Anda di halaman 1dari 119

KELEMBAGAAN PENYEDIAAN

DAN PENYALURAN KOMODITAS


BANTUAN PANGAN NON-TUNAI
(BPNT)

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


KEMENTERIAN SOSIAL RI
KELEMBAGAAN PENYEDIAAN
DAN PENYALURAN KOMODITAS
BANTUAN PANGAN NON-TUNAI (BPNT)

Muhammad Belanawane S. et al

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


KEMENTERIAN SOSIAL RI
KELEMBAGAAN PENYEDIAAN DAN PENYALURAN KOMODITAS
BANTUAN PANGAN NON-TUNAI (BPNT). Jakarta,- Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI, 2019.
x + 108 hlm. 14,8 cm x 21 cm.

Konsultan
Imelda Leiwakabessy (TNP2K)

Penulis:
Muhammad Belanawane S.
Ria Permana Sari
Agus B. Purwanto
Justine Yohana
Muslim Sabarisman
Sugiyanto

Cetakan I : Januari 2020

ISBN : 978-623-7806-04-2

Diterbitkan oleh:
PUSLITBANGKESOS KEMENTERIAN SOSIAL RI.
Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta- Timur. Telp. (021) 8017126
E-mail: puslitbangkesos@kemsos.go.id; Website: puslit.kemsos.go.id

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau selu-
ruhnya tanpa izin dari Puslitbangkesos, Kementerian Sosial RI.
UCAPAN TERIMA KASIH

Laporan ini dapat diselesaikan berkat dukungan banyak


pihak. Untuk itu, kami menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada Ibu Eva Rahmi Kasim selaku Kepala Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial
yang telah memfasilitasi dan memberi arahan dalam pelaksanaan
penelitian ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Ibu
Imelda Marasabessy atas masukan dalam desain dan penyelesaian
laporan penelitian ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Tim
Koordinasi Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) di wilayah
penelitian, atas informasi berharga terkait pelaksanaan BPNT dan
dukungan selama kegiatan pengumpulan data di lapangan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada pemerintah


daerah wilayah penelitian, terutama para kepala Dinas Sosial dan
kepala serta aparatur OPD lainnya, kepala kecamatan, kepala desa/
kelurahan beserta staf yang telah memperlancar dan memberikan
informasi berharga sehingga penelitian ini terlaksana dengan baik.
Kami juga berterima kasih kepada para informan kunci lainnya, baik
di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan maupun
masyarakat, atas segala informasi berharga untuk penelitian ini.
Penghargaan dan terima kasih kami sampaikan kepada pendamping
program BPNT daerah (Korteks, TKSK, Pendamping PKH, Penyelia
E-Warong) di wilayah penelitian yang telah membantu tim peneliti
Puslitbang Kessos melakukan wawancara dan mengumpulkan
informasi. Terakhir, kami berterima kasih kepada semua anggota
keluarga penerima manfaat Program BPNT yang telah bersedia
diwawancarai dan meluangkan waktu mereka yang berharga.

Pendahuluan iii
KATA PENGANTAR

Pemerintah Indonesia akan fokus pada pembangunan dan


peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kurun waktu
lima tahun ke depan, pada RPJMN 2020-2024. Dalam mencapai visi
tersebut, sejumlah target pembangunan makro telah ditetapkan.
Di antaranya, pada 2024 diharapkan terjadi penurunan tingkat
kemiskinan hingga mencapai 6.0% - 7.0%. Kemudian tingkat
pengangguran terbuka diharapkan menurun menjadi 3.6% - 4.3%.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga diharapkan meningkat
menjadi 75.54 pada tahun 2024, yang mengindikasikan perbaikan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk mencapai sasaran
tersebut, diperlukan percepatan pembangunan di berbagai bidang
termasuk integrasi program perlindungan sosial, sehingga dapat
mendukung pendekatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif
terhadap kesejahteraan seluruh warga negara.

Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dirancang


dengan tujuan dan manfaat yang masing-masing mewakili
visi jangka pendek dan panjang pemerintah Indonesia dalam
perencanaan bantuan sosial pangan yang dapat merespons
tantangan pembangunan manusia masa kini. Tujuan atau visi jangka
pendek ini antara lain: 1. Mengurangi beban pengeluaran KPM
melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan; 2. Memberikan
gizi yang lebih seimbang kepada KPM; 3. Meningkatkan ketepatan
sasaran, waktu, jumlah, harga, kualitas, dan administrasi; dan 4.
Memberikan pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi
kebutuhan pangan. Adapun manfaat BPNT yang mewakili visi jangka
panjang bantuan sosial pangan adalah: 1 Meningkatnya ketahanan
pangan di tingkat KPM sekaligus sebagai mekanisme perlindungan
sosial dan penanggulangan kemiskinan; 2. Meningkatnya efisiensi
penyaluran bantuan sosial; 3. Meningkatnya akses masyarakat
terhadap layanan keuangan dan perbankan; 4. Meningkatnya

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


iv Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
transaksi nontunai dalam agenda Gerakan Nasional Nontunai
(GNNT); dan 5. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di daerah,
terutama usaha mikro dan kecil di bidang perdagangan.

Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia menetapkan akan


mengubah BPNT menjadi Program Sembako, yang secara langsung
akan mengubah setidaknya dua hal: (1) besar nilai bantuan yang
dinaikkan menjadi Rp.200.000, atau mengalami kenaikan hampir
100% dari yang sebelumnya Rp.110.000; dan (2) penyertaan jenis
komoditas lain selain beras dan telur, yang berarti mendiversifikasi
bahan pangan yang akan disediakan dan disalurkan. Sebelum
penetapan itu diberlakukan, pada Juli 2019, Menteri Sosial melalui
Surat Edaran Nomor 01/MS/K/07/2019 telah terlebih dahulu
menetapkan pemberlakukan pelaksanaan Program BPNT di
seluruh kabupaten-kota se-Indonesia dan pelibatan BULOG dalam
penyediaan komoditas beras BPNT terhitung sejak September 2019.

Dinamika-dinamika ini menandai proses transisi yang saat ini


dialami BPNT sebagai bagian dari mekanisme perlindungan sosial
yang lebih luas. Lebih jauh lagi, hal ini pastinya akan mengubah
banyak hal dalam alur kerja program, dari level perencanaan
hingga implementasi dan pendampingan. Salah satu area dinamika
dalam proses transisional bantuan sosial pangan yang berpotensi
menciptakan celah kebijakan-dan karenanya harus dipahami dan
diantisipasi-adalah pada dimensi penyediaan dan penyaluran
komoditas, khususnya beras, BPNT.

Penelitian ini menjadi sangat relevan dalam rangka


menghadirkan pemahaman yang berbasis bukti akan kebijakan
bantuan sosial pangan, baik dalam perencanaan, proses, dan
implementasi, serta tentunya potensi gap pada masing-masing
tahapan tersebut. Terlebih hingga saat ini, persoalan penyediaan
dan penyaluran komoditas bantuan sosial pangan, khususnya ketika
dibedah dengan analisis isu tata kelola (governance) kelembagaan,
termasuk jarang diteliti (under-researched) sehingga berpotensi
menghadirkan anatomi kebijakan yang berbasis asumsi semata.

Pendahuluan v
Salah satu rekomendasi penelitian ini, mengenai pentingnya
menghadirkan peluang penguatan pemberdayaan terhadap
e-warong KUBE/PKH serta pengaturan kelembagaan dan sistem
pelaksanaan program yang diperlukan untuk memastikan bahwa
mekanisme suppy chain komoditas tidak justru menguntungkan
stakeholders pemodal besar, tentunya merupakan masukan
yang sangat berharga bagi pengembangan program bantuan
sosial pangan dan peningkatan keterpaduan antar-program
perlindungan sosial di masa yang akan datang, sehingga dapat
mempercepat kemandirian pangan dan ekonomi keluarga
penerima manfaat bantuan sosial pangan di Indonesia. Oleh
karena itu saya menyambut baik hadirnya buku Laporan Penelitian
‘Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas BPNT’
pada tahun 2019, yang didorong oleh peneliti Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Biro Perencanaan dari
internal maupun eksternal Kementerian Sosial ini sebagai bagian
dari upaya Puslitbang menghadirkan formulasi kebijakan berbasis
bukti di lingkungan Kementerian Sosial.

Jakarta, Januari 2020


Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial
Kepala,

Eva Rahmi Kasim

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


vi Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
daftar isi

UCAPAN TERIMA KASIH ________________________________ iii


KATA PENGANTAR _____________________________________ iv
DAFTAR ISI _____________________________________________ vi
DAFTAR GAMBAR _______________________________________ ix
DAFTAR TABEL __________________________________________ x
BAB 1 : PENDAHULUAN _________________________________ 1
1.1. Latar Belakang ________________________________ 1
1.2. Permasalahan Penelitian _______________________ 7
1.3. Tujuan Penelitian ____________________________ 11
1.4. Metode Penelitian ____________________________ 12
1.5. Organisasi Penelitian __________________________ 17
BAB 2 : TINJAUAN KEBIJAKAN BPNT ______________________ 19
2.1. Perlindungan Sosial dan Bantuan Sosial Pangan ___ 19
2.2. Formulasi Kebijakan BPNT sebagai Bantuan
Sosial Pangan di Indonesia _____________________ 24
BAB 3 : KELEMBAGAAN PENYEDIAAN DAN PENYALURAN
KOMODITAS BPNT DI DAERAH __________________ 25
3.1. Kota Solok __________________________________ 25
3.2. Kabupaten Banyuwangi _______________________ 42
3.3. Kabupaten Bone ______________________________ 56
BAB 4 : ANALISIS KELEMBAGAAN BPNT __________________ 73
4.1. Analisis Tata-Kelola Kelembagaan
Komoditas BPNT ______________________________ 73
4.2. Analisis Pemetaan Penyediaan dan Penyaluran
Komoditas BPNT ______________________________ 76
4.3. Analisis Pencapaian Prinsip 6T dan
Pemberdayaan Ekonomi Lokal _________________ 83

Pendahuluan vii
BAB 5 : PENUTUP ______________________________________ 89
5.1. Kesimpulan __________________________________ 89
5.2. Rekomendasi ________________________________ 91
DAFTAR PUSTAKA ______________________________________ 95
SEKILAS PENULIS _____________________________________ 103

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


viii Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Peta Administratif Kota Solok ________________ 25


Gambar 3.2. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT
Kota Solok Sebelum SE Mensos ______________ 31
Gambar 3.3. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT
Kota Solok Setelah SE Mensos ________________ 33
Gambar 3.4. Peta Administratif Kabupaten Banyuwangi ______ 42
Gambar 3.5. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT
Banyuwangi Sebelum SE Mensos _____________ 46
Gambar 3.6. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT
Banyuwangi Setelah SE Mensos ______________ 50
Gambar 3.7. Peta administratif Kabupaten Bone ___________ 56
Gambar 3.8. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT Bone
Sebelum SE Mensos ________________________ 59
Gambar 3.9. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT
Bone Setelah SE Mensos ______________________ 60
Gambar 4.1. Alur Rantai Nilai (Value Chain) BPNT __________ 77

Sekilas Penulis ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Lokasi dan Tipologi Wilayah Lokasi Penelitian _____ 15


Tabel 2.1. Taksonomi Intervensi Sosial Berbasis Pangan ______ 21
Tabel 3.1. Tim Koordinasi BPNT Kota Solok ________________ 29
Tabel 4.1. Pemetaan Pelaku Kebijakan Penyediaan
Komoditas BPNT ______________________________ 78
Tabel 4.2. Pemetaan Pelaku Kebijakan Penyaluran
Komoditas BPNT ______________________________ 79
Tabel 4.3. Pemetaan Pemangku Kebijakan Komoditas
BPNT Pusat dan Daerah _______________________ 80
Tabel 4.4. Harga Riil Beras di Indonesia, 1969-2014
(Rp per kilogram) _____________________________ 85

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


x Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
BAB

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejumlah literatur yang menghubungkan antara
kemiskinan dan pangan menyebut bahwa konsumsi pangan
dasar seperti beras diperkirakan merupakan komponen
pengeluaran terbesar rumah tangka miskin, dapat mencapai
sepertiga dari pengeluaran mereka (Kearney 2010, Malik 2015,
juga Smith, et al. 2000, Kirwan & McMillan 2007, Haq & Arshad
2009, Schanzenbach, et al. 2016). Sebuah studi eksperimental
bahkan mengklaim konsumsi pangan mencapai 61% dari
pengeluaran orang miskin (Banerjee and Duflo 2011). Ini
membuat jika sedikit saja terjadi gejolak harga beras, tingkat
kesejahteraan mereka dapat langsung mengalami guncangan.

Oleh karena itu program bantuan sosial berbasis pangan


yang efektif dapat membuat perbedaan: ia dapat membantu
meringankan sumber daya rumah tangga dan mendorong
kapabilitas biologis, bakat, dan kapasitas mental seorang
individu untuk bersaing di bidang permainan yang lebih
setara (leveling the playing field) dan mengejar mobilitas ke
atas (upward mobility). Akan tetapi, jika pikiran dan sebagian
besar uang mereka yang terbatas terpaku dalam (pemenuhan)
pangan, hanya akan ada sedikit ruang untuk mengerjakan hal
lain (Alderman, et al. 2018).

Pendahuluan 1
Setelah masa Reformasi, Indonesia menggunakan
instrumen kebijakan penguatan perlindungan sosial
dalam rangka melindungi ketahanan pangan masyarakat
berpenghasilan rendah. Instrumen kebijakan berorientasi
konsumen ini antara lain konsolidasi program RASKIN,
dimulainya program bantuan transfer tunai, dan pengalihan
subsidi bahan bakar minyak (Bappenas 2014).

Fokus penting dari program ketahanan pangan Indonesia


adalah pada beras, yang merupakan sumber kalori utama
bagi sebagian besar penduduk. Program Subsidi Beras untuk
Rakyat Miskin (RASKIN) pertama kali diterapkan pada tahun
2002 dan merupakan program perlindungan sosial terbesar
di Indonesia. Rata-rata, RASKIN mewakili 30 persen dari
anggaran perlindungan sosial (FAPDA 2017). Ini berkembang
dari program subsidi beras nasional lintas-sektoral sementara,
yang dilaksanakan pada tahun 1998 setelah krisis keuangan
Asia, menjadi program perlindungan sosial bagi kaum miskin.
RASKIN memberi setiap rumah tangga miskin 15 kg beras/
bulan dengan 20-30 persen dari harga pasar. Pada 2015, dengan
nama baru, Rastra, pemerintah mengalokasikan sekitar US $1,4
miliar untuk subsidi ini, dengan BULOG mendistribusikan 2,7
juta ton beras ke 15,6 juta rumah tangga miskin (FAPDA 2017).

Pada awalnya program Rastra merupakan bagian dari


Sistem Ketahanan Pangan Nasional yang dilaksanakan dalam
mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan. Pemerintah
Indonesia memberi prioritas besar terhadap kebijakan
ketahanan pangan nasional, di antaranya melalui ratifikasi
kesepakatan internasional terkait pangan, seperti Rome
Declaration on World Food Security and World Food Summit
1996. Raskin sendiri merupakan program yang bertujuan
membantu kelompok masyarakat berpendapatan rendah
dalam rangka menjaga kesejahteraannya serta memenuhi
kebutuhan pangan, khususnya beras.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


2 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Akan tetapi Raskin dan Rastra telah menerima sejumlah
kritik, khususnya mengenai kualitas beras yang buruk,
dampaknya terhadap pasar beras lokal dan penentuan sasaran
program yang tidak efisien (FAPDA 2017, Timmer, et al. 2018).
Hasil evaluasi berbagai lembaga dan peneliti menunjukkan
pelaksanaan Program Raskin masih jauh dari harapan (World
Bank 2005, Bafita & Sujianto 2013, Bazzi, et al. 2012, 2013,
2015, KPK 2016, Timmer, et al. 2018). Tantangan utama adalah
praktik ‘bagi rata’ dimana beras Raskin juga dibagikan kepada
kelompok rumah tangga di luar yang telah ditentukan dalam
Daftar Penerima Manfaat (DPM). Akibatnya, Rumah Tangga
yang seharusnya menerima Raskin hanya menerima beras
rata-rata 7 kg dari seharusnya 15 kg. Tantangan lain adalah
harga tebus yang dibayar melebihi ketentuan Rp1.600 per
kilogram (World Bank 2005). Hal ini disebabkan, antara lain,
oleh adanya biaya angkut, transportasi, dan lainnya—yang
harus dibebankan pada rumah tangga penerima Raskin.
Dalam kaitan dengan kualitas beras Raskin yang disediakan
BULOG, masih ditemukan beras yang kurang layak konsumsi.
Selain itu, keterlambatan penyaluran menyebabkan seringkali
Raskin disalurkan beberapa bulan sekaligus (rapel) (distribusi
2-3 bulan). Rapel sering terjadi untuk daerah yang sulit
dijangkau maupun untuk daerah yang belum/tidak melunasi
uang tebusan Raskin bulan sebelumnya (World Bank, 2005).
Oleh karena itu sejumlah lembaga dalam dan luar negeri
merekomendasikan urgensi perbaikan desain program Raskin/
Rastra. Menurut OECD misalnya, Indonesia harus mengganti
Raskin dengan program kupon makanan dan transfer tunai
melalui penargetan penerima manfaat (OECD 2015).

Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk melakukan


reformasi Program Raskin. Arahan disampaikan oleh Presiden
pada Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) tentang Program
Penanggulangan Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi
pada 16 Maret 2016. Presiden meminta agar sistem pembagian

Pendahuluan 3
Raskin diubah dengan mekanisme voucher dan dilaksanakan
secara bertahap dimulai pada awal 2017. Penggunaan voucher
dimaksudkan agar penyaluran Raskin dapat terpantau
dan penerima bantuan dapat memperoleh beras dengan
kualitas dan jenis yang diinginkan di toko/warung sesuai
keinginannya. Selain untuk memperoleh beras, voucher
juga dapat dikombinasikan untuk memperoleh kebutuhan
lainnya seperti telur. Pada Ratas tentang Keuangan Inklusif
26 April 2016, Presiden Joko Widodo memberikan arahan
agar manfaat setiap bantuan sosial dan subsidi disalurkan
secara non-tunai. Penyaluran non-tunai tersebut dilakukan
dengan memanfaatkan sistem perbankan untuk memudahkan
pengendalian dan pemantauannya. Penggunaan sistem
perbankan diharapkan dapat mendukung perilaku produktif,
memperluas inklusi keuangan, serta membiasakan perilaku
masyarakat untuk menabung. Presiden juga memberikan
arahan untuk mengintegrasikan beragam kartu dan rekening
untuk berbagai program bantuan sosial menjadi satu kartu dan
satu rekening (TNP2K 2019a, 2019b).

Uji coba dilaksanakan sesuai dengan keputusan Ratas


tentang Program Raskin tanggal 19 Juli 2016, dimana pada
kesempatan tersebut Presiden menegaskan kembali agar
penyaluran Raskin diganti dengan menggunakan voucher.
Arahan Presiden agar penerapan voucher diuji coba terlebih
dahulu di beberapa kota sebelum dilaksanakan di sebagian kota
besar pada tahun 2017. “Penerapan voucher bantuan pangan
agar dicoba terlebih dahulu di beberapa kota dan dilaksanakan
dengan hati-hati......baru akan dilaksanakan pada 2017” dan
“persiapan pemberian voucher agar dapat dimatangkan
kembali, karena apabila pemberian voucher tepat sasaran,
maka dapat menurunkan angka kemiskinan dengan cepat.”
(TNP2K 2019a).

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


4 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Pada tahun 2017 pemerintah mulai menerapkan secara
terbatas pada 44 kota terpilih program Bantuan Pangan
Non-Tunai (BPNT), sebuah skema bantuan sosial pangan
untuk keluarga berpenghasilan rendah dalam bentuk cash
transfers yang dimofidikasi menggantikan skema subsidi
bantuan barang langsung (in-kind transfers) seperti Raskin
dan evolusinya, Rastra. Dengan memanfaatkan intermediasi
lembaga keuangan formal seperti bank, melalui Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS), keluarga penerima BPNT mendapatkan akun
rekening di bank yang memungkinkan mereka untuk menukar
bantuan sebesar Rp.110.000 dengan manfaat komoditas berupa
beras dan telur berkualitas setara dengan nilai tersebut. Dalam
perkembangannya, Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) yang
memberikan bantuan sosial pangan tak bersyarat telah menjadi
salah satu program unggulan Pemerintah Indonesia dalam
upaya mengentaskan kemiskinan. Saat ini dengan jumlah total
penerima manfaat mencapai 15,6 juta jiwa kepala keluarga,
menjadikan BPNT sebagai program bantuan sosial langsung
dengan penerima terbesar di Indonesia (TNP2K 2019b).

Penyaluran bantuan secara non-tunai adalah transfer


bantuan/subsidi secara langsung dari Pemerintah ke
rekening tabungan penerima bantuan. Bantuan/subsidi dapat
berupa uang (Program Keluarga Harapan/PKH, Program
Indonesia Pintar/PIP) atau berupa barang (Raskin). Dalam
pemanfaataannya, penerima bantuan dapat menarik tunai,
membeli barang secara elektronik, atau ditabung. Khusus
untuk BPNT pemanfaatan bantuan untuk membeli beras
dilakukan dengan voucher elektronik yang dapat digunakan
untuk membeli beras dengan kualitas sesuai keinginannya
melalui toko/warung pilihannya. Voucher elektronik ini
diharapkan dapat memberikan banyak manfaat sekaligus.
Pertama, ketepatan sasaran, jumlah, waktu, dan kualitas lebih
terjamin. Kedua, memberikan lebih banyak pilihan dan kendali

Pendahuluan 5
kepada rakyat miskin untuk memilih kualitas beras dan toko/
warung sesuai pilihannya.

Ketiga, mendorong usaha eceran rakyat baik yang telah


terhubung maupun yang belum terhubung dengan sistem
perbankan untuk berpartisipasi dalam program ini. Khusus bagi
pedagang eceran rakyat, pedagang pasar, pasar rakyat, maupun
pelaku ekonomi mikro, keterlibatan mereka dalam program
dapat meningkatkan kapasitas usahanya. Keempat, penerima
bantuan tidak harus membelanjakan seluruh bantuan pangan
pada waktu tertentu sehingga dapat menjadi tabungan untuk
digunakan pada kesempatan berikutnya (TNP2K 2019b).

Prinsip pelaksanaan dalam penyaluran BPNT adalah


(Kementerian Sosial 2019a):
1. Memberikan pilihan dan kendali kepada KPM untuk
menentukan waktu pembelian, jumlah, jenis, kualitas,
harga bahan pangan (beras dan/atau telur), serta lokasi
e-Warong;
2. KPM tidak diarahkan pada e-Warong tertentu dan e-Warong
tidak memaketkan bahan pangan yang menyebabkan KPM
tidak mempunyai pilihan dan kendali terhadap jenis bahan
pangan;
3. E-Warong dapat membeli pasokan bahan pangan dari
berbagai sumber dengan memperhatikan ketepatan harga,
kualitas, jumlah, waktu, sasaran dan administrasi;
4. Bank Penyalur bertugas menyalurkan dana bantuan ke
rekening KPM dan tidak bertugas menyalurkan bahan
pangan kepada KPM, termasuk tidak melakukan pemesanan
bahan pangan;
5. Mendorong usaha eceran rakyat untuk memperoleh
pelanggan dan peningkatan penghasilan dengan melayani
KPM;

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


6 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
6. Memberikan akses jasa keuangan kepada usaha eceran
rakyat dan kepada KPM;
7. Pemerintah pusat dan daerah melaksanakan pengawasan
pelaksanaan BPNT sesuai dengan pedoman umum dan
petunjuk teknis yang berlaku.

Pada akhirnya, pemerintah telah menetapkan penyaluran


bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat dilakukan secara
non-tunai yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial
secara Non-Tunai. Penyaluran bansos secara non-tunai kepada
masyarakat dinilai lebih efisien, tepat sasaran, tepat jumlah,
tepat waktu, tepat kualitas, serta tepat administrasi (prinsip
6T). Penyaluran bansos secara non-tunai juga dianggap dapat
mendukung peningkatan manfaat bagi penerima bantuan serta
berkontribusi terhadap peningkatan keuangan inklusif.
Program BPNT juga diharapkan dapat sekaligus
meningkatkan ekonomi rakyat dengan memberdayakan
ribuan kios/warung/toko yang ada sehingga dapat melayani
transaksi secara elektronik melalui sistem perbankan. Dengan
melalui sistem perbankan, penyaluran BPNT diharapkan juga
dapat mendorong perilaku produktif masyarakat. Lebih jauh,
penggabungan dengan program bantuan sosial lain melalui
sistem perbankan akan memberikan kesempatan akumulasi
aset yang berpotensi mendorong kegiatan ekonomi.

1.2. Permasalahan Penelitian


Indonesia telah membangun skema perlindungan sosial
yang dinamis dan berbagai program telah dibuat untuk saling
melengkapi. Dalam kaitan dengan bantuan sosial pangan,
BPNT diajukan bukan saja dimaksud sebagai komplemen
bagi bantuan non-tunai lainnya seperti PKH dan PIP, tetapi
juga sebagai jawaban atas banyaknya masalah teknis hingga

Pendahuluan 7
persoalan sosial dan politik yang terjadi dari pengalaman
pelaksanaan Bansos Rastra.

Kebanyakan program berbasis pangan berskala besar


merupakan bagian dari tujuan yang lebih luas, termasuk
menyokong ketahanan pangan dan mengatur fluktuasi harga
dan risiko penyediaan, disamping fungsi transformatifnya
sebagai bantuan sosial. Oleh karena itu, transfer pangan lebih
memungkinkan untuk melibatkan faktor ekonomi-politik
ketimbang transfer uang (atau voucher) karena tujuan program
yang saling berkaitan dan keterlibatan multiaktor (Alderman,
et al. 2018: 37). Hal ini semakin menguatkan pentingnya
melihat aspek penyediaan dan penyaluran karena BPNT
sebagai bantuan sosial pangan di Indonesia saat ini merupakan
gabungan (hybrid) antara bentuk voucher yang dicairkan
secara transfer tunai (cash transfer) namun penerima manfaat
tetap mendapatkan bantuan dalam bentuk barang/komoditas
(in kind transfer) yang jenisnya tetap.

Dinamika terakhir dalam perkembangan BPNT adalah


keputusan pelaksanaan program di seluruh kabupaten-kota se-
Indonesia dan pelibatan BULOG dalam penyediaan komoditas
beras yang digunakan dalam skema bantuan terhitung sejak
September 2019. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Surat
Edaran Menteri Sosial RI Nomor 01/MS/K/07/2019 kepada
Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia tentang
Perum BULOG sebagai Penyedia Komoditas Bantuan Pangan
Non-Tunai. Dalam Surat Edaran Mensos tersebut, keputusan
demikian dicapai disebabkan oleh potensi kerugian Pemerintah
karena “kondisi beras cadangan Pemerintah yang dipegang
BULOG masih banyak yang belum tersalurkan”. (Kementerian
Sosial 2019).

Perubahan Perum BULOG sebagai penyedia tunggal


komoditas BPNT ini berpotensi menimbulkan sejumlah

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


8 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
kemungkinan persoalan yang harus dijawab. Pertama, secara
regulasi, perubahan penyedia dan atau penyalur komoditas
BPNT ini masih belum menggunakan pedoman baku dari
pemangku kebijakan sentral, dalam hal ini Kementerian Sosial
dan BULOG level pusat. Setidaknya hingga akhir tahun 2019,
operasional pelaksanaan hanya akan diatur lebih lanjut melalui
pertemuan teknis antara Tim Koordinasi Bansos Pangan
Provinsi/Kabupaten/kota dengan Kepala Divre/Subdivre/
BULOG kabupaten/kota.

Kedua, terkait dengan kualitas pelayanan. Sudah tentu


adanya perubahan penyedia komoditas BPNT tidak mengubah
komitmen pelayanan bantuan yang harus tetap melaksanakan
prinsip 6T (tepat sasaran, tepat waktu, tepat harga, tepat jumlah,
tepat kualitas dan tepat administrasi). Dalam kaitan dengan itu,
akan muncul sejumlah pertanyaan tentang kesiapan berbagai
pihak dalam menjamin tercapainya prinsip 6T tersebut.

Ketiga, sebagai bagian dari upaya perlindungan sosial


komprehensif, BPNT bukan hanya berfungsi untuk tujuan-
tujuan jangka pendek dan menengah (seperti meningkatkan
ketepatan kelompok, memberikan gizi yang lebih seimbang)
tetapi juga untuk dampak jangka panjang bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat,
dalam bentuk seperti (Kementerian Sosial, 2018, penekanan
oleh penulis):
• memberikan lebih banyak pilihan dan kendali kepada
masyarakat miskin;
• mendorong usaha eceran rakyat;
• memberikan akses jasa keuangan pada rakyat miskin.

Dinamika diubahnya penyalur komoditas BPNT dari


semula mekanisme pasar dengan memanfaatkan pelaku
ekonomi lokal menjadi mekanisme penyalur tunggal melalui
perusahaan milik negara seperti BULOG, kemungkinan akan

Pendahuluan 9
mewarnai prinsip 6T sebagai target keluaran program, maupun
tujuan jangka pendek-menengah serta visi jangka panjang
BPNT. Oleh karena itu studi ini akan menjawab permasalahan
tentang apakah potensi dinamika hubungan kelembagaan
penyediaan dan penyaluran BPNT antara BULOG dan pranata
bantuan (merchant/agen/warung/toko dan lainnya) yang
akan berjalan dapat mendukung target keluaran prinsip 6T?
Bagaimana mekanisme koordinasi di antara pihak-pihak
tersebut di atas agar bisa bersinergi dan semakin kuat? Jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditajamkan menjadi
isu-isu strategis dalam tata kelola kelembagaan penyediaan
dan penyaluran komoditas BPNT yang diharap dapat bermuara
pada tujuan perlindungan sosial program BPNT untuk
membantu pemenuhan kebutuhan dasar bagi rumah tangga
miskin Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
(Puslitbangkesos) melakukan studi untuk mengidentifikasi
persoalan baru yang berpotensi muncul dari perubahan
skema penyedia dan penyalur BPNT dari mekanisme pasar ke
pemerintah (BULOG) dan peluang untuk memperkuat sinergi
antar-stakeholders bantuan sosial pangan dari hulu hingga
hilir. Tujuan akhir studi ini adalah membangun rekomendasi
mengenai isu-isu strategis dalam kelembagaan bantuan sosial
pangan yang dapat muncul sebagai persoalan bagi manajemen
penyediaan BPNT terutama di tingkat kabupaten/kota, serta
pengaturan kelembagaan dan sistem pelaksanaan program
yang diperlukan untuk memastikan tidak dirugikannya mitra
program dalam mengakses peluang-peluang yang tidak
melanggar pedoman BPNT dan sekaligus keluarga penerima
manfaat BPNT dalam menerima bantuan sebagai hak
kewarganegaraan mereka. Oleh karena itu, pertanyaan turunan
penelitian ini adalah,
1. Bagaimana peta pelaku-pelaku (stakeholders) kebijakan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


10 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Program BPNT dan peran mereka pada tingkatan
penyediaan dan penyaluran komoditas pangan beras BPNT
di daerah; dan
2. Apa isu-isu strategis kelembagaan pada tata kelola bantuan
sosial pangan, khususnya dalam aspek penyediaan dan
penyaluran komoditas BPNT melalui kerja sama berbagai
pihak di daerah semi-perkotaan dan pedesaan.

1.3. Tujuan Penelitian


Secara khusus, penelitian ini bertujuan:
1. Memetakan pelaku-pelaku (stakeholders) kebijakan
Program BPNT dan peran mereka pada tingkatan
penyediaan dan penyaluran komoditas pangan beras
BPNT; dan
2. Menganalisis isu-isu strategis kelembagaan pada tata kelola
bantuan sosial pangan, khususnya dalam aspek penyediaan
dan penyaluran komoditas BPNT melalui kerja sama
berbagai pihak di daerah semi-perkotaan dan pedesaan.

Melalui analisis pemetaan dan isu-isu strategis tersebut


penelitian ini bermaksud menyusun rekomendasi terkait
upaya untuk menyinergikan hubungan baru yang akan terjalin
antara pemangku kebijakan, mitra dan penerima manfaat
BPNT di tingkat daerah (dinas sosial, BULOG, merchant/toko/
ewarong mitra HIMBARA), termasuk pengaturan tata kelola
kelembagaannya sehingga tujuan penyelenggaraan bantuan
sosial pangan ini dapat tercapai dengan efektif dan berdampak
positif bagi masyarakat penerima.
Hasil penelitian cepat analisis isu-isu strategis
kelembagaan penyediaan dan penyaluran komoditas program
Bansos BPNT serta kontribusi kerja sama baru dalam skema
program terhadap pemenuhan kebutuhan dasar KPM akan
diserahkan kepada Menteri Sosial sebagai bahan rekomendasi
penyusunan kebijakan terkait penyaluran dan penyediaan
komoditas BPNT untuk tahun 2020 dan seterusnya. Selain

Pendahuluan 11
itu hasil penelitian cepat nantinya juga dapat digunakan unit
teknis terkait BPNT untuk mengambil kebijakan lebih lanjut
terkait program.

1.4. Metode Penelitian


1.4.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Evaluasi merupakan mata rantai dari siklus perencanaan
yang melibatkan empat tahapan pokok, yaitu: (1) formulasi
kebijakan, (2) implementasi, (3) evaluasi terhadap
implementasi dan (4) umpan balik terhadap implementasi
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Menurut waktu, evaluasi
dikategorikan menjadi dua, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat pelaksanaan/
implementasi program (on going), fokus evaluasi pada program
atau kegiatan dan bertujuan untuk menemukan apakah
program dilaksanakan sesuai rencana/pedoman dan kendala
apa yang ditemukan dalam pelaksanaannya, untuk kemudian
dilakukan perbaikan. Sedangkan evaluasi sumatif dilaksanakan
setelah program selesai dilaksanakan/diimplementasikan
(ex-post) dan bertujuan untuk menilai hasil/capaian
yang diperoleh. Hasil dari evaluasi akan dijadikan bahan
pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan
program lebih lanjut, sasaran dan anggaran. Untuk melakukan
evaluasi formatif dilakukan kegiatan monitoring, sedangkan
untuk melakukan evaluasi sumatif dilakukan kegiatan evaluasi
efektivitas program.

Kegiatan evaluasi efektivitas program BPNT ini merupakan


penelitian dengan pendekatan evaluasi tidak terstruktur secara
kualitatif, yang digunakan untuk menganalisis isu-isu strategis
apa dalam penyediaan dan penyaluran komoditas beras BPNT
yang muncul di daerah terhadap implementasi bantuan sosial
pangan.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


12 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Menurut Rossi & Freeman (1985), riset evaluasi adalah
suatu bidang aktivitas yang kaya (robust), yang dicurahkan untuk
pengumpulan, analisis dan interpretasi informasi mengenai
kebutuhan, implementasi, dan dampak upaya intervensi yang
bertujuan memperbaiki nasib umat manusia melalui usaha
peningkatan kondisi sosial dan kehidupan komunitas. Riset
evaluasi dilakukan dengan berbagai alasan, yaitu: (1) untuk
mengukur sejauh mana pentingnya program yang sedang
berjalan dan untuk mengestimasi seberapa besar kegunaan
upaya peningkatannya, (2) untuk meskor kemanfaatan program
dan inisiatif yang inovatif, (3) untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi managemen dan administrasi program, dan (4) untuk
memenuhi berbagai macam persyaratan akuntabilitas. Riset
evaluasi dengan demikian ini dapat memberikan kontribusi
untuk ilmu sosial yang bersifat teoritis dan metodologis. Rossi
& Freeman menambahkan, bahwa riset evaluasi ini dapat
dimanfaatkan hasilnya oleh: (1) Pengambil kebijakan, program
dan proyek dalam menentukan kebijakan; (2) Memberikan dasar
pertimbangan politis, praktis dan rasional dalam pengambilan
keputusan; dan (3) Memberikan masukan bagi pengawas
terhadap legitimasi dan akuntabilitas atas intervensi program/
proyek yang dilaksanakan, tingkat pencapaian sasaran, dampak
dan biaya yang dikeluarkan. Sjoberg (1975) menekankan, bahwa
riset evaluasi memiliki dua fungsi yaitu menentukan efektivitas
atau efisiensi program dan memberikan dasar untuk mendorong
pemegang atau pembelanja dana publik untuk membiayai
program tertentu agar bertanggungjawab atas keputusannya
(dalam konteks ini dana publik yang dialokasikan untuk
membiayai program BPNT).

1.4.2. Informan Penelitian


Sasaran penelitian analisis isu-isu strategis kelembagaan
komoditas BPNT adalah Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
dan pelaksana program (TKPKD/Setda, Bappeda, Dinas Sosial,

Pendahuluan 13
BPS/KPS, Perum Bulog, OPD Terkait, UPPKH, TKSK, Pengelola
E-warong, Pendamping Program dan Bank Penyalur). Untuk
melengkapi data penelitian, dilaksanakan kegiatan Focus
Group Discussion (FGD) dalam rangka konfirmasi dengan
berbagai pihak terkait, seperti Dinas Sosial, OPD lain di daerah,
BPS, Perum Bulog, Pendamping (Korteks, TKSK, Pendamping
PKH), Pengelola E-warong, Kominfo, Bank Penyalur, serta
semua stakeholders terkait.

1.4.3. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini mulai dipersiapakan pada pertengahan
September 2019. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada
18 s.d. 23 November dan 25 s.d. 30 November 2019. Analisis
dan penulisan laporan diselesaikan hingga pertengahan
Desember 2019.

Penelitian dilaksanakan di tiga desa/kelurahan yang


berlokasi di tiga kabupaten/kota di Pulau Sumatera, Jawa, dan
Sulawesi (satu desa/kelurahan di setiap kabupaten/kota), yaitu
Kota Solok di Sumatera Barat, Kabupaten Banyuwangi di Jawa
Timur, dan Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan. Pemilihan
kabupaten/kota dan desa studi dilakukan secara purposive
dengan mempertimbangan jumlah dan proporsi keluarga
penerima BPNT, tipologi penghidupan (matapencaharian)
penduduk, dan keberadaan atau eksistensi BULOG kabupaten/
kota dihubungkan dengan apakah merupakan daerah penghasil
beras atau tidak, serta keberadaan mitra BPNT seperti HIMBARA
dan E-Warong KUBE PKH. Penjelasan terinci mengenai proses
penentuan lokasi penelitian dan alasan pemilihannya akan
disajikan di Lampiran 1. Daftar lokasi penelitian dan tipologi
wilayah disajikan di Tabel, dan gambaran umum lokasi studi
diuraikan di Lampiran 2.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


14 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Tabel 1.1. Lokasi dan Tipologi Wilayah Lokasi Penelitian
Tipologi
Kabupaten/ Desa/ Wilayah dan Keberadaan
Provinsi
Kota Kelurahan* Sektor Mata Program
Pencaharian
Sumatera Kota Solok A1 Semi-perkotaan: E-warong
Barat industri kecil dan
dan menengah, E-warong
pertanian KUBE PKH
Jawa Banyuwangi B1 Semi-perkotaan: E-warong
Timur pertanian, usaha dan
menengah dan E-warong
besar KUBE PKH
Sulawesi Bone C1 Perdesaan: E-warong
Selatan pertanian dan
E-warong
KUBE PKH
*Nama desa/kelurahan disamarkan.

1.4.4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
kegiatan evaluasi adalah observasi, kuesioner, wawancara,
studi dokumen dan teknik Focused Group Discussion. Teknik
observasi menggunakan check-list terkait context dan process
dalam kesesuaian implementasi program BPNT dengan pedum
dan juknis. Kuesioner juga digunakan untuk menggali data
primer terkait nilai dan manfaat BPNT yang diterima oleh KPM,
serta tingkat kontribusi program bantuan sosial BPNT terhadap
pemenuhan kebutuhan pangan KPM.

Teknik wawancara digunakan untuk menggali informasi


kualitatif terkait kendala yang dihadapi oleh pelaksana
program dalam mengimplementasikan program BPNT, serta
kendala yang dihadapi oleh KPM dalam mengakses bantuan.
Wawancara juga dilakukan untuk menggali informasi terkait
peran berbagai pihak dalam pelaksanaan program dan BPNT.

Pendahuluan 15
Studi dokumen dilaksanakan untuk menggali kelengkapan
dokumen terkait program BPNT. Selain itu, teknik ini juga
digunakan untuk menggali data penunjang, baik berupa
data sekunder yang disediakan lembaga terkait (BPS/dinsos/
Kemensos/lainnya), laporan yang pernah dibuat oleh pelaksana
program/petugas pendamping, hasil penelitian yang relevan
maupun dokumen terkait yang lain.

Teknik Focused Group Discussion (FGD) dilaksanakan


dalam rangka konfirmasi data dengan berbagai pihak terkait,
seperti TKPKD/Setda, Bappeda, Dinas Sosial, BPS/KPS, Perum
Bulog, OPD Terkait, UPPKH, TKSK, Pengelola E-warong, BTS
(Kominfo), Bank Penyalur, stakeholders terkait dan KPM.
Kegiatan ini dilaksanakan setelah terkumpul cukup data di
lapangan pada saat kegiatan evaluasi dilakukan.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Berbagai


informasi awal dari studi kualitatif maupun kuantitatif lain juga
digunakan untuk menyempurnakan analisis kualitatif yang
akan dilakukan.

Pengumpulan data kualitatif dilakukan terhadap 15


informan yang merupakan pranata kelembagaan BPNT,
melalui: (i) wawancara mendalam, (ii) Focused Group
Discussion (FGD) di tingkat desa/kelurahan dan FGD tingkat
kecamatan; (iii) peninjauan dokumen. Wawancara mendalam
dilakukan menggunakan panduan wawancara semi terstruktur.
Pada setiap kabupaten/kota dilakukan 10-15 sesi wawancara,
tergantung ketersediaan informan serta kedalaman informasi
yang dapat digali dari tiap wawancara, dan sektor-sektor yang
perlu didalami sesuai tipologi wilayah studi. Mitra BPNT yang
dipilih adalah yang paling sering diakses anggota keluarga KPM
BPNT di lokasi studi. Pedagang pengumpul dan pengusaha
yang diwawancarai di tingkat desa/kelurahan adalah yang
pernah bertransaksi usaha dalam alur kerja BPNT.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


16 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
1.5. Organisasi Penelitian
a. Pembiayaan
Pembiayaan penelitian ini bersumber dari DIPA Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,
Kementerian Sosial Tahun 2019.
b. Pemilihan lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di 3 kabupaten/kota di
Indonesia, kesemuanya merupakan daerah yang telah
mengalami sedikitnya sepuluh kali penyaluran BPNT di
2019 dan dua kali di antaranya melalui BULOG sejak resmi
diberlakukan per September 2019.

Evaluasi dilaksanakan terhadap KPM, pelaksana program


di lokasi dan stakeholders. Untuk kepentingan analisis setiap
lokasi akan diambil 10 informan sebagai sampel analisis, yang
terdiri dari: BPNT: Tikor/OPD 1-3 orang, BULOG 1 orang, Aparat
Desa 1 orang, E-Warong 1 orang, Korteks 1 orang, TKSK 1 orang,
Pendamping PKH 1 orang, Suplier 1 orang, dan KPM 3-5 orang/
keluarga. Penentuan informan secara snow-balling. Dengan
demikian, kegiatan penelitian evaluasi ini akan melibatkan
sekitar 30 sampai dengan 90 informan secara nasional melalui
tiga kabupaten/kota. Untuk memperkuat hasil analisis akan
dilakukan in depth interview terhadap pelaksana program/tim
koordinasi dan stakeholders. Dalam pengumpulan data, untuk
masing-masing lokasi kabupaten/kota melibatkan 2 (dua)
orang peneliti yang ditugaskan Puslitbang.

Pendahuluan 17
Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas
18 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
BAB
TINJAUAN
2 KEBIJAKAN BPNT

2.1. Perlindungan Sosial dan Bantuan Sosial Pangan


Pemerintah memiliki beberapa pilihan untuk mengejar
tujuan pembangunan terkait pangan, termasuk dua jenis
intervensi. Pertama, otoritas publik dapat memilih untuk
meningkatkan pasokan (supply) pangan baik secara langsung
dan tidak langsung. Langkah-langkah langsung akan
mencakup intervensi untuk mendukung petani (input, kredit,
dan asuransi) dan infrastruktur pertanian. Langkah-langkah
tidak langsung akan mencakup mereka yang mengelola harga,
termasuk subsidi harga untuk produsen atau perantara yang
terlibat dalam penggilingan, transportasi, dan penyimpanan.
Mereka juga akan mencakup pengungkit makro seperti
kalibrasi nilai tukar dan penjualan makanan pasar terbuka baik
dari impor atau penyimpanan.
Kedua, otoritas publik dapat memilih untuk
mempengaruhi permintaan (demand), baik melalui langkah
langsung atau tidak langsung. Intervensi sisi permintaan atau
kadang juga disebut ‘bantuan sosial (berorientasi) pangan’
(food-oriented social assistance) adalah fokus penelitian ini.
Intervensi langsung mencakup transfer non-kontribusi sebagai
bagian dari sistem perlindungan sosial yang lebih luas. Secara
khusus, transfer dapat berbentuk komoditas yang diberikan
kepada penerima sebagai bagian dari program distribusi publik

Tinjaun Kebijakan BPNT 19


tanpa syarat atau intervensi bersyarat seperti program makan di
sekolah. Modalitas natura tertentu dikenal sebagai penjatahan
(rationing), di mana pemerintah membatasi jumlah komoditas
pangan yang dapat dibeli di pasar. Kuota semacam itu muncul
kembali pada masa krisis, termasuk selama perang dunia dan
selama periode perang pasca-1990 sanksi di Irak dan dalam
ekonomi terencana dari bekas Uni Soviet dan Republik Rakyat
Demokratik Korea (Bank Dunia 2015).

Program bantuan sosial pangan langsung dapat mencakup


voucher, juga dikenal sebagai "hampir tunai" atau perangko,
yang menyediakan akses pangan dengan nilai atau kuantitas
tertentu di warung/kedai swasta atau pemerintah yang telah
ditentukan. Intervensi ini berada di tengah-tengah kontinum
modalitas transfer di mana uang dan barang merupakan
bentuk ekstrem. Selain itu, bantuan sosial pangan mencakup
bagian dari klasifikasi transfer tunai, termasuk program tunai
di mana penargetan, ukuran transfer, dan kinerja metrik
disusun berdasarkan pada tujuan dan data ketahanan pangan.
Misalnya, di bawah Program Jaring Pengaman Produktif
Ethiopia, transfer tunai dikalibrasi untuk menyediakan cukup
uang untuk membeli 15 kilogram sereal dan 4 kilogram pulsa
per peserta per bulan. Sebaliknya, sebagian besar program
transfer tunai--misalnya, pensiun sosial atau banyak transfer
tunai bersyarat (CCT)--tidak biasanya dikalibrasi dalam kaitan
dengan sekeranjang barang. Selain itu, bentuk-bentuk bantuan
sosial pangan tidak langsung termasuk subsidi harga untuk
konsumen, yang menyediakan komoditas dengan harga lebih
rendah dari nilai pasarnya. Dengan pengecualian uang tunai,
semua program bantuan sosial pangan langsung dirancang
jauh dari kedaulatan konsumen murni. Dalam artian, semua
program ini berupaya memengaruhi perilaku konsumen
dan membentuk insentif. Taksonomi bantuan sosial pangan
lengkap disajikan dalam tabel 3 berikut.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


20 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Tabel 2.1. Taksonomi Intervensi Sosial Berbasis Pangan
Tipe
Sisi Penawaran (Supply) Sisi Permintaan (Demand)
Intervensi
Langsung • Dukungan pada petani • Komoditas pangan
(input, pupuk, kredit, - Transfer pangan tanpa
asuransi) syarat (distribusi pangan
• Infrastruktur (irigasi) oleh pemerintah)
- Transfer pangan
bersyarat (suplemen
nutrisi, bantuan makan
siswa sekolah)
- Bantuan pangan untuk
bekerja (food for work)
- Penjatahan umum
• Voucher pangan
- Bantuan pangan tanpa
syarat
- Berbasis nilai atau
kuantitas
• Transfer uang/cash transfer
- Digunakan ketika desain
program dimaksudkan
hanya untuk mengakses
pangan
Tidak • Subsidi harga ke
langsung produsen
• Subsidi harga
ke perantara
(penggilingan,
transport,
penyimpanan)
• Penjualan komoditas
pasar terbuka
• Nilai tukar, pajak, dan
kebijakan perdagangan
Sumber: Alderman, et al. (2018).

Tujuan kemandirian pangan telah menjadi faktor


kunci yang memotivasi pendekatan in-kind (barang/natura)
terhadap ketahanan pangan. Seiring waktu, banyak negara

Tinjaun Kebijakan BPNT 21


telah mengubah kebijakan stabilisasi harga pangan menjadi
program perlindungan sosial yang ditujukan langsung pada
pengurangan kemiskinan. Evolusi seperti itu hanya mungkin
terjadi dengan perubahan politik, reformasi tata pemerintahan,
dan modifikasi kontrak sosial, dan dimungkinkan oleh
perubahan teknologi. Misalnya, selama tahun 1970-an dan
1980-an, beberapa negara di Amerika Latin menggunakan
nilai tukar yang terlalu tinggi untuk mengurangi harga pangan,
sebuah praktik yang menurunkan biaya hidup bagi kaum
miskin dan menjaga upah perkotaan cukup rendah untuk
mendorong pertumbuhan usaha swasta. Hal yang sama
berlaku di banyak negara Afrika setelah kemerdekaan, dengan
dampak merugikan pada pengembangan pertanian (de Janvry
and Subramanian 1993, Krueger, Schiff, and Valdés 1988).

Langkah-langkah lain, seperti pengadaan wajib dengan


harga di bawah yang akan menghapus pasar terbuka serta
larangan ekspor, juga digunakan untuk mencapai banyak
tujuan yang tercakup oleh toko/warung melalui jaringan ritel
yang didukung negara. Meskipun kebijakan semacam itu masih
diterapkan untuk menstabilkan harga setelah lonjakan yang
signifikan (Barrett 2013), ia lebih cenderung digunakan sebagai
tindakan darurat sementara daripada sebagai instrumen inti
yang dirancang untuk memengaruhi tingkat harga (Pinstrup-
Andersen 2015). Kehadiran dukungan tunai yang ditargetkan
langsung atau kesediaan untuk menggunakan sumber daya
fiskal untuk menempatkan irisan antara harga konsumen
dan produsen untuk makanan telah membantu mengurangi
ketegangan yang melekat antara kepentingan kedua kelompok.
Sebagai contoh, subsidi fiskal untuk konsumen memungkinkan
Mesir mengurangi kuota pengadaan (Von Braun and de
Haen 1983) dan memungkinkan Maroko untuk mendukung
produsen gandum tanpa memaksakan kenaikan besar pada
harga konsumen (Azzam 1991, Bank Dunia 2003). Irisan serupa

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


22 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
memungkinkan Iran untuk mengejar strategi swasembada
dengan insentif harga untuk produsen serta harga roti yang
dikendalikan (Amid 2007). Selain itu, sebelum implementasi
North American Free Trade Agreement (NAFTA), Meksiko
secara bersamaan menawarkan harga kepada produsen yang
berada di atas harga pasar dunia dan memberikan tortilla
bersubsidi kepada konsumen perkotaannya.

