Anda di halaman 1dari 30

LITERASI KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................iii
DAFTAR TABEL............................................................................................................iii
DAFTAR BAGAN...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1. LATAR BELAKANG.........................................................................................1
2. RUMUSAN MASALAH.....................................................................................3
3. TUJUAN PENULISAN.......................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................5
1. LITERASI KESEHATAN...................................................................................5
2. KONSEP LITERASI KESEHATAN..................................................................8
3. KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA.........................................................11
BAB III PENUTUP.........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................iv

1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model Determinan Literasi Kesehatan oleh Pawlak........................................8


Gambar 2. Model Literasi Kesehatan Terintegrasi oleh Sorensen....................................9

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Matrik Dimensi Literasi....................................................................................11

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Sumber Lain untuk Mengakses Informasi Kesehatan Reproduksi dan Seksusal
Komprehensif..................................................................................................................15
Bagan 2. Metode Edukasi Kognitif-Proaktif...................................................................21

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Semakin tingginya tingkat penggunaan media sosial sebagai sumber informasi
menjadikan informasi semakin mudah untuk didapat. Begitu pula dengan informasi
kesehatan yang semakin berkembang. Namun, perlu dilihat dan dikaji lagi apakah
informasi yang diterima dapat dicerna dan diartikan dengan baik oleh individu dapat
dijadikan sebagai bahan masukan untuk melakukan tindakan kesehatan baik
pemeliharaan maupun pengobatan. Literasi kesehatan atau dikenal dengan istilah melek
kesehatan menurut Bröder (2018) adalah sebuah kombinasi antara kemampuan individu
dan situasi sumber untuk mengakses, memahami, menilai dan menggunakan informasi
kesehatan dan pelayanan sehingga mampu membuat keputusan terkait kesehatan
dirinya, termasuk di dalamnya adalah kemampuan individu dalam berkomunikasi,
menegaskan, dan bertindak terhadap hasil keputusannya. Rendahnya literasi kesehatan
berkaitan dengan enggannya individu untuk berobat ke rumah sakit, rendahnya
kemampuan dalam menjaga kesehatan, kondisi kesehatan yang kurang, hingga
tingginya angka kematian (Bauchamp, 2015).

Hasil konferensi tentang Kependudukan dan Pembagunan (ICPD) 1994 di Kairo


tentang kesehatan reproduksi, telah diputuskan perlunya pendidikan seksualitas bagi
para remaja. Salah satu butir konsensus tersebut yaitu upaya untuk menyediakan
informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja (Kemenkes, 2017). Remaja
cenderung melakukan suatu hal tanpa pertimbangan yang matang sehingga dapat
mengakibatkan keputusan yang diambil dalam menghadapi konflik tidak tepat, dan akan
jatuh pada perilaku berisiko yang berakibat pada masalah kesehatan (Kemenkes, 2015).
Remaja perlu memperoleh informasi dari sumber yang akurat sebagai pertimbangan
untuk melakukan suatu tindakan. Apabila hak remaja untuk memperoleh informasi
kesehatan reproduksi terpenuhi maka remaja akan memiliki pengetahuan, sikap, dan
tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses reproduksi.

Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada pemuda merupakan hal


yang penting. Hal tersebut merupakan bagian yang diperlukan dalam pencapaian tugas
tumbuh kembang pada remaja. Menurut Donovan (1998), pendidikan seksualitas

1
memiliki tujuan utama untuk memberikan informasi kepada remaja untuk
memberdayakan mereka dalam membangun nilai dan keterampilan berelasi yang
memampukan mereka membuat keputusan yang bertanggung jawab untuk menjadi
orang dewasa yang sehat secara seksual. Fine dan McClelland (2006 cit Pakasi & Reni,
2013) menyatakan bahwa dalam pendidikan seksualitas perlu mendiskusikan hasrat
seksual agar siswa dapat membangun subjektivitasnya dan tanggung jawabnya sebagai
makhluk seksual. Hal ini berarti perlunya melihat remaja sebagai makhluk seksual
daripada menegasikan seksualitas mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas.

Pendidikan seks adalah proses dimana fasilitator dengan sengaja dan penuh
tanggung jawab memberikan pengaruh yang positif kepada peserta pendidikan seks,
dengan tujuan agar peserta pendidikan seks dapat mengerti dan memahami materi-
materi yang diberikan dalam pendidikan seks. Ini mencakup tentang perubahan-
perubahan yang terjadi ketika memasuki masa remaja (perubahan fisik, psikologis, dan
sosial), latar belakang diperlukannya pendidikan seks bagi remaja, tantangan menuju
kesejahteraan seksual remaja, organ-organ seksual pria dan wanita, fertilisasi
(pembuahan), perkembangan janin, bentuk-bentuk perilaku seksual remaja, akibat-
akibat yang dapat ditimbulkan dengan melakukan perilaku seks bebas, penyakit-
penyakit menular seksual dan jenis-jenisnya, cara mengatasi gejolak seksual remaja,
pengertian dan makna seksualitas, serta nilai-nilai seksual pria dan wanita.

