Anda di halaman 1dari 35

MODUL 2 SESAK NAFAS

LAPORAN PBL BLOK KARDIOVASKULER


SKENARIO 2

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
1. Rezzita Astiani 11020160086
2. Fadhillah 11020170035
3. Nurafni 11020170065
4. Murni Aswiranti.P.M 11020170077
5. Nurul Fitriani Ibrahim 11020170084
6. Aulia Chaeruni 11020170086
7. Selfy Eltry Elvira 11020170096
8. Tiara Putri Kalsum 11020170098
9. Novia Damayanti .K. 11020170124
10. Muh.Imran Jumaide 11020170135

Tutor : dr. Rezky Putri Indarwati Abdullah, M.kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya
sehingga laporan hasil Tutorial dari kelompok 10 ini dapat terselesaikan dengan
baik. Tak lupa kami kirimkan salam dan shalawat kepada junjungan kita yakni Nabi
Muhammad SAWyang telah membawa kita dari alam yang penuh kebodohan
menuju ke alam yang penuh dengan ilmu.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah
membantu dalam pembuatan laporan ini dan khususnya kepada dr. Rasfayanahyang
telah banyak membantu selama proses Tutorial. Dan kami juga mengucapkan
permohonan maaf kepada setiap pihak jika dalam proses Tutorial kami telah
berbuat salah,baik disengaja maupun tidak disengaja.
Semoga laporan hasil PBL ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah
membaca laporan ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Diharapkan setelah
membaca laporan ini dapat memperluas pengetahuan pembaca mengenai
KARDIOLOGI DAN VASKULER

Makassar, 28 Maret 2019


Kelompok 7
SKENARIO 2 :
Seorang perempuan berusia 45 tahun datang ke UGD dengan keluhan sesak
napas berat dirasakan sejak 3 hari yang terakhir. Sesak memberat bila pasien
terlentang dan lebih nyaman dengan posisi duduk. Keluhan makin berat bila pasien
bergerak ataupun beraktivitas, disertai bengkak pada kaki dan keluhan sering
terbangun tengah malam karena sesak. Sebelumnya pasien sudah sering control di
Puskesmas tetapi berobat tidak teratur.
Pada pemeriksaan ditemukan adanya rhonki basah halus pada seluruh lapangan
paru. Nadi regular dan tekanan darah 160/90, nadi 115 kali/menit, terdapat
bendungan vena leher +9 cmH2O pada posisi 45 derajat. Ictus cordis teraba di linea
axillaris anterior kiri/ruang intercostal V.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran Rontgen dada menunjukkan
CTR 0,56 dan terlihat kerley B lines.

A. Kata Sulit :
1. Ictus cordis
Ictus cordis merupakan gebukan apeks cordis pada dinding. Ictus cordis
biasanya terletak SIC V 1 cm sebelah media midclavicularis sisnistra
2. Ronki Basah
Merupakan suara napas yang terputus-putus, bersifat non musical, biasanya
terdengar saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam
saluran napas.
3. Garis B Kerley
Adalah garis horizontal pendek yang terletak tegak lurus ke permukaan
pleura di dasar paru-paru; mereka mewakili edema septa interlobular

B. Kata Kunci :
1) Perempuan berusia 45 ahun
2) Keluhan sesak nafas sudah dirasakan sejak 3 hari yang lalu
3) Memberat bila terlentang, nyaman bila duduk
4) Diperberat oleh aktifitas.
5) Tanda vital pada saat masuk yaitu Tekanan darah 160/90, denyut nadi 115
kali/menit. Bendungan vena leher +9 cmH2O pada posisi 45 derajat.
6) Bengkak pada kaki
7) Sering terbangun tengah malam karena sesak
8) Adanya rinki basah halus
9) Ictus cordis di linea axillaris anterior kiri
10) Radiologi CTR : 0,56 dan Kerley B lines.

C. Pertanyaan :
1) Bagaimana fisiologi jantung?
2) Jelaskan perbedaan sesak nafas pada penyakit kardio dan non-kardio?
3) Bagaimana mekanisme timbulnya sesak nafas pada penderita kardiovaskular?
4) Jelaskan faktor-faktor yang berperan dalam proses patologis yang terjadi di
paru-paru yang dapat menimbulkan sesak nafas?
5) Apa hubungan pemeriksaan yang ditemukan dengan pada pasien dengan
keluhan utama pasien?
6) Jelaskan tindakan dan terapi pada penderita dengan sesak nafas.?
7) Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario ?
8) Jelaskan DD yang terkait pada skenario?
9) Jelaskan perspektif islam terkait pada skenario!

D. Jawaban :
1. Fisiologi jantung
Penting untuk memahami konsep cardiac output, volume stroke, preload,
hukum Frank-Starling, afterload, dan fraksi ejeksi untuk memahami fisiologi
jantung. Output jantung (CO) adalah jumlah darah yang dikeluarkan dari
ventrikel kiri, biasanya sama dengan aliran balik vena. Itu dihitung oleh CO
= stroke volume (SV) x denyut jantung (HR). CO juga sama dengan tingkat
konsumsi oksigen dibagi dengan perbedaan kadar oksigen arteri dan vena.
Volume stroke adalah jumlah darah yang dipompa keluar dari jantung
setelah satu kontraksi. Ini adalah perbedaan dalam end-diastolic (EDV) dan
volume end-sistolik (ESV). Itu meningkat dengan meningkatnya
kontraktilitas, peningkatan preload dan penurunan afterload. Juga,
kontraktilitas ventrikel kiri meningkat dengan katekolamin dengan
meningkatkan ion kalsium intraseluler dan menurunkan natrium
ekstraseluler. Preload adalah tekanan pada otot ventrikel oleh EDV ventrikel.
Hukum Frank-Starling menggambarkan hubungan antara EDV dan SV.
Hukum ini menyatakan bahwa jantung mencoba untuk menyamakan CO
dengan pengembalian vena. Dengan meningkatnya aliran balik vena, ada
EDV yang lebih besar di ventrikel kiri yang menyebabkan peregangan
ventrikel lebih lanjut. Peregangan ventrikel yang lebih jauh menyebabkan
gaya kontraksi yang lebih besar dan SV yang lebih besar. Volume stroke yang
lebih besar mengarah ke CO yang lebih besar, sehingga menyamakan CO
dengan aliran balik vena. Selanjutnya, afterload adalah tekanan yang harus
melebihi tekanan ventrikel kiri untuk mendorong darah ke depan. Tekanan
arteri rata-rata paling baik memperkirakan hal ini. Juga, afterload dapat
diperkirakan dengan jumlah minimum tekanan yang dibutuhkan untuk
membuka katup aorta yang setara dengan tekanan diastolik. Dengan
demikian, tekanan darah diastolik adalah salah satu cara yang lebih baik untuk
mengindeks afterload. Akhirnya, fraksi ejeksi (EF) sama dengan SV / EDV.
EF ventrikel kiri adalah indeks untuk kontraktilitas. EF normal lebih besar
dari 55%. EF yang rendah menunjukkan gagal jantung.
Siklus jantung menggambarkan jalur darah melalui jantung. Ini berjalan
dalam urutan sebagai berikut:
a. Penutupan kontraksi atrium dari katup mitral
b. Fase isovolumetrik
c. Pembukaan katup aorta
d. Fase ejeksi (ejeksi cepat dan berkurang), mengosongkan ventrikel
kiri
e. Penutupan katup aorta
f. Relaksasi isovolumetrik
g. Pembukaan katup mitral
h. Fase pengisian (pengisian cepat dan berkurang) ventrikel kiri

