Anda di halaman 1dari 7

Sedangkan, berkaitan dengan 

fungsi kurikulum bagi siswa sebagai subjek didik, terdapat


beberapa fungsi kurikulum, diantaranya adalah: Pertama, Fungsi Penyesuaian (the adjustive
function), yaitu merupakan fungsi kurikulum yang mengandung arti bahwa kurikulum sebagai
salah satu dari alat pendidikan harus mampu mengarahkan peserta didik agar memiliki sifat
mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan social dan lingkungan fisik. Lingkungan social
maupun lingkungan fisik pada dasarnya serng mengalami perubahan. Karena itu, peserta didik
harus mampu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkunga tersebut.
Kedua, Fungsi Integrasi (the integrating function), yaitu sebagai alat pendidikan
kurikulum harus dapat menghasilkan pribadi-pribadi peserta didik yang utuh. Artinya bahwa,
peserta didik merupakan bagian dari anggota masyarakat, di harapkan harus memiliki
kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup berdampingan dan berintegrasi dengan
masyarakat dimana ia berada. Ketiga, Fungsi Diferensiasi (the differentiating function), yaitu
sebagai alat pendidikan kurikulum harus mampu memberikan pelayanan terhadap setiap individu
peserta didik yang berbeda baik perbedaan itu bersifat fisik maupun psikis. 
Keempat, Fungsi Pemilihan (the selective function), yaitu sebagai alat pendidikan
kurikulum harus dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat memilih
jurusan atau materi belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Karena itu, sangat erat
hubunganya antara fungsi kurikulum  diferensiasi dengan fungsi kurikulum pemilihan, karena
adanya pengakuan terhadap perbedaan individu peserta didik tersebut, berarti pula diberinya
kesempatan bagi peserta didik tersebut untuk memilih yang sesuai dengan minat, bakat dan
kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut, kurikulum harus disusun dengan
fleksibel.
Kelima, Fungsi Persiapan (the propaedeutic function), yaitu sebagai alat pendidikan
kurikulum harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu melanjutkan studi ke jenjang
pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik
untuk dapat memperoleh pekerjaan atau bahkan menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri. Keenam, Fungsi Diagnostik (the diagnostic function), yaitu sebagai alat pendidikan
kurikulum harus dapat membantu dan mengarahkan peserta didik untuk dapat mengetahui,
memahami dan menerima potensi dan kelemahan yang dimilikinya. Jika peserta didik telah
mampu memahami potensi dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka diharapkan
peserta didik dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimilikinya atau
memperbaiki kelemahan-kelemahannya tersebut.
Dari beberapa fungsi kurikulum di atas, maka jelas bahwa kurikulum memiliki posisi
yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini karena, Kurikulum
dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan
dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh. Karena itu, dapat dikatakan sebuah pendidikan
itu akan berjalan dengan baik jika kurikulumnya disusun dan dijalankan dengan baik pula.
|| Penulis Dosen Pendidikan Agama Islam UMSU. (Telah Terbit Di Harian Jurnal Asia,
2016).

BAB II
LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM
A.    Pengertian Landasan, Filosofis, dan Psikologis
Landasan dapat diartikan dasar, alas, atau bantalan. Selanjutnya, kata Filosofis (Filsafat)
bararti pengetahun dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab,
asal, dan hukumya. Juga bisa diartikan dengan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika,
dan epistemology. Sedangkan arti Psikologis adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental,
baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku (ilmu jiwa). [1]
  
B.     Landasan Filosofis
Secara bahasa, Filosofis (Filsafat) dapat diartikan dengan cinta akan kebijakan. Orang
yang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Berfilsafat
juga sering disebut dengan berpikir secara radikal, berpikir sampai ke akar. Orang yang bijak
harus memiliki pengetahuan. Pengetahuan akan didapatkan dari berpikir secara mendalam.
Selanjutnya, berpikir secara mendalam ini disebut sebagai pemikiran radikal.
Sebagai induk dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat
dirumuskan sebagai kajian tentang:
a.       Metafisika, yakni studi tentang hakikat kenyataan atau realitas
b.      Epistemologi, yakni studi tentang hakikat pengetahuan
c.       Aksiologi, yakni studi tentang nilai
d.      Etika, yakni studi tentang hakikat kebaikan
e.       Estetika, yakni studi tentang hakikat keindahan
f.       Logika, yakni studi tentang hakikat penalaran[2]
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia, termasuk masalah
pendidikan. Kemudian muncul Filsafat Pendidikan. Donald Butler mengungkapkan, filsafat
memberikan arah dan metodologi terhadap praktis pendidikan, sedangkan praktik pendidikan
memberiakan bahan bagi pertimbangan filosofis.
John Dewey mempunyai pandangan yang hampir sama dengan Donald Butler. Bagi
Dewey filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama. Dalam Filsafat Pendidikan juga dikenal
banyak pandangan dan aliran. Setiap landasan memiliki landasan metafisika, epistemilogi, dan
aksiologi tentang maslah pendidikan yang berbeda.

1.      Dasar Filsafat Dewey


Cirri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah, mengalir,
atau on going-ness. Filsafat Dewey lebih berkenan dengan epistemologidan tekanannya terhadap
proses berpikir. Proses berpikir merupakan salah satu dengan pemecahan yang bersifat tentatif,
antara ide dan fakta, antara hipotesis dan hasil. 
Tujuan perkembangan manusia adalah self realization. Yaitu, suatu yang kongkret bersifat
empiris tidak dapat dipisahkan dari pengalaman dan lingkungan. Hanya saja dapat diperoleh
melalui pengalaman dan interaksi dengan yang lain.

2.      Teori Pendidikan Dewey


Pendidikan menurut John Dewey adalah perkembangan dari sejak lahir sampai menjelang
kematiannya. Sehingga, pendidikan juga dikatakan kehidupan. Proses pendidikan bersifat
kontinu, merupakan reorganisasi, rekontruksi, dan pengubahan pengalaman hidup.
Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekontruksi yang konstan dari pengalaman. Setiap
fase perkembangan kehidupan merupakan fase pendidikan. Mulai dari masa kanak-kanak, masa
muda, dan dewasa, semuanya adalah fase pendidikan. Pendidikan itu tidak berakhir, kecuali
kalau seseorang itu telah mati.
Syarat menyusun bahan ajaran menurut Dewey adalah:
a.       Bahan ajaran hendaknya kongkret, dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan,
dipersiapkan secara sitematis dan mendetai.
b.      Pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil belajar, hendaknya ditempatkandalam kedudukan
yang berarti, yang memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan kegiatan yang
lebih menyeluruh.
Bahan pelajaran harus mendorong anak untuk bergiat dan berbuat. Kita mengharapkan anak-
anak yang aktif, yang bekerja, dan bereksperimen. Guru haru menempatkan dirinya dalam
seluruh interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa. Guru juga harus
memilih bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan.  
Al ‘Ainain (1980) menyatakan bahwa Filsafat Pendidikan merupakan aktivitas yang teratur
(sistematis) yang menggunakan filsafat sebagai alat untuk mengatur dan menyusun pelaksanaan
pendidikan, dan menjelaskan nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang mengarahkan berlangsungnya
pelaksanaan pendidikan secara tepat.[3]
Kemudian, sekolah memiliki fungsi khusus sebagai bagian dari lingkungan manusia. Antara
lain:
a.       Menyediakan lingkungan yang disederhanakan. Tidak mungkin kita memasukkan seluruh
peradaban manusia yang sangat kompleks ke sekolah. Begitu pula sebaliknya.
b.      Membentuk masyarakat yang akan datang yang lebih baik. Siswa tidak belajar dari masa lalu,
tetapi belajar dari masa sekarang untuk memperbaiki masa yang akan datang.
c.       Mencari keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di dalam lingkungan.  Sekolang
memberi kesempatan kepada setiap individu/ siswa untuk memperoleh lingkungan hidupnya.

C.    Landasan Psikologis
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia. Dalam setiap proses
pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik  dengan lingkungannya, baik lingkungan yang
bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan
perilaku peserta didik menuju kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental, emosional, moral,
intelektual, maupun sosial. Harus  diingat  bahwa  walaupun  pendidikan  dan 
pembelajaran adalah upaya untuk mengubah perilaku manusia, akan tetapi tidak semua
perubahan perilaku manusia/peserta didik mutlak sebagai akibat dari intervensi program
pendidikan.
Perubahan  perilaku  peserta  didik  dipengaruhi  oleh  faktor kematangan  dan  faktor 
dari  luar  program  pendidikan  atau lingkungan. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai
tujuan/program pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses perubahan perilaku  peserta
didik.  Kurikulum diharapkan dapat menjadi alat untuk mengembangkan kemampuan potensial
menjadi kemampuan aktual  peserta  didik  serta  kemampuan-kemampuan  baru  yang dimiliki
dalam waktu yang relatif lama.
Pengembangan  kurikulum harus  dilandasi  oleh  asumsi-asumsi yang berasal dari
psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik,  serta 
bagaimana peserta didik belajar. Kondisi Psikologis adalah kondisi karakteristik psikofisik
seseorang sebagai individu yang dinyatakan dalam berbagai bentuk prilaku dalam interaksinya
dengan lingkungan. Prilakunya merupakan cirri dari kehidupannya yang tampak maupun yang
tidak tampak, yakni prilaku kognitif, afektif maupun psikomotorik.[4]
Minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu
psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik didalam
merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode
pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.[5] Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu pribadi anak didik berkenaan dengan perkembangannya.
Dalam psikologi perkembangan yang dalam term tertentu disamakan dengan ilmu Jiwa
Perkembangan, di dalamnya dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan
anak, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang
berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Untuk dijadikan landasan dalam mempertimbangkan bobot belajar pada masing-masing
tingkatan dan jenjang serta beban belajar yang mesti diselaraskan dengan tingkat perkembangan
psikologi dan kejiwaan peserta didik.[6]
a.       Psikologi perkembangan
Psikologi perkembangan membahas perkembanga individu yang dimulai sejak masa
konsepsi hingga dewasa. Individu ialah anak ataupun orang dewasa yang merupakan kesatuan
jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan menunjukkan karakteristik-
karakteristik tertentu yang khas. Individu adalah manusia adalah sesuatu yang sangat kompleks
tetapi unik.ia memiliki banyak aspek seperti jasmani, intelektual, social, emosional, moral, tetapi
keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang khas.[7]
Dikenal terdapat tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan
pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (differential approach), dan pendekatan
ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan invidu berjalan
melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik
tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu
memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu
dikatagorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Kita mengenal ada kelompok individu
berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status social-ekonomi, dan sebagainya. Kedua pendekatan
tersebut berusaha untuk menarik atau membuat generalisasi yang berlaku untuk semua individu.
Namun dalam kenyataannya seringkali ditemukan adanya sifat-sifat individual, yang hanya
dimiliki oleh seorang individu dan tidak dimiliki oleh yang lainnya. Pendekatan yang berusaha
melihat karakteristik individu-individu inilah yang dikelompokkan sebagai pendekatan isaptif.[8]
b.      Psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu belajar. Secara
sederhana, belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui
pengalaman. Segala perubahan tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun
psikomotor dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikatagorikan sebagai perilaku belajar.
Menurut Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt ada tiga rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin
mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.[9]
Menurut teori disiplin mental dari kelahirannya anak telah memiliki potensi-potensi tertentu
seperti daya untuk mengamati, menanggap, mengingat, berpikir, memecah masalah, dan
sebagainya. Belajar merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi tersebut. Pada teori
behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/membawa potensi
apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh factor-faktor dari lingkungan.
Rumpun ketiga ialah  Cognitive Gestalt Field, menurut teori ini belajar adalah proses
mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman
terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam
lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu
merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif. 

Fungsi Penyesuaian.
Fungsi Penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well
adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik
lingkungan fi-sik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri
senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Karena itu, siswa
pun harus memiliki kemam-puan untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi di lingkungan-nya.

Fungsi Integrasi.
Fungsi Integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pen-
didikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada
dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh
kare-na itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk
dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.

Fungsi Diferensiasi.
Fungsi Diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan
indivi-du siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik
maupun psi-kis, yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.

Fungsi Persiapan.
Fungsi Persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pen-
didikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke
jen-jang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan
dapat mem-persiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat
seandainya karena se-suatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.

Fungsi Pemilihan.
Fungsi Pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pen-
didikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk
memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan
minatnya. Fung-si pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi
diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa
berarti pula diberinya ke-sempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa
yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua
fungsi tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat
fleksibel.

Fungsi Diagnostik
Fungsi Diagnosti mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pen-
didikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat
mema-hami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang
dimilikinya. Jika siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemah-an yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa
dapat mengembangkan sen-diri potensi kekuatan yang dimilikinya atau
memperbaiki kelemahan-kele-mahannya.

B. Peranan Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki
peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan
pendidikan. Terdapat tiga peranan Kurikulum yang dinilai sangat
penting, yaitu: (a) peranan konser-vatif, (2) peranan kreatif, dan (3)
peranan kritis/evaluatif (Oemar Hamalik, 1990).

Peranan Konservatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum sebagai sarana untuk
mentrans-misikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap
masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para
siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini pada hakikatnya
menempatkan kurikulum, yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini
sifatnya menjadi sangat men-dasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa
pendidikan pada hakikatnya me-rupakan proses sosial. Salah satu tugas
pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang hidup di ling-kungan masyarakatnya.

Peranan Kreatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembang-
kan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebu-
tuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang.
Kuri-kulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu setiap siswa
mengem-bangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh
pengetahu-an-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru, serta
cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.

Peranan Kritis dan Evaluatif.


Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan
budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan,
se-hingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu
disesu-aikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu,
perkembang-an yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang
belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Karena itu, peranan
kurikulum tidak hanya me-wariskan nilai dan budaya yang ada atau
menerapkan hasil perkembangan ba-ru yang terjadi, melainkan juga
memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta
pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Da-lam hal ini,
kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial.
Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa
kini dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-penyem-
purnaan.

Ketiga peranan kurikulum di atas tentu saja harus berjalan secara


seim-bang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika
tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan
kurikulum per-sekolahan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga
peranan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang
terkait dalam proses pen-didikan, di antaranya guru, kepala sekolah,
pengawas, orang tua, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pihak-
pihak yang terkait tersebut idealnya da-pat memahami betul apa yang
menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang di-terapkan sesuai dengan
bidang tugas masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai