Muhammad Belanawane S. et al
Konsultan
Imelda Leiwakabessy (TNP2K)
Penulis:
Muhammad Belanawane S.
Ria Permana Sari
Agus B. Purwanto
Justine Yohana
Muslim Sabarisman
Sugiyanto
ISBN : 978-623-7806-04-2
Diterbitkan oleh:
PUSLITBANGKESOS KEMENTERIAN SOSIAL RI.
Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta- Timur. Telp. (021) 8017126
E-mail: puslitbangkesos@kemsos.go.id; Website: puslit.kemsos.go.id
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau selu-
ruhnya tanpa izin dari Puslitbangkesos, Kementerian Sosial RI.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pendahuluan iii
KATA PENGANTAR
Pendahuluan v
Salah satu rekomendasi penelitian ini, mengenai pentingnya
menghadirkan peluang penguatan pemberdayaan terhadap
e-warong KUBE/PKH serta pengaturan kelembagaan dan sistem
pelaksanaan program yang diperlukan untuk memastikan bahwa
mekanisme suppy chain komoditas tidak justru menguntungkan
stakeholders pemodal besar, tentunya merupakan masukan
yang sangat berharga bagi pengembangan program bantuan
sosial pangan dan peningkatan keterpaduan antar-program
perlindungan sosial di masa yang akan datang, sehingga dapat
mempercepat kemandirian pangan dan ekonomi keluarga
penerima manfaat bantuan sosial pangan di Indonesia. Oleh
karena itu saya menyambut baik hadirnya buku Laporan Penelitian
‘Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas BPNT’
pada tahun 2019, yang didorong oleh peneliti Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Biro Perencanaan dari
internal maupun eksternal Kementerian Sosial ini sebagai bagian
dari upaya Puslitbang menghadirkan formulasi kebijakan berbasis
bukti di lingkungan Kementerian Sosial.
Pendahuluan vii
BAB 5 : PENUTUP ______________________________________ 89
5.1. Kesimpulan __________________________________ 89
5.2. Rekomendasi ________________________________ 91
DAFTAR PUSTAKA ______________________________________ 95
SEKILAS PENULIS _____________________________________ 103
Sekilas Penulis ix
DAFTAR TABEL
1 PENDAHULUAN
Pendahuluan 1
Setelah masa Reformasi, Indonesia menggunakan
instrumen kebijakan penguatan perlindungan sosial
dalam rangka melindungi ketahanan pangan masyarakat
berpenghasilan rendah. Instrumen kebijakan berorientasi
konsumen ini antara lain konsolidasi program RASKIN,
dimulainya program bantuan transfer tunai, dan pengalihan
subsidi bahan bakar minyak (Bappenas 2014).
Pendahuluan 3
Raskin diubah dengan mekanisme voucher dan dilaksanakan
secara bertahap dimulai pada awal 2017. Penggunaan voucher
dimaksudkan agar penyaluran Raskin dapat terpantau
dan penerima bantuan dapat memperoleh beras dengan
kualitas dan jenis yang diinginkan di toko/warung sesuai
keinginannya. Selain untuk memperoleh beras, voucher
juga dapat dikombinasikan untuk memperoleh kebutuhan
lainnya seperti telur. Pada Ratas tentang Keuangan Inklusif
26 April 2016, Presiden Joko Widodo memberikan arahan
agar manfaat setiap bantuan sosial dan subsidi disalurkan
secara non-tunai. Penyaluran non-tunai tersebut dilakukan
dengan memanfaatkan sistem perbankan untuk memudahkan
pengendalian dan pemantauannya. Penggunaan sistem
perbankan diharapkan dapat mendukung perilaku produktif,
memperluas inklusi keuangan, serta membiasakan perilaku
masyarakat untuk menabung. Presiden juga memberikan
arahan untuk mengintegrasikan beragam kartu dan rekening
untuk berbagai program bantuan sosial menjadi satu kartu dan
satu rekening (TNP2K 2019a, 2019b).
Pendahuluan 5
kepada rakyat miskin untuk memilih kualitas beras dan toko/
warung sesuai pilihannya.
Pendahuluan 7
persoalan sosial dan politik yang terjadi dari pengalaman
pelaksanaan Bansos Rastra.
Pendahuluan 9
mewarnai prinsip 6T sebagai target keluaran program, maupun
tujuan jangka pendek-menengah serta visi jangka panjang
BPNT. Oleh karena itu studi ini akan menjawab permasalahan
tentang apakah potensi dinamika hubungan kelembagaan
penyediaan dan penyaluran BPNT antara BULOG dan pranata
bantuan (merchant/agen/warung/toko dan lainnya) yang
akan berjalan dapat mendukung target keluaran prinsip 6T?
Bagaimana mekanisme koordinasi di antara pihak-pihak
tersebut di atas agar bisa bersinergi dan semakin kuat? Jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditajamkan menjadi
isu-isu strategis dalam tata kelola kelembagaan penyediaan
dan penyaluran komoditas BPNT yang diharap dapat bermuara
pada tujuan perlindungan sosial program BPNT untuk
membantu pemenuhan kebutuhan dasar bagi rumah tangga
miskin Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
(Puslitbangkesos) melakukan studi untuk mengidentifikasi
persoalan baru yang berpotensi muncul dari perubahan
skema penyedia dan penyalur BPNT dari mekanisme pasar ke
pemerintah (BULOG) dan peluang untuk memperkuat sinergi
antar-stakeholders bantuan sosial pangan dari hulu hingga
hilir. Tujuan akhir studi ini adalah membangun rekomendasi
mengenai isu-isu strategis dalam kelembagaan bantuan sosial
pangan yang dapat muncul sebagai persoalan bagi manajemen
penyediaan BPNT terutama di tingkat kabupaten/kota, serta
pengaturan kelembagaan dan sistem pelaksanaan program
yang diperlukan untuk memastikan tidak dirugikannya mitra
program dalam mengakses peluang-peluang yang tidak
melanggar pedoman BPNT dan sekaligus keluarga penerima
manfaat BPNT dalam menerima bantuan sebagai hak
kewarganegaraan mereka. Oleh karena itu, pertanyaan turunan
penelitian ini adalah,
1. Bagaimana peta pelaku-pelaku (stakeholders) kebijakan
Pendahuluan 11
itu hasil penelitian cepat nantinya juga dapat digunakan unit
teknis terkait BPNT untuk mengambil kebijakan lebih lanjut
terkait program.
Pendahuluan 13
BPS/KPS, Perum Bulog, OPD Terkait, UPPKH, TKSK, Pengelola
E-warong, Pendamping Program dan Bank Penyalur). Untuk
melengkapi data penelitian, dilaksanakan kegiatan Focus
Group Discussion (FGD) dalam rangka konfirmasi dengan
berbagai pihak terkait, seperti Dinas Sosial, OPD lain di daerah,
BPS, Perum Bulog, Pendamping (Korteks, TKSK, Pendamping
PKH), Pengelola E-warong, Kominfo, Bank Penyalur, serta
semua stakeholders terkait.
Pendahuluan 15
Studi dokumen dilaksanakan untuk menggali kelengkapan
dokumen terkait program BPNT. Selain itu, teknik ini juga
digunakan untuk menggali data penunjang, baik berupa
data sekunder yang disediakan lembaga terkait (BPS/dinsos/
Kemensos/lainnya), laporan yang pernah dibuat oleh pelaksana
program/petugas pendamping, hasil penelitian yang relevan
maupun dokumen terkait yang lain.
Pendahuluan 17
Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas
18 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
BAB
TINJAUAN
2 KEBIJAKAN BPNT
Penyedia Non-BULOG
Untuk memenuhi lima e-warong (e-warong Batang
Lembang, e-warong Maju Lancar, e-warong Harapan Bersama,
e-warong Bungo Pandang, dan e-warong Simpro Sejahtera),
ditunjuk 2 penyedia non-BULOG atau Huller (Penggilingan
Padi), yaitu: “Huller Tembok” dan “Huller Putri”. Penyedia
memastikan ketepatan waktu penyediaan dan penyaluran
disesuaikan dengan waktu pesan melalui telepon sesuai
pesanan. Dengan memastikan ketepatan jumlah, dikemas
dengan menggunakan kantong plasti yang berkualitas sehingga
dijamin tidak terjadi kebocoran. Masing-masing Huller bisa
menyediakan beras 3 sampai dengan 5 ton per bulan.
