Anda di halaman 1dari 40

Referat

HIV PADA ANAK


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Chataya Syah Dhafa Siregar, S.Ked


2006112003

Preseptor :
dr. Ade Saifan Surya, M.Ked (Ped), Sp.A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “HIV Pada Anak “. Penyusunan referat ini
sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh
Utara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ade Saifan Surya, M.Ked
(Ped), Sp.A selaku preseptor selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan
untuk memberikan bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi
bagi penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, 2 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Definisi......................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.............................................................................................3
2.3 Etiologi......................................................................................................4
2.4 Faktor Risiko.............................................................................................6
2.5 Transmisi...................................................................................................8
2.6 Patofisiologi...............................................................................................9
2.7 Perjalanan Penyakit.................................................................................11
2.8 Manifestasi Klinis....................................................................................13
2.9 Klasifikasi HIV pada Anak.....................................................................15
2.10 Diagnosis.................................................................................................16
2.11 Pencegahan..............................................................................................21
2.12 Tatalaksana..............................................................................................25
2.13 Prognosis.................................................................................................32

BAB III KESIMPULAN......................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................35

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus etiologi
dari Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yang dapat menyebabkan
terjadinya kegagalan sistem imun progresif. Virus ini ditransmisikan melalui
hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi darah dan transmisi dari ibu
ke bayi baik intrapartum, perinatal, atau melalui ASI.1
Sejauh ini menurut data UNAIDS pada tahun 2020, di seluruh dunia,
sekitar 37,6 juta orang telah terinfeksi HIV, termasuk 1,7 juta diantaranya anak-
anak yang berusia kurang dari 15 tahun. Di Sahara Afrika sekitar 90% bayi
tertular HIV dari ibu mereka. Sepanjang usia reproduksi aktif, perempuan HIV
positif secara potensial memiliki risiko untuk menularkan HIV kepada bayi
berikutnya jika hamil kembali. Infeksi HIV pada anak merupakan masalah
kesehatan yang sangat besar di dunia, dan berkembang dengan kecepatan yang
sangat berbahaya. Sehingga jumlah penderita HIV di dunia diperkirakan akan
meningkat setiap tahunnya.2
Transmisi vertikal HIV dari ibu ke anak merupakan jalur utama yang
menyebabkan infeksi HIV pada anak dapat terjadi. Penularan HIV dari ibu yang
HIV positif ke anaknya selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau menyusui
disebut penularan dari ibu ke anak (mother-to-child transmission/ MTCT). Sekitar
50% dari 180.000 kasus baru infeksi HIV anak pada tahun 2017, mereka
terinfeksi selama menyusui dan diperkirakan bahwa tidak adanya intervensi untuk
mencegah MTCT, risiko penularan berkisar antara 15–45% (5–10% selama
kehamilan, 10- 20% saat persalinan dan melahirkan, serta 10-20% melalui
pemberian ASI). Rute penularan lain, seperti transfusi darah dan komponen
darah, jarang terjadi di Amerika Serikat tetapi masih ada di negara berkembang.
Selain itu, sexual abuse dan kegiatan seksual yang tidak aman terjadi pada anak
juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, hal ini lebih sering
ditemukan pada masa remaja.3 Saat ini terdapat kemajuan yang signifikan dalam
pencegahan penularan
HIV dari ibu-ke-bayi (prevention of mother-to-child transmission/PMTCT). Pada
1
2

tahun 2019, 85% dari semua wanita hamil dan menyusui yang hidup dengan HIV
memiliki akses menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk mencegah
penularan HIV ke bayi mereka. Ini lebih dari dua kali lipat dari tahun 2010 yaitu
hanya sekitar 45% wanita hamil dan menyusui yang menerima ARV.4
Berbagai tanda dan gejala harus diingat tentang kemungkinan infeksi HIV
pada anak. Presentasi termasuk infeksi bakteri, demam, diare, sariawan, gejala ini
terjadi secara berulang-ulang. Selain itu terdapat gejala pneumonia, parotitis
kronis, limfadenopati, keterlambatan perkembangan dengan gagal tumbuh, dan
dermatosis pruritus yang signifikan. Erupsi mukokutan mungkin merupakan tanda
pertama infeksi HIV dan dapat bervariasi tergantung pada status kekebalan tubuh
anak. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini
mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan
pengembangan mental.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah sejenis virus yang
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh
HIV. Penderita HIV memerlukan pengobatan dengan antiretroviral (ARV) untuk
menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium
AIDS, sedangkan penderita AIDS membutuhkan pengobatan ARV untuk
mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya.5

2.2 Epidemiologi
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari
HIV/AIDS sehingga infeksi HIV dianggap termasuk sebuah pandemi. Menurut
data UNAIDS pada tahun 2020 terdapat 38 juta orang di dunia yang mengidap
HIV. Dari angka tersebut, 36,2 juta merupakan orang dewasa dan 1,8 juta (1,3-2,2
juta) masih berada usia anak-anak (kurang dari 15 tahun). Populasi terinfeksi HIV
terbesar di dunia adalah di benua Afrika (25,7 juta orang), kemudian di Asia
Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika (3,5 juta). Sedangkan yang terendah ada di
Pasifik Barat sebanyak 1,9 juta orang. Tingginya populasi orang terinfeksi HIV di
Asia Tenggara mengharuskan Indonesia untuk lebih waspada terhadap
penyebaran dan penularan virus ini.6
Data kasus HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.7 Berdasarkan data
Ditjen P2P yang bersumber dari Sistem Informasi HIV, AIDS, dan IMS (SIHA)
tahun 2020, laporan triwulan II menyebutkan bahwa kasus HIV dan AIDS pada
laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Kasus HIV positif tahun 2020 pada laki-
laki sebesar 67,6% dan

3
4

pada perempuan sebesar 32,4%, sedangkan penderita AIDS pada laki-laki sebesar
59% dan pada perempuan sebesar 33%.8 Namun berbeda dengan yang terjadi di
Amerika dan Afrika Sahara. Wanita usia subur adalah salah satu kelompok yang
paling cepat berkembang dengan AIDS, 20% kasus AIDS pada orang dewasa di
Amerika Serikat terjadi pada kelompok ini. Kaum muda (berusia 15-44 tahun)
merupakan salah satu kelompok terinfeksi yang tumbuh paling cepat dan
merupakan hampir setengah dari semua infeksi. Di antara orang muda, wanita
muda lebih mungkin terinfeksi. Di Afrika sub-Sahara, lebih dari dua pertiga dari
semua remaja yang terinfeksi adalah gadis-gadis muda.9
Profil Kesehatan Aceh Tahun 2020 melaporkan jumlah kasus HIV di
Provinsi Aceh pada tahun 2020 sebanyak 63 kasus, sedangkan penderita AIDS
sebanyak 79 kasus. Persentase kasus HIV positif dan AIDS tahun 2020 di Provinsi
Aceh pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Penderia HIV positif
pada laki-laki sebesar 79% dan pada perempuan sebesar 21%. Penderita AIDS
pada laki-laki sebesar 85% dan perempuan sebesar 15%. Berdasarkan laporan
kasus HIV positif menurut umur, ditemukan sebanyak 2 kasus (< 4 tahun), 1 kasus
(5-14 tahun), dan 2 kasus (15-19 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa
ditemukannya penularan HIV dari ibu ke anak yang ditunjukkan dengan adanya
penemuan kasus HIV positif pada kelompok usia di bawah 4 tahun.10

2.3 Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan
subfamili Lentiviridae. Hingga sekarang dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1
dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2).
HIV tipe 1 (HIV-1), yang teridentifikasi lebih dulu, lebih mematikan dari tipe
kedua dan bertanggung jawab atas sebagian besar kasus AIDS di seluruh dunia.
HIV-2, yang pertama kali diisolasi pada tahun 1986, memiliki sifat biologis dan
morfologi yang mirip dengan HIV-1, tetapi berbeda dalam beberapa komponen
antigeniknya.11
HIV-1 merupakan virus klasik pemicu AIDS, dapat ditemukan pada
sebagian besar populasi di dunia. HIV-2 merupakan virus yang diisolasi pada
binatang dan beberapa pasien di Afrika Barat. Perbedaan keduanya terutama pada
glikoprotein kapsul, dan virus HIV-2 umumnya kurang patogenik serta
memerlukan waktu lebih lama untuk memunculkan gejala dan tanda penyakit.11

Gambar 2.1 Struktur HIV11


Virion HIV berdiameter ~100 nm, dengan berat molekul 9.7 kb (kilobase).
Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi oleh
selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung
protein kapsid terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA
genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse transcriptase, dan integrase.11
Protein p24 merupakan antigen virus cepat terdeteksi dan sebagai sasaran
antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dilingkupi oleh matriks protein yang
disebut p17, yang merupakan lapisan pada bawah selubung lipid. Sedangkan
selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang berperan penting dalam
proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen
gag, pol, dan env yang menentukan spesies. Gen gag mengkode antigen spesifik
kelompok; protein struktural bagian dalam. Gen pol mengkode polimerase;
mengandung integrase dan protease (enzim virus) dan diproduksi sebagai
perpanjangan C-terminal dari protein Gag). Gen env mengkodekan struktural luar
dari virus yang bertanggung jawab atas spesifisitas tipe sel. Hasil translasi berupa
protein prekursor yang besar dan biasanya dipotong oleh protease menjadi protein
mature.11

2.4 Faktor Risiko


1. Faktor Ibu
- Kadar HIV dalam darah ibu (viral load) merupakan faktor paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak. Semakin tinggi
kadarnya, semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya
pada saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi.
- Kadar CD4+. Ibu dengan kadar CD4+ yang rendah, khususnya bila
jumlah sel CD4+ di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan
tubuh yang rendah karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak.
Kadar CD4+ tidak selalu berbanding terbalik dengan viral load.
Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut
keduanya bisa rendah kalau penderitanya mendapat terapi
antiretrovirus (ARV).
- Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta
kekurangan zat gizi terutama protein, vitamin, dan mineral selama
kehamilan meningkatkan risiko ibu untuk mengalami penyakit
infeksi yang dapat meningkatkan kadar HIV dalam darah ibu,
sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
- Penyakit infeksi selama kehamilan, IMS, misalnya sifilis, infeksi
organ reproduksi, malaria, dan tuberkulosis berisiko meningkatkan
kadar HIV pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada
bayi semakin besar.
- Masalah pada payudara misalnya puting lecet, mastitis dan abses
pada payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui
pemberian ASI.12
2. Faktor Bayi
- Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir. Bayi premature
atau bayi dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV
karena sistem organ dan kekebalan tubuh belum berkembang baik.
- Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI
bila tanpa pengobatan berkisar antara 5–20%.
- Adanya luka di mulut bayi, risiko penularan lebih besar ketika bayi
diberi ASI.12
3. Faktor Obstetrik
Ibu dengan persalinan pervaginam lebih mungkin memiliki bayi HIV yang
lebih besar dibandingkan untuk ibu yang melahirkan dengan operasi caesar. Pada
saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir
melalui sekresi cairan serviko-vaginal. Bayi mungkin juga terinfeksi dengan
menelan darah atau lendir dari jalan lahir (secara tidak sengaja selama resusitasi).
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak
selama persalinan adalah sebagai berikut:
- Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam
lebih besar daripada persalinan operasi caesar; namun operasi
caesar memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu. Beberapa
penelitian telah menyimpulkan operasi caesar akan mengurangi
risiko penularan HIV dari ibu ke anak sebesar 50-66%.
- Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan
HIV dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara
bayi dengan darah/lendir ibu semakin lama.
- Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan
meningkatkan risiko penularan hingga dua kali dibandingkan jika
ketuban pecah kurang dari empat jam.
- Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum, dan forsep meningkatkan
risiko penularan HIV.12
2.5 Transmisi
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui 3 jalur, yaitu :
1. Transmisi seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun
heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Risiko
penularan tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan
seks, hubungan seksual tanpa pengaman, dan jenis hubungan seks. Remaja
(usia 13-24 tahun) merupakan populasi penting dari individu yang baru
terinfeksi HIV; pada tahun 2015, 22% dari semua infeksi HIV baru terjadi
pada kelompok usia ini, dengan 81% kasus remaja terjadi pada laki-laki
muda yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL); 8% kasus AIDS
juga terjadi pada kelompok usia ini. Sebaliknya, 91-93% remaja
perempuan dengan HIV terinfeksi melalui kontak heteroseksual.1
2. Transmisi parenteral
Akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang
telah terkontaminasi, seperti pengguna narkoba suntik yang menggunakan
jarum suntik tercemar secara bersama-sama. Luka tusukan jarum suntik
yang tidak disengaja, termasuk di antara petugas kesehatan termasuk juga
dalam transmisi parenteral. Transmisi melalui transfusi atau produk darah
telah menyumbang 3-6% dari semua kasus AIDS pediatrik. Periode risiko
tertinggi adalah antara tahun 1978 dan 1985. Prevalensi infeksi HIV pada
individu dengan hemofilia yang diobati sebelum tahun 1985 mencapai
70% karena sebelum tidak tersedianya produk darah yang telah disaring
dengan antibodi HIV (skrining donor).1
3. Transmisi vertikal dari ibu-anak
Rute utama infeksi HIV pada populasi anak (<15 tahun) adalah transmisi
vertikal. Transmisi vertikal HIV dapat terjadi sebelum melahirkan
(intrauterin), selama pengiriman (intrapartum), atau setelah melahirkan
(pasca persalinan melalui menyusui). Tingkat viral load HIV-1 atau DNA
dalam darah dan cairan genital ibu telah didokumentasikan berkorelasi
kuat
dengan penularan dari ibu ke anak. Sekitar 20-30% bayi baru lahir yang
terinfeksi HIV di dalam rahim (intrauterine), hal ini dibuktikan dengan
hasil pemeriksaan laboratorium yaitu kultur virus positif HIV dalam
minggu pertama kehidupan.1 Terdapat langkah-langkah yang diambil
untuk mengurangi risiko penularan saat lahir termasuk persalinan sesar
dan terapi antiretroviral prenatal pada ibu dan terapi antiretroviral pada
bayi baru lahir segera setelah lahir.13

2.6 Patofisiologi
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya
terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar
melalui sejumlah cara. Ketika mukosa berfungsi sebagai pintu masuk HIV, sel
pertama yang terpengaruh adalah sel dendritik. Sel-sel ini mengumpulkan dan
memproses antigen yang masuk dari perifer dan mengangkutnya ke jaringan
limfoid. HIV tidak menginfeksi sel dendritik tetapi ia akan mengikat molekul
permukaan dan memungkinkan virus untuk bertahan hidup sampai mencapai
jaringan limfatik. Dalam jaringan limfatik (misalnya lamina propria, kelenjar
getah bening), virus secara selektif mengikat sel yang mengekspresikan molekul
CD4+ pada permukaannya, terutama sel T helper.1
Limfosit (sel T CD4+) dan sel dari garis keturunan monosit-makrofag. Sel
lain yang mengandung CD4+, seperti mikroglia, astrosit, oligodendroglia, dan
jaringan plasenta yang mengandung sel-sel Hofbauer vili, juga dapat terinfeksi
olehHIV. Faktor tambahan (koreseptor) yang diperlukan untuk fusi HIV dan
masuk ke dalam sel, termasuk kemokin CXCR4 dan CCR5. Koresptor
menjalankan fungsinya untuk memperantai masuknya virus ke dalam sel target.
Sehingga terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target. Fusi antar kedua
membrane memungkinkan seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse
trancriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target.1
Setelah masuk ke dalam sel target, HIV melepaskan single stranded RNA
(ssRNA). Enzim reverse trancriptase akan menggunakan RNA sebagai template
untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribononuklease dan
enzim reverse trancriptase untuk mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double
strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus,
menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase.1

Gambar 2.2 Patofisiolog infeksi HIV1

Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk


melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut
sebagai keadaan laten. Agar dapat mengaktifkan provirus dari keadaan laten
tersebut memerlukan proses aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh
induktor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuklear
faktor sehingga menjadi aktif dan menginduksi terjadinya replikasi DNA. Enzim
polimerase mentranskip DNA menjadi RNA yang secara struktur berfungsi
sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus kemudian mRNA
mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida yang terbentuk
bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru.1
Inti ini membentuk tonjolan pada permukaan sel dan kemudian
polipeptida mengalami deferensiasi fungsi yang dikatalisasi oleh enzim protese
menjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi dengan
bahan selubung yaitu kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host guna
membentuk envelope. Dengan demikian akhirnya terbentuk virus baru yang
lengkap dan matur. Virus
yang matur ini keluar dari sel target untuk menyerang sel target berikutnya. Dalam
satu hari replikasi HIV dapat menghasilkan virus baru dengan jumlah yang bisa
mencapai 10 miliar.1
Ketika replikasi HIV mencapai ambang batas (biasanya dalam 3-6 minggu
sejak infeksi), terjadi ledakan viremia plasma (brust virus). Viremia intens ini
menyebabkan infeksi HIV akut, sebelumnya dikenal sebagai sindrom retroviral
akut. Gejala yang dapat muncul mirip dengan flu, demam, ruam, faringitis,
limfadenopati, malaise, artralgia, mudah lelah. Saat fase sindrom retroviral akut,
masih ada sistem imun yang melawan virus dengan cara sistem imun akan
mengikat CD4+ sehingga virus tidak dapat bergabung dengan CD4+. Namun.
lama-kelamaan virus bermutasi, viral load akan meningkat kembali.1
Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin
menurun dari waktu ke waktu akibat proses kematian sel limfosit yang terinfeksi
tersebut. Penurunan jumlah limfosit T CD4+ secara dramatis dari normal berkisar
600-1200 sel/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme
tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu
terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko
terjadinya infeksi sekuder sehingga masuk ke dalam stadium AIDS.1
2.7 Perjalanan Penyakit

Gambar 2.3 Perubahan kadar CD4+ dan viral load dari waktu ke
waktu pada infeksi HIV yang tidak diobati14
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Dalam perjalanannya, infeksi HIV dapat melalui 3 fase klinis, yaitu:
1. Serokonversi Akut
Serokonversi adalah masa selama virus beredar menuju target sel (viremia)
dan antibodi serum terhadap HIV mulai terbentuk. Sekitar 70% pasien infeksi
HIV primer menderita sindrom mononucleosis-like akut yang terjadi dalam 2
hingga 6 minggu setelah infeksi awal, yang dikenal juga sebagai sindrom
retroviral akut acute retroviral syndrome; ARS). Sindrom ini terjadi akibat infeksi
awal serta penyebaran HIV dan terdiri dari gejala-gejala yang tipikal, namun tidak
khas. Sindrom ini memiliki bermacam-macam manifestasi, gejala yang paling
umum mencakup demam, lemah badan, mialgia, ruam, limfadenopati, dan nyeri
tenggorokan (sore throat). Selama masa ini terjadi viremia yang sangat hebat
dengan penurunan jumlah limfosit CD4+.14
2. Infeksi HIV Asimtomatik
Setelah infeksi HIV akut dengan penyebaran virus dan munculnya respons
imun spesifik HIV, maka individu yang terinfeksi memasuki tahap kedua infeksi.
Tahap ini dapat saja asimtomatis sepenuhnya. Istilah klinis 'laten' dulu digunakan
untuk menandai tahap ini, namun istilah tersebut tidak sepenuhnya akurat karena
pada tahap laten sejati (true latency), replikasi virus terhenti sementara. Jika tidak
diobati masa laten infeksi HIV dapat berlangsung 18 bulan hingga 15 tahun
bahkan Iebih, rata-ratanya 8 tahun. Pada tahap ini penderita tidak rentan terhadap
infeksi dan dapat sembuh bila terkena infeksi yang umum. Jumlah CD4+ sel T
secara perlahan mulai turun dan fungsinya semakin terganggu. Penderita dengan
masa laten yang lama, biasanya menunjukkan prognosis yang lebih baik.14
3. AIDS
Banyak infeksi dan kondisi oportunistik digunakan untuk menandai kapan
infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS. Frekuensi umum infeksi dan
kondisi ini bervariasi dari jarang hingga umum, tetapi semuanya jarang atau
ringan pada orang yang imunokompeten. Ketika salah satu dari kondisi ini sangat
berat atau sering terjadi pada orang yang terinfeksi HIV dan tidak ada penyebab
lain untuk supresi imun yang dapat ditemukan, AIDS dapat didiagnosis.14
Ketika sistem kekebalan cukup rusak sehingga infeksi oportunistik yang
signifikan mulai berkembang, orang tersebut dianggap mengidap AIDS. Sebagian
besar permasalahan yang berkaitan dengan infeksi HIV terjadi sebagai akibat
langsung hilangnya imunitas selular (cellmediated immunity) yang disebabkan
oleh hancurnya limfost T helper CD4+. Orang dengan penurunan jumlah sel
CD4+ hingga kurang dari 200 sel/mm3 dikatakan menderita AIDS, meskipun
kondisi ini tidak disertai dengan adanya penyakit yang menandai AIDS. Definisi
ini mencerminkan peningkatan kecenderungan timbulnya masalah yang berkaitan
dengan HIV yang menyertai rendahnya jumlah sel CD4+ secara progresif.14

2.8 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak
dengan HIV-positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada
tahun pertama kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap
tanpa gejala atau dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan
hidup sampai beberapa tahun.15
1. Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV
- Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih
berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan
terakhir.
- Thrush: Eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan
mukosa pipi. Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush. Berlangsung
lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas
melebihi bagian lidah, kemungkinan besar merupakan infeksi HIV
Termasuk gejala khas apabila meluas sampai di bagian belakang
kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis esophagus.
- Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni atau bilateral selama
≥ 14 hari, dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam.
- Limfadenopati generalisata: pembesaran kelenjar getah bening pada
dua atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang
mendasarinya.
- Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus
yang bersamaan seperti sitomegalovirus.
- Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (> 38° C) berlangsung
≥ 7 hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.
- Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal,
perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion).
- Herpes zoster.
- Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit khas
meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala,
dan molluscum contagiosum yang ekstensif.
- Penyakit paru supuratif yang kronik.15
2. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga
lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV
- Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung
≥ 14 hari.
- Diare Persisten: berlangsung ≥ 14 hari
- Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau
menurunnya pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti
dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana
tercantum dalam KMS/ Buku KIA. Tersangka HIV terutama pada
bayi berumur <6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh.15
3. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV
positif
Diduga kuat infeksi HIV jika ditemukan hal berikut ini: pneumocystis
pneumonia (PCP), kandidiasis esofagus, lymphoid interstitial pneumonia
(LIP) atau sarkoma kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengan
infeksi HIV. Fistula rectovaginal yang didapat pada anak perempuan juga
sangat spesifik tetapi jarang.15
2.9 Klasifikasi HIV pada Anak
Bagi anak dengan diagnosis HIV atau tersangka HIV, sistem tahapan klinis
membantu mengetahui kemungkinan prognosis HIV. Pada situasi dimana
dukungan pemeriksaan laboratorium terbatas, tahapan klinis dapat digunakan
sebagai panduan tentang kapan mulai, menghentikan, dan mengganti terapi
antiretroviral. Tahapan klinis dapat mengenali tahapan yang progresif dari yang
ringan sampai yang paling berat, makin tinggi tahapan klinisnya makin buruk
prognosisnya.15

Gambar 2.4 Stadium klinis HIV pada anak16


Tabel 2.1 Klasifikasi Imunodefisiensi HIV Menggunakan Kadar CD4+17
Nilai CD4+ Menurut Umur
Imunodefisiensi < 11 bulan 12-35 bulan 36-59 bul an
> 5 tahun
(%) (%) (sel/mm3)
(%)
Tidak ada > 35 > 30 > 25> 500
Ringan 30-35 25-30 20-25
350-499
Sedang 25-30 20-25 15-20
200-349
Berat < 25 < 20 < 15< 200 atau
< 15%
CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi.
Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini
progresivitas penyakit karena nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan
kondisi klinis. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian
ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk
anak < 5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila ≥ 5 tahun, persentase CD4+ dan
nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+ untuk
imunodefisiensi berat pada anak ≥ 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam
12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+ tidak dapat
memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai
CD4+ yang tinggi.17

2.10 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis ditujukan kepada gejala yang dialami oleh anak, faktor risiko pada
orang tua, dan riwayat kehamilan serta kelahiran. Anak dengan defisiensi imun
harus dicurigai apabila terdapat infeksi bakteri berulang (terutama infeksi invasif,
misalnya bakteremia, meningitis, dan pneumonia) dan terdapatnya infeksi yang
tidak biasa, seperti yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium avium-
intracellulare (MAC). Anak-anak dengan infeksi HIV sering datang dengan
infeksi bakteri umum pada masa kanak-kanak (misalnya, otitis media, sinusitis,
pneumonia). Ini bisa lebih sering dan lebih parah daripada infeksi serupa pada
anak- anak yang sehat secara imunologis. Infeksi jamur berulang, seperti
kandidiasis (sariawan), yang tidak berespons terhadap agen antijamur, hal ini
menunjukkan
adanya disfungsi limfositik. Infeksi virus berulang atau luar biasa parah, seperti
herpes simpleks/infeksi zoster/retinitis sitomegalovirus (CMV), terlihat dengan
defisiensi imun seluler sedang hingga berat. Infeksi HIV pada anak juga dapat
dicurigai dengan adanya kegagalan pertumbuhan dan perkembangan. Kurus pada
anak dapat mengindikasikan infeksi HIV jika tidak terdapatnya gangguan pada
metabolisme dan endokrin. Keterlambatan perkembangan, terutama gangguan
dalam perkembangan bahasa ekspresif, dapat mengindikasikan ensefalopati HIV
atau akibat infeksi oportunistik. Pada anak yang lebih besar, kelainan perilaku
(misalnya, kehilangan konsentrasi dan memori) dapat mengindikasikan
ensefalopati HIV.9

2. Pemeriksaan Fisik
Pemantauan pertumbuhan pasien adalah salah satu bagian terpenting dari
pemeriksaan fisik HIV pada anak. Pengukuran antropometri harus diperoleh pada
setiap kunjungan. Selain itu, tanda dan gejala infeksi HIV pada anak yang
ditemukan selama pemeriksaan fisik meliputi:9
- Kandidiasis: Presentasi oral dan mukokutan yang paling umum dari
infeksi HIV
- Sariawan di rongga mulut dan faring posterior: Diamati pada sekitar 30%
anak yang terinfeksi HIV
- Eritema gingiva linier
- Oral leukoplakia
- Pembesaran parotis dan ulkus aphthous berulang
- Infeksi herpes dengan virus herpes simpleks (HSV): Dapat
bermanifestasi sebagai herpes labialis, gingivostomatitis, esofagitis, atau
lesi kulit erosif, vesikular. Daerah yang terlibat dari bibir, mulut, lidah,
dan kerongkongan mengalami ulserasi
- Dermatitis HIV: Ruam papula eritematosa; diamati pada sekitar 25%
anak dengan infeksi HIV
- Dermatofitosis: Bermanifestasi sebagai tinea kapitis agresif, corporis,
versikolor, atau onikomikosis
- Pneumocystis jiroveci (sebelumnya P carinii) pneumonia (PCP): Paling
sering bermanifestasi sebagai batuk, dispnea, takipnea, dan demam
- Limfadenopati servikal, aksila, atau inguinal generalisata.

3. Pemeriksaan Penunjang
Dalam melakukan tes HIV pada anak diperlukan ijin dari orangtua/wali yang
memilikisqsaa hak hukum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orangtua asuh,
bila orangtua kandung meninggal atau tidak ada).18

a. Uji Virologis18
- Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya
setelah umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98%
dan spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
- Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18
bulan.
- Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah
plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV
DNA dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL)
mengunakan plasma EDTA.
- Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang
mampu laksana sesudahnya.
- Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif
maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
- Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat
pelayanan, maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif
harus segera diikuti dengan inisiasi ARV.
- Cara diagnosis definitif dini pada bayi atau disebut dengan early infant
HIV diagnosis (EID), dilakukan deteksi virologis HIV langsung
menggunakan NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) atau NAT
(Nucleic Acid Test).19

b. Uji Serologis18
- Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99%
dan spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada
pemeriksaan serologis dewasa.
Umur < 18 bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan ada tidaknya
pajanan HIV.
Umur > 18 bulan – digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi.
- Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
dilakukan uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada
umur 9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan
pemeriksaan uji virologis untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan
terapi ARV.
Jika uji serologis positif dan uji virologis belum tersedia, perlu dilakukan
pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang pada usia 18 bulan.
- Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh
infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji
virologis.
- Pada anak umur < 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi
HIV tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif.
- Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur
diagnostic dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
- Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa.
Gambar 2.5 Skenario pemeriksaan HIV pada anak18

Gambar 2.6 Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan18
Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi
perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan
diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara DIAGNOSIS
PRESUMTIF.

Gambar 2.7 Gejala yang diperhatikan pada diagnosis presumtif18


Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV
pada orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada
saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah
dihentikan selama > 6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi sumber
nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan
ASI sebelum dilakukan diagnosis HIV.18

2.11 Pencegahan
1. Profilaksis Kotrimoksazol
Profilaksis kotrimoksazol mencegah pneumonia pneumocystis jiroveci pada
bayi dan mengurangi morbiditas dan mortalitas di antara bayi dan anak yang
hidup dengan, atau terpajan, HIV. Pada saat pemberian profilaksis kotrimoksazol,
pasien dan keluarga harus diedukasi bahwa kotrimoksazol tidak mengobati atau
menyembuhkan infeksi HIV. Kotrimoksazol tidak menggantikan kebutuhan terapi
antiretroviral. Kotrimoksazol dapat melindungi dan mencegah infeksi yang umum
terjadi pada bayi (bakteri, toksoplasmosis, malaria) yang terpajan HIV dan anak
imunokompromais, dengan tingkat mortalitas tinggi. Meminum kotrimoksazol
harus teratur.18
Semua anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV harus menerima
profilaksis kotrimoksazol mulai dari 4-6 minggu setelah lahir, atau saat pertama
kali bertemu dengan sistem pelayanan kesehatan. Terapi harus dilanjutkan sampai
infeksi HIV telah disingkirkan dan bayi tidak lagi berisiko tertular HIV melalui
ASI. Pada anak yang terinfeksi, kotrimoksazol harus dilanjutkan sampai anak
berusia 5 tahun dan art dengan CD4+ bertahan di atas 25%.18
Profilaksis kotrimoksasol dapat dihentikan bila:
a. Untuk bayi dan anak yang terpajan HIV saja dan tidak terinfeksi
(dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, baik PCR 2 kali atau
antibodi pada usia sesuai), profilaksis dapat dihentikan sesudah status
ditetapkan (sesingkatnya umur 6 bulan atau sampai umur 1 tahun)
b. Untuk anak yang terinfeksi HIV:
- Umur < 1 tahun profilaksis diberikan hingga umur 5 tahun atau diteruskan
seumur hidup tanpa penghentian
- Umur 1 sampai 5 tahun profilaksis diberikan seumur hidup.
- Umur > 5 tahun bila dimulai pada stadium berapa saja dan CD4+< 350 sel,
maka dapat diteruskan seumur hidup atau dihentikan bila CD4+>350
sel/ml setelah minurm ARV 6 bulan. Bila dimulai pada stadium 3 dan 4
maka profilaksis dihentikan jika CD4+ > 200 sel/ml.18

Gambar 2.8 Bagan pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir


dari ibu positif18
Gambar 2.9 Dosis profilaksis kotrimoksazol pada anak-anak20

2. Profilaksis Isoniazid
Pemberian INH sebagai pencegahan TB pada anak direkomendasikan oleh
WHO untuk anak terinfeksi HIV dengan gejala sugestif TB (gagal tumbuh,
demam batuk lama, riwayat kontak TB) yang setelah dilakukan evaluasi tidak
didapatkan TB aktif. Pemberian tersebut diharapkan dapat mencegah progresivitas
TB laten dan pada akhirnya menurunkan mortalitas dan morbiditas. Selain itu,
anak terinfeksi HIV yang memiliki riwayat kontak TB namun tidak sesuai dengan
TB aktif setelah evaluasi, harus mendapatkan profilaksis INH selama 6 bulan.
Pemberian profilaksis INH disebut dengan isoniazid prevention therapy (IPT).21

3. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak


a. Pemberian terapi ARV bagi ODHA hamil
Metode paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal HIV adalah
dengan menurunkan jumlah virus HIV dalam darah ibu. Semua ibu hamil dengan
HIV harus diberi terapi ARV, tanpa harus menunggu pemeriksaan jumlah CD4+,
karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian terapi ARV yang
dilanjutkan seumur hidup Regimen yang direkomendasikan untuk wanita hamil
adalah:22
• AZT + 3TC + NVP atau
• AZT + 3TC + EFV atau
• TDF + 3TC (atau FTC) + NVP atau
• TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
b. Prosedur persalinan yang aman
Bedah sesar elektif pada usia gestasi 38 minggu untuk mengurangi risiko
transmisi vertikal infeksi HIV dilakukan pada ODHA hamil dengan viral load
≥1000 kopi/mL atau yang viral load tidak diketahui pada trimester ketiga
kehamilan. Namun, bedah sesar elektif untuk mengurangi risiko transmisi vertikal
tidak dilakukan secara rutin pada ODHA hamil dengan viral load <1000 kopi/mL
dan pasien yang sedang dalam pengobatana ARV, kecuali atas indikasi obstetri.22
Perempuan HIV-positif ditemukan memiliki tingkat komplikasi yang lebih tinggi
dari operasi caesar dibandingkan perempuan HIV-negatif. Untuk wanita dengan
RNA HIV <1000 kopi/mL, waktu persalinan pervaginam harus mengikuti indikasi
standar obgyn.23

c. Pemberian profilaksis ARV untuk bayi lahir dari ibu HIV


Seluruh bayi lahir dari ibu HIV wajib mendapatkan ARV profilaksis.
Pemberian ARV profilaksis sebaiknya mulai diberikan pada usia 6-12 jam setelah
lahir, atau setidak-tidaknya kurang dari usia 72 jam. Pemberian ARV pada bayi
yang lahir dari ibu HIV bertujuan untuk mencegah transmisi HIV yang terjadi
terutama pada saat persalinan dan menyusui. Prinsip pemberian ARV profilaksis
pada bayi lahir dari ibu HIV adalah sebagai pencegahan pasca-pajanan (PPP) yang
bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi HIV setelah mendapat pajanan
potensial. Profilaksis dengan menggunakan zidovudine (AZT) monoterapi selama
6 minggu terbukti efektif untuk mencegah transmisi vertikal HIV pada bayi yang
lahir dari ibu yang mendapat ARV dan jumlah virus HIV di darahnya tidak
terdeteksi. Apabila bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV mendapatkan ASI, maka
profilaksis yang diberikan adalah zidovudin dan nevirapin dengan dosis sesuai
usia gestasi selama 6 minggu dengan syarat ibu harus dalam terapi ARV
kombinasi.22

d. Nutrisi untuk bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV


Nutrisi merupakan salah satu hal terpenting untuk mewujudkan
pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal. Tidak dapat dipungkiri ASI
adalah nutrisi terbaik untuk bayi pada masa enam bulan pertama kehidupan.
Risiko
tertinggi transmisi virus HIV pada periode pasca-natal terjadi pada hari–hari
pertama laktasi saat kolostrum diproduksi. Kolostrum dilaporkan memiliki jumlah
virus tertinggi dibandingkan produksi ASI selanjutnya.22
Panduan WHO tentang pemberian nutrisi untuk bayi dari ibu terinfeksi
HIV pada tahun 2016 merekomendasikan untuk pemberian ASI selama 6 bulan
untuk bayi dari ibu terinfeksi HIV dengan syarat ibu harus mendapatkan ARV
maternal seumur hidup dan anak mendapatkan ARV profilaksis. Bila ibu tidak
dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan digantikan
dengan PASI untuk menghindari nutrisi campur (mixed feeding). Pemberian
nutrisi campur ASI dan PASI (mixed feeding) harus dihindari karena
menempatkan bayi pada risiko terinfeksi HIV yang lebih tinggi. Oleh karena itu,
edukasi, diskusi, dan konseling mengenai kelebihan dan kekurangan masing-
masing pilihan nutrisi harus dilakukan kepada ibu hamil yang terinfeksi HIV
sebelum bayinya dilahirkan.22

2.12 Tatalaksana
1. Indikasi
Tabel 2.2 Indikasi terapi ARV pada anak18
Umur Kriteria Klinis Kriteria Imunologis Terapi
< 5 tahun Terapi ARV tanpa kecuali
a
> 5 tahun Stadium 3 dan 4 Terapi ARVb
Stadium 2 < 25% pada anak 24-59 Jangan obati
Stadium 1 bulan bila tidak ada
< 350 pada anak < 5 pemeriksaan CD4+
tahun Obati bila CD4+ <
nilai menurut umur
a. Tatalaksana terhadap Infeksi Oportunistik yang terdeteksi harus didahulukan
b. Meskipun tidak menjadi dasar untuk pemberian ARV, bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan CD4+ untuk memantau hasil pengobatan.

Catatan:
- Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4,
sehingga harus segera dimulai terapi ARV.
- Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling tinggi
untuk menjadi progresif atau mati pada nilai CD4+ normal.
- Nilai CD4+ dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang
dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 nilai CD4+ di bawah ambang batas
sebelum ARV dimulai.
- Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4+
setiap 3-6 bulan sekali/lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda. 18

2. Pemberian ARV pada bayi dan anak < 18 bulan dengan diagnosis presumtif
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif
harus SEGERA mendapat terapi ARV. Segera setelah diagnosis konfirmasi dapat
dilakukan (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan
atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV
ulang); maka dilakukan penilaian ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV
atau tidak. Bila hasilnya negatif maka pemberian ARV dihentikan.18

3. Rekomendasi ARV
a. Lini pertama
Lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI) atau protease inhibitor (PI). Langkah pertama yaitu memilih 3TC
sebagai NRTI pertama, lalu pilih NRTI kedua untuk kombinasi dan langkah
terakhir adalah memilih 1 NNRTI/PI dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian dari masing- masing obat.21
Tabel 2.3 Lini pertama ARV21
Populasi Paduan Pilihan Paduan Alternatif
< 3 tahun (ABC atau AZT) + 3TC + LVP/r (ABC atau AZT) + 3TC + NVP
3-10 tahun AZT + 3TC + EFV ABC + 3TC + NVP
ABC + 3TC + EFV
AZT + 3TC + NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
10-19 tahun TDF + 3TC (atau FTC) + EFV AZT + 3TC + EFV
AZT + 3TC + NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
b. Lini kedua
Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang
mengalami kegagalan terapi. Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi
meskipun dalam terapi ARV. Terapi ARV lini kedua digunakan jika terjadi gagal
terapi dengan ARV lini pertama. Kegagalan terapi ARV lini pertama berbasis
LPV/r, paduan harus berganti kepada paduan terapi ARV lini kedua yang terdiri
atas 2 paduan kelompok NRTI+EFV. Setelah kegagalan terapi ARV lini pertama
berbasis NNRTI, anak terinfeksi HIV harus berganti kepada paduan terapi ARV
lini kedua berbasis paduan kelompok PI. Pilihan paduan dari kelompok PI yang
merupakan pilihan pertama adalah LPV/r. TDV hanya digunakan pada anak usia
di atas 2 tahun. Terapi lini kedua yang dianjurkan:21
Tabel 2.4 Lini kedua ARV21
Populasi Paduan terapi ARV lini pertama Paduan terapi ARV lini kedua
Paduan (ABC atau AZT) + 3TC + LVP/r AZT + 3TC + EFV
berbasis
LPV/r AZT + 3TC + LPV/r ABC atau TDF + 3TC
(atau FTC) + EFV
Paduan ABC atau TDF + 3TC (atau FTC) AZT+ 3TC + LPV/r
berbasis + EFV (atau NVP)
NNRTI
Semua AZT + 3TC + EFV (atau NVP) ABC atau TDF + 3TC (atau
usia FTC) + LPV/r

c. Lini ketiga
Pada kasus kegagalan lini pertama dan kedua dengan NRTI, NNRTI dan PI
seperti di Indonesia, paduan yang dapat diberikan selanjutnya adalah kombinasi PI
generasi kedua dan INSTI, dengan atau tanpa tambahan NRTI.21
Tabel 2.5 Lini ketiga ARV21
Populasi Paduan terapi ARV lini Paduan terapi ARV Paduan terapi ARV
pertama lini kedua lini ketiga
Remaja 2 NRTI + EFV (atau NVP) 2 NRTI+ LPV/r
Anak (0-10 2 NRTI+ LPV/r 2NRTI+ EFV DRV/r+DTG ± 1-2
tahun) 2 NRTI+ EFV (atau NVP) 2 NRTI+ LPV/r NRTI
4. Dosis ARV
a. Dosis NRTI
Tabel 2.6 Dosis NRTI18
Nama Obat Formulasi Data Umur (berat badan),
farmakokinetik dosis, dan frekuensi
Nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors (NRTI)
Lamivudine - Tablet: 150 mg Semua umur - ≥ 30 hari: 4
(3TC) - Kombinasi dengan mg/kg/ dosis,
zidovudine dan 2x/hari
nevirapin (Fixed drug - Dosis maksimal:
combination/FDC 150 mg/dosis, 2x/
anak): Zidovudin 50 hari
mg/lamivudine 30 mg/
nevirapin 60 mg.
Zidovudine - Kapsul: 100 mg Semua umur - 180-240 mg/m2/
(AZT) - Tablet: 300 mg dosis 2x/hari
- Tablet: 60 mg - Dosis maksimal:
- Kombinasi dengan 300 mg/dosis, 2x/
lamivudine dan hari
nevirapin (Fixed drug
combination anak):
Zidovudin 50 mg/
lamivudine 30 mg/
nevirapin 60 mg.
- Kombinasi dengan
lamivudine (zidovudin
300 mg/lamivudin 150
mg).
Tenofovir (TDF) - Tablet 300 mg Umur > 2 - Dosis harian 8
tahun mg/ kg sekali
sehari
- Dosis
maksimal:300 mg
Abacavir (ABC) - Tablet: 60 mg, 300 mg Umur > 3 - < 16 tahun atau <
bulan 37.5 kg: 8 mg/kg/
dosis, 2x/hari
- Dosis maksimal:
300 mg/dosis, 2x/
hari
Emtricitabin - Tablet 200 mg atau Boleh untuk - 6 mg/kg/hari,
(FTC) dalam kombinasi anak mulai sekali sehari,
dengan TDF 300 mg umur 3 bulan maksimal 240 mg
Kombinasi - Dispersible tablet: 60 Mulai bayi - 3–5,9 kg: 2 x 1
tetap/FDC anak mg zidovudin + 30 mg tablet
zidovudin, lamivudin + 50 mg - 6-9,9 kg: 2 X 1,5
lamivudin, nevirapin tablet
nevirapin - 10-13,9 kg: 2 X 2
tablet
- 14–19,9 kg: 2 X
2,5 tablet
- 20–24,9 kg: 2 x 3
tablet

b. Dosis NNRTI
Tabel 2.7 Dosis NNRTI18
Nama Obat Formulasi Data Umur (berat badan),
farmakokinetik dosis, dan frekuensi
Non-nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors (NNRTI)
Efavirenz (EFV) - Kapsul: 200 mg Untuk anak > Kapsul:
- Tablet: 600 mg 3 tahun atau - 10-15 kg: 200 mg
berat > 10 kg sekali sehari
- 5 - < 20 kg: 250
mg sekali sehari
- 20 - < 25 kg: 300
mg sekali sehari
- 25 - < 32,5 kg:
350 mg sekali
sehari
- 32,5 - < 40 kg:
400 mg sekali
sehari
- Dosis maksimal:
≥40 kg: 600 mg
sekali sehari
Nevirapine - Tablet: 200 mg Semua umur - < 8 tahun: 200
(NVP) mg/m2/dosis,
2x/hari
- > 8 tahun: 120-
150 mg/m2/dosis,
2 kali/ hari.
- Dosis maksimal
200 mg/dosis.
- Pada saat
memulai terapi,
30

dosis dimulai 1
kali/hari sesuai
dosis di atas
selama 14
minggu dan
dinaikkan
menjadi 2
kali/hari sesuai
dosis di atas.

c. Dosis PI
Tabel 2.8 Dosis PI18
Nama Obat Formulasi Data Umur (berat badan),
farmakokinetik dosis, dan frekuensi
Protease inhibitors (PI)
Lopinavir/ - Kaplet: 200 mg > 6 bulan - >6 bulan - 13
Ritonavir (LPV/r) lopinavir plus 50 tahun: 230
mg ritonavir. mg/m2 LPV/57,5
- Kapsul: 133,3 mg mg/m2 ritonavir,
lopinavir plus 33,3 2x/hari
mg ritonavir. atau
- 7-15 kg: 12mg/
kg LPV/3 mg/kg
ritonavir/dosis
2x/ hari
- 15-40 kg: 10
mg/kg
lopinavir/5
mg/kg ritonavir,
2x/hari
- Dosis
maksimum: > 40
kg: 400 mg
LPV/100 mg
ritonavir, 2x/hari
Protease inhibitors (PI) Generasi Kedua
Darunavir/Ritonavir - Tablet: 600 mg Dewasa dan - Dewasa: 600 mg
(DRV/r) anak-anak usia 2x/hari,
> 3 tahun kombinasikan
dengan ritonavir
100 mg 2x/hari
- Usia 3-17 tahun
(BB ≥ 15-<30
kg): 600 mg
sekali sehari,
dikombinasikan
dengan ritonavir
100 mg
- Usia 3-17 tahun
(BB 31-39 kg):
675 mg sekali
sehari,
dikombinasikan
dengan ritonavir
100 mg
- Usia 3-17 tahun
(BB di atas 40
kg): 800 mg
sekali sehari,
dikombinasikan
dengan ritonavir
100 mg

d. Dosis INSTI
Tabel 2.9 Dosis INSTI24
Nama Obat Formulasi Data Umur (berat badan),
farmakokinetik dosis, dan frekuensi
Integrase strand transfer inhibitors (INSTI)
Dolutegravir - Tablet: 10 mg, 50 Dewasa dan Dewasa
(DTG) mg anak-anak usia a. 50 mg 1x sehari
6-12 tahun (pasien yang
dicurigai/resistensi
terhadap PI)
b. 50 mg 2x sehari
(pasien yang
secara klinis
dicurigai/resistensi
terhadap PI)
c. 50 mg 2x sehari
(pasien yang
menggunakan
EFV, NVP)
Remaja
a. 50 mg 1x sehari
(usia 12-18 tahun
dengan BB min.
40 kg dan tidak
resistensi
terhadap PI)
Anak usia 6-12 tahun
a. BB 15-20 kg (20
mg 1x sehari)
b. BB 20-30 kg (25
mg 1x sehari)
c. BB 30-40 kg (35
mg 1x sehari)
d. > 40 kg (50 mg 1x
sehari)

5. Pemberian ARV pada anak kondisi khusus


Tabel 2.10 Pemberian ARV pada anak kondisi khusus18
Populasi Lini Pertama Paduan Alternatif
Anak dan remaja NVP + 2 NRTI (bukan AZT) PI + 2 NRTI
dengan anemia
Anak dan remaja EFV + 2 NRTI atau 3 NRTI PI + 2 NRTI
dengan TB

6. Pencegahan infeksi oportunistik


Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif
harus segera mendapat terapi ARV. Segera setelah diagnosis konfirmasi dapat
dilakukan (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan
atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV
ulang); maka dilakukan penilaian ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV
atau tidak. Bila hasilnya negatif maka pemberian ARV dihentikan.18

2.13 Prognosis
Pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis infeksi HIV pada anak
dan ketersediaan obat antiretroviral ternyata telah banyak mengubah prognosis
anak dengan infeksi HIV. Semakin dini pemberian kombinasi antiretroviral
dimulai, semakin baik prognosisnya. Sejak munculnya kombinasi antiretroviral
pada
33

pertengahan 1990an, angka kematian pada anak-anak yang terinfeksi perinatal


telah menurun lebih dari 90% dan banyak anak bertahan hidup hingga remaja dan
dewasa. Dengan adanya pengurangan viral load, anak-anak mungkin memiliki
manfaat imunologis dan klinis yang signifikan.1
Secara umum, indikator prognostik terbaik adalah penekanan
berkelanjutan dari viral load plasma dan pemulihan jumlah limfosit CD4+ normal.
Jika penentuan viral load dan limfosit CD4+ tersedia, hasilnya dapat digunakan
untuk mengevaluasi prognosis. Perkembangan lebih baik pada bayi dengan
viral load
<100.000 kopi/mL. Sebaliknya, viral load yang tinggi (>100.000 kopi/mL) dari
waktu ke waktu dikaitkan dengan risiko yang lebih besar untuk perkembangan
penyakit dan kematian.1 Persentase limfosit T CD4+ dan risiko kematian jangka
menengah terkait pada anak yang terinfeksi HIV adalah sebagai berikut:9

- < 5%: 97% - 20-24%: 25%


- 5-9%: 76% - 25-29%: 31%
- 10-14%: 43% - 30-34%: 10%
- 15-19%: 44% - ≥35%: 33%

Anak-anak HIV dengan infeksi oportunistik (misalnya, pneumocystis


pneumonia, MAC), ensefalopati dan keterlambatan perkembangan, atau wasting
sindrom, yang semuanya merupakan kondisi terdefinisi AIDS, memiliki prognosis
buruk dengan 75% meninggal sebelum usia 3 tahun. Risiko kematian juga tinggi
pada anak-anak yang tidak menerima terapi profilaksis kotrimoxazol, demam
persisten dan/atau sariawan mulut, infeksi bakteri serius (meningitis, pneumonia,
sepsis), hepatitis, anemia persisten (<8 g/dL), dan/atau trombositopenia
(<100.000/µL) juga menunjukkan hasil yang buruk, dengan >30 % dari anak-anak
tersebut meninggal sebelum usia 3 tahun. Sebaliknya, limfadenopati,
splenomegali, hepatomegali, pneumonitis interstisial limfoid, dan parotitis
dikaitkan dengan perkembangan penyakit yang lebih lambat dan prognosis yang
lebih baik.1
BAB III
KESIMPULAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus etiologi


dari Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yang dapat menyebabkan
terjadinya kegagalan sistem imun progresif. Hingga saat ini, masalah HIV/AIDS
adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh
dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS sehingga infeksi
HIV dianggap termasuk sebuah pandemi. Bukan hanya menyerang orang dewasa,
anak- anak juga termasuk salah satu kelompok yang menjadi populasi khusus
adalah infeksi HIV, yang rentan terkena melalui transmisi vertikal.
Transmisi vertikal dari ibu ke anak dapat terjadi dalam rahim, selama
persalinan dan melahirkan, serta selama menyusui. Munculnya tanda dan gejala
termasuk infeksi bakteri, demam, diare, sariawan, gejala ini terjadi secara
berulang- ulang. Selain itu terdapat gejala pneumonia, parotitis kronis,
limfadenopati, keterlambatan perkembangan dengan gagal tumbuh, dan
dermatosis pruritus yang signifikan menjadi kemungkinan infeksi HIV pada anak.
Pemberian profilkasis kotrimoxazol, profilkasis INH, terapi ARV bagi
ODHA hamil, prosedur persalinan yang aman, profilaksis ARV untuk bayi lahir
dari ibu HIV, dan memperhatikan pemberian nutrisi untuk bayi lahir dari ibu
terinfeksi HIV, dapat dilakukan untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke
bayi. Oleh karena itu, dibutuhkan penegakan diagnosis, pencegahan, dan
penanganan sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan
pertumbuhan dan pengembangan mental.

34
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman RM, Geme JS. Nelson Textbook of Pediatrics. In: 21st ed.
Philadelphia: Elsevier; 2020.
2. UNAIDS. Global HIV & AIDS Statistics [Internet]. UNAIDS 2021
Epidemiological Estimates. 2021.
3. Teshale AB, Tessema ZT, Alem AZ, Yeshaw Y, Liyew AM, Alamneh TS,
et al. Knowledge About Mother to Child Transmission of HIV/AIDS, Its
Prevention And Associated Factors Among Reproductive-Age Women In
Sub-Saharan Africa: Evidence From 33 Countries Recent Demographic and
Health Surveys. Journal Plus One. 2020.
4. Averting HIV and AIDS. Global HIV and AIDS Statistics. Averting HIV
and AIDS. 2020. p. 1–7.
5. Djoerban Z, Djauzi S. Infeksi HIV dan AIDS. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. VI. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2014. p. 887–924.
6. Kementerian kesehatan RI. Infodatin HIV AIDS. Kesehatan. 2020.
7. KEMENKES RI. Infodatin HIV & AIDS. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2020.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Laporan Perkembangan HIV
AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan II Tahun
2020. Kementerian Kesehatan RI. 2020.
9. Delia M Rivera M. Pediatric HIV Infection. Medscape. 2020.
10. Dinas kesehatan Aceh. Profil Kesehatan Aceh 2020. 2020.
11. Burgess MJ, Kasten MJ. Human Immunodeficiency Virus. American
Society for Microbiology [Internet]. 2016;88(12):1468–74.
12. Nur D, Rahmawati F, Respati SH, Hanim D. Maternal, Obstetric, and
Infant Factors and Their Association with the Risk of HIV Infection in
Infants at Dr . Moewardi Hospital, Surakarta. Journal of Maternal and
Child Health. 2016;1(2):73–81.

35
36

13. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). HIV Risk and
Prevention. 2020.
14. Gilroy SA. HIV Infection and AIDS [Internet]. Medscape. 2020.
15. World Health Organization (WHO) dan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta;
2010.
16. World Health Organization. Manual on Paediatric HIV Care and Treatment
for District Hospitals [Internet]. 2011.
17. World Health Organization (WHO). Clinical Staging of HIV/AIDS and
Case Definitions for Surveillance. Immunological Categories for Pediatric
HIV Infection. 2005.
18. Kementrian Kesehatan Indonesia. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada
Anak. Diagnosis Infeksi HIV Pada Anak. 2014.
19. UNICEF. HIV Early Infant Diagnosis and Viral Load Point of Care
Diagnostics [Internet]. 2020.
20. World Health Organization (WHO). The Use of Co-Trimoxazole
Prophylaxis for HIV-Related Infections Among Adults, Adolescents and
Children. 2014.
21. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/90/2019 Tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia 2019 p. 1–14.
22. Rumah Sakit Universitas Airlangga. Manajemen HIV & AIDS Terkini,
Komprehensif, dan Multidisiplin. 1st ed. Hidayati AN, editor. Surabaya:
Airlangga University Press; 2019. 52-67 p.
23. Irshad U, Mahdy H, Tonismae T. HIV In Pregnancy. NCBI. 2021.
24. HIV Treatment Clinical Brief: Dolutegravir. amfAR The Foundation for
AIDS Research. 2017.

Anda mungkin juga menyukai