Anda di halaman 1dari 4

KERUSAKAN MANGROVE, PENENBANGAN BAKAU, DAN ALIH FUNGSI LAHAN

DI KAWASAN HUTAN SUMATRA UTARA

Penelitian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara (Sumut), menyebutkan 90 persen
hutan mangrove di provinsi ini, mengalami kerusakan cukup parah. Penyebabnya antara lain,
alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, tambak ikan, maupun udang dan lain-
lainnya. Alih fungsi menjadi perkebunan sawit, mencapai lebih 12 ribu hektar, dan tambak ikan
10 ribu hektar lebih.

Hidayati, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut ,Senin (5/12/ 13), mengatakan bahwa
hutan mangrove berubah fungsi dan mengalami kerusakan di daerah pesisir pantai. Dari
penelitian itu, kerusakan cukup besar terjadi di Kabupaten Serdang Begadai, Kabupaten
Batubara, Kota Tanjung Balai,Kota Sibolga, dan kabupaten Nias. Rata-rata kerusakan mangrove
akibat alih fungsi menjadi perkebunan sawit, pembuatan tambak, penebangan kayu ilegal sekitar
1.000-4.000 hektar.

Di Kabupaten Serdang Bedagai, kerusakan di rata-rata 3.700 hektar. Di kabupaten pemekaran


ini, bahkan penanaman pohon sawit, masih di batas bibir pantai. Padahal sesuai aturan,
seharusnya jarak 300 meter dari bibir pantai tidak boleh ditanami dan untuk hutan mangrove.

Menurut Hidayati harus ada keseriusan semua pihak menyelamatkan hutan mangrove. Jika
kerusakan berlanjut, terjadi abrasi dan air laut akan masuk. “Itu sudah mulai terjadi jika
dibiarkan air sungai akan asing.” Dampaknya bisa mempengaruhi kualitas air permukaan dan air
tanah serta kerusakan ekosistem.

“Harus ada sikap tegas terhadap mereka yang merusak dan alih fungsi hutan mangrove, Jangan
mengorbankan keberlangsungan hidup dan berputarnya roda alam, demi memperkaya segelintir
orang, tanpa memperlihatkan dampak lingkungan.”

Tidaklanjut dari penelitian ini, BLH Sumut akan membuat pendapat untuk mengetahui berapa
luas daerah pesisir pantai yang bisa kembali ditumbuhi mangrove.

Selama ini, hanya nelayan dan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai yang menjadi ahli itu,
Sedangkan pengusaha menebangi hutan mangrove untuk bisnis, tidak memperhitungkan bahaya
dan dampak sampingnya.

Zulkarnain, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut, mengimbau masing-masing dinas
maupun instansi kemasyrakatan memaksimalkan pemulihan hutan mangrove. Sebab, memiliki
kontribusi besar bagi habitat yang menguntungkan hidup dari mangrove, sebagai tempat pemijar,
bertelur, dan berlindung ikan.
Sedangkan Soekirman, Bupati Serdang Bergadai, terkejut mendengar kerusakan hutan mangrove
di Kabupaten itu mencapai 60 persen. Menurut dia, setelah menanam mangrove di Naga lawan,
Kecamatan Perbaungan, di bibir pantai. Proyek ini terus dilakukan di sepanjang pesisir pantai
hutan bakau tumbuh, dan mencegah abrasi.

Kawasan mangrove atau bisa disebut dengan hutan bakau di pantai timur Provinsi Utara (Sumut)
terus mengalami penyusutan. Mirisnya dalam kurun waktu 3 dekade hutan bakau di pesisir
Timur Sumut mengalami penyusutan hingga 60 persen.

Mangrove sangat penting untuk menyerap dan menyimpan karbon. Hasil penelitian Danoto 2011
menyebutkan, hutan mangrove Indo-Pacific memiliki kapasitas menyimpan karbon empat
sampai lima kali dari ekosistem hutan daratan, bisa hutan tropis dan lain-lainnya.

Data terbitan Who 34 tahun, dunia kehilangan 30% hutan mangrove. Indonesia penyumbang
kerusakan ekosistem mangrove terbesar secara global, terparah adalah wilayah pantai Timur
Sumatera bagian utara.

Onrizal, penelitian kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) mengungkapkan tentang


penyusutan hutan bakau itu dalam studi spasial yang dilakukannya dengan membandingkan
kondisi 30 tahun yang lalu mulai dari Aceh timur hingga ke Kabupaten Deli Serdang di Sumut.

Hutan bakau di kawasan tersebut terus terang dan hilang karena beralih fungsi menjadi tambak
ikan serta udang, dan perkebunan kepala sawit hingga semak belukar lantaran penebangan liar
terhadap tumbuhan mangrove untuk dijadikan arang.

“Mulai dari Aceh timur sampai ke Deli Serdang kawasan ini sudah kehilangan mangrove dalam
waktu 30 tahun terakhir sebesar 60 persen. Blum lagi dihitung kerusakan hilang saja sudah 60
persen dan tersisa 40 persen. Nah itu 40 persen kondisinya belum tentu baik,” kata Onrizal
dalam diskusi online tentang expose data kerusakan hutan pantai timur Sumut, Jumat (24/4).

Penebangan liar dengan intensitas yang tinggi masih terjadi di sekitar kawasan Pangkalan Susu,
Kabupaten Langkat, Sumut. Menurut Onrizal, kawasan itu menjadi daerah di Sumut yang paling
besar menyumbang hilangnya hutan bakau dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.

Perkebunan sawit menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di Timur


Sumatera bagian utara. Di Pangkalan Susu, hingga kepulauan Kampai, terus ke lanjut perbatasan
Sumut-Aceh, sejak 1989- 2018, sudah kehilangan 60 persen hutan mangrove. Mangrove-
mangrove ini rusak karena penebangan buat kayu dan arang, dan alih alih fungsi lahan menjadi
perkebunan sawit. Penebangan begitu. Serampang pohon-pohon kecil pun terlibas.

“Sebagian besar menjadi semak belukar. Ini daerah memang masih banyak kilang-kilang dapur
arang bakau. Penebangan sangat luar biasa. Mangrove disana sangat kecil tersisa,” ungkapnya.
Penyusutan luas hutan bakau juga terjadi di Langkat timur laut. Luas hutan bakau yang terus
menyusut juga terjadi di dalam kawasan konservasi seperti di Suaka Margasatwa Karang
Gading, Langkat Timur Laut Sumut. Onrizal menyebut, kawasan konservasi itu kehilangan hutan
bakau sedikitnya 26 persen dalam kurun waktu 3 dekade.

Di kawasan konservasi. yakni di Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut. Di
kawasan itu Pada kurun waktu 1989, 2009 dan 2018, 26 persen mangrove sudah hilang karena di
konservasi menjadi pertanian 9 persen, sawit 3 persen.

Kerusakan hutan bakau tak sebanding dengan program realibilitas yang selama ini dilakukan.
Kehilangan hutan bakau yang jauh lebih besar daripada pemulihannya. Hal itu membuat trend di
Sumut baik di luar atau dalam kawasan konservasi luas hutan bakau terus berkurang berkurang.

Laju kehilangan mangrove per tahun mencapai 31.000 hektar. Sementara kemampuan untuk
memulihkan, misalnya program pemerintah, paling tinggi 15.000 hektar.

Dampak kerusakan hutan bakau juga berpengaruh terhadap keanekaragaman dan volume
penangkapan ikan di Pantai Timur Sumut. Menurut data dari Onrizal kerusakan hutan bakau
menyebabkan 66 persen jenis ikan jadi sulit tertangkap. Mirisnya 28 persen jenis ikan tidak lagi
pernah tertangkap. Hanya tersisa beberapa persen saja ikan yang dulu tertangkap dan sekarang
juga masih terjaring.

