DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................iii
DAFTAR TABEL............................................................................................................iii
DAFTAR BAGAN...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1. LATAR BELAKANG.........................................................................................1
2. RUMUSAN MASALAH.....................................................................................3
3. TUJUAN PENULISAN.......................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................5
1. LITERASI KESEHATAN...................................................................................5
2. KONSEP LITERASI KESEHATAN..................................................................8
3. KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA.........................................................11
BAB III PENUTUP.........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................iv
1
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Sumber Lain untuk Mengakses Informasi Kesehatan Reproduksi dan Seksusal
Komprehensif..................................................................................................................15
Bagan 2. Metode Edukasi Kognitif-Proaktif...................................................................21
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Semakin tingginya tingkat penggunaan media sosial sebagai sumber informasi
menjadikan informasi semakin mudah untuk didapat. Begitu pula dengan informasi
kesehatan yang semakin berkembang. Namun, perlu dilihat dan dikaji lagi apakah
informasi yang diterima dapat dicerna dan diartikan dengan baik oleh individu dapat
dijadikan sebagai bahan masukan untuk melakukan tindakan kesehatan baik
pemeliharaan maupun pengobatan. Literasi kesehatan atau dikenal dengan istilah melek
kesehatan menurut Bröder (2018) adalah sebuah kombinasi antara kemampuan individu
dan situasi sumber untuk mengakses, memahami, menilai dan menggunakan informasi
kesehatan dan pelayanan sehingga mampu membuat keputusan terkait kesehatan
dirinya, termasuk di dalamnya adalah kemampuan individu dalam berkomunikasi,
menegaskan, dan bertindak terhadap hasil keputusannya. Rendahnya literasi kesehatan
berkaitan dengan enggannya individu untuk berobat ke rumah sakit, rendahnya
kemampuan dalam menjaga kesehatan, kondisi kesehatan yang kurang, hingga
tingginya angka kematian (Bauchamp, 2015).
1
memiliki tujuan utama untuk memberikan informasi kepada remaja untuk
memberdayakan mereka dalam membangun nilai dan keterampilan berelasi yang
memampukan mereka membuat keputusan yang bertanggung jawab untuk menjadi
orang dewasa yang sehat secara seksual. Fine dan McClelland (2006 cit Pakasi & Reni,
2013) menyatakan bahwa dalam pendidikan seksualitas perlu mendiskusikan hasrat
seksual agar siswa dapat membangun subjektivitasnya dan tanggung jawabnya sebagai
makhluk seksual. Hal ini berarti perlunya melihat remaja sebagai makhluk seksual
daripada menegasikan seksualitas mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas.
Pendidikan seks adalah proses dimana fasilitator dengan sengaja dan penuh
tanggung jawab memberikan pengaruh yang positif kepada peserta pendidikan seks,
dengan tujuan agar peserta pendidikan seks dapat mengerti dan memahami materi-
materi yang diberikan dalam pendidikan seks. Ini mencakup tentang perubahan-
perubahan yang terjadi ketika memasuki masa remaja (perubahan fisik, psikologis, dan
sosial), latar belakang diperlukannya pendidikan seks bagi remaja, tantangan menuju
kesejahteraan seksual remaja, organ-organ seksual pria dan wanita, fertilisasi
(pembuahan), perkembangan janin, bentuk-bentuk perilaku seksual remaja, akibat-
akibat yang dapat ditimbulkan dengan melakukan perilaku seks bebas, penyakit-
penyakit menular seksual dan jenis-jenisnya, cara mengatasi gejolak seksual remaja,
pengertian dan makna seksualitas, serta nilai-nilai seksual pria dan wanita.
Menurut Purnama, ada dua faktor mengapa pendidikan seks sangat penting bagi
remaja. Faktor pertama adalah di mana anak-anak tumbuh menjadi remaja, mereka
belum paham dengan pendidikan seks, sebab orang tua masih menganggap bahwa
membicarakan mengenai seks adahal hal yang tabu. Sehingga dari ketidakpahaman
tersebut para remaja merasa tidak bertanggung jawab dengan seks atau kesehatan
anatomi reproduksinya.
Faktor kedua, dari ketidakpahaman remaja tentang seks dan kesehatan anatomi
reproduksi mereka, di lingkungan sosial masyarakat, hal ini ditawarkan hanya sebatas
komoditas, seperti media-media yang menyajikan hal-hal yang bersifat pornografi,
antara lain, VCD, majalah, internet, bahkan tayangan televisi pun saat ini sudah
mengarah kepada hal yang seperti itu. Dampak dari ketidakpahaman remaja tentang
pendidikan seks ini, banyak hal negatif terjadi, seperti tingginya hubungan seks di luar
nikah, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual dan sebagainya.
2
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa betapa remaja membutuhkan bantuan
guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan kesehatan reproduksi yang
dihadapinya melalui pengambilan keputusan yang tepat sehingga tidak merugikan
dirinya maupun masa depannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
membantu remaja menyelesaikan masalah-masalah kesehatan reproduksi yang
dihadapinya adalah melalui pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja.
2. RUMUSAN MASALAH
(1) Bagaimana keadaan literasi kesehatan reproduksi pada remaja di Indonesia?
(2) Bagaimana cara meningkatkan literasi kesehatan reproduksi pada remaja di
Indonesia?
3. TUJUAN PENULISAN
(1) Untuk mengetahui tingkat literasi kesehatan reproduksi pada remaja di
Indonesia.
(2) Untuk mengetahui cara meningkatkan literasi kesehatan reproduksi pada remaja
di Indonesia.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. LITERASI KESEHATAN
Literasi kesehatan memiliki banyak definisi dan terus berkembang. Salah satu
definisi yang dapat menggambarkan secara keseluruhan arti dari kemelekan kesehatan
adalah menurut Sorensen dkk (2012) yang menyatakan bahwa literasi kesehatan adalah
keterampilan individu dalam dua hal yaitu pengelolaan kognitif dan sosial. Dua
komponen tersebut akhirnya dapat menjadikan individu memiliki kompetensi untuk
mengakses, memahami, mengambil, dan menerapkan informasi kesehatan dalam
berbagai aspek kesehatan mulai dari konsep pencegahan sampai pada aspek
pengobatan/kuratif. Kompetensi tersebut diwujudkan dengan kemampuan menemukan
fakta, berpikir kritis, pemecahan isu kesehatan, dan pengambilan keputusan dan
kemampuan dalam berkomunikasi. Ditambahkan oleh Adams, dkk (2009) kemampuan
akses informasi dituangkan dalam bentuk lisan, tulisan atau dalam bentuk digital serta
adanya komponen motivasi untuk merangkul atau mengabaikan tindakan terkait
kesehatan.
Pengukuran tingkat literasi kesehatan diperlukan untuk mengetahui efektivitas
intervensi kesehatan, memfasilitasi pengembangan cara-cara efektif untuk menangani
literasi kesehatan yang rendah, dan meningkatkan status kesehatan baik individu
maupun masyarakat (Fransen, 2011). Pengukuran literasi kesehatan dapat menggunakan
Short-Form Health Literacy Survey Questionnare 12 (HLS-SF-Q12), yakni instrumen
yang berisi 12 pertanyaan sederhana seputar kesehatan untuk menguji kemampuan
dalam mengakses, memahami, menilai, dan menerapkan seputar informasi kesehatan
yang sering digunakan. Kuesioner ini telah diuji validitas dan reliabilitas dengan nilai
Cronbach α=0,87 (Duong dkk, 2017). Aspek domain pada pengukuran literasi ini adalah
domain perawatan/pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit, dan promosi kesehatan.
4
memengaruhi literasi kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan adalah usia dan
pendidikan. Adapun etnis, ras, status sosial ekonomi, status perumahan, empati yang
diterima, kebahagiaan, dan akulturasi juga dinilai memiliki sumbangan terhadap
signifikansi penelitian terhadap tingkat literasi kesehatan (Nazmi, dkk., 2015: 309).
Pemahaman yang baik mengenai literasi kesehatan harus juga diperhatikan oleh
pemangku kepentingan. Jika pihak-pihak yang bertugas meningkatkan pelayanan
kesehatan, menciptakan aturan-aturan, dan mengembangkan materi-materi terkait
kesehatan memiliki tingkat pemahaman yang baik terkait literasi, semua prosedur,
peraturan, bahkan program dapat dibuat dan sesuai dengan tingkat literasi suatu
masyarakat. Pemahaman yang baik dapat menuntun semua anggota masyarakat menuju
sebuah sistem kesehatan yang baik pula.