Menurut Purnama, ada dua faktor mengapa pendidikan seks sangat penting bagi
remaja. Faktor pertama adalah di mana anak-anak tumbuh menjadi remaja, mereka
belum paham dengan pendidikan seks, sebab orang tua masih menganggap bahwa
membicarakan mengenai seks adahal hal yang tabu. Sehingga dari ketidakpahaman
tersebut para remaja merasa tidak bertanggung jawab dengan seks atau kesehatan
anatomi reproduksinya.

Faktor kedua, dari ketidakpahaman remaja tentang seks dan kesehatan anatomi
reproduksi mereka, di lingkungan sosial masyarakat, hal ini ditawarkan hanya sebatas
komoditas, seperti media-media yang menyajikan hal-hal yang bersifat pornografi,
antara lain, VCD, majalah, internet, bahkan tayangan televisi pun saat ini sudah
mengarah kepada hal yang seperti itu. Dampak dari ketidakpahaman remaja tentang
pendidikan seks ini, banyak hal negatif terjadi, seperti tingginya hubungan seks di luar
nikah, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual dan sebagainya.

2
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa betapa remaja membutuhkan bantuan
guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan kesehatan reproduksi yang
dihadapinya melalui pengambilan keputusan yang tepat sehingga tidak merugikan
dirinya maupun masa depannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
membantu remaja menyelesaikan masalah-masalah kesehatan reproduksi yang
dihadapinya adalah melalui pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja.

Dampak dari tidak tersedianya informasi dan pemahaman remaja tentang


kesehatan reproduksi mengakibatkan remaja melakukan perilaku berisiko seperti seks
pra nikah, pernikahan dini, dan kehamilan tidak diinginkan. Berkaitan dengan perilaku
seks beresiko data BKKBN (2013) menunjukkan bahwa 49% remaja usia 15-19 tahun
sudah pernah melakukan hubungan seksual. Seks pra nikah yang dilakukan remaja terus
meningkat dari tahun 2007 sampai 2017 yaitu pada tahun 2007 sebesar 3,7% , dan tahun
2017 sebesar 8% (Kemenkes, 2015; 2018). Pernikahan dini menunjukkan prevalensi
yang tinggi, berdasarkan data SDKI prevalensi pernikahan usia dini mengalami stagnasi
pada tahun 2012 sebesar 25%. Jawa tengah berada di peringkat 12 dari 33 provinsi pada
peringkat prevalensi pernikahan remaja usia 15-19 tahun yaitu sebesar 13,5 % pada
tahun 2012. (BPS, 2013)

2. RUMUSAN MASALAH
(1) Bagaimana keadaan literasi kesehatan reproduksi pada remaja di Indonesia?
(2) Bagaimana cara meningkatkan literasi kesehatan reproduksi pada remaja di
Indonesia?

3. TUJUAN PENULISAN
(1) Untuk mengetahui tingkat literasi kesehatan reproduksi pada remaja di
Indonesia.
(2) Untuk mengetahui cara meningkatkan literasi kesehatan reproduksi pada remaja
di Indonesia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. LITERASI KESEHATAN
Literasi kesehatan memiliki banyak definisi dan terus berkembang. Salah satu
definisi yang dapat menggambarkan secara keseluruhan arti dari kemelekan kesehatan
adalah menurut Sorensen dkk (2012) yang menyatakan bahwa literasi kesehatan adalah
keterampilan individu dalam dua hal yaitu pengelolaan kognitif dan sosial. Dua
komponen tersebut akhirnya dapat menjadikan individu memiliki kompetensi untuk
mengakses, memahami, mengambil, dan menerapkan informasi kesehatan dalam
berbagai aspek kesehatan mulai dari konsep pencegahan sampai pada aspek
pengobatan/kuratif. Kompetensi tersebut diwujudkan dengan kemampuan menemukan
fakta, berpikir kritis, pemecahan isu kesehatan, dan pengambilan keputusan dan
kemampuan dalam berkomunikasi. Ditambahkan oleh Adams, dkk (2009) kemampuan
akses informasi dituangkan dalam bentuk lisan, tulisan atau dalam bentuk digital serta
adanya komponen motivasi untuk merangkul atau mengabaikan tindakan terkait
kesehatan.
Pengukuran tingkat literasi kesehatan diperlukan untuk mengetahui efektivitas
intervensi kesehatan, memfasilitasi pengembangan cara-cara efektif untuk menangani
literasi kesehatan yang rendah, dan meningkatkan status kesehatan baik individu
maupun masyarakat (Fransen, 2011). Pengukuran literasi kesehatan dapat menggunakan
Short-Form Health Literacy Survey Questionnare 12 (HLS-SF-Q12), yakni instrumen
yang berisi 12 pertanyaan sederhana seputar kesehatan untuk menguji kemampuan
dalam mengakses, memahami, menilai, dan menerapkan seputar informasi kesehatan
yang sering digunakan. Kuesioner ini telah diuji validitas dan reliabilitas dengan nilai
Cronbach α=0,87 (Duong dkk, 2017). Aspek domain pada pengukuran literasi ini adalah
domain perawatan/pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit, dan promosi kesehatan.

Literasi kesehatan tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ulasan tentang


literasi kesehatan menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 84 variabel/faktor sebagai
variabel independen yang berhubungan dengan literasi kesehatan dari 13 artikel.
Adapun variabel independen yang paling banyak dijumpai kesamaan sebanyak 23
sebagai faktor penentu dari literasi kesehatan. Kesimpulan dari 13 artikel yang
disebutkan itu diketahui bahwa variabel independen yang paling signifikan

4
memengaruhi literasi kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan adalah usia dan
pendidikan. Adapun etnis, ras, status sosial ekonomi, status perumahan, empati yang
diterima, kebahagiaan, dan akulturasi juga dinilai memiliki sumbangan terhadap
signifikansi penelitian terhadap tingkat literasi kesehatan (Nazmi, dkk., 2015: 309).

Pemahaman yang baik mengenai literasi kesehatan harus juga diperhatikan oleh
pemangku kepentingan. Jika pihak-pihak yang bertugas meningkatkan pelayanan
kesehatan, menciptakan aturan-aturan, dan mengembangkan materi-materi terkait
kesehatan memiliki tingkat pemahaman yang baik terkait literasi, semua prosedur,
peraturan, bahkan program dapat dibuat dan sesuai dengan tingkat literasi suatu
masyarakat. Pemahaman yang baik dapat menuntun semua anggota masyarakat menuju
sebuah sistem kesehatan yang baik pula.

Literasi kesehatan tidak hanya berarti kemampuan baca tulis terkait dengan
bidang kesehatan saja. Literasi kesehatan memiliki peran penting dan strategis dalam
pembangunan kesehatan individu dan masyarakat. Seseorang atau kelompok
masyarakat yang memiliki literasi kesehatan yang rendah akan memiliki derajat
kesehatan yang rendah pula. Lebih dari itu, literasi kesehatan menggerakkan orang-
orang di luar sana agar lebih sadar dan menghargai kesehatan yang dimilikinya.

Determinan Sosial Literasi Kesehatan

Menurut Nazmi, dkk (2015) penelitian literasi kesehatan di Indonesia masih


sangat terbatas. Namun, di luar negeri ditemukan hubungan yang konsisten antara
literasi kesehatan yang rendah (diukur dengan kemampuan membaca) dan pengetahuan
tentang kesehatan yang lebih terbatas. Selain itu, literasi kesehatan memiliki hubungan
dengan variabel sosiodemografi/ determinan sosial, persepsi diri, kesehatan, dan kondisi
kronis pada pasien pelayanan kesehatan primer.

Adapun definisi dari determinan sosial dalam lingkup kesehatan adalah sebagai kondisi
lingkungan tempat orang dilahirkan, hidup, belajar, bekerja, bermain, dan beribadah
yang memengaruhi berbagai macam kesehatan, fungsi, dan hasil ataupun risiko kualitas
hidup serta kondisi sosial, ekonomi, dan fisik di berbagai lingkungan seperti sekolah,
gereja, tempat kerja, dan lingkungan masyarakat (IOM, 2002). Hal itu senada dengan
definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa kondisi

5
tempat seseorang dilahirkan, tumbuh, hidup, dan bekerja dibentuk oleh distribusi uang,
kekuasaan, dan sumber daya di tingkat global, nasional, dan lokal (WHO, 2017).

Menurut Nasriyanto (2018) yang dikutip oleh Latif (2020) determinan sosial yang dapat
memengaruhi literasi kesehatan adalah rumpun keilmuan, jenis kelamin, asal sekolah,
identitas suku, bahasa, status tempat tinggal, dan uang saku.

Akses Informasi Kesehatan

Berdasarkan studi yang sudah dilakukan, ada hubungan antara tingkat literasi yang
rendah dengan kesehatan yang buruk dan angka kematian yang tinggi (Clenland & Van
Ginniken, 1988; Grosse & Auffrey, 1989; Perrin, 1989; Weis, Hart, McGee &
D’Estelle, 1992; Tresserra, Canela, Alvarez & Salleras, 1992. dalam Oktarina, 2020).
Selain karena memiliki kemampuan literasi yang baik, kondisi kesehatan kita juga
dipengaruhi oleh banyak faktor kompleks, mulai dari angka pendapatan, kondisi
lingkungan sosial, juga kemudahan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Seseorang
yang berada di perdesaan mungkin akan lebih sulit mengakses pelayanan kesehatan bila
dibandingkan dengan orang-orang yang berada di wilayah perkotaan. Hal ini juga yang
menyebabkan para tenaga kesehatan berjibaku dengan sangat keras untuk memberikan
penyuluhan kesehatan bagi orang-orang di daerah yang minim akses agar upaya
pencegahan dapat menjadi strategi terbaik dalam memerangi sebuah penyakit.

Menurut Pawlak (2005) teknologi informasi merupakan alat penyebaran


informasi kesehatan yang menjadikan akses seseorang kepada teknologi informasi
menjadi salah satu faktor menentukan literasi kesehatan. Hal ini senada dengan laporan
dari National Assesment of Adult Literacy bahwa di negara yang penduduknya dominan
memiliki tingkat literasi kesehatan rendah melaporkan tidak adanya informasi kesehatan
dari sumber tercetak atau tertulis dibandingkan dengan mereka yang tingkat literasi
kesehatannya tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Santosa (2012) yang dikutip oleh
Latif (2020) menunjukkan bahwa akses informasi kesehatan merupakan faktor paling
signifikan dibandingkan dengan determinan sosial lainnya setelah diuji dengan
multivariate. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil OR=7,230 yang artinya adalah
individu dengan akses informasi kesehatan yang tinggi mendapat peluang untuk

6
memiliki tingkat kemelekan yang tinggi sebesar 7 kali lebih besar dibanding dengan
individu dengan akses informasi kesehatan yang rendah.

4. KONSEP LITERASI KESEHATAN


Ada beragam model dalam menjelaskan literasi kesehatan, diantaranya akan

disebutkan model yang dikembangkan Pawlak yakni Determinants of Health Literacy


dan model yang dikembangkan oleh Sorensen yakni Integrated Model of Health
Literacy

Gambar 1. Model Determinan Literasi Kesehatan oleh Pawlak

Pawlak (2015) mengajukan determinan-determinan yang dapat memengaruhi


health literacy yaitu usia, genetik, bahasa, ras dan etnis, pendidikan, pekerjaan, status
sosio-ekonomi, dan faktor lingkungan (akses pelayanan kesehatan dan teknologi
informasi). Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, literasi kesehatan itu sendiri
juga merupakan deterinan untuk kesehatan populasi.

7
Gambar 2. Model Literasi Kesehatan Terintegrasi oleh Sorensen

Badan inti dari model oleh Sorensen (2012) menunjukkan beberapa kompetensi yang
berkaitan dengan proses mengakses, memahami, menilai dan menerapkan informasi
yang berhubungan dengan kesehatan. Diperlukan 4 tipe kompetensi dalam
mendefinisikan model ini :
1. Akses, merujuk kepada kemampuan mencari, menemukan dan mendapatkan
informasi kesehatan.
2. Mengerti, merujuk kepada kemampuan memahami informasi kesehatan yang telah
didapatkan.
3. Penilaian, menjelaskan kemampuan menginterpretasikan, menyaring, menilai dan
mengevaluasi informasi kesehatan yang telah didapatkan.
4. Penerapan, merujuk pada kemampuan untuk mengomunikasikan dan menggunakan
informasi untuk membuat keputusan dala menjaga dan meningkatkan kesehatan.

Masing-masing kompetensi ini mewakili dimensi penting dari literasi kesehatan,


memerlukan kualitas kognitif khusus dan bergantung pada kualitas informasi yang
diberikan (Magasi, 2009). Memperoleh dan mengakses informasi kesehatan bergantung
pada pemahaman, waktu dan kepercayaan; pemahaman informasi tergantung pada
ekspektasi, persepsi utilitas, hasil individualisasi, dan interpretasi mengenai kausalitas;
pemrosesan dan penilaian informasi tergantung pada kompleksitas, jargon dan
pemahaman parsial dari informasi tersebut; dan komunikasi yang efektif tergantung
pada pemahaman. Kompetensi juga menggabungkan kualitas literasi kesehatan yang

8
fungsional, interaktif dan kritis seperti yang diusulkan oleh Nutbeam (2000). Proses ini
menghasilkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk
menavigasi tiga domain dari rangkaian kesehatan: sakit atau sebagai pasien dalam
pengaturan perawatan kesehatan, sebagai orang yang berisiko penyakit dalam sistem
pencegahan penyakit, dan sebagai warga negara dalam kaitannya dengan upaya promosi
kesehatan di masyarakat. Melalui langkah-langkah proses literasi kesehatan di masing-
masing dari ketiga domain ini, masyarakat dapat mengontrol kesehatannya dengan
menerapkan keterampilan literasi umum dan numerik serta keterampilan literasi
kesehatan spesifik mereka untuk memperoleh informasi yang diperlukan, memahami
informasi ini, menganalisis dan menilai secara kritis, dan bertindak secara mandiri
untuk terlibat dalam tindakan mengatasi hambatan pribadi, struktural, sosial dan
ekonomi terhadap kesehatan. Karena tuntutan kontekstual berubah dari waktu ke waktu,
dan kapasitas untuk menavigasi sistem kesehatan bergantung pada perkembangan
kognitif dan psikososial serta pengalaman sebelumnya dan saat ini, keterampilan dan
kompetensi literasi kesehatan berkembang selama perjalanan hidup dan terkait dengan
pembelajaran seumur hidup. Kerangka kerja yang terkait dengan tiga domain mewakili
kemajuan dari individu menuju perspektif populasi. Dengan demikian, model tersebut
mengintegrasikan konseptualisasi “medis” dari literasi kesehatan dengan perspektif
“kesehatan masyarakat” yang lebih luas. (Sorensen, 2012)
Gabungan keempat dimensi yang mengacu pada pengolahan informasi
kesehatan dengan tiga tingkatan domain tersebut menghasilkan matriks dengan 12
dimensi literasi kesehatan sebagaimana diilustrasikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Matriks Dimensi Literasi Kesehatan

9
Literasi Akses Memahami Mengevaluasi Menerapkan/me
Kesehatan memperoleh informasi informasi nggunakan
informasi kesehatan kesehatan informasi
kesehatan kesehatan
Perawatan Kemampuan Kemampuan Kemampuan Kemampuan
kesehatan mengakses memahami menafsirkan dan membuat
informasi medis informasi medis mengevaluasi keputusan
informasi medis masalah medis

Pencegahan kemampuan Kemampuan Kemampuan Kemampuan


penyakit mengakses memahami menafsirkan dan membuat
informasi pada informasi mengevaluasi informasi relevan
faktor risiko mengenai faktor faktor resiko mengenai faktor
resiko resiko

Promosi kemampuan Kemampuan Kemampuan Kemampuan


kesehatan memperbarui diri memahami menafsirkan dan menyampaikan
sendiri dalam informasi terkait memahami pnedapat tentang
masalah infrormasi masalah
kesehatan kesehatan kesehatan

Faktor yang mempengaruhi Literasi Kesehatan (Sorensen, 2012)


1. Faktor sosial dan lingkungan, misalnya situasi demografis, budaya, bahasa,
kekuatan politik, sistem kemasyarakatan.
5. Faktor pribadi, misalnya usia, jenis kelamin, ras, status sosial ekonomi, pendidikan,
pekerjaan, pekerjaan, pendapatan, melek huruf.
6. Faktor situasional, misalnya dukungan sosial, pengaruh keluarga dan teman sebaya,
penggunaan media dan lingkungan fisik.

3. KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA


Berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus)
tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara termasuk
Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah
satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan
merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi
yang komprehensif termasuk bagi para remaja.

10
Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja relatif masih rendah
sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia
tahun 2007. Sebanyak 13% remaja perempuan tidak tahu tentang perubahan fisiknya
dan hampir separuhnya (47,9%) tidak mengetahui kapan masa subur seorang
perempuan (Kemenkes, 2010). Hal yang memprihatinkan, pengetahuan remaja tentang
cara paling penting untuk menghindari infeksi HIV masih terbatas. Hanya 14% remaja
perempuan dan 95% remaja laki-laki menyebutkan pantang berhubungan seks, 18%
remaja perempuan dan 25% remaja laki-laki menyebutkan menggunakan kondom serta
11% remaja perempuan dan 8% remaja laki-laki menyebutkan membatasi jumlah
pasangan (jangan berganti-ganti pasangan seksual) sebagai cara menghindari HIV dan
AIDS (BKKBN, 2012). Sementara, data dari Kemenkes tahun 2010 menunjukkan
bahwa hampir separuh (47,8%), (Kemenkes, 2010) kasus AIDS berdasarkan usia juga
diduduki oleh kelompok usia muda (20-29 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku
seks berisiko terjadi pada usia remaja. Oleh karena itu, rendahnya pengetahuan tersebut
menjadikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual penting untuk diberikan
(Pakasi & Reni, 2013).

Perilaku berisiko pada remaja di Indonesia berhubungan signifikan dengan


pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, pendidikan, status ekonomi, akses terhadap
media informasi, komunikasi dengan orang tua, dan adanya teman yang berperilaku
berisiko. Faktor yang paling dominan hubungannya adalah jenis kelamin. Remaja laki-
laki berpeluang 30 kali lebih besar untuk merokok, 10 kali lebih besar untuk minum
alkohol, 20 kali lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba, dan 5 kali lebih besar untuk
hubungan seksual pranikah, jika dibandingkan dengan remaja perempuan.(Lestary and
Sugiharti, 2011)

Penyimpangan perilaku seksual disebabkan minimnya pengetahuan dan


bimbingan tentang kesehatan reproduksi remaja. Pendidikan kesehatan reproduksi
remaja menjadi sebuah sarana yang tepat sebagai upaya promotif dan preventif dalam
peningkatan pengetahuan dan sikap terhadap pembentukan moral remaja. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan di Margahayu, Bandung bahwa terdapat hubungan
antara pengetahuan dan sikap siswa dengan pendidikan kesehatan reproduksi remaja.
Oleh karena itu, diharapkan sekolah, puskesmas, dan lintas sektoral yang berkaitan
mampu meningkatkan pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi menjadi agenda
bulanan secara rutin yang dilaksanakan ke sekolah-sekolah.(Maolinda, 2012)

11
Pemahaman dan pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi dan
seksualitas selama ini terbilang masih rendah dan tidak sedikit pula yang
mengabaikannya. Hal ini dapat berimplikasi pada risiko seksual yang dihadapi oleh
remaja. Pemahaman terhadap seksualitas dan kesehatan reproduksi yang diberikan di
lembaga pendidikan formal maupun informal cenderung memandang aspek kesehatan
reproduksi dan seksualitas remaja hanya sebatas pada fenomena biologis semata–
cenderung mengkonstruksikan seksualitas remaja sebagai hal yang tabu dan berbahaya
—dikontrol melalui wacana moral, dan agama. Selain itu, agar lebih efektif,
pemahaman terhadap seksualitas dan kesehatan reproduksi perlu dikontekstualisasikan
berdasarkan realitas dan kondisi remaja. Diharapkan hal ini dapat mengkonstruksikan
seksualitas remaja secara positif sebagai makhluk seksual (sexual being) yang memiliki
hak kesehatan reproduksi dan agar dapat bertanggungjawab terhadap kesehatan seksual
dan reproduksinya.(Miswanto, 2014) Konstruksi seksualitas remaja dan wacana
mengenai pendidikan seksualitas berperan terhadap isi dan metode pendidikan
seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja.(Pakasi and Kartikawati, 2013)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Jepara bahwa, pemberian pendidikan


kesehatan reproduksi remaja terhadap pengetahuan tentang perilaku seksual pada
remaja mengalami peningkatan pengetahuan dibandingkan dengan kelompok kontrol
yang tidak diberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Dengan adanya
pemberian pendidikan kesehatan reproduksi remaja diharapakan dapat membawa
pengaruh terhadap perubahan perilakunya.(Widiyanto dan Sari, 2013)

Pengetahuan remaja yang baik diikuti dengan perilaku yang positif. Hal ini, dapat
disebabkan pengetahuan dapat memberikan pengaruh yang sejalan dengan perilaku
yang ditimbulkan. Semakin baik pengetahuan, maka perilaku yang ditimbulkan juga
semakin baik, begitu pula sebaliknya semakin kurang pengetahuan yang dimiliki maka
perilaku yang ditimbulkan juga semakin mengarah ke negatif. (Agustini and Arsani,
2013)

Sumber informasi

Sumber informasi berfungsi sebagai alat bantu akan tetapi memiliki peran yang
tidak kalah pentingnya. Dalam kemajuan teknologi, seperti sekarang ini memungkinkan

12
remaja dapat belajar darimana saja dan kapan saja dengan memanfaatkan hasil-hasil
teknologi. (Sanjaya, 2011) Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi menyebabkan penyebaran informasi semakin banyak dan beragam. Informasi
dikemas tidak hanya dalam bentuk cetak seperti buku, majalah, dan koran melainkan
saat ini telah berbentuk non cetak seperti e-book, e-journal dan eletronik yang tersedia
di internet. Banyaknya bentuk informasi yang beredar setiap orang memiliki
kesempatan untuk mengakses informasi yang beragam untuk memenuhi kebutuhan
informasinya. Terciptanya beragam media saat ini bertujuan untuk membantu
menyelesaikan beragam permasalahan yang dihadapi berkenaan dengan informasi,
maka dari itu kita harus memiliki keterampilan dan mampu menggunakan informasi
yang ada dengan bijak, efektif dan efisien. Oleh karena itu, diharapkan remaja memiliki
keterampilan dalam memanfaatkan informasi yang didukung dengan kemampuan
literasi informasi tentang kesehatan reproduksi.(Murti and Winoto, 2018)

Informasi tentang kesehatan reproduksi masih banyak di akses di internet,


padahal kebenaran dari situs-situs yang menyediakan informasi kesehatan reproduksi di
internet belum tentu kebenarannya. Perlu adanya pembenaran dari pihak-pihak yang
benar-benar paham tentang kesehatan reproduksi, baik dari orang tua, guru, petugas
kesehatan, dan sebagainya, sehingga para responden tidak bingung ketika ada kata-kata
yang belum dimengerti dan dipahami saat mengakses informasi kesehatan reproduksi di
internet.(Budiono and Sulistyowati, 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nisaa dan Arifah (2019), selain internet
sumber lain yang digunakan remaja SMA untuk mengakses informasi kesehatan
reproduksi yaitu tenaga kesehatan, guru, media cetak, media elektronik, orangtua, dan
teman sebaya. Bagan 1 menunjukkan jika mayoritas reponden mencari informasi
melalui sumber selain internet yaitu tenaga kesehatan. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan dengan guru di SMA Muhammadiyah 1 Surakarta, bahwa sekolah bekerja
sama dengan puskesmas setempat sebagai pemberi informasi kesehatan termasuk
informasi kesehatan reproduksi secara komprehensif. Selain tenaga kesehatan,
responden juga mendapatkan informasi dari guru melalui mata pelajaran biologi dan
penjasorkes. Salah satu responden menyatakan tidak tertarik untuk membaca informasi
pada poster yang terdapat di lingkungan sekolah dan lebih memilih untuk langsung
menyakan kepada teman terdekatnya ataupun mencari tau sendiri melalui internet saat

13
mengalami permasalahan kesehatan reproduksi maupun sekedar ingin mengetahui
tentang informasi kesehatan reproduksi dan seksual komprehensif.

Berhubungan dengan internet, media sosial termasuk platform yang banyak


dipilih responden untuk mengakses informasi kesehatan reproduksi dan seksual
komprehensif yaitu sebesar 88,4%. Media sosial memberikan konten yang mencakup
campuran antara audio, visual, foto, maupun teks. Fasilitas ini yang relatif digemari oleh
kalangan remaja (Adiarsi, 2015). Media sosial memfasilitasi remaja dalam mencari
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, dampak dari permasalahan kesehatan
reproduksi dan pencegahannya. Melalui media sosial siswa mampu secara mandiri
mencari dan menyebarluaskan pengalaman positif dirinya tentang perubahan perilaku
yang lebih sehat. Adanya media sosial memang dapat mengubah perilaku kebiasaan di
masyarakat. Namun, perubahan ini tidak semata-mata terjadi pada semua orang yang
menggunakan media sosial. (Ramadhan; Giyarsih, 2017). Temuan penelitian
menunjukkan bahwa instagram merupakan media sosial yang paling sering digunakan
siswa untuk mencari informasi kesehatan reproduksi dan seksual komprehensif.
Informasi yang diperoleh melalui instagram lebih mudah dipahami dan biasanya
dikemas secara visual lebih menarik. Salah satu narasumber dalam penelitian Prasanti
(2017) mengemukakan bahwa instagram, whatsapp group, line merupakan situs portal
online yang menyajikan beragam informasi kesehatan sebagai media pelengkap tentang
informasi kesehatan. Kualitas informasi kesehatan reproduksi di media sosial kadang

14
diragukan karena semua orang dapat membagikan informasi di media sosial secara
bebas. Pengendalian konten-konten mengenai kesehatan reproduksi menjadi penting
karena remaja lebih memilih mencari informasi melalui media sosial. Remaja biasanya
mencari informasi kesehatan reproduksi dari satu sumber dan untuk memverifikasi
informasi sumber awal, remaja mencari informasi tambahan melalui sumber lain
(Kurniasih, Komariah, 2015). Hasil penelitian menunjukkan media sosial instagram
banyak diminati responden. Salah satu responden menyatakan bahwa mencari informasi
di instagram cukup mudah dengan tagar dan jika dirasa kurang puas maka bisa
menelusuri melalui tagar lain yang beragam. Melalui program pemerintah, perlu adanya
sosialisasi cara memilih sumber-sumber yang baik yaitu akurat dan dikelola oleh tenaga
kesehatan, selain itu konten-konten dipublikasikan secara berkala. Hal ini sejalan
dengan program Melek Internet dari Kementrian Kominfo yang melakukan edukasi
literasi digital dilanjutkan dengan pendampingan yang berkelanjutan oleh komunitas
dan penegakkan hukum untuk pengguna internet yang menyebarkan konten hoax.

Pada sebuah penelitian oleh Susanti (2020) disebutkan bahwa remaja putra
maupun remaja putri Kota Bandung mulai mencari informasi dari adanya pengalaman
inderawi berupa masalah kesehatan reproduksi yang dialami sehari-hari, namun berbeda
dalam memilih sumber utama informasi terutama dikaitkan dengan sifat informasi
kesehatan reproduksi yang sebagian masih dianggap tabu. Selanjutnya, remaja putra dan
putri tersebut memiliki kesamaan dalam proses mendapatkan, memverifikasi,
mengevaluasi, menyimpulkan serta membagi informasi yang diperolehnya hingga
menghasilkan informasi atau pertanyaan yang baru. Kondisi berbeda terjadi pada siswa
dengan latar belakang pendidikan, status sosial dan ekonomi menengah ke atas, dimana
mereka lebih terbuka terhadap hal-hal yang dianggap tabu.(Kurniasih and Komariah,
2015)

Metode Pendidikan Kesehatan Remaja

Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat


dan pemerintah. Dengan demikian, pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan
pertama dan utama tempat anak menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya
atau anggota keluarganya yang lain. Keluarga merupakan tempat orang tua untuk
meletakkan dasar-dasar kepribadian, keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan

15
kesehatan reproduksi pada remaja. Oleh karena itu, keluarga adalah institusi yang
sangat berperan dalam rangka melakukan sosialisasi, bahkan internalisasi, nilai-nilai
pendidikan. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan membentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga penanganan
pendidikan remaja, pendidikan karakter dan kepribadian, pendidikan kecakapan hidup,
serta program pencegahan narkoba, dan HIV/ AIDS.(Farihah, 2015)

Anak dan remaja sangat menghargai pertemanan, jalinan komunikasi dengan


teman sebaya lebih baik jika dibanding dengan orangtua. Sehubungan dengan hal
tersebut maka diperlukan suatu program yang mendukung tingkat perkembangan masa
remaja salah satunya dengan Pembentukan Kader Kesehatan Remaja yang melibatkan
sekolah. Hasil pengabdian pada masyarakat dalam bentuk IPTEKS bagi Masyarakat
(IbM) yang telah dilaksanakan yaitu: (1) terdapat peningkatan pengetahuan siswa
tentang kesehatan reproduksi remaja serta siswa telah memiliki bekal keterampilan
dalam memberikan informasi kesehatan kepada orang lain; (2) siswa siap untuk ikut
membina teman-temannya dan berperan sebagai promotor dan motivator dalam
menjalankan usaha kesehatan terhadap diri masing-masing; serta (3) siswa bersedia
membantu guru, keluarga dan masyarakat di sekolah dan di luar sekolah yang
membutuhkan pelayanan kesehatan.(Izah et al., 2019).

Metode pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada pemuda harus


disesuaikan dengan tahap tumbuh kembang remaja. Pada usia remaja dalam
pembelajaran cenderung ingin tahu terhadap suatu hal. Metode pembelajaran yang lebih
sesuai adalah dengan metode diskusi untuk menerima suatu kesimpulan dan tidak kaku
secara penyampaian materi. Metode pembelajaran tersebut bertujuan supaya pesan
edukasi dapat diterima dan sesuai dengan tugas perkembangannya.

Menurut Notoatmodjo (2010), usaha untuk mempengaruhi secara positif


perilaku kesehatan masyarakat yaitu dengan menggunakan berbagai prinsip dan metode
komunikasi. Oleh karena itu, komunikasi yang baik sangat diperlukan dalam perubahan
perilaku seseorang, terutama saat melakukan pendidikan kesehatan. Pemberian materi
kesehatan reproduksi merupakan salah satu media pendidikan kesehatan yang banyak
dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kalangan akademis dan
pelayanan kesehatan. Tujuan yang diharapkan dari pendidikan kesehatan ini adalah
adanya pengaruh yang signifikan terhadap pengetahuan responden setelah mendapatkan
intervensi informasi mengenai kesehatan reproduksi.(Suardi, 2018)

16
Pendidikan kesehatan dilakukan dengan pendekatan pendidikan secara interaktif
yang tidak hanya fokus pada informasi, akan tetapi juga pada perubahan perilaku. Oleh
karena itu, perubahan perilaku remaja membutuhkan kemampuan psikososial seseorang
untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari secara
efektif, yang meliputi: keterampilan sosial (kesadaran diri, hubungan interpersonal,
empati dan komunikasi efektif). Selain itu juga, diperlukan keterampilan berfikir
(berfikir kreatif, berfikir kritis, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan) dan
keterampilan emosional (mengatasi stress dan mengendalikan emosi). (Masyarakat,
2018)

Dalam penelitian Susanti (2020) ditemukan bahwa remaja memiliki peningkatan


pengetahuan setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi remaja.
Peningkatan pengetahuan remaja tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
pendidikan, umur, informasi, dan pengalaman. Hal tersebut, sesuai dengan teori yang
ada bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan, dan kekuatan seseorang akan
lebih matang dalam berpikir dan bekerja dan dengan informasi lebih banyak akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas. (Ernawati and Khilmiyah, 2010)

Pendidikan seksualitas cederung menggunakan wacana larangan (discource of


prohibition) sehingga remaja enggan untuk mencari informasi kesehatan reproduksi
lebih jauh. Tenaga kesehatan maupun sekolah perlu memandang pendidikan seksualitas
dan kesehatan reproduksi secara komprehensif yaitu mengakui berbagai dimensi
mengenai seksualitas yang dihadapi remaja yang dapat mempengaruhi keputusan
remaja dalam menjalani seks beresiko atau tidak. (Holzner dan Oetomo, 2004).
Pemberian informasi kesehatan reproduksi secara komprehensif memungkinan remaja
menerima informasi dari berbagai aspek. Remaja yang menerima informasi secara luas
memungkinkan untuk remaja secara mandiri mencari informasi yang komprehensif
melalui internet dan menyaring informasi melalui sumber lain. Berbeda dengan wacana
larangan yang hanya memberikan dampak dari permasalahan yang ada dan menutup
informasi yang lain.

Dalam upaya membantu remaja memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang
bertanggung jawab terhadap kesehatan reproduksinya, maka kegiatan konseling sebagai
bagian dari operasional program kesehatan reproduksi remaja merupakan kegiatan yang
sangat strategis. Seperti diketahui bahwa remaja merupakan masa labil yang akan
mengalami perubahan psikologis, dari menghadapi masalah-masalah ringan saat masih

17
kanak-kanak beralih ke masalah-masalah yang lebih rumit ketika menginjak masa
remaja. Oleh karena itu remaja harus mendapatkan pelayanan konseling kesehatan
reproduksi remaja, khususnya dalam menghadapi keadaan psikologisnya yang labil
(Dianawati, 2006).

Metode edukasi game kognitif-proaktif

Merupakan salah satu cara pendekatan edukasi kesehatan reproduksi dan


seksualitas pada remaja. Edukasi ini dilakukan dengan permainan partisipasi diskusi
satu kasus tentang permasalahan reproduksi atau penyimpangan seksual dengan prinsip
kognitif-proaktif. Prinsip kognitif-proaktif dilakukan dengan mengajak remaja
berpartisipasi menyebutkan hal postif dan negatif terhadap suatu masalah kesehatan
reproduksi dan seksualitas pada remaja secara proaktif, sampai bisa menyimpulkan
sendiri masalah tersebut itu baik atau tidak jika dilakukan oleh pemuda. Harapannya,
metode ini lebih mengena dan diinternalisasi (dimaknai) bagi pendidikan remaja karena
sesuai dengan tahapan tumbuh kembang pemuda.

Pendidikan kesehatan reproduksi yang dilakukan dengan metode kognitif dan


proaktif lebih menekankan bagaimana dalam kegiatan pembelajaran remaja diajak
untuk berpartisipasi atau terlibat aktif (ranah proaktif) mengutarakan pendapatnya
tentang suatu topik (ranah kognitif), sampai remaja tersebut dapat menyimpulkan
sendiri apakah permasalahan tersebut baik atau tidak bagi seorang remaja. Metode ini
dirasakan lebih efektif dibandingkan pendidikan kesehatan reproduksi melalui metode
ceramah di kelas yang hanya berjalan satu arah. Pendidikan kesehatan reproduksi
metode kognitif-proaktif dapat dilakukan antar teman sebaya atau pun dengan seorang
fasilitator. Berikut ini penjelasan dari pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode
kognitif-proaktif:

1. Lingkup edukasi: pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode kognitif-proaktif


dapat dilakukan secara