Penyalur lokal
(Agen bank, E-warong KUBE PKH
Penyalur lokal
(E-warong agen bank, E-warong KUBE PKH)
Pemerintah Daerah
Penyedia lokal
(Penggilingan padi, Supplier telur)
Penyalur lokal
(BUMDes, E-warong)
Pemerintah Daerah
Penyalur lokal 1
(BUMDes, E-warong, E-warong
KUBE PKH)
3.2.4. Penyaluran
Penyaluran bantuan BPNT ke rekening KPM, sebagaimana
telah dijelaskan di awal dilaksanakan oleh BTN. Sementara itu,
dalam pemanfaatan bantuan BPNT hanya bisa dilakukan di
e-warong yang merupakan agen BNI. Meski terdapat 2 Bank
yang berperan dalam pelaksanaan penyaluran bantuan, pada
saat KPM melakukan transaksi tidak ada biaya yang dikenakan.
Pihak BTN menurut informasi dari pihak Dinas Sosial akan
membuat agen untuk penyaluran BPNT juga, dan meminta
pihak Dinas Sosial melakukan pemetaan terkait dengan agen
yang akan dibentuk.
3.3.3. Penyediaan
Sejak bulan Agustus 2019, penyediaan beras BPNT
di Kabupaten Bone dilakukan oleh Bulog karena adanya
Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 1/MS/K/07/2019 yang
ditranslasikan oleh Pemerintah Daerah dan Dinas Sosial
Kabupaten Bone sebagai keharusan Bulog mengambil alih
penyediaan beras BPNT di seluruh wilayah Kabupaten Bone.
Sebelumnya, agen mengambil pasokan beras dari berbagai
penyalur kecil dan besar di wilayah Kabupaten Bone dan
Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Berikut bagan yang
dapat menggambarkan penyediaan beras di Kabupaten Bone
sebelum adanya Surat Edaran Menteri Sosial.
Pemerintah Daerah
Penyalur lokal
(Agen bank, warung kelontong)
Pemerintah Daerah
Penyalur lokal
(Agen Bank di desa)
3.3.4. Penyaluran
Di Kabupaten Bone, penyaluran BPNT kepada penerima
manfaat dilakukan melalui e-warong yang ditunjuk oleh Bank
atau yang biasa disebut oleh penduduk Bone sebagai agen,
belum ada e-warong KUBE PKH yang ditumbuhkan di wilayah
ini karena belum siapnya sarana dan prasarana. Di Kabupaten
Bone saat ini terdapat 400 agen yang melaksanakan penyaluran
BPNT. Terdapat 1-2 agen di setiap desa. Agen ditunjuk oleh Desa
atau dapat mengajukan ke Bank Mandiri untuk ikut serta dalam
proses seleksi. Bank Mandiri dalam hal ini mengikutsertakan
mahasiswa di sekitar Bone untuk melakukan asesmen terhadap
pihak-pihak yang ditunjuk oleh Desa atau mendaftarkan diri.
Keikutsertaan mahasiswa disebabkan wilayah Kabupaten
Bone yang sangat luas sehingga Bank Mandiri tidak dapat
5 Penutup
5.1. Kesimpulan
Program BPNT sukses mengatasi sebagian persoalan
Subsidi Rastra & Bansos Rastra, tetapi melalui analisis
penyediaan dan penyaluran, ia menimbulkan tantangan baru
yang harus dijawab melalui reformulasi BPNT. Hal demikian
karena ia berhadapan dengan kebijakan ekonomi, proses
politik, dan lembaga sosial-budaya yang mengalokasikan
sumber daya dan kesempatan secara timpang (Mosse 2010,
Elwood, et al. 2016).
Penutup 89
non-pemerintah level lokal/UKM versus penyedia pemerintah
(BULOG) & non-pemerintah level nasional. Perum BULOG
justru cenderung mengisi posisi yang ditinggalkan oleh
penyedia level kecil, menguntungkan penyedia level besar yang
lebih siap secara infrastruktur dan dana. Pada tahap penyaluran,
e-warong KUBE versus e-warong non-KUBE. E-warong KUBE
memungkinkan keluarga miskin mendapatkan keuntungan
dari pelaksanaan BPNT, namun aturan dari bank membatasi
KUBE untuk menjadi e-warong. Selain itu, ada kecenderungan
e-warong bentukan bank lebih longgar dalam menerapkan
Prinsip 6T.
5.2. Rekomendasi
1. Memasukkan pertimbangan analisis pemetaan rantai nilai
pelaku kebijakan (value chain-based stakeholders mapping)
yang lebih detail terhadap penyediaan dan penyaluran
komoditas BPNT, yaitu dalam hal tata-kelola (siapa
melakukan apa), wilayah kewenangan (batasan tugas dan
fungsi), dan pendampingan (pengawasan dan advokasi), ke
dalam desain baru BPNT.
2. Persoalan siapa pihak yang menjadi penyalur komoditas
BPNT harus keluar dari kerangka/framing dikotomi BULOG
atau Non-BULOG yang reduksionis dan tidak produktif.
Akan tetapi dikembalikan pada pihak mana yang paling
siap memenuhi 6 Tepat sekaligus mengakomodir konteks
kebutuhan daerah level terkecil (ekonomi lokal).
3. Mendukung rekomendasi untuk mendefinisikan ulang
peran Perum BULOG, termasuk kontribusinya dalam BPNT.
Jika BULOG berperan sebagai pelaku pasar (co-creating
and co-shaping market) komoditas pangan khususnya
beras, penyedia kecil akan turut diuntungkan dalam jual-
beli beras lokal dan mengurangi pengaruh korporasi
beras level besar. Termasuk dalam hal ini adalah perlunya
membentuk badan otoritas pangan yang mengambil alih
tugas koordinasi kebijakan pangan nasional pada Kemenko
PMK dan K/L terkait.
4. Reposisi peran dan kelembagaan e-warong (termasuk
kejelasan terminologi). Jika memang elemen pemberdayaan
penting dalam program BPNT, perlu standar bahwa
usaha yang diikutsertakan sebagai penyalur merupakan
Penutup 91
UKM dengan modal dan profit kecil dan e-warong KUBE
Kementerian Sosial. Terkait dengan keanggotaan e-warong
KUBE Kementerian Sosial, desain saat ini yang hanya
memindahkan 10 anggota KUBE otomatis menjadi anggota
e-warong berpotensi tidak memberdayakan karena sedikit
keuntungan yang didapat harus dibagi kepada 10 orang
anggotanya.
Memikirkan ulang desain anggota e-warong KUBE
ini berkonsekuensi peningkatan kapasitas fiskal atau
pembiayaan yang lebih banyak dan lebih baik untuk
mendukung e-warong KUBE sebagai mekanisme
pemberdayaan yang berkelanjutan. Gagasan memperluas
e-warong KUBE ini tentunya memerlukan tambahan
kucuran dana yang tidak sedikit. Akan tetapi dengan
demikian melalui e-warong KUBE pemerintah dapat mulai
memberlakukan kebijakan ‘progresif’ (dengan melindungi
KPM atau KPM Graduasi PKH melalui skema bantuan sosial
pangan) sekaligus kebijakan sosial yang ‘berkelanjutan’
(dengan mengikutsertakan KPM atau KPM Graduasi PKH
ke dalam kegiatan produktif yang memberdayakan). Dari
sisi lain, memberdayakan e-warong KUBE juga berarti
memanfaatkan ceruk pasar yang telah tersedia tanpa
membangun dari awal melalui pasar tertawan (captive
market) komoditas beras dan pangan lainnya yang telah
tersedia dalam penyaluran BPNT, dan sekaligus juga
mengeliminir pandangan negatif terhadap KPM bantuan
sosial sebagai ‘memiliki ketergantungan’.
5. Pencapaian tujuan jangka pendek BPNT harus mengarus-
utamakan faktor-faktor ekonomi-politik lokal. Mengingat
keterlibatan multipihak, yang harus diperhatikan bukan
hanya (1) adanya keuntungan; tetapi juga (2) adanya
ketimpangan keuntungan yang bisa didapatkan oleh
berbagai pihak dari aktivitas penyediaan dan penyaluran
komoditas BPNT. Desain program selanjutnya harus
mengidentifikasi faktor risiko bagi penyedia dan penyalur
UKM melalui penggambaran area intervensi yang lebih
Penutup 93
Kelembagaan Penyediaan dan Penyaluran Komoditas
94 Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Daftar Pustaka
Alderman, H., Gentilini, U., and Yemtsov, R. (Eds.) (2018). The 1.5
Billion People Question: Food, Vouchers, or Cash Transfers.
Washington, D.C.: The World Bank.
Bastagli, F., Hagen-Zanker, J., Harman, L., Barca, V., Sturge, G., and
Schmidt, T. (2016). Cash transfers: what does the evidence
say? A rigorous review of programme impact and the role
of design and implementation features. London: Overseas
Development Institute.
Bazzi, S., et al. (2013). ‘It’s All in the Timing: Household Expenditure
and Labor Supply Responses to UCTs.’ Working Paper.
Bazzi, S., et al. (2015). ‘It’s All in the Timing: Cash Transfers and
Consumption Smoothing in a Developing Country.’
Journal of Economic Behavior & Organization, 119.
Daftar Pustaka 95
Bhattacharya, S., Falcao, V.L., and Puri, R. (2018). ‘The Public
Distribution System in India: Policy Evolution and Program
Delivery.’ In Alderman, H., Gentilini, U., and Yemtsov, R.
(Eds.) The 1.5 Billion People Question: Food, Vouchers, or
Cash Transfers. Washington, D.C.: The World Bank.
Grilli, L., Mazzucato, M., Meoli, M., and Scellato, G. (2018). ‘Sowing
the seeds of the future: Policies for financing tomorrow’s
innovations.’ Technological Forecasting & Social Change,
127: 1-7.
Daftar Pustaka 97
Jakarta: Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan
Kesejahteraan Sosial.
Daftar Pustaka 99
oecd/agriculture-and-food/managing-food-insecurity-
risk_9789264233874-en#.WSwlUet970M#page1).
Smith, L., El Obeid, A., Jensen, H. (2000). ‘The geography and causes
of food insecurity in developing countries.’ Agricultural
Economics, 22: 199-215.
World Bank. (1986). Poverty and Hunger: Issues & Options for Food
Security in Developing Countries.
World Bank. (2015). The State of Social Safety Nets 2015. Washington,
D.C.: World Bank.
Pada sisi lain, pangan adalah prioritas utama bagi penduduk yang hidup dalam kemiskinan,
seringkali menyerap sebagian besar sumber daya keuangan, psikis, dan emosional mereka. Bahkan
bagi mereka yang berada pada bagian ekstrim dari kemiskinan, ketidakpastian tentang 'bagaimana
kita makan hari ini atau esok' akan berujung stres dan kecemasan yang membuahkan cara berpikir
'di sini dan saat ini' sesuatu yang dapat menegasikan masa depan sebagai pilihan bagi puluhan juta
orang Indonesia.
Oleh karena itu memahami peran sentral ketahanan pangan menjadi teramat penting untuk respons
kemiskinan apapun. Dalam konteks kebijakan sosial, ini berarti melampaui strategi ketahanan
pangan yang hanya fokus pada peningkatan produktivitas pertanian, tetapi justru bagaimana
menyediakan akses pangan atau daya beli untuk mengakses komoditas pangan yang tersedia.
Bertolak dari itu, lantas, apakah modalitas bantuan lebih baik diberikan dalam bentuk in-kind,
voucher, cash atau melalui penggabungan dengan program lain? Bagaimana transisi modalitas dan
alih teknologi dalam bantuan sosial pangan dilakukan secara lokal oleh pihak dengan kepentingan
ekonomi berbeda? Apa saja pertimbangan teknis maupun ekonomi politik yang mendukung pilihan
kebijakan yang diambil? Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial melalui
penelitian ini telah menyusun laporan dan analisis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Tiga studi kasus (Solok, Banyuwangi, Bone) dengan latar belakang berbeda yang
menghimpun bukti empiris terbaru dan mendiskusikan untung-rugi bagi masing-masing
stakeholders Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) ini merupakan masukan dan pelajaran
bagi analis dan pemangku kebijakan pusat dan daerah.
Pada era dimana cash transfers mendominasi, buku ini menghadirkan sudut pandang pemetaan
pemangku kepentingan (stakeholders mapping) yang berbeda dalam mendedah kebijakan
bantuan sosial pangan bukan saja dalam kaitannya dengan perlindungan sosial yang efektif, namun
juga potensi transformatif dari efek tumpahannya terhadap ekonomi lokal. Penelitian ini berharap
dapat ikut merangsang perdebatan-perdebatan penting kebijakan bantuan sosial pangan dengan
mengidentifikasi kerentanan-kerentanan yang diakibatkan oleh perubahan modalitas bantuan,
kendala alih teknologi, dan ketimpangan akses yang menyebabkan eksklusi program secara jangka
pendek. Dalam konteks jangka panjang, penelitian ini berupaya menghadirkan bagaimana praktik
baik yang digagas oleh pemerintah daerah, penyedia komoditas level menengah dan kecil serta E-
warong KUBE PKH dan para pendamping dapat berkontribusi dalam menjawab tantangan utama
perlindungan sosial berbasis pangan ke depan.