Anda di halaman 1dari 80

RESUME TUTORIAL SKENARIO 4

DISUSUN OLEH : KELOMPOK TUTORIAL O

Larasayu Putri 172010101001


Girindra Syifa F. 192010101018
Nuriel Lailatul M. 192010101020
Florence Marianty W.P. 192010101049
Faradila Arsy 192010101056
Meutia Citra A. 192010101081
Rizka Amalia Z. 192010101103
Leila Nur Z. 192010101108
Nur Alfianti P. 192010101129
Salsabilla Widarosa 192010101130
Ratih Dewi S. 192010101141
Diaz Erlangga 192010101142
M. Daffa Ahlulkemal 192010101154

PEMBIMBING:

dr. Rosita Dewi, M. Biotech

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, dan hidayah-Nya kelompok tutorial O dapat menyelesaikan tugas resume
tutorial 4 tepat pada waktunya.
Resume tutorial 4 ini dapat tersusun berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami hendak mengucapkan terima kasih banyak,
khususnya kepada dr. Rosita Dewi, M. Biotech selaku dosen pembimbing kami dalam
kelompok tutorial O Fakultas Kedokteran Universitas Jember, Segenap keluarga yang telah
memberikan dukungan dan semangat kepada kami, serta pihak-pihak lain yang turut
membantu terselesaikannya resume tutorial 4 ini.
Kami menyadari bahwa resume tutorial 4 ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Kami mohon kritik dan saran yang membangun sebagai pedoman kami dalam
melangkah ke arah yang lebih baik. Semoga resume tutorial 4 ini dapat berguna bagi kita
semua.

Jember, 28 November 2020


SKENARIO 4
NYERI DADA

Seorang perempuan berusia 55 tahun dibawa ke UGD RS dengan keluhan nyeri dada. Keluhan
dirasakan tiba-tiba 3 jam sebelum ke RS setelah naik motor dan mengangkat 5 kg beras. Nyeri
dirasakan seperti tertindih benda berat dan menjalar ke rahang bagian bawah dan lengan kiri.
Pasien tidak pernah mengeluh nyeri dada sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tinggi
badan 160 cm, berat badan 70 kg, tekanan darah 160/80 mmHg, denyut nadi 90 x/menit, frekuensi
nafas 26 x/menit. Intensitas nyeri dengan VAS pada skala 8-9. Hasil pemeriksaan EKG sesuai
gambar berikut. Pasien diketahui memiliki riwayat hipertensi namun tidak rutin kontrol. Ayah
pasien adalah penyandang diabetes mellitus. Saat disiapkan untuk pindah ke ICCU, pasien
mengeluh dada semakin berdebar-debar dan acral menjadi dingin.
A. PEMBAHASAN KLARIFIKASI ISTILAH

1. VAS
VAS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri yang dialami
pasien dengan menggunakan sebuah tabel garis 10 cm dengan pembacaan skala 0–100
mm dengan rentangan makna:

2. ICCU
Unit perawatan intensif untuk penyakit jantung koroner, serangan jantung, gagal jantung.
Untuk pasien dengan kondisi tidak stabil dan dibutuhkan ruangan steril

B. PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa pasien mengeluhkan nyeri yang menjalar ke rahang dan lengan kiri dan
bagaimana mekanismenya?
Nyeri yang menjalar ke rahang dan lengan kiri tersebut dapat menjadi penanda dari ada
kelainan pada arteri coroner, bisa terjadi karena adanya obstruksi total maupun parsial.
Hal tersebut terjadi karena meningkatnya kebutuhan miokard terhadap O2 dan
menurunnya perfusi, sehingga terjadi ischemia. Untuk mekanismenya bermacam-macam,
bisa karena adanya proses aterosklerosis, ruptur plak, terjadi vasospasme pembuluh darah
koroner akibat zat vasoaktif platelet, peningkatan stimulus simpatis dengan meningkatnya
denyut jantung dan vasokontriksi. Mekanisme-mekanisme tersebutlah yang dapat
menyebabkan miokard mengalami ischemi yang manisfestasi klinisnya berupa nyeri dada
yang menjalar ke rahang dan lengan kiri.
2. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik pasien?
- TB = 160, BB = 70, IMT = 27,3  obesitas grade 1  salah satu faktor resiko PJK
- TD 160/80 = hipertensi  faktor resiko PJK
- Heart rate 90x/menit = normal
- RR 26 x/menit = takipneu  adanya sumbatan dan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
3. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan ekg?
Irama : sinus (gelombang P diikuti kompleks qrs)
Frekuensi : reguler karena jarak antar gelombang R sama, jadi dapat menggunakan rumus
300:jumlah kotak sedang antar gelombang R, maka 300:3,5 sekitar 85x/mnt, termasuk
normal
Axis : didapatkan lead 1 avf positif maka axis normal
Kelainan ruang jantung : tidak ditemukan P pulmonal maupun mitral di lead 2 atau V1
maka tidak ada pembesaran atrium, juga tidak ditemukan tanda adanya hipertrofi
ventrikel
Koroner : terdapat ST elevasi di lead 2,3 dan avf menunjukkan adanya infark di bagian
inferior jantung. Adanya ST depresi pada lead 1, avl, v2,v3,v4 menunjukkan adanya
iskemia anterolateral, kemungkinan akibat dampak dari infark.
4. Bagaimana interpretasi dari VAS?

Berdasarkan kasus di atas, skala nyeri pasien berada pada skala 8-9 yang berarti nyeri
berat
5. Apakah kaitan antara nyeri dada dengan hipertensi yang dialami pasien?
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan disfungsi pada endotel.
Disfungsi endotel dapat menyebabkan aterosklerosis. Pada aterosklerosis akan timbul
plaq dimana plaq ini dilapisi oleh suatu dinding yaitu dinding plaq. Dinding plaq yang
lemah dapat menyebabkan rupture plaq, dimana kelemahan dinding ini disebabkan oleh
adanya enzim protease yang dihasilkan oleh makrofag. Ruptur plaq menyebabkan
terjadinya thrombus. Thrombus yang terbentuk ini dapat melewati pembuluh darah yang
mengarah pada organ-organ seperti jantung. Apabila menyumbat pada arteri coroner
dapat menyebabkan nyeri dada atau yang disebut dengan angina pectoris. Dimana angina
pectoris ini memiliki gejala yang khas seperti yang dialami pasien yaitu terjadi atau
bertambah parah saat melakukan suatu aktivitas dan nyerinya dapat menjalar seperti ke
rahang bawah dan lengan kiri.
6. Apakah ada kaitan antara ayah pasien yang menyandang diabetes melitus dengan
kondisi pasien?
- Ada. Meningkatkan resiko terjadinya diabetes pada pasien  hiperglikemia dan
dislipidemia  penumpukan LDL  disfungsi endotel  meningkatkan resiko
aterosklerosis  SKA
- Keturunan = diabetes tipe 1 , karena sel beta pankreas terjadi kerusakan sehingga tidak
dapat menghasilkan insulin ; karena faktor genetik
- Pasien dengan DM  kadar gula darah meningkat akan menempel ke dinding pembuluh
darah  berikatan dg protein  AGES  aterosklerosis pada dinding pembuluh darah
- Dilakukan pemeriksaan pada pasien dengan usia >45 tahun / <45 tahun dengan obesitas
7. Apakah ada hubungan antara keluhan pasien dengan aktivitas yang dilakukan
pasien sebelumnya yaitu mengangkat beras 5 kg?
Ketika beraktivitas, kan butuh lebih banyak oksigen di sistemik Maka jantung harus lebih
kuat memompa darah ke sistemik. Padahal jantung itu sendiri kan adalah kumpulan otot
Butuh oksigen juga,jika oksigen mencukupi untuk produksi energi mendukung
kontraktilitas otot jantung. Sedangkan arteri koronernya lagi tersumbat, jadi darah ke
jantung menurun Padahal dia harus bekerja keras, maka ya terjadi angina pectoris akibat
jantungnya meronta2 kekurangan oksigen.
8. Apa yang menyebabkan dada pasien semakin berdebar-debar dan akral menjadi
dingin?

Keringat dingin sendiri bukanlah suatu penyakit, akan tetapi merupakan gejala penyerta
dari kondisi tertentu yang mendasarinya. Keringat dingin terutama muncul di kaki,
telapak tangan, bawah lengan, dan ketiak. Keringat dingin yang menyertai keluhan nyeri
dada khas atau sesak nafas mengindikasikan adanya serangan jantung akut.
Penurunan cardiac output dimana darah tidak ada yang dipompa dari ventrikel kiri ke
seluruh tubuh tidak normal sehingga hal ini akan menyebabkan vasokontriksi di
pembuluh darah perifer, tubuh akan merespon keadaan ini dengan stress, stress tersebut
akan meningkatkan suhu tubuh sebagaimana kita ketahui bahwa suhu tubuh diatur oleh
hipotalamus yang menghasilkan hormone bradykinin yang mempengaruhi kelenjar
keringat , rangsang stress tadi membuat suhu pada pembuluh darah naik dan akan
merangsang hipotalamus yang dimana rangsang tersebut akan diteruskan ke kelenjar
keringat dan kelenjar keringat akan menyerap beberapa zat dari kapiler pembuluh draah
dan akan keluar dari kulit dalam bentuk keringat.
9. Mengapa pasien dipindah ke ruang ICCU?
- Pasien kondisi gawat darurat : fungsi jantung menurun, akral dingin
- Karena dibutuhkan terapi yang intensif
- Kriteria : golongan pasien prioritas I, pasien kritis, tidak stabil, dibutuhkan alat ventilasi,
obat antiaritmia ; terjadi gangguan PJK
10. Tindakan apa yang dilakukan di ICCU?
Fase Akut di UGD
a. Bed rest total
b. Oksigen 2-4 liter/menit
c. Pemasangan IVFD
d. Obat-obatan :
 Aspilet 160 mg kunyah
 Clopidogrel (untuk usia<75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi
clopidogrel) berikan 300 mg jika pasien mendapatkan terapi fibrinolitik
atau
 Clopidogrel 600mg atau Ticagrelor1 80mg jika pasien mendapatkan
primary PCI
 Atorvastatin 40 mg
 Nitrat sublingual 5 mg, dapat diulang sampai 3 (tiga) kali jika masih ada
keluhan, dan dilanjutkan dengan nitrat iv bila keluhan persisten
 Morfin 2-4 mg iv jika masih nyeri dada
e. Monitoring jantung
f. Jika onset < 12jam:
 Fibrinolitik (di IGD) atau
 Primary PCI (di Cathlab) bila fasilitas dan SDM di cathlab siap melakukan
dalam 2 jam
 Aspilet 160mg kunyah
 Clopidogrel (untuk usia<75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi
clopidogrel) berikan 300 mg jika pasien mendapatkan terapi fibrinolitik
atau
 Clopidogrel 600mg atau Ticagrelor1 80mg jika pasien mendapatkan
primary PCI
 Atorvastatin 40mg
 Nitrat sublingual 5mg, dapat diulang sampai 3 (tiga) kali jika masih ada
keluhan, dan dilanjutkan dengan nitrat iv bila keluhan persisten
 Morfin 2-4 mg iv jika masih nyeri dada

11. Bagaimana diagnosis dan diagnosis banding dari pasien?


Pasien mengalami angina pectoris yang dapat diketahui dari kondisi pasien yang
mengalami keluhan nyeri dada tiba-tiba seperti tertindih benda berat dan menjalar ke
rahang bagian bawah dan lengan kiri setelah melakukan aktivitas yaitu mengangkat 5 kg
beras. Dan, angina yang dialami pasien merupakan jenis angina tipikal karena terdapat 3
ciri-ciri yang masuk ke dalam angina tipikal yaitu rasa tertekan/berat di daerah
retrosternal, dipicu oleh aktivitas atau stress emosional, dan dapat membaik dengan
istirahat atau pemberian nitrat. Selain itu juga, pasien kemungkinan mengalami penyakit
jantung koroner (PJK) yang disebabkan akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dan
kebutuhan oksigen. Adanya faktor resiko seperti hipertensi, obesitas, dan diabetes
mellitus dapat menyebabkan terjadinya kerusakan/disfungsi endotel sehingga terjadi
aterosklerosis yang merupakan penyebab dari penyakit jantung koroner. Pada
aterosklerosis, plak aterosklerosis menyebabkan vasokontriksi sehingga terjadi oklusi
(penyumbatan) pembuluh darah terutama di arteri koronaria. Akhirnya aliran darah
koroner tidak adekuat yang menyebabkan iskemia miokard dan terjadi penurunan perfusi
jantung yang berakibat pada penurunan intake oksigen dan akumulasi hasil metabolisme
senyawa kimia. Sel-sel miokard pun mengompensasikan dengan berespirasi anaerob
dimana produk sampingannya yaitu asam laktat yang dapat membuat pH sel menurun.
Perubahan metabolisme sel-sel miokard inilah yang menstimulasi reseptor nyeri melalui
symphatetic afferent di area korteks sensoris primer (area 3,2,1 Broadman), sehingga
terjadi nyeri dada pada pasien. Selain itu juga, pasien kemungkinan mengalami sindrom
koroner akut yaitu STEMI. STEMI merupakan kondisi dimana adanya infark di suatu
bagian, adanya ST elevasi, serta troponin meningkat yang menunjukkan adanya
kerusakan jantung. Dan pada pasien di skenario ini diketahui pada gambaran EKG nya
ditemukan adanya ST elevasi pada lead II, III, dan aVF yang menunjukkan terjadi infark
miokard pada jantung bagian inferior.
12. Pengobatan apa yang sekiranya dapat dilakukan pada keluhan pasien?
1. Pengobatan untuk anti angina
- Angina  konidisi dimana terjadi ketidakseimbangan antara O2 supply dan O2
demand (kebutuhan dan pemenuhan)
- Shg obat2 anti angina itu tujuannya ada 2 :
a. Meningkatkan aliran darah / blood flow
Nitrat  nitroglycerin
b. Menurunkan O2 demand/ kebutuhan O2
Beta blocker
Calcium Channel Blocker
2. Pengobatan untuk aterosklerosis :
- Statin
 obat yg aman dan ditoleransi dgn baik
 merupakan pilihan pertama untuk menurunkan k-ldl
 Fx :
Dapat menurunkan k-ldl > 55%
Dapat menurunkan TG >15%
Dapat menaikkan k-hdl >15%
 Bisa terjadi efek samping terhadap liver tetapi jarang, karena itu disarankan
untuk pemeriksaan fungsi liver sebelum memberikan statin dan dievaluasi
secara berkala setiap 6 bulan
- Fibrat  obat tunggal yang paling efektif untuk orang dengan TG yang sangat
tinggi dan bisa digunakan sebagai obat tambahan apabila dengan statin TG masih
tetap tinggi, e.s pada gastrointestinal dan kemungkinan terbentuknya batu empedu
serta interaksi dengan obat lain.
- Niasin (Asam nikotinat)  fx bisa menurunkan k-ldl hingga >25% dan tg>50%,
e.s berupa flushing pada muka dan badan serta pada gastrointestine (cara
mengurangi e.s : dosis ditingkatkan pelan2), efektif untuk org2 dgn dyslipidemia
aterogenik jika diberikan scr tunggal ataupun dikombinasikan dgn statin
- Bile acid squestran  bekerja pada intestine mengikat asam empedu dang a
diabsorbsi, aman untuk anak2 dan ibu hamil serta menyusui, untuk menurnkan k-
ldl tapi dia bisa meninggikan tg sehingga kontra indikasi untuk px dgn tg tinggi
- Ezetemibi  alternative pada px kontra indikasi statin, efek lemah kecuali
dikombinasikan dgn statin
3. Pengobatan untuk STEMI
- Anti trombotik :
a. Terapi anti platelet  thrombosis memiliki peranan penting pada
pathogenesis, tujuan primer : untuk memantapkan dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang terkait infark, tujuan sekunder : menurunkan
tendensi pasien menjadi thrombosis
1. Aspirin  Merupakan anti platelet standar untuk STEMI
2. Klopidogrel  Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua
pasien STEMI yang mengalami PCI
3. Prasugrel  lebih efektif dibanding kopidogrel dalam menghambat
agregasi trombosit
4. Tricaklerol
5. GP llb/llla Inhibitor
b. Terapi antikoagulan
1. Unfrectionated heparin (UFH IV)  sebagai tambahan terapi regimen
aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK),
membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi
arteri yang terkait infark
2. Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)  merupakan terapi
alternative pada px STEMI
3. Fondaparinux
4. Penyekat Beta
5. Inhibitor ACE

13. Bagaimana prognosis dari keadaan pasien dan apa saja faktor resiko terhadap
kejadian yang dialami pasien?
Faktor risiko ada yang dapat diudah dan tidak dapat diubah
Untuk yang tidak dapat diubah yaitu → Umur , jenis kelamin,genetik
Untuk yang bisa dapat diubah yaitu → kebiasan merokok, hipertensi, obesitas, stress,
konsumsi alkohol

C. LEARNING OBJECTIVE
1. Menjelaskan tentang patologi meliputi definisi hingga tatalaksana farmako dan non
farmako, komplikasi, prognosis dari :
a) Angina pectoris (stabil dan tidak stabil)
b) STEMI
c) NSTEMI
d) Infark myokard
e) Syok kardiogenik
f) HF
g) Olahraga pada SKA
h) Pola hidup pada SKA
2. Menjelaskan tentang farmakologi obat :
a. Antiplatelet
b. Antiangina
c. Trombolitik
d. Antikoagulan
3. Menjelaskan tentang metabolisme kolesterol
4. Menejelaskan tentang mekanisme penjalaran nyeri dari sisi neurologis
5. Menyebutkan dan menjelaskan indikasi dan kontraindikasi PCI
6. Menjelaskan Hubungan PJK dengan Kardiomiopati

D. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE

1. Menjelaskan tentang patologi meliputi definisi hingga tatalaksana farmako dan non
farmako, komplikasi, prognosis dari :
a. Angina pectoris (stabil dan tidak stabil)
Angina Pectoris Stabil
Definisi
Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium.
AP mempunyai karakteristik tertentu yaitu nyeri retrosternal yang lokasi
terseringnya di dada, substernal atau sedikit ke kiri, dengan penjalaran ke leher,
rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar,
punggung/pundak kiri. Angina pektoris stabil memiliki tampilan klinis yang khas
yaitu rasa tidak nyaman (jarang digambarkan sebagai nyeri) yang dalam dan
lokasi yang sulit ditunjuk di daerah dada atau lengan, dipicu oleh aktivitas fisik
atau stress emosional dan membaik dalam 5-10 menit dengan istirahat atau
pemberian nitrogliserin sublingual. AP dapat juga bermanifestasi sebagai rasa
tidak nyaman di daerah epigastrium.
Nyeri yang bukan tergolong angina biasanya ditandai dengan keterlibatan nyeri di
sebagian kecil hemotoraks kiri dan berlangsung dalam beberapa jam atau hari,
dan nyeri tidak berkurang dengan pemberian nitrogliserin. Kualitas nyeri biasanya
merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih / berat di dada, rasa desakan
yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, seperti diremas-remas atau dada
mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan
sesak napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam,
seperti rasa ditusuk-tusuk / diiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang
pasien mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di dadanya.
Epidemiologi
Prevalensi terjadinya angina pada studi populasi meningkat di setiap tingkatan
usia dan perbedaan jenis kelamin. Terdapat data 5-7% di wanita berusia 45-67
tahun dan 10-12% di wanita berusia 65-84 tahun mengalami angina pektoris
stabil, dan ada pria ditemukan 4-7% usia 45-64 tahun, dan 12-14% pada usia 65-
84 tahun.
Klasifikasi
Klasifikasi Angina Pektoris(AP):
1. Angina tipikal (definite)
Memenuhi tiga dari tiga karakteristik nyeri dada:
a. Rasa tidak nyaman di retrosternal yang sesuai dengan karakteristik nyeri
dan lamanya nyeri
b. Dipicu oleh aktivitas fisik atau stres emosional
c. Nyeri berkurang pada istirahat dengan atau pemberian nitrat.

2. Angina atipikal (probable)


Memenuhi dua dari tiga karakteristik di atas
3. Nyeri dada non-kardiak
Memenuhi satu atau tidak memenuhi karakteristik di atas

Secara klinis beratnya AP menggambarkan beratnya iskemik otot jantung yang


dialami oleh pasien. Untuk itu diperlukan gradasi beratnya AP yang berguna
untuk penatalaksanaan selanjutnya dan juga sebagai prediktor dari prognosis
pasien yang mengalami AP. Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh
"Canadian Cardiovascular Society (CCS)” sebagai berikut:
● CCS Kelas I: Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga
1-2 lantai dan lain-lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul
pada saat latihan yang berat, berjalan cepat, dan terburu-buru waktu kerja
atau bepergian.
● CCS Kelas II : Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila
melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya seperti jalan kaki dua blok,
naik tangga lebih dari satu lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atau
melawan angin dan lain-lain.
● CCS Kelas III : Aktivitas sehari-hari terbatas. AP timbul bila berjalan satu
sampai dua blok, naik tangga satu lantai dengan kecepatan yang biasa.
● CCS Kelas IV : AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua
aktivitas dapat menimbulkan angina termasuk mandi, menyapu, dan lain-
lain.
Penyebab paling sering dari APS adalah adanya aterokslerotik yang
mempersempit arteri koroner. Pada keadaan normal, saat aktivitas tinggi,
pembuluh darah memiliki kapasitas untuk menurunkan resistensinya, sehingga
pembuluh darah mampu untuk menerima aliran darah sebesar 5-6 kali lipat
(sumbatan di lumen pembuluh darah hanya sebesar kurang dari sama dengan
40%). Namun, apabila sumbatan aterosklerotik sudah mencapai lebih dari 50%,
sumbatan tersebut dapat mencetuskan iskemik, karena pembuluh darah koroner
jantung sudah tidak mampu untuk memenuhi metabolisme otot jantung selama
latihan atau ketika mengalami stres emosional. Secara angiografik penyempitan
pembuluh darah yang dianggap signifikan adalah yang melebihi 70%
penyempitan walau penilaian klinis tetap menjadi utama dalam menentukan
terapi.
Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka anamnesis harus
dilengkapi dengan mencoba menemukan adanya faktor risiko baik pada pasien
atau keluarganya seperti kebiasaan makan/kolesterol, Diabetes Melitus (DM),
hipertensi(HT), merokok, penyakit vaskular lain seperti stroke dan penyakit
vaskular perifer, obesitas, kurangnya latihan, dan lain-lain.
Pada APS, nyeri dada yang tadinya agak berat, sekalipun tidak termasuk UAP,
berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa pengobatan,
kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada
beban/stres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya). Bahkan pada
sebagian pasien, nyeri dadanya bahkan berkurang terus sampai akhirnya
menghilang, yaitu menjadi asimptomatik walaupun sebenarnya adanya iskemia
tetap dapat terlihat misalnya pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
istirahat, keadaan ini disebut sebagai "silent ischemia" edangkan pasien-pasien
lainnya lagi yang telah menjadi asimptomatik, EKG istirahatnya normal pula,
dan iskemik baru terlihat pada uji latih atau stress test (EKG Latihan).
Sedangkan pada nyeri yang terasa semakin berat maka APS tersebut
dikategorikan menjadi APS crescendo yang masuk kedalam kategori UAP.
Tatalaksana pada pasien tersebut disamakan seperti tatalaksana pada pasien
sindrom koroner akut (SKA).
Pemeriksaan fisis
Tak ada hal-hal yang khusus/spesifik pada pemeriksaan fisis. Sering didapatkan
hasil pemeriksaan fisik yang normal pada kebanyakan pasien. Mungkin
pemeriksaan fisis yang dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya
aritmia, gallop bahkan murmur, split S2 paradoksal, ronki basah dibagian basal
paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah berhenti. Penemuan adanya
tanda-tanda aterosklerosis umumnya seperti sklerosis A. Carotis, aneurisma
abdominal, nadi dorsalis pedis/tibialis posterior yang tidak teraba, penyakit
valvular karena sklerosis, adanya HT, left ventricle hypertrophy (LVH),
xantoma, kelainan fundus mata, dan lain-lain tentu amat membantu.
Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan lab yang diperlukan adalah hemoglobin (Hb), hematokrit
(Ht), trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti gula darah,
profil lipid, dan penanda inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada
cukup berat dan lama, seperti enzim creatinine kinase (CK) /creatinine
kinasemuscle brain (CKMB) C-reactive protein (CRP) / high sensitive(hs) CRP,
dan troponin. Bila nyeri dada tidak mirip suatu UAP maka tidak semuanya
pemeriksaan ini diperlukan.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan terutama adalah mencegah kematian dan terjadinya serangan
jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan angina
sehingga memperbaiki kualitas hidup. Pengobatan terdiri dari farmakologis dan
nonfarmakologis seperti penurunan berat badan (BB), dan Iain-Iain, termasuk
terapi reperfusi dengan cara intervensi atau bedah pintas (CABG). Bila ada 2 cara
terapi mempunyai efektivitas sama dalam mengontrol angina, maka yang dipilih
adalah terapi yang terbukti lebih efektif mengurangi serangan jantung dan
mencegah kematian. Pada stenosis LM misalnya, bedah pintas koroner lebih
dipilih karena lebih efektif mencegah kematian.
Kebanyakan terapi farmakologis adalah untuk segera mengontrol angina dan
memperbaiki kualitas hidup, tetapi belakangan telah terbukti adanya terapi
farmakologis yang mencegah serangan jantung dan kematian juga , misalnya
statin sebagai obat penurun lemak darah. Obat-obatan anti iskemia itu diantaranya
yaitu nitrat, B-blocker, CCB, ivabradine, nicorandil, trimetazidine, ranolazine,
allopurinol, dan molsidomine.
Angina Pectoris Tidak Stabil
Angina pektoris tidak stabil didefinisikan sebagai angina pektoris (atau ekuivalen
rasa tidak nyaman di dada tipe iskemik) dengan satu diantara tampilan klinis: (1)
terjadi saat istirahat (atau aktivitas minimal) dan biasanya berlangsung lebih dari
20 menit (jika tidak ada penggunaan nitrat atau analgetik); (2) nyeri hebat dan
biasanya nyeri nya jelas; atau (3) biasanya lambat laun bertambah berat (misalnya
nyeri yang membangunkan pasien dari tidur atau yang semakin parah, terus
menerus atau lebih sering dari sebelumnya).
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada
keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan
klinik.
Beratnya angina :
● Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah
beratnya nyeri dada;
● Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan,
tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 ja m terakhir.
● Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut
baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan klinis:
● Kelas A. Angina tak stabil sekunder. Berasal dari ekstra kardiak yang dapat
memperberat iskemia miokard. Keadaan tersebut dapat menyebabkan
berkurangnya suplai oksigen ke miokard atau meningkatnya kebutuhan
oksigen. Keadaan ini meliputi anemia, demam, infeksi, hipotensi, hipertensi
tidak terkontrol, takiaritmia, stress emosional, tirotoksikosis dan hipoksemia
sekunder sampai gagal napas.
● Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstra kardiak.
● Kelas C. Angina yang timbul 2 minggu setelah serangan infark jantung.
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan America Heart
Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI = non ST elevation myocardial infarction) ialah apakah iskemia
yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada
miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa.
Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan
tak ada kenaikan troponin maupun CKMB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG
untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar
atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam
waktu 12 jam , maka pada tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak
bisa dibedakan dari NSTEMI.
Gambaran klinis angina
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina
yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat
dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas
yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai
muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani
seringkali tidak ada yang khas.
Di antara pasien dengan SKA, perempuan lebih sering menderita angina tidak
stabil dan pasien dengan UA/NSTEMI umumnya lebih tua dan memiliki riwayat
infark miokard sebelumnya, angina pektoris stabil, diabetes, memiliki riwayat
revaskularisasi koroner, dan penyakit vascular ekstra kardiak dibandingkan
dengan STEMI.
Penatalaksanaan
Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Sangat dianjurkan
pemberian oksigen tambahan kepada pasien yang sianotik atau terdapat ronki
yang memberat dan jika saturasi oksigen arteri di bawah 90%. Berkurangnya
nyeri dada merupakan target terapi awal. Pemberian morfin atau petidin perlu
pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.
Terapi medikamentosa dengan menggunakan obat anti iskemia (nitrat, B-blocker,
CCB), obat antiagregasi trombosit (aspirin, tiklopidin, klopidogrel, prasugrel,
ticagrelor, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa), obat antitrombin (unfractionated
heparin, low molecular weight heparin, fondaparinux), dan direct thrombin
inhibitors.

b. STEMI

Definisi
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan suatu kondisi yang
mengakibatkan kematian sel miosit jantung karena iskhemia yang berkepanjangan
akibat oklusi total dari arteri koroner dan ditandai dengan adanya elevasi segmen
ST pada EKG

Etiologi
STEMI disebabkan oleh adanya aterosklerotik pada arteri koroner atau penyebab
lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen

Patofisiologi
Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada sel endotel yang bersentuhan
langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel endotel yang semula licin
menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah menempel dan masuk kelapisan
dinding arteri. Penumpukan plaque yang semakin banyak akan membuat lapisan
pelindung arteri perlahan-lahan mulai menebal dan jumlah sel otot bertambah.
Setelah beberapa lama jaringan penghubung yang menutupi daerah itu berubah
menjadi jaringan sikatrik, yang mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama
semakin banyak plaque yang terbentuk dan membuat lumen arteri mengecil.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Pada
STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik. Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin
dan serotonin) memicu aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas trombosit
juga akan memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi faktor VII dan X
sehingga menkonversi protombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.
Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi akan menyebabkan oklusi oleh
trombus sehinga menyebabkan aliran darah berhenti secara mendadak dan
mengakibatkan STEMI (Black & Hawk, 2005; Lily, 2008; Libby, 2008 & Alwi,
2006).
Diagnosa

1. Anamnesis

Pada anamnesis kita perhatikan keluhan pasien. Keluhannya dapat berupa nyeri
dada yang tipikal seperti rasa terbakar, tertekan atau berat pada daerah
retrosternal, dan menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, bahu atau epigastrium.
Keluhannya dapat berlangsung intermiten atau persisten ( lebih dari 20 menit ).
Keluhan sering disertai mual atau muntah, nyeri abdominal, dan sesak napas

2. Pemeriksaan Fisik
o Umum : kecemasan, sesak, keringat dingin, tekanan darah < 80 - 90
mmHg, takikardia, RR meningkat
o Leher : normal atau sedikit peningkatan JVP.
o Jantung : S1 lemah, S4 dan S3 gallop, keterlambatan pengisian kapiler.
o Paru : mengi dan rongki bila terdapat gagal jantung.
o Ekstremitas : normal atau dingin.
3. Elektrokardiografi
Diagnosis STEMI ditegakkam berdasarkan EKG yaitu adanya elevasi segmen
ST > 1 mm pada sadapan ekstremitas dan > 2 mm pada sadapan prekordial.
EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroneràmenunjukkan elevasi
segmen ST yang kemudian akan berkembang menjadi gelombang Q. Pada
STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF. Gelombang
ST yang elevasi mencemirkan arteri di jantung tersumbat dan mengalami
penebalan
4. Biomarker
Biomarker yang dianjurkan untuk diperiksa adalah creatinine kinase (CK-MB)
dan troponin I/T dan dilakukan secara serial. Akan tetapi karena yang CK-MB
ini dinilai kurang sensitive, akhirnya sekarang lebih direkomendasikan
menggunakan Troponin, kalau bisa yang high sensitive troponin.
a. CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
b. Troponin T : enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan masih dapat dideteksi setelah 5-14
hari

Faktor Risioko

a. Faktor yang dapat diubah :


o Usia
o Jenis Kelamin
o Ras
o Riwayat keluargaà Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit
jantung koroner (baik itu saudara atau orang tua yang menderita penyakit
ini sebelum usia 50 tahun) maka hal tersebut meningkatkan kemungkinan
timbulnya IMA
b. Faktor resiko yang dapat dirubah:
o Merokok
o HiperlipidemiaàPeningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/ dl
o Hipertensi
o Diabetes mellitus
o Stres Psikologik  stres dapat mempercepat terjadinya serangan dan
dapat menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat aterogenik
(mudah melekat pada dinding dalam pembuluh darah dan mengurangi
pembentukan reseptor LDL) à Hal ini akan menyebabkan terjadinya
kenaikan kadar kolesterol-LDL

Penatalaksanaan

Tindakan Umum dan Langkah Awal

1. Tirah baring.
2. Pemberian suplemen Oksigen segera bila saturasi oksigen < 95% atau
mengalami distres respirasi. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua
pasien SKA dalam 6 jam pertama
3. Nitrogliserin tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung, jika nyeri dada tidak hilang bisa diulang sampai 3 kali.
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada pasien tanpa komplikasi.
5. Clopidogrel dengan dosis awal 300 mg.
6. Morfin sulfat 1-5 mg IV, dapat diulang 10-30 menit bagi pasien yang tidak
responsif.

Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi pada STEMI dapat dilakukan dengan beberapa upaya yaitu
dengan intervensi koroner primer (IKP), pemberian fibrinolitik dan juga rescue
PCI. Terapi reperfusi wajib dilakukan dalam 12 jam pertama setelah nyeri dada.
Pilihan metode reperfusi STEMI berupa terapi fibrinolitik. Jenis-jenis obat
fibrinolitik adalah :
a. Streptokinase  diberikan dalam 1 jam. Terapi dinyatakan berhasil bila
dijumpai VES (ventricular extrasystole) pada EKG yang menandakan lisisnya
tromboemboli.
b. Tissue Plasminogen Activator (tPA) àPenggunaan tPA harus
dipertimbangkan pada pasien-pasien alergi terhadap streptokinase dan
hipotensi.

c. NSTEMI

Definisi

IMA non ST-elevasi (NSTEMI) yaitu oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST
pada EKG

Patofisiologi

Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh


penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau
proses vasokontriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan
ruptur plak yang tidak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti
lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap dan konsentrasi
faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi.
Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang
menunjukkan adanya proses inflamasi. 22 Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin
proinflamasi seperti TNF α dan IL-6 akan mengeluarkan hsCRP di hati.9

Diagnosis

Pada NSTEMI, nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di
epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar,
nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan menjadi gejala yang sering
ditemukan. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI
telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, 24
syncope atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam
kelompok yang lebih besar pada pasien berusia lebih dari 65 tahun.9

Tatalaksana

1. Clopidogrel
o Gol Thienopyridine yg memblok P2Y reseptor ADP
o Menghambat aktivasi platelet
o Digunakan pada pasien UA/NSTEMI : Diberikan pada semua pasien
Bukan kandidat CABG Pasien yg direncanakan kateterisasi dlm 24-36 jam
stlh masuk
d. Infark myokard

Definisi

Infark miokard (MI), yang dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai "serangan
jantung", disebabkan oleh penurunan atau penghentian total aliran darah ke
sebagian miokardium.Aterosklerosis dan trombosis arteri koroner, penyebab
utamanya MI, memicu iskemia lokal dan nekrosis daerah miokard yang sudah
ditentukan. Nekrosis biasanya terjadi kira-kira 20 sampai 30 menit setelah oklusi
arteri koroner. Atau bisa juga disebabkan oleh ketidskseimbangan antara suplai
dan kebutuhan 02 dapat menyebabkan iskemia miokardium. Infark miokard
mungkin “diam” dan tidak terdeteksi, atau bisa jadi merupakan peristiwa bencana
yang menyebabkan kerusakan hemodinamik dan kematian mendadak.

Etiologi
- Suplay oksigen ke jantung berkurang yang disebabkan oleh faktor pembuluh
darah (artherosklerosis, spasme, arteritis), faktor sirkulasi (hipotensi,
stenosis aorta, insufisiensi), dan faktor darah (anemia, hipoksemia,
polisitemia)
- Curah jantung yang meningkat, misalnya beraktivitas, emosi, makan yang
terlalu banyak, anemia, dan hipertiroidisme
- Kebutuhan oksigen miokard meningkat pada saat terjadi kerusakan miokard,
hipertropi miokard, hipertensi diastole
- Emboli koroner (misalnya dari endokarditis, katup jantung buatan)
- Anomali kongenital arteri koroner
- Trauma koroner atau aneurisma
- Diseksi arteri koroner spontan
- Kejang arteri koroner yang parah (primer atau yang diinduksi kokain)
- Peningkatan viskositas darah (misalnya polisitemia vera, trombositosis)
Infark miokard sangat erat kaitannya dengan penyakit arteri koroner. Khususnya
pada faktor resiko yang dapat dimodifikasi :
1. Merokok
2. Dislipidemia
3. Hipertensi
4. Diabetes Mellitus
5. Obesitas perut
6. Faktor psikososial : depresi, kehilangan kendali, stress, tekanan dsri
berbagai pihak, konflik keluarga
7. Kurangnya aktivitas fisik
8. Kurangnya konsumsi buah sayur setiap hari
9. Konsumsi alkohol
Patofisiologi
Proses iskemi atau infark didahului terbentuknya plak aterosklerotik dalam
pembuluh darah koroner yang menyempitkan lumen pembuluh darah. Plak
aterosklerotik dilapisi selubung fibrosa tipis sehingga rentan ruptur. Apabila plak
ruptur atau pecah, terjadi proses trombosis (agregasi trombosit dan aktivasi
kaskade koagulasi) pada pembuluh darah koroner yang kemudian akan
membentuk trombus. Trombus bisa menyebabkan sumbatan total lumen
pembuluh darah, sehingga menghambat suplai darah menuju miokardium,
menyebabkan SKA. Dengan oklusi arteri koroner, miokardium kekurangan
oksigen. Kekurangan suplai oksigen ke miokardium yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kematian sel miokard dan nekrosis. Nekrosis menyebar dari sub
endokardium ke sub perikardium.Biasanya MI dimulai di subendokardium. Ini
karena wilayah subendokard adalah bagian dinding ventrikel dengan perfusi
yang paling buruk. Fungsi jantung terganggu tergantung pada area yang
mengalami infark. Karena kapasitas regenerasi miokardium yang dapat
diabaikan, area yang mengalami infark sembuh dengan pembentukan parut, dan
seringkali, jantung direnovasi yang ditandai dengan dilatasi, hipertrofi segmental
dari jaringan yang tersisa, dan disfungsi jantung. Pasien bisa datang dengan
ketidaknyamanan atau tekananan dada yang bisa menjalar ke leher, rahang,
bahu, atau lengan. Sumbatan subtotal yang diperberat vasokonstriksi juga dapat
menimbulkan SKA. Vasokonstriksi terjadi akibat pelepasan zat vasoaktif saat
terjadi ruptur plak. Pada SKA, terutama IMA-VKa, umumnya pembuluh darah
yang tersumbat adalah RCA karena sistem anatomi pembuluh darah koroner
yang memperdarahi ventrikel kanan didominasi RCA, dikenal dengan sistem
perdarahan dominan kanan. Jika sumbatan makin mendekati proksimal RCA,
bagian jantung yang infark juga makin luas. Pada beberapa kasus jarang bisa
ditemukan IMA-VKa yang sumbatannya tidak berasal dari RCA. Hal ini karena
sistem pembuluh darah koroner yang memperdarahi ventrikel kanan adalah LCx,
dikenal sebagai sistem pendarahan dominan kiri. IMA-VKa sangat jarang terjadi
secara tunggal, lebih sering muncul bersama infark miokard akut inferior. Hal ini
karena sistem anatomi vaskularisasi bagian inferior dan ventrikel kanan berasal
dari aliran yang sama, yakni suplai dari RCA. Dampak utama IMA-VKa adalah
menurunnya kontraktilitas miokardium ventrikel kanan. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan volume darah yang akan dipompa menuju ke sistem
pulmonal. Akibatnya preload ventrikel kiri juga ikut menurun. Selain itu, gejala
lain dapat berupa edema perifer, peningkatan tekanan vena jugular, hipotensi,
hipoksemia, bahkan bisa terjadi syok kardiogenik. Dampak lain IMAVKa adalah
Blok AV karena AV node juga mendapat pendarahan utama dari RCA. Blok AV
pada IMA-VKa akan memperburuk kondisi hemodinamik pasien. Segera setelah
terjadi Infark Miokard daerah miokard setempat akan memperlihatkan
penonjolan sitolik (diskinesia) dengan akibat menurunnya ejeksi fraction, isi
sekuncup, dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel
kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri
juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri diatas 25 mmHg yang lama akan
menyebabkan transudat cairan ke jaringan interstitium paru (gagal jantung).
Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah infark,
tetapi juga daerah iskemik disekitarnya.
Pemeriksaan Fisik
- Biasanya normal, kecuali ada komorbid/komplikasi
- dapat menemukan trias klasik yaitu hipotensi, lapangan paru bersih (tidak ada
ronkhi basah), serta distensi vena jugularis. Trias klasik ini memiliki
sensitivitas rendah, namun cukup spesifik untuk IMA-VKa apabila ditemukan
pada pasien infark miokard akut inferior. Selain trias tersebut, pada IMA-
VKa juga dapat ditemukan gejala edema perifer sebagai tanda gagal jantung
kanan akut.
Pemeriksaan penunjang
1. EKG
- Menunjukkan adanya oklusi arteri koroner yang sedang berlangsung (ada
atau tidaknya LVH dan BBB)
- Elevasi segmen ST dalam dua lead yang berdekatan (diukur pada titik J)
o Lebih dari 5 mm pada pria yang lebih muda dari 40 tahun, lebih besar
dari 2 mm pada pria yang lebih tua dari 40 tahun, atau lebih besar dari
1,5 mm pada wanita pada lead V2-V3 dan / atau
o Lebih dari 1 mm di semua kabel lainnya
- Depresi segmen ST dan perubahan gelombang T.
Depresi segmen ST horizontal atau miring ke bawah yang lebih besar dari
5 mm pada 2 sadapan bersebelahan dan / atau inversi T lebih besar dari 1
mm pada dua sadapan bersebelahan dengan gelombang R yang menonjol
atau rasio R / S lebih besar dari 1
- Terkait dengan adanya MI sebelumnya dengan ada tidaknya LVH dan
BBB
Setiap gelombang Q dalam sadapan V2-V3 lebih besar dari 0,02 detik atau
kompleks QS pada sadapan V2-V3
I Gelombang Q> 03 s dan lebih besar dari 1 mm atau kompleks QS pada
sadapan I, II, aVL, aVF atau V4-V6 dalam dua sadapan pengelompokan
sadapan yang berdekatan (I, aVL; V1-V6; II, III, aVF)
Gelombang R> 0,04 s di V1-V2 dan R / S lebih besar dari 1 dengan
gelombang T positif yang sesuai jika tidak ada cacat konduksi
- Infark Miokard Akut inferior
ST elevasi > 0,1mV: Lead II,III,Avf
ST depresi : lead 1,v6,aVF
- IMA-Vka : ditemukan elevasi segmen ST pada sadapan II, III, dan aVF,
dengan elevasi segmen ST pada sadapan III lebih tinggi daripada sadapan
II, serta juga ditemukan elevasi segmen ST ≥0,1 mV pada sadapan aVR
dan/atau V1, dicurigai infark miokard akut inferior disertai keterlibatan
IMA-VKa.
- Untuk memastikan diagnosis, dilakukan sadapan prekordial kanan, yakni
V3R dan V4R. Bila didapatkan elevasi segmen ST ≥ 0,1 mV, diagnosis
IMA-VKa dapat ditegakkan
2. Deteksi biomarker

Enzim jantung kreatin kinase-MB (CK-MB) serta troponin I/T kadarnya


meningkat apabila terjadi nekrosis miokardium; pemeriksaan ini digunakan
untuk menunjang diagnosis IMAVKa. Troponin I/T memiliki sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dibandingkan CK-MB, troponin I/T lebih da
menggambarkan keadaan infark miokard akut. Kadar troponin akan
meningkat dalam darah perifer 3-4 jam setelah onset SKA dan menetap
hingga 2 minggu (Gambar 3).4 Namun, apabila pemeriksaan troponin tidak
tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan CK-MB. Kadar CK-MB akan
meningkat dalam darah perifer 4-6 jam setelah onset SKA, mencapai puncak
pada 12 jam pasca-onset SKA dan menetap hingga 2 hari.
3. Ecocardiografi
Memiliki sensitivitas cukup baik untuk deteksi disfungsi ventrikel kanan,
sehingga sangat membantu diagnosis IMA-VKa disaat saat hasil EKG
meragukan
4. Angiografi
Prosedur diagnostik invasif sebagai GOLD STANDART. Dengan
pemeriksaan ini dapat diketahui lokasi pembuluh darah yang mengalami
oklusi serta tingkat keparahan IMA-VKa. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan
simultan dengan tindakan ntervensi koroner perkutan primer.

Tatalaksana
a. Non farmakologi:
- Modifikasi Gaya Hidup
Penghentian merokok adalah tindakan sekunder yang paling hemat biaya
untuk mencegah MI. Merokok memiliki efek pro-trombotik, yang memiliki
hubungan kuat dengan aterosklerosis dan infark miokard. Diet, alkohol, dan
pengendalian berat badan: Diet rendah lemak jenuh dengan fokus pada
produk biji-bijian, sayuran, buah-buahan, dan ikan dianggap pelindung
kardioprotektif. Tingkatan target berat badan adalah indeks massa tubuh 20-
25 kg / m2 dan lingkar pinggang <94 cm untuk pria dan <80 cm untuk
wanita
b. Terapi Farmakologis
Prinsip tatalaksana awal sama dengan tatalaksana SKA umum berupa pemberian
MONACO (morfin, oksigen, nitrat, aspirin, klopidogrel). Namun untuk kasus
IMA-VKa, pemberian nitrat dan morfin dihindari karena dapat menurunkan
preload, sehingga akan memperburuk kondisi hemodinamik pasien IMA-VKa.
Selain itu, diuretik dan beta bloker juga dihindari untuk optimalisasi preload.
Untuk menjaga dan mempertahankan preload, dapat dilakukan fluid challenge
dengan pemberian cairan kristaloid seperti normal salin sebanyak 300-600 mL
selama 10 hingga 15 menit melalui vena sentral atau vena perifer terbesar yang
bisa diakses. Selanjutnya kondisi hemodinamik dipantau ketat sambil
memperhatikan tanda-tanda overload cairan. Jika respons klinis bagus, pemberian
cairan dapat dilanjutkan hingga total 1-2 liter dalam 1 jam pertama. Untuk jam
berikutnya dapat dilanjutkan pemberian cairan sebanyak 200 mL/jam sambil terus
menilai respons klinis. Bila pemberian cairan adekuat belum mampu memperbaiki
hemodinamik (tekanan sistolik <90mmHg tanpa tanda-tanda syok), dapat
diberikan inotropik seperti dobutamin. Dobutamin diharapkan mampu
mempertahankan tekanan sistolik >90 mmHg. Selain efek inotropik, dobutamin
memiliki efek menurunkan resistensi pembuluh darah pulmonal serta
meningkatkan curah jantung ventrikel kanan, sehingga keadaan hemodinamik
bisa terus stabil dan perfusi ke organ vital tidak terganggu. Selain dobutamin, obat
lain adalah milrinon. Milrinon dapat meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan
dan menurunkan resistensi pembuluh darah pulmonal.Meskipun begitu, milrinon
merupakan vasodilator pulmonal non-selektif, sehingga pemberian harus
dipertimbangkan terhadap risiko hipotensi sistemik. Pada kasus infark miokard
akut inferior disertai IMA-VKa perlu tindakan reperfusi dini agar mengurangi
perluasan infark miokard, memperbaiki fraksi ejeksi ventrikel kanan serta
menurunkan insidens Blok AV Total. Reperfusi dini dilakukan bila onset
serangan infark miokard akut <12 jam. Tindakan reperfusi berupa pemberian
fibrinolitik atau intervensi koroner perkutan primer (PCI). Tindakan intervensi
koroner perkutan primer lebih direkomendasikan pada kasus IMA-VKa
dibandingkan fibrinolitik jika prosedur dapat dilakukan <120menit. Pasien yang
menjalani PCI harus diobati dengan terapi antiplatelet ganda (DAPT) dengan
aspirin + penghambat P2Y12 dan antikoagulan parenteral. Dalam PCI,
penggunaan prasugrel atau ticagrelor terbukti lebih unggul dari clopidogrel.
Aspirin dan clopidogrel juga ditemukan menurunkan jumlah kejadian iskemik di
NSTEMI dan UA. Antikoagulan yang digunakan selama PCI adalah heparin tak
terpecah, enoxaparin, dan bivalirudin. Bivalirudin dianjurkan selama PCI primer
jika pasien mengalami trombositopenia yang diinduksi heparin.
Komplikasi :
Pada kasus infark miokard akut inferior disertai IMA-VKa dapat terjadi beberapa
komplikasi cukup berat di antaranya gagal jantung kanan akut, blok AV, hingga
syok kardiogenik. Gagal jantung kanan akut terjadi akibat disfungsi ventrikel
kanan. Disfungsi ini disebabkan nekrosis miokardium ventrikel kanan yang cukup
luas, sehingga kontraktilitasnya menurun. Kondisi ini dapat menyebabkan
bendungan vena sistemik ditandai peningkatan tekanan vena jugularis,
hepatomegali, asites, serta edema tungkai. Blok AV juga merupakan komplikasi
IMA-VKa. Hal ini karena nodus AV mendapat suplai darah, terutama dari RCA,
yang diketahui juga memperdarahi bagian inferior jantung dan ventrikel kanan.
Pada keadaan IMA-VKa biasanya akan ditemukan Blok AV derajat 2 atau 3.
Keadaan ini dapat memperberat gangguan hemodinamik karena heart rate
menjadi sangat rendah, sehingga dapat menurunkan cardiac output. Akibatnya
prognosis menjadi lebih buruk. Syok kardiogenik merupakan akibat IMA-VKa
luas, sehingga dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi. Syok ditandai dengan
tekanan sistolik <90 mmHg disertai tanda hipoperfusi jaringan seperti akral dingin
dan penurunan urine output. Syok kardiogenik biasanyaberkaitan dengan
kerusakan sebanyak 40%

e. Syok kardiogenik

Pengertian

Syok kardiogenik didefinisikan sebagai gangguan jantung primer yang


menghasilkan bukti klinis dan biokimia dari hipoperfusi jaringan. Kriteria klinis
termasuk tekanan darah sistolik kurang dari atau sama dengan 90 mm Hg selama
lebih dari atau sama dengan 30 menit atau dukungan untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik kurang dari atau sama dengan 90 mm Hg dan keluaran urin
kurang dari atau sama dengan 30 mL / jam atau ekstremitas dingin. Kriteria
hemodinamik termasuk indeks jantung tertekan (kurang dari atau sama dengan 2,2
liter per menit per meter persegi luas permukaan tubuh) dan peningkatan tekanan
baji kapiler paru lebih besar dari 15 mm Hg.

Etiologi
Berbagai bentuk disfungsi jantung dapat menyebabkan syok kardiogenik.
Penyebab syok kardiogenik yang paling umum meliputi:

- Iskemia miokard akut


Cacat mekanis: regurgitasi mitral akut (ruptur otot papiler), ruptur dinding
ventrikel (dinding septum atau dinding bebas), tamponade jantung, obstruksi
aliran keluar ventrikel kiri (kardiomiopati obstruktif hipertrofik , stenosis
aorta), Obstruksi aliran ventrikel kiri.
Cacat kontraktilitas: kardiomiopati iskemik dan non-iskemik, aritmia, syok
septik dengan depresi miokard, miokarditis
- Emboli paru (ventrikel kanan dengan atau tanpa kegagalan ventrikel kiri)
- Kegagalan ventrikel kanan
- Diseksi aorta
Penyebab lainnya termasuk obat kardiotoksik (doksorubisin), overdosis obat
(penghambat saluran beta / kalsium), gangguan metabolisme (asidosis),
kelainan elektrolit (kalsium atau fosfat).

Risiko syok kardiogenik setelah infark miokard ST-elevasi (STEMI):

 Umur lebih dari 70 tahun


 Tekanan darah sistolik kurang dari 120 mmHg
 Sinus takikardia atau bradikardia
 Gejala jangka panjang sebelum pengobatan

Epidemiologi

Insiden syok kardiogenik menurun, yang dapat dikaitkan dengan peningkatan


penggunaan intervensi PCI untuk MI akut. Namun, sekitar 5% hingga 8% kasus
STEMI dan 2% hingga 3% kasus NON-STEMI dapat menyebabkan syok
kardiogenik. Ini dapat diterjemahkan menjadi 40.000 hingga 50.000 kasus per
tahun di Amerika Serikat. Syok kardiogenik memiliki insiden yang lebih tinggi
pada kelas pasien berikut:
 Populasi lansia
 Populasi pasien dengan diabetes
 Riwayat cedera ventrikel kiri sebelumnya
 Jenis kelamin wanita

Patofisiologi

Patofisiologi syok kardiogenik kompleks dan tidak sepenuhnya dipahami. Iskemia


pada miokardium menyebabkan gangguan pada fungsi ventrikel kiri sistolik dan
diastolik, yang mengakibatkan depresi kontraktilitas miokard yang berat. Hal ini
akan menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah rendah,
memperburuk iskemia koroner lebih lanjut dan penurunan kontraktilitas. Beberapa
proses kompensasi fisiologis terjadi. Ini termasuk:

a. Aktivasi sistem simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer yang dapat


meningkatkan perfusi koroner dengan peningkatan afterload, dan
b. Takikardia yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dan selanjutnya
memperburuk iskemia miokard.

Mekanisme kompensasi ini kemudian diatasi dengan vasodilatasi patologis yang


terjadi dari pelepasan penanda inflamasi sistemik yang kuat seperti interleukin-1,
tumor necrosis factor a, dan interleukin-6. Selain itu, tingkat oksida nitrat dan
peroksinitrit yang lebih tinggi dilepaskan, yang juga berkontribusi pada
vasodilatasi patologis dan dikenal sebagai kardiotoksik. Kecuali jika diganggu
oleh tindakan pengobatan yang memadai, siklus yang terus berlanjut ini
menyebabkan hipoperfusi global dan ketidakmampuan untuk secara efektif
memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, yang berkembang menjadi kegagalan
multiorgan dan akhirnya kematian.

Gejala

Gejala syok kardiogenik yang muncul bervariasi. Manifestasi klinis syok yang
paling umum, seperti hipotensi, perubahan status mental, oliguria, dan dingin,
kulit berkeringat, dapat dilihat pada pasien dengan syok kardiogenik.
Tatalaksana

a. Resusitasi segera untuk mengurangi kerusakan organ, yaitu dengan pemberian


norepinefrin, dopamin, maupun dobutamin. Tergantung keadaan dari pasien
b. Menentukan letak anatomi dari coroner
c. Setelah mengetahui letak anatomi koroner maka lakukan revaskularisasi

f. HF

Definisi Gagal Jantung

Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat dada. Bagian
kanan dan kiri jantung masing-masing memiliki ruang sebelah atas (atrium yang
mengumpulkan darah dan ruang sebelah bawah (ventrikel) yang mengeluarkan
darah. Agar darah hanya mengalir dalam satu arah, maka ventrikel memiliki satu
katup pada jalan masuk dan satu katup pada jalan keluar. Fungsi utama jantung
adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil
metabolisme (karbondioksida). Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan
mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan
memompanya ke dalam paru- paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan
membuang karbondioksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya
oksigen dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh.
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh,
walaupun darah balik masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal
jantung merupakan suatu ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh
(forward failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan
pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau keduanya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung adalah kontraktilitas miokard,
denyut jantung (irama dan kecepatan/ menit) beban awal dan beban akhir.

Etiologi Gagal Jantung

Menurut beberapa penelitian penyakit jantung disebabkan oleh beberapa hal


yaitu:

• usia,

• jenis kelamin,

• konsumsi garam berlebihan,

• keturunan,

• hiperaktivitas system syaraf simpatis,

• stress,

• obesitas,

• olahraga tidak teratur,

• merokok,

• konsumsi alcohol dan kopi berlebihan,

• hipertensi,
• ischaemic heart disease,

• konsumsi alkohol,

• Hypothyroidsm,

• penyakit jantung kongenital (defek septum, atrial septal defek, ventrical septal
defek),

• Kardiomiopati (dilatasi, hipertropik, restriktif), dan

• infeksi juga dapat memicu timbulnya gagal jantung.

Macam Gagal Jantung

Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala atau
tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik
atau disfungsi diastolik . Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan
gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG,
foto thoraks, biomarker dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera
diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.

Gagal Jantung Kronik

Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan


jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Gagal jantung
kronis juga didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak, fatique baik dalam keadaan istirahat maupun
beraktifitas.

Patogenesis Gagal Jantung


Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin
dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac


output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal.

Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II


plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang
poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan
noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang
pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel,
kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel
pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal
jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker
diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita
gagal jantung. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan
pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia

Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas 6 retensi natrium. Konsentrasi
endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan


kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 %
penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang
timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

Diagnosis Gagal Jantung


Diagnosis gagal jantung dapat dilakukan dengan dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang. Gejala yang didapatkan pada pasien dengan gagal jantung antara lain
sesak nafas, Edema paru, peningkatan JVP , hepatomegali , edema tungkai.

Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio


kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau
kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan
fungsi ventrikel kiri.

Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian besar


pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV,
gangguan konduksi, aritmia. Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien
dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel
(sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan
penyakit katub jantung dapat disinggirkan.

Tes darah dirkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi


ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung
sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan.

Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventrikel


dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh.
Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai fungsional penyakit jantung
koroner.

Penanganan

Tujuan umum penanganan gagal jantung adalah: meniadakan tanda klinik seperti
batuk dan dispne, memperbaiki kinerja jantung sebagai pompa, menurunkan
beban kerja jantung, dan mengontrol kelebihan garam dan air. Obat yang
digunakan untuk penanganan gagal jantung bervariasi tergantung pada etiologi,
keparahan gagal jantung, spesies penderita, dan faktor lainnya.

Untuk mencapai tujuan dalam penanganan gagal jantung dapat dilakukan dengan
cara:

1. Membatasi aktivitas fisik. Latihan/aktivitas akan meningkatkan beban jantung


dan juga meningkatkan kebutuhan jaringan terhadap oksigen. Pada pasien
yang fungsi jantungnya mengalami tekanan, latihan dapat menimbulkan
kongesti. Karena itu maka kerja jantung harus diturunkan dengan istirahat
atau membatasi aktivitas..
2. Membatasi masukan garam. Pada pasien yang mengalami CHF, aktivitas
renin-angiotensi-aldosteron mengalami peningkatan. Hal tersebut akan
merangsang ginjal untuk menahan natrium dan air sehingga ekskresi natrium
dan air akan berkurang. Bila ditambah pakan yang mengandung natrium
tinggi maka retensi air dan peningkatan volume darah akan semakin parah,
dan pada gilirannya akan menimbulkan kongesti dan edema.
3. Menghilangkan penyebab atau faktor pemicu gagal jantung. Menghilangkan
penyebab gagal jantung merupakan tindakan yang paling baik. Malformasi
kongenital seperti patent ductus arteriosus dapat diperbaiki dengan cara
operasi dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Ballon valvuloplasti telah
berhasil digunakan untuk menangani stenosis katup pulmonik. CHF yang
disebabkan oleh penyakit perikardium dapat ditangani sementara atau
permanen dengan perikardiosentesis atau perikardektomi. Tetapi sayangnya
hal tersebut sering tidak mungkin dilakukan dengan berbagai alasan.
4. Menurunkan preload. Karena adanya retensi garam dan air oleh ginjal pada
pasien CHF, maka preload jantung pada umumnya tinggi. Hal tersebut akan
mengakibatkan kongesti pada sistem sirkulasi. Oleh karena itu, penurunan
preload akan menurunkan kongesti dan edema pulmoner, yang akan
memperbaiki pertukaran gas pada paru-paru pada kasus CHF jantung kiri, dan
menurunkan kongesti vena sistemik dan asites pada CHF jantung kanan.
Preload ditentukan oleh volume cairan intravaskular dan tonus vena sistemik.

Pengobatan Gagal Jantung

Pengobatan dilakukan agar penderita merasa lebih nyaman dalam melakukan


berbagai aktivitas fisik, dan bisa memperbaiki kualitas hidup serta meningkatkan
harapan hidupnya. Pendekatannya dilakukan melalui 3 segi, yaitu mengobati
penyakit penyebab gagal jantung, menghilangkan faktor-faktor yang bisa
memperburuk gagal jantung dan mengobati gagal jantung. Tujuan pengobatan
gagal jantung adalah untuk mengurangi gejala- gejala gagal jantung sehingga
memperbaiki kualitas hidup penderita. Cara dan golongan obat yang dapat
diberikan antara lain mengurangi penumpukan cairan (dengan pemberian
diuretik), menurunkan resistensi perifer (pemberian vasodilator), memperkuat
daya kontraksi miokard (pemberian inotropik).

1. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan


pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung. Diuterik yang
sering digunakan golongan diuterik loop dan thiazide. Diuretik Loop
(bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal
dengan tempat kerja pada ansa henle asenden, namun efeknya bila diberikan
secara oral dapat menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorbs
usus. Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia. Diuretik Thiazide
(bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon).
Menghambat reabsorbsi garam di tubulus distal dan membantu reabsorbsi
kalsium. Diuretik ini kurang efektif dibandingkan dengan diuretic loop dan
sangat tidak efektif bila laju filtrasi glomerulus turun dibawah 30%.
Penggunaan kombinasi diuretic loop dengan diuretic thiazude bersifat
sinergis. Tiazide memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan
dapat menyebabkan intoleransi karbohidrat.
2. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham menemukan
penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida seperti digoksin
meningkatkan kontraksi miokard yang menghasilkan inotropisme positif yaitu
memeperkuat kontraksi jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan
dieresis diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil. Digoksin
tidak meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek normal karena
curah jantung ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh
beban dan denyut jantung. Pada gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki
kontraktilitas dan menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang
dapat menyebabkan gejala.
3. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding
ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan oksigen moikard,
menurunkan konsumsi oksigen miokard dan meningkatkan curah jantung.
Vasodilator dapat bekerja pada system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin)
atau memiliki efek campuran vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE,
antagonis reseptor angiotensin, prazosin dan nitroprusida). Vasodilator
menurukan prelod pada pasien yang memakan diuterik dosis tinggi, dapat
menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi postural. Namun pada
gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian yang menguntungkan
biasanya mengimbangi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Pada
gagal jantung sedang atau berat, vasodilator arteri juga dapat menurunkan
tekanan darah.
4. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta
adrenoreseptor biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja inotropik
negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka panjang yang terjadi pada
gagal jantung menyebabkan regulasi turun pada reseptor beta jantung.
Dengan memblok paling tidak beberapa aktivitas simpatik, penyekat beta
dapat meningkatkan densitas reseptor beta dan menghasilkan sensitivitas
jantung yang lebih tinggi terhadap simulasi inotropik katekolamin dalam
sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan iskemi miokard. Penggunaan terbaru
dari metoprolol dan bisoprolol adalah sebagai obat tambahan dari diuretic dan
ACE-blokers pada dekompensasi tak berat. Obat- obatan tersebut dapat
mencegah memburuknya kondisi serta memeperbaiki gejala dan keadaan
fungsional. Efek ini bertentangan dengan khasiat inotrop negatifnya, sehingga
perlu dipergunakan dengan hati-hati.
5. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan
jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini digunakan
pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk memebeku yang
meningkat, misalnya pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian
obat jantung menjadi mati karena penyaluran darah kebagian ini terhalang
oleh tromus disalah satu cabangnya. Obat-obatan ini sangat penting untuk
meningkatkan harapan hidup penderita.
6. Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut dengan jalan
menormalisasi frekuensi dan ritme pukulan jantung. Kerjanya berdasarkan
penurunan frekuensi jantung. Pada umumnya obat-obatn ini sedikit banyak
juga mengurangi daya kontraksinya. Perlu pula diperhatikan bahwa obat-
obatan ini juga dapat memeperparah atau justru menimbulkan aritmia. Obat
antiaritmia memepertahankan irama sinus pada gagal jantung memberikan
keuntungan simtomatik, dan amiodaron merupakan obat yang paling efektif
dalam mencegah AF dan memperbaiki kesempatan keberhasilan kardioversi
bila AF tetap ada.

Diet Pada Pasien Gagal Jantung

Di Indonesia menurut data dari Indonesian Society of Hypertension asupan garam


harian mencapai 15 gr hingga dua kali liat yang direkomendasikan WHO yaitu 5
sampai 6 gr per hari. Ada tiga tahap diet rendah garam yakni terdiri dari diet
ringan (konsumsi garam 3,75-7,5 gram per hari), menengah (1,25-3,75 gram per
hari) dan berat (kurang dari 1,25 gram per hari).
- Diet Rendah Garam

Yang dimaksud disini adalah diet tanpa penggunaan garam dapur baik dalam
proses pengolahan makanan maupun saat makanan tersebut akan dikonsumsi.
Selain itu, konsumsi makanan dengan kandungan Natrium yang tinggi juga
dikurangi. Bahan makanan yang diolah dengan menggunakan garam seperti
kecap, margarin, mentega, keju, terasi, petis,dan sebagainya tidak boleh
dikonsumsi. Demikian juga dengan bahan maknan awetan yang menggunakan
garam seperti ikan asin, sardines, corned beef, sosis dan sebagainya. Konsumsi
bahan makanan yang kandungan natriumnya tinggi baik bahan makanan hewani
maupun nabati harus dibatasi jumlahnya karena kandungan natrium didalamnya
cukup tinggi.

- Diet Rendah Natrium

Dalam diet rendah garam, kandungan Natrium dalam makanan masih dalam
jumlah tinggi, yaitu sekitar 2500mg. Pada diet rendah natrium, kandungan Na
adalah antara 600 mg hinga 1200 mg. Akan tetapi dengan hanya mengunakan
bahan makanan tertentu dalam diet, kandungan Na dalam makanan dapat ditekan
sampai batas minimal. Diet rendah natrium hanya diberikan kepada penderita
yang dirawat di rumah sakit. Salah satu diet rendah natrium yang paling sering
digunakan adalah disebut diet kempner. Diet terdiri atas beras dan buah-buahan
kandungan natrium sebanyak 200 mg, protein nabati 20 gram, dan hidrat arang
460 gram sehari. Jumlah cairan yang diberikan antara 700 ml sampai 1000 ml
sehari. Penderita diberi makanan yang terdiri atas 200 – 300 gr beras sehari yang
dimasak sebagai nasi. Nasi tidak boleh dimasak dengan garam. Jumlah kalori
yang didapat dari nasi adalah antara 700 – 100 kalori. Tambahan kalori diperoleh
dengan menambahkan gula atau buah-buahan segar. Semua buah-buahan dapat
diberikan kecuali advokad, kurma, dan buah-buahan yang sudah diawetkan/ buah-
buahan kaleng. Sari tomat dan sari sayuran tidak boleh diberikan. Diet rendah
garam atau rendah natrium tidak hanya diberikan kepada penderita penyakit
jantung, tetapi juga diberikan kepada penderita penyakit ginjal, penyakit sirosis
hati, dan keracunan kehamilan. Penderita bukan saja harus membatasi makanan
yang mengandung natrium tinggi dan pantang garam, tetapi juga obat- obatan
ataupun bahan lainnya yang kadar natriumnya tinggi seperti Na-siklamat (gula
tiruan), bumbu masak (monosodium glutamat), dan sebagainya. Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam menjalani diet rendah garam, antara lain:

 Apabila fungsi ginjal tidak sempurna, penderita akan mengalami defisiensi


natrium karena kemampuan ginjal menyerap kembali Na menurun.
 Defisiensi Na juga dapat terjadi jika penderita diberi obat diuretik. Sindrom
kurang garam dapat timbul pada penderita, yaitu tubuh menjadi lemah, nafsu
makan hilang, mual, dan muntah. Selain itu tekanan darah akan turun, denyut
nadi menjadi cepat. Keadaan ini disebut juga “intoksikasi air”.

g. Olahraga pada SKA


Program rehabilitasi jantung merupakan salah satu penatalaksanaan non
farmakologis pasien SKA. Pasien SKA merupakan indikasi utama melaksanakan
program rehabilitasi jantung. Program rehabilitasi tersebut termasuk perubahan
gaya hidup yang antara lain termasuk pengaturan pola makan, manajemen stres,
latihan fisik. Program rehabilitasi pada penderita gangguan jantung bertujuan
untuk:

1. mengoptimalkan fisik tubuh,


2. memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan
3. membantu pasien untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum
mengalami gangguan jantung

Penderita pasca sindrom koroner akut perlu direhabilitasi jantung, sehingga dapat
kembali Suatu kondisi yang optimal secara fisik, medik, psikologik, sosial,
emosional, seksual, dan vokasional, rehabilitasi jantung juga berguna untuk kerja
jantung dan memenuhi syarat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bila
tidak dilakukan rehabilitasi jantung maka otot-otot jantung penurunan secara
periodik, aktifkan Perluas iskemia / infark serta kejadian serangan, hal ini bisa
berlanjut kematian. Program rehabilitasi jantung berisi dari fase empat, yaitu :
- fase I selama pasien di rumah sakit
- fase II segera setelah pasien keluar rumah sakit
- fase III segera setelah fase II masih dalam pengawasan tim rehabilitasi
jantung, dan
- fase IV fase pemeliharaan jangka panjang.

Program rehabilitasi akan tercapai bila terdapat tiga komponen penting dalam
perencanaan atau menjalankan program. Komponen tersebut adalah penerapan
konsep rehabilitasi dini, pendidikan kesehatan bagi pasien beserta keluarganya,
dan kesiapan staf pelaksana dalam penanganan pasien SKA. Rehabilitas jantung
sangat penting untuk mencegah sindroma koroner akut dan untuk pasca
ska,sehinga kondisi jantung di harapkan kerja secara optimal dan kembali seperti
semula. CR memiliki beberapa efek menguntungkan, termasuk peningkatan
kapasitas latihan, kekuatan otot, faktor risiko jantung, dan kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan, serta menurunkan angka kematian pada pasien
ACS. CR telah terbukti memiliki banyak manfaat langsung untuk sistem
kardiovaskular, seperti meningkatkan suplai oksigen miokard, fungsi endotel,
tonus saraf otonom, faktor koagulasi, penanda inflamasi, dan perkembangan
pembuluh darah kolateral koroner.

h. Pola hidup pada SKA

Terjadinya sindrom koroner akut dihubungkan oleh beberapa faktor risiko


meliputi faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin,
keturunan, dan faktor yang dapat dimodifikasi seperti merokok, hipertensi,
diabetes mellitus, dislipidemia, dan obesitas (Ghani et al., 2016; Indrawati, 2014).
Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya SKA ini telah dijelaskan dalam
Frammingham Heart Study dan studi-studi lainnya. Studi-studi ini menjelaskan
bahwa faktor resiko yang dapat dimodifikasilah yang berpengaruh kuat terjadinya
sindrom koroner akut (Torry et al., 2014).
2. Menjalaskan tentang farmakologi obat :
a. Antiplatelet
Antiplatelet bekerja dengan cara mengurangi agregasi platelet, sehingga dapat
menghambat pembentukan trombus pada sirkulasi arteri, dimana antikoagulan kurang
dapat berperan. Asetosal 150-300 mg sebagai dosis tunggal diberikan segera setelah
kejadian iskemik dan kemudian diikuti dengan pemberian jangka panjang asetosal 75 mg
sehari sekali untuk mencegah serangan penyakit jantung selanjutnya. Penggunaan
asetosal jangka panjang pada dosis 75 mg sehari berguna untuk semua pasien dengan
penyakit kardiovaskular, untuk pasien dengan risiko mengalami penyakit kardiovaskular
pada 10 tahun mendatang sebesar 20% atau lebih dan usia di atas 50 tahun; untuk pasien
diabetes yang berusia di atas 50 tahun atau yang telah menderita diabetes lebih dari 10
tahun dan untuk pasien dengan diabetes yang menerima pengobatan antihipertensi.
Asetosal dosis 75 mg sehari juga diberikan setelah operasi bypass jantung. Klopidogrel
digunakan untuk pencegahan kejadian iskemik pada pasien dengan riwayat gejala
penyakit iskemik. Klopidogrel dalam kombinasi dengan asetosal dosis rendah, juga
digunakan untuk sindroma koroner akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI). Kombinasi
ini diberikan untuk sekurangnya selama 1 bulan tapi biasanya tidak lebih dari 9-12 bulan.
Penggunaan klopidogrel dengan asetosal dapat meningkatkan risiko pendarahan dan tidak
ada bukti dapat memberikan manfaat pada penggunaan melebihi 12 bulan dari kejadian
terakhir dari gejala koroner akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI). Dipiridamol
digunakan secara oral sebagai tambahan antikoagulan oral untuk tujuan profilaksis
tromboemboli yang berhubungan dengan katup jantung prostetik. Sediaan dengan
pelepasan termodifikasi disarankan untuk pencegahan sekunder stroke iskemik dan
serangan iskemia sementara (TIA). Dipiridamol juga dikombinasikan dengan asetosal
dosis rendah untuk menurunkan risiko stroke berulang namun bukti manfaat penggunaan
jangka panjangnya belum diketahui dengan pasti. Klopidogrel dan dipiridamol lepas
lambat dalam pencegahan serangan oklusif vaskuler. Kombinasi dipiridamol lepas lambat
dengan asetosal digunakan untuk pencegahan serangan oklusif vaskuler pada pasien yang
pernah mengalami serangan iskemik sementara (TIA) maupun stroke iskemik. Kombinasi
ini sebaiknya digunakan selama 2 tahun setelah serangan terakhir. Dilanjutkan dengan
pengobatan jangka panjang asetosal dosis rendah setelah periode pengobatan tersebut.
Terapi tunggal klopidogrel dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi
asetosal dosis rendah dan mempunyai riwayat oklusif vaskuler atau menderita penyakit
arteri perifer. Penghambat glikoprotein IIb/IIIa. Penghambat glikoprotein IIb/IIIa dapat
mencegah agregasi trombosit dengan memblokade ikatan fibrinogen pada reseptornya di
trombosit. Absiksimab adalah antibodi monoklonal yang terikat pada reseptor
glikoprotein II b / IIIa dan tempat-tempat yang terkait lainnya. Digunakan sebagai terapi
tambahan pada heparin dan asetosal untuk mencegah komplikasi iskemik pada pasien
dengan risiko tinggi yang menjalani percutaneous transluminal coronary intervention
(PCI). Obat ini digunakan hanya sekali untuk menghindari risiko tambahan
trombositopenia. Eptifibatid dan tirofiban juga menghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa; keduanya dianjurkan untuk digunakan bersama dengan heparin dan asetosal
untuk mencegah infark miokard dini pada pasien angina tidak stabil atau infark miokard
non-ST-segment elevation (NSTEMI). Absiksimab, eptifibatid, dan tirofiban hanya boleh
digunakan di bawah pengawasan dokter spesialis. Penggunaan epoprostenol. Absiksimab,
dan tirofiban belum tersedia di Indonesia.
Monografi:
a. ASETOSAL

Indikasi:
profilaksis penyakit serebrovaskuler atau infark miokard.

Peringatan:
asma; hipertensi yang tak terkendali, tukak peptik, gangguan hati, gannguan ginjal,
kehamilan.

Interaksi:
lihat lampiran I (asetosal).

Kontraindikasi:
anak di bawah 16 tahun dan yang menyusui (sindrom Reye) (4.7.1); tukak peptik yang
aktif; hemofilia dan gangguan perdarahan lain.

Efek Samping:
bronkospasme; perdarahan saluran cerna (kadang-kadang parah), juga perdarahan lain
(misal subkonjungtiva).
Dosis:
lihat keterangan di atas.

b. DIPIRIDAMOL

Indikasi:
sebagai tambahan antikoagulan oral untuk tujuan profilaksis tromboembolisme pada
katup jantung prostetik.

Peringatan:
angina yang memburuk dengan cepat, stenosis, aorta infark miokard yang baru terjadi;
gagal jantung; dapat menyebabkan eksaserbasi migren; hipotensi; miastenia gravis;
menyusui.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (dipiridamol).

Efek Samping:
efek saluran cerna, pusing, mialgia, sakit kepala berdenyut, hipotensi, muka merah dan
panas, takikardi; penyakit jantung koroner memburuk, reaksi hipersensitifitas (ruam kulit,
urtikaria), bronkospasma dan angioedema berat; pendarahan meningkat selama dan
setelah pembedahan; trombositopenia.

Dosis:
oral, 300-600 mg sehari dalam 3-4 dosis terbagi sebelum makan

c. EPTIFIBATID

Indikasi:
sebagai pengobatan pada pasien dengan sindrom koroner akut termasuk pada pasien yang
akan atau sedang menjalani intervensi koroner perkutan (PCI, Percutaneous Coronary
Intervention); termasuk yang sedang menjalani intrakoroner stenting.

Peringatan:
risiko pendarahan, pengunaan bersamaan dengan obat yang dapat meningkatkan risiko
pendarahan- hentikan segera jika terjadi pendarahan yang tidak terkontrol; periksa waktu
dasar prothrombin, waktu aktivasi tromboplastin parsial, platelet count, hemoglobin,
hematokrit, dan serum kreatinin; pantau hemoglobin, hemotokrit, dan platelet pada
jangka waktu 6 jam setelah memulai pengobatan setelah itu setidaknya sehari sekali;
hentikan penggunaan jika diperlukan pengobatan trombolitik, intra aortic balloon pump,
atau operasi jantung segera; gagal ginjal (lampiran 3); kehamilan (lampiran 4); menyusui
(lampiran 5).

Interaksi:
Karena eptifibatid menghambat agregasi platelet, penggunaan harus hati-hati dengan obat
lain yang mempengaruhi hemostatis, termasuk antikougulan oral, larutan dekstran,
adenosin, sulfinpirazon, prostasiklin, antiinflamasi nonsteroid atau dipiridamol, tiklodipin
dan klopidogrel.

Kontraindikasi:
pendarahan abnormal dalam 30 hari, operasi besar atau trauma parah dalam 6 minggu,
stroke dalam 30 hari terakhir atau riwayat hemoragik stroke, penyakit inttoakular
(aneurism, malformasi arteriveha atau neoplasma) hipertensi berat, diathesis hemoragik,
peningkatan waktu protrombin atau INR, trombositopenia, gangguan fungsi hati
signifikan, pasien pada perawatan dialisis ginjal, hipersensitif terhadap komponen obat;
menyusui; penggunaan bersama atau rencana penggunaan bersamaan dengan penghambat
glikoprotein IIb / IIIa parenteral.

Efek Samping:
manifestasi pendarahan; sangat jarang anafilaksis dan ruam.

Dosis:
Sindrom koroner akut: Pasien dengan serum kreatinin < 2,0 mg/dl, dosis yang dianjurkan
intravena bolus 180 mcg/kg bb segera. Setelah diagonis dilanjutkan infus terus menerus
2,0 mcg/kg bb/menit sampai 72 jam. Pasien dengan berat diatas 121 kg maksimum 15
mg/jam.
Pasien dengan serum kreatinin antara 2.0 dan 4.0 mg/dl, dosis yang dianjurkan intravena
bolus 180 mcg/kg bb/menit. Pasien dengan serum kreatinin antara terus menerus 1,0
mcg/kg bb/menit. Pasien dengan serum kreatinin antara 2,0 dan 4,0 mg/dl. Dan berat
diatas 121 kg harus mendapat maksimum bolus 22,6 mg dilanjutkan dengan infus
kecepatan maksimum 7,5 mg/jam PCI.

Pasien dengan serum kreatinin < 2,0 mg/dL, dosis yang dianjurkan intravena bolus 180
mcg segera setelah PCI dimulai dilanjutkan dengan infus terus menerus 2,0 mcg/kg
bb/menit dan kedua 180 mcg/kg bb bolus 10 menit setelah bolus pertama. Infus
diteruskan sampai 18-24 jam, minimum pemberian 12 jam. Pasien dengan berat diatas
121 kg mendapatkan maksimum 22,6 mg per bolus diikuti oleh infus kecepatan
maksimum 15 mg per jam. Pasien dengan serum kreatinin antara 2,0 dan 4,0 mg/dL pada
awal PCI dosis 180 mcg/kg bb diberikan sebelum prosedur awal segera dilanjutkan
dengan infus 1,0 mcg/kg bb/menit secara terus menerus dan kedua 180 mcg/kg bb bolus
diberikan 10 menit setelah pemberian pertama. Pasien dengan serum kreatinin antara 2,0
dan 4,0 mg/dL dan berat diatas 121 kg mendapat maksimum 22,6 mg per bolus
dilanjutkan dengan infus kecepatan maksimum 7,5 mg/jam.

Pasien yang menjalani pembedahan bypass arteri koroner, infus eptifibatid harus
dihentikan sebelum pembedahan.

d. KLOPIDOGREL

Indikasi:
menurunkan kejadian aterosklerotik (infark miokardia, stroke, dan kematian vaskuler)
pada pasien dengan riwayat aterosklerosis yang ditandai dengan serangan stroke yang
baru terjadi, infark miokardia yang baru terjadi atau penyakit arteri perifer yang menetap.

Peringatan:
hati-hati digunakan pada pasien dengan risiko terjadinya pendarahan seperti pada keadaan
trauma, pembedahan atau keadaan patologi lainnya; Penggunaan bersamaan dengan obat
yang meningkatkan risiko pendarahan. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan dan
tidak diperlukan efek anti platelet, klopidogrel harus dihentikan 7 hari sebelumnya. Hati-
hati digunakan pada pasien dengan kegagalan fungsi hati karena pengalaman penggunan
masih terbatas; gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); kehamilan (lampiran 4).

Interaksi:
lampiran 1 (Klopidogrel).

Kontraindikasi:
hipersensitivitas, perdarahan aktif seperti ulkus peptikum atau perdarahan intrakranial,
menyusui (lampiran 5).

Efek Samping:
Dispepsia, nyeri perut, diare; perdarahan (termasuk perdarahan saluran cerna dan
intrakranial); lebih jarang mual, muntah, gastritis, perut kembung, konstipasi, tukak
lambung dan usus besar, sakit kepala, pusing, paraestesia, leukopenia, platelet menurun
(sangat jarang trombositopenia berat), eosinofilia, ruam kulit, dan gatal; jarang vertigo;
sangat jarang kolitis, pankreatitis, hepatitis, vaskulitis, kebingungan, halusinasi, gangguan
rasa, gangguan darah (termasuk trombositopenia purpura, agranulositosis, dan
pansitopenia), dan reaksi seperti hipersensitivitas (termasuk demam, glomerulonefritis,
nyeri sendi, sindrom Steven Johnson, linchen planus.

Dosis:
75 g sekali sehari dengan atau tanpa makanan. Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada
pasien lanjut usia atau dengan kelainan fungsi ginjal.

e. PRAVASTATIN+ASETOSAL

Indikasi:
keadaan dimana pravastatin (antikolesterol) dan asetosal (antiplatelet) diperlukan secara
bersamaan. Lihat Pravastatin (Bab 2.10.4) dan Asetosal (Bab 2.7)

Peringatan:
gangguan fungsi hati dan ginjal berat, lakukan uji fungsi hati pada pasien yang
mengalami kenaikan kadar transaminase. Tidak digunakan pada anak.
Interaksi:
pravastatin: imunosupresan, gemfibrozil, asam nikotinat, eritromisin, inhibitor sitokrom
P450 3A4, kolestiramin, diltiazem, itrakonazol, antipirin. Asetosal: lihat lampiran 1
Asetosal (IONI 2008).

Kontraindikasi:
Hipersensitivitas; penyakit hati aktif atau tidak dapat dijelaskan; peningkatan hasil fungsi
hati yang menetap; kehamilan atau pada wanita yang berencana untuk hamil; menyusui;
alergi terhadap anti inflamasi non steroid (AINS).

Efek Samping:
Pravastatin: nyeri dada (bukan karena penyakit jantung), influenza, ruam kulit, rasa lelah,
pening, gangguan tidur, urinasi yang tidak normal (tidak urinasi, frekuensi urinasi,
nokturia), disfungsi seksual, gangguan penglihatan, alopesia. Asetosal: bronkospasme,
perdarahan saluran cerna (kadang parah), juga perdarahan lain (misal subkonjungtiva).

Dosis:
sehari satu kali, pravastatin 20 mg / asetosal 80 mg atau pravastatin 10 mg / asetosal 80
mg. Tablet pravastatin dikonsumsi pada malam hari dan tablet asetosal pada pagi hari.
Pravastatin dapat diminum bersama makanan atau tanpa makanan. Asetosal diminum
bersama makanan dan dengan segelas air, kecuali jika pasien dibatasi asupan cairannya.

f. SILOSTAZOL

Indikasi:
mengobati gejala-gejala iskemia seperti ulkus, rasa sakit dan dingin pada penyakit oklusi
arteri kronik.

Peringatan:
hati-hati pemberian pada waktu menstruasi, tendensi pendarahan, pasien dengan terapi
antikoagulan, antiplatelet (seperti warfarin, aspirin, tiklodopin), pasien dengan gangguan
fungsi hati dan ginjal. Pemberian pada kehamilan dan menyusui tidak dianjurkan.
Keamanan pada bayi belum diketahui.
Interaksi:
lampiran 1 (silostazol).

Kontraindikasi:
predisposisi pada pendarahan (seperti tukak lambung aktif, stroke hemoragik pada 6
bulan terakhir, operasi pada 3 bulan terakhir, proliperatif retinopati akibat diabetes,
hipertensi yang tidak dikontrol); riwayat takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan
multifokal ventrikel ectopics, perpanjangan interval QT, gagal jantung kongestif;
gangguan fungsi hati sedang hingga berat; gangguan fungsi ginjal (lampiran 3);
kehamilan (lampiran 4); menyusui (lampiran 5).

Efek Samping:
sangat sering: diare, kotoran tidak normal, sakit kepala; mual, muntah, dispepsia, perut
kembung, nyeri perut; takikardi, jantung berdebar, angina, aritmia, nyeri dada; rhinitis;
pusing; ekimosis; ruam kulit, gatal; edema, astenia;

Lebih jarang: gastritis, infark miokard, gagal jantung kongesti, hipotensi postural,
insomnia, kecemasan, mimpi abnormal, dispnoea, pneumonia, batuk, reaksi hipersensitif,
diabetes mellitus, anemia, pendarahan, trombositemia, nyeri otot, gangguan fungsi ginjal.

Dosis:
dewasa, 100 mg 2 kali sehari (30 menit sebelum atau 2 atau 2 jam setelah makan).

g. TRIFLUSAL

Indikasi:
pencegahan infark miokard, angina stabil dan tidak stabil, stroke tanpa hemoragik atau
serangan iskemia transien setelah serangan iskemia serebrovaskular atau koroner yang
pertama. Mengurangi oklusi graft vena setelah operasi bedah koroner.

Peringatan:
Hati-hati pada gangguan fungsi hati/ginjal, risiko perdarahan, kehamilan/menyusui.
Interaksi:
meningkatkan efek AINS, glisentid atau warfarin.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas pada triflusal atau salisilat lain, ulkus peptik aktif atau ulkus peptik
dengan komplikasi, perdarahan aktif.

Efek Samping:
dispepsia, nyeri abdomen, mual, perdarahan lambung, sakit kepala.

Dosis:
Dewasa dan lansia, 600 mg per hari dalam dosis tunggal atau dosis terbagi atau 900 mg
per hari dalam dosis terbagi. Diberikan bersama makanan. Efikasi dan keamanan
penggunaan pada anak belum diketahui dengan pasti.

h. TIKLOPIDIN

Indikasi:
mengurangi risiko terjadinya stroke dan stroke kambuhan pada pasien yang pernah
mengalami stroke tromboemboli, stroke iskemik, minor stroke, reversible ischemic
neurological deficit (RIND), transient ischemic attack (TIA) termasuk transient
monocular blindness (TMB); Pencegahan kejadian mayor ischemic accident, terutama
pada koroner, pada pasien dengan arteri kronis dari anggota tubuh bagian bawah pada
tahap intermitten claudication; pencegahan dan perbaikan kerusakan fungsi platelet
karena misalnya hemodialisis berulang; pencegahan oklusi subakut yang diikuti
implantasi STENT koroner.

Peringatan:
Efek samping hematologi dan hemoragik dapat terjadi, bisa berat dan bahkan fatal,
sehingga pasien harus selalu dimonitor. Kejadian ini dapat berhubungan dengan
kurangnya monitoring, diagnosis yang terlambat dan tidak tepatnya pengukuran terapetik
efek samping yang terjadi. Pemberian bersamaan dengan antikoagulan atau antiplatelet
lain seperti asetosal dan AINS. Pada kasus pemasangan STENT, tiklopidin harus
dikombinasikan dengan asetosal (100-325 mg/hari) selama 1 bulan setelah implantasi.
Jumlah platelet harus diketahui pada awal pengobatan dan setiap 2 minggu untuk 3 bulan
pertama terapi, dan setiap 15 hari setelah pengobatan. Pengobatan harus dihentikan pada
kejadian neutropenia (<1.500 neutrofil/mm3) atau trombositopenia (<100.000
platelet/mm3), dan jumlah platelet harus dimonitor sampai kembali normal.

Interaksi:
kombinasi yang dapat meningkatkan risiko perdarahan: AINS, antiplatelet, derivat asam
salisilat, antikoagulan oral, heparin; kombinasi yang memerlukan perhatian: digoksin,
fenobarbital, fenitoin.

Kontraindikasi:
diatesis hemoragik (kecenderungan mengalami perdarahan), lesi organ yang cenderung
mengalami pendarahan (tukak gastroduodenal aktif atau kejadian hemoragik
serebrovaskular pada fase akut), kelainan darah termasuk perpanjangan waktu
pendarahan, leukopenia, trombositopenia atau agranulositosis, hipersensitif

Efek Samping:
hematologi (neutropenia, agranulositosis, aplasia sumsum tulang, trombositopenia,
purpura trombosis trombositopenia), hemoragik (memar atau ecchymosis dan epitaksis),
diare, mual, ruam kulit umumnya makulopapular atau urtikaria, pruritus, hepatitis dan
kolestatik jaundice, reaksi imunologi (edema Quincle, vaskulitis, sindroma lupus,
hipersensitif nefropati).

Dosis:
Dewasa: 2 tablet sehari, dengan makananUntuk pemasangan STENT, pengobatan dapat
dimulai sesaat sebelum dan sesudah pemasangan dan dilanjutkan selama satu bulan
dengan dikombinasikan dengan aspirin 100-25 mg/hari.

i. TIKAGRELOR

Indikasi:
diberikan kombinasi bersama asetosal 75-100 mg untuk mencegah trombosis (kematian
kardiovaskular, infark miokard dan stroke) pada pasien dengan sindrom koroner akut
(ACS) [angina tidak stabil, infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI) atau Infark
miokard dengan elevasi ST (STEMI)] termasuk pasien dengan intervensi koroner
perkutan (PCI) atau bedah bypass jantung (CABG).

Peringatan:
pasien dengan gangguan hati, resiko perdarahan (trauma, operasi, perdarahan
gastrointestinal, gangguan koagulasi), dispnea, kehamilan kategori C, bradikardi, sindrom
sinus, blok AV tingkat dua atau tiga, asma, penyakit obstruktif paru, riwayat
hiperurisemia, monitor fungsi ginjal satu bulan setelah pemberian. Penghentian obat tiba-
tiba dapat meningkatkan resiko kematian, trombosis dan infark miokard.

Interaksi:
penghambat kuat CYP3A (ketokonazol, itrakonazol, vorikonazol, klaritomisin,
nefazodon, ritonavir, saquinavir, nelfinavir, indinavir, atazanavir, dan telitromisin) dapat
meningkatkan kadar tikagrelor dalam darah, penginduksi CYP3A (rifampin,
deksametason, fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital) menurunkan kadar tikagrelor
dalam darah, asetosal dengan dosis lebih dari 100 mg sehari menurunkan efektivitas
tikagrelor, simvastatin dan lovastatin meningkatkan konsentrasi serum tikagrelor,
digoksin meningkatkan kadar digoksin.

Kontraindikasi:
pasien dengan riwayat perdarahan intrakranial (ICH), perdarahan aktif seperti ulkus,
hipersensitivitas.

Efek Samping:
dispnea, perdarahan, sakit kepala, batuk, lemas, pusing, fibrilasi atrium, hipertensi, nyeri
dada nonkardial, diare, nyeri punggung, hipotensi, fatigue, nyeri dada, peningkatan serum
kreatinin, konstipasi, parastesia, hiperurisemia, vertigo.

Dosis:
dosis awal (LD) 180 mg dilanjutkan dengan 90 mg dua kali perhari. Dosis awal asetosal
(325 mg), dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan asetosal 75-100 mg per hari. Pasien
ACS yang menerima dosis mula klopidogrel dapat diberikan tikagrelor. Pasien yang lupa
meminum obat dapat lanjut ke dosis selanjutnya (tikagrelor 90 mg). Bila ada dosis yang
terlupa maka dapat dilewatkan

b. Antiangina
Angina terjadi karena ketidakseimbangan antara pemasukan dan kebutuhan oksigen
sehingga terapi untuk angina ini berfungsi untuk menurunkan kebutuhan oksigen atau
menaikkan supply oksigen.
1. Nitrat
Mekanisme kerja : merangsang pengeluaran nitrogen monoksida (NO) yang ada di
endotel , NO akan menstimulasi enzim guanilat siklase. Guanilat siklase sendiri
merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan cGMP sehingga kadar cGMP
meningkat lalu cGMP akan menyebabkan defosforilasi myosin sehingga
menyebabkan relaksasi otot polos dan efek vasodilatasi.
Farmakokinetik : obat ini dimetabolisme di hati dan diabsorpsi dengan baik di kulit,
mukosa sublingual dan oral. First pass metabolism di hati menyebabkan
bioavailabilitas obat ini secara oral sangat kecil (sekitar 20%) sehingga dalam
kondisi serangan akut angina biasanya menggunakan bso sublingual krn efek lebih
cepat.
Contoh nitrat sublingual yang sering digunakan adalah nitrogliserin (gliseril trinitrat),
isosorbid dinitrat (ISDN). Dosis untuk obat-obat ini berbeda tiap bso, untuk
nitrogliserin sublingual dosisnya 0,3-1mg dengan lama kerja 10-30 menit dan dapat
diulang bila perlu, sedangkan ISDN sublingual 2,5-5mg dengan lama kerja 10-60
menit.
Selain sublingual, bso nitrat dengan masa kerja singkat bisa menggunakan amilnitrit
inhalasi dengan dosis 0,18-0,3 ml dengan lama kerja 3-5 menit. Bila menginginkan
masa kerja yang lebih panjang, bisa menggunakan BSO oral seperti eritritil oral,
pentaeritritol tetranitrat, isosorbid mononitrat, atau nitrogliserin dan isdn oral. Ada
juga sediaan transdermal seperti salep atau plester, plester nitrogliserin dirancang
untuk penggunaan 24 jam dan melepaskan 0,2-0,8mg obat tiap jam. Untuk yang bso
salep biasanya digunakan untuk mencegah angina yang timbul malam hari. Sediaan
transdermal sering menimbulkan toleransi (efek obat berkurang dengan dosis yang
sama saat pemberian pertama kali) sehingga terapi perlu dihentikan selama 8-12 jam
Untuk nitrogliserin bso iv mempunyai mula kerja yang cepat tapi efeknya juga cepat
hilang jika infus dihentikan jadi penggunaannya hanya untuk angina berat dan angina
berulang saat istirahat. Nitrat tidak bisa diberikan bersamaan dengan obat-obat PDE
(fosfodiesterase) inhibitor karena PDE berfungsi untuk menginaktifkan cGMP jadi
kalau misalkan PDE dihambat maka efek vasodilatasi akan muncul terus dan dapat
menyebabkan hipotensi.
2. Beta blocker
Mekanisme kerja : memblok reseptor beta sehingga menurunkan HR, TD, dan
kontraktilitas otot jantung. Memiliki efek menurunkan konduksi dan kontraksi
jantung sehingga kontraindikasi pada pasien bradikardia, av block derajat 2-3, gagal
jantung kongestif, hipotensi, dan eksaserbasi serangan asma. Pemutusan obat yang
mendadak terbukti dapat menyebabkan memburuknya angina. Karena itu, apabila
pemberian beta bloker akan dihentikan, lebih baik dilakukan dengan cara
pengurangan dosis sedikit demi sedikit.
3. CCB

Mekanisme kerja : menghambat arus masuk ion kalsium karena meningkatnya ion
kalsium dalam sitosol akan meningkatkan kontraksi jantung.

Dibagi menjadi 2 golongan : dihidropiridine (ex: nifedipine, amlodipine. tidak terlalu


mempengaruhi konduksi jantung, biasanya dikombinasi dengan beta blocker), non
dihidropiridine (ex : verapamil, diltiazem. Memiliki efek pada konduksi jantung
sehingga tidak dapat diberikan pada pasien gagal jantung.)

Terapi kombinasi

a. Nitrat dan beta blocker


Kombinasi nitrat long acting dan beta bloker dapat meningkatkan efektivitas terapi
pada pasien angina stabil kronik. Beta bloker akan menghambat reflex takikardia dan
inotropic positif (meningkatkan kontraktilitas) yang diakibatkan nitrat dan nitrat
dapat mengurangi kenaikan volume diastolic akhir ventrikel kiri akibat beta blocker.
b. CCB dan B-blocker
Bila efek antiangina nitrat dan B-bloker kurang memadai, kadang perlu ditambahkan
CCB terutama bila terdapat vasospasme coroner. CCB yang digunakan merupakan
golongan dihidropiridine karena B-bloker dapat mengurangi reflex takikardi dan TD
yang terjadi.
c. CCB dan nitrat

Pemberian kombinasi ini dianjurkan untuk pasien angina disertai gagal jantung atau
gangguan konduksi AV yang tidak tepat diobati dengan CCB dan beta bloker. Efek
hemodinamik yang dapat terjadi adalah hipotensi berat dan takikardia.

d. Kombinasi CCB, beta blocker, nitrat


Bila angina tidak membaik dengan pemberian 2 macam kombinasi obat, dapat
diberikan 3 kombinasi obat tapi bahaya efek samping yang terjadi lebih tinggi.
c. Trombolitik
- Jika antikoagulan bekerja dengan cara mencegah terbentuk dan meluasnya
tromboemboli maka trombolitik bekerja dengan melarutkan trombus yang sudah
terbentuk dan supaya trombolitik bekerja secara efektif maka harus diberikan sedini
mungkin
- lndikasi pemberian golongan obat ini adalah :
 Infark miokard akut
 Trombolitik diberikan pada pasien infark miokard akut yaitu bila nyeri dada timbul
minimal selama 30 menit, peningkatan ST persisten dan refrakter terhadap
nitrogliserin sublingual
 Untuk mempercepat reperfusi harus diberikan dalam waktu 3-4 jam, kecuali oklusi
bersifat subtotal dan sudah terbentuk sirkulasi kolateral yang baik maka bisa
diberikan lebih lama
 DVT, dan emboli paru
 Tromboemboli arteri
 Melarutkan bekuan darah pada katup jantung buatan dan kateter intravena.
- Monitoring terapi : hentikan heparin (kecuali pasien infark miokard akut yang butuh
penanganan segera) lalu lakukan pemeriksaan lab (untuk tau ada tidaknya
perdarahan) meliputi TT, PT, APTT, hematokrit, kadar fibrinogen, dan hirtung
trombosit yang hasilnya harus <2x nilai normal waktu terapi.
- Efek samping :
 Perdarahan : Jika terjadi perdarahan hebat segera hentikan trombolitik
 Untuk mengatasi fibrinolisis dengan cepat dapat diberikan asam aminokaproat, suatu
inhibitor fibrinolisis, secara lV lambat
 Bradikardi dan aritmia bisa terjadi pada oasien infark miokard akut dan biasanya
digunakan sebagai petunjuk terjadinya reperfusi
 Mual dan muntah
 Streptokinase  merupakan protein asing yang dapat menyebabkan reaksi alergi
seperti pruritus, urtikaria, flushing, kadang kadang angioedema, bronkospasme,
reaksi alergi lambat seperti demam dan arthralgia
- Kontra inidkasi pada pasien : penderita dengan perdarahan internal, sfroke baru,
proses intrakranial lain, hiperlensi, gangguan hemostatik, kehamilan, dan operasi
besar
- Macam- macam obat golongan trombolitik :
a) Streptokinase
o Streptokinase berasal dari Streptococcus C. hemolyticus
o Fungsi : pengobatan fase emboli dan infark miokard akut
o Cara kerja : Streptokinase mengaktivasi plasminogen dengan cara tidak langsung
yaitu dengan bergabung terlebih dahulu dengan plasminogen untuk membentuk
kompleks aktivator. Selanjutnya kompteks aktivator tersebut mengkatalisis
perubahan plasminogen bebas menjadi plasmin.
o Untuk mencegah terjadinya penolakan obat oleh karena antibody pasien terhadap
infeksi pasien terhadap streptococcus sebelumnya, maka lakukan loading dose
(Dosis Awal (Initial dose/Loading Dose) adalah dosis yang diberikan pada awal
terapi agar kadar obat mencapai kadar terapi minimal)
o Farmakokinetik  Masa paruhnya bifasik. Fase cepat kurang lebih dalam 11-1 3
menit dan fase lambat 23 menit.
o Dosis :
 Dosis dewasa untuk infark miokard akut dianjurkan dosis total 1,5 juta lU secara
infus selama 1 jam
 Untuk trombosis vena akut, emboli paru, trombosis arteri akut atau emboli  dapat
diberikan toading dose 250.000 lU secara infus selama 30 menit diikuti dengan
100.000 lU/jam (biasanya selama 24 jam pada penderita emboli paru,24-72 iam pada
penderita trombosis arteri atau emboli dan sampai dengan 72 jam pada penderita
DVT).
b) Urokinase
o Merupakan hasil isolasi dari urin manusia
o Cara kerja : langsung mengaktifkan plasminogen
o Untuk pengobatan : emboli paru, tromboemboli arteri dan vena
o + heparin  risiko perdarahan lebih tinggi dibanding peberian heparin secara
tunggal
o Farmakokinetik  pada pemberian infus, akan cepat dibersihkan di dalam darah oleh
hepar. Masa paruh sekitar 20 menit. Sejumlah kecil obat diekskresi dalam empedu
dan urin.
o Dosis  Dosis yang dianjurkan loading dose 1 .0004.500 lU/kg secara lV
dilanjutkan dengan inlus lV 4.4001U/kg/jam.
o Asam aminokaproat  penawar spesifik untuk keracunan urokinase
c) Aktivator plasminogen, rt-PA (Recombinant Human Tissue-Type PIasminogen
Activator).
o rl-PA merupakan aktivator plasminogen jaringan yang diproduksi dengan teknik
rekayasa DNA.
o Cara kerja  lebih selektil mengaktivasi plasminogen yang mengikat fibrin daripada
plasminogen bebas di dalam darah, sehingga rt-PA bekerja lebih selektif terhadap
bekuan darahfibrin.
o Farmakokinetik  Masa paruh rt-PA kurang lebih 5 menit, mengalami metabolisme
di hati dan kadar plasma bervariasi karena aliran darah ke hati yang bervariasi.
o Dosis IV: Dewasa, dosis total 100 mg (60 mg  jam pertama, 20 mg  jam ke dua,
20 mg  jam ke tiga). Untuk penderila dengan berat badan kurang dari 65 kg 
dosis total 1,25 mg/kg diberikan selama 3 jam seperti di atas.
o Tapi obat ini mahal harganya
d. Antikoagulan
Digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan menghambat pembentukan atau
menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah dan mampu mencegah
pembentukan dan perluasan trombus dan emboli. Antikoagulan oral dan heparin dapat
menghambat pembentukan fibrin dan berperan sebagai profilaktik yang mengurangi
insidensi tromboemboli serta mempertahankan gumpalan trombosit pada trombus yang
sudah terbentuk dan mencegah perbesaran trombus dan mengurangi kemungkinan terjadi
emboli.
Heparin merupakan mukopolisakarida yang disintesis di dalam sel mast dan banyak di
paru. Bekerja dengan berikatan dengan antithrombin III yang menghambat protease
faktor pembekuan darah. Selain itu, heparin bersifat lipotropik yaitu memperlancar
transpor lemak ke depot lemak dan membebaskan enzim untuk hidrolisis lemak. Bahaya
utama heparin adalah perdarahan. Selain itul, pada masa tromboemboli akut, dapat terjadi
resistensi atau toleransi terhadap heparin. Perdarahan ringan dapat ditangani dengan
penghentian pemberian heparin, sedangkan perdarahan berat dapat ditangani dengan
memberi antagonis heparin. Heparin bisa diindikasikan untuk pengobatan thrombosis
vena dan emboli paru serta pengelolaan awal pasien angina tidak stabil atau infark
myocard. Obat terpilih untuk perempuan yang butuh antikoagulan karena tidak melalui
plasenta, tidak ada di ASI, dan tidak menimbulkan cacat bawaan. Tidak boleh diberikan
pada pasien perdarahan. Selain itu, dia ini berasal dari jaringan hewan sehingga harus
hati-hati dalam kemungkinan munculnya alergi dengan gejala menggigil, demam,
urtikaria, atau syok anafilaksis.
Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K yang merupakan kofaktor yang
berperan dalam aktivasi faktor pembekuan darah. Obat ini bekerja dengan mencegah
reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivasi faktor pembekuan darah terganggu atau
tidak terjadi. Efek baru muncul setelah 12-24 jam. Respon terhadap obat ini bermacam-
macam tergantung dari asupan makanan dan vitamin. Pasien dengan gangguan fungsi hati
menjadi lebih sensitif terhadap obat ini dan masa kerja diperpanjang pada insufisiensi
ginjal dan demam. Ada pasien resisten obat ini karena genetik sehingga butuh dosis 10-
20x dosis lazim. Pemberian dengan kortikotropin atau kortikosteroid dapat
mengakibatkan perdarahan berat. Efek terapi bari muncul pada 12-24 jam, dan makin
besar dosis awal maka efek terapi akan makin cepat timbul. Diberikan untuk pencegahan
dan pengobata tromboemboli dan mencegah progresivitas atau kambuhnya thrombosis
vena. Efek samping yang paling sering muncul adalah perdarahan yang juga bisa muncul
dalam dosis terapi. Kontraindikasi pada pasien dengan penyakit dengan kecenderungan
perdarahan dan pada wanita hamil karena bisa mengakibatkan perdarahan pada neonatus
dan bisa pula mengakibatkan embriopati.
Antikoagulan pegikat ion Kalsium seperti natrium sitrat yang mengikat kalsium menjadi
kompleks kalsium sitrat. Biasa digunakan unruk transfusi karena tidak toksik, tapi dosis
terlalu tinggi (kira2 1400mL) dapat mengakibatkan depresi jantung. Natrium edetat juga
mengikat kalsium menjadi suatu kompleks dan bersifat sebagai antikoagulan

3. Menjelaskan tentang metabolisme kolesterol


 Metabolisme kolesterol merupakan reaksi anabolisme dimana terjadi rekais
penggabungan dari senyawa sederhana menjadi senyawa kompleks
 Untuk kolesterol sendiri, sumbernya ada yang dari eksogen, ada juga yang dari
endogen
 Eksogen diperoleh dari diet makanan sedangkan endogen diperoleh melalui proses
sintesis di dalam tubuh
 Metabolisme kolesterol terdiri atas 4 proses, yaitu :
a. Sintesis Kolesterol (tempat : di sitosol)
- Tahap 1 : Terbentuknya Mevalonat
- Tahap 2 : Terbentuknya Isopentil Difosfat
- Tahap 3 : Terbentuknya Squantel

- Tahap 4 : Terbentuknya Lanosterol & Tahap 5 : Terbentuknya Kolesterol


- Bagan sederhana proses sintesis :
b. Transport kolesterol
- Untuk melakukan transport, kolesterol perlu diubah terlebih dahulu menjadi
lipoprotein karena sifatnya yang hidrofobik sehingga butuh untuk membentuk
lipoprotein untuk bisa diangkut dalam sirkulasi darah
- Untuk lipoprotein sendiri berdasarkan densitas/ massa jenisnya dibedakan menjadi
5:

Keterangan : jika diurutkan berdasarkan densitasnya dari yang terkecil ke yang


terbesar maka urutannya adalah  chylomicron < chylomicron remnants < VLDL
< IDL < LDL < HDL
- Bagan proses transport kolesterol :
1) Makanan yang mengandung klesterol masuk ke saluran pencernaan yaitu intestine
2) Dari usus keluar berupa kilomikron yang tinggi akan kadar TG (TG termausk
lemak jenuh)
3) Kilomikron kemudian akan ditransport ke hepar dengan melewati pembuluh kapiler
terlebih dahulu, di kapiler inilah akan terjadi pemecahan TG namun belum
semuanya oleh Lipoprotein Lipase (LPL) menjadi chylomicron remnants dengan
densitas yang sedikit lebih besar dari chylomicron dan diameter yang berkurang
4) Chylomicron remnants masuk ke hepar melalui reseptor di permukaan hepar
5) Di dalam hepar chyomicron remnants diubah menjadi VLDL
6) VLDL kemudian ke keluarkan dari hepar masuk ke kapiler darah untuk di
distribusikan ke jaringan ekstra hepatic, di kapiler ini kembali dikurangi kadar TG
nya oleh LPL sehingga menjadi IDL dengan densitas yang lebih besar dna diameter
yang lebih kecil
7) IDL lalu bersirkulasi hingga sampai pada kapiler yang akan memasuki jaringan
ekstra hepatic/ jaringan perifer, di sini kembali mengalami pemecahan TG oleh
LPL menjadi LDL
8) LDL memasuki jaringan ekstrahepatik dengan kadar terbesarnya adalah kolesterol
sehingga LDL ini sering disebut berfungsi sebagai pembawa kolesterol pada
jarngan ekstrahepatik
9) Di jaringan ekstrahepatik, kadar kolesterol yang berlebihan (karena sejatinya di
jaringan perifer sendiri juga memproduksi kolesterol) maka oleh HDL koleseterol-
kolesterol ini akan diangkut kembali ke hepar untuk dilakukan konversi dan
diekskresikan.
c. Konversi dan Ekskresi Kolesterol
- Mengapa kolesterol perlu diekskresikan ?  karena inti kolesterol tidak lagi dapat
dipecah untuk dimanfaatkan tubuh, maka kolesterol harus diekskresikan baik dalam
bentuk utuh kolesterol oleh absorbsi duodenum atau diubah terlebih dahulu menjadi
asam empedu, pengubahan inilah yang kemudian disebut sebagai konversi
- Konversi kolesterol terjadi dengan cara pemutusan ikatan rangkap, pemendekan
rantai dan penambahan gugus –OH yang membutuhkan vitamin C, seperti pada
bagan di bawah ini :
- Bagan singkat konversi kolesterol :

- Ekskresi asam empedu ini memiliki sistem feedback negative terhadap konversi
kolesterol, dimana dengan peningkatan eksresi kolesterol maka terjadi peningkatan
pula konversi kolesterol sehingga jalur ini juga menjadi salah satu prinsip dari obat
hiperkolesterolemia
4. Menjelaskan tentang mekanisme penjalaran nyeri dari sisi neurologis
Selama proses inflamasi, nosiseptor menjadi lebih peka dan mengakibatkan nyeri yang
terus menerus. Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sebagai
sumber stimuli nyeri sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses
elektrofisiologik yang disebut sebagai nosisepsi. Terdapat empat proses dalam nosisepsi,
yakni : transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
a. Transduksi

Transduksi merupakan proses pengubahan stimuli nyeri (noxious stimuli) menjadi suatu
impuls listrik pada ujung-ujung sarafAktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan
sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan atau
trauma.8 Trauma tersebut kemudian menghasilkan mediatormedator nyeri perifer sebagai
hasil dari respon humoral dan neural. Prostaglandin beserta ion H+ dan K+ berperan
penting sebagai activator primer nosiseptor perifer serta menginisiasi respon inflamasi
dan sensitisasi perifer yang menyebabkan pembengkakan jaringan dan nyeri pada lokasi
cedera.

b. Transmisi

Transmisi merupakan serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik


melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen. Saraf aferen
akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui
sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex
serebral. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut Aδ fiber dan C fiber sebagai neuron
pertama dari perifer ke medula spinalis. Proses tersebut menyalurkan impuls noxious dari
nosiseptor primer menuju ke sel di dorsal horn medulla spinalis

c. Modulasi

Modulasi adalah proses yang mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol
jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan sistem neural yang
komplek. Impuls nyeri ketika sampai di saraf pusat akan dikontrol oleh sistem saraf pusat
dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian
cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke
tulang belakang untuk memodulasi efektor

d. Persepsi

Persepsi adalah proses yang subjective. Persepsi merupakan hasil akhir dari proses
interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan
modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatui perasaan yang subjektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri

Permukaan kulit dibagi menjadi daerah khusus yang disebut dermatom, yang berasal dari
sel-sel somite suatu. Sel-sel yang berdiferensiasi menjadi somite berikut 3 daerah: (1)
myotome, yang membentuk beberapa otot rangka; (2) dermatom, yang membentuk
jaringan ikat, termasuk dermis; dan (3) sclerotome, yang menimbulkan tulang belakang.
Sebuah dermatom adalah area kulit di mana saraf sensorik berasal dari akar saraf tulang
belakang tunggal. Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Ada 8 saraf servikal, 12 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral. Masing
masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. Otak
bagian korteks serebral gak bisa interpretasi sumber nyeri, jadi miss interpretation ke
bagian lengan
5. Menjelaskan tentang indikasi dan kontraindikasi PCI

a. Indikasi
- Infark miokard akut elevasi ST akut (STEMI)
 PCI primer adalah metode reperfusi yang direkomendasikan jika dapat
dilakukan tepat waktu oleh operator berpengalaman.
 STEMI dan gejala iskemik dengan durasi kurang dari 12 jam.
 STEMI dan gejala iskemik dengan durasi kurang dari 12 jam dan
kontraindikasi terapi fibrinolitik
 PCI meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan stenosis signifikan
(> 50%)
- Sindrom koroner akut non-ST-elevasi (NSTE-ACS)
 Terapi invasif dini (dalam 2 jam setelah gejala) direkomendasikan dengan
angina refrakter, angina berulang, gejala gagal jantung, regurgitasi mitral baru
atau yang memburuk, ketidakstabilan hemodinamik, atau takikardia / fibrilasi
ventrikel berkelanjutan.
 Memburuknya kadar troponin harus memicu terapi dini (dalam 24 jam)
- Angina tidak stabil
- Angina stabil
- Setara dengan anginal (mis. Dispnea, aritmia, atau pusing atau sinkop)
- Temuan tes stres berisiko tinggi
- PCI diindikasikan untuk stenosis arteri koroner kritis, yang tidak memenuhi syarat
untuk operasi bypass arteri koroner (CABG).
b. Kontraindikasi
Kontraindikasi Mutlak
- Ketidakpatuhan terhadap prosedur dan ketidakmampuan untuk menggunakan
terapi antiplatelet ganda.
- Risiko perdarahan tinggi (trombositopenia, tukak lambung, koagulopati parah)
- Restenosis intervensi koroner perkutan multiple

Kontraindikasi Relatif

- Intoleransi untuk antiplatelet oral jangka panjang


- Tidak adanya cadangan operasi jantung
- Keadaan hiperkoagulasi
- Penyakit ginjal kronis tingkat tinggi
- Oklusi total SVG kronis
- Arteri dengan diameter <1,5 mm
- Stenosis <50%
- Stenosis utama kiri kritis tanpa aliran kolateral atau cangkok bypass paten

6. Menjelaskan hubungan kardiomati dengan PJK

PJK disebabkan oleh adanya aterosklerosis. Apabila pembuluh darah koroner tersumbat,
otot-otot di jantung tidak akan mendapatkan suplai oksigen. Maka otot jantung akan
mengalami hipoksemia panjang sampai pada akhirnya mengalami nekrosis. Jaringan-
jaringan pada otot jantung yang tidak mendapatkan suplai oksigen, struktur sel nya akan
berubah tidak lagi menjadi myokard yang baik dan fungsional. Maka dari itu terjadilah
myopati yaitu melebarnya struktur otot jantung. Maka dari itu, PJK dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi akibat perfusi oksigen yang buruk terhadap otot-otot di jantung.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad M, Mehta P, Reddivari AKR, et al. Percutaneous Coronary Intervention. [Updated 2020
Jun 22]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556123/

Cardiogenic Shock - StatPearls - NCBI Bookshelf [WWW Document], n.d. URL


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482255/ (accessed 11.27.20).

Kurnia, A. 2020. Diagnosis dan tatalaksana infark miokard akut ventrikel kanan. 47(6):413–416.

Leonard S. Lilly. (2016). Pathophysiology of heart disease : a collaborative project of medical


students and faculty. Sixth Edition Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,

Netter, F. H., Hansen, J. T., & Lambert D. R. (2010). Netter's clinical anatomy. Carlstadt, N.J.,
Icon Learning Systems.

Ojha, N. and Dhamoon, A., 2020. Myocardial Infarction. [ online ] Ncbi.nlm.nih.gov. Available
at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537076/>

Setiati S. et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.

Sudoyo, Aru W, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai