Abbasiyah semakin mengalami kemunduran. Ini disebabkan oleh
kekhalifahan Daulah Bani Abbasiyah yang didominasi Daulah Buwaihi dan akhirnya
menimbulkan banyak masalah politik dalam dinasti. Pusat pemerintahan bahkan
dipindahkan dari Baghdad ke Syiraz, tempat Khalifah Ali bin Buwaihi berkuasa.
Untuk mengurangi dominasi para pengawal Turki, Khalifah al-Muktafi mengundang
Daulah Buwaihiyah ke Bagdad, ia menginginkan agar para pengawal Turki itu diusir
dari istana Bagdad. Ahmad bin Buwaih kemudian diangkat sebagai Amin al-Umara
oleh khalifah. Pemegang kekuasaan yang sebenarnya pun pindah ke tangan Daulah
Buwaihiyah. Namun keadaan khalifah tetap tidak lebih baik. Khalifah al-Muktafi
memerintah selama dua tahun hingga tahun 945 M. la digantikan oleh al-Muti.
Khalifah al-Muti memerintah hingga tahun 947 M. la digantikan oleh At-Tai yang
menduduki takhta khalifah hingga tahun 991 M. la tidak dişukai oleh penguasa
Daulah Buwaihiyah dan diturunkan dari takhta, la digantikan oleh al-Qadir. Khalifah
al-Qadir termasyhur karena kesalehannya serta kemuliaan akhlaknya. al-Qadir
digantikan oleh anaknya, Abu Jafar Abdullah yang bergelar al-Qoim.
Pada masa khalifah-khalifah dalam periode ini, kondisi politik sering tidak stabil.
Hal itu disebabkan adanya perebutan jabatan, Amir al-Umara di antara para penguasa
Daulah Buwaihiyah. Pada masa itu, para khalifah bahkan kehilangan legitimasi
Keagamaannya Posisi mereka sebagai khatib salat Jumat diserahkan kepada orang-
orang Daulah Buwaihiyah. Hal itu disebabkan Daulah Buwaihiyah menganut aliran
Syiah, sedangkan Daulah Abbasiyah menganut aliran Suni.
d. Periode Keempat (1055-1180 M), Periode Pengaruh Turki II
Periode keempat dimulai sejak tahun 1055-1180 Masehi. Pada periode ini
pengaruh Daulah Buwaihi mulai memudar dan digantikan dengan pengaruh Bani
Seljuk. Paham syiah yang dibawa oleh Bani Buwaihi pun mulai ditinggalkan. Namun
dominasi Bani Seljuk pada Daulah Bani Abbasiyah tidak berlangsung lama. Terjadi
konflik internal yang akhirnya menyebabkan Daulah Bani Abbasiyah terbebas dari
pengaruh dinasti lainnya. Keadaan kekhalifahan setelah itu memang membaik, paling
tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama
dikuasai oleh orang-orang Syiah. Daulah Seljuk kemudian mengembalikan kekuatan
khalifah di bidang keagamaan. Khalifah kembali mengisi khutbah dalam salat Jumat
di Bagdad. Jabatan Amir al-Umara juga diberikan kepada Tugrul Bek. Untuk
mempererat hubungan antara Daulah Seljuk, khalifah al-Qaim menikahkan seorang
putrinya dengan Tugrul Bek.
Khalifah al-Qoim meninggal dunia pada tahun 1075 M. la digantikan oleh
cucunya Abu Qosim Abdullah yang bergelar al-Muqtadi. Khalifah al-Muqtadi
berkuasa selama 19 tahun hingga tahun 1094 M. Kemudian ia digantikan oleh
anaknya, Abu Abbas Ahmad yang bergelar al-Mustazin. Khalifah al-Mustazin
memberikan toleransi yang besar kepada pemeluk agama yang lain. la menduduki
tahta selama 25 tahun dan kemudian digantikan oleh anaknya, Abu Mansur bergelar
al-Mustarsid. Dalam masa pemerintahannya, Khalifah al-Mustarsid terlibat
perseteruan dengan Ma'ud saudara Sultan Mahmud dari Bani Seljuk. Akibatnya ia
dibunuh pada tahun 1135 M la digantikan anaknya, Ar-Rasyid yang memerintah
hanya beberapa bulan. Kemudian digantikan oleh Abu Abdullah, anak al-Mustazin
yang bergelar al-Muqtafi dan berhasil memulihkan situasi kacau yang terjadi di
beberapa wilayah.
e. Periode Kelima (1180-1258 M) Terbebas dari Daulah-Daulah Lain
Khalifah An-Nasir bisa dianggap sebagai khalifah yang berhasil,
pemerintahannya berlangsung selama 45 tahun. Apalagi dengan hancurnya Daulah
Seljuk, peme- rintahan menjadi makin megah dan semarak. la kemudian digantikan
oleh anaknya, Az-Zahir. Namun, khalifah Az-Zahir hanya memerintah selama satu
tahun. Ia digan- tikan oleh anaknya, Abu Jafar al-Mansur yang bergelar al-Mustansir.
la adalah seorang khalifah yang pemberani dan adil. la mampu memelihara kekuatan
dan kebe-saran kekhalifahan. la memerintah 16 tahun hingga tahun 1242 M. la
digantikan anaknya, Abu Ahmad Abdullah dengan gelar al-Mustasin, mereka adalah
khalifah yang lemah.
Kehancuran Daulah Abbasiyah datang seiring dengan serangan Hulagu Khan
pada tahun 1258 M. Kota Baghdad dan berbagai peninggalan sejarah dihancurkan,
Khalifah al-Mustasin dan keluarganya dibunuh. Dengan demikian, berakhirlah
kekuasaan Daulah Abbasiyah. Kekuatan politik dan militernya yang begitu unggul
pada masa sebelumnya, lenyap saat itu juga. Setelah itu, Baghdad dan wilayah Islam
lainnya jatuh dalam kekuasaan bangsa Mongol.
Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini merupakan awal babak
baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan. Sebagaimana terlihat
dalam periodesasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode
kedua.
Faktor-faktor penyebab kemunduran sudah terlihat pada periode pertama, hanya
karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat
berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah
kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika
khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
E. Perkembangan Kebudayaan/Peradaban Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah
Bidang Ekonomi (Perdagangan, Perindustrian, dan Pertanian).
1. Sektor Ekonomi
Sektor ekonomi tampak pada kesejahteraan seluruh rakyat Abbasiyah yang menjadi
prioritas utama bagi para pemimpin Daulah Abbasiyah dalam melaksanakan
kekuasaannya, terutama di periode awal perjalanan kekuasaan. Hal ini bisa terlihat pada
awal masa kepemimpinan Daulah Abbasiyah, uang masuk lebih banyak daripada uang
pengeluaran. Pada masa ini Khalifah Abu Ja'far al-Mansur meletakkan dasar-dasar yang
kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontoh Umar Bin Khattab dalam
menguatkan Islam. Khalifah Abu Ja'far al-Mansur bukan saja seorang ekonom dan
organisator, tetapi juga seorang ulama yang memiliki wawasan yang luas dalam bidang
agama dan ilmu pengetahuan. Pada waktu Khalifah Abu Ja'far al-Mansur wafat, harta
yang berada dalam kas negara sebanyak 810.000.000 dirham. Adapun pada saat
sepeninggal Harun Al Rasyid. harta yang berada dalam kas negara sebanyak 900.000.000
dirham.
Khalifah Abu Ja'far al-Mansur tokoh utama dari peletak dasar ekonomi Daulah
Abbasiyyah, sikap tegas, adil dan bijaksana membawa Daulah Abbasiyah maju dalam
berbagai bidang.
2. Sektor Perdagangan
Baghdad merupakan "Kota Perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Adapun
Kota Damaskus merupakan kota dagang nomer dua sebagai pusat kota perdagangan
translit bagi kafilah-kafilah dagang dari Asia Kecil, dan daerah-daerah Furat yang menuju
negeri-negeri Arab dan Mesir atau sebaliknya. Pada saat itu terjadilah hubungan dagang
antara kota-kota dagang Islam dan kota-kota dagang di seluruh penjuru dunia. Terjadinya
kontak perdagangan tingkat Internasioanal ini semenjak Khalifah al-Mansur di zaman
Dinasti Abbasiyah. Perdagangan barang tambang berupa emas dari Nubia dan Sudan
Barat juga sangat gencar pada masa Abbasiyah ini sehingga meningkatkan
perekonomiannya. Banyak kota yang dibangun sebagai pusat industri, Basrah sebagai
pusat industri gelas dan sabun, Kuffah industri tekstil, Khazakstan industri sutra;
Damaskus industri pakaian jadi dan sutra bersulam: Syam sebagai pusat industri keramik
dan gelas berukir.
3. Sektor Perindustrian
Perekonomian warga Abbasiyah umumnya meningkat mulai pada zaman
pemerintahan al-Mahdi. Dengan peningkatan sektor pertanian dan hasil tambang dan
hubungan luar negeri antara daulah Abbasiyah dan kerajaan-kerajaan lain telah meningkat
dalam sektor perdagangan Basrah menjadi pelabuhan penting sebagai tempat dagang
transit antar timur dan barat. Khalifah juga menganjurkan untuk beramai-ramai
membangun industri sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya. Telah
terbangun industri kain linen di Mesir, sutra dari Syiria, dan Irak kertas dari Samarkand.
4. Sektor Pertanian
Bidang pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, karena
pusat pemerintahannya berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal
dengan nama Sawad. Daerah rendah di lembah Tigris-Efrat, yang merupakan daerah
terkaya setelah Mesir, dan dipandang sebagai surga Aden, mendapat perhatian khusus
dari pemerintah pusat. Pertanian ini meliputi pertanian gandum dari Mesir dan kurma dari
Irak.

F. Perkembangan Kebudayaan/Peradaban Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah


Bidang Seni Budaya, Sastra, Bangunan dan Tata Kota, dan Arsitektur
Peradaban Islam dalam bidang seni budaya, sastra mancapai puncak kejayaannya pada
masa Daulah Abbasiyah. Kota Baghdad menjadi kota pusat studi ilmu, seni dan sastra.
Kemajuan ini disebabkan karena proses asimilasi (pertemuan budaya) antara bangsa Arab
dan bangsa lainnya. Apalagi setelah kegiatan penerjemahan berbagai macam buku dari
Yunani, India, Byzantium, dan Persia ke dalam bahasa Arab.
1. Bidang Seni Budaya
Pada masa Daulah Abbasiyah, wilayah pemerintahan Islam meluas sampai ke
Spanyol di barat dan India di timur. Untuk masa beberapa tahun, penduduk negeri-negeri
yang ditaklukkan itu tetap dalam agama masing-masing. Setelah mereka menyaksikan
kemajuan keberadaban Arab Islam dan rapinya pemerintahan di negara-negara itu, mereka
masuk Islam dengan suka rela. Contohnya, penduduk Mesir, Suriah, Palestina, Aljazair,
Maroko, Libia, Tunisia, dan Spanyol. Namun, Persia berhasil kembali menegakkan
nasionalisme mereka. Adapun Spanyol mengusir orang-orang Arab Islam dari negaranya.
Walaupun demikian, mereka telah terarabkan dalam beberapa abad.
Mereka bukan saja menjadi Islam tetapi juga menjadi Arab namun juga terarabkan.
Mereka sudah lupa akan bahasa dan kebudayaan mereka sendiri. Oleh karena itu, saat ini
pengetahuan Arab sudah meluas dan tidak terbatas pada bangsa yang mendiami Jazirah
Arab saja. Hal itu dapat dilihat dari kota-kota yang menjadi pusat budaya Arab tidak
terbatas pada kota-kota di Jazirah Arab saja melainkan meliputi kota-kota di luar Jazirah
Arab, seperti Damaskus, Bagdad, Kairo, dari Kordova.
