Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MUAMALAH

Disusun Oleh :
SUAIBAH (2112000048)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS POTENSI UTAMA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu wadah pembelajaran
dalam menimba ilmu utamanya dalam mata kuliah Bahasa Indonesia terkhusus
pada penggunaan huruf, penulisan huruf, penulisan tanda baca dan cara-cara
mengutip.
Pada kesempatan ini kami membuka diri untuk menerima kritik dan saran
yang berguna untuk perbaikan dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan pengetahuan dalam proses pembelajaran utamanya dalam
penggunaan ejaan Bahasa Indonesia yang benar.

Medan, 22 November 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................1

C. Tujuan Penulisan......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2

A. Pengertian Muamalah...............................................................................2

B. Dasar Jual Beli dalam Islam....................................................................5

C. Barang yang Tidak Boleh Diperjualbelikan..............................................6

D. Bagaimana Jika Rukun Tidak Terpenuhi..................................................7

E. Tujuan Muamalah....................................................................................10

BAB III PENUTUP...............................................................................................12

A. Kesimpulan.............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

iv
BAB I
PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang berkodrat hidup dalam


bermasyarakat.Sebagai makhluk sosial dalam hidupnya manusia
memerlukan manusia-manusia lain yangbersama-sama hidup
bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadariatau
tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidup. Untuk itu perlu
kita ketahui juga bahwasannya dalam islam segala hal yangberkaitan
dengan manusia semuanya sudah diatur secara jelas. Aturan tersebut
salahsatunya yakni terdapat dalam kajian tentang fiqih muamalah yang
mana di dalamnya mencakup seluruh aturan sisi kehidupan individu dan
masyarakat, baik perekonomian,sosial kemasyarakatan, politik bernegara,
serta lainnya.
Para ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang
setelah merekatidak henti-hentinya mempelajari semua fenomena dan
permasalahan manusia atas dasarushul syariat dan kaidah-kaidahnya. Yang
bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum permasalahan
tersebut supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya dan setelahnya.1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya diantaranya sebagai berikut :
1. Apakah pengertian fiqih mu’amalah?
2. Bagaimanakah konsep dasar dan prinsip hukum fiqih mu’amalah?
3. Apa saja pembagian dan ruang lingkup dalam fiqih mu’amalah?

1
http://eprints.uny.ac.id/21866/3/BAB%20I.pdf. Diakses pada 23 November 2021

1
2

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian fiqih mu’amalah.
2. Untuk mengetahui konsep dasar dan prinsip hukum fiqih mu’amalah.
3. Untuk mengetahui pembagian dan ruang lingkup dalam fiqih mu’amalah.
BAB II
PEMBAHASAN
.A. Pengertian Fiqih Mu’amalah
Fiqh mu’amalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqh dan mu’amalah. Agar
definisi fiqh mu’amalah jelas, terlebih dahulu kita uraikan sekilas tentang
pengertian fiqh . Fiqh Menurut etimologi (bahasa), fiqh adalah (‫)مهفال‬
(paham), seperti pernyataan: (ّ‫( )هقف ّردالت س‬saya paham pelajaran itu). Arti
ini,
antara lain, sesuai dengan arti fiqh dalam salahsatu hadits yang
diriwayatkan
oleh Imam Bukhari: ࣰ
‫ ْري خاهبالدر ْينم ْن ّيدالىف ْه‬yang siapa “Barang artinya
‫ّهقفي‬
dikehendaki Allah menjadi orang yang baik disisi-Nya, niscaya diberikan
kepada-Nya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”.
Menurut terminologi, fiqh pada mulanya berarti pengetahuan
keagamaan yangmencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah,
akhlak, maupun amaliah (ibadah),yakni sama dengan arti Syariah
Islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqhdiartikan sebagai
bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syariah
Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa
dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
Muamalah adalah sebuah hubungan manusia dalam interaksi sosial
sesuai syariat, Rukun dan syarat sahnya jual beli menurut mazhab Hanafi
hanya sebatas ijab dan qabul saja. Maka dari itu, yang menjadi rukun
dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk
berjual beli. Namun jika mempertimbangkan penjelasan dari ulama secara
lebih luas, maka rukun dan syarat sahnya jual beli menurut mazhab Hanafi
hanya sebatas ijab dan qabul saja. Maka dari itu, yang menjadi rukun
dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk
berjual beli.
3
4

Namun jika mempertimbangkan penjelasan dari ulama secara lebih


luas, rukun jual beli ada empat, diantaranya:
1. Orang yang Berakad (Penjual dan Pembeli)
Maksud dari sini tentu sudah jelas, bahwa rukun jual beli tidak akan
terjadi tanpa adanya penjual dan pembeli. Penjual adalah pihak yang
menawarkan barang dagangannya, sementara pembeli adalah pihak yang
membutuhkan barang tersebut untuk dimanfaatkan sebagaimana
mestinya.

2. Sighat
Adapun sighat yaitu ijab dan qabul seperti perkataan penjual, “saya
jual kepadamu atau saya serahkan kepadamu.” Dan perkataan pembeli,
“saya terima atau saya beli.” Tidak sah serah terima sebagaimana yang
bisa berlangsung dikalangan masyarakat, karena tidak ada sighat (ijab
kabul). Ibnu Syurairah berkata, “serah terima adalah sah mengenai
barang- barang dagangan yang remeh (tak berharga) dan biasa dilakukan
orang- orang. Ini adalah pendapat Ar-Ruyani dan lainnya. Sighat tentu
juga menjadi syarat sahnya proses pembelian properti dalam hukum KPR
syariah. Dalam dokumen Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah
terbitan Otoritas Jasa Keuangan, disebutkan bahwa proses KPR syariah
melibatkan Sighat al-'Aqad berupa ijab dan kabul. Syarat dalam ijab dan
kabul ini meliputi:

 Jala'ul ma'na yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
 Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul.
 Jazmul iradataini yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak
para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
3. Ada Barang yang Dibeli

Rukun jual beli dalam Islam berikutnya adalah harus ada ma’qud
‘alaih alias barang yang dibeli. Tidak sekedar harus adanya barang,
namun juga dalam Islam diatur kriteria bahwa barang yang
diperjualbelikan harus mempunyai manfaat. Tujuannya agar pihak yang
membelinya tidak merasa dirugikan. Pengertian manfaat ini, tentu saja
bersifat relatif, karena pada dasarnya setiap barang mempunyai manfaat.
Oleh karenanya, untuk mengukur kriteria kemanfaatan ini hendaknya
memakai kriteria agama.

4. Ada Nilai Tukar Pengganti Barang


Merujuk definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, rukun
jual beli adalah saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu.
Atau tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan
melalui cara tertentu yang bermanfaat. Sehingga nilai tukar pengganti
barangnya pun harus sesuai dan bisa diterima kedua pihak yakni penjual
dan pembeli.2

B. Dasar Jual Beli Dalam Islam


Pada hakikatnya, Islam tidak melarang segala bentuk jual beli apapun
selama tidak merugikan salah satu pihak dan selama tidak melanggar
aturan-aturan yang telah ditetapkan dan diserukan agar tetap memelihara
persaudaraan. Karenanya, jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara
sesama umat manusia juga mempunyai landasan yang sangat kuat. Selain
mengatur jual beli, Islam juga mengatur dengan rinci mengenai akad sewa
menyewa atau Ijarah. Dasar hukum jual beli dalam Islam sendiri tentunya
murni merujuk pada firman Allah SWT yang tercantum dalam Alquran.
Adapun dasar hukum memperbolehkan jual beli, di dalam Alquran
dijelaskan dalam tiga ayat, yakni Surat Al-Baqarah Ayat 275, Surat Al-
Baqarah Ayat 198, dan Surat An-Nisa Ayat 29.

2
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/8823/5/BAB%20II.pdf, diakses pada 23 November
2021
Selain berpedoman pada Alquran, dasar hukum jual beli dalam Islam
juga merujuk pada Al-Sunnah. Artinya, Al-Sunnah adalah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ucapan,
perbuatan, dan penetapan yang baik menurut hukum syar’i. Dasar hukum
jual beli sesuai hadits Rasulullah SAW disampaikan Abdullah bin Umar
RA yang berkata, “Seorang laki-laki bercerita kepada Rasulullah SAW
bahwa dia ditipu orang dalam hal jual beli. Maka beliau bersabda,
“Apabila engkau berjual beli, maka katakanlah,‛tidak boleh ada tipuan”.

C. Barang-Barang yang Tidak Boleh Diperjualbelikan

Ini dari pengertian rukun jual beli adalah suatu perjanjian tukar-
menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela antara
kedua belah pihak. Satu pihak menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang
dibenarkan syara’ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum syara’,
maka barang yang diperjualbelikan harus memenuhi persyaratan-
persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang berkaitan dengan jual beli
sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak
sesuai dengan kehendak syara’. Adapun barang-barang yang tidak boleh
diperjualbelikan diantaranya:

 Barang yang mengandung unsur najis ataupun barang-barang yang


nyata-nyata diharamkan oleh ajaran agama. Minuman keras, daging
babi, bangkai dan sebagainya. Di antara bangkai ada pengecualiannya,
yakni ikan dan belalang.
 Barang yang tidak ada di tangan. Sehingga tidak sah menjual burung
yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari
kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek
jual Iqtishodiyah, maka proses jual beli seperti ini diharamkan. Hal
tersebut karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang
yang tidak dapat diserahkan
D. Bagaimana Jika Rukun dan Syarat Jual Beli Tidak Terpenuhi ?
Setelah memahami berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa rukun jual beli dalam Islam begitu kompleks mengatur syarat-
syarat yang harus dipenuhi. Bahkan berkaitan dengan barang yang
diperjualbelikan pun ada aturan dan ketentuannya. Lalu, bagaimana jika
rukun dan syarat jual beli tidak terpenuhi salah satunya?
Maka proses jual beli yang dilakukan tidak sah dan tidak boleh
dilakukan. Dalam hal sudah terjadi jual beli dan baru menyadari bahwa
rukun dan syarat tidak terpenuhi secara utuh, maka jual beli yang sudah
dilakukan hukumnya menjadi batal. Mempertimbangkan hal ini, maka
perlu dicatat bahwa saat melakukan proses jual beli terutama beli rumah
secara tunai, perhatikan rukun jual beli dan syarat jual beli yang sesuai
dengan syariat Islam.
E. Tujuan Muamalah
Tujuan muamalah adalah untuk menciptakan suatu kehidupan
bermasyarakat yang tenteram, damai, makmur, dan sejahtera. Pasalnya,
manusia merupakan makhluk sosial yang perlu berinteraksi dan
membutuhkan bantuan orang lain. Allah SWT secara tegas berfirman
dalam surat Al Ma'idah ayat 2.

F. Hukum Jual Beli Online


Perkembangan teknologi juga membuat transaksi dagang tidak hanya
terjadi di pasar saja. Hukum jual beli online adalah boleh dan sama seperti
hukum jual beli secara offline (langsung). Ketentuan yang berlaku juga
sama, seperti pada ketentuan syarat sahnya.
G. Pembagian Jual Beli
Ternyata tidak hanya satu macam praktik jual beli yang berkembang di
masyarakat. Bahkan kegiatan dagang dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa bagian. Ada tiga pembagian ditinjau dari sisi yang berbeda,
diantaranya yaitu:
1. Dilihat dari Objek Dagangnya.
Dilihat dari sisi dagangnya, perniagaan dibagi menjadi tiga macam.
Pertama, perdagangan antar uang dengan barang, kedua perdagangan
uang dengan uang atau yang biasa disebut dengan money changer dan
yang ketiga perdagangan barang dengan barang yang umum disebut
barter. Jenis jual beli barter lumrah dilaksanakan pada zaman dahulu
saat manusia belum mengenal alat tukar yang sah. Namun tidak
menutup kemungkinan bahwa masih ada yang melaksanakan praktik
barter di masa sekarang ini
2. Dilihat dari Penetapan Harganya
Perniagaan ditinjau dari penetapan harganya dibagi menjadi tiga jenis,
yakni: Jual beli tawar menawar, merupakan aktivitas niaga yang mana
pembeli tidak mengetahui modal atas barang yang sedang dibelinya.
3. Jual Beli Amanah
Merupakan aktivitas niaga yang mana pembeli mengetahui modal atas
barang yang sedang dibelinya. Hal ini disebabkan penjual bersedia
memberitahukan harga modal barang yang dijual. Hukum jual beli ini
melahirkan tiga bentuk dagang yang lain, yaitu:
a. Perdagangan murabahah: perdagangan yang modal dan
keuntungannya saling diketahui oleh penjual dan pembeli.
b. Perdagangan wadiah: perdagangan yang mana penjual dan pembeli
saling mengetahui modal di atas harga penawar serta banyaknya
kerugian yang ditanggung oleh penjual.
c. Perdagangan tauliyah: perdagangan yang modal dan harganya sama
sehingga tidak menghasilkan keuntungan maupun kerugian.

Jual beli lelang, merupakan aktivitas niaga di mana pembeli saling


menawar suatu barang diatas penawaran sebelumnya hingga akhirnya
penjual mendapatkan untung dari harga tertinggi yang berhasil dicapai.
4. Dilihat dari Cara Pembayarannya
Dilihat dari cara pembayarannya perniagaan dibagi menjadi empat
jenis. Pertama, transaksi dagang dengan menyerahkan barang dan
dibayar secara langsung. Kedua, transaksi niaga dengan menunda
pembayaran namun barang diserahkan langsung. Ketiga, transaksi
dagang dengan tertundanya penyerahan barang namun pembayaran
telah diserahkan. Keempat, transaksi niaga dengan tertundanya
penyerahan barang lengkap beserta pembayarannya.

H. Syarat Sah Jual Beli


Jual beli dapat dikatakan sah apabila memenuhi beberapa persyaratan
berikut: Pembeli dan penjual sebagai pelaku utama kegiatan wajib berakal
sehat dan memiliki kemampuan untuk bertransaksi. Sehingga apabila
transaksi dilaksanakan oleh anak kecil serta penderita kesehatan jiwa maka
tentu tidak sah. Barang yang diperjualbelikan selaku objek aktivitas niaga
hendaknya merupakan barang yang bermanfaat, mampu diserahterimakan,
serta milik penuh sang penjual. Atas dasar tersebut dapat dipahami bahwa
transaksi tentu tidak sah apabila dengan barang yang penuh keburukan.
Selain itu tidak sah juga apabila barang lain yang bukan sepenuhnya milik
penjual seperti barang pinjaman, barang milik orang lain, ataupun barang
sewa diperjualbelikan.

I. Mengapa Hukum Jual Beli Bisa menjadi Haram ?


1. Riba
Riba adalah kondisi adanya tambahan atau keterlambatan saat transaksi
jual beli. Hal ini merupakan dosa besar yang hukumnya jelas haram.
Sehingga jika pada sebuah transaksi jual beli terdapat riba, maka hukum
jual beli tersebut menjadi haram.
2. Barang yang dijual Salah satu syarat sah dari jual beli adalah barang yang
ditawarkan. Baik dari asal mula barang itu didapatkan, bahan yang
digunakan hingga tujuan dari barang tersebut. Jika salah satu hal dari
syarat sah itu melanggar ketentuan agama dan mengarah ke dosa, maka
hal tersebut bisa mengubah hukum jual beli.
3. Kezaliman dari salah satu pihak
Transaksi jual beli dilakukan untuk tujuan baik dan saling
menguntungkan. Baik penjual maupun pembeli seharusnya bersikap jujur
dan amanah pada perannya. Kezaliman dari salah satu pihak bisa
membuat hukum jual beli tersebut menjadi haram. Misalkan ketika ada
main curang pada sisi penjual yang mengganti buah menjadi yang telah
busuk ketika akad sudah terjadi. Atau ketika seorang pembeli
menggunakan uang palsu ketika membayar.3

3
http://eprints.radenfatah.ac.id/133/2/BAB%20II.pdf, Diakses Pada 23 November 2021
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Muamalah adalah sebuah hubungan manusia dalam interaksi sosial


sesuai syariat. Rukun jual beli ada empat, diantaranya : 1. Orang yang
Berakad (Penjual dan Pembeli), 2. Sighat, 3. Ada Barang yang Dibeli, 4.
Ada Nilai Tukar Pengganti Barang. Dasar hukum jual beli dalam Islam
sendiri tentunya murni merujuk pada firman Allah SWT yang tercantum
dalam Alquran. Adapun dasar hukum memperbolehkan jual beli, di dalam
Alquran dijelaskan dalam tiga ayat, yakni Surat Al-Baqarah Ayat 275,
Surat Al- Baqarah Ayat 198, dan Surat An-Nisa Ayat 29. Tujuan
muamalah adalah untuk menciptakan suatu kehidupan bermasyarakat yang
tenteram, damai, makmur, dan sejahtera. Pasalnya, manusia merupakan
makhluk sosial yang perlu berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang
lain. Allah SWT secara tegas berfirman dalam surat Al Ma'idah ayat 2.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.uny.ac.id/21866/3/BAB%20I.pdf. Diakses pada 23 November 2021


http://repo.iain-tulungagung.ac.id/8823/5/BAB%20II.pdf, diakses pada 23
November 2021

http://eprints.radenfatah.ac.id/133/2/BAB%20II.pdf, Diakses Pada 23 November


2021

13

Anda mungkin juga menyukai