Literasi kesehatan tidak hanya berarti kemampuan baca tulis terkait dengan
bidang kesehatan saja. Literasi kesehatan memiliki peran penting dan strategis dalam
pembangunan kesehatan individu dan masyarakat. Seseorang atau kelompok
masyarakat yang memiliki literasi kesehatan yang rendah akan memiliki derajat
kesehatan yang rendah pula. Lebih dari itu, literasi kesehatan menggerakkan orang-
orang di luar sana agar lebih sadar dan menghargai kesehatan yang dimilikinya.
Adapun definisi dari determinan sosial dalam lingkup kesehatan adalah sebagai kondisi
lingkungan tempat orang dilahirkan, hidup, belajar, bekerja, bermain, dan beribadah
yang memengaruhi berbagai macam kesehatan, fungsi, dan hasil ataupun risiko kualitas
hidup serta kondisi sosial, ekonomi, dan fisik di berbagai lingkungan seperti sekolah,
gereja, tempat kerja, dan lingkungan masyarakat (IOM, 2002). Hal itu senada dengan
definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa kondisi
5
tempat seseorang dilahirkan, tumbuh, hidup, dan bekerja dibentuk oleh distribusi uang,
kekuasaan, dan sumber daya di tingkat global, nasional, dan lokal (WHO, 2017).
Menurut Nasriyanto (2018) yang dikutip oleh Latif (2020) determinan sosial yang dapat
memengaruhi literasi kesehatan adalah rumpun keilmuan, jenis kelamin, asal sekolah,
identitas suku, bahasa, status tempat tinggal, dan uang saku.
Berdasarkan studi yang sudah dilakukan, ada hubungan antara tingkat literasi yang
rendah dengan kesehatan yang buruk dan angka kematian yang tinggi (Clenland & Van
Ginniken, 1988; Grosse & Auffrey, 1989; Perrin, 1989; Weis, Hart, McGee &
D’Estelle, 1992; Tresserra, Canela, Alvarez & Salleras, 1992. dalam Oktarina, 2020).
Selain karena memiliki kemampuan literasi yang baik, kondisi kesehatan kita juga
dipengaruhi oleh banyak faktor kompleks, mulai dari angka pendapatan, kondisi
lingkungan sosial, juga kemudahan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Seseorang
yang berada di perdesaan mungkin akan lebih sulit mengakses pelayanan kesehatan bila
dibandingkan dengan orang-orang yang berada di wilayah perkotaan. Hal ini juga yang
menyebabkan para tenaga kesehatan berjibaku dengan sangat keras untuk memberikan
penyuluhan kesehatan bagi orang-orang di daerah yang minim akses agar upaya
pencegahan dapat menjadi strategi terbaik dalam memerangi sebuah penyakit.
6
memiliki tingkat kemelekan yang tinggi sebesar 7 kali lebih besar dibanding dengan
individu dengan akses informasi kesehatan yang rendah.
7
Gambar 2. Model Literasi Kesehatan Terintegrasi oleh Sorensen
Badan inti dari model oleh Sorensen (2012) menunjukkan beberapa kompetensi yang
berkaitan dengan proses mengakses, memahami, menilai dan menerapkan informasi
yang berhubungan dengan kesehatan. Diperlukan 4 tipe kompetensi dalam
mendefinisikan model ini :
1. Akses, merujuk kepada kemampuan mencari, menemukan dan mendapatkan
informasi kesehatan.
2. Mengerti, merujuk kepada kemampuan memahami informasi kesehatan yang telah
didapatkan.
3. Penilaian, menjelaskan kemampuan menginterpretasikan, menyaring, menilai dan
mengevaluasi informasi kesehatan yang telah didapatkan.
4. Penerapan, merujuk pada kemampuan untuk mengomunikasikan dan menggunakan
informasi untuk membuat keputusan dala menjaga dan meningkatkan kesehatan.
8
fungsional, interaktif dan kritis seperti yang diusulkan oleh Nutbeam (2000). Proses ini
menghasilkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk
menavigasi tiga domain dari rangkaian kesehatan: sakit atau sebagai pasien dalam
pengaturan perawatan kesehatan, sebagai orang yang berisiko penyakit dalam sistem
pencegahan penyakit, dan sebagai warga negara dalam kaitannya dengan upaya promosi
kesehatan di masyarakat. Melalui langkah-langkah proses literasi kesehatan di masing-
masing dari ketiga domain ini, masyarakat dapat mengontrol kesehatannya dengan
menerapkan keterampilan literasi umum dan numerik serta keterampilan literasi
kesehatan spesifik mereka untuk memperoleh informasi yang diperlukan, memahami
informasi ini, menganalisis dan menilai secara kritis, dan bertindak secara mandiri
untuk terlibat dalam tindakan mengatasi hambatan pribadi, struktural, sosial dan
ekonomi terhadap kesehatan. Karena tuntutan kontekstual berubah dari waktu ke waktu,
dan kapasitas untuk menavigasi sistem kesehatan bergantung pada perkembangan
kognitif dan psikososial serta pengalaman sebelumnya dan saat ini, keterampilan dan
kompetensi literasi kesehatan berkembang selama perjalanan hidup dan terkait dengan
pembelajaran seumur hidup. Kerangka kerja yang terkait dengan tiga domain mewakili
kemajuan dari individu menuju perspektif populasi. Dengan demikian, model tersebut
mengintegrasikan konseptualisasi “medis” dari literasi kesehatan dengan perspektif
“kesehatan masyarakat” yang lebih luas. (Sorensen, 2012)
Gabungan keempat dimensi yang mengacu pada pengolahan informasi
kesehatan dengan tiga tingkatan domain tersebut menghasilkan matriks dengan 12
dimensi literasi kesehatan sebagaimana diilustrasikan pada tabel di bawah ini.
9
Literasi Akses Memahami Mengevaluasi Menerapkan/me
Kesehatan memperoleh informasi informasi nggunakan
informasi kesehatan kesehatan informasi
kesehatan kesehatan
Perawatan Kemampuan Kemampuan Kemampuan Kemampuan
kesehatan mengakses memahami menafsirkan dan membuat
informasi medis informasi medis mengevaluasi keputusan
informasi medis masalah medis
10
Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja relatif masih rendah
sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia
tahun 2007. Sebanyak 13% remaja perempuan tidak tahu tentang perubahan fisiknya
dan hampir separuhnya (47,9%) tidak mengetahui kapan masa subur seorang
perempuan (Kemenkes, 2010). Hal yang memprihatinkan, pengetahuan remaja tentang
cara paling penting untuk menghindari infeksi HIV masih terbatas. Hanya 14% remaja
perempuan dan 95% remaja laki-laki menyebutkan pantang berhubungan seks, 18%
remaja perempuan dan 25% remaja laki-laki menyebutkan menggunakan kondom serta
11% remaja perempuan dan 8% remaja laki-laki menyebutkan membatasi jumlah
pasangan (jangan berganti-ganti pasangan seksual) sebagai cara menghindari HIV dan
AIDS (BKKBN, 2012). Sementara, data dari Kemenkes tahun 2010 menunjukkan
bahwa hampir separuh (47,8%), (Kemenkes, 2010) kasus AIDS berdasarkan usia juga
diduduki oleh kelompok usia muda (20-29 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku
seks berisiko terjadi pada usia remaja. Oleh karena itu, rendahnya pengetahuan tersebut
menjadikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual penting untuk diberikan
(Pakasi & Reni, 2013).
11
Pemahaman dan pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi dan
seksualitas selama ini terbilang masih rendah dan tidak sedikit pula yang
mengabaikannya. Hal ini dapat berimplikasi pada risiko seksual yang dihadapi oleh
remaja. Pemahaman terhadap seksualitas dan kesehatan reproduksi yang diberikan di
lembaga pendidikan formal maupun informal cenderung memandang aspek kesehatan
reproduksi dan seksualitas remaja hanya sebatas pada fenomena biologis semata–
cenderung mengkonstruksikan seksualitas remaja sebagai hal yang tabu dan berbahaya
—dikontrol melalui wacana moral, dan agama. Selain itu, agar lebih efektif,
pemahaman terhadap seksualitas dan kesehatan reproduksi perlu dikontekstualisasikan
berdasarkan realitas dan kondisi remaja. Diharapkan hal ini dapat mengkonstruksikan
seksualitas remaja secara positif sebagai makhluk seksual (sexual being) yang memiliki
hak kesehatan reproduksi dan agar dapat bertanggungjawab terhadap kesehatan seksual
dan reproduksinya.(Miswanto, 2014) Konstruksi seksualitas remaja dan wacana
mengenai pendidikan seksualitas berperan terhadap isi dan metode pendidikan
seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja.(Pakasi and Kartikawati, 2013)
Pengetahuan remaja yang baik diikuti dengan perilaku yang positif. Hal ini, dapat
disebabkan pengetahuan dapat memberikan pengaruh yang sejalan dengan perilaku
yang ditimbulkan. Semakin baik pengetahuan, maka perilaku yang ditimbulkan juga
semakin baik, begitu pula sebaliknya semakin kurang pengetahuan yang dimiliki maka
perilaku yang ditimbulkan juga semakin mengarah ke negatif. (Agustini and Arsani,
2013)
Sumber informasi
Sumber informasi berfungsi sebagai alat bantu akan tetapi memiliki peran yang
tidak kalah pentingnya. Dalam kemajuan teknologi, seperti sekarang ini memungkinkan
12
remaja dapat belajar darimana saja dan kapan saja dengan memanfaatkan hasil-hasil
teknologi. (Sanjaya, 2011) Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi menyebabkan penyebaran informasi semakin banyak dan beragam. Informasi
dikemas tidak hanya dalam bentuk cetak seperti buku, majalah, dan koran melainkan
saat ini telah berbentuk non cetak seperti e-book, e-journal dan eletronik yang tersedia
di internet. Banyaknya bentuk informasi yang beredar setiap orang memiliki
kesempatan untuk mengakses informasi yang beragam untuk memenuhi kebutuhan
informasinya. Terciptanya beragam media saat ini bertujuan untuk membantu
menyelesaikan beragam permasalahan yang dihadapi berkenaan dengan informasi,
maka dari itu kita harus memiliki keterampilan dan mampu menggunakan informasi
yang ada dengan bijak, efektif dan efisien. Oleh karena itu, diharapkan remaja memiliki
keterampilan dalam memanfaatkan informasi yang didukung dengan kemampuan
literasi informasi tentang kesehatan reproduksi.(Murti and Winoto, 2018)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nisaa dan Arifah (2019), selain internet
sumber lain yang digunakan remaja SMA untuk mengakses informasi kesehatan
reproduksi yaitu tenaga kesehatan, guru, media cetak, media elektronik, orangtua, dan
teman sebaya. Bagan 1 menunjukkan jika mayoritas reponden mencari informasi
melalui sumber selain internet yaitu tenaga kesehatan. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan dengan guru di SMA Muhammadiyah 1 Surakarta, bahwa sekolah bekerja
sama dengan puskesmas setempat sebagai pemberi informasi kesehatan termasuk
informasi kesehatan reproduksi secara komprehensif. Selain tenaga kesehatan,
responden juga mendapatkan informasi dari guru melalui mata pelajaran biologi dan
penjasorkes. Salah satu responden menyatakan tidak tertarik untuk membaca informasi
pada poster yang terdapat di lingkungan sekolah dan lebih memilih untuk langsung
menyakan kepada teman terdekatnya ataupun mencari tau sendiri melalui internet saat
13
mengalami permasalahan kesehatan reproduksi maupun sekedar ingin mengetahui
tentang informasi kesehatan reproduksi dan seksual komprehensif.
14
diragukan karena semua orang dapat membagikan informasi di media sosial secara
bebas. Pengendalian konten-konten mengenai kesehatan reproduksi menjadi penting
karena remaja lebih memilih mencari informasi melalui media sosial. Remaja biasanya
mencari informasi kesehatan reproduksi dari satu sumber dan untuk memverifikasi
informasi sumber awal, remaja mencari informasi tambahan melalui sumber lain
(Kurniasih, Komariah, 2015). Hasil penelitian menunjukkan media sosial instagram
banyak diminati responden. Salah satu responden menyatakan bahwa mencari informasi
di instagram cukup mudah dengan tagar dan jika dirasa kurang puas maka bisa
menelusuri melalui tagar lain yang beragam. Melalui program pemerintah, perlu adanya
sosialisasi cara memilih sumber-sumber yang baik yaitu akurat dan dikelola oleh tenaga
kesehatan, selain itu konten-konten dipublikasikan secara berkala. Hal ini sejalan
dengan program Melek Internet dari Kementrian Kominfo yang melakukan edukasi
literasi digital dilanjutkan dengan pendampingan yang berkelanjutan oleh komunitas
dan penegakkan hukum untuk pengguna internet yang menyebarkan konten hoax.
Pada sebuah penelitian oleh Susanti (2020) disebutkan bahwa remaja putra
maupun remaja putri Kota Bandung mulai mencari informasi dari adanya pengalaman
inderawi berupa masalah kesehatan reproduksi yang dialami sehari-hari, namun berbeda
dalam memilih sumber utama informasi terutama dikaitkan dengan sifat informasi
kesehatan reproduksi yang sebagian masih dianggap tabu. Selanjutnya, remaja putra dan
putri tersebut memiliki kesamaan dalam proses mendapatkan, memverifikasi,
mengevaluasi, menyimpulkan serta membagi informasi yang diperolehnya hingga
menghasilkan informasi atau pertanyaan yang baru. Kondisi berbeda terjadi pada siswa
dengan latar belakang pendidikan, status sosial dan ekonomi menengah ke atas, dimana
mereka lebih terbuka terhadap hal-hal yang dianggap tabu.(Kurniasih and Komariah,
2015)
15
kesehatan reproduksi pada remaja. Oleh karena itu, keluarga adalah institusi yang
sangat berperan dalam rangka melakukan sosialisasi, bahkan internalisasi, nilai-nilai
pendidikan. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan membentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga penanganan
pendidikan remaja, pendidikan karakter dan kepribadian, pendidikan kecakapan hidup,
serta program pencegahan narkoba, dan HIV/ AIDS.(Farihah, 2015)
16
Pendidikan kesehatan dilakukan dengan pendekatan pendidikan secara interaktif
yang tidak hanya fokus pada informasi, akan tetapi juga pada perubahan perilaku. Oleh
karena itu, perubahan perilaku remaja membutuhkan kemampuan psikososial seseorang
untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari secara
efektif, yang meliputi: keterampilan sosial (kesadaran diri, hubungan interpersonal,
empati dan komunikasi efektif). Selain itu juga, diperlukan keterampilan berfikir
(berfikir kreatif, berfikir kritis, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan) dan
keterampilan emosional (mengatasi stress dan mengendalikan emosi). (Masyarakat,
2018)
Dalam upaya membantu remaja memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang
bertanggung jawab terhadap kesehatan reproduksinya, maka kegiatan konseling sebagai
bagian dari operasional program kesehatan reproduksi remaja merupakan kegiatan yang
sangat strategis. Seperti diketahui bahwa remaja merupakan masa labil yang akan
mengalami perubahan psikologis, dari menghadapi masalah-masalah ringan saat masih
17
kanak-kanak beralih ke masalah-masalah yang lebih rumit ketika menginjak masa
remaja. Oleh karena itu remaja harus mendapatkan pelayanan konseling kesehatan
reproduksi remaja, khususnya dalam menghadapi keadaan psikologisnya yang labil
(Dianawati, 2006).
18
8. Sasaran: pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode kognitif-proaktif sebagai
sasarannya dapat dilakukan pada individu ataupun kelompok (group).
e. Fasilitator meminta sasaran untuk menyebutkan hal positif dan negatif dari topik
permasalahan tersebut jika dilakukan oleh seorang pemuda.
19
Bagan 2. Metode Edukasi Kognitif-Proaktif
20
Menurut Tarigan (2010), metode diskusi kelompok lebih efektif dalam
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada remaja dibandingkan
dnegan metode ceramah. Porter dan Kemacki dalam Suryani (2006) juga menyatakan
bahwa kemampuan individu menyerap informasi melalui indera pendengaran sangat
terbatas. Menurut Mevsin dalam Maolinda (2012), peer educator adalah suatu alat
pendidikan yang paling efektif untuk remaja. Hasil penelitian Parwej (2005) dalam
Maolinda (2012) menyatakan bahwa peer educator adalah strategi konvensional yang
efektif dalam peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. Peer educator
bermanfaat untuk mengurangi rasa malu dan segan yang ada dalam diri remaja dan
mampu mengubah sikap remaja yang rendah terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
seksualitas, HIV/AIDS, dan napza (Suzuki, et. all. dalam Maolinda, 2012)
Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tapi juga akan
mengadaptasi informasi tersebut dengan pemikirannya sendiri (Mayangsari, 2012).
Pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja dengan metode kognitif proaktif dirasa
menjadi salah satu pendekatan yang mudah untuk meningkatkan pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi. Dalam metode tersebut, remaja tidak hanya menerima informasi
satu arah saja akan tetapi secara proaktif dilibatkan untuk merumuskan suatu
21
permasalahan yang ada, sehingga akan lebih mudah untuk dipahami dan dimengerti.
Hal tersebut disebabkan karena remaja ikut terlibat dalam membangun suasana
pembelajaran. Selain itu pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja dengan metode
kognitif proaktif dapat dioptimalkan melalui kegiatan peer group.
22
kesatuan sistem dalam dirinya. Selain itu, mereka juga bebas mengekspresikan sikap,
penilaian, serta sikap kritisnya dan belajar mendalami hubungan yang sifatnya personal.
23
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Literasi kesehatan tidak hanya berarti kemampuan baca tulis terkait dengan
bidang kesehatan saja. Literasi kesehatan memiliki peran penting dan strategis dalam
pembangunan kesehatan individu dan masyarakat. Seseorang atau kelompok
masyarakat yang memiliki literasi kesehatan yang rendah akan memiliki derajat
kesehatan yang rendah pula. Lebih dari itu, literasi kesehatan menggerakkan orang-
orang di luar sana agar lebih sadar dan menghargai kesehatan yang dimilikinya.
24
25
DAFTAR PUSTAKA
Adams, R, J., Stocks, N, P., Wilson, D, H., Hill, C, L., Gravier, S., Kickbusch, I., &
Beilby, J, J. (2009). Health literacy: A New Concept for General Practice?
Australian Family Physician, 38 (3), 144–147.
Aini, 2011. Pengaruh Pendidika Kesehatan Reproduksi Remaja Melalui Media Booklet
Terhadap Perubahan Pengetahuan dan Sikap Santri Tentang Kesehatan
Reproduksi di Pesantren Darul Hikmah dan Pesantren Ta’dib Al-Syakirin di Kota
Medan Tahun. 2010
Bauchamp, A., Buchbinder, R., Dodson, S., dkk. (2015). Distribution of Health Literacy
Strengths and Weaknesses Across Socio-demographic Groups: A Cross-Sectional
Survey Using the Health Literacy Questionnaire (HLQ). BMC Public Health. 15
(1): 1—13.
Duong T, et al., A New Comprehensive Short-form Health Literacy Survey Tool for
Patients in General, Asian Nursing Research (2017), http://dx.doi.org/10.1016/j.
anr.2017.02.001 (11) (PDF) A New Comprehensive Short-form Health Literacy
Survey Tool for Patients in General, 11 (1), 30—35.
Fransen, M.P., T. M. Van Schaik, T.B. Twickler & M.L. Essink-Bot. (2011).
Applicability of Internationally Available Health Literacy Measures in the
Netherlands, Journal
of Health Communication: International Perspectives, 16 (3), 134—149, DOI:
(11) (PDF) Applicability of Internationally Available Health Literacy Measures
in the Netherlands.
Liena Sofiana, Yudga Putramadja, dkk. 2018. Upaya Peningkatan Pengetahuan Tentang
Hipertensi Melalui Metode Penyuluhan
4
Murti, D. P. & Winoto, Y. 2018. Hubungan Antara Kemampuan Literasi Informasi
dengan Prestasi Belajar Siswa SMAN 1 Cibinong Kabupaten Bogor.
BIBLIOTIKA: Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi, 2, 1-5.
Nasriyanto, E.N. (2018). Determinan Sosial dan Tingkat Literasi Kesehatan Mahasiswa
Program Studi Reguler Universitas Indonesia Angkatan 2017/2018. Tesis tidak
dipublikasikan. Universitas Indonesia, Depok.
Oktarina, Dwi. 2020. Literasi Kesehatan di Tengah Pandemi. Harian Babel Post 25
April 2020.
Puspita E, Oktaviarini E, Dyah Y, 2017. Peran Keluarga dan Petugas Kesehatan Dalam
Kepatuhan Pengobatan Penderita Hipertensi di Puskesmas Gunung Pati
Semarang. ISSN 1693-3443
Sorensen K, Van S, den Broucke J, Fullam GD, Pelikan J, Slonska Z, Brand H. (2012).
E Consortium Health Literacy Project: Health Literacy and Public Health: A
Systematic Review and Integration of Definitions and Models. BMC Public
Health, 12(80), 12—80. doi:10.1186/1471–2458–12-80.
5
6