Pada masa itu, Bagdad dan Andalusia menjadi pusat peradaban dan ilmu
pengetahuan. Bangsa-bangsa non-Arab yang telah masuk dalam wilayah Islam, memakai
bahasa Arab dan adat istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga bersekolah
di perguruan-perguruan Arab. Contohnya, raja-raja Spanyol nonmuslim, misalnya Peter |
Raja Aragon. la bahkan hanya mengenal huruf Arab. Alfonso IV juga mencetak uang
dengan memakai tulisan Arab. Di Sisilia, hal yang hampir sama juga terjadi. Raja
Normandia, Roger I menjadikan istananya sebagai tempat pertemuan para filsuf, dokter-
dokter, dan ahli Islam Jainnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Ketika Roger Il menjadi raja, ia bahkan lebih terpengaruh budaya Arab. Pakaian
Arab menjadi pakaian kebesarannya. Gerejanya dihiasi dengan ukiran dan tulisan Arab
sedangkan wanita Kristen Sisilia meniru wanita-wanita Islam dalam soal mode pakaian.
Peradaban Islam bahkan juga berpengaruh atas bangsa-bangsa di luar kekuasaan Islam.
Penuntut ilmu dari Prancis, Inggris, Jerman, serta Italia datang dan belajar ke universitas
dan perguruan di Andalusia dan Sisilia. Di antara mereka terdapat pemuda-pemuda
Kristen, seperti Gerbert d'Aurillac yang belajar di Andalusia. Gerbert d'Aurillac kemudian
menjadi Paus di Roma dari tahun 999-1003 M dengan nama Sylvester II.
2. Seni Sastra
Peradaban Islam mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Khalifah
Harun Ar-Rasyid dan Khalifah al-Makmun. Kebudayaan India dan Yunani juga telah
memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan kebudayaan Islam. Kota-kota
Jundisapur, Harran, Antakiyah, dan Iskandariyah merupakan pusat-pusat peradaban
Yunani sebelum Islam menguasai kota-kota itu. Setelah Islam dalang, tradisi itu tetap
terjaga bahkan mengalami perkembangan yang semakin pesat. Beberapa sastrawan dan
budayawan yang muncul pada masa itu adalah Umar Khayam, Az-Zamaksyari, al-
Qusyairi, An-Nafisi, Ibnu Maskawih, dan al-Kindi.
Umar Khayam adalah seorang penyair besar yang lahir di Nisabur, Khurasan. Ia juga
merupakan seorang ilmuwan di bidang matematika, astronomi, dan filsafat. Semasa
hidupnya, ia bekerja pada Sultan Maliksyah, raja dari Daulah Seljuk yang menguasai
Persia. Sebagai seorang sastrawan, Umar Khayam termasyur dengan rubiatnya. Rubiat
adalah sajak yang terdiri atas dua baris, setiap baris terdiri atas dua kalimat setengah syair
sehingga jumlah seluruhnya menjadi empat baris dan biasa dinamakan kuatren.
Sebagai seorang sufi, Umar Khayam banyak memberikan kritik dan koreksi
terhadap para ilmuwan dalam syair-syair rubiatnya. Menurut Umar Khayam para
ilmuwan telah menjadikan kebenaran relatif yang dijadikan sebagai bahan perselisihan
sebagai kebenaran mutlak. Dalam sajaknya, Umar Khayam selalu mencari pembuktian
logis dalam menghadapi problem dalam bidang filsafat pada masanya. Pengetahuan yang
dimilikinya tidak membuatnya sombong, bahkan sajak-sajaknya selalu menampakkan
kerendahan hatinya. Umar Khayam justru sering merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa di
tengah-tengah suasana. Mudahnya orang menyalahkan lawan dan membenarkan diri
sendiri.
Ilmuwan lainnya adalah Az-Zamakhsyari, ia merupakan salah satu pakar ilmu
bahasa dan kesusastraan Arab. Karya-karyanya dalam bahasa dan kesusastraan Arab,
antara lain, tentang nahwu, balagah, dan arud. Beberapa karya tulisnya adalah (Asus
Balagah), al- Mufrad wa al Mu'allaf fi an Nahwi (satu dan kesatuan sifat dalam ilmu tata
bahasa) dan al- Mustaqim fi Amsal al-Arab (peribahasa dalam bahasa Arab).
3. Seni Bangunan dan Tata Kota
Seni tata kota dan arsitektur pada masa Daulah Abbasiyah bernilai sangat tinggi.
banyak bangunan dan kota dibangun dengan teknik tata kota yang berseni tinggi. Istana
emas yang berada di tengah Kota Baghdad, yang melambangkan kemegahan dan
keindahan Kota Baghdad. Seni bangunan menghasilkan Kota Bagdad menjadi kota
metropolitan yang megah dan bagus sehingga menjadi keindahan dunia dan dijuluki Alful
Lailah Wal Lailah (Seribu satu malam). Bahkan dibangun kota satelit sebagai penyangga
Kota Bagdad. Samara termasuk kota yang dibangun dengan nilai seni dan kerapian kota
yang tinggi pada masa khalifah al-Muhtasim Billah.
4. Seni Arsitektur
Khalifah Abbasiyah sangat menyukai seni arsitektur dalam keperluan membentuk
sebuah gedung. Misalnya masjid, istana, madrasah, perkantoran, dan sebagainya. Mereka
mendatangkan arsitek dari luar Abbasiyah. Perkembangan kebudayaan dalam masa
Dinasti Abbasiyah, tercermin pada beberapa peninggalan bangunan-bangunan bersejarah,
seperti masjid.
Beberapa masjid yang dibangun pada masa Daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut.
a. Masjid al-Mansur yang dibangun oleh Khalifah Abu Jafar al-Mansur
b. Masjid Raya Ar-Risyafah, dibangun oleh Khalifah al-Mahdi.
c. Masjid Jami' Qasr al-Khalifah, dibangun oleh Khalifah al-Muktafi.
d. Masjid Qofiah Umm Jafar, dibangun oleh Khalifah al-Muktafi.
e. Masjid Kufah.
f. Masjid Raya Samarra, dibangun oleh Khalifah al-Mutawakkil
g. Masjid Agung Isfahan, dibangun oleh Sultan Maliksyah. h. Masjid Talkhatan Baba di
Merv
h. Masjid Alauddin Kaikobad di Nedge.
G. Perkembangan Kebudayaan/Peradaban Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah
Bidang Sosial Kemasyarakatan
Kemajuan dalam bidang sosial budaya seperti terjadinya proses akulturasi dan asimilasi
masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam
perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Berikut beberapa perubahan
yang sangat mencolok akibat dari perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa
ini.
a. Tampilnya kelompok mawali (kaum muslim non-Arab) dalam pemerintahan serta
mendapat tempat yang sama dalam kedudukan sosial
b. Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri atas beberapa bangsa yang berbeda-beda
(Bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab)
c. Perkawinan campur yang melahirkan darah campuran.
d. Terjadinya pertukaran pendapat sehingga munculnya kebudayaan baru.
Beberapa golongan kaum muslim non-Arab yang memiliki kedudukan dan peranan
penting dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah adalah keluarga Barmak, Daulah Buwaiyah,
dan Daulah Saljuk.
1. Keluarga Barmak
Keluarga Barmak adalah keluarga berbangsa Parsi dari Khurasan. Nama Barmak
sendiri berasal dari nama kakek mereka, Khalid bin Barmak, yang bertugas menjaga
rumah berhala Majusi di Balkh Keluarga Barmak memeluk agama Islam setelah
penaklukan Khurasan oleh Qutaibah pada tahun 85 H. Pada zaman Daulah Abbasiyah,
Khalid bin Barmak diangkat menjadi menteri tertinggi pada zaman itu oleh Assafah dan
al-Manshur. Khalid bin Barmak diangkat sebagai wazir yang pertama kali, kemudian
diganti anaknya Yahya bin Khalid al-Barmaki, kemudian diganti dengan Ja'far bin Yahya
al-Barmaki. Saudaranya, Fadl bin Yahya al-Barmaki menjadi gubemur Persia Barat dan
Khurasan yang hidup masa pemerintahan khalifah al-Mahdi sampai Khalifah Harun al-
Rasyid. Keluarga Barmak hidup dalam masa 5 periode awal pemerintahan Abbasiyah,
yakni mulai masa pemerintahaan Khalifah Abu Abbas as-Saffah (749-754) sampai
pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809).
2. Daulah Buwaihiyah
Dinasti Buwayhiyah dirujuk kepada keturunan Abu Syuja' Buwaih dari daerah Dailam
atau disebut juga dengan Bani Buwaih, di mana keturunannya mampu mengendalikan
kekuasaan dan sangat berpengaruh pada suatu masa dalam rentang kekuasaan Khilafah
Abbasiyah di Bagdad yaitu pada tahun 934-1055 M. Golongan Buwaihiyah yang berkuasa
yaitu sebagai berikut.
a. Ali bin Buwaih yang berkuasa di Isfahan.
b. Hasan bin Buwaih yang berkuasa di Ray dan Jabal.
c. Ahmad bin Buwaih yang berkuasa di al-Ahwaz dan Khuzistan.
Mereka diakui sebagai sultan oleh khalifah Abbasiyah, sebaliknya mereka mengakui
kekhalifahan Daulah Abbasiyah.
3. Daulah Seljuk
Keberadaan Daulah Seljuk dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah hampir sama
dengan Daulah Buwaihiyah. Mereka menjadi penguasa yang sesungguhnya, sementara
khalifah Daulah Abbasiyah hanya menjadi simbol di istana Bagdad. Berbeda dengan Daulah
Buwaihiyah yang beralirah Syiah. Daulah Seljuk adalah golongan Islam suni, sama dengan
Daulah Abbasiyah. Interaksi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa non-Arab itu memberikan
khazanah baru dalam bidang sosial dan budaya. Selama pemerintahan Daulah Abbasiyah
tidak ada perbedaan kelas antara penduduk Arab dan non-Arab. Dengan demikian, mereka
mampu memberikan sumbangan yang penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban. Seiring perkembangan Islam di beberapa wilayah baru, wilayah tersebut tidak
hanya terislamkan tetapi juga terarabkan. Beberapa wilayah yang terarabkan tersebut, antara
lain, Mesir, Suriah, Palestina, Persia, Aljazair, dan Maroko.
H. Perkembangan Kebudayaan/Peradaban Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah
Dalam Bidang Kehidupan Masyarakat
Sistem kesukuan primitif yang menjadi pola organisasi sosial Arab paling mendasar
runtuh pada masa Daulah Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing. Bahkan
dalam persoalan memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para khalifah tidak
menjadikan darah keturunan Arab sebagai patokan.
Pada masa awal Daulah Abbasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat
kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada masa Daulah Umayyah. Pada masa itu,
banyak perempuan yang berhasil mengukir prestasi dan berpengaruh di pemerintahan.
Pada masa ini, busana laki-laki memiliki corak yang beragam dengari model terbatas.
Penutup kepala yang biasa dipakai adalah qalansuwah, celana panjang yang lebar (sarawil)
dari Persia, kemeja, rompi dan jaket (qufthan), dengan jubah luar ('aba atau jubbah),
melengkapi lemari pakaian laki- laki. Perabotan rumah yang paling umum adalah diwan.
Karpet buatan tangan dipakai untuk menutupi lantai. Makanan disajikan pada nampan
lebar dari perunggu. Di rumah-rumah orang berada nampan-nampan itu terbuat dari perak.
Nasi mereka anggap sebagai makanan beracun dan menggantinya dengan menu-menu dari
negeri berperadaban tinggi seperti daging rebus beraroma dan manisan. Mereka
menggunakan roti tipis sebagai alat tulis. Ayam peliharaan mereka diberi makan berupa
kenari, kacang almond dan susu. Pada musim panas rumah-rumah mereka didinginkan
dengan es.