Sementara perpaduan tujuan masih memainkan peran


penting, program berbasis pangan menjadi lebih selaras
dengan sistem perlindungan sosial. SNAP berisi fitur yang
menghubungkannya dengan program bantuan sosial pangan
nasional lainnya. Misalnya, kartu transfer manfaat elektronik
dari program WIC memiliki tumpang tindih fungsional yang kuat
dengan kartu SNAP. Selain itu, lebih dari 50 persen penerima
WIC juga berpartisipasi dalam SNAP pada tahun 2009.

Di Indonesia, evaluasi ‘kegagalan’ Rastra telah mengarah


pada pengadopsian “kartu perlindungan sosial”, yang
memungkinkan akses tidak hanya ke subsidi pangan tetapi
juga ke program-program berbasis uang tunai dan sektor
perlindungan sosial secara lebih luas. Data dan kriteria
klasifikasi penargetan Rastra, sejak 2012, selaras dengan
Basis Data Terpadu untuk Perlindungan Sosial (kriteria saat
ini, 14 poin BPS setelah sebelumnya mengikuti skala 10 poin
berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional). Pada 2013, Rastra menjadi bagian dari Program
Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial, sebuah
program untuk mengurangi dampak kenaikan harga bahan
bakar, dengan pemerintah memberikan brosur kepada rumah
tangga yang berisi informasi lebih lanjut tentang Rastra.

Tinjaun Kebijakan BPNT 23


2.2. Formulasi Kebijakan BPNT sebagai Bantuan Sosial Pangan
di Indonesia
Pendekatan Indonesia terhadap bantuan sosial
pangan secara intrinsik terkait dengan strateginya untuk
mempertahankan harga pangan domestik yang tinggi
(Alderman, et al. 2018). Daripada mengatasi volatilitas harga
melalui jaring pengaman sosial yang ditargetkan, pendekatan
yang secara administrasi tampaknya lebih mudah untuk
mengatasi “akar” penyebab ketidakmampuan pangan melalui
intervensi hulu di pasar beras dan rantai pasokan.

Dalam hal ini, Perum BULOG, sebuah badan logistik


pangan, diciptakan pada tahun 1966 dengan mandat yang
mirip dengan FCI India, termasuk tanggung jawab untuk
mencapai swasembada pangan (beras) dan menggunakan
stok untuk memperlancar fluktuasi dalam produksi dan
konsumsi. Pada tahun 1998, devaluasi besar-besaran terjadi
bersamaan dengan bencana El Nino yang berdampak negatif
pada pertanian. Dengan biaya yang melambung tinggi untuk
menstabilkan harga, Indonesia dipaksa untuk mengadopsi
program yang ditargetkan secara eksplisit untuk menyediakan
beras bersubsidi kepada rumah tangga miskin. Meskipun
menargetkan rumah tangga miskin dari yang tidak miskin itu
sendiri adalah tujuan yang sulit dicapai.

Program Raskin, sebelum Rastra, telah bertahan sebagai


jaring pengaman rumah tangga bahkan ketika Indonesia
telah meluncurkan beberapa skema transfer tunai. Skema
setelahnya, Rastra bergerak ke arah skema kupon, dengan
eksperimen yang sedang berlangsung di 44 kota, dan pada 2019,
telah ditingkatkan ke hampir semua 500 kota dan kabupaten di
seluruh Indonesia dengan sekitar 15,6 juta penerima manfaat.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


24 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
KELEMBAGAAN
BAB
PENYEDIAAN DAN
3 PENYALURAN KOMODITAS
BPNT DI DAERAH

3.1. Kota Solok


3.1.1. Gambaran Umum
Gambar 3.1. Peta Administratif Kota Solok

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 25
Secara administratif Kota Solok memiliki luas wilayah
sebesar 5.764 km2 dengan kepadatan penduduk 1.026 jiwa/
km2. Jumlah penduduk Kota Solok mencapai 69.776 jiwa
(34.611 jiwa laki-laki dan 35.165 jiwa perempuan) (BPS 2019).

Di Kota Solok terdapat lima sektor penting mata


pencaharian, yaitu: (1) sektor perdagangan, rumah makan
dan hotel 41,74%; (2) sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan
perorangan 28,53%; (3) sektor lainnya 16,92%; (4) sektor industri
pengolahan 8,53%; dan (5) sektor pertanian 4,27% (BPS 2019).

Dalam kaitannya dengan pangan, komoditas makanan


utama di Kota Solok adalah (1) Ubi Kayu (27,20%); (2) Ubi Jalar
(15%); (3) Jagung (9,78%); (4) Padi (6,67%); dan (5) Kacang
Tanah (2,72%).

Kota Solok hanya memiliki dua kecamatan, Kecamatan


Lubuk Sikarah, 685,51 Ha lahan sawah dan 2.298,60 Ha lahan
kering. Terdiri dari 7 Kelurahan (Tanah Garam, IV Suku, Sinapa
Piliang, IX Korong, KTK, Aro IV Korong, Simpang Rumbio.
Sedangkan lokasi penelitian berada di Kel Aro IV Korong dan
Simpang Rumbio.

3.1.2. Pelaksanaan BPNT


Program BPNT merupakan program pemerintah pusat
yang sudah mulai berjalan sejak April tahun 2018 lalu di
Kota Solok. Dana bantuan sosial BPNT yang digelontorkan
pemerintah melalui Kartu Keluarga Sejahtera diperuntukkan
untuk membeli beras dan telur. Untuk mempermudah
masyarakat kurang mampu dalam memenuhi kebutuhannya
dan mencegah penyelewengan, pemerintah daerah juga sudah
menyediakan beras dan telur melalui e-Warong, yang memang
sudah bekerja sama dengan Bank penyalur bantuan.

Jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH di Kota


Solok, pada tahun 2019 turun menjadi 2.112 keluarga dari 2.256

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


26 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
keluarga pada tahun 2018. KPM dapat BNPT di lima elektronik
warung Gotong Royong (e-warong) di Kota Solok, antara lain:
e-warong Batang Lembang, e-warong Maju Lancar, e-warong
Harapan Bersama, e-warong Bungo Pandang, dan e-warong
Simpro Sejahtera. Sebelumnya hanya ada tiga e-warong yang
dibentuk pada 2017 yang menerima bantuan dari Kementerian
Sosial, yaitu e-warong Simpro Sejahtera Kelurahan Simpang
Rumbio, e-warong Maju Lancar Kelurahan Tanah Garam, dan
e-warong Harapan Bersama di Kelurahan Nan Balimo.

Hingga kini, berkembang dua e-warong lagi di Kelurahan


VI Suku dan Pasar Pandan Aia Mati (PPA). e-warong berfungsi
sebagai tempat menjual pangan murah berkualitas dan
kebutuhan pokok rumah tangga dan agen bank penyalur
bantuan sosial non tunai. Selain itu juga tempat pemasaran hasil
produk Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan sebagai tempat
layanan Koperasi Simpan Pinjam. Sebelumnya Pemerintah
Kota Solok bekerja sama dengan Kementerian Sosial RI dan
Bank BRI cabang Solok meluncurkan program Elektronik
Warung Gotong Royong (e-warong) Kelompok Usaha Bersama
Program Keluarga Harapan (KUBE-PKH) pada 2017.

Adanya e-warong juga meningkatkan dan mengembangkan


kesejahteraan keluarga penerima manfaat bantuan sosial
di Kota Solok. Untuk membentuk e-warong KUBE PKH,
sebelumnya terlebih dahulu harus membentuk KUBE jasa
yang terdiri dari 10 orang anggota dan satu orang penyelia yang
bertugas melakukan pendampingan, serta memiliki tempat
untuk mendirikan e-warong, Setiap e-warong dibantu sebanyak
Rp.30 juta berasal dari Kementerian Sosial melalui APBN.
Sedangkan Keluarga penerima manfaat menerima sekitar Rp.
110 ribu. Dengan masing-masing KPM bisa membeli satu tikar
telur, beras lima kg, dan gula dan lainnya.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 27
BPNT semakin memperkecil kemungkinan KPM untuk
menyelewengkan bantuan dengan membeli rokok atau hal-hal
yang tidak sesuai. Program ini membantu ekonomi masyarakat
kategori lemah dan jika bisa ekonomi masyarakat menjadi kuat,
dengan sendirinya salah satu impian bersama mengurangi
angka kemiskinan di Kota Solok dapat terwujud. Selain itu
bantuan ini lebih bermanfaat lagi saat adanya kenaikan harga
sembako. Penerima manfaat tidak lagi merasa bingung dan
stres, karena mengingat harga sembako yang terus merangkak
naik. Kendala di lapangan biasanya karena rata- rata KPM
bertani, sehingga mereka sering lupa mengambilnya dan
mengulur waktu dalam sekali tiga bulan. Selain itu, adanya
masalah jaringan atau keterlambatan penerimaan bantuan
padahal sudah dikirim kementerian.

3.1.3. Penyediaan dan Penyaluran


Pemangku kebijakan pemerintah kabupaten/kota dan OPD
Tim koordinasi bansos pangan adalah yang dibentuk
secara berjenjang di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/
kota sampai tingkat kecamatan untuk menciptakan
harmonisasi dan sinergi dalam pelaksanaan BPNT serta
pertanggungjawabannya sehingga dapat dicapai hasil efektip.
Walikota bertanggungjawab atas pelaksanaan program bansos
pangan (BPNT) di wilayahnya dan membentuk tim kordinasi
bansos pangan. Tim tersebut nantinya melaksanakan fungsi
koordinasi, singkronisasi dan pengendalian dalam perumusan
kebijakan program bansos pangan.

Untuk itu, pada tanggal 8 Pebruari 2019, Waliko Solok


membuat Keputusan Walikota Solok Nomor: 188.45-342 Tahun
2019 tentang Tim Koordinasi Program Bantuan Pangan Non
Tunai Kota Solok Tahun 2019. Tim koordinasi bansos pangan,
dinas sosial, Korteks, TKSK, PKH serta pihak terkait lainya untuk
bekerja secara maksimal dalam melaksanakan program ini.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


28 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Tabel 3.1. Tim Koordinasi BPNT Kota Solok
No. JABATAN JABATAN DALAM TIM
1 Walikota Solok Penanggung Jawab
2 Sekretaris Daerah Kota Solok Ketua
3 Kepala Dinas Sosial Kota Solok Sekretaris
4 Asisten II Bidang Ekonomi Unit Prencanaan
Pembangunan
5 Kepala Bappeda Kota Solok Anggota
6 Pemimpin BRI KC Solok Unit Pelaksana
Penyaluran
7 Kasat Bimas Polres Solok Kota Satgas Pengamanan
Bansos
8 Dinas Sosial Kota Solok Kasi Anggota
Pemberdayaan Sosial
9 Kepala Bidang Bantuan Kesejahteraan Unit Sosialisasi
Sosial
10 Kepala KOMINFO Kota Solok Anggota
11 Kepala Bagian Perekonomian Setda Unit Pemantau dan
Kota Solok Evaluasi
12 Babinkantibmas Kecamatan Anggota
13 Kepala Dinas Pangan Kota SolokSolok Anggota
14 Kasi Bantuan Sosial Dinas Sosial Kota Unit Pengelola
Solok Pengaduan
15 Koordinator TKS (KORTEKS) Anggota
16 Koordinator TKSK Anggota
17 Koordinator PKH Anggota
Sumber: Bappeda Kota Solok, 2019.

Tim Koordinasi Bansos Pangan Kota Solok beranggotakan


unsur-unsur OPD terkait, antara lain: Sekretaris Darah Kota
Solok, Dinas Sosial, Bappeda, OPD yang membidangi urusan
pangan, serta OPD terkait lainnya. Di samping itu, Tim
Koordinasi ini juga melibatkan unsur dari beberapa instansi
vertikal yang ada di Kota Solok yaitu BPS, Bank penyalur dan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 29
lembaga lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah.
Tim Koordinasi Bansos Pangan Kota Solok dibantu oleh tim
Koordinator PKH Kota Solok, Koordinator TKS (Korteks), dan
Koordinator TKSK dalam pendampingan program BPNT.

Kelembagaan Program BPNT terdiri dari Tim Pengendali


dan pengelola program. Program BPNT di Kota Solok
dikendalikan oleh Tim Koordinasi Program Bantuan Sosial
“Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)” Kota Solok. Karena tim
tersebut melaksanakan fungsi koordinasi, sinkronisasi dan
pengendalian dalam perumusan kebijakan program bansos
pangan.

Penyedia Non-BULOG
Untuk memenuhi lima e-warong (e-warong Batang
Lembang, e-warong Maju Lancar, e-warong Harapan Bersama,
e-warong Bungo Pandang, dan e-warong Simpro Sejahtera),
ditunjuk 2 penyedia non-BULOG atau Huller (Penggilingan
Padi), yaitu: “Huller Tembok” dan “Huller Putri”. Penyedia
memastikan ketepatan waktu penyediaan dan penyaluran
disesuaikan dengan waktu pesan melalui telepon sesuai
pesanan. Dengan memastikan ketepatan jumlah, dikemas
dengan menggunakan kantong plasti yang berkualitas sehingga
dijamin tidak terjadi kebocoran. Masing-masing Huller bisa
menyediakan beras 3 sampai dengan 5 ton per bulan.

Harga disesuaikan dengan harga pasaran sehingga tidak


setabil. Bertepatan peneliti melakukan wawancara, harga beras
mencapai Rp.12.500/kg, biasanya dengan harga Rp.11.300
sampai Rp.11.500. Proses administrasi menurut pengakuan
pengelola ada kemudahan-kemudahan yang diberikan pihak
Huller ke e-warong adalah di beri tenggang waktu pembayaran
sampai 15 hari dari waktuk pengiriman.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


30 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Kesulitan yang dihadapai Huller adalah terkait dengan
cuaca, kalau cuacanya hujan tidak bisa cepat menggiling gabah
menjadi beras karena tidak mempunyai alat untuk pengeringan
gabah, hanya mengandalkan dari terik matahari. Kalau cuaca
musim hujan sehingga terjadi penimbunan gabah cukup
lama sehingga dapat menurunkan kualitas beras. Sehingga
menurunkan harga beras karena tidak sesuai kualitas, sehingga
terjadi kerugiaan cukup besar.

Apabila pemerintah menentukan pihak tertentu


sebagai penyedia dan penyalur komoditas BPNT, pasrah saja
karena rejeki sudah ada yang mengatur. Harapannya terkait
penyediaan dan penyaluran komoditas BPNT ke depan tetap
melibatkan Huller menjadi penyedia/penyalur komoditas
BPNT ke e-warong.

Gambar 3.2. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT Kota


Solok Sebelum SE Mensos

Pemerintah Kota Solok

Penyedia beras lokal (Penyedia


besar, menengah hingga kecil)

Penyalur lokal
(Agen bank, E-warong KUBE PKH

Keluarga Penerima Manfaat


(KPM) BPNT

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 31
Penyedia BULOG
Mulai bulan September 2019 atau bertepatan keluarnya
Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 01/MS/K/07/2019 tentang
Perum BULOG sebagai Penyedia Komoditas Bantuan Pangan
Nontunai, Perum BULOG Subdivre Kota Solok, menjadi
penyedia komoditas BPNT di berbagai e-warong di Kota
Solok. Perum BULOG Subdivre Kota Solok dalam hal ini
hanya menyediakan komoditas pangan beras meskipun juga
memproduksi komoditas pangan lain seperti varian Beras
Anak Daro, Beras Kita Premium, Terigu Kita, Gula Pasir Manis
Kita, Minyak Goreng.

Komoditas BPNT yang disiapkan oleh Perum BULOG


Subdivre Kota Solok, adalah beras kualitas produk petani lokal
wilayah Kabupaten/Kota Solok, seperti beras Benang Pulau,
Sokan, Anak Daro. Dengan mekanisme penyediaan komoditas
BPNT di e-warong berdasarkan pemesanan, setelah barang
sampai tujuan selalu harus menndatangani surat perjanjian
yang isinya pembayaran harus tepat waktu paling lambat
14 hari dari waktu pengiriman. Hal tersebut merupakan
kemudahan yang di berikan Perum BULOG Subdivre Kota
Solok, ke e-warong, pembayaran dibatasi paling lambat 14 hari
setelah barang sampai di tempat.

Dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 01/


MS/K/07/2019, berdampak pada pasokan beras dari huller
ke e-warong menjadi 2 sampai 3 ton setiap bulannya. Karena
di bagi dua dengan Perum BULOG Subdivre Kota Solok.
Pada kenyataan kalau penyediaan beras di lakukan sendiri
oleh Perum BULOG Subdivre Kota Solok, setiap bulannya,
menurut salah satu karyawan BULOG tidak mampu memenuhi
beras yang dibutuhkan keseluruhan e-warong. Untuk itu,
tetap menggunakan jasa penyedia non-BULOG atau huller
(Penggilingan Padi), yaitu: Huller Tembok dan Huller Putri.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


32 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Gambar 3.3. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT Kota
Solok Setelah SE Mensos

Pemerintah Kota Solok


Dinas Sosial

Pedagang beras lokal Penggilingan beras BULOG


(level besar dan (huller) lokal (level (level kab/kota,
menengah, juga kecil, melayani melayani beberapa
melayani eceran) eceran) kab/kota selain Solok)

Penyalur lokal
(E-warong agen bank, E-warong KUBE PKH)

Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BPNT

Sejak Surat Edaran Menteri Sosial tersebut


diimplementasikan, penyediaan beras dilakukan dengan sistem
dua pintu, melalui BULOG dan mitra penyedia komoditas
beras lokal Kota dan Kabupaten Solok. Persoalan dalam
logistik BULOG adalah wilayah pelayanannya yang melampaui
beberapa kabupaten-kota sehingga mereka tidak bisa
memastikan mengambil beras dari petani lokal Solok. Dalam
praktiknya, meskipun BULOG memiliki gudang penyimpanan
di Solok, namun suplai beras justru mengambil dari Cadangan
Beras Pemerintah (CBP) yang berasal dari Kabupaten Tanah
Datar, bahkan beberapa diakui berasal dari luar Sumatera Barat.
Ini menjadi masalah yang serius mengingat masyarakat Solok
memiliki budaya pangan beras yang kuat dengan penekanan
‘Beras Solok’ sebagai komoditas pangan pokok berkualitas
tertinggi se-Sumatera Barat.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 33
Oleh karena secara geografis tidak terlalu luas, hingga
saat ini Bulog masih sanggup mendistribusikan langsung
di seluruh Kota Solok. Hanya saja karena SDM dan armada
pengangkutannya belum memadai, dalam kebanyakan kasus
BULOG hanya bisa melayani satu kali distribusi ke penyalur
dalam sebulan. Ini artinya tidak ada pelayanan penukaran
terhadap keluhan komoditas beras, khususnya keluhan
kualitas. Ini tentunya berbanding terbalik dengan layanan
prima penyedia beras lokal Solok level menengah hingga kecil
yang menyanggupi permintaan ulang kekurangan beras atau
keluhan sepanjang waktu.

Sebagaimana ditemui di tempat lain, perubahan modalitas


bantuan menjadi voucher atau tunai ternyata tidak mengubah
kondisi komoditas beras yang ditawarkan BULOG. Meskipun
tidak seburuk masa-masa Rastra/Raskin, banyak KPM
responden penelitian yang masih mengeluhkan kualitas beras
BULOG. Terkadang juga dijumpai penolakan beras BULOG
oleh KPM yang didasari oleh trauma kualitas beras masa lalu
yang sangat buruk dan tidak layak konsumsi. Bagi masyarakat
Solok, beras kualitas baik, terlebih jika itu merupakan beras asli
Solok, adalah prasyarat paling penting dalam budaya kuliner
sehari-hari. Sebagian KPM mengaku kepada kami bahwa di
pencairan bulan pertama pada September 2019 sebagian besar
beras BULOG tidak layak dikonsumsi. Sebagian KPM menyebut
bahwa beras dengan kondisi seperti itu hanya layak diberikan
kepada hewan ternak.

Pemerintah Kota Solok melalui Dinas Sosial telah


mengambil inisiatif untuk tetap mengikutsertakan perusahaan
penyedia beras lokal sebagai mitra penyedia selain Bulog,
dengan rasio sekitar 40-50% melalui BULOG, dan sisanya
sekitar 60-50% melalui mitra penyedia komoditas beras
lokal Kota dan Kabupaten Solok. Berikut bagan untuk
menggambarkan mekanisme penyediaan beras di Kota Solok
setelah diimplementasikannya Surat Edaran Menteri Sosial.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


34 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
3.1.4. Pendampingan
Pemerintah Kota Solok melalui Dinas Sosial telah
melakukan pendampingan Program BPNT melalui koordinasi
berkelanjutan dengan pihak Bulog, perusahaan lokal yang
ditunjuk, Koordinator Teknis BPNT, TKPKD dan Bank Mandiri.
Dinas Sosial Kabupaten Bone menerima laporan setiap bulan
dari Koordinator Teknis BPNT terkait dengan penyaluran
dan kendala yang terjadi. Selain itu TKPKD juga melakukan
monitoring ke lapangan melalui Koordinator Teknis BPNT
untuk melihat pasokan beras Bulog dan perusahaan yang
ditunjuk sebelum dilakukannya penyaluran kepada para agen.
Hal-hal tersebut merupakan bentuk aktivitas monitoring
penyediaan pasokan BPNT yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dan Dinas Sosial Kabupaten Bone.

Petugas yang mendampingi keseluruhan proses


pelaksanaan BPNT mencakup: registrasi, penggantian data,
kontak informasi, dan pengaduan, disebut ‘pendamping’.
Pendamping BPNT setidaknya terdiri dari Koordinator Tenaga
Kesejahteraan Sosial (TKS), Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK), pendamping PKH dan asisten pendamping
PKH untuk daerah sulit. Sedangkan jumlah pendamping BPNT
di Kota Solok, ada 3 orang dan pendamping PKH ada 11 orang,
terdiri dari 1 orang koordinator, 1 orang supervisor, 2 orang
administrator database, dan 7 orang pendamping.

Dalam hal ini TKSK berperan dalam pendampingan


dan sosialisasi penyaluran BPNT kepada penerima manfaat,
termasuk penginformasian waktu pencairan dana setiap bulan
kepada KPM, pendampingan pada saat melakukan pencairan
di agen, dan monitoring ke agen juga dilakukan setiap bulannya
oleh pendamping TKSK untuk melakukan pendataan jumlah
penerima manfaat yang telah bertransaksi, jumlah penerima
manfaat yang mengalami saldo nol (0), serta penerima
manfaat yang KKS terblokir/hilang/rusak. Alur tata kelola

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 35
pendampingan Program BPNT di Kota Solok sanhat tertolong
oleh cakupan wilayah Kota Solok yang relatif kecil yang hanya
memiliki 2 kecamatan dan 13 kelurahan. Hal ini menyebabkan
proses pendampingan dan advokasi program berjalan dengan
relatif optimal.

Meskipun demikian, sebagaimana ditemui di daerah


lain, proses pendampingan membutuhkan waktu, SDM, dan
kemampuan komunikasi teknis maupun politik yang mumpuni
kepada semua pihak yang terlibat. Dalam observasi dan
wawancara mendalam terhadap sejumlah KPM, masih banyak
di antara mereka yang kurang memahami haknya seperti
berapa banyak beras dan telur yang harusnya mereka terima,
apa saja Prinsip 6T, dan seterusnya.

Meskipun pendampingan dan sosialisasi kurang optimal,


TKSK maupun Pendamping PKH, ataupun Penyelia E-warong
tetap menerima laporan dan keluhan dari penerima manfaat jika
terdapat kendala dalam penyaluran. Para tenaga pendamping
ini juga diwajibkan meminta laporan transaksi dari tiap
agen. Laporan yang diberikan oleh agen secara berkala akan
diserahkan kepada Koordinator Teknis BPNT dan diteruskan
ke Dinas Sosial melalui bidang PFM untuk dievaluasi. Jika
diperlukan laporan itu akan difasilitasi Dinas Sosial untuk
diteruskan kepada Bank Mandiri agar ditindaklanjuti sebagai
bagian dari evaluasi atas keberhasilan maupun kendala setiap
transaksi.

Peran pendamping PKH dalam penyaluran BPNT di


antaranya memastikan seluruh keluarga penerima manfaat
PKH juga mendapatkan BPNT; menerima keluhan keluarga
penerima manfaat PKH terkait BPNT terutama yang berkaitan
dengan standar 6T yang harus dicapai; dan mengedukasi serta
memberikan informasi kepada keluarga penerima manfaat
PKH mengenai segala yang yang berhubungan dengan BPNT,

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


36 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
termasuk besaran nominal dan hak penerima manfaat. Rasio
dampingan PKH dengan keluarga penerima manfaat yaitu
sebesar 1 pendamping untuk 250 keluarga penerima manfaat.
Pendamping PKH memberikan sosialisasi mengenai BPNT
pada pertemuan kelompok bulan yakni kegiatan FDS, termasuk
mengenai besaran nominal BPNT, mekanisme penyaluran
BPNT, standar 6T yang harus diterima penerima manfaat,
keleluasaan penerima manfaat dalam menentukan waktu
pengambilan komponen BPNT dan keleluasaan dalam memilih
agen. Pendamping PKH tidak dilibatkan secara langsung ketika
proses penyaluran BPNT. Banyak dari penerima manfaat non
PKH yang juga mengeluhkan kendala yang dihadapi terkait
BPNT kepada pendamping PKH padahal tanggung jawab
tersebut merupakan tanggung jawab TKSK. Terkait dengan
keluhan penerima manfaat, pendamping PKH menyampaikan
keluhan kepada TKSK dan Koordinator PKH Kabupaten,
kemudian TKSK yang meneruskannya ke Koordinator Teknis
BPNT.

3.1.5. Pemenuhan Tujuan 6 Tepat


Dalam konteks pemenuhan Tujuan 6 Tepat di Kota
Solok, khususnya sebelum masuknya BULOG, aspek penting
yang dapat menjadi good practice adalah keberhasilan dalam
membangun mitra tata-kelola yang sinergis antara penyedia
dan penyalur lokal dengan Dinsos dan pendamping. Hal ini
sekali lagi membuktikan bahwa pembenahan di sektor hulu
akan mempengaruhi hingga sektor hilir yaitu memberikan
pilihan kepada KPM dan efek ekonomi lokal yang saling
menguntungkan.