“Akibatnya dari sisi pendapatan nelayan berkurang lebih dari 40 persen,” katanya.

Salah satu kantong kemiskinan itu ada di wilayah pesisir. Masyarakat di pesisir akan terus
terpuruk karena semakin hari mangrovenya semakin rusak. Nelayan yang tak punya motor, mata
pencahariannya hanya ada di pasir.

Resminya hanya ada 4 ijin perkebunan di Pantai Yimur Sumut. Selebihnya masih akan diselidiki
kenapa kita banyak perkebunan kelapa sawit. Menurutnya dengan hanya ada 4 ijin perkebunan,
bisa diduga yang lain itu ilegal.

Sementara itu, Direktur Eksklusif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, Dana
Prima Tarigan juga membenarkan bahwa ada pengurangan jumlah tutupan hutan bakau di pesisir
timur Sumut. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia cukup signifikan merubah tutupan
kawasan di pantai timur Sumut.

“Sejak 20 tahun terakhir penurunan luas tutupan hutan di pantai timur Sumut dapat diklasifikasi
yaitu perkebunan kelapa sawit berperan sebagai 45 persen dalam penurunan status kawasan
hutan bakau. Lalu, tambak itu 35 persen, pertanian sebanyak 25 persen dan hal-hal lain seperti
abrasi, dapur arang, reklamasi tambang pasir itu 5 persen,” sebut Dana.
Dalam perkembangan terbaru, WALHI Sumut telah melakukan penelusuran dan mendapat
informasi dari laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyebutkan
bahwa hanya ada 4 izin perkebunan di pantai timur Sumut.

Menurut data yang dipaparkan WALHI Sumut, pantai timur Sumut terbentang dari Kabupaten
Langkat sampai ke Labuhanbatu Selatan sepanjang 314 kilometer dengan total luas mencapai
47.499 hektar yang meliputi hutan kawasan lindung dan konservasi. Daerah alih fungsi lahan
terluas ada di Labuhanbatu, Serdang begadai, dan Deli Serdang.

Pada SK Kehutanan No 44 tahun 2015 luas kawasan hutan lindung dan konservasi sekitar 60.064
hektar tapi di tahun 2018 itu berubah menjadi 47.499 hektar. Artinya ada pengurangan sekitar
12.565 hektar kurun waktu 13 tahun. Bahkan WALHI Sumut mempertanyakan status kawasan
yang diturunkan oleh pemerintah menjadi areal penggunaan lain (APL). Labuhanbatu menjadi
kabupaten terbanyak yang status hutan lindung diturunkan menjadi APL disusul Deli Serdang,
Batubara dan Asahan.

Hutan mangrove memiliki peranan penting dan manfaat bagi lingkungan sekitar khususnya bagi
penduduk pesisir seperti mencegah erosi dan abrasi pantai, serta intrusi. Hutan bakau juga
berperan dalam pembentukan pulau dan menstabilkan daerah pesisir hingga menjadi tempat
berkembang biaknya biota perairan. Dari beberapa hasil riset diketahui jika hutan bakau sehat
maka populasi biota air akan semakin banyak dan sehat. Sebaliknya, jika hutan bakau rusak
maka berdampak pada hilangnya biota air di kawasan hutan bakau.

Dampak akibat rusaknya hutan mangrove, akan fatal dan sangat merugikan sekalian makhluk,
Tidak terlepas dari kondisi yang dialami hutan mangrove di kawasan Sumatera Utara yang pada
dekade ini semakin krisis setiap tahun luas lahan mengalami defisit atau berkurang (punah)
akibat kerusakan yang disebabkan penebangan liar (ilegal logging) dan alih fungsi atau konveksi.

Jika kondisi ini terus terjadi tak hanya kemiskinan bertambah, tetapi bencana ekologis mengintai.
Pemerintah Sumut sama sekali belum melihat masalah ini penting. Padahal alih fungsi makin
lama makin luar biasa.

Anda mungkin juga menyukai