Masyarakat kelas atas yang berada di bawah kelas aristokrat terdiri atas penulis sastra,
orang terpelajar, seniman, pengusaha, pengrajin, dan pekerja profesional. Sementara
masyarakat kelas bawah membentuk mayoritas penduduk negara yang terdiri atas petani,
pengembala, dan penduduk sipil yang berstatus sebagai dzimmi.
Kekuasaan kerajaan yang luas dan tingkat peradaban yang tinggi dicapai dengan
melibatkan jaringan perdagangan internasional yang luas. Para pedagang yang awalnya
orang Kristen, Yahudi dan pengikut Zoroaster kemudian digantikan oleh orang-orang
Arab Islam, sehingga pelabuhan-pelabuhan seperti Baghdad, Bashrah, Siraf, dan
Iskandariyah segera berkembang menjadi pusat perdagangan laut dan darat yang aktif.
Tingkat perdagangan seperti itu dicapai dengan dukungan pengembangan industri rumah
tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok
kerajaan, seperti industri karpet, sutera, kapas, kain wol, satin dan brokat, sofa, serta
perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Industri penting yang perlu dicatat adalah
pembuatan kertas tulis, yang diperkenalkan pada pertengahan abad ke-8 dari Cina ke
Samarkand. Seni mengolah perhiasan juga mengalami kejayaannya; mutiara, safir, rubi,
emerald, permata, zamrud, dan onyx (semacam batu akik). Perhiasan itu banyak
digunakan untuk aksesoris penghias kepala, sepatu dan lain-lain.
I. Perkembangan Kebudayaan/Peradaban Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah
Bidang Pertahanan
Ketika Daulah Abbasiyah berkuasa, tentara-tentara Arab muslim non-Arab ikut
mewarnai sistem kemiliteran Daulah ini. Bahkan mereka lebih dominan daripada tentara-
tentara Arab. Tentara non-Arab yang pertama direkrut dalam dinas .militer Abbasiyah
adalah penduduk Khurasan, karena mereka banyak membantu kelahiran Daulah ini. Abu
Muslim sendiri, pemimpin gerakan militer Abbasiyah dalam melawan Daulah Umayyah,
berasal dari Khurasan.
Kelompok militer pada masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur, khalifah kedua
Daulah Abbasiyah terbagi menjadi tiga, yaitu kelompok Yaman; kelompok Mudariyah;
kelompok Khurasan. Dibentuk pula dinas ketentaraan baru, yaitu tentara pengawal khusus
khalifah yang melindungi khalifah dari teror kaum pemberontak dan demonstran.
Ironinya, para tentara pengawal khusus ini justru pada akhir masa Daulah Abbasiyah
banyak membantu kaum pemberontak. Berikut beberapa unsur yang menyangkut masalah
pertahanan.
1. Kesejahteraan tentara
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Abbas as-Saffah setiap tentara digaji delapan
puluh dirham per bular, gaji pasukan berkuda dua, kali lebih banyak, sebagai tambahan
pemeliharaan kuda. Pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma'mun, setiap pasukan infanteri
digaji sepuluh dirham dan pasukan kavaleri sebanyak empat puluh dirham.
2. Jumlah tentara, mencapai 135.000 orang pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid.
3. Senjata
4. Senjata pengepung
5. Senapan
6. Formasi barisan pasukan
7. Armada laut Islam

J. KEMUNDURAN DAULAH BANI ABBASIYAH


Di antara sebab-sebab kehancuran Daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut.
1. Melebihkan bangsa asing daripada bangsa Arab.
2. Kebijakan ganda Harun Ar-Rasyid yang telah mewasiatkan takhta khalifah kepada
dua anaknya (al-Amin dan al-Makmun) yang ketika itu menjabat gubernur Khurasan.
3. Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para oposan seperti
pemberontakan orang-orang Arab, Syi'ah, Khawarij, intern keluarga Abbasiyah dan
sebagainya.
4. Ketergantungan kepada tentara bayaran.
5. Timbulnya kerajaan-kerajaan kecil yang bebas dari kekuasaan Bani Abbasiyah,
seperti Daulah Idrisiyah di Maroko, Daulah Aghlabiyah, Daulah Thuluniyah, Daulah
Ikhsyidi, Daulah Hamdaniyah, dan Daulah Thahiriyah.
6. Penyerangan bangsa Mongol (Tartar) yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada 1258 M,
khalifah dan keluarganya dibunuh serta la mengumumkan secara sepihak berakhirnya
pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad.

K. IBRAH DARI PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN PADA MASA BANI


ABBASIYAH
Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada masa Daulah Abbasiyah
membawa ibrah bagi perkembangan umat Islam sekarang, yaitu sebagai berikut.
1. Agama Islam semakin populer di mata masyarakat internasional.
2. Negara Islam menjadi pusat peradaban dunia.
3. Ajaran agama Islam dapat tersebar luas di seluruh penjuru dunia.
4. Memberi kemudahan bagi kaum muslim untuk beribadah.
5. Menambah ketakwaan kepada Allah Swt.

L. Meneladani Ketekunan dan Kegigihan Bani Abbasiyah


Kita bisa meneladani dari ketekunan dan kegigihan para khalifah pada masa Daulah
Bani Abbasiyah dalam meraih kejayaan dalam berbagai bidang dengan keteladanan berikut.
1. Tidak Memisahkan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Agama
Para ilmuwan muslim yang menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
tidak pernah membedakan mana ilmu agama (ilmu naqlu) dan ilmu pengetahuan (ilmu
aqli). Ahli kedokteran masa itu seperti Ibnu Sina, sekaligus juga ulama yang banyak
menghafal Al- Qur'an, mengetahui tafsir, hadis dan tasawuf. Jika kita menyebut nama-
nama ilmuwan muslim saat itu, maka mereka juga adalah ulama yang paham Al-Qur'an
dan Alhadis.
2. Perhatian Orang Tua Terhadap Pendidikan Anaknya Sejak Dini
Ilmuwan yang muncul pada masa itu kebanyakan lahir dan tumbuh berkembang dari
keluarga yang memperhatikan kualitas pendidikan anak sejak dini. Di antara mereka
sudah hafal Al-Qur'an sebelum 10 tahun seperti Ibnu Sina.
3. Kesungguhan dan Ketekunan Mereka dalam Menuntut Ilmu
Perjalanan para ilmuwan dalam menuntut dan menyebarkan ilmu, tidak hanya
terbatas pada wilayah kelahiran mereka atau negara terdekat dari tempat tinggal mereka
saja, tapi melewati batas benua..
4. Produktif dalam Berkarya
Banyak karya ilmuwan muslim yang menjadi rujukan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran Qanun fith Thibb menjadi
rujukan dalam pengembangan kedokteran modern. Karya Al Khawarizmi sampai sekarang
kita kenal dengan nama algoritma. Teori optika kita jumpai sampai sekarang berkat karya
Al Haitsam. Abu Wafa' kita kenal dengan Trigonometrinya serta masih banyak lagi karya
ilmuwan muslim yang menjadi rujukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
BAB III
KEJAYAAN INTELEKTUAL ILMUWAN MUSLIM DAN ULAMA ISLAM
MASA DAULAH ABBASIYYAH

A. PEENDAHULUAN
Abad ke-9 hingga 13 dunia Islam ditandai dengan era perkembangan ilmian, religius,
filsafat dan kebudayaan dalam skala serta kedalaman yang tertandingi sejarah Setelah melesat
bangkit dan jazirah Arab, kebudayaan Islam meliputi banyak agama dan budaya ke penjuru
dunia. Dalam buku Sejarah Islam yang Hilang karya Firas al-Khateeb dijelaskan pada
masanya hanya melalui Islam-lah berbagai pemersatuan kebudayaan tradisi, dan suku yang
beragam itu bersatu. Hal ini kemudian menjadi cikal-bakal landasan untuk menciptakan
zaman keemasan baru dalam penemuan ilmiah.
Pada masa Daulah bani Abbasiyah ini sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam
merupakan sejarah kegemilangan semangat islam memojvasi umatnya Kemajuan ilmu
pengetahuan orang-orang Eropa (Barat) pada waktu itu tertinggal jauh dibandingkan dengan
umat Islam sehingga dunia Islam pada waktu itu dikenal sebagai The Golden Age of Islamic
Science atau masa keemasan dari kebudayaan Islam.
Beberapa hal yang menjadi bukti nyata saat itu adalah setelah kedatangan Islam di
tanah Arab, bangsa Arab yang sebelumnya terpinggirkan bahkan tidak dilirik sedikit pun oleh
bangsa Persia maupun Romawi di sekitar mereka, tampil sebagai pemenang peradaban Hal
ini tidak lain karena semangat menghargai ilmu yang sangat ditekankan oleh Allah Swt dan
rasul-Nya Melihat fenomena ini seorang orientalis Barat bahkan menyebut bangsa Arab
setelah munculnya Islam sebagai bangsa yang pergi belajar Di mana pun terdapat ilmu
pengetahuan, pastilah didatangi oleh umat Islam untuk belajar.

B. TOKOH ILMUAN MUSLIM BIDANG ILMU PENGETAHUAN


1. Ilmuan Muslim Ahli Kedokteran
Ilmu kedokteran mulai berkembang pada akhir masa Abbasiyah yaitu masa Khalifah
al Watsug sedangkan puncaknya terjadi pada masa Abbasiyah I, III dan IV Pada buku-
buku karya A-Aran banyak dijumpai di museum-museum Eropa dan banyak digunakan
sebagai buku rujukan untuk dunia kedokteran.
Ilmu kedokteran Islam lahir sebagai pembaharuan ilmu kedokteran Yunani yang
dinn oleh Hopokrates dan tradisi Galen dengan teon serta praktik bangsa Persia dan India
Penghubung yang paling penting antara tradisi kedokteran Islam dan tradisi kedokteran
sebelumnya adalah perguruan di Jundisapur (sekarang walayati Iran) Para dokter aliran
Nestoria mengajarkan dan mempraktikkan kedokteran Yunani, sementara itu pengaruh
kedokteran India mulai ada di Jundisapur.
Pengaruh langsung pertama kedokteran Jundisapur dalam kalangan Islam terjadi
pada tahun 665 M. Waktu itu Khalifah Abu Jafar al-Mansur meminta para dokter
Jundisapur untuk mengobatinya dan penyakit dyspepsia menahun (peradangan selaput
lendir lambung) Dokter Jinis Bukhlishuri berhasil menyembuhkan penyakit Khalifah
Abu Jafar al Mansur tersebut. Keberhasilan itu membuat Khalifah Abu Jafar al-Mansur
memindahkan pusat kedokteran Jundisapur ke Baghdad.
Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, rumah sakit menjadi pusat pengajaran
ilmu kedokteran sementara itu aspek teontisnya dibahas di masjid dan madrasah Selain
terdapat pusat pengajaran ilmu kedokteran banyak pula buku-buku kedokteran yang
diterjemahkan dari bahasa Yunani. Persia, dan India ke dalam bahasa Arab Pada masa
pemenntahan Harun al-Rasyid, terdapat 800 orang dokter di Kota Bagdad.
Hal itu menunjukkan kemajuan ilmu kedokteran pada masa itu Kegiatan
penerjemahan ilmu kedokteran ke dalam bahasa Arab merupakan awal munculnya tokoh
kedokteran Islam Banyak ilmuwan muslim menulis kitab kedokteran Ahli kedokteran
Islam mulanya mendirikan tempat-tempat penelitian dan praktik dengan alat yang
didatangkan dari Yunani Dalam perkembangannya mereka mendapatkan temuan-
temuan asli dalam mu kedokteran Kitab-kitab yang mereka karang jauh lebih maju
daripada kitab-kitab penerjemahan Jika pada abad ke-8 M dan ke-9 M orang Islam masih
menjadi mund, pada abad ke-10 M dan ke-11 M mereka menjadi guru bagi orang-orang
Kristen dan Yahudi.
Pengarang Kedokteran Islam yang pertama adalah Ali bin Rabban Al-Tabari yang
menulis Firdaus al-Hikmah pada tahun 850 MJ Karyanya memuat berbagai hal dalam
bidang patologi fammatologi dan diel Buku ini juga menjadi tanda munculnya aliran
kedokteran yang baru pada waktu itu Setelah Al Tabari lahir ratusan dokter dan ilmuwan
kedokteran Islam seperti Ar-Razi, Ali bin al-Abbas, Ibnu Sina, Jabir bin Hayan, al-Kindi,
dan al-Farabi Sejak saat itu mulai dan Bagdad, Mesir Surah Persia (Iran) Spanyol. Afrika
Utara sampai India banyak sekali tabib (dokter) yang muncul Ali bin Rabban At-Tabari,
Ibnu Sina, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi.
2. Ilmuwan Muslim Ahli Filsafat
Ilmu tasawuf adalah mengajarkan cara-cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak,
mencapai kebahagiaan abadi (al-Gazali, al-Hallaj). Kecenderungan pemikiran yang
bersifat filosofi menimbulkan gejolak pemikiran di antara umat Islam sehingga mereka
mencoba mencari bentuk gerakan lain seperti tasawuf. Bersamaan dengan lahirnya ilmu
tasawuf pada zaman Daulah Abbasiyah, muncul pula ahli-ahli dan ulama-ulama tasawuf,
antara lain, al-Kindi, al-Ghazali, Ibnu maskawaih, al-Qusyairi, Syahabuddin, ZuanNun al-
Misri, Surri as- Saqathi, al-Junaidi, al-Kharraj, dan al-Hallaj.
C. Para Ulama Penyusun Kutubussittah dan Perannya dalam Kemajuan Kebudayaan/
Peradaban pada Masa Daulah Bani Abbasiyah
Ilmu agama telah berkembang sejak masa Daulah Umayyah. Namun, pada masa
Daulah Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang luar biasa. Masa ini
melahirkan ulama-ulama besar dan karya-karya yang agung dalam berbagai bidang ilmu
agama Perhatikan berikut
1. Para Ulama Penyusun Kutubussittah (Ahli Hadis/Muhadditsin)
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Adapun kitabnya terbagi
menjadi tujuh kategori, yaitu berdasarkan gaya bahasa, gramatika bahasa, kisah-kisah,
ilmu hukum, ilmu kalam, tasawuf, dan kata-kata asing dalam Al-Qur'an. Untuk
menentukan keabsahan dan keotentikan suatu hadis, para ulama meneliti dan mengkaji
dengan sungguh-sungguh hadis dari segi sanad, rawi, dan matan (sifat dan bentuk hadis).
Pada masa Daulah Abasisiyah muncul para ahli hadis yang termasyhur, antara lain,
Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Imam Tirmizi, Imam Nasa'I.
M. Hasby Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode, sejak
periode Nabi saw. sampai sekarang. Perodisasi tentang sejarah dan perkembangan hadis
lalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan
perkembangan hadis, sejak Rasulullah masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang
dapat disaksikan dewasa ini. Karena sejarah dan perkembangan hadis telah melalui masa,
yang cukup panjang, maka para ulama mengadakan pembagian periodisasi. Berikut
periodisasi perkembangan hadis
a. Periode Pertama Perkembangan hadis pada Masa Rasulullah saw
b. Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
c. Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
d. Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
e. Periode Kelima Masa Men-tasbih-kan Hadis dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya
f. Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
g.  Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Perkembangan ilmu Hadis pada masa Bani Abbasiyah terjadi pada periode ke-5
merupakan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan yang berlangsung pada
abad 3 H. Periode ke-6 merupakan periode pemeliharaan, penelitian, penambahan, dan
penghimpunan yang berlangsung abad ke-4 H hingga abad ke-7 H saat penghancuran
Kota Baghdad. Berikut perkembangan ilmu hadis pada masa Bani Abbasiyah.
a. Perkembangan Ilmu Hadis Pada Periode Kelima
Pada periode ini, permasalahan-permasalahan hadis yang muncul pada periode
sebelumnya mulai dipecahkan. Beberapa permasalahan itu, antara lain, pemisahan
hadis Nabi saw. dengan fatwa sahabat serta pemalsuan hadis. Para ulama pada masa
ini menghimpun dan membukukan hadis-hadis Nabi Muhammad saw, ke dalam buku
hadis dan memisahkannya dari fatwa-fatwa sahabat. Hal itu dilakukan dengan cara.
antara lain, sebagai berikut.
1) Pergi ke daerah-daerah untuk menghimpun hadis dari para perawi.
2) Mengklasifikasikan hadis dengan klasifikasi berikut.
a) hadis marfu' adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw
b) hadis mauquf adalah hadis yang disandarkan kepada para sahabat, dan
c) hadis maqtu adalah hadis yang disandarkan kepada para tabi'in.
3) Menghimpun kritik hadis yang ditujukan kepada para perawl.
Setelah itu kemudian muncul buku-buku hadis baru, yaitu kitab sahih, kitab sunan,
dan musnad.
b. Perkembangan Ilmu Hadis Pada Periode Keenam
Ulama-ulama hadis telah sepakat menetapkan bahwa ahli hadis yang hidup
sebelum periode ini disebut dengan ulama hadis mutaqadimin. Adapun ulama hadis yang
hidup pada periode keenam dan hidup sesudah periode ini disebut ulama hadis
muta'akhirun.
Para ulama hadis mutaqadimin secara umum mengumpulkan hadis dan
memeriksanya sendiri dengan cara menemui penghafal hadis di berbagai tempat atau di
berbagai negara. Kegiatan para ulama hadis muta'akhirun pada dasarnya bersandarkan
pada hasil karya dari para ulama mutaqadimin sebagai rujukan utama yang berusaha
untuk dipelihara sejak dulu.
Usaha-usaha untuk memelihara hadis pada periode keenam ini, antara lain sebagai
berikut.
1) Menghafalkan hadis-hadis tersebut.
2) Memperbaiki dan menyempurnakan susunan kitab-kitab hadis.
3) Mengumpulkan hadis-hadis yang belum terkumpulkan ke dalam bagian-bagian
yang tersusun secara sistematis.
4) Membuat kitab syarah atau kitab penjelasan dari kitab-kitab yang telah ada
terdahulu untuk mempermudah pemahaman.
Ada beberapa karya dari berbagai jenis kitab hadis yang dihasilkan oleh ulama
hadis pada periode keenam ini, yaitu sebagai berikut.
1) Kitab Mustakhrij, yaitu kitab yang dihasilkan dengan metode istikhraj. Cara kerja
metode ini adalah mengambil hadis dari seorang ulama hadis tertentu, lalu
meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama tersebut.
2) Kitab Atraf, yaitu kitab yang menyebut sebagian dari teks atau matan hadis saja,
kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu.
3) Kitab Mustadrak, yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarah
dari al-Bukhari dan Muslim atau salah satu di antara keduanya.
4) Kitab Jami', yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis yang telah termuat dalam
kitab-kitab yang telah ada.
Pada masa Bani Abbasyiah, hadis-hadis telah dibukukan dan dikumpulkan secara
sempurna, karena pada masa itu muncullah ilmuwan hadis yang populer dan
prestasinya sangat luar biasa, yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, Nasa'i,
Ibnu Majah, Tirmizi yang menghasilkan karya Kutubus Sittah.
2. Tokoh Mazhab Fikih(Empat Ulama Mazhab)
a. Imam Abu Hanafi
b. Imam Malik bin Anas
c. Imam Syafi’i
d. Imam Ahmad bin Hmabal
3. Ilmuwan Muslim Ahli Tafsir
Tafsir adalah penjelasan tentang makna kandungan ayat-ayat Al-Qur'an. Pada masa
Abbasiyah, tokoh-tokoh mufassir terkenal seperti Imam at-Taban (Ibn Jarir at-Tabari), Ibn
Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu'tazilah), Abu Muslim Muhammad Isfahany (Mu'tazilah),
as-Suda Muqatil bin Sulaiman. Namun yang at-Tabari dan Imam Ibnu Katsir. Pada masa
Abbasiyah, berkembang dua mazhab tafsir, yaitu sebagai berikut.
a. Tafsir bil-Ma'sur (Tradisional)
Tafsir bil Ma'sur adalah Al-Qur'an yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi.
Adapun para mufassirinnya adalah sebagai berikut
1) Ibnu Jarir At-Tabari.
2) Ibnu Atiyah al-Andalusy (Abu Muhammad Abdul Haq bi Atiyah).
3) As-Sudi yang berdasarkan tafsirnya pada Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud
4) Muqatil bin Sulaiman, talsimya sangat terpengaruh kitab Taurat.
5) Muhammad bin Ishaq, tafsirnya banyak mengutip cerita israllah.
b. Tafsir Bir-Ra'yi (Rasional)
Tafsir bir-Ra'yi adalah Al-Qur'an yang ditafsirkan berdasarkan pada akal pikiran
(rasional). Adapun para mufassirinnya adalah sebagai berikut.
1) Abu Bakar Asam
2) Abu Muslim Muhammad bin Bihr Isfahani
3) Ibnu Jaru al-Asadi.
4) Abu Yunus Abdussalam (Penafsiran Al-Qur'an yang sangat luas sehingga ia
menafsirkan Surah al-Fatihah saja sampai 7 jilid)
Pada abad ke-3 H, orang Islam mulai memperhatikan untuk memahami Al-Qur'an
dengan cara yang betul apalagi kalangan non-Arab yang tidak paham terhadap isi dan
kandungan Al-Qur'an, maka dan itu dibentuklah ilmu tafsir. Pada masa itu terdapat dua
metode untuk mempelajari tafsir, yaitu pertama metode al-ma'sur sebuah metode yang
dipakai untuk menafsir Al-Qur'an dengan berpedoman terhadap al-hadis dan perkataan
parar sahabat. Kedua metode dirayah metode penafsiran Al-Qur'an yang lebih
menonjolkan akal pemikiran dalam hal ini kalangan mu'tazilah yang cukup andil. Pada
saat itu telah muncul para mufassirin yang sangat tersohor seperti Imam Tabari, as-Suda,
Imam Muqotil Sulaiman, dan Imam Ibnu Katsir serta Imam Taban.
D. Meneladani Ketekunan dan Kegigihan Tokoh Ilmuwan Muslim Pada Masa Daulah
Abbasiyah
Berikut sikap-sikap yang harus kita tumbuhkan dalam meneladani ketekunan dan
kegigihan tokoh ilmuwan muslim pada masa Daulah Bani Abbasiyah.
1. Semangat dan etos kerja para pemimpin dan para tokoh ulama Daulah Abbasiyah yang
sangat tinggi dalam memperjuangkan kemajuan Daulah Abbasiyah.
2. Kecerdasan dan keberanian para pemimpin Abbasiyah dalam membuat kebijakan
pemerintahannya yang memprioritaskan pembangunanya di bidang sosial budaya.
3. Sikap kecintaan terhadap ilmu pengetahuan yang ditunjukkan oleh para khalifah
Abbasiyah telah menjadi motivasi dan semangat rakyat untuk menuntut ilmu dan
mempelajarinya.
4. Ketekunan dan keuletan para ulama dalam menuntut ilmu yang tidak hanya ingin
menguasai ilmu agama saja, seperti filsafat, kedokteran, sejarah, matematika, astronomi,
dan sebagainya.
5. Produktivitas para tokoh ulama dalam berijtihad mengarang, menerjemahkan, dan
menertibkan kitab dan buku-buku sebagai hasil kajian yang sangat bermanfaat bagi
perkembangan umat Islam.
6. Menggali dan mengembangkan ilmu-ilmu baru dan menuangkan dalam karya-karya tulis.
Sehingga menjadi amal Jariyah sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu.

Anda mungkin juga menyukai