Terkait dengan prinsip ketepatan harga, kendala muncul


dari setelah pelibatan BULOG. Harga yang ditetapkan BULOG
sedikit lebih tinggi dari harga pasar yang ditawarkan pemasok
beras level besar dan menengah. Ketika ditriangulasi, BULOG

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 37
mengakui bahwa harga yang ditetapkan telah “kompetitif
sesuai dengan harga pasaran”.

Terkait dengan ketepatan kualitas, terdapat masalah yang


serius di Kota Solok sebelum dan sesudah pelibatan BULOG.
Sebelum BULOG masuk pada September 2019, selama hampir
dua tahun pemasok beras lokal yang dipilih sebagai penyedia
komoditas BPNT oleh Dinas Sosial melalui para pendamping
program telah berhasil mencapai persepsi kepuasan positi
dengan sebaran yang merata pada seluruh aktor kebijakan
hingga KPM yang kami wawancarai. Hal ini terutama karena
pemasok beras lokal, dari level besar hingga kecilnya, mampu
konsisten menyediakan pasokan beras premium lokal Solok
(Sokan Super ataupun Anak Daro) tanpa mengurangi nilai
bantuan Rp.110 ribu sehingga masih bisa disisihkan untuk
komoditas telur.

Kondisi tersebut berubah setelah masuknya BULOG,


dimana terdapat persepsi merata akan buruknya kualitas beras
BULOG, khususnya di bulan pertama pencairan meskipun
terdapat perbaikan pada bulan-bulan berikutnya. BULOG
sendiri mengakui bahwa beras yang mereka sediakan untuk
komoditas BPNT Solok memang bukan beras lokal namun
beras yang diambil dari petani Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat. BULOG beralasan bahwa Subdivre BULOG
Solok melayani beberapa kabupaten sekaligus sehingga
mustahil mengisolasi dan mendistribusikan beras dari dan
ke kabupaten tertentu. Hal ini sangat bisa dipahami secara
analisis kelembagaan mengingat BULOG memang didesain
sebagai BUMN dengan mandat pelayanan yang melampaui
batas wilayah administratif, dan bukan sebagai organisasi
pemerintah yang hadir di setiap kabupaten/kota. Akan
tetapi ini menghadirkan pertanyaan serius terhadap desain
dan implementasi BPNT sebagai program perlindungan
sosial berbasis pangan prioritas nasional. Jika kebutuhan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


38 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
penyediaan komoditas beras BPNT mengharuskan lokalitas
dimana pemerintah, petani, dan masyarakat saling mengambil
manfaat, lantas mengapa memaksakan institusi (BULOG)
yang tidak didesain untuk menyediakan dan bersinergi secara
internal-lokal.

Terkait dengan ketepatan waktu dan jumlah, pelibatan


BULOG dengan keterbatasan armada, SDM dan batasan
kewenangan wilayahnya juga menghadirkan masalah. Ini
berbanding terbalik dengan penyedia lokal yang mampu
memenuhi prinsip tepat waktu dan jumlah dengan baik justru
disebabkan oleh skalanya yang menengah/kecil sehingga faktor
kedekatan lokasi dan fleksibilitas armada/SDM mereka dalam
wilayah layanan sangat membantu bagi penyalur maupun
KPM. Pertama, bagi penyalur ini memudahkan mereka untuk
mengelola masuk dan keluarnya barang dengan lebih lancar
dan responsif. Kedua, ini tentunya menjadi terkait dengan
tujuan memberikan pilihan kepada KPM untuk mengambil
komoditas apa yang mereka butuhkan dan di waktu kapan
dibutuhkan.

Tidak responsifnya penyalur akan membuat KPM tidak


leluasa untuk memilih waktu pengambilan komponen BPNT
yang bahkan akan memengaruhi tujuan lain program. Salah
satu contoh kasus yaitu ketika terjadi keluhan salah satu
E-warong KUBE PKH atas kualitas beras BULOG yang buruk/
rusak, keterbatasan SDM dan armada membuat BULOG lambat
merespons dan berujung pada tuduhan ketidakmampuan
penyelia dan pengelola E-warong PKH dalam metode
penyimpanan karung komoditas beras. Klaim yang langsung
dibantah oleh E-warong.

Persoalan dikotomi E-warong juga penting dikaitkan


dengan pencapaian tujuan tepat waktu dan jumlah. Pada
E-warong KUBE PKH, terutama yang bekerja sama dengan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 39
penyedia lokal, tidak ada keluhan dan masalah karena faktor
kedekatan wilayah dan layanan membuat penyedia beras
lokal bisa lebih responsif terhadap kebutuhan penyalur dan
KPM. Akan tetapi pada E-warong agen bank, insentif bagi
mereka untuk memenuhi prinsip tepat waktu dan jumlah
sangat minimal. Hal ini mungkin disebabkan oleh konsumen
yang dilayani sangat banyak, tidak melulu didominasi
konsumen BPNT. Satu hal mencolok yang membedakan dalam
implementasi penyaluran komoditas di Solok adalah jika
E-warong PKH sangat berkomitmen untuk tidak memaketkan
bantuan, maka E-warong agen bank hampir pasti memaketkan.
Perbedaan ini sangat dirasakan oleh KPM secara langsung
karena terkait dengan jumlah komoditas yang tidak dapat
mereka padu-padankan sesuai kebutuhan yang tentunya
mencederai prinsip kebebasan memilih KPM.

Satu hal yang patut dijadikan contoh dari praktik baik


penyaluran komoditas BPNT di Solok, E-warong KUBE PKH
Kota Solok sangat berkomitmen untuk menjaga prinsip
keleluasaan memiliki pilihan bagi KPM. Pilihan yang diberikan
bukan hanya pemaketan dengan level berjenjang antara varian
beras dan telur, tetapi sebagaimana yang kami temukan pada
sebuah E-warong PKH di tengah Kota Solok, juga kebebasan
untuk mengambil berapa saja beras yang dibutuhkan KPM
ketika itu. KPM dimungkinkan untuk mengambil beras hingga
ukuran terkecil mulai dari 1 kg. Menurut penyelia dan pengelola
E-warong, keleluasaan yang mereka berikan sangat diapresiasi
oleh KPM, dan yang tidak kalah penting, juga tidak sampai
membuat E-warong rugi.

Dalam aspek pemenuhan ketepatan administrasi, kerja


sama penyalur dengan BULOG diwarnai tarik-ulur tentang
tenggat waktu pembayaran. BULOG mengakui bahwa
mereka masih mengalami kendala terkait sistem akuntansi
pemerintah yang tidak memperbolehkan piutang hingga

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


40 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
batas waktu tertentu. Dalam aspek komunikasi administrasi,
banyak KPM yang belum memahami hak mereka dalam
program dan terkadang mekanisme program itu sendiri. KPM
terjebak dalam rutinitas memberikan kartu kepada penyalur,
transaksi perbankan pada mesin EDC oleh petugas/penyalur,
pengembalian struk, dan seterusnya. Sebagaimana kesetaraan
posisi dan kejelasan tanggung-jawab secara administratif
diperlukan pada level pengelola program, juga diperlukan
sebuah proses yang dapat membangkitkan partisipasi dan
emansipasi KPM dalam proses administrasi yang dapat
menghadirkan manfaat program bantusn sosial pangan yang
nyata bagi KPM.

Dalam hal ketepatan sasaran, sebagaimana masih jamak


terdapat di hampir semua daerah, banyak warga miskin dan
rentan miskin yang memenuhi syarat program yang belum
terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)
sehingga tidak bisa mendapatkan BPNT. Kondisi ini tetap
muncul meskipun nama keluarga tersebut telah diusulkan
untuk dimasukkan melalui musyawarah nagari. Ini menggaris-
bawahi dinamika exclusion error, dimana kebersalahannya
sebenarnya terdapat dalam desain Proxy-Means Test (PMT)
yang mengeksklusi secara bias banyak kelompok masyarakat
miskin, sebuah pembahasan yang di luar dari cakupan tujuan
penelitian ini.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 41
3.2. Kabupaten Banyuwangi
3.2.1. Gambaran Umum

Gambar 3.4. Peta Administratif Kabupaten Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur pulau Jawa.


Dengan luas wilayah 5.782,50 km2, ia merupakan kabupaten
terluas di Pulau Jawa. Secara administratif, Kabupaten
Banyuwangi terbagi atas 24 Kecamatan, 189 Desa dan 28
Kelurahan.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


42 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Jumlah penduduk Banyuwangi berdasarkan hasil proyeksi
Sensus Penduduk 2010 (BPS, 2019) sebesar 1.609.667 jiwa pada
tahun 2018. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil, mayoritas penduduk Banyuwangi bekerja
pada sektor pertanian/peternakan/perikanan yaitu sebesar
19%. Data BPS (2019) menunjukkan sebagian besar penduduk
yaitu sebanyak 288.337 jiwa bekerja di sektor Pertanian.

Berdasarkan data statistik Provinsi Jawa Timur, potensi


lahan pertanian di Kabupaten Banyuwangi berada di peringkat
ketiga setelah Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember.
Potensi tanaman bahan makanan terbesar adalah padi, yang
menjadikan Banyuwangi termasuk dalam lumbung padi di
Provinsi Jawa Timur. Produksi padi pada tahun 2018 sebanyak
823.113 ton (BPS, 2018). Areal persawahan di Banyuwangi
mencapai 65.457 Ha atau 11,39%.

Lokasi penelitian adalah Kecamatan Singojuruh, dengan


mengambil sampel di Desa Lemahbang Kulon, dan di Desa
Gumirih. Desa Gumirih merupakan desa tambahan yang
menjadi sampel, karena berdasarkan informasi Desa Gumirih
menjadi satu-satunya Desa di Kecamatan Singojuruh yang
tidak menggunakan beras dari Perum BULOG. Kecamatan
Singojuruh memiliki luas 59,89 km2, terdiri dari 11 desa, yaitu:
Gambor, Singojuruh, Alasmalang, Benelan Kidul, Lemahbang
Kulon, Singolatren, Padang, Cantuk, Gumirih, Kemiri dan
Sumberbaru. Sebagian besar penduduk di kecamatan
Singojuruh bermatapencaharian sebagai petani (buruh tani).

3.2.2. Pelaksanaan BPNT


Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kabupaten
Banyuwangi mulai dilaksanakan pada bulan April 2018
(perluasan tahap pertama). Penyaluran BPNT menggunakan
BTN, karena PKH yang telah berjalan sebelumnya menggunakan
bank penyalur BTN.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 43
Jumlah penerima BPNT di Kab. Banyuwangi adalah
105.272 KPM, dimana 40.141 KPM merupakan KPM PKH irisan
dengan BPNT dan 65.131 KPM merupakan penerima BPNT
murni.
Terkait dengan e-warong, pada awalnya BTN menggandeng
3 Bank (BRI, Mandiri, BNI) sebagai agen penyalur, karena BTN
belum memiliki agen penyalur. Namun kemudian, hanya
mesin EDC BNI saja yang bisa melakukan transaksi, sehingga
mulai Mei 2018 hanya e-waromg dengan mesin EDC dari BNI
saja yang bisa melayani BPNT.
Pada awal akan dilaksanakannya BPNT, BUMDES ditunjuk
sebagai agen pelaksana BPNT (e-warong), karena dianggap
paling siap untuk menjadi e-warong mengingat terbatasnya
jumlah agen Bank yang ada serta tidak adanya e-warong KUBE
PKH. Sementara itu, untuk daerah kelurahan menggunakan
agen BNI 46 (laku pandai).
Pengurus Bumdes diminta menghadiri rapat di Dinas
Pemberdayaan Masyarakat (DPM), dan mendapatkan
sosialisasi bahwa BUMDES akan terlibat dalam penyaluran
BPNT. Selanjutnya terdapat sosialisasi dari BNI 46 terkait
dengan mesin EDC yang digunakan untuk BPNT.
Berbeda dengan BPNT di daerah lain, e-warong di Desa
Lemahbang Kulon dilaksanakan oleh BUMDES Laskana,
yang telah berdiri sejak Januari 2018. Selain melaksanakan
penyaluran BPNT, BUMDES juga memiliki usaha lainnya
seperti jasa fotokopi, penyewaan mainan anak, serta menjual
barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Hal ini sebagaimana disebutkan seorang pengurus
BUMDes, “Saya tidak mengerti awalnya terkait dengan BPNT
ketika ada sosialisasi. Saya justru mengerti ketika ngobrol-
ngobrol dengan kawan-kawan. Lalu setelah acara selesai, kami
mencari-cari supplier beras.”

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


44 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
3.2.3. Penyediaan
BUMDES selaku e-warong menyediakan beras dan
telur sesuai dengan ketentuan, namun demikian dilakukan
pemaketan agar lebih mudah dan cepat saat distribusi. Beras
yang diambil merupakan beras semi premium, karena tidak
ingin mendapatkan komentar negatif dari masyarakat.

Terkait dengan supplier, BUMDES menggunakan


penggilingan lokal yang ada di Desa Lemahbang Kulon (terdapat
3 penggilingan lokal). Awalnya Kepala Desa menginginkan agar
suppliernya dilakukan secara bergilir, namun karena sistem
pembayaran yang digunakan adalah sistem konsinyasi akhirnya
hanya ada 1 penggilingan yang mau bekerja sama dan akhirnya
menjadi supplier BUMDES untuk beras dan telur. Kerja sama
antara BUMDES dengan penggilingan tersebut dalam surat
perjanjian hutang piutang, yang menyatakan bahwa pihak
BUMDES akan membayar beras dan telur secepatnya 2 hari dan
paling lambat 7 hari setelah pendistribusian kepada penerima
manfaat.

Sementara itu, untuk BUMDES di Desa Gumirih, pemilihan


pemasok beras merupakan keputusan Kepala Desa yang
menginginkan agar menggunakan penggilingan dengan skala
menengah ke bawah, dan dipilih Perusahaan Penggilingan
Padi “Sumber Makmur” di desa Singolatren. Di Desa Gumirih
tidak ada penggilingan. Sementara itu, untuk telur diambilkan
dari daerah Songgon (berbeda kecamatan), karena memiliki
kualitas yang baik (fresh).

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 45
Gambar 3.5. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT
Banyuwangi Sebelum SE Mensos

Pemerintah Daerah

Penyedia lokal
(Penggilingan padi, Supplier telur)

Penyalur lokal
(BUMDes, E-warong)

Keluarga Penerima Manfaat


(KPM) BPNT

Untuk memastikan bahwa harga serta jumlah komoditas


BPNT yang disediakan oleh BUMDES wajar dan tidak berbeda
jauh, sebelum penyaluran dilakukan rapat koordinasi di
kecamatan untuk membahas hal tersebut. Hal ini menunjukkan
peran Kecamatan sebagai koordinator dan melakukan fungsi
pengendalian dalam pelaksanaan BPNT.
Dinamika Penyediaan Komoditas BPNT Pasca-Surat Edaran
Mensos
Surat edaran Menteri Sosial tentang pelibatan Perum
BULOG dalam pelaksanaan BPNT, dipahami Dinas Sosial
sebagai keharusan, yang disambut dengan baik, karena melihat
dari pelaksanaan BPNT sebelumnya yang dinilai menjadi ajang
perlombaan kualitas beras sehingga terjadi ketidaksamaan
jumlah kg beras yang diterima KPM serta mengesampingkan
telur karena sebagian besar nilai bantuan digunakan untuk
membeli beras.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


46 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Penerjemahan kebijakan ini ditanggapi berbeda sesuai
dengan konteks dan kebutuhan daerah. Nuansa perbedaan
penyediaan komoditas BPNT antara sebelum dan sesudah
SE Menteri Sosial tersebut sebagaimana disampaikan Kepala
Dinas Sosial Banyuwangi,

“Awal adanya BPNT bebas menggunakan beras apapun.


Kita menggunakan beras premium, ada euforia. Apik-
apikan beras. Jadi ada yang dapat beras saja, telur nggak
dapat. Ada yang dapat telur 3. Gizinya nggak dapat.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tidak harus
beras yang top. (Kemudian) ada edaran bahwa kita harus
menggunakan beras BULOG. Lalu kami kumpulkan Mitra
Kerja Penggilingan - MKP untuk bekerja sama dengan
kami. Ada komitmen dari MKP untuk kerja sama simbiosis
mutualisme (saling menguntungkan). Mereka kasih beras
ke Bulog, ambil juga dari Bulog.”
Dalam perjalanannya Surat Edaran Menteri Sosial terkait
dengan penggunaan beras BULOG ditindaklanjuti Dinas Sosial
melalui surat Kepala Dinas Sosial nomor 460/2013/429.111/2019
tanggal 18 September 2019 kepada Camat se-Kabupaten
Banyuwangi, perihal Program BPNT 2019, yang menyebutkan:
1. Tenaga pendamping Bantuan Sosial Pangan Non Tunai
(BPNT) tingkat kecamatan adalah Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan (TKSK).
2. Sumber Beras Program Bantuan Sosial Pangan Non
Tunai (BPNT) menggunakan Beras dari BULOG dengan
mempertimbangkan 6T (tepat sasaran, tepat waktu, tapat
harga, tepat jumlah, tepat kualitas dan tepat administrasi).
3. Pencairan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dilakukan di
tempat agen/e-warong yang ditunjuk oleh Himbara (BTN)
dan mengetahui Dinas Sosial Kabupaten Banyuwangi.

Selanjutnya, pada tanggal 30 September 2019 dilaksanakan


rapat dengan peserta Dinas Sosial Kabupaten Banyuwangi,

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 47
Perum BULOG Kantor Cabang Banyuwangi, Koordinator TKSK
Kab. Banyuwangi, Kortek TKSK Kab. Banyuwangi, TKSK se-
Kabupaten Banyuwangi dan MKP/ Supplier. Pertemuan ini
menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Sesuai Surat Edaran Menteri Sosial RI No. 01/MS/K/07/2019
tanggal 15 Juli 2019 tentang Perum BULOG sebagai
penyedia komoditas Bantuan Pangan Non Tunai, maka
diputuskan dan disepakati bersama bahwa sumber beras
untuk program BPNT menggunakan beras medium dari
Perum BULOG.
2. Sebagai pelaksana di lapangan untuk penyaluran beras
BPNT adalah wewenang petugas TKSK se Kabupaten
Banyuwangi berdasarkan SK Dinas Sosial Kab. Banyuwangi
Nomor 460/179/429.111/2019 tanggal 25 Januari 2019
perihal penetapan pendamping Bantuan Pangan Non
Tunai tahun 2019.
3. Dalam pelaksanan program BPNT, pemasok adalah
sebanyak 21 supplier yang telah ditetapkan bersama oleh
Dinas Sosial, Perum BULOG, Koordinator TKSK dan TKSK
se-Kabupaten Banyuwangi pada hari Kamis tanggal 03
Oktober 2019.
4. Para supplier dalam penebusan beras kepada Perum
BULOG dengan cara mengajukan permohonan pembelian
beras sesuai kuantum degan sistem pembayaran tunai
melalui Bank BRI.

Para penyedia sebelum menyalurkan beras BPNT ke agen


penyalur berkewajiban:
a. Hanya menggunakan/mendistribusikan beras yang diambil
di Gudang Perum BULOG Cabang Banyuwangi.
b. Bersedia mengolah kembali (minimal dengan melaksanakan
proses mixing dan kebi) beras medium dan atau premium
Perpadi sebelum disalurkan, sesuai komposisi yang telah
ditentukan Perum BULOG cabang Banyuwangi.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


48 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
c. Dalam proses pengolahan komoditas beras untuk BPNT,
tidak menambahkan beras lain (broken, menir, dsb) selain
beras dari Perum BULOG.
d. Harga penjualan beras medium untuk program BPNT,
sebesar Rp.9.100,-/Kg (10 Kg = Rp.91.000,-) kepada agen
BNI/e-warong/RPK/desa yang telah ditentukan sesuai HET
Mendag No. 718/M-AG/SD/7/2019.
e. Bertanggungjawab terhadap pendistribusian komoditas
beras untuk BPNT sampai dengan Titik Distribusi sesuai
wilayah yang telah disepakati bersama.
f. Bertanggungjawab terhadap kualitas beras yang disalurkan
di wilayah masing-masing dan wajib memastikan beras
yang disalurkan tidak berhama, tidak berdebu dan telah
melalui proses kebi.
g. Bertanggungjawab terhadap kelancaran penyaluran beras
BPNT di wilayah masing-masing yang telah disepakati,
termasuk untuk berkoordinasi dengan pihak eksternal
seperti TKSK, Desa, Kecamatan dan lain-lain.
h. Jika melanggar poin-poin di atas, maka bersedia menerima
segala sanksi dari Perum BULOG Cabang Banyuwangi dan
Dinas Sosial Kab. Banyuwangi.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 49
Gambar 3.6. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT
Banyuwangi Setelah SE Mensos

Pemerintah Daerah

Penyedia lokal 1 (MKP)

Penyedia lokal 2 (Bulog Banyuwangi)

Penyedia lokal 3 (MKP, Supplier Telur)

Penyalur lokal 1
(BUMDes, E-warong, E-warong
KUBE PKH)

Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BPNT

Perum BULOG di Banyuwangi memiliki 5 gudang, dan


dalam pengadaan beras Perum BULOG memiliki 22 suplier
dimana kebanyakan merupakan MKP. Ketika ada surat edaran
dari Menteri Sosial terkait dengan Perum BULOG sebagai
penyedia BPNT, Bupati memanggil BULOG dan meminta
agar beras yang disalurkan Perum BULOG “jangan sampai
mendapatkan complain dari masyarakat”. Hal ini sejalan juga
dengan instruksi dari Perum BULOG pusat agar menjaga
kualitas beras. Oleh karenanya sistem FIFO (First In First
Out) tidak digunakan lagi. Beras yang disalurkan untuk BPNT
bukanlah beras yang sudah lama disimpan (stock lama).
Dalam pelaksanaan BPNT, ditunjuk MKP untuk menebus
beras BULOG, memproses menjadi kemasan 10 Kg dan dengan
kualitas yang bagus serta menyalurkannya ke e-warong/
BUMDES.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


50 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Dalam pelaksanaan BPNT, MKP akan membeli beras
sesuai dengan pesanan dari e-warong/BUMDES ke Perum
BULOG. Beras tersebut selanjutnya diproses agar kualitasnya
menjadi bagus (menggunakan mesin kebi) dan selanjutnya
disalurkan ke BUMDES/e-warong. Terdapat 21 MKP yang
ditunjuk menjadi mitra kerja sama Perum BULOG, dan telah
diputuskan pembagian wilayah antar-MKP tersebut. MKP
yang berada di Kecamatan Singojuruh merupakan perusahaan
dengan skala besar yang dilengkapi mesin modern (PT Ratu
Maura Abadi). Menurut MKP tersebut, tidak semua MKP
memiliki alat selengkap itu sehingga saat memproses beras
BULOG hasilnya ada yang kurang bagus. MKP tersebut juga
memproses beras BULOG untuk BPNT untuk wilayah Bali.

Dalam pelaksanaan BPNT, MKP tersebut memproses


beras yang dibeli dari Perum BULOG dengan mesin kebi dan
mencampurkan dengan beras yang dimiliki oleh MKP dengan
perbandingan 1:1, sehingga beras yang yang dihasilkan untuk
BPNT menjadi beras yang bagus (lebih putih dan butiran patah
maksimal 20%). Sebelum adanya BPNT, pihak MKP sudah
menjadi penyedia BPNT namun dengan beras yang dimiliki
MKP tersebut.

Pihak MKP menyatakan, dengan melakukan pemrosesan


beras BULOG maka keuntungan yang didapatkan sangat sedikit
namun karena sudah menjadi komitmen pemilik MKP yang
merupakan Ketua Perpadi (Perhimpunan Pengusaha Padi)
se-Banyuwangi, maka hal tersebut tetap dilaksanakan dengan
mengedepankan kualitas yang baik. Pihak MKP membeli beras
dari Perum BULOG secara cash dengan harga Rp.8.100/kg dan
menjual ke BUMDES/e-warong dengan harga Rp.9.100,-/Kg.

Dalam implementasinya, meski sudah ada surat dari Dinas


Sosial kepada para Camat namun terdapat beberapa desa yang
tidak melaksanakannya dan tetap menggunakan supplier yang

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 51
lama. Salah satu dari desa tersebut adalah Desa Gumirih, karena
Kepala Desa beranggapan bahwa surat edaran tersebut sifatnya
adalah himbauan sehingga bisa dilaksanakan dan bisa juga
tidak. Keputusan tersebut didasarkan pada pendapat bahwa
pelaksanaan BPNT telah berjalan dengan baik, tanpa adanya
keluhan/ complain dari warga jadi tidak perlu ada perubahan.

3.2.4. Penyaluran
Penyaluran bantuan BPNT ke rekening KPM, sebagaimana
telah dijelaskan di awal dilaksanakan oleh BTN. Sementara itu,
dalam pemanfaatan bantuan BPNT hanya bisa dilakukan di
e-warong yang merupakan agen BNI. Meski terdapat 2 Bank
yang berperan dalam pelaksanaan penyaluran bantuan, pada
saat KPM melakukan transaksi tidak ada biaya yang dikenakan.
Pihak BTN menurut informasi dari pihak Dinas Sosial akan
membuat agen untuk penyaluran BPNT juga, dan meminta
pihak Dinas Sosial melakukan pemetaan terkait dengan agen
yang akan dibentuk.

Penyaluran komoditas BPNT di Banyuwangi, dilakukan


di BUMDES untuk wilayah desa sementara itu untuk wilayah
kelurahan dilakukan oleh agen BNI 46. Sesuai dengan Pedoman
Umum, BUMDES tidak bisa menjadi e-warong dan hal ini sudah
disampaikan oleh Dinas Sosial melalui surat ke kecamatan
pada tanggal 30 Juli 2018 dan agar pihak Desa memfasilitasi
terbentuknya e-warong dengan pelibatan KPM sebagai
pengurusnya. Terkait dengan hal tersebut, pihak BUMDES
melakukan hearing ke DPRD meminta agar Dinas Sosial tetap
melibatkan BUMDES sebagai penyalur komoditas BPNT.