Pembuluh darah memainkan peran penting dalam pengaturan aliran darah


ke seluruh tubuh. Secara umum tekanan darah menurun dari arteri ke vena,
dan ini karena tekanan yang mengatasi resistensi pembuluh darah. Semakin
besar perubahan resistensi pada titik mana pun dari pembuluh darah, semakin
besar pula hilangnya tekanan pada titik itu. Arteriol memiliki peningkatan
resistensi terbesar dan menyebabkan penurunan terbesar pada tekanan darah.
Penyempitan arteriol meningkatkan resistensi yang menyebabkan penurunan
aliran darah ke kapiler hilir dan penurunan tekanan darah yang lebih besar.
Pelebaran arteriol menyebabkan penurunan resistensi yang meningkatkan
aliran darah ke kapiler hilir dan penurunan tekanan darah yang lebih kecil.
Tekanan darah diastolik (DP) adalah tekanan terendah dalam arteri pada awal
siklus jantung sementara ventrikel sedang rileks dan terisi. DP berbanding
lurus dengan resistansi perifer total (TPR). Selain itu, energi yang disimpan
dalam aorta yang sesuai selama sistol sekarang dilepaskan oleh rekoil dari
dinding aorta selama diastole, sehingga meningkatkan tekanan diastolik.
Tekanan darah sistolik (SP) adalah tekanan puncak di arteri pada akhir siklus
jantung sementara ventrikel berkontraksi. Ini berhubungan langsung dengan
volume stroke, karena volume stroke meningkat, SP juga meningkat. SP juga
dipengaruhi oleh kepatuhan aorta. Karena aorta elastis, ia meregang dan
menyimpan energi yang disebabkan oleh kontraksi ventrikel dan menurunkan
tekanan sistolik. Tekanan nadi adalah perbedaan antara SP dan DP. Tekanan
nadi sebanding dengan SV dan berbanding terbalik dengan kepatuhan arteri.
Jadi semakin kaku arteri, semakin besar tekanan nadi. Mean arterial pressure
(MAP) adalah tekanan rata-rata di arteri sepanjang siklus jantung. MAP
selalu lebih dekat dengan DP. MAP dihitung dengan MAP = DP + 1/3
(tekanan nadi). Juga, dengan MAP = CO x TPR, di mana CO adalah output
jantung. Ini penting karena setiap kali ada penurunan CO, untuk
mempertahankan MAP TPR akan meningkat, yang relevan dalam banyak
masalah patofisiologi.

Sistem saraf mengatur sistem kardiovaskular dengan bantuan baroreseptor


dan chemoreseptor. Kedua reseptor terletak di karotis dan lengkung aorta.
Juga, keduanya memiliki sinyal aferen melalui saraf vagus dari lengkungan
aorta dan sinyal aferen melalui saraf glossopharyngeal dari karotid.

a. Baroreseptor lebih khusus terletak di sinus karotis dan lengkung aorta.


Mereka merespons dengan cepat terhadap perubahan tekanan darah.
b. Penurunan tekanan darah atau volume darah menyebabkan hipotensi
yang mengarah pada penurunan tekanan arteri yang menyebabkan
penurunan rentangan baroreseptor yang menurunkan pensinyalan
baroreseptor aferen. Penurunan sinyal aferen dari baroreseptor
menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis eferen dan penurunan
aktivitas parasimpatis yang mengarah ke vasokonstriksi,
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas, dan
peningkatan TD. Vasokonstriksi meningkatkan TPR dalam
persamaan MAP = CO * TPR untuk mengembalikan tekanan (MAP).
c. Peningkatan tekanan darah atau volume darah menyebabkan
hipertensi yang meningkatkan bentangan baroreseptor
d. Kemoreseptor datang dalam 2 jenis: perifer dan sentral. Kemoreseptor
perifer secara khusus terletak di tubuh karotis dan lengkung aorta.
Mereka merespons kadar oksigen, kadar karbon dioksida, dan pH
darah. Mereka distimulasi ketika oksigen berkurang, karbon dioksida
meningkat, dan pH menurun. Kemoreseptor sentral terletak di medula
oblongata dan mengukur perubahan pH dan karbon dioksida dari
cairan tulang belakang otak.

Tekanan darah (BP) adalah nilai klinis penting karena menggambarkan


status pembuluh darah dalam keadaan akut dan kronis. Jika pasien memiliki
tekanan darah tinggi di klinik lebih dari dua kali, pasien dapat didiagnosis
dengan hipertensi esensial. BP juga dapat menjadi signifikan dalam
pengaturan akut seperti di ruang gawat darurat setelah seorang pasien dibawa
dengan ambulans karena kecelakaan kendaraan bermotor. Pada titik ini,
penting untuk menilai pasien BP karena jika rendah, itu mungkin
menunjukkan pasien berdarah di suatu tempat, dan lokasi perdarahan harus
ditemukan sesegera mungkin.

Bunyi jantung S1 dan S2 adalah bunyi jantung normal yang terdengar pada
auskultasi jantung. S1 adalah suara yang dibuat karena penutupan katup
mitral dan trikuspid. Systole mengikuti ini. Kemudian suara S2 terdengar,
yang merupakan penutupan katup aorta dan paru. Diastole mengikuti ini.
Penting untuk mengenali bunyi jantung normal ini pada auskultasi karena
bunyi jantung abnormal seperti S3, S4 dan murmur dapat menjadi tanda
patologi.

2. Perbedaan nyeri dada berdasarkan kardio dan non-kardio, yaitu:

Sistem Kardiovaskuler Sistem Respirasi


FAKTOR PENYEBAB Iskemia/infark miokard, Emboli paru, asma,
disfungsi ventrikel kiri, pneumothoraks, sindrom
penyakit katup hiperventilasi
mitral,miksoma atrium
LETAK Letak penyumbatannya di Letak penyumbatan di
arteri koronaria yang bronkus (contoh : asma)
dimana sebagai suplai Faktor penyumbatnya
makanan,darah,dll ke karena rokok, debu
jantung. Faktor
penyumbatnya karena
hipertensi
PENATALAKSANAAN Pengobatan suportif : Suportif : pemberian O₂
pemberian oksigen Medikamentosa
Pengobatan bronkodillator, steroid,
medikamentosa : morphin, ekspektoran, antibiotik
aminofilin,furosemid

3. Bagaimana mekanisme timbulnya sesak nafas pada penderita


kardiovaskular?
Sesak napas karena penyakit jantung terjadi karena kongesti vena
pulmonalis. Adanya tekanan pada atrium kiri akan menimbulkan tekanan-
tekanan vena pulmonalis, yang normalnya berkisar 5 mmHg. Jika meningkat,
seperti pada penyakit katub mitral dan aorta atau disfungsi ventrikel kiri, vena
pulmonalis akan meregang dan dinding bronkus akan terjepit dan mengalami
edema, menyebabkan batuk iritatif non produktif dan mengi. Jika tekanan
vena pulmonalis naik lebih lanjut dan melebihi tekanan onkotik plasma
(sekitar 25 mmHg, jaringan paru menjadi lebih kaku karena edema intertisial
(peningkatan kerja otot pernafasan untuk mengembangkan paru dan timbul
sesak nafas), transudat akan terkumpul dalam alveoli yang mengakibatkan
edema paru. Jika keadaan berlanjut, akan terjadi produksi sputum yang
berbuih, yang berwarna merah akibat pecahnya pembuluh darah halus
bronkus yang membawa darah ke dalam cairan edema.
Sesak napas pada jantung akan memburuk dalam posisi berbaring
terlentang (ortopnu), dan dapat membangunkan pasien pada dini hari (ini
disertai dengan keringat) dan berkurangnya pada saat duduk tegak. Aliran
balik vena sistemik ke jantung kanan meningkat pada posisi setengah duduk,
terutama pada dini hari ketika volume darah paling tinggi, menyebabkan
aliran darah paru meningkat dan disertai pula peningkatan lebih lanjut
ketahanan pada pulmonalis. Teteapi jika kontraksi ventrikel kanan sangat
terganggu, seperti pada kardiomiopati dilatasi atau infark ventrikel kanan,
ortopnu dapat berkurang karena jantung kanan dapat meningkatkan aliran
darah paru sebagai respon terhadap peningkatan aliran balik vena.

4. Jelaskan faktor-faktor yang berperan dalam proses patologis yang


terjadi di paru-paru yang dapat menimbulkan sesak nafas?
a. Angina (nyeri dada) akibat kekurangan oksigen atau iskemia miokardium.
sebagian penderita menyangkal adanya “nyeri” dada dan menjelaskan rasa
kekakuan, rasa penuh, tertekan atau berat pada dada tanpa disertai nyeri.
Angina dapat dijumpai sebagai nyeri yang dijalarkan atau nyeri yang
seolah berasal dari mandibula lengan atas atau pertengahan punggung
terdapat juga Angina “silent” yang timbul tanpa disertai rasa tidak nyaman
tetapi disertai rasa lemas dan lelah.
b. Dispnea atau kesulitan bernapas akibat meningkatnya usaha bernapas yang
terjadi akibat kongesti pembuluh darah paru dan perubahan kemampuan
pengembangan paru ; ortopnea ( kesulitan bernapas pada posisi baring )
dispnea nokturnal paroksismal (atau dispnea yang terjadi sewaktu tidur)
terjadi akibat kegagalan ventrikel kiri dan puli dengan duduk di sisi tempat
tidur.
c. Edema perifer (atau pembengkakan akibat penimbunan cairan dalam
ruang interstisial)jelas terlihat di daerah yang menggantung akibat
pengaruh gerak gravitasi dan didahului oleh bertambahnya berat badan.
d. Hipoksia merupakan kondisi dimana berkurangnya suplai oksigen ke
jaringan di bawah level normal yang tentunya tidak dapat memenuhi
kebutuhan tubuh.
e. Aterosklerosis adalah suatu proses dimana terjadi penimbunan lemak dan
matriks tunika intima, yang diikuti oleh pembentukan jaringan ikat pada
dinding pembuluh arteri.4,5,6

5. Apa hubungan pemeriksaan yang ditemukan dengan pada pasien


dengan keluhan utama pasien?

Ketika darah tidak banyak terpompa keluar karena adanya masalah pada
jantung kiri, terjadi penurunan aliran darah ke ginjal sehingga sistem RAA
(Renin Angiotensin- Aldosteron) menjadi aktif dimana hal tersebut akan
menyebabkan retensi cairan. Pengisian jantung menjadi lebih banyak ketika
diastole dan akan meningkatlan preload dan pada akhirnya akan
meningkatkan lagi kekuatan kontraksi oleh mekanisme Frank-Starling.
Tetapi, dalam jangka panjang retensi cairan tersebut akan semakin banyak di
pembuluh darah menyebabkan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah
meningkat dan akan membuat sebagian cairan akan merembes ke ruang
interstitial sel, penumpukan cairan di jaringan pun terjadi, baik itu di paru-
paru maupun di beberapa bagian tubuh lainnya dan akan memperburuk gagal
jantung. Ketika jantung tidak mampu lagi memompa darah maka darah
tersebut akan kembali ke paru-paru. Darah yang kembali tersebut melewati
vena pulmonal dan kapiler tersebut dapat meningkatkan tekanan pada arteri
pulmonal dan dapat juga menyebabkan perpindahan cairan dari pembuluh
darah ke ruang interstitial yang menyebabkan edema paru dan kongesti. Pada
alveoli paru, cairan berlebih ini akan membuat pertukaran O2 dan CO2
menjadi sulit karena membutuhkan ruang yang cukup luas untuk melakukan
pertukaran sehingga klinisnya dapat menimbulkan sesak (dyspneu), seperti
ortopneu yaitu sulitnya bernafas saat terlentang atau berbaring karena
memungkinkan darah vena dengan mudah mengalir balik dari kaki ke jantung
dan akhirnya sirkulasi pulmonal. Cairan berlebih dalam paru-paru akan
menimbulkan suaran ronkhi basah halus saat auskultasi.
Ketika tekanan di arteri pulmonal meningkat membuat jantung kanan akan
bekerja lebih keras untuk memompa darahnya. Hal ini akan menyeabkan
gagal jantung biventricular dimana kedua ventrikel mengalami masalah.
Tekanan arteri (afterload) yang tinggi disebabkan kekakuan atau
atherosclerosis menyebabkan ventrikel kiri akan sulit memompa darah keluar
ke sirkulasi sistemik sehingga menyebabkan hipertensi. Dimana ventrikel kiri
harus memiliki tekanan yang lebih besar untuk membuka katup semilunar
aorta. Hal ini menyebabkan ventrikel kiri harus bekerja keras sebagai
kompensasinya untuk mendorong darah tersebut keluar yang manifestasinya
takikardi sehingga dalam radiologi akan terlihat gambaran hipertropi
ventrikel kiri atau kardiomegali dimana CTR 0,56.

Bendungan vena merupakan manifestasi dari kelemahan ventrikel kiri untuk


memompa. Kegagalan ventrikel kiri untuk melakukan sistolik membuat
tekanan di atrium kiri juga meningkat sehingga darah yang berada di ventrikel
kembali ke atrium menyebabkan terjadi bendungan vena yang dapat terlihat
di vena jugularis.

Berdasarkan gejala sesak napas yang terjadi, New-York Heart Association


(NYHA) membagi gagal jantung kongestif menjadi 4 kelas yaitu:
a. Kelas 1: Aktifitas sehari-hari tidak terganggu. Sesak timbul jika
melakukan kegiatan fisik yang berat
b. Kelas 2: Aktifitas sehari-hari terganggu sedikit.
c. Kelas 3: Aktifitas sehari-hari sangat terganggu. Merasa nyaman
pada waktu istirahat
d.
Kelas 4: Walaupun istirahat terasa sesak.7,8

6. Jelaskan tindakan dan terapi pada penderita dengan sesak nafas?

Mengetahui tahapan pertolongan pertama pada seseorang yang mengalamin


sesaknafas . Di bawah ini adalah cara-caranya:

1. Periksa detak jantung dan jalan pernafasan. Jika diperlukan, berikan


bantuan pernafasan buatan.
2. Longgarkan pakaian pasien.
3. Hindari memindahkan posisi pasien jika ia mengalami cedera pada
dada ataupun saluran pernafasan.
4. Juga hindari menaruh bantal di bawah pasien agar saluran saluran
pernafasannya tidak terganggu.
5. Memberikan terapi oksigen jika dibutuhkan .

Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apa-kah


pasien benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan te-rapi
oksigen (O2) jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang (long-
term oxygen therapy). Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur da-lam
jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
menghindari toksisitas.
Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek
Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma
bronkial, gangguan kardiovaskuler dan emboli paru. Pada keadaan tersebut,
oksigen (O2) harus segera diberikan dengan adekuat di mana pemberian
oksigen (O2) yang ti-dak adekuat akan dapat menimbulkan terjadinya
kecacatan tetap a-taupun kematian. Pada kondisi ini, oksigen (O2)diberikan
dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) berkisar antara 60-100% dalam jangka
waktu yang pendek sampai kondisi klinik membaik dan terapi yang spesifik
diberikan.4 Adapun pedoman untuk pemberian terapi oksi-gen (O2)
berdasarkan rekomendasi oleh AmericanCollege of Che-st Physicians, the
National Heart, Lung and Blood Instituteditun-jukkan pada tabel:

Indikasi yang sudah direkomendasi:

Hipoksemia akut (PaO2< 60 mmHg; SaO2< 90%)


Henti jantung dan henti napas
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik(bikarbonat < 18 mmol/
L)
Distress pernapasan (frekuensi pernapasan > 24 kali/ menit)
Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang
Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penya-kit paru
obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang pa-ling banyak
menggunakan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Te-rapi oksigen (O2)
jangka panjang pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
selama empat sampai delapan minggu bi-sa menurunkan hematokrit,
memerbaiki toleransi latihan dan me-nurunkan tekanan vaskuler pulmoner.
Pada pasien dengan penya-kit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kor
pulmonal, terapi oksigen (O2) jangkapanjang dapat meningkatkan angka
harapan hidup se-kitar enam sampai dengan tujuh tahun.

Pemberian oksigen (O2) secara kontinyu:


PaO2 istirahat <55 mmHg atau SaO2<88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau SaO2 89% pada salah satu
keadaan:
Edema yang disebabkan karena CHF
P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mm pada
lead II, III dan aVF)
Polisitemia (hematokrit > 56%)
Pemberian oksigen (O2) secara tidak kontinyu:
Selama latihan: PaO2<55 mmHg atau SaO2<88%
Selama tidur: PaO2<55 mmHg atau SaO2<88% dengan komplikasi
seperti hipertensi pulmoner, somnolen dan aritmia

6. EKG atau rekam jantung yang dapat mendeteksi kelistrikan jantung,


pembesaran jantung, dan otot-otot jantung.

7. Rontgen dada; dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan dapat


menunjukkan dilatasi / hipertropi bilik atau perubahan pembuluh darah
mencerminkan peningkatan tekanan pulmonalis.

8. Kateterisasi Jantung; digunakan untuk mengukur tekanan di dalam ruang


jantung. tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung kanan versus kiri, stenosis atau insufisiensi,
juga mengkaji potensi arteri koroner.

9. Pemeriksaan Elektrolit; untuk mendeteksi perubahan elektrolit dalam tubuh,


akan terlihat perubahan karena adanya perpindahan cairan / penurunan
fungsi ginjal.
Terapi pada orang sesak nafas :

1. Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) fungsinya untuk


membuka penyempitan pembuluh darah sehingga akan meningkatkan
aliran darah .Vasodilator adalah pilihan lain jika tidak bisa mentolerir
inhibitor ACE.

2. Beta-blocker dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat irama


jantung yang cepat.
3. Diuretik mengurangi isi cairan tubuh sehingga akan mengurangi
pembengkakan pada tungkai kaki, perut, dan mengatasi sesak akibat edema
paru. Contoh obatnya furosemide, HCT, dan sebagainya.9

7. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario?


a. Identitas pasien : menanyakan biodata pasien seperti nama, umur, alamat,
pekerjaan. Hal ini bertujuan untuk membantu dalam mendiagnosis pasien
. Dengan data tersebut dapat dibandingkan dengan data epidemiologi
mengenai prevelensi penyakit yang kebanyakan diderita. Selain itu, dari
segi lingkungannya dapat mempengaruhi timbulnya keluhan yang
dirasakan pasien sekarang.
b. Anamnesis :
1) Menanyakan keluhan utama :menanyakan keluhan terberat dan
onset keluhan pasien yang dirasakan . Pada skenario mengatakan
bahwa pasien mengeluh dengan sesak napas berat sejak 3 hari
terakhir. PAsien
2) Menanyakan faktor pencetus : Sesak napas yang dirasakan pasien
perlu dikaji untuk membedakan apakah sesak napas yang dirasakan
merupakan manisfestasi dari penyakit kadioovaskular atau bukan.
Gejala tersebut juga terjadi pada kondisi lain seperti gangguan pada
penyakit respirasi. Untuk membedakannya, dilihat apakah sesak
napas timbul saat beraktivitas atau megnghilang saat istirahat .
3) Menanyakan faktor yang dapat memperberat
4) Menanyakan pula apakah keluhan pasien membuatnya bangun pada
tengah malam. Pada heart Failure, penderita biasanya bangun
tengah malam karena bronkospasme yang meningkat dapat
menyebabkan kesulitan ventilasi dan kerja pernapasan. B
5) Menanyakan apakah ada pembengkakan ekstremitas. Edema perifer
merupakan manifestaasi utama payah jantung, Hal tersebut karena
peningkatan tekanan perifer
6) Lalu tanyakan gejalan lain yang berhubungan seperti nyeri dada,
berkeringat, rasa tertindih beban berat, pingsan, lemah, mual,.
Gejalan tersebut merupakan manifestasi kelainan jantung
7) Menggali riwayat penyakit dahulu yang sama dan berkaitan. Untuk
menilai apakah penyakit sekarng ada hubungannya dengan yang
lalu.
8) Menggali riwayat penyakit keluarga dan lingkungan dengan:
9) Menyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita/pernah
menderita yang sama
c. Pemeriksaan Fisik
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik terlebih dahulukita melakukan
pemeriksaan tanda vital yaitu tekanan darah, suhu, nadi.
1) Inpeksi
a. Kulit : apakah terlihat sianosis perifer dimana kulit tampak
kebiruan, menunjukkan penurunan kecepatan aliran darah ke
perifer, sehingga perluwaktu yang lebih lama bagi hemoglobin
menglami desaturasi. Normal terjadi pada vasokonstriksi perifer
akibat udara dingin, atau pada penurunan aliran darah patologis.
Lihat juga apakah pasien terlihat pucat, menandakan anemia
atau peningkatan tahann vaskuler sistemik.
b. Tangan : penggadaan (clubbing) jari tangan dan jari kaki
menunjukkan desaturasi hemoglobin kronis, seperti penyakit
jantung congenital. Memeriksa Capillary Refill Time, untuk
menguji pengisian kapiler, dengan menekan kuat ujung jari lalu
dilepaskan. Normalnya, reperfusi terjadi hampir seketika
dengan kembalinya warna jari. Jika reperfusi lambat
menunjukkan kecepatan aliran darah perifer yang melambat,
seperti terjadi pada gagal jantung.
c. Bentuk dada : perhatikan terdapat funnel chest berupa depresi
sternum, atau barrel chest yang mempunyai diameter antero-
posterior besar dan biasanya terdapat pada emfisema kronik,
atau pigeon breast. Kelainan bentuk dada seringkali berkaitan
dengan anatomi dan faal jantung. Di samping itu juga
mempengaruhi faal pernafasan yang kemudian secara tidak
langsung mempengaruhi faal sirkulasi darah yang akan menjadi
beban kerja jantung.
d. Ictus kordis : Pada orang dewasa normal yang agak kurus,
seringkali tampak dengan mudah pulsasi yang disebut icturs
cordis pada intercostal V, linea medioclavicularis kiri. Pulsasi
ini letaknya sesuai dengan apeks jantung. Bila ictus cordis
bergeser ke kiri dan melebar,kemungkinan adanya pembesaran
ventrikel kiri. Pada hipertrofi ventrikel kanan, pulsasi tampak
pada sela iga IV di linea sternalis atau daerah epigastrium.
2) Palpasi
Hal yang kita nilai ialah kuat angkat, rate, kontur pulse.
a. Arteri radialis :palpasi arteri rdialis untuk mendapatkan denyut
dan irama jantung. Apakah ia reguler atau tidak irreguler
b. Arteri carotis letaknya dekat dengan jantung, sehingga lebih
baik menilai ventrikel kiri. Pada aortic stenosis yang berat,
terjadi peningkatan denyut carotis. Bila denyut carotis pasien
sukar ditemukan, sedangkan denyut radialis dan brachialis
mudah ditemukan, maka berarti terjadi aortic stenosis karena
denyut menjadi lebih ’normal’ pada denyu nadi perifer. Denyut
carotis yang tersentak-sentak merupakan suatu hyperthrophic
cardiomyopathy.
c. Precordium : dengan meletakkan tangan pada dinding dada di
sebelah kiri sternum. Apex yang berdenyut keras menunjukkan
adanya peningkatan cardiac output. Apex difus menandakan
adanya kerusakan muskulus ventrikel, yang biasanya
disebabkan karena infark myocard atau cardiomyopathy. Sifat
impuls jantung pada hipertrofi ventrikel kiri sangant khas, yaitu
sangat kuat dan menetap, bukan implus tajam dan pendek. Pada
stenosis mitral, apex jantung berupa tepukan(tapping). Hal ini
disebabkan ventrikel membesar sehingga bergeser menjadi
lebih dekat ke dinding dada. Selain itu suara jantung pertama
keras sehingga dapat di palpasi. Hipertrofi ventrikel kanan atau
dilatasi, dirasakan dekat dengan garis sternal kiri. Penyakit yang
menyebabkan hipertrofi ventrikel : hipertensi, aortic stenosis,
hypertrophic cardiomyopathy.
3) Perkusi
Perkusi jantung dilakukan di atas intercosta 3,4, dan 5 dari linea
axillaris sinistra anterior ke linea axillaris dextra anterior.
Normalnya ada perubahan notasi perkusi dari resonansi menjadi
pekak sekitar 6 cm lateral kiri sternum. Bila ada kelainan pada
jantung batas pekak jantung dapat berubah atau suara sonor paru
tidak kedengaran.
4) Auskultasi
Dasar tempat auskultasi jantung antara lain : pada apex, dasar dan
pada daerah aortic dan pulmonary di sebelah kiri dan kanan sternum.
Apabila mendengar suara abnormal, maka pindahkan stetoscope
sehingga suara tersebut terdengar dengan jelas. Pada payah jantung
ringan krepitasi berada di dasar paru, sedangkan payah jantung berat,
krepitsi terdengnr di seluruh dada Pasien dengan payah jantung
berat, krepitasi terdengar di seluruh dada. Pasien dengan payah
jantung berat dan edema perifer, biasanya efusi pleura.
5) Pemeriksaan Jugular Venous Pulse ( JVP )
Pemriksaan JVP menunjukkan keadaan ‘input’ jantung. Vena
jugular berhubungan langsung dengan vena cava superior dan atrium
kanan.Bila pasien berbaring sekitar 45o , maka pulsasi vena jugularis
akan tampak tepat di atas clavicula. Bila pasien denyut vena
jugularis telah ditemukan, maka tinggi pulsasi di atas level atrial dan
bentuk gelombang pulsasi jugularis. Karena tidak mungkin dapat
melihat atrium kanan, maka dia anggap sama dengan tinggi pulsasi
vena jugularis di atas sudut anubriosternal. Pada pasien dengan JVP
tinggi, vena jugularis interna dapat terisi penuh saat pasien berbaring
45o sehingga pasien perlu didudukkan untuk dapat melihat ujung
pulsasi. Penyebab penignkatan tekanan JVP adalah payah jantung
kongestif, dimana peningkatan tekanan vena menunjukka kegagalan
ventrikel kanan.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokaradiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien
diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal
jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung, jika EKG, diagnosisi gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik yang sangat kecil (<10%).
2. Foto Thorax
Merupakan komponen penting dalm diagnosis gagal jantung. Rontgen
toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi yang menyebabkan atau
memperberat sesaak nafas. Kardiomegali tidak dapat ditemukan pada
gagal jantung akut dan kronis
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium rutin pada pasien gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (Hb,leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin,
laju filtrasi glomerulus, glukosa, tes fungsi hati, dan urinalisis.
Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.
Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai
pada passien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi,
meskipun anemia ringan, hiponatremia, dan penurunan fungsi ginjal
sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan
diuretik dan atau ACEI (angiontensin converting Enzym Inhibitor),
ARB (Angiontensin Receptor Blocker), atau Angionteni Aldosteron.
4. Peptida Natriuretik
Penggunaan kadar plasma peptida natriuretik untuk diagnosis,
membuat keputusan merawat dan mengidentifikasi pasie-pasien yang
berisiko mengalami dekompensasi .Konsentrasi peptida natriuretik
yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif
yang tinggi dalam membuat kemungkinan gagal jantung sebagai
penyebabgejal-gejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil.
Kada peptida natriuretik meningkat sebagai respon, peningkatan
tekanan dinding ventrikel.
5. Troponin T atau I
Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita gagal jantung jika
gambaran klinisnya disertai dugaan syndroma coroner akut.
Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung
berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita
tanpa iskemia myocard.
6. Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan
secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsis ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik
dengan pasien fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri
(normal >45-50%)

8. Jelaskan DD yang terkait pada skenario

Congestive Heart Failure


Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis di mana jantung, melalui
kelainan fungsi jantung (terdeteksi atau tidak), gagal memompa darah
dengan kecepatan yang sepadan dengan kebutuhan jaringan metabolisme
atau mampu melakukannya hanya dengan pengisian diastolik yang tinggi
tekanan.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh gagal miokard tetapi juga dapat terjadi
pada fungsi jantung yang hampir normal dalam kondisi permintaan tinggi.
Gagal jantung selalu menyebabkan gagal peredaran darah, tetapi sebaliknya
tidak selalu demikian, karena berbagai kondisi non-kardiak (misalnya, syok
hipovolemik, syok septik) dapat menghasilkan gagal peredaran darah di
hadapan fungsi jantung yang normal, sedikit gangguan, atau bahkan
supranormal. Untuk mempertahankan fungsi pemompaan jantung,
mekanisme kompensasi meningkatkan volume darah, tekanan pengisian
jantung, detak jantung, dan massa otot jantung. Namun, terlepas dari
mekanisme ini, ada penurunan progresif dalam kemampuan jantung untuk
berkontraksi dan rileks, yang mengakibatkan memburuknya gagal jantung.

Etiologi
Sebagian besar pasien yang mengalami gagal jantung yang signifikan
melakukannya karena ketidakmampuan untuk memberikan curah jantung
yang memadai dalam skenario itu. Ini sering merupakan kombinasi dari
penyebab yang tercantum di bawah ini dalam pengaturan miokardium
abnormal. Daftar penyebab yang bertanggung jawab untuk presentasi pasien
dengan eksaserbasi gagal jantung sangat panjang, dan mencari penyebab
terdekat untuk mengoptimalkan intervensi terapeutik adalah penting.
Dari sudut pandang klinis, mengelompokkan penyebab gagal jantung ke
dalam empat kategori luas berikut bermanfaat:
a. Penyebab yang mendasari: Penyebab gagal jantung yang mendasarinya
meliputi kelainan struktural (bawaan atau didapat) yang mempengaruhi
sirkulasi arteri perifer dan koroner, perikardium, miokardium, atau katup
jantung, sehingga menyebabkan peningkatan beban hemodinamik atau
miokard atau insufisiensi koroner.
b. Penyebab Fundamental: Penyebab Fundamental termasuk mekanisme
biokimia dan fisiologis, yang melaluinya peningkatan beban
hemodinamik atau berkurangnya pengiriman oksigen ke miokardium
menyebabkan gangguan kontraksi miokard.
c. Penyebab pencetus: Gagal jantung berlebihan dapat dipicu oleh
perkembangan penyakit jantung yang mendasarinya (misalnya,
penyempitan lebih lanjut dari katup aorta stenotik atau katup mitral) atau
berbagai kondisi (demam, anemia, infeksi) atau obat-obatan (kemoterapi,
obat antiinflamasi nonsteroid [NSAID]) yang mengubah homeostasis
pasien gagal jantung
d. Genetik kardiomiopati: Pelebaran, kardiomiopati ventrikel kanan dan
ventrikel kanan yang melebar diketahui sebagai penyebab genetik gagal
jantung

Epidemiologi
Menurut data American Heart Association (AHA) 2017, gagal jantung
memengaruhi sekitar 6,5 juta orang Amerika berusia 20 tahun ke atas.
Dengan peningkatan kelangsungan hidup pasien dengan infark miokard
akut dan dengan populasi yang terus menua, gagal jantung akan terus
meningkat sebagai masalah kesehatan utama di Amerika Serikat. AHA
memproyeksikan peningkatan 46% dari prevalensi gagal jantung dari tahun
2012 ke tahun 2030, menghasilkan 8 juta atau lebih orang Amerika berusia
18 tahun atau lebih dengan gagal jantung.
Pria dan wanita memiliki insiden dan prevalensi gagal jantung yang
serupa. Namun, masih banyak perbedaan antara pria dan wanita dengan
gagal jantung, seperti berikut ini:
Sedangkan kejadian gagal jantung pada pria kira-kira dua kali lipat dengan
setiap peningkatan usia 10 tahun antara 65 dan 85 tahun, itu meningkat tiga
kali lipat untuk wanita antara usia 65 hingga 74 tahun dan 75 hingga 85
tahun [31]
a. Wanita cenderung mengalami gagal jantung di kemudian hari
dibandingkan pria
b. Wanita lebih mungkin memiliki fungsi sistolik daripada pria daripada
pria
c. Wanita lebih sering mengalami depresi daripada pria
d. Wanita memiliki tanda dan gejala gagal jantung yang mirip dengan pria,
tetapi mereka lebih jelas pada wanita
e. Wanita bertahan lebih lama dengan gagal jantung daripada pria
f. Prevalensi gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensinya adalah 1-2% dari populasi yang lebih muda dari 55 tahun
dan meningkat hingga tingkat 10% untuk orang yang lebih tua dari 75
tahun. Meskipun demikian, gagal jantung dapat terjadi pada usia berapa
pun, tergantung pada penyebabnya.

Manifestasi Klinis
Gagal Jantung Kiri
Dispneu ketika beraktivitas biasanya adalah gejala yang paling dini dan
paling penting dari gagal jantung kiri; batuk juga sering ditemukan sebagai
konsekuensi transudasi cairan ke rongga udara. Ketika gagal jantung
berlanjut, pasien akan mengalami sesak napas waktu berbaring (ortopneu);
kondisi ini terjadi karena posisi terlentang meningkatkan aliran balik vena
dari ekstremitas bawah dan juga mengangkat diafragma. Ortopneu biasanya
akan hilang saat duduk atau berdiri, sehingga pasien biasanya tidur dengan
posisi setengah duduk. Paroxysmal nocturnal dyspneu – (sesak napas
malam yang paroksismal) merupakan bentuk dramatis dari kesulitan
bernafas, yang membangunkan pasien dari tidur disertai sesak napas parah
yang hampir dengan perasaan tercekik.
Manisfestasi lain dari gagal jantung kiri meliputi jantung yang membesar
(kardiomegali), takikardi, suara jantung ke-3, dan ronki halus di dasar paru,
yang disebabkan oleh pembukaan alveoli paru yang sembab.

Gagal Jantung Kanan


Tidak seperti gagal jantung kiri, gagal jantung kanan murni biasanya
berhubungan dengan sedikit gejala respirasi. Sebaliknya akan terjadi,
manifestasi klinis terkait dengan kongesti vena sistemik dan portal,
mencakup pembesaran hepar dan limpa, edema perifer, efusi pleura dan
asites. Kongesti vena dan hipoksia ginjal dan otak yang disebabkan oleh
gagal jantung kanan dapat mengakibatkan deficit yang mirip dengan kondisi
akibat hipoperfusi yang disebabkan oleh gagal jantung kiri.
Diagnosis
1) Tes fungsi ginjal
Nitrogen urea darah (BUN) dan kadar kreatinin dapat berada dalam
kisaran referensi pada pasien dengan gagal jantung ringan sampai sedang
dan fungsi ginjal normal, meskipun kadar BUN dan rasio BUN / kreatinin
dapat meningkat.
Pasien dengan gagal jantung yang parah, terutama mereka yang
menggunakan diuretik dalam dosis besar untuk jangka waktu lama,
mungkin mengalami peningkatan BUN dan kadar kreatinin yang
mengindikasikan kekurangan ginjal karena pengurangan kronis aliran
darah ginjal dari penurunan curah jantung. Menjalani kelompok pasien
ini kompleks. Pada beberapa individu, diuretik akan meningkatkan
kongesti ginjal dan fungsi ginjal, sedangkan pada orang lain, diuresis
yang terlalu agresif dapat memperburuk insufisiensi ginjal akibat
penipisan volume.

2) Tes fungsi hati


Hepatomegali kongestif dan sirosis jantung sering dikaitkan dengan
gangguan fungsi hati, yang ditandai dengan nilai abnormal dari aspartate
aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), dehidrogenase
laktat (LDH), dan enzim hati lainnya. Hiperbilirubinemia sekunder
akibat peningkatan bilirubin yang bereaksi langsung dan tidak langsung
adalah umum. Dalam kasus yang parah kegagalan ventrikel kanan akut
(RV) atau ventrikel kiri (LV), ikterus yang jelas dapat terjadi.
Kemacetan vena hepatik akut dapat menyebabkan ikterus berat, dengan
kadar bilirubin setinggi 15-20 mg / dL, peningkatan AST hingga lebih
dari 10 kali batas rentang referensi atas, peningkatan kadar alkali
fosfatase serum, dan perpanjangan waktu protrombin. Gambaran klinis
dan laboratorium mungkin menyerupai hepatitis virus, tetapi gangguan
fungsi hati cepat diselesaikan dengan pengobatan gagal jantung yang
berhasil. Pada pasien dengan gagal jantung jangka panjang, sintesis
albumin mungkin terganggu, menyebabkan hipoalbuminemia dan
mengintensifkan akumulasi cairan. Kegagalan hati fulminan adalah
komplikasi yang jarang, terlambat, dan terkadang terminal sirosis
jantung.
3) Elektrokardiografi
Skrining elektrokardiogram (EKG) masuk akal pada pasien dengan
gejala yang menunjukkan gagal jantung. Kehadiran pembesaran atrium
kiri dan hipertrofi ventrikel kiri (LVH) sensitif (walaupun tidak spesifik)
untuk disfungsi LV kronis. Tidak mungkin bahwa EKG akan sepenuhnya
normal di hadapan gagal jantung; Oleh karena itu, diagnosis alternatif
harus dicari dalam kasus seperti itu.
Elektrokardiografi dapat menyarankan takiaritmia akut atau bradaritmia
sebagai penyebab gagal jantung. Ini juga dapat membantu dalam
diagnosis iskemia miokard akut atau infark sebagai penyebab gagal
jantung, atau mungkin menyarankan kemungkinan infark miokard
sebelumnya atau adanya penyakit arteri koroner sebagai penyebab gagal
jantung.

4) Radiologi
Meskipun hingga 50% pasien dengan gagal jantung dan peningkatan
tekanan baji kapiler paru (PCWP) yang didokumentasikan tidak
menunjukkan temuan radiografi khas dari kongesti paru, dua fitur utama
dari radiografi dada berguna dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung:
(1 ) ukuran dan bentuk siluet jantung dan (2) edema di pangkalan paru-
paru.
5) CT Scan dan MRI
Pemindaian computed tomography (CT) atau magnetic resonance
imaging (MRI) mungkin berguna dalam mengevaluasi ukuran ruang
jantung dan massa ventrikel, fungsi jantung, dan gerakan dinding;
menggambarkan kelainan bawaan dan katup; dan menunjukkan adanya
penyakit perikardial. [3] Namun, pemindaian CT jantung biasanya tidak
diperlukan dalam diagnosis rutin dan penatalaksanaan gagal jantung, dan
ekokardiografi dan MRI dapat memberikan informasi serupa tanpa
membuat pasien terekspos radiasi pengion.
6) Kateterisasi dan Angiografi
Prosedur sering diindikasikan ketika disfungsi sistolik dari penyebab
yang tidak dapat dijelaskan hadir pada pengujian noninvasif atau ketika
fungsi sistolik normal dengan gagal jantung episodik menunjukkan
disfungsi iskemik dimediasi disfungsi ventrikel kiri (LV). Namun,
meskipun angiografi koroner dapat diindikasikan pada pasien muda
untuk mengecualikan adanya anomali koroner kongenital, prosedur ini
mungkin tidak berguna pada pasien yang lebih tua, karena revaskularisasi
belum terbukti meningkatkan hasil klinis pada pasien tanpa angina.
Meskipun demikian, karena revaskularisasi dapat meningkatkan fungsi
LV, beberapa ahli menyarankan bahwa penyakit arteri koroner harus
dikeluarkan jika memungkinkan, terutama pada pasien dengan diabetes
mellitus atau keadaan lain yang berhubungan dengan iskemia miokard
yang diam. Tingkat kepercayaannya cukup tinggi.

Tatalaksana Pengobatan
Terapi farmakologi
Terapi farmakologis meliputi
1) Diuretik (untuk mengurangi edema dengan mengurangi volume darah
dan tekanan vena) dan pembatasan garam (untuk mengurangi retensi
cairan) pada pasien dengan gejala gagal jantung saat ini atau
sebelumnya dan mengurangi fraksi ejeksi ventrikel kiri (LV) kiri (EF)
untuk menghilangkan gejala
2) Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs) untuk modifikasi
neurohormonal, vasodilatasi, peningkatan LVEF, dan manfaat
kelangsungan hidup
3) Angiotensin receptor blockers (ARBs) untuk modifikasi
neurohormonal, vasodilatasi, peningkatan LVEF, dan manfaat
kelangsungan hidup
4) Hydralazine dan nitrat untuk meningkatkan gejala, fungsi ventrikel,
kapasitas latihan, dan kelangsungan hidup pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi ACEI / ARB atau sebagai terapi tambahan untuk ACEI /
ARB dan beta-blocker pada populasi kulit hitam untuk manfaat
kelangsungan hidup
5) Penghambat beta-adrenergik untuk modifikasi neurohormonal,
peningkatan gejala dan LVEF, manfaat bertahan hidup, pencegahan
aritmia, dan kontrol laju ventrikel
6) Antagonis aldosteron, sebagai tambahan pada obat lain untuk aditif
diuresis, kontrol gejala gagal jantung, peningkatan variabilitas detak
jantung, penurunan aritmia ventrikel, pengurangan beban kerja jantung,
peningkatan LVEF, dan peningkatan ketahanan hidup
7) Digoxin, yang dapat menyebabkan sedikit peningkatan curah jantung,
peningkatan gejala gagal jantung, dan penurunan tingkat rawat inap
gagal jantung
8) Antikoagulan untuk mengurangi risiko tromboemboli
9) Agen inotropik untuk mengembalikan perfusi organ dan mengurangi
kemacetan

Edema paru
a. Definisi
Edema paru adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru
yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan
intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karenapeningkatan
permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi
gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan
hipoksia.Tingkat oksigen darah yang rendah (hipoksia) dapat terdeteksi
pada pasien-pasien dengan edema paru. Lebih jauh, atas pemeriksaan
paru-paru dengan stethoscope, didapatkan suara-suara paru yang
abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih pendek yang
terputus-putus) yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli
selama bernafas

b. Patofisiologi
Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat peningkatan kandungan
cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru
akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru dipikirkan bahwa kaskade
inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus
kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan
melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai
toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat,
kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai
macam keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah kerusakan endotel yang
berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi
terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung
neutrofil dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin.

c. Gejala klinis
Gejala paling umum dari edema paru adalah sesak nafas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang
secara perlahan, atau dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada
kasus dari edema paru akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk
mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal
dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat
(takipnea), kepeningan atau kelemahan .
d. Klasifikasi
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun S,
2009):
1) Ketidakseimbangan “Starling Force”
A. Peningkatan tekanan vena pulmonalis
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal
dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang
merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1) tanpa gagal ventrikel kiri
(mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3)
peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan
tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi).
B. Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru,
diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan
tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan
menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat
menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial
sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem
kapiler dan limfatik.
C. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural. Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1)
perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan
tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut „edema paru re-
ekspansi‟. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali
ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang
minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan „edema paru re-
ekspansi‟ ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan
ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi
jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya
pada asma bronkhial).
2) Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult
Respiratory Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas
antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun
surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat
kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan „Starling
Force‟.
a) Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
b) Terisap toksin (NO, asap)
c) Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
d) Aspirasi asam lambung
e) Pneumonitis akut akibat radiasi
f) Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
g) Dissemiated Intravascular Coagulation
h) Immunologi: pneumonitis hipersensitif
i) Shock-lung pada trauma non thoraks
j) Pankreatitis hemoragik akut
3) Insuffisiensi sistem limfe
a) Pasca transplantasi paru
b) Karsinomatosis, limfangitis
c) Limfangitis fibrotik (siilikosis)
4) Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
a) High altitude pulmonary edema”
b) Edema paru neurogenik
c) Overdosis obat narkotik
d) Emboli paru
e) Eklamsia
f) Pasca anastesi
g) Post cardiopulmonary bypass

PENATALAKSANAAN
Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang
perlu penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis.3
Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan
terutama untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi
organ), sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera
mungkin bila memungkinkan. Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian
oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan mempertahankan fungsi
kardiovaskular. Pertimbangan awal ialah dengan evaluasi klinis, EKG, foto
toraks, dan AGDA .

1) Suplementasi oksigen
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi
intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan
menurunkan kerja pernapasan, mengoptimalisasi unit fungsional paru
sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi alveolar.13 Pada kasus
ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker muka
(face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat
membantu pada pasien edema paru kardiogenik. Masip et al. mendapatkan
bahwa penggunaan CPAP menurunkan kebutuhan akan intubasi dan angka
mortalitas.17 Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi
ventilasi noninvasif dalam gangguan pernapasan dan gangguan metabolik
meningkat lebih cepat daripada terapi oksigen standar tetapi tidak
berpengaruh terhadap mortalitas jangka pendek.18 Ventilasi non-invasif
dengan CPAP telah terbukti menurunkan intubasi endotrakeal dan
kematian pada pasien dengan edema paru akut kardiogenik.19 Menurut
penelitian Agarwal et al., noninvasive pressure support ventilation
(NIPSV) tampaknya aman dan berkhasiat sebagai CPAP, daripada jika
bekerja dengan titrasi pada tekanan tetap.19 Penelitian Winck et al.
mendukung penggunaan CPAP dan non-invasive positive pressure
ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik. Kedua teknik
tersebut dipakai untuk menurunkan need for endotracheal intubation
(NETI) dan kematian dibandingkan standard medical therapy (SMT), serta
tidak menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut. CPAP
dianggap sebagai intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan
khasiat yang lebih baik bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah,
tetapi lebih murah dan lebih mudah untuk diimplementasikan dalam
praktek klinis.20 Intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik dengan
positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus yang berat.
2) Obat-obatan
a. Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif, cepat,
dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali
dengan dosis rendah (20µg/menit) dan kemudian dinaikkan secara
bertahap (dosis maksimal 200µg/menit). Loop diuretics (furosemide)
dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme, yaitu: diuresis dan
venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari
pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada
keadaan yang berat. Morfin sulfat digunakan untuk menurunkan
preload dengan dosis 3 mg secara intra vena dan dapat diberikan
berulang.

b. Obat-obatan yang menurunkan afterload

Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitors)


menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan
curah jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun
sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada
suatu meta analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan
menurunkan angka mortalitas.

KESIMPULAN
Pada skenario 2, setelah kita bandingkan kedua diagnosis dengan keluhan
yang dialami pasien bahwa pasien menderita gagal jantung. Dimana gagal
jantung pasien berawal dari gagal jantung kiri. Keluhan sesak napas adalah
gejala utama dari gagal jantung kiri dimana pasien mengalami sesak saat
terlentang dan akan membaik jika duduk atau berdiri. Gagal jantung kiri ini
akan menimbulkan komplikasi berupa edema paru dan akan berlanjut hingga
ke gagal jantung kanan dimana temuan klinis yang didapatkan adalah berupa
edema pada ekstremitas.

9. Jelaskan perspektif islam terkait pada skenario!


Dalam sebuah riwayat Al-Bara′ bin Azib menyampaikan bahwa
Rasulullah SAW bersabda:

‫ط ِج ْع َعلَى ِش ِق َك‬ ْ ‫ ث ُ َّم ا‬، ‫صالَ ِة‬


َ ‫ض‬ ُ ‫ض َج َع َك فَت َ َوضَّأ ْ ُو‬
َّ ‫ضو َء َك ِلل‬ َ ‫ِإذَا أَتَي‬
ْ ‫ْت َم‬
‫األ َ ْي َم ِن‬
“Apabila kamu hendak berangkat ke tempat tidurmu maka
berwudhulah seperti wudhumu untuk shalat, kemudian berbaringlah
pada sisi badan sebelah kanan…,” (HR. Bukhari-Muslim)13

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2009.

2. Joewono, B. S. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Airlangga University Press.


Surabaya.

3. Mansjoer, Arief, dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid
2. Media Aesclapius. Penerbit FK UI. Jakarta.

4. Sylvia A. Price patofisioligi konsep klinis proses-proses penyakit. Volume


1 Edisi 6. Hal 548. Penerbit buku kedokteran EGC
5. Dorland’s illustrated medical dictionary 32nd edition. Elsevier.2012
6. Prof. Dr. Peter kabo PhD, MD(melb.uni) bagaimana menggunakan obat-
obat kardiovaskuler secara rasional. Balai penerbit Fakuktas Kedokteran
Universitas Indonesia
7. Sherwood, lauralee.2011.Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem. Edisi
6.Jakarta:EGC
8. Peter kabo. Bagaimana Menggunakan obat-obat kardiovaskuler secara
rasional. Hal 188.
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dtt. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta
10. Tim Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UMI.2019.Clinical Skill Lab
Sistem Kardiovaskular.Fakultas Kedokteran Univerversitas Muslim
Indonesia.hal : 1-4, 25-39.
11. Swartz,Martz.2014. Text Book of Physical Diagnosis History and
Examination.Elsevier. hal: 343-379
12. Ioana Dumitru. 2018. Congestive Heart Failure. MedScape.
13. HR. Bukhari-Muslim
14. Kumas Abbas Aster. 2013. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
ELSEVIER.
15. Uldani, H.2014. Edema Paru Akut.BAB 6.Banjarmasin.Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.
16. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi
ke-5). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.
17. Raheel Chaudhry; Afzal Rehman. 2018. Physiology Cardiovascular. NCBI.
18. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan. 2017. Terapi Oksigen. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. RSUP Sanglah Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai