Anda di halaman 1dari 11

Pengajaran yang Bersifat Istana Sentris dan Populis, Institusi dan Sumber

Pembelajaran Pada Masa Hindu-Budha

Oleh: Meli Asma Desti, Korinta Faulin Sitompul dan Lidia Nia Kurniawan

Pendahuluan

Agama Hindu-Budha tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita, karena
kedua agama tersebut mempengaruhi perkembangan awal sejarah Indonesia.
Agama Hindu merupakan suatu kepercayaan yang diciptakan oleh bangsa Arya
yaitu bangsa pengembara dari utara yang masuk ke India melalui celah Kaibar dan
menduduki lembah sungai Gangga dan Yamuna. Bangsa Arya mendesak bangsa
Dravida. Sedangkan agama Budha muncul setelah agama Hindu. Awalnya hanya
sebagai suatu ajaran dalam rangka mencari kebenaran yang dilakukan pertama kali
oleh Sidharta. 

Pendidikan pada zaman Hindu dan Budha perkembangan pendidikannya


melalui penyebaran agama. Sebelum penjajahan Belanda, bumi Nusantara telah
dikenal di dunia sebagai pusat pendidikan, pengajaran, dan pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya pada masa kerajaan Hindu dan Budha yang dalam
perkembangan selanjutnya pendidikan dipengaruhi oleh ajaran agama Islam.
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya
dan masyarakat.Pendidikan sebagai sarana sosialisasi merupakan kegiatan manusia
yang melekat dalam kehidupan masyarakat.

Oleh sebab itu maka setiap peserta didik harus mengetahui bagaimana
pendidikan yang pertama kali pada zaman Hindu-Budha. Melalui proses
pembelajaran sejarah pendidikan, maka para peserta didik akan lebih mengetahui
bagaimana perkembangan pendidikan dari zaman lampau ke zaman sekarang.
Peserta didik dapat memahami cara apa digunakan dalam proses pembelajaran
Hindu-Budha yang mana terdapat dua sifat pengajaran yaitu istana sentris dan
populis. Serta juga terdapat berbagai Institusi serta sumber pembelajaran yang ada
pada masa Hindu-Budha.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini yaitu sebagai berikut: (1) Bagaimana Pengajaran yang bersifat Istana
Sentris dan Populis pada zaman Hindu-Budha? (2) Apa saja Institusi dan sumber
pembelajaran pada masa Hindu-Budha?.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan maklah ini


adala sebagai berikut: mengetahui perkembangan pendidikan pada zaman Hindu-
Budha, mengetahui sifat-sifat yang di terapkan dalam proses pembelajaran,
mengetahui Institusi dan sumber pembelajaran pada masa Hindu-Budha.

Pembahasan

A. Perkembangan Pendidikan Pada Zaman Hindu-Budha

Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari


kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di
Kutei (Kalimantan) dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu
Kundungga. Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya
Purnawarman. 

Eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal


Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian
pula dalam Epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa.
Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat
Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam
perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak
para Brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing
kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia
sejak periode permulaan. 

Seorang peziarah dari China yang bernama I Ching, ketika melewati Sumatera
pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya
berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut
tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, seni dan ilmu
pengetahuan. Lebih dari seribu Biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu
dikatakan oleh I-Ching menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan
sejawatnya di Madhyadesa (India). Bahkan, di antara para guru di Sriwijaya
tersebut sangat terkenal dan mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti
dan Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada
masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam
perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi
pendahuluan dan persiapan lainnya (Ipan Harahab, 2012).
Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan sejarahnya di
India. Disini, kedua agama tersebut dapat tumbuh berdampingan dan harmonis.
Bahkan ada kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya memadukan
figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi. Sebagaimana
tercermin dari satu bait syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada zaman Majapahit
“Bhinneka Tunggal Ika”, yakni dewa-dewa yang ada dapat dibedakan, tetapi itu
sejatinya adalah satu (tunggal). 

Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang


menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta
tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India.
Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi,
bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu
perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-
lain. 
Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas
belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan
Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri
serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu
terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang
khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan
hukum. 
Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain:
Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu
Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125),
Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri,
1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389),
Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu
Tantular, dan Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam
kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan
dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual
religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan
bahwa: (1) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai
dengan tingkat tinggi; (2) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari
satu guru ke guru yang lain; (3) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru
untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-
anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu; (4) Pendidikan kejuruan atau
keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-
masing.

B. Contoh Pendidikan di Kerajaan Hindu-Budha

1. Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah karena kehidupan sosial


masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan
hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama
Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8
bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di
bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti. Di samping itu juga
pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di
India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Kemajuan di bidang pendidikan yang
berhasil dikembangkan Sriwijaya bukanlah suatu hasil perkembangan dalam waktu
yang singkat tetapi sejak awal pendirian Sriwijaya, raja Sriwijaya selalu tampil
sebagai pelindung agama dan penganut agama yang taat. Sebagai penganut agama
yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya
(seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk
meningkatkan kemakmuran.     
         Dengan demikian kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Sriwijaya sangat
baik dan makmur,  dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh kemajuan dalam bidang
kebudayaan. Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang dapat diketahui
melalui peninggalanpeninggalan suci seperti stupa, candi atau patung/arca Budha
seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di
Bukit Siguntang (Palembang).

2. Kerajaan Holing (Chopo)

           Kerajaan ini ibukotanya bernama Chopo ( nama China ), menurut bukti-


bukti China pada abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara pastinya
belum dapat ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada
yang menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malay, di Jawa
barat, dan di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara
pekalongan dan Palawanagan di Jawa tengah. Hal ini berdasarkan catatan
perjalanan dari Cina.

          Kerajaan Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama


Budha. Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing sendiri
memiliki seorang pendeta yang terkenal bernama Janabadra. Sebgai pusat
pendidikan Budha, menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut ilmu
di Holing. Pendeta itu bernama Hou ei- Ning ke Holing, ia ke Holing untuk
menerjemahkan kitab Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa cina pada 664-
665.

           Dengan bertambahnya populasi penduduk dan peningkatan standar


pendidikan yang dipegang oleh kaum Brahmana, secara berlahan muncullah sistem
birokrasi, yang tersusunn atas: hierarki abdi kerajaan, bangsawan dan tuan tanah,
di masa kerajaan Hindu-Budha (Tri Endang, 2008).

C.      Tujuan Pendidikan Pada Masa Hindu Budha.

Tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup yaitu manusia hidup untuk
mencapai moksa bagi agama Hindu, dan manusia mencapai nirwana bagi agama
Budha. Karena itu secara umum tujuan akhir adalah mencapai moksa atau nirwana.
Secara khusus mungkin dapat dibedakan sebagai berikut : (1)  Bagi  kaum
Brahmana (kasta tertinggi), pendidikan bertujuan untuk menguasai kitab suci
(Weda untuk Hindu dan Tripitaka untuk Budha) sebagai sumber kebenaran dan
pengetahuan yang universal. (2)  Bagi golongan Ksatria sebagai raja yang
berkuasa, pendidikan bertujuan untuk memiliki pengetahuan teoritis yang berkaitan
tentang pengaturan pemerintahan (kerajaan). (3)     Bagi rakyat biasa, pendidikan
bertujuan agar warga masyarakat memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk
hidup, sesuai dengan pekerjaan yang secara turun temurun. Misalnya keterampilan
bercocok tanam, pelayaran, perdagangan, seni pahat dan sebagainya.

D.      Sifat Pendidikan Pada Masa Hindu-Budha

1.    Informal, karena pendidikan masih bersatu dengan proses kehidupan.

2. Berpusat pada religi, karena kehidupan atas dasar kepercayaan dan keagamaan
menguasai segala-galanya.

3. Istana Sentris yang mana pengajaran bersifat dalam kaidah kerajan-kerajaan


yang ada di dalamnya. Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang
dimulai dari zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.
Penulisan sejarah pada zaman ini berpusat pada masalah-masalah pemerintahan
dari raja-raja yang berkuasa, bersifat istanasentris, yang mengutamakan keinginan
dan kepentingan raja. Penulisan sejarah di zaman Hindu-Buddha pada umumnya
ditulis diprasastikan dengan tujuan agar generasi penerus dapat mengetahui
peristiwa di zaman kerajaan pada masa dulu, di mana seorang raja memerintah.

Dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai


karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan sebagai
uraian peristiwa pada masa lampau, seperti tercermin dalam babad atau hikayat.
Contoh-contoh historiografi tradisional di antaranya ialah sejarah Melayu, hikayat
raja-raja Pasai, hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Pajajaran, Babad
Majapahit, Babad Kartasura, dan masih banyak lagi.

Adapun ciri-ciri dari historiografi tradisional (istana sentris) adalah sebagai


berikut. (a) Religio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau
keluarga raja (keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentris atau
keluarga sentris atau dinasti sentris. (b) Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya
yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat
kerakyatannya. Historiografi tersebut tidak memuat riwayat kehidupan rakyat,
tidak membicarakan segi-segi sosial dan ekonomi dari kehidupan rakyat. (c)
Religio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib. (d)
Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan yang nyata. (e) Tujuan
penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja,
dan nama raja, serta wibawa raja supaya raja tetap dihormati, tetap dipatuhi, tetap
dijunjung tinggi. Oleh karena itu, banyak mitos bahwa raja sangat sakti, raja
sebagai penjelmaan/titisan dewa, apa yang dikatakan raja serba benar sehingga ada
ungkapan "sadba pandita ratu datan kena wowawali" (apa yang diucapkan raja
tidak boleh berubah, sebab raja segalanya). Dalam konsep kepercayaan Hindu, raja
adalah "mandataris dewa" sehingga segala ucapan dan tindakannya adalah benar.
(f) Bersifat regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak
dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di
daerah tersebut. (g) Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan
kharisma (bertuah, sakti).

4.  Penghormatan yang tinggi terhadap guru, karena gurunya adalah kaum


Brahmana (kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu) dan tidak memperoleh
imbalan gaji. Mereka menjadi guru semata-mata karena kewajiban sebagai Pandita
atau Brahmana yang didasarkan pada perasaan tulus, mengabdi tanpa pamrih
( tanpa memikirkan imbalan dunia ).

5. Populis yaitu pendidikan yang didasari oleh kebudayaan masyarakat Hindu Budha itu
sendiri. Dimana kembali lagi ke Istana Sentris.

6 Aristokratis artinya pendidikan hanya diikuti oleh segolongan masyarakat saja


yaitu golongan Brahmana, pendeta dan golongan Ksatria dan golongan keturunan
raja-raja. Dalam agama kita kenal penggolongan berdasarkan kasta, namun di
Indonesia perbedaan tidak begitu tajam dan menonjol. Yang menonjol adalah
antara golongan raja-raja dan rakyat jelata.

E.       Jenis-jenis Pendidikan

Ada Beberapa jenis pendidikan pada zaman Hindu Budha dapat dibedakan
menjadi beberapa golongan diantaranya sebagai berikut :

1.      Pendidikan Intelektual
Kegiatan pendidikan ini dikhususkan untuk menguasai kitab-kitab suci.
Veda dipelajari oleh kaum Brahmana, dan kitab Tripitaka dipelajari oleh penganut
Budha. Pada waktu itu hanya golongan Brahmanalah yang berhak mempelajari
kitab suci Veda. Pendidikan intelektual juga berkaitan dengan penguasaan doa dan
mantera, yang berkaitan dengan penguasaan alam semesta, pengabdian kepada
Syiwa dan Budha Gautama.

2.      Pendidikan Kesatriaan

Kegiatan pendidikan ini dilakukan untuk mendidik kaum bangsawan


keluarga istana kerajaan, untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
berkaitan dengan mengatur pemerintahan (kerajaan), mengatur Negara, dan belajar
untuk berperang.

3.      Pendidikan Keterampilan

Pendidikan keterampilan dan pendidikan kesatriaan merupakan pendidikan


kegiatan yang deprogram secara tertib(dalam arti pendidikan bagi kaum Brahmana
dan bangsawan (keluarga raja)) sudah berjalan dengan teratur. Sedangkan
pendidikan keterampilan yang diajukan bagi masyarakat jelata berlangsung secara
informal yang berlangsung dalam keluarga sesuai dengan keterampilan yang
dimiliki orang tuanya. Seorang pemahat akan diwariskan keterampilannya kepada
anak-anaknya begitu pula dengan para petani, nelayan dan sebagainya.

F.      Institusi dan Sumber Pembelajaran Pada Masa Hindu-Budha

Pendidikan pada waktu itu masih bersifat informal, belum ada pendidikan
formal dalam bentuk sekolah seperti yang kita kenal sekarang ini. Namun dengan
demikian ada beberapa tempat yang biasa dijadikan sebagai lembaga pendidikan.

1.      Padepokan atau Pecatrikan

Padepokan atau Pecatrikan merupakan tempat berkumpulnya para catrik,


yaitu murid-murid yang belajar kepada guru disuatu tempat, sehingga disebut
pecatrikan dan dengan nama lain biasa juga disebut padepokan. Dari kata-kata
catrik dan pecatrikan itulah muncul kata santri dan pesantren.

Jadi lembaga pesantren sudah dikenal keberadaannya sejak zaman Hindu


Budha. Dipesantren dan atau padepokan itulah berkumpul para murid, khususnya
keturunan Brahmana utnuk mempelajari segala macam pengetahuan yang
bersumber dari kitab suci ( Veda dan Upanishad bagi Hindu serta Tripitaka bagi
Budha). Dicandi Borobudur terlihat suatu lukisan yang menggambarkan suatu
proses pendidikan seperti yang berlaku sekarang ini. Ditengah-tengah pendopo
besar seorang Brahmana atau pendeta duduk dilingkari oleh murid-muridnya,
semuanya membawa buku, dan mereka belajar membaca dan menulis. Guru tidak
menerima gaji namun dijamin oleh murid-muridnya untuk hidup. Yang menjadi
dasar pendidikan adalah agama Budha dan Hindu, seperti dapat kita lihat relief-
relief yang tertulis dicandi Borobudur ( Budha) dan candi Prambanan (Hindu).

2.      Pura

Pura merupakan tempat yang berada di istana. Tempat ini diperuntukkan


bagi putra-putri raja belajar. Mereka diberi pelajaran yang berkaitan dengan hidup
sopan santun sebagai keturunan raja yang berbeda dengan masyarakat biasa.
Mereka belajar tentang mengatur Negara, ilmu bela diri baik secara fisik maupun
secara batiniah.

3.      Pertapaan

Pertapaan dilakukan Karena orang yang bertapa dianggap telah memiliki


pengetahuan kebatinan yang sangat tinggi. Oleh karenaitu para pertapa menjadi
tempat bertanya tentang segala hal terutama berkaitan dengan hal-hal yang gaib.

4.      Keluarga

Pada waktu itu pendidikan keluarga juga ada sampai sekarang juga tapi
hanya pendidikan sebagai informal. Dalam keluargalah akan terjadi partisipasi
dalam menyelesaikan pekerjaan orang tua yang dilakukan anak-anak dan anggota
keluarga lainnya.

G.       Ilmu Pengetahuan dan Karya Sastra

Pada masa kejayaan kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia ini telah terjadi
perkembangan ilmu pengetahuan dan karya seni yang sangat tinggi. Seperti telah
dikemukakan pada kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan Budha yang
terbesar di Indonesia, pada saat iru telah berdiri lembaga pendidikan setaraf
“perguruan tinggi”. Perguruan tinggi tersebut dapat menampung berates-ratus
mahasiswa biarawan Budha dan adapat belajar dengan tenang, mereka tinggal di
asrama-asrama khusus.

Sistem dan metode sesuai yang ada di India, sehingga biarawan Cina dapat
belajar di sriwijaya sebelum melanjutkan belajar di India. Di Sriwijaya terkenal
mahaguru yang berasal dari India yaitu Dharmapala dan mengajarkan agama
Budha Mahayana. Dipulau Jawa pada waktu Mataram diperintah oleh seorang ratu
terdapat sekolah agama Budha yang dipimpin oleh orang Jawa yaitu Janadabra.
Pada sekitar abad ke-14 sampai kira-kira abad ke-16 menjelang jatuhnya
kerajaan Hindu di Indonesia, kegiatan pendidikan tidak lagi dilakukan secara
meluas seperti sebelumnya tetapi dilakukan oleh para guru kepada siswanya yang
jumlahnya terbatas dalam suatu padepokan. Pendidikan pada zaman tersebut, mulai
dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi pada umumnya
dikendalikan oleh para pemuka agama. Namun demikian pendidikan dan
pengajaran tidak dilaksanakan secara formal, sehingga seorang siswa yang belum
puas akan ilmu yang diperolehnya dapat mencari dan pindah dari guru yang satu ke
guru yang lainnya. Kelompok bangsawan, ksatria dan kelompok elit lainnya
mengirimkan anak-anaknya kepada guru untuk dididik atau guru diundang untuk
datang mengajar anak-anak mereka ( Umar Titahardja, 2010).

Penutup

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan


pendidikan pada masa Hindu-Budha, kaum Brahmana merupakan golongan yang
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Pola pendidikannya mengambil
model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar.
Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur
asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Perkembangan
pendidikannya di pengaruhi oleh beberapa komponen yang sangat berpengarh
dalam proses pengajaran. Terdapat tujuan Pendidikan Pada Masa Hindu Budha
melalui proses pendidikan. Ada beberapa sifat yang diterapkan dalam pendidikan
pada zaman tersebut.

Pendidikan pada masa Hindu-Budha bersumber pada kitap-kitap yang


dianut oleh kerajaan-kerajaan tersebut, ilmu pendidikan dari para Brahmana yang
dianjarkan dalam proses pembelajaran. Sifat pengajaran yang paling dominan
dilakukan adalah Istana Sentris yaitu pengajaran yang berdasarkan pembelajaran
mengenai kerajaan dan Populis atau kurikulum yang di pelajari masih sangat
sederhana. Adapun Institusi dan Sumber Pembelajaran Pada Masa Hindu-Budha
terbagi menjadi Padepokan atau Pecatrikan, pura, pertapaan dan keluarga dimana
instusi dan sumber tersebut mempunyai tujuan dan fungsi sebagai penerapan proses
pembelajaran.

Daftar Pustaka

Endang, Tri. 2008. Makalah Pendidikan Pada Masa Budha.


http://id.wikipedia.org/ wiki/Buddha [diakses pada tanggal 25 Januari 2018].
Harahab, Ipan. 2010. Pendidikan Masa Hindu. http://id.wikipedia.org/wiki/ Hindu.
[diakses pada tanggal 25 Januari 2018].

Pratama, Asri. 2008. Masa Hindu Budha di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai.

Titahardja, Umar. 2010. Makalah pendidikan Hindu-Budha di Indonesia.


http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-hindu-budha,
[diakses pada tanggal 25 Januari 2018].

Anda mungkin juga menyukai