Apabila melihat data agen BNI 46 di Kabupaten Banyuwangi


yaitu 139, sementara terdapat 189 Desa dan 28 Kelurahan, yang
artinya terdapat desa/kelurahan yang tidak memiliki e-warong.
Pada kenyataannya terdapat agen penyalur yang tidak memiliki
mesin EDC sehingga, mesin EDC yang berkeliling.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


52 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Menurut keterangan dari Korteks, kesulitan untuk menjadi
KUBE PKH sebagai e-warong adalah ketentuan dari pihak
Perbankan yang mengharuskan adanya surat rekomendasi dari
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten. Selain itu, harus sudah
memiliki usaha yang berjalan selama 1 tahun.
BUMDES di Desa Lemahbang Kulon melayani 258 KPM
dan di Desa Gumirih 380 KPM. Pada saat pencairan manfaat
BPNT, KPM datang ke Balai Desa dan mendapatkan pengarahan
dari Kepala Desa sebelum melakukan transaksi BPNT. Bahkan
di Desa Gumirih didahului dengan pembacaan ayat suci Al
Quran, yang menurut Kepala Desa sebagai pengingat agar KPM
selalu bersyukur atas bantuan yang mereka dapatkan.
Komoditas BPNT yang didapatkan melalui BUMDES sudah
dipaketkan, untuk Desa Lemahbang Kulon KPM mendapatkan
beras 8 Kg kualitas semi premium dan telur sebanyak 10 butir.
Namun jumlah ini berubah mengikuti harga beras dan telur di
pasaran. Pihak BUMDES mengaku mendapatkan keuntungan
Rp1.000/kg dari beras dan telur yang dijual di BPNT. Namun
demikian mereka tetap menjaga agar harga yang ditetapkan
untuk BPNT tetap lebih murah dari pada harga di toko, sehingga
margin keuntungan yang didapatkan bisa berubah-ubah.
Setelah beralih ke beras dari Perum BULOG, pengurus
BUMDES mengaku tidak berani mengambil keuntungan
banyak karena kualitas beras yang berbeda dengan sebelumnya.
Sebelum peralihan, mereka telah melakukan sosialisasi
kepada KPM bahwa penyedia beras selanjutnya adalah
Perum BULOG, agar apabila terjadi keluhan atas beras yang
diterima KPM tidak ditujukan ke penyedia awal. Pada awalnya
ketika disosialisasikan terdapat penolakan dari KPM karena
penggunaan beras BULOG, namun ketika beras BULOG yang
disalurkan melalui MKP datang baik pihak BUMDES ataupun
KPM melihat adanya perbaikan kualitas beras BULOG dan
dikatakan 10-12 dengan beras sebelumnya.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 53
3.2.5. Pendampingan
Menurut Pedoman Umum BPNT, dalam pelaksanaan
BPNT terdapat beberapa pendamping, yaitu: (1) Korteks, (2)
TKSK, dan (3) Pendamping PKH.

Meskipun dalam pelaksanaannya ketiga pendamping


tersebut melakukan tugasnya sebagai pendamping BPNT,
terdapat friksi karena pihak Dinas Sosial Kabupaten melihat
bahwa pendamping BPNT adalah TKSK (sebagaimana dalam
Surat Dinas Sosial kepada Para Camat se Banyuwangi bahwa
TKSK ditugaskan sebagai pendamping BPNT). Hal tersebut
tidak sesuai dengan Permensos Nomor 11 tahun 2018 tentang
Penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai. Dalam pasal 33
disebutkan bahwa pendamping sosial bantuan pangan adalah:
pendamping PKH untuk KPM BPNT yang menjadi KPM PKH
dan TKSK atau pendamping sosial lainnya untuk KPM BPNT
non KPM PKH.

Dinas Sosial memegang SK TKSK sebagai pendamping


BPNT dari Kementerian Sosial sebagai dasar dalam
penetapan TKSK sebagai pendamping BPNT. Terkait dengan
pendampingan oleh Pendamping PKH, dianggap sebagai
kewajiban moral atas KPM PKH yang menjadi dampingannya.

Dalam FGD, didapatkan informasi bahwa di beberapa


tempat hal tersebut menimbulkan friksi antara TKSK dengan
pendamping PKH. Untuk kecamatan Singojuruh, terdapat
koordinasi yang baik antara TKSK dan Pendamping PKH,
dimana pendamping PKH turut membantu memfasilitasi
apabila KPM PKH mengalami kesulitan dalam pencairan BPNT,
selain melakukan sosialisasi terkait BPNT.

Sejak adanya penunjukan Perum BULOG sebagai supplier,


para pendamping (TKSK dan Korteks) mengaku beban
pekerjaan menjadi bertambah yaitu melakukan pengecekan ke

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


54 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
MKP sebelum beras disalurkan. Hal ini berbeda dengan ketika
Perum BULOG tidak dilibatkan, mereka hanya mengecek saat
penyaluran saja dan melihat bagaimana kualitas beras dan
telur yang disediakan oleh e-warong.

Adanya penunjukan Perum BULOG sebagai penyedia


komoditas BPNT menurut Korteks dan TKSK, memudahkan
mereka untuk mengecek jumlah telur yang didapat KPM, karena
harga beras sudah diketahui. Hal ini dapat meminimalkan
terjadinya kecurangan oleh e-warong. Dalam WhatsApp
Group yang terdiri dari para pengurus BUMDES, TKSK selalu
menginformasikan harga telur di pasaran serta berapa telur
yang seharusnya didapatkan oleh KPM.

3.2.6. Pemenuhan Tujuan 6 Tepat


Sebelum Surat Edaran Mensos
Masih adanya ketidaktahuan di KPM terkait dengan nilai
bantuan BPNT, menyebabkan kontrol KPM terkait dengan
Tepat Jumlah dan Harga sangat kurang. BPNT dianggap sebagai
bantuan dari pemerintah dan harus disyukuri, sehingga apapun
itu jumlah dan kualitasnya tidak dipermasalahkan.

Dari sisi e-warong (BUMDES) sebelum adanya penetapan


penyedia BPNT, dalam penetapan harga dilakukan survei
dahulu ke toko-toko yang menjual beras sehingga harga yang
ditetapkan tidak melebihi bahkan jauh lebih murah. Demikian
halnya untuk telur. KPM menyatakan bahwa harga beras dan
telur yang didapatkan melalui BPNT lebih murah apabila
dibandingkan dengan harga di toko.
Setelah Surat Edaran Mensos
Hal yang menarik, terkait dengan komoditas Beras yang
disediakan e-warong ketika sudah menggunakan BULOG, KPM
menyatakan tidak bisa membandingkan harga beras dengan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 55
harga di toko karena tidak ada beras dengan kualitas seperti itu
di toko.

Selain itu, salah seorang KPM menyatakan bahwa beras


dari Perum BULOG secara kasat mata memang bagus (berwarna
putih, butiran patah yang sedikit), namun demikian ketika
dimasak rasanya kurang enak (agak keras). Mereka menduga
hal ini disebabkan beras dari Perum BULOG bukan merupakan
beras baru (tidak fresh). Namun karena KPM menganggap
bahwa yang mereka dapat adalah bantuan, maka mereka tetap
mensyukurinya.

3.3. Kabupaten Bone


3.3.1. Gambaran Umum

Gambar 3.7. Peta administratif Kabupaten Bone

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


56 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Kabupaten Bone terletak di Provinsi Sulawesi Selatan
dengan luas wilayah sebesar 4559 km2 yang terbagi menjadi
27 Kecamatan dengan 44 kelurahan dan 328 desa di dalamnya.
Lahan di pertanian di Kabupaten Bone mayoritas digunakan
sebagai lahan pertanian padi dengan luas sebesar 240.695 ha
yang dapat memproduksi 1.393.147 ton padi per tahun (BPS,
2019). Kabupaten Bone memiliki penduduk berjumlah 754.894
jiwa dengan 300.000 lebih jiwa merupakan warga miskin. Mata
pencarian warga miskin di Kabupaten Bone bervariasi, mulai
dari petani, buruh tani, pembuat tikar, penjual kue pasar, hingga
buruh bangunan. Anggota keluarga mereka dalam satu rumah
rata-rata sebanyak 5-7 anggota. Banyaknya anggota keluarga
membuat kebutuhan rumah tangga juga tinggi.

3.3.2. Pelaksanaan BPNT


Penyelenggaraan BPNT di Kabupaten Bone dimulai
sejak bulan Mei 2018. Sebelum diselenggarakannya BPNT,
Dinas Sosial Kabupaten Bone diberikan himbauan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Bone di bulan Maret 2018
bahwa akan ada pelaksanaan program BPNT pada tahun 2019,
namun pada bulan Mei 2018 dilakukan persiapan sebelum
diadakannya penyelenggaraan seperti sosialisasi kepada KPM
dan penunjukan agen oleh Bank Himbara, dalam hal ini yakni
Bank Mandiri. Tim Koordinasi Bantuan Sosial Pangan (Tikor
BPNT) di Kabupaten Bone dibentuk untuk mempermudah
koordinasi penyediaan dan penyaluran. Tikor BPNT dikepalai
oleh Sekretaris Daerah dengan Kepala Dinas Sosial sebagai
Sekretaris Tikor dan Kepala Bidang PFM sebagai supervisor.
Kemudian pelaksanaan penyaluran BPNT kepada KPM ditinjau
langsung oleh Koordinator Teknis BPNT dan TKSK.

Peran Kecamatan dalam penyaluran BPNT adalah


sebagai pengawas penyaluran, dalam artian memastikan
bahwa seluruh warga miskin di Kecamatan mendapatkan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 57
haknya atas BPNT. Kecamatan berkoordinasi dengan TKSK
untuk memastikan bahwa agen memenuhi standar 6T dalam
proses penyaluran kepada penerima manfaat. Kecamatan juga
memfasilitasi Musyawarah Desa dan pertemuan agen setiap
Bulan, guna mendengarkan keluhan dan laporan penerima
manfaat dan agen setiap bulannya. Kecamatan juga mendorong
dilakukannya verifikasi dan verivali data oleh operator desa
dan TKSK untuk pembaruan data BDT/ DT KS.

3.3.3. Penyediaan
Sejak bulan Agustus 2019, penyediaan beras BPNT
di Kabupaten Bone dilakukan oleh Bulog karena adanya
Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 1/MS/K/07/2019 yang
ditranslasikan oleh Pemerintah Daerah dan Dinas Sosial
Kabupaten Bone sebagai keharusan Bulog mengambil alih
penyediaan beras BPNT di seluruh wilayah Kabupaten Bone.
Sebelumnya, agen mengambil pasokan beras dari berbagai
penyalur kecil dan besar di wilayah Kabupaten Bone dan
Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Berikut bagan yang
dapat menggambarkan penyediaan beras di Kabupaten Bone
sebelum adanya Surat Edaran Menteri Sosial.

Sebelum adanya surat edaran, agen BPNT dapat bebas


mengambil pasokan beras dari penyalur manapun, termasuk
dari penyalur-penyalur kecil di tingkat desa ataupun dari
penyalur lokal besar. Menurut pendapat para agen dan
pendamping, setelah adanya Surat Edaran Menteri Sosial yang
diinterpretasikan oleh Dinas Sosial sebagai himbauan untuk
melakukan penyediaan dengan sistem satu pintu melalui
Bulog, banyak penyalur-penyalur lokal kecil yang usahanya
lama kelamaan mati. Hal ini membuat keresahan di tingkat
masyarakat karena usaha kecil menjadi terbatasi.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


58 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Gambar 3.8. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT Bone
Sebelum SE Mensos

Pemerintah Daerah

Penyedia beras lokal Penyedia beras luar Bone


(Penyedia besar, Penyedia kecil) (Supplier Kab. Sidrap)

Penyalur lokal
(Agen bank, warung kelontong)

Keluarga Penerima Manfaat


(KPM) BPNT

Sejak Surat Edaran Menteri Sosial tersebut


diimplementasikan, penyediaan beras dilakukan dengan
sistem satu pintu melalui Bulog. Selama ini Bulog mengambil
beras dari petani lokal yang tersebar di wilayah Kabupaten
Bone. Dalam proses penyediaan, kualitas dan kuantitas beras
yang disalurkan oleh Bulog selalu diperiksa oleh Tim Koordinasi
Penyelenggaraan BPNT Kabupaten. Hingga saat ini Bulog baru
sanggup mendistribusikan langsung di dua Kecamatan, untuk
25 Kecamatan lainnya Bulog bekerja sama dengan perusahaan
penyedia beras lokal. Bulog belum mampu mendistribusikan
sendiri beras akibat armada pengangkutannya belum memadai
dan kemasan beras yang hanya terdapat per 50 kg, sedangkan
penerima manfaat hanya bisa membeli sebanyak maksimal 10 kg.
Jika Bulog mau mengadakan kemasan 10 kg harus mengajukan
permohonan ke Bulog Pusat yang prosesnya memakan waktu
dan belum tentu dikabulkan. Banyak pula warga miskin yang
menolak beras dari Bulog akibat adanya trauma masa lalu yakni
beras yang disediakan Bulog berkualitas sangat buruk hingga

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 59
tidak layak konsumsi. Adanya beberapa tantangan tersebut,
membuat Pemerintah Daerah dan Dinas Sosial Kabupaten
Bone mengambil inisiatif untuk mengikutsertakan perusahaan
penyedia beras lokal sebagai mitra Bulog. Berikut bagan untuk
menggambarkan mekanisme penyediaan beras di Kabupaten
Bone setelah diimplementasikannya Surat Edaran Menteri
Sosial.

Gambar 3.9. Skema Penyediaan dan Penyaluran BPNT Bone


Setelah SE Mensos

Pemerintah Daerah

Penyedia beras level provinsi/nasional

Pedagang beras lokal Petani lokal BULOG Bone

Penyalur lokal
(Agen Bank di desa)

Keluarga Penerima Manfaat


(KPM) BPNT

Perusahaan penyedia beras lokal ditunjuk oleh Pemerintah


Daerah Kabupaten Bone melalui lelang tender. Terdapat tiga
perusahaan yang sebelumnya mengajukan penawaran kepada
Pemerintah Daerah, setelah dilakukan proses asesmen, satu
perusahaan beras lokal ditunjuk karena dianggap mampu
menjadi mitra distribusi Bulog. Proses asesmen dilakukan oleh
Sekda melalui pihak ketiga yaitu akuntan publik untuk menilai
stabilitas keuangan perusahaan, transaksi ritel, dan komponen
administrasi lainnya. Selain itu juga Sekda menilai kesiapan
sarana dan prasarana distribusi yang dimiliki oleh perusahaan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


60 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
seperti gudang penyimpanan beras, pabrik beras dan variasi
armada pengangkut beras hingga ke daerah-daerah sulit akses.
Setelah dinilai perusahaan siap, perusahaan berkoordinasi
dengan Bulog untuk mendistribusikan beras. Kontrak kerja
sama diperbarui setiap tahun melalui proses lelang tender
ulang. Setelah ditunjuk sebagai mitra Bulog, perusahaan
beras lokal tersebut memberikan sosialisasi kepada agen dan
penerima manfaat mengenai sistem penyediaan beras satu
pintu melalui Bulog dan perusahaan beras lokal tersebut.

Perusahaan beras lokal yang ditunjuk memiliki lahan


pertanian beras sendiri dan bekerjsama dengan petani binaan.
Selain itu, mereka juga memiliki pabrik beras untuk mengolah
hasil pertanian mereka. Namun mereka juga mengambil
sebagian beras dan gabah ke petani lokal di wilayah Kabupaten
Bone. Perusahaan beras lokal yang ditunjuk membantu Bulog
mendistribusikan beras hingga ke remote areas, untuk wilayah
yang melewati sungai dan sulit akses, mereka menggunakan
perahu taksi (ketingting). Harga yang diberikan perusahaan
beras lokal yang ditunjuk dan Bulog kepada agen, sama rata
dan tidak boleh dan tidak pernah di atas Harga Eceran Tertinggi
(HET). Para agen dikenakan harga di bawah pasar. Selain itu,
harga sama rata membuat adanya subsidi silang untuk biaya
distribusi ke daerah yang sulit akses. Biaya distribusi untuk
desa yang jauh ditanggung dari selisih distribusi ke wilayah
yang dekat dari pabrik dan gudang beras milik perusahaan
beras lokal yang ditunjuk dan Bulog. Dikarenakan Bulog belum
mampu menyediakan kemasan beras sebesar 5 kg, 6 kg, ataupun
10 kg, perusahaan beras lokal yang ditunjuk menyediakan
kemasan pada besaran tersebut. Ke depannya, perusahaan
mengusulkan kepada Bulog untuk memberikan label Bulog
pada kemasan beras meskipun beras yang didistribusikan
berasal dari perusahaan tersebut, hal ini untuk membangun
kembali image baik Bulog di tingkat masyarakat. Selain itu,
perusahaan beras lokal yang ditunjuk juga mengusulkan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 61
kepada Dinas Sosial untuk menempelkan harga ritel per kg
beras di warung milik agen agar penerima manfaat mengetahui
jumlah beras dan telur yang menjadi haknya. Mulai bulan
Januari 2020, perusahaan beras lokal yang ditunjuk juga akan
mulai menggunakan aplikasi ritel yang dikembangkan sendiri
untuk meminimalisir kecurangan. Penggunakan aplikasi ritel
ditujukan agar agen pemesan, banyak barang yang dipesan,
berhasil atau tidaknya transaksi akan terdata otomatis di dalam
aplikasi.

Kemitraan antara Bulog dan perusahaan beras lokal yang


ditunjuk belum dilakukan berdasarkan perjanjian formal,
Bulog hanya mendapatkan surat arahan dari Sekda untuk
bekerja sama dengan perusahaan beras lokal yang ditunjuk
dalam mengimplementasikan sistem penyediaan beras satu
pintu. Perjanjian formal antara Bulog dan perusahaan dengan
agen juga belum diadakan, ke depannya ketiga pihak akan
mengadakan perjanjian tertulis berupa MoU yang diperbarui
setiap tahun agar hak dan kewajiban mereka menjadi jelas.

3.3.4. Penyaluran
Di Kabupaten Bone, penyaluran BPNT kepada penerima
manfaat dilakukan melalui e-warong yang ditunjuk oleh Bank
atau yang biasa disebut oleh penduduk Bone sebagai agen,
belum ada e-warong KUBE PKH yang ditumbuhkan di wilayah
ini karena belum siapnya sarana dan prasarana. Di Kabupaten
Bone saat ini terdapat 400 agen yang melaksanakan penyaluran
BPNT. Terdapat 1-2 agen di setiap desa. Agen ditunjuk oleh Desa
atau dapat mengajukan ke Bank Mandiri untuk ikut serta dalam
proses seleksi. Bank Mandiri dalam hal ini mengikutsertakan
mahasiswa di sekitar Bone untuk melakukan asesmen terhadap
pihak-pihak yang ditunjuk oleh Desa atau mendaftarkan diri.
Keikutsertaan mahasiswa disebabkan wilayah Kabupaten
Bone yang sangat luas sehingga Bank Mandiri tidak dapat

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


62 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
melakukannya dengan hanya memanfaatkan pegawai mereka
dalam proses asesmen.

Selain itu juga, dalam proses asesmen dan perekrutan,


pendamping yaitu TKSK diikutsertakan guna memberikan
masukan kepada Bank Mandiri mengenai pihak-pihak mana
saja yang lolos dari persyaratan yang ada di dalam Pedoman
Umum Kementerian Sosial terkait BPNT. Syarat yang diberikan
oleh pihak yang ingin menjadi agen yaitu harus memiliki usaha
kelontong sebelumnya dan bukan merupakan aparat desa atau
pemerintahan. Setelah lolos seleksi dan ditunjuk sebagai agen
penyalur BPNT, agen diberikan sosialisasi oleh Bank Mandiri
terkait hal teknis dalam penyaluran seperti nominal penyaluran
ke dalam kartu penerima manfaat dan penggunaan mesin EDC.

Agen mendapatkan keuntungan dari selisih harga, harga


yang diberikan penyalur di bawah harga pasar sehingga
masih menguntungkan bagi agen. Selain itu, Bank Mandiri
memberikan insentif kepada agen sebesar 1.000 rupiah per
transaksi yang berhasil dilakukan. Dalam hal penyaluran
BPNT, agen memberikan pilihan terbatas kepada penerima
manfaat terkait komponen BPNT. Pilihan yang diberikan yakni
mengambil 10 kg beras dan 6 butir telur, atau 3 rak (90 butir)
telur, atau 6 kg beras dengan 1 rak (30 butir telur). Pilihan
dapat dikatakan terbatas karena pilihan-pilihan tersebut
diberikan oleh agen ketika komponennya masih mencukupi,
jika tidak mencukupi maka kebanyakan penerima manfaat
akan mendapatkan 6 kg beras dan 1 rak (30 butir) telur. Namun,
hal ini terkecuali jika di bulan menjelang adanya Maulid,
permintaan telur akan meningkat sehingga penyediaan
telur akan disediakan lebih karena adanya tradisi Male yaitu
memberikan bingkisan berisi telur kepada tamu yang datang
berkunjung ke rumah.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 63
Jika penerima manfaat mengeluh akibat komponen BPNT
yang diterima rusak atau busuk, maka agen akan menggantinya
sebagai garansi dengan yang lebih baik. Agen juga memberikan
ruang bagi penerima manfaat untuk memilih waktu dalam
mengambil komponen BPNT. Agen hanya memberikan
informasi ketika bantuan sudah dapat dicairkan, biasanya
di akhir bulan, namun penerima manfaat diperbolehkan
mengambilnya kapanpun mereka mau. Mekanismenya
yakni agen menelepon salah satu KPM, KPM tersebut akan
memberikan informasi kepada KPM lain, kemudian mereka
akan datang bersama-sama ke tempat agen untuk mengambil
beras dan telur. Namun di beberapa tempat, masih terdapat agen
yang sebelumnya tidak memiliki usaha dan hanya membuka
usahanya di hari penyaluran. Hal ini membuat penerima
manfaat tidak leluasa untuk memilih waktu pengambilan
komponen BPNT. Salah satu contoh kasus yaitu penerima
manfaat yang tidak hadir dan mengambil bantuannya sesuai
dengan jadwal yang ditentukan oleh agen penyalur harus
menunggu penyaluran untuk tahap selanjutnya.

Agen di beberapa kecamatan telah memiliki grup whatsapp


untuk memudahkan komunikasi, bahkan membentuk
komunitas sendiri. Selain itu Koordinator Teknis BPNT
mengharuskan agen untuk melaporkan transaksi. Koordinator
Teknis BPNT berinisiatif membuat form laporan transaksi
yang setiap bulan harus diisi dan dilaporkan oleh agen. Proses
pelaporannya yakni agen melaporkan ke pendamping (TKSK)
kemudian pendamping melaporkan ke Koordinator Teknis,
kemudian Koordinator Teknis melaporkan ke Dinas Sosial
Bidang PFM. Laporan ini berguna sebagai basis data monitoring
untuk melihat berapa banyak transaksi yang berhasil atau gagal
dan kendalanya per agen di setiap desa.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


64 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
3.3.5. Pendampingan
Dinas Sosial Kabupaten Bone melakukan pendampingan
melalui koordinasi berkelanjutan dengan pihak Bulog,
perusahaan lokal yang ditunjuk, Koordinator Teknis BPNT,
TKPKD dan Bank Mandiri. Dinas Sosial Kabupaten Bone
menerima laporan setiap bulan dari Koordinator Teknis BPNT
terkait dengan penyaluran dan kendala yang terjadi. Selain
itu TKPKD juga melakukan monitoring ke lapangan melalui
Koordinator Teknis BPNT untuk melihat pasokan beras Bulog dan
perusahaan yang ditunjuk sebelum dilakukannya penyaluran
kepada para agen. Hal-hal tersebut merupakan bentuk aktivitas
monitoring penyediaan pasokan BPNT yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dan Dinas Sosial Kabupaten Bone.

Pendampingan dalam proses penyaluran dilakukan oleh


170 pendamping yang terdiri dari TKSK dan pendamping PKH.
TKSK berperan dalam pendampingan dan sosialisasi penyaluran
BPNT kepada penerima manfaat, termasuk penginformasian
waktu pencairan dana setiap bulan kepada KPM, pendampingan
pada saat melakukan pencairan di agen, dan monitoring ke agen
juga dilakukan setiap bulannya oleh pendamping TKSK untuk
melakukan pendataan jumlah penerima manfaat yang telah
bertransaksi, jumlah penerima manfaat yang mengalami saldo
nol (0), serta penerima manfaat yang KKS terblokir/hilang/
rusak. Namun karena jumlahnya yang sedikit yaitu 27 orang
sesuai dengan jumlah kecamatan di Kabupaten Bone dengan
perbandingan luas wilayah Kabupaten Bone yang memiliki
44 kelurahan dan 328 desa menyebabkan kurang optimalnya
pendampingan dan sosialisasi. Penerima manfaat dan agen di
beberapa desa tidak mendapatkan pendampingan dari TKSK
ketika penyaluran. Beberapa penerima manfaat juga kurang
memahami haknya seperti berapa banyak beras dan telur yang
harusnya mereka terima jika nominal yang ada direkening
mereka dikonversikan menjadi beras dan telur.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 65
Meskipun pendampingan dan sosialisasi kurang optimal,
TKSK tetap menerima laporan dan keluhan dari penerima
manfaat jika terdapat kendala dalam penyaluran. Namun TKSK
juga diwajibkan meminta laporan transaksi dari tiap agen.
Laporan yang diberikan oleh agen akan diserahkan kepada
Koordinator Teknis BPNT dan diteruskan ke Dinas Sosial
melalui bidang PFM untuk diteruskan kepada Bank Mandiri
agar ditindaklanjuti. Laporan ini sebagai bentuk monitoring
untuk melihat berapa banyak transaksi yang berhasil dan gagal,
juga kendalanya.

Peran pendamping PKH dalam penyaluran BPNT di


antaranya memastikan seluruh keluarga penerima manfaat
PKH juga mendapatkan BPNT; menerima keluhan keluarga
penerima manfaat PKH terkait BPNT terutama yang berkaitan
dengan standar 6T yang harus dicapai; dan mengedukasi serta
memberikan informasi kepada keluarga penerima manfaat
PKH mengenai segala yang yang berhubungan dengan BPNT,
termasuk besaran nominal dan hak penerima manfaat. Rasio
dampingan PKH dengan keluarga penerima manfaat yaitu
sebesar 1 pendamping untuk 250 keluarga penerima manfaat.
Pendamping PKH memberikan sosialisasi mengenai BPNT
pada pertemuan kelompok bulan yakni kegiatan FDS, termasuk
mengenai besaran nominal BPNT, mekanisme penyaluran
BPNT, standar 6T yang harus diterima penerima manfaat,
keleluasaan penerima manfaat dalam menentukan waktu
pengambilan komponen BPNT dan keleluasaan dalam memilih
agen. Pendamping PKH tidak dilibatkan secara langsung ketika
proses penyaluran BPNT. Banyak dari penerima manfaat non
PKH yang juga mengeluhkan kendala yang dihadapi terkait
BPNT kepada pendamping PKH padahal tanggung jawab
tersebut merupakan tanggung jawab TKSK. Terkait dengan
keluhan penerima manfaat, pendamping PKH menyampaikan
keluhan kepada TKSK dan Koordinator PKH Kabupaten,

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


66 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
kemudian TKSK yang meneruskannya ke Koordinator Teknis
BPNT.

3.3.6. Pemenuhan Tujuan 6 Tepat


Dalam penyediaan dan penyaluran BPNT, terdapat
enam standar ketepatan yang harus ditepati. Terkait dengan
tepat waktu, di Kabupaten Bone penyediaan komoditas beras
dan telur tidak ada permasalahan. Namun, terkait dengan
kebebasan waktu KPM untuk mengambil komoditas kurang
berjalan dengan optimal. Masih terdapat agen yang sebelumnya
tidak memiliki usaha dan hanya membuka usahanya di hari
penyaluran. Hal ini membuat penerima manfaat tidak leluasa
untuk memilih waktu pengambilan komponen BPNT. Salah
satu contoh kasus yaitu penerima manfaat yang tidak hadir dan
mengambil bantuannya sesuai dengan jadwal yang ditentukan
oleh agen penyalur harus menunggu penyaluran untuk tahap
selanjutnya.

Selain itu, terkait ketepatan kualitas, sebelum dan


setelah Perum BULOG menjadi penyedia tunggal, tidak ada
permasalahan. KPM merasa kualitas beras dan telur yang
disalurkan sangat baik. Kemudian mengenai harga, tidak ada
perbedaan signifikan, harga yang diberikan sesuai dengan harga
pasar dan dibawah HET. Terkait dengan ketepatan jumlah,
KPM diberikan pilihan terbatas oleh agen untuk mengambil
komoditas. Pilihan yang diberikan yakni mengambil 10 kg
beras dan 6 butir telur, atau 3 rak (90 butir) telur, atau 6 kg beras
dengan 1 rak (30 butir telur). Pilihan dapat dikatakan terbatas
karena pilihan-pilihan tersebut diberikan oleh agen ketika
komponennya masih mencukupi, jika tidak mencukupi maka
kebanyakan penerima manfaat akan mendapatkan 6 kg beras
dan 1 rak (30 butir) telur. Namun, hal ini terkecuali jika di bulan
menjelang adanya Maulid, permintaan telur akan meningkat
sehingga penyediaan telur akan disediakan lebih karena

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 67
adanya tradisi Male yaitu memberikan bingkisan berisi telur
kepada tamu yang datang berkunjung ke rumah.

Dua terakhir yaitu ketepatan sasaran dan ketepatan


administrasi. Dalam hal tepat sasaran, masih terdapat warga
miskin yang belum masuk dalam data BDT/ DT KS sehingga
tidak mendapatkan BPNT meskipun sudah diajukan dalam
proses Musdes, namun data yang diterima masih sama.
Terkait ketepatan administasi, KPM hanya bersifat pasif. KPM
memberikan kartu kepada agen kemudian diproses oleh agen,
setelah diproses agen mengembalikan kartu beserta struknya
kepada KPM.

3.3.7. Respons Pemerintah Daerah dan Desa terhadap Surat


Edaran Mensos tentang Pelibatan BULOG sebagai Bagian
dari Penyedia Komoditas BPNT di Daerah
Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 1/MS/K/07/2019
ditranslasikan oleh Pemerintah Daerah dan Dinas Sosial
Kabupaten Bone sebagai arahan untuk melakukan penyediaan
beras BPNT dengan sistem satu pintu melalui Bulog. Sejak
bulan Agustus 2019, sosialisasi dilakukan oleh Dinas Sosial dan
TKPKD kepada agen untuk mengambil pasokan dari Bulog dan
perusahaan yang ditunjuk oleh Sekda. Bulog dan perusahaan
yang ditunjuk bermitra untuk menyediakan pasokan beras
BPNT kepada agen yang tersebar di seluruh desa. Perusahaan
yang ditunjuk sebelumnya diproses penunjukannya melalui
lelang tender, proses asesmen terkait kesiapan perusahaan
dilakukan oleh Sekda dengan melibatkan akuntan publik
sebagai pihak ketiga dalam proses penilaian.

Inisiatif dilakukan oleh Dinas Sosial dan TKPKD terkait


dengan monitoring penyaluran BPNT. Monitoring dilakukan
oleh Koordinator Teknis BPNT dengan cara mengharuskan
setiap agen melaporkan transaksi yang berhasil dan gagal serta
kendalanya setiap bulan. Laporan ini diteruskan kepada Dinas

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


68 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Sosial dan TKPKD untuk ditindaklanjuti. Selain itu, TKPKD
melalui Koordinator Teknis BPNT juga mengintegrasikan data
BDT/ DT KS dengan data TKPK, hasil ini dibawa ke dalam
Musyawarah Desa masing-masing yang kemudian diajukan ke
Pemerintah Pusat untuk dimuarakan ke dalam SIKS-NG.

Di tahun 2020 mekanisme penyediaan pasokan dengan


sistem satu pintu akan diteruskan oleh Dinas Sosial Kabupaten
Bone. Sistem penyediaan satu pintu dirasa efektif untuk
mengantisipasi kebocoran PAD, agar pajak-pajak usaha dari
perusahaan penyedia beras dan agen tetap berada di Kabupaten
Bone, yang kemudian pajak-pajak ini bisa dimanfaatkan
untuk memperkuat program-program Dinas Sosial termasuk
penyelenggaraan BPNT.

Persiapan yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan TKPKD


Kabupaten Bone salah satunya yakni verivali data. Verivali akan
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Dinas Sosial melalui
TKSK dengan menganggarkan dana 1,7 milyar, termasuk
untuk memberikan label di rumah penerima manfaat, serta
melakukan monitoring dan evaluasi. Selain itu mendorong
Bank Mandiri untuk menindaklanjuti permasalahan 529 KKS
yang tertahan di Bank Mandiri dan permasalahan saldo nol (0).

3.3.8. Isu Lainnya


Isu-isu lain yang terpetakan kebanyakannya terdapat
dalam proses penyaluran, di antaranya seperti perbedaan data,
koordinasi dengan himbara, konflik kepentingan di tingkat
desa, saldo nol (0) dan lainnya. Terkait dengan permasalahan
perbedaan data, Kabupaten Bone mendapatkan kuota untuk
memasukan daftar warga miskin ke dalam SP2D sebanyak
54.000 penerima manfaat. Namun data per September 2019
menunjukkan, hanya 49.000 penerima manfaat yang masuk
dalam SP2D, dan dari 49.000 hanya sebanyak 36.000-37.000
penerima manfaat yang berhasil melakukan transaksi per

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 69
September 2019. Di dalamnya termasuk 529 penerima manfaat
BPNT yang aktif terdaftar BNBA-nya, belum mendapatkan kartu.
Banyak dari warga miskin yang sebelumnya mendapatkan
Rastra, ketika berubah menjadi BPNT tidak masuk kembali
dalam daftar. Banyak di antara mereka yang merupakan
kelompok rentan, janda miskin yang masih memiliki anak di
usia sekolah. Meskipun mendapatkan PKH, namun mereka
tidak masuk dalam daftar penerima manfaat BPNT. Mereka
yang belum masuk ke dalam daftar penerima manfaat BPNT
sudah diajukan dalam Musyawarah Desa namun menurut
Dinas Sosial, Kecamatan, Perangkat Desa, TKSK, serta Agen
dan KPM, data yang kembali masih belum ada perubahan.

Bank Mandiri yang ditunjuk sebagai penyalur BPNT di


Kabupaten Bone, dianggap kurang mudah dalam berkoordinasi.
Penanganan masalah yang ada pada tingkat penerima manfaat
dan agen lama sekali ditindaklanjuti. Salah satunya terkait
permasalahan saldo nol (0), penarikan kartu, dan komponen
BPNT yang tidak diterima jika kartu hilang atau rusak. Dari
seluruh agen (5 agen) yang diwawancarai menyatakan
bahwa setengah dari penerima manfaat yang mereka tangani
terlambat menerima BPNT akibat saldo di dalam rekeningnya
masih kosong sehingga tidak dapat melakukan transaksi.
Selain itu, masih terdapat 529 penerima manfaat yang belum
mendapatkan kartu atau kartunya ditarik oleh Bank Mandiri
akibat terdapat kesalahan penulisan huruf (tidak sama
persis dengan KTP). Beberapa penerima manfaat juga tidak
mendapatkan komponen BPNT ketika kartu yang rusak atau
hilang digantikan dengan yang baru. Selain permasalahan
pada penerima manfaat, kendala juga di alami oleh agen.
Penunjukan agen juga menjadi permasalahan, ketika proses
asesmen TKSK diikutsertakan untuk memberikan rekomendasi
kepada Bank Mandiri pihak mana saja yang tidak sesuai dengan
persyaratan. Ketika terdapat agen yang tidak memenuhi
syarat, TKSK menindaklanjuti dengan berkoordinasi kepada

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


70 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Dinas Sosial dan Bank Mandiri, namun hingga saat ini belum
dilakukan upaya tindak lanjut oleh Bank Mandiri.

TKSK dan Koordinator Teknis BPNT telah melaporkan


permasalahan-permasalahan ini, namun hingga saat ini belum
ada tindak lanjut dari pihak Bank Mandiri. Kendala dalam
koordinasi ini memperlambat penyaluran BPNT. Dinas Sosial
sudah beberapa kali mengkoordinasikan kendala-kendala yang
dialami oleh penerima manfaat dan agen kepada Bank Mandiri,
namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut signifikan dari
pihak Bank Mandiri. Bank Mandiri juga dianggap tidak terbuka
dalam pelaporan data penyaluran BPNT kepada Dinas Sosial.
Data terakhir yang diterima oleh Dinas Sosial dari Bank Mandiri
adalah data per Mei 2019.

Kendala terkait penyaluran BPNT yang dihadapi agen


kebanyakan adalah tidak berfungsinya atau rusaknya mesin
EDC, sehingga penerima manfaat harus ke agen di desa
tetangga untuk melakukan transaksi. Dari 400 agen yang
ada di Kabupaten Bone, 329 agen yang mesin EDC-nya
berfungsi. Mesin EDC yang rusak baru diperbaiki setelah
agen menunggu selama satu tahun. Dalam jangka waktu satu
tahun ini, penerima manfaat harus mengambil BPNT ke agen
di desa tetangga. Selain itu juga, terjadi sedikit keterlambatan
penyaluran bantuan ke dalam kartu penerima manfaat di bulan
Oktober 2019, sehingga agen yang sudah membeli pasokan
beras ke penyalur harus menahan beras tersebut hingga
penyaluran bantuan masuk ke dalam rekening penerima
manfaat. Banyak pula kasus saldo nol (0) dan penarikan kartu
oleh Bank Mandiri karena perbedaan nama yang tertera dalam
daftar penerima dan KTP, sehingga banyak penerima manfaat
yang tidak dapat mengambil komponen BPNT. Jaringan juga
menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh agen. Di
salah satu desa, agen harus membawa mesin EDC dan kartu
penerima manfaat ke kota kecamatan untuk mencari sinyal

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT di Daerah 71
dan melakukan transaksi di sana. Setelah kembali ke desa, agen
membagikan beras dan telur kepada para penerima manfaat.
Di beberapa desa lain, agen hanya menunggu jaringan stabil
untuk kemudian melakukan transaksi. Selain itu, agen-agen
di salah satu Kecamatan mengalami kendala dengan penyalur
beras, di bulan Oktober 2019 agen-agen di Kecamatan ini tidak
dapat mengembalikan komponen BPNT yang tidak tersalurkan
kepada penerima manfaat, seluruh komponen BPNT yang
sudah diambil tetap harus dibayarkan oleh agen meskipun
barang tersebut merupakan sisa dari penyaluran, barang-
barang yang berkualitas buruk pun harus ditanggung oleh agen.

Agen yang juga merupakan aparat desa juga membuat


adanya konflik kepentingan di tingkat desa. Di beberapa desa,
penyaluran BPNT menjadi alat politik desa, salah satu contoh
kasus yang ditemukan adalah ditahannya penyaluran BPNT
kepada warga miskin yang tidak memilih kepala desa terpilih
pada pemilihan kepala desa. Ada pula warga desa yang meminta
untuk dikeluarkan dari daftar penerima manfaat BPNT, namun
kepala desa menolaknya karena merasa warga tersebut
merupakan pemilihnya saat pemilihan kepala desa dan jika
dikeluarkan dari daftar penerima manfaat, maka ia tidak akan
memilih kepala desa lagi dalam pemilihan selanjutnya.

Tarik-menarik kepentingan juga terjadi di tingkat penyalur


di wilayah Kabupaten Bone. Sebelum diadakannya sistem satu
pintu, para agen mengambil beras dan telur kepada penyalur
kecil lokal di sekitar desa atau kecamatan tempat usahanya.
Namun, setelah digunakan sistem penyaluran satu pintu
melalui Bulog dan CV. Harman Jaya, usaha penyalur kecil lokal
lama kelamaan mati. Ada keresahan di tingkat masyarakat
bahwa monopoli penyaluran akan mematikan pemberdayaan
usaha kecil lokal.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


72 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
BAB
ANALISIS
4 KELEMBAGAAN BPNT

4.1. Analisis Tata-Kelola Kelembagaan Komoditas BPNT


Bantuan sosial pangan masih merupakan bagian pokok
dalam dunia pembangunan internasional, digunakan untuk
menangani krisis kemanusiaan maupun target pembangunan
jangka panjang yang lebih luas. Oleh karena itu salah satu
muara diskusi yang berkembang saat ini adalah jenis bantuan
sosial pangan seperti apa yang paling efektif dalam melawan
kemiskinan dan persoalan turunannya seperti kelaparan dan
malnutrisi.

Studi Hidrobo, et al. (2012), misalnya, memperbandingkan


dampak dan efektivitas cash transfers berdasarkan modalitas
bantuannya, in-kind (barang pangan), voucher, dan tunai
di beberapa kota dan semi-perkotaan Ekuador. Hidrobo,
et al. menemukan bahwa meskipun ketiga jenis program
meningkatkan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi
oleh penerima, perbedaan yang signifikan muncul dalam
jenis makanan yang dikonsumsi, biaya pelaksanaan program,
dan preferensi dan kemauan penerima untuk menggunakan
program tersebut. Memahami perbedaan seperti itu dapat
membantu pembuat kebijakan secara efektif menyesuaikan
program bantuan untuk memenuhi kebutuhan berbagai lokasi
dan populasi.

Analisis Kelembagaan BPNT 73


Transfer makanan menghasilkan peningkatan terbesar
dalam kalori yang dikonsumsi, dengan sebagian besar kalori ini
berasal dari jenis pangan karbohidrat seperti sereal. Voucher
makanan menyebabkan peningkatan yang lebih besar dalam
keragaman makanan karena rumah tangga yang menerima
voucher makanan mengonsumsi sayuran, telur, daging, dan
produk susu secara lebih teratur. Menurut penulis laporan,
ini mungkin disebabkan oleh upaya pemasaran seputar
penggunaan voucher, serta pedoman nutrisi yang membatasi
bagaimana voucher dapat dibelanjakan.

Perbedaan juga ditemukan mengenai bagaimana


setiap jenis program menguntungkan rumah tangga miskin
dibandingkan dengan rumah tangga yang lebih mampu.
Transfer makanan, dengan menghasilkan konsumsi makanan
dan asupan kalori yang lebih tinggi, menghasilkan dampak
yang jauh lebih besar bagi rumah tangga termiskin. Voucher
makanan dan transfer tunai umumnya memiliki dampak
serupa di semua rumah tangga.

Akhirnya, perbedaan signifikan ditemukan dalam


biaya implementasi ketiga program. Hidrobo, et al. (2012)
menemukan bahwa biaya marjinal dari setiap program adalah
$11,50 untuk transfer makanan, $3,30 untuk voucher, dan $3,03
untuk transfer tunai. Melihat baik biaya maupun dampaknya,
transfer makanan tampaknya menjadi cara yang paling tidak
hemat biaya untuk meningkatkan tingkat konsumsi makanan
dan keragaman asupan gizi pangan (dietary diversity) pada
seluruh indikator. Namun, keefektifan biaya transfer tunai
dan voucher makanan tidak semudah dan pada akhirnya
tergantung pada tujuan spesifik program. Jika hasil yang
diinginkan adalah peningkatan konsumsi makanan, maka
tidak ada perbedaan yang signifikan antara transfer tunai dan
voucher makanan. Voucher makanan, di sisi lain, mungkin
lebih baik untuk mencapai peningkatan keragaman asupan gizi

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


74 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
pangan. Akhirnya, jika tujuannya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan secara keseluruhan, transfer tunai mungkin yang
paling efektif. Dalam hal ini Hidrobo, et al. (2012) menemukan
bahwa, selain menjadi sarana termurah untuk memberikan
bantuan, program transfer tunai juga umumnya lebih disukai
oleh penerima. Preferensi ini mungkin disebabkan oleh
meningkatnya kebebasan yang dirasakan oleh penerima
transfer tunai, serta potensi transfer tunai untuk menghasilkan
tabungan rumah tangga dan meningkatkan kesejahteraan
secara keseluruhan.

Dalam konteks Indonesia, perlindungan sosial masyarakat


akan pangan diberikan dalam bentuk bantuan sosial pangan
kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah/keluarga miskin dan
rentan. Bantuan sosial pangan bertujuan untuk mengurangi
beban pengeluaran keluarga miskin dan rentan tersebut dalam
memenuhi kebutuhan pangannya. Program bantuan sosial
pangan sebelumnya merupakan Subsidi Rastra, dan mulai
ditransformasikan menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT)
pada 2017 di 44 kota terpilih. Selanjutnya, pada tahun 2018
program Subsidi Rastra secara menyeluruh ditransformasi
menjadi program Bantuan Sosial Pangan yang disalurkan
melalui skema nontunai dan Bansos Rastra. Pada akhir tahun
2019, program Bantuan Sosial Pangan di seluruh kabupaten/
kota dilaksanakan dengan skema nontunai atau BPNT.

BPNT merupakan upaya pemerintah untuk


mentransformasikan bentuk bantuan menjadi nontunai
(cashless) yakni melalui penggunaan kartu elektronik
yang diberikan langsung kepada KPM. Bantuan sosial
tersebut disalurkan kepada KPM dengan menggunakan
sistem perbankan, yang kemudian dapat digunakan untuk
memperoleh beras dan/atau telur di e-Warong, sehingga KPM
juga memperoleh gizi yang lebih seimbang.

Analisis Kelembagaan BPNT 75


Mulai tahun 2020, dalam rangka mewujudkan penguatan
perlindungan sosial dan meningkatkan efektivitas bantuan
sosial pangan, Program BPNT dikembangkan menjadi Program
Sembako. Dengan program ini, indeks bantuan yang semula
Rp.110.000/KPM/bulan naik menjadi Rp.150.000/KPM/bulan.1
Selain itu, Program Sembako memperluas jenis komoditas
yang dapat dibeli sehingga tidak hanya berupa beras dan telur
seperti pada Program BPNT. Hal ini sebagai upaya Pemerintah
untuk memberikan akses yang lebih luas bagi KPM terhadap
bahan pokok dengan kandungan gizi lainnya.

4.2. Analisis Pemetaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


BPNT
Selama beberapa dekade terakhir, upaya untuk
memperkenalkan, memperluas, dan meningkatkan sistem
perlindungan sosial di negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah terutama berkisar pada bantuan tunai. Pada
saat yang sama, sekitar 1,5 miliar orang di seluruh dunia telah
dicakup oleh program pangan dalam bentuk barang, 1 miliar
di antaranya hidup di negara berkembang seperti Indonesia.
Transfer dalam bentuk barang telah menjadi sarana utama
untuk memberikan dukungan pendapatan bagi konsumen
miskin; tetapi, rata-rata, mereka sering melakukannya dengan
biaya tinggi dan sebagai bagian dari dukungan pertanian yang
lebih luas dan upaya manajemen risiko harga pangan. Dengan
kata lain, program bermodalitaskan barang dapat menghasilkan
kebingungan ekonomi teknis dan politik yang jauh melampaui
dukungan pendapatan bagi masyarakat miskin.
Beranjak dari kompleksitas itu, naratif tentang perubahan
modalitas bantuan sosial pangan dari barang ke uang bisa
1 Terhitung sejak bulan Maret 2020, sebagai bagian dari instrumen fiskal untuk
mengatasi dampak Pandemi Covid-19 terhadap perekonomian, Pemerintah
Indonesia menaikkan indeks bantuan Program Sembako sebesar Rp.50.000 per
KPM sehingga total menjadi Rp.200.000/KPM/bulan. Termasuk dalam hal ini
adalah kebijakan menambahkan jumlah KPM Program Sembako dari 15,2 juta
menjadi 20 juta KPM.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


76 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
dijelaskan bukan hanya sebagai alih teknologi namun juga
penjelas tentang adanya yang diuntungkan dan dirugikan
dari mekanisme ini. Inilah pelajaran yang bisa kita angkat dari
pengalaman transisi modalitas dan teknologi bantuan sosial
pangan Indonesia: modalitas dan teknologi baru mungkin
akan memberikan masukan yang positif secara jangka pendek.
Dalam konteks bantuan sosial pangan secara jangka panjang
pemangku kebijakan harus jeli melihat potensi eksklusi
terhadap kelompok rentan (KPM, pelaku usaha kecil) melalui
diperkenalkannya mekanisme persaingan pasar sengit di
tingkat lokal hingga lokalitas semu yang hanya menguntungkan
pemain besar atau pemasok luar wilayah tersebut. Gradasi
yang menggambarkan disparitas antar-penyedia maupun
penyalur komoditas BPNT level nasional-menengah-kecil itu
sebagaimana tervisualisasikan ke dalam Alur Rantai Nilai BPNT
pada Gambar 4.1. berikut.

Gambar 4.1. Alur Rantai Nilai (Value Chain) BPNT

Sumber: Hasil analisis pengolahan data pemetaan pelaku kebijakan penyediaan


dan penyaluran komoditas BPNT (2019).

Analisis Kelembagaan BPNT 77


4.2.1. Pemetaan penyediaan komoditas BPNT (penyalur lokal
dan BULOG)
Tabel 4.1. Pemetaan Pelaku Kebijakan Penyediaan
Komoditas BPNT
Mandate &
Group Interest Perceived Problem
Resources
Penyedia • Menyalur- • Kualitas beras • Penyedia beras
Pemerintah kan beras BPNT harus baik untuk BPNT
(Perum di gudang • Adanya beras • Aspek komersil
BULOG) BULOG di Gudang komoditas beras
yang disimpan • Menjaga
dalam waktu ketersediaan dan
relatif lama yang kestabilan harga
menyebabkan beras lokal
kualitas menurun
Penyedia Non- • Keuntung- • Kualitas beras • Menyalurkan
Pemerintah an BULOG yang beras ke
level nasional penjualan kurang baik e-warong
(Mitra • Wilayah KPM • Memiliki
BULOG*) yang sulit akses sarana dan
• Stigma prasarana untuk
masyarakat menyediakan
terhadap beras beras tepat waktu
BULOG dan ke wilayah
sulit akses
Penyedia Non- • Menjual • Kalah bersaing • Memiliki efisiensi
Pemerintah produk dengan penyalur distribusi karena
level lokal menengah faktor kedekatan
(UKM) dan provinsi/
nasional,
terutama di
jumlah (volume),
distribusi

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


78 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
4.2.2. Pemetaan penyaluran komoditas BPNT (E-warong)

Tabel 4.2. Pemetaan Pelaku Kebijakan Penyaluran


Komoditas BPNT
Mandate &
Group Interest Perceived Problem
Resources
E-warong • Keuntungan • Tidak bisa • Penyalur
(agen bank, penjualan mengembalikan komoditas
pedagang • Memberikan komoditas kepada KPM
dan/atau pelayanan rusak dan tidak
pihak lain kepada KPM tersalurkan
yang telah untuk BPNT • Keluhan dari KPM
bekerja sama atas komoditas
dengan Bank BPNT
Penyalur)
E-warong • Memberikan • Hubungan • Penyalur
KUBE pelayanan timpang dengan komoditas
kepada KPM penyalur lokal kepada KPM
untuk BPNT agen bank
• Keuntungan dan penyedia
penjualan level provinsi
untuk dibagi dan nasional
kepada (termasuk
anggota BULOG)
• Hak atas • Mesin EDC rusak
kemudahan (mempengaruhi
pemberdayaan penyaluran)
ekonomi lokal
BUMDes • Keuntungan • Sesuai Pedum, • Ada di setiap
penjualan BUMDes tidak desa
• Melakukan boleh menjadi • Meningkatkan
aktivitas penyalur perekonomian
ekonomi yang • Keluhan KPM atas desa dan usaha
berkelanjutan kualitas BPNT masyarakat
• Mesin EDC rusak,
tidak ada mesin
EDC

Analisis Kelembagaan BPNT 79


Tabel 4.3. Pemetaan Pemangku Kebijakan Komoditas BPNT Pusat
dan Daerah
Mandate &
Group Interest Perceived Problem
Resources
Ditjen PFM, • BPNT terlaksana • Potensi kegagalan • Menjamin
Kemensos dengan baik dalam tujuan terlaksananya
program (khususnya BPNT dengan baik
capaian 6T) di seluruh tahapan
Pimpinan • Memastikan • Ketika ada • Bertanggung-jawab
daerah terpenuhinya pemberitaan atas pelaksanaan
(bupati, kebutuhan buruk dan keluhan program bansos
walikota, keluarga miskin masyarakat terkait pangan
sekda) melalui BPNT BPNT
• Meningkatkan • Keuntungan pajak
pendapatan masuk ke wilayah
daerah melalui lain
pajak • Implementasi BPNT
yang tidak fleksibel
dalam pemberian
pilihan dan kendali
Dinas Sosial • Memastikan • Kualitas BPNT buruk • Melakukan monev
pelaksanaan • Keluhan KPM • Memiliki
BPNT berjalan wewenang untuk
dengan baik memastikan BPNT
berjalan dengan
baik
Pendamping • Mengawal • Keluhan KPM terkait • Melakukan
Program implementasi dengan kualitas pendampingan
(Korteks, pendampingan beras BPNT
TKSK, BPNT • Kendala KPM ketika • Melakukan
Pendamping • KPM terlayani memanfaatkan BPNT pelaporan
PKH) dengan baik (saldo 0, dsb) • Jejaring kerja
• E-warong • Kepala Desa dan koordinasi di
didampingi yang menolak sepanjang rantai
dengan baik menggunakan beras nilai penyediaan
BULOG dan penyaluran

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


80 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Mandate &
Group Interest Perceived Problem
Resources
KPM • Terpenuhi • Kualitas beras buruk • Hak memiliki
kebutuhan • Waktu penyaluran pilihan dan kendali
pangannya • Jenis/jumlah untuk menentukan
• Bisa komoditas yang waktu pembelian,
memanfaatkan dibatasi/dipaketkan jumlah, jenis,
BPNT, baik • Dugaan harga yang kualitas, harga
nilai bantuan melebihi nilai pasar bahan pangan
maupun efek • Tidak/kurang (beras dan/atau
limpahan memahami hak atas telur) dan lokasi
pemberdayaan 6T e-Warong
ekonomi lokal

Melalui analisis stakeholders mapping yang menjelaskan


tata-kelola kelembagaan penyediaan dan penyaluran
komoditas BPNT dan hubungannya dengan Prinsip 6T, dapat
disintesiskan sebagai berikut:
• Tepat waktu: Secara umum, pelaksanaan BPNT telah
memenuhi ketepatan waktu, dimana KPM dapat
membelanjakan bantuannya ke e-warong sebelum tanggal
10 setiap bulannya.
• Tepat jumlah: Setelah Perum BULOG menjadi penyedia
BPNT, KPM mendapatkan beras dengan jumlah seragam
yaitu 10 kg/bulan dengan harga yang sama. Sebelumnya,
KPM mendapatkan beras dengan jumlah yang berbeda-
beda, bahkan dapat memilih jumlah beras dan atau telur
sesuai dengan keinginan/kebutuhan mereka.
• Tepat harga: Setelah Perum BULOG menjadi penyedia
BPNT, KPM mendapatkan beras dengan harga yang sama.
• Tepat kualitas: Ketepatan kualitas masih bercampur.
Terdapat kecenderungan penyedia yang berasal dari Perum
BULOG menyediakan komoditas beras yang relatif lebih
buruk dibanding penyedia lokal level kecil.

Analisis Kelembagaan BPNT 81


• Tepat administrasi: Ketepatan administrasi belum
sepenuhnya tercapai.
• Tepat sasaran: Ketepatan sasaran dalam hal hanya pemilik
KKS yang mendapatkan BPNT telah tercapai, namun
beberapa di antaranya belum dapat memanfaatkan bantuan
karena saldo 0. Selain itu ada persoalan hubungan timpang
antara pemangku kebijakan daerah (Dinsos) dengan bank
Himbara daerah yang ditunjuk.

Oleh karena itu pembelajaran dari analisis pemetaan


pelaku kebijakan penyediaan dan penyaluran komoditas BPNT
dapat menyangkut beberapa pelajaran kebijakan terhadap
desain dan implementasi bantuan sosial pangan sebagai
berikut:
• BPNT merupakan intervensi kebijakan bantuan sosial
pangan yang lebih baik daripada Rastra dalam memenuhi
6 Tepat. Akan tetapi aspek penyediaan dan penyaluran
komoditas yang belum selesai membuat target jangka
pendek belum optimal dan jangka panjang masih jauh dari
harapan.
• Terdapat kesenjangan antara desain (Pedum) dengan
implementasi di daerah. Pedum tidak detail dalam
memberikan petunjuk operasional terkait tata kelola,
wilayah kewenangan dan pendampingan. Desain ini dapat
mempengaruhi pilihan dan kendali KPM (aturan tentang
penyalur, rasio yang tidak berimbang antara e-warong
dengan KPM).
• Tumpang tindih peraturan, yang dapat menimbulkan friksi
atau pemahaman implementasi yang berbeda.
- Surat Edaran yang berbeda dengan ketentuan di Pedum,
sehingga dianggap sebagai keharusan. Selain itu juga
terdapat batas waktu yang tidak disampaikan ke daerah.
- Ketentuan terkait penyedia. Sebagian pemangku
kebijakan daerah (seperti pemkab/kot, Dinsos)
justru terpinggirkan dalam mendesain operasional

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


82 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
pelaksanaan penyaluran.
- Ketentuan terkait penyalur. Ada kecenderungan
e-warong agen bank lebih longgar dalam menerapkan
Prinsip 6T.
- Ketentuan terkait pendamping BPNT.
• BPNT sejatinya merupakan kartu belanja yang dapat
digunakan KPM untuk membeli beras dan atau telur
(cash transfer vis a vis voucher). Adanya rantai yang
panjang di penyediaan akan membuat harga komoditas
semakin mahal. Demikian juga rantai yang tidak dikawal di
penyaluran akan membuat kualitas dan waktu tidak terjaga.
• Penyediaan komoditas BPNT yang relatif memenuhi 6
Tepat tidak hanya bergantung pada faktor ketersediaan
pasokan dan infrastruktur, tetapi juga faktor lokalitas dan
wilayah kewenangan. Desain BPNT saat ini belum mampu
mendorong keberlanjutan UKM yang dilakukan E-warong
KUBE, karena kurangnya dukungan untuk berkembang
dan scaling up dalam rantai nilai. Secara implementasi ini
adalah pembelajaran tentang lokalitas.
• Perlindungan sosial berbasis pangan melalui BPNT dapat
didorong bukan hanya sebagai mekanisme redistribusi,
tetapi juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
lokal melalui penyediaan dan penyaluran bahan pangan
murah namun berkualitas dan efek tumpahan lainnya. Akan
tetapi desain BPNT belum mengakomodir pertumbuhan
yang smart dan inclusive karena keberpihakan kepada
ekonomi lokal yang sempit. Secara makrokebijakan ini
adalah pembelajaran tentang pentingnya public value
(bukan sekedar public goods) dan value-creation (bukan
sekedar value-extraction) (Mazzucato 2018).

4.3. Analisis Pencapaian Prinsip 6T dan Pemberdayaan Ekonomi


Lokal
Sebagaimana diteoresasikan Castells, saat ini kuasa
terletak pada jaringan, dalam redaksi Castell, “logika [tentang]

Analisis Kelembagaan BPNT 83


jaringan lebih kuat daripada kekuatan jaringan [itu sendiri]."
(1999). Persoalan tingkatan apakah negara bangsa atau
komunitas lokal menjadi sangat terpengaruh, terutama
dengan dimasukkan atau dikeluarkannya dari jaringan global
yang membentuk berbagai sektor dalam masyarakat di setiap
tingkatan. Oleh karena itu penting juga untuk melihat eksklusi
dan inklusi dalam berbagai jenis struktur sosial di mana
konektivitas dan akses ke jaringan, menyadari bahwa orang-
orang yang ada di bawah adalah mereka yang dieksklusi karena
tidak menawarkan apapun untuk jaringan. Argumen Castells
menunjukkan kepada kita bagaimana bentuk-bentuk baru dari
masyarakat jaringan menawarkan tantangan dengan cara yang
meskipun terlepas dari hilangnya ikatan-ikatan konvensional,
namun eksploitasi, marginalisasi, eksklusi, dan diferensiasi
tetap bertahan. Konseptualisasi Castells ini bermanfaat sebagai
pisau analisis melihat persoalan pencapaian tujuan jangka
pendek (Prinsip 6T) maupun jangka panjang (pemberdayaan
ekonomi lokal) bantuan sosial pangan sebagai skema
perlindungan sosial Indonesia yang saat ini tengah mengalami
masa transisi yang transformatif.

Secara historis, Indonesia sangat menekankan stabilitas


harga dan ketersediaan pangan. Setelah 1998, pendekatan
ini berkonsekuensi biaya harga domestik yang tinggi, yang
sebagian besar dicapai melalui pembatasan perdagangan,
harga minimum, dan hambatan untuk masuk ke layanan
logistik. Sejak 2014 hingga saat ini, harga pangan eceran di
Indonesia jauh lebih tinggi daripada di negara-negara tetangga,
yang membedakannya dari skenario masa lalu di mana harga
distabilkan pada tingkat yang sedikit di atas harga dunia.
Misalnya, antara tahun 1969 dan 2014, harga domestik rata-rata
7 persen lebih tinggi daripada harga internasional. Sejak 2008,
perbedaannya telah tumbuh menjadi sekitar 34 persen, seperti
ditunjukkan oleh Tabel 4.1.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


84 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Tabel 4.4. Harga Riil Beras di Indonesia, 1969-2014
(Rp per kilogram)
Pasca-Krisis
Harga
Seluruh Prakrisis Pasca-
Pangan
Periode 1998, Reformasi,
Dunia
Indikator Januari, Januari Januari
2007/98,
1969-Juli 1969-Juli 1999-Juli
November
2014 1997 2014
2008-Juli
2014
Mean
Domestik 5,132.91 4,303.20 6,562.17 7,490.28
Dunia 4,760.10 4,452.22 4,988.76 4,928.22
Deviasi standar
Domestik 1,263.43 410.94 943.61 563.05
Dunia 1,591.70 1,448.70 1,042.13 684.18
Koefisien variasi
Domestik 0.25 0.10 0.14 0.08
Dunia 0.33 0.33 0.21 0.14
Sumber: Warr 2011.

Sementara pendekatan saat ini membantu mengatasi


krisis pangan global, ini juga menggarisbawahi perbedaan
antara stabilitas dan keterjangkauan. Mempertahankan harga
pada tingkat yang stabil tetapi sangat tinggi menyiratkan bahwa,
di satu sisi, konsumen Indonesia telah dikenakan pajak secara
besar-besaran oleh kebijakan perdagangan dan pertanian
pemerintah. Pada sisi lain, ketika negara ini maju dalam
transformasi strukturalnya, orang miskin secara khusus justru
menjadi net food buyers—yaitu ketika mereka tidak serta merta
mendapat manfaat dari harga pangan yang tinggi. Bahkan
menurut Badan Pangan Dunia, kabupaten yang paling rawan
pangan di Indonesia “memiliki konsumsi yang sangat tinggi
terhadap rasio produksi, yang berarti bahwa keperluan mereka

Analisis Kelembagaan BPNT 85


untuk konsumsi jauh melebihi apa yang mereka hasilkan.
Karena itu mereka bergantung pada pasar dan belanja untuk
membeli sebagian besar pangan pokok mereka.” (WFP 2015,
115). Secara khusus, rasio konsumsi-produksi mereka adalah
35,4, dibandingkan dengan hanya 1,9 di kabupaten-kabupaten
yang paling rentan.

Pada saat yang sama, pendekatan berbasis tradisional


komoditas Rastra telah ada selama hampir dua dekade, dan
sifat inti dan model bisnisnya sebagian besar tetap utuh
meskipun desain program telah mengubah modalitas bantuan
menjadi “semi-nontunai” sebagaimana halnya BPNT. Bab
3 telah mengungkap deskripsi kasus lokasi penelitian di
Solok, Banyuwangi dan Bone dalam konteks implementasi
kelembagaan penyediaan dan penyaluran komoditas bantuan
yang secara signifikan memengaruhi kuantitas dan kualitas
bantuan sosial pangan. Sementara desain umum program
telah berubah secara drastis, langkah-langkah transisi yang
diambil berfungsi untuk mengintegrasikan bantuan sosial
pangan dengan lebih baik ke dalam sistem perlindungan sosial
secara keseluruhan.

Dalam praktiknya, beberapa aspek program masih belum


konsisten dengan desainnya. Meskipun telah terdapat banyak
perbaikan dalam hal jumlah, kualitas, dan waktu dalam
setiap rantai penyediaan dan penyaluran, masih terdapat
tantangan terkait pemaketan bantuan di level penyediaan yang
memengaruhi kualitas dan penyaluran yang memengaruhi
aspek kebebasan memilih. Jika pada kasus bantuan sosial
pangan di masa lalu kebersalahan diarahkan pada penargetan
salah, tangkapan elit, atau bahkan tekanan sosial lokal, dalam
kasus BPNT, adanya eksklusi pada penyediaan dan penyaluran
lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan hubungan antar-
aktor dalam setiap proses penyediaan dan penyaluran. Ini
artinya, alih teknologi dalam bentuk perubahan modalitas

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


86 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
bantuan dari barang ke semi-cash ternyata belum menjadi
solusi berkelanjutan terhadap persoalan ketimpangan dan
eksklusi dalam implementasi bantuan sosial pangan.

Penelitian ini, mengikuti sejumlah penelitian serupa


(Alderman 2018, Timmer, et al. 2018), mengangkat pilihan untuk
mereformasi bantuan sosial pangan secara signifikan berarti
bukan hanya mengurusi komponen modalitas bantuan dan
alat ahli teknologi yang sesuai untuk itu, tetapi juga seharusnya
mulai dari meninjau ulang alur tata kelola/kelembagaan
penyediaan dan penyaluran hingga menyelaraskan bantuan
sosial pangan dengan bantuan tunai. Demikian juga sebagai
bagian dari langkah pemerintah menuju bantuan sosial tunai
yang terintegrasi, dalam kaitan dengan pangan peran BULOG
dapat difokuskan kembali untuk memenuhi fungsi utamanya
yaitu menstabilkan harga barang kebutuhan pokok yang tidak
terbatas pada beras. Indonesia bisa mengambil pelajaran dari
sejumlah bantuan sosial pangan lain yang juga telah mengalami
proses transisi kelembagaan maupun teknologi, seperti SNAP
dari Amerika Serikat (Oliveira, et al. 2018) atau PDS India
(Bhattacharya, et al. 2018).

Bergantung pada bagaimana reformasi yang berbasis bukti


dapat diterapkan pada desain maupun implementasi bantuan
sosial pangan ke depan (per 2020 dinamakan ‘Kartu Sembako’),
proses semacam itu dapat membantu menempatkan negara
pada jalur yang secara luas selaras dengan pengalaman negara-
negara lain yang kurang-lebihnya telah mengalami transisi
lengkap dari bantuan pangan dalam bentuk barang (in-kind),
voucher atau bahkan transfer tunai. Seperti yang diilustrasikan
oleh Alur Rantai BPNT dalam Gambar 4.1. sebelumnya,
perjalanan menuju perubahan modalitas transfer secara
khusus dan alih teknologi bantuan sosial pangan secara umum
akan berkelindan dan kompleks, dengan beberapa masalah
kritis yang memerlukan proses peninjauan menyeluruh. Di

Analisis Kelembagaan BPNT 87


antara masalah tersebut yang telah digaris-bawahi oleh hasil
penelitian ini seperti peran BULOG, efek stabilitas harga beras,
efek tumpahan ekonomi lokal, hingga eksklusi sebagai hasil
persaingan pelaku bisnis besar-menengah-kecil. Dengan kata
lain, reformasi bantuan sosial pangan yang banyak ditunggu
bergerak ke arah yang benar, akan membutuhkan waktu yang
lebih panjang ketimbang menyentuh (nudge) sesuatu lalu
berharap terjadi perubahan sosial-ekonomi dalam semalam.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


88 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
BAB

5 Penutup

5.1. Kesimpulan
Program BPNT sukses mengatasi sebagian persoalan
Subsidi Rastra & Bansos Rastra, tetapi melalui analisis
penyediaan dan penyaluran, ia menimbulkan tantangan baru
yang harus dijawab melalui reformulasi BPNT. Hal demikian
karena ia berhadapan dengan kebijakan ekonomi, proses
politik, dan lembaga sosial-budaya yang mengalokasikan
sumber daya dan kesempatan secara timpang (Mosse 2010,
Elwood, et al. 2016).

Peralihan mekanisme pasar ke pelibatan Perum BULOG


telah mengubah rantai nilai komoditas BPNT, yang membawa
dampak penyedia-penyalur lokal (UKM) kurang berperan.
Dari sisi tepat kualitas, terdapat penurunan marginal mutu
beras dibandingkan dengan sebelum BULOG terlibat. Sisi tepat
waktu dan jumlah, KPM juga tetap kurang memiliki keleluasaan
dalam memilih komoditas BPNT yang diinginkan. Sisi tepat
harga, jumlah dan administrasi, pelibatan kembali BULOG
membawa dampak pada keseragaman harga dan jumlah yang
diterima KPM.

Peralihan masuknya kembali BULOG pada ‘pasar tertawan’


(captive market) BPNT juga tidak signifikan dalam mengurangi
efek negatif praktik eksklusi yang menciptakan celah dalam
penyediaan dan penyaluran. Pada tahap penyediaan, penyedia

Penutup 89
non-pemerintah level lokal/UKM versus penyedia pemerintah
(BULOG) & non-pemerintah level nasional. Perum BULOG
justru cenderung mengisi posisi yang ditinggalkan oleh
penyedia level kecil, menguntungkan penyedia level besar yang
lebih siap secara infrastruktur dan dana. Pada tahap penyaluran,
e-warong KUBE versus e-warong non-KUBE. E-warong KUBE
memungkinkan keluarga miskin mendapatkan keuntungan
dari pelaksanaan BPNT, namun aturan dari bank membatasi
KUBE untuk menjadi e-warong. Selain itu, ada kecenderungan
e-warong bentukan bank lebih longgar dalam menerapkan
Prinsip 6T.

Celah komposisi penyedia dan penyalur komoditas BPNT


menunjukkan kelirunya kritik terhadap investasi publik sebagai
‘crowding-out’ dan ‘picking winners’. Justru keterbatasan
kelembagaan BULOG dan kurangnya dukungan kepada
petani dan penyedia kecil level lokal, ditambah dengan masih
sedikitnya e-warong KUBE, membuat muncul pasar tidak bebas
(monopoli dan oligopoli swasta). Temuan ini mengajukan
pertanyaan tentang dinamika risks and rewards yang dapat
menciptakan ekosistem inovasi (dan kerja sama public-private
terkait) yang lebih simbiotis.

Kebingungan dalam desain program bantuan sosial


pangan yang tercermin dari implementasi kelembagaan BPNT
menggaris-bawahi (1) tarik-menarik antara pertumbuhan
dan redistribusi; dan (2) proses finansialisasi. Hal ini karena
pendekatan pertumbuhan melalui serangkaian proses
finansialisasi yang menciptakan eksklusi dan ketimpangan
cenderung mengalahkan proses redistribusi dan semakin
menguatkan eksklusi. Oleh karena kontradiksi mandat transfer
sosial barang melalui mekanisme pasar, BPNT menjadi
contoh mutakhir akan masih jauhnya kebijakan dari bukti dan
penetrasi finansialisasi ke dalam kebijakan sosial. Penelitian
ini turut menyumbang kontribusi terhadap karya-karya dalam

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


90 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
studi ekonomi dan pembangunan yang mengungkap dikotomi
keliru tentang negara dan pasar (Mazzucato 2014), pentingnya
pemerintah dalam co-creation pasar, tidak hanya berfungsi
untuk ‘leveling the playing field’ (Mazzucato 2018), serta
finansialisasi dalam kebijakan sosial (Fine 2009, 2014, Lavinas
2017, 2018, Saad-Filho 2011, 2015).

5.2. Rekomendasi
1. Memasukkan pertimbangan analisis pemetaan rantai nilai
pelaku kebijakan (value chain-based stakeholders mapping)
yang lebih detail terhadap penyediaan dan penyaluran
komoditas BPNT, yaitu dalam hal tata-kelola (siapa
melakukan apa), wilayah kewenangan (batasan tugas dan
fungsi), dan pendampingan (pengawasan dan advokasi), ke
dalam desain baru BPNT.
2. Persoalan siapa pihak yang menjadi penyalur komoditas
BPNT harus keluar dari kerangka/framing dikotomi BULOG
atau Non-BULOG yang reduksionis dan tidak produktif.
Akan tetapi dikembalikan pada pihak mana yang paling
siap memenuhi 6 Tepat sekaligus mengakomodir konteks
kebutuhan daerah level terkecil (ekonomi lokal).
3. Mendukung rekomendasi untuk mendefinisikan ulang
peran Perum BULOG, termasuk kontribusinya dalam BPNT.
Jika BULOG berperan sebagai pelaku pasar (co-creating
and co-shaping market) komoditas pangan khususnya
beras, penyedia kecil akan turut diuntungkan dalam jual-
beli beras lokal dan mengurangi pengaruh korporasi
beras level besar. Termasuk dalam hal ini adalah perlunya
membentuk badan otoritas pangan yang mengambil alih
tugas koordinasi kebijakan pangan nasional pada Kemenko
PMK dan K/L terkait.
4. Reposisi peran dan kelembagaan e-warong (termasuk
kejelasan terminologi). Jika memang elemen pemberdayaan
penting dalam program BPNT, perlu standar bahwa
usaha yang diikutsertakan sebagai penyalur merupakan

Penutup 91
UKM dengan modal dan profit kecil dan e-warong KUBE
Kementerian Sosial. Terkait dengan keanggotaan e-warong
KUBE Kementerian Sosial, desain saat ini yang hanya
memindahkan 10 anggota KUBE otomatis menjadi anggota
e-warong berpotensi tidak memberdayakan karena sedikit
keuntungan yang didapat harus dibagi kepada 10 orang
anggotanya.
Memikirkan ulang desain anggota e-warong KUBE
ini berkonsekuensi peningkatan kapasitas fiskal atau
pembiayaan yang lebih banyak dan lebih baik untuk
mendukung e-warong KUBE sebagai mekanisme
pemberdayaan yang berkelanjutan. Gagasan memperluas
e-warong KUBE ini tentunya memerlukan tambahan
kucuran dana yang tidak sedikit. Akan tetapi dengan
demikian melalui e-warong KUBE pemerintah dapat mulai
memberlakukan kebijakan ‘progresif’ (dengan melindungi
KPM atau KPM Graduasi PKH melalui skema bantuan sosial
pangan) sekaligus kebijakan sosial yang ‘berkelanjutan’
(dengan mengikutsertakan KPM atau KPM Graduasi PKH
ke dalam kegiatan produktif yang memberdayakan). Dari
sisi lain, memberdayakan e-warong KUBE juga berarti
memanfaatkan ceruk pasar yang telah tersedia tanpa
membangun dari awal melalui pasar tertawan (captive
market) komoditas beras dan pangan lainnya yang telah
tersedia dalam penyaluran BPNT, dan sekaligus juga
mengeliminir pandangan negatif terhadap KPM bantuan
sosial sebagai ‘memiliki ketergantungan’.
5. Pencapaian tujuan jangka pendek BPNT harus mengarus-
utamakan faktor-faktor ekonomi-politik lokal. Mengingat
keterlibatan multipihak, yang harus diperhatikan bukan
hanya (1) adanya keuntungan; tetapi juga (2) adanya
ketimpangan keuntungan yang bisa didapatkan oleh
berbagai pihak dari aktivitas penyediaan dan penyaluran
komoditas BPNT. Desain program selanjutnya harus
mengidentifikasi faktor risiko bagi penyedia dan penyalur
UKM melalui penggambaran area intervensi yang lebih

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


92 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
jelas, baik secara tematik (apa yang hendak diubah?;
bagaimana mengubahnya) dan demografis (siapa yang
disasar?; siapa saja yang berperan?).
6. Jika kebijakan Kartu Sembako jadi dilaksanakan pada
2020 dan seterusnya, direkomendasikan agar membuat
kajian ulang inisiatif kebijakan diversifikasi komoditas
bantuan pangan yang kembali membedah alur rantai
nilai masing-masing stakeholders dalam penyediaan dan
penyaluran agar betul-betul berpihak pada penyedia
dan pedagang ultra-mikro dan lokal. Jika komoditas yang
disediakan hanya berupa beras dapat menarik sekian
banyak kepentingan yang justru menyudutkan manfaat
bagi KPM dan pelaku usaha kecil, lantas bagaimana jika
komoditas yang disediakan beragam? Hal ini merupakan
pelajaran penting bagi pemerintah untuk tidak hanya
memilih investasi sektor (bansos pangan) dan teknologi
(diversifikasi bansos pangan), tetapi juga mempertanyakan
apa yang sebenarnya diinginkan dari sektor tersebut
(directional bukan hanya rate).
7. Proses pencapaian tujuan jangka panjang BPNT melalui
memikirkan ulang nilai investasi publik yang mission-
oriented. Pemerintah akan mengambil manfaat dari
pendekatan portfolio (Rodrik 2014; the upside gains covering
the downside losses) untuk mendukung investasi publik
dalam inovasi BPNT, dan mengasuh aspek eksploratif,
keragaman, dan trial-and-error dari perubahan bansos
pangan. Ini membutuhkan bukan hanya perubahan
teknologi (subsidi ke bansos; barang ke tunai) tetapi juga
perubahan kelembagaan/organisasi publik masa depan
kreatif, adaptif dan eksploratif yang memungkinkan solusi
bottom-up dapat bereksperimen.

Penutup 93
Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas
94 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Daftar Pustaka

Alderman, H., and Yemtsov, R. (2014). ‘How Can Safety Nets


Contribute to Economic Growth?’ The World Bank
Economic Review, 28(1): 1-20.

Alderman, H., Gentilini, U., and Yemtsov, R. (Eds.) (2018). The 1.5
Billion People Question: Food, Vouchers, or Cash Transfers.
Washington, D.C.: The World Bank.

Bafita, R., Sujianto. (2013). ‘Evaluasi Pelaksanaan Program Bantuan


Beras Bersubsidi.’ Jurnal Administrasi Pembangunan,
1(2): 165-170.

Banerjee, A., and Duflo, E. (2011). Poor Economics: A  Radical


Rethinking of the Way to Fight Global Poverty. New York:
PublicAffairs.

Bastagli, F., Hagen-Zanker, J., Harman, L., Barca, V., Sturge, G., and
Schmidt, T. (2016). Cash transfers: what does the evidence
say? A rigorous review of programme impact and the role
of design and implementation features. London: Overseas
Development Institute.

Bazzi, S., Sumarto S., Suryahadi A. (2012). Evaluating Indonesia’s


Unconditional Cash Transfer Program, 2005-6: Final
Report. International Initiative for Impact Evaluation (3IE).

Bazzi, S., et al. (2013). ‘It’s All in the Timing: Household Expenditure
and Labor Supply Responses to UCTs.’ Working Paper.

Bazzi, S., et al. (2015). ‘It’s All in the Timing: Cash Transfers and
Consumption Smoothing in a Developing Country.’
Journal of Economic Behavior & Organization, 119.

Daftar Pustaka 95
Bhattacharya, S., Falcao, V.L., and Puri, R. (2018). ‘The Public
Distribution System in India: Policy Evolution and Program
Delivery.’ In Alderman, H., Gentilini, U., and Yemtsov, R.
(Eds.) The 1.5 Billion People Question: Food, Vouchers, or
Cash Transfers. Washington, D.C.: The World Bank.

Cahyadi, N., et al. (2018). ‘Cumulative Impacts of CCTs: Experimental


Evidence from Indonesia.’ Jakarta: TNP2K.

Elwood, S., Lawson, V., Sheppard, E. (2017). ‘Geographical relational


poverty studies.’ Progress in Human Geography, 41(6).

FAPDA. (2017). Indonesia: Country Fact Sheet on Food & Agriculture


Policy Trends. Geneva: FAO.

Fine, B. (2009). ‘Financialisation and Social Policy.’ Paper


presented at the UNRISD conference on the “Social and
Political Dimensions of the Global Crisis: Implications for
Developing Countries”, 12-13 November 2009, Geneva.

Fine, B. (2014). ‘The Continuing Enigmas of Social Policy.’ Paper


prepared for the UNRISD project on Towards Universal
Social Security in Emerging Economies, June 2014.

Fiszbein, A., Schady, N., et al. (2009). Conditional Cash Transfers:


Reducing Present and Future Poverty. Washington, D.C.:
The World Bank.

Grilli, L., Mazzucato, M., Meoli, M., and Scellato, G. (2018). ‘Sowing
the seeds of the future: Policies for financing tomorrow’s
innovations.’ Technological Forecasting & Social Change,
127: 1-7.

Hanlon, J., Barrientos, A. and Hulme, D. (2010). Just give money to


the poor: the development revolution from the global South.
West Hartford, CT: Kumarian Press.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


96 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Haq, R. & Arshad, N. (2009). ‘Inequality & Welfare by Food
Expenditure Components.’ The Pakistan Development
Review, 48(4): 755-768.

Hidrobo, M., Hoddinott, J., Peterman, A., Margolies, A. & Moreira,


V. (2012). Cash, Food, or Vouchers: Evidence from a
Randomized Experiment in Northern Ecuador. The
International Food Policy Research Institute (IFPRI).

Honorati, M., Gentilini, U., Yemtsov, R.G. (2015). The state of


social safety nets 2015. Washington, DC: World Bank
Group. http://documents.worldbank.org/curated/
en/2015/07/24741765/state-social-safety-nets-2015

International Labour Organization (ILO). (2016). Building social


protection for all: Global flagship programme. Geneva:
ILO.

International Labour Organization (ILO). (2019). World Social


Protection Report 2017-19. Universal social protection to
achieve the Sustainable Development Goals. Geneva: ILO.

Kattel, R., and Mazzucato, M. (2018). ‘Mission-oriented innovation


policy and dynamic capabilities in the public sector.’
Industrial and Corporate Change: 1-15.

Kearney, J. (2010). ‘Food consumption trends and drivers.’


Philisophical Transactions of the Royal Society, B: Biological
Sciences, 365(1554): 2793-2807.

Kementerian PPN/Bappenas. (2014). Perlindungan Sosial di


Indonesia: Tantangan dan Arah ke Depan. Jakarta:
Kementerian PPN/Bappenas.

Kementerian PPN/Bappenas. (2017). Isu dan Strategi Percepatan


Penanggulangan Kemiskinan dalam RKP 2018.

Daftar Pustaka 97
Jakarta: Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan
Kesejahteraan Sosial.

Kementerian Sosial. (2017a). Pedoman Pelaksanaan Bantuan


Pangan Non-Tunai 2018. Jakarta: Kementerian Sosial.

Kementerian Sosial. (2017b). Pedoman Umum Bantuan Pangan


Non-Tunai. Jakarta: Kementerian Sosial.

Kementerian Sosial. (2019). Surat Edaran Menteri Sosial RI Nomor


01/MS/K/07/2019 kepada Gubernur dan Bupati/Walikota
seluruh Indonesia tentang Perum BULOG sebagai
Penyedia Komoditas Bantuan Pangan Non-Tunai. Jakarta:
Kementerian Sosial.

Kirwan, B.E., & McMillan, M. (2007). ‘Food Aid and Poverty.’


American Journal of Agricultural Economics, 89(5): 1152-
1160.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2016). Telaah terhadap Program


Beras Sejahtera (Rastra). Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi.

Lavinas, L. (2017). The Takeover of Social Policy by Financialization:


The Brazilian Paradox. New York: Palgrave Macmillan.

Lavinas, L. (2018). ‘The Collateralization of Social Policy under


Financialized Capitalism.’ Development and Change,
49(2).

Mazzucato, M. (2014). The Entrepreneurial State: Debunking Public


vs. Private Myths in Risk and Innovation. London and New
York: Anthem Press.

Mazzucato, M. (2016). ‘From market fixing to market-creating: a new


framework for innovation policy.’ Industry and Innovation,
23(2): 140-156. DOI: 10.1080/13662716.2016.1146124.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


98 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Mazzucato, M. (2018a). The Value of Everything: Making and Taking
in the Global Economy. London: Allen Lane.

Mazzucato, M. (2018b). ‘Mission-oriented innovation policies:


challenges and opportunities.’ Industrial and Corporate
Change, 27(5): 803-815.

Mazzucato, M., and Penna, C. (2016). ‘Beyond market failures: the


market creating and shaping roles of state investment
banks.’ Journal of Economic Policy Reform, 19(4): 305-326.
DOI: 10.1080/17487870.2016.1216416.

Mazzucato, M., and Semieniuk, G. (2017). ‘Public financing of


innovation: new questions.’ Oxford Review of Economic
Policy, 33(1): 24-48.

Mazzucato, M., and Roy, V. (2019). ‘Rethinking value in health


innovation: from mystifications towards prescriptions.’
Journal of Economic Policy Reform, 22(9).

Mackey, H. (2019). ‘A feminist geographic analysis of perceptions


of food and health in Ugandan cities.’ Gender, Place &
Culture, 26(11): 1519-1543.

Malik, S.J., Nazli, H., and Whitney, E. (2015). ‘Food consumption


patterns and implications for poverty.’ The Pakistan
Development Review, 54(4): 651-670.

MicroSave Consulting. (2019). BPNT Operations Assessment.

Mosse, D. (2010). ‘A Relational Approach to Durable Poverty,


Inequality and Power.’ Journal of Development Studies,
46(7): 1156-1178.

OECD. (2015). Managing Food Insecurity Risk: Analytical Framework


and Application to Indonesia. Paris: OECD. (available at
http://www.keepeek.com/Digital-Asset-Management/

Daftar Pustaka 99
oecd/agriculture-and-food/managing-food-insecurity-
risk_9789264233874-en#.WSwlUet970M#page1).

Oliveira, V., Tiehen, L., Prell, M., and Smallwood, D. (2018).


‘Evolution and Implementation of the Supplemental
Nutrition Assistance Program in the United States.’ In
Alderman, H., Gentilini, U., and Yemtsov, R. (Eds.) The 1.5
Billion People Question: Food, Vouchers, or Cash Transfers.
Washington, D.C.: The World Bank.

Paredes, M and Thorp, R. (2015). ‘The persistence of horizontal


inequalities and the role of policy: The case of Peru.’ Oxford
Development Studies, 43(1): 1-19.

Peck, J. and Theodore, N. (2015). Fast Policy: Experimental Statecraft


at the Thresholds of Neoliberalism. Minneapolis: University
of Minnesota Press.

Pemerintah Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor


40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor


11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Pemerintah Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor


13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

Pemerintah Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor


24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.

Pemerintah Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor


23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Peraturan Presiden Nomor


2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


100 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Pemerintah Republik Indonesia. (2017). Peraturan Presiden Nomor
63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial secara
Non-Tunai.

Rachman, B., et al. (2018). ‘Efektivitas dan Perspektif Pelaksanaan


Program Rastra dan BPNT.’ Analisis Kebijakan Pertanian,
16(1): 1-18.

Robinson, D.K.R., and Mazzucato, M. (2019). ‘The evolution of


mission-oriented policies: Exploring changing market
creating policies in the US & European space sector.’
Research Policy, 48(4): 936-948.

Rodrik, D. (2014). ‘Green industrial policy.’ Oxford Review of


Economic Policy, 30(3): 469-491.

Ruckert, A. (2010). ‘The forgotten dimension of social reproduction:


The World Bank and the poverty reduction strategy
paradigm.’ Review of International Political Economy,
17(5): 816-839.

Schwittay, A.F. (2011). ‘The financial inclusion assemblage:


Subjects, technics, rationalities.’ Critique of Anthropology,
31(4): 381-401.

Schanzenbach, D.W., Nunn, R., Bauer, L. and Mumford, M. (2016).


‘Where Does All the Money Go: Shifts in Household
Spending Over the Past 30 Years.’ Washington DC.: The
Hamilton Project.

Smith, L., El Obeid, A., Jensen, H. (2000). ‘The geography and causes
of food insecurity in developing countries.’ Agricultural
Economics, 22: 199-215.

Taylor, J.E., Thome, K., & Filipski, M. (2016). ‘Local Economy-Wide


Impact Evaluation of Social Cash Transfer Programmes.’ In

Daftar Pustaka 101


Davis, B., et al. (Eds.) From Evidence to Action: The Story of
Cash Transfers & Impact Evaluation in Subsaharan Africa.
Oxford: FAO, UNICEF, and Oxford University Press.

Timmer, P., Hastuti, and Sudarno Sumarto. (2018). ‘Evolution and


Implementation of the Rastra Program in Indonesia.’ In
Alderman, H., Gentilini, U., and Yemtsov, R. (Eds.) (2018).
The 1.5 Billion People Question: Food, Vouchers, or Cash
Transfers. Washington, D.C.: The World Bank.

TNP2K. (2019a). Laporan Ringkas Uji Coba 2016 Penyaluran Non


Tunai Bantuan Pangan dan Bantuan Sosial. Jakarta:
TNP2K.

TNP2K. (2019b). Laporan Hasil Pemantauan Program Bantuan


Sosial Nontunai (Desember 2018). Jakarta: TNP2K.

Warr, P.G. (2011). “Food Security vs. Food Self-Sufficiency: The


Indonesian Case.” Indonesian Quarterly, 39(1): 56-71.

WFP (World Food Programme). (2015). Food Security and


Vulnerability Atlas of Indonesia. Jakarta: WFP.

WFP (World Food Programme). (2017). World Food Assistance 2017:


Taking Stock and Looking Ahead. Rome: WFP.

World Bank. (1986). Poverty and Hunger: Issues & Options for Food
Security in Developing Countries.

World Bank. (2005). ‘Feeding Indonesia.’ Indonesia Policy Brief, 13.


Jakarta: World Bank Indonesia.

World Bank. (2015). The State of Social Safety Nets 2015. Washington,
D.C.: World Bank.

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


102 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
PROFIL PENULIS

AGUS B. PURWANTO, Peneliti Madya di Puslitbang Kesos,


Kementerian Sosial RI. Alumni IKIP Jakarta, Program Studi
Pembangunan Masyarakat dan Pendidikan Luar Sekolah
(1987). Penelitian yang dilakukan multi-years pada 2013-2015
“Pengembangan Kebijakan, Strategi dan Model Pelayanan Terpadu
dan Gerakan Masyarakat Peduli Kabupaten/Kota Sejahtera (Pandu
Gempita)”: Studi di Lima Kabupaten/Kota. Tahun 2009-2012, (1)
Studi Etnografi Masalah, Kebutuhan dan Sumber Daya Daerah

Tertinggal dan Perbatasan Antar Negara, (2) Laboratorium


Kesejahteraan Sosial: Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Wilayah
Perbatasan. Dapat dihubungi di aguspurwanto5919@yahoo.com.

JUSTINE YOHANA, dengan latar belakang Antropologi Sosial


(S.Sos., Universitas Indonesia) dan Kesejahteraan Sosial
(M.Kessos., Universitas Indonesia) memiliki beberapa pengalaman
penelitian sosial sebagai peneliti lepas. Beberapa penelitian yang
ia lakukan yakni studi untuk proyek corporate farming kerja sama
Biro Perencanaan, Direktorat Perkebunan, Kementerian Pertanian
dan Riset Perkebunan Nusantara. Dalam studi tersebut, Justine
berperan sebagai Asisten Peneliti Sosial Kultural. Penelitian
lain yang ia pernah lakukan yakni Background Study Rencana
Strategis Kementerian Sosial 2020-2024 yang dilakukan oleh Biro
Perencanaan Kementerian Sosial. Dalam penelitian ini, ia berperan
sebagai peneliti sosial. Setelah dua tahun berkarir sebagai peneliti
lepas, saat ini Justine bekerja sebagai peneliti sosial di salah satu
kantor konsultan Belanda di Jakarta dan banyak mengerjakan
studi di bidang social assessment and management. Selain aktif di
bidang penelitian, di waktu luangnya, ia juga merupakan sales and

Sekilas Penulis 103


business support di MENA Indonesia, salah satu startup lokal yang
bergerak di bidang social entrepreneur. Memiliki ketertarikan pada
kajian anak, kemiskinan perdesaan dan pesisir. Dapat dihubungi di
justineyohana@gmail.com.

Muhammad Belanawane S. Dengan latar belakang Antropologi


Sosial (S.Sos., Universitas Indonesia), saat ini adalah Peneliti
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,
Kementerian Sosial RI. Penelitian saya berfokus pada pengalaman
Indonesia dalam pembangunan manusia / sosial, dan melibatkan
sejumlah isu interdisiplin kebijakan dan etnografis seputar
kemiskinan, kesejahteraan, dan landasan teoretisnya dalam
konteks agenda pembangunan Global-Nasional. Ini termasuk
ekonomi politik pembangunan, precarity dan kerentanan
pekerja migran transnasional, komodifikasi dan teknopolitik
dalam mitigasi bencana, skema bantuan sosial Indonesia dan
pembuatan negara kesejahteraan neoliberal, keuangan mikro
dan janji inklusi keuangan, layanan dasar di daerah pascakonflik/
terpencil, konvergensi conditional cash transfers sebagai demand
dan akses layanan sosial dasar sebagai supply, bantuan sosial
pangan dan asupan gizi, dan dampak buruk kemiskinan ekstrim
di wilayah pesisir pelosok Indonesia. Proyek terbaru saya berfokus
pada ‘kesenjangan data kesejahteraan’ dan inovasi perlindungan
sosial yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi. Garis besar
tema karya-karya ini adalah keprihatinan atas bagaimana
wacana dan lembaga diorganisir di sekitar konsep-konsep seperti
pembangunan dan kemiskinan yang potong-memotong dengan
kehidupan masyarakat biasa melalui cara yang sering sulit dilihat.
Dapat dihubungi di muhammad.belanawane@kemsos.go.id.

MUSLIM SABARISMAN, dengan latar belakang pendidikan


Kesejahteraan Sosial (A.KS., Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial
Bandung), saat ini adalah Peneliti Muda di Pusat Penelitian dan

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


104 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI.
Penelitian yang pernah diikuti Evaluasi Pelaksanaan Program
Subsidi Panti dalam Mendukung Kelangsungan Pelayanan Panti
Sosial, Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin (Studi
Evaluasi di Delapan Provinsi Indonesia), Pemberdayaan Fakir
Miskin di Kawasan Pantai, Pelayanan Sosial Rehabilitasi Sosial
Anak di Panti Sosial Marsudi Putera (Evaluasi Program Penanganan
Anak Nakal), Penelitian Pemberdayaan Keluarga (Studi Evaluasi
di Sumatera Barat,Sulawesi Utara, Jawa Timur dan Kalimantan
Selatan), Penelitian Profil Pendamping dalam Perlindungan Anak
Berkonflik dengan Hukum (Studi Kasus di Provinsi Kalimantan
Barat dan Nusa Tenggara Barat), Pendampingan Sosial Bagi
Anak Berhadapan dengan Hukum di Kota Mataram, Penelitian
Sikap Masyarakat Terhadap Trafficking Anak di Daerah Pengirim
(Studi Kasus di Provinsi Kalimantan Barat dan Jawa Timur),
Penelitian Gaya Hidup Sebagai Penyebab Terjadinya Trafficking
Anak, RESTORATIVE JUSTICE: Penanganan Anak Berhadapan
dengan Hukum Berbasis Masyarakat di Klaten Jawa Tengah,
Penelitian Pemberdayaan Mayarakat Miskin Kawasan Pantai di
Provinsi Kalimantan Barat. Pengembangan Kebijakan, Srategi
dan Model Pelayanan Terpadu dan Gerakan Masyarakat Peduli
Kabupaten/Kota Sejahtera (PANDU GEMPITA) Kajian Kebijakan.
Perspektif Komitmen Tim Kerja dalam Pengembangan Rumah
Layak Huni Bagi Keluarga Miskin di Bondowoso, Permasalahan
dan Penanganan Anak Jalanan di Kota Bandung, Peluang dan
Tantangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Berau
Kalimantan Timur, Fenomena Kenakalan Remaja dan Kriminalitas,
Peran Dinas Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan di Kota
Sukabumi. DEPRESI: Suatu Tinjauan Psikologis, Fenomena Geng
Motor di Beberapa Kota Jawa Barat, Fenomena Kenakalan Remaja
dan Kriminalitas. Pemenuhan Gizi Keluarga Miskin Penerima
Bantauan Pangan Non-Tunai, Depresi Suatu Tinjauan Psikologis,
Fenomena Kenakalan Remaja dan Kriminalitas, Identifikasi dan
Pemberdayaan Masyarakat Miskin Pesisir, Identifikasi Kearifan

Sekilas Penulis 105


Lokal dalam Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Pemenuhan
Kesejahteraan Sosial Melalui Optimalisasi Ruang Terbuka Hijau
di Kawasaan Perkotaan dalam Perspektif Hukum dan Kebijakan,
Peran Pendamping Sosial Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
dalam Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Penerima Manfaat
Bantuan Sosial Pangan. Memiliki minat pada kajian kesejahteraan
sosial dan kemiskinan. Dapat dihubungi di sleem.ndr@gmail.com.

SUGIYANTO, lahir di Tawangharjo, 8 Januari 1961.  Pendidikan


Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Publik,
Kekhususan Pengembangan Masyarakat (M.Si., Universitas
Muhammadiyah Jakarta, 2005) dan Sarjana Pendidikan Moral
Pancasila dan Kewargaan Negara (S.Pd., Sekolah Tinggi Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial-STPIPS YAPSI, Jayapura, 1994).  Peneliti
Madya Bidang Kesejahteraan Sosial di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan  Sosial, Badan Pendidikan dan
Penelitian Kesejahteraan  Sosial, Kementerian Sosial RI. Aktif
mengikuti kegiatan penelitian bidang kesejahteraan sosial dan
berbagai seminar permasalahan sosial di Indonesia. Beberapa
hasil  penelitiannya telah diterbitkan, baik secara mandiri
maupun berkelompok, di Jurnal Sosiokonsepsia dan Sosioinforma,
Kementerian Sosial RI. Dapat dihubungi di sugiyanto222@ymail.
com.

RIA PERMANA SARI, saat ini menjabat sebagai Kepala Subbagian


Pelaporan pada Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.
Pendidikan Gender and Development Studies (MSc., Asian Institute
of Technology Thailand), dengan tesis “Gendered Experiences of
the Talang Mamak People in the Context of Changing Livelihood”,
dan Exchange Programme (Non-Degree) Jurusan Social Sciences
di University of Turku, Finlandia. Publikasi “Pendidikan Kritis

Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas


106 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Feminis dalam Upaya Pencegahan Trafiking”, dalam Women for
Peace: Perempuan untuk Perdamaian Indonesia (2007), Proceedings
International Women for Peace Conference 30 April-1 Mei, Pedoman
Pelaksanaan Bantuan Pangan Non-Tunai (2016). Presenter pada
8th European Feminist Research Conference di Budapest 17-20
Mei 2012 dan The Inaugural Young Scholars Conference on Asian
Studies in a Globalised World di Thailand 5-6 Maret 2013. Mengikuti
pelatihan dan konferensi pada Rural Development and Union
Capacity Building Training di Korea 11 September-1 Oktober
2014, Professional Fellows Program di Amerika Serikat Fall 2015,
YSEALI Camp U Theory di Jakarta Agustus 2016, Social Protection
Training di Jakarta 2-4 Mei 2018, dan Workshop on Developing
Guidelines on Social Safety Net System in OIC Countries 27-30
September 2019 di Istanbul, Turki. Memiliki ketertarikan pada isu
gender, intersectionality, etnografi, perubahan sosial, dan negara
kesejahteraan. Dapat dihubungi di ria.permana@kemsos.go.id.

Sekilas Penulis 107


S
ecara global, hampir 2 miliar orang menerima bantuan melalui berbagai program
perlindungan sosial. Meskipun semakin tergerus kepopuleran program bantuan langsung
(cash transfer), intervensi berbasis pangan masih tetap sedikit lebih dominan secara
kuantitas. Di Indonesia, bantuan sosial pangan sangat relevan utamanya disebabkan posisi
volatilitas beras yang merupakan penyumbang inflasi nasional nomor satu. Hal ini membuat
komoditas seperti beras dipandang sebagai barometer sehat-tidaknya ekonomi dan bahkan
kenaikan harganya dapat memicu konflik hingga kerusuhan.

Pada sisi lain, pangan adalah prioritas utama bagi penduduk yang hidup dalam kemiskinan,
seringkali menyerap sebagian besar sumber daya keuangan, psikis, dan emosional mereka. Bahkan
bagi mereka yang berada pada bagian ekstrim dari kemiskinan, ketidakpastian tentang 'bagaimana
kita makan hari ini atau esok' akan berujung stres dan kecemasan yang membuahkan cara berpikir
'di sini dan saat ini' sesuatu yang dapat menegasikan masa depan sebagai pilihan bagi puluhan juta
orang Indonesia.

Oleh karena itu memahami peran sentral ketahanan pangan menjadi teramat penting untuk respons
kemiskinan apapun. Dalam konteks kebijakan sosial, ini berarti melampaui strategi ketahanan
pangan yang hanya fokus pada peningkatan produktivitas pertanian, tetapi justru bagaimana
menyediakan akses pangan atau daya beli untuk mengakses komoditas pangan yang tersedia.
Bertolak dari itu, lantas, apakah modalitas bantuan lebih baik diberikan dalam bentuk in-kind,
voucher, cash atau melalui penggabungan dengan program lain? Bagaimana transisi modalitas dan
alih teknologi dalam bantuan sosial pangan dilakukan secara lokal oleh pihak dengan kepentingan
ekonomi berbeda? Apa saja pertimbangan teknis maupun ekonomi politik yang mendukung pilihan
kebijakan yang diambil? Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial melalui
penelitian ini telah menyusun laporan dan analisis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Tiga studi kasus (Solok, Banyuwangi, Bone) dengan latar belakang berbeda yang
menghimpun bukti empiris terbaru dan mendiskusikan untung-rugi bagi masing-masing
stakeholders Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) ini merupakan masukan dan pelajaran
bagi analis dan pemangku kebijakan pusat dan daerah.

Pada era dimana cash transfers mendominasi, buku ini menghadirkan sudut pandang pemetaan
pemangku kepentingan (stakeholders mapping) yang berbeda dalam mendedah kebijakan
bantuan sosial pangan bukan saja dalam kaitannya dengan perlindungan sosial yang efektif, namun
juga potensi transformatif dari efek tumpahannya terhadap ekonomi lokal. Penelitian ini berharap
dapat ikut merangsang perdebatan-perdebatan penting kebijakan bantuan sosial pangan dengan
mengidentifikasi kerentanan-kerentanan yang diakibatkan oleh perubahan modalitas bantuan,
kendala alih teknologi, dan ketimpangan akses yang menyebabkan eksklusi program secara jangka
pendek. Dalam konteks jangka panjang, penelitian ini berupaya menghadirkan bagaimana praktik
baik yang digagas oleh pemerintah daerah, penyedia komoditas level menengah dan kecil serta E-
warong KUBE PKH dan para pendamping dapat berkontribusi dalam menjawab tantangan utama
perlindungan sosial berbasis pangan ke depan.

Anda mungkin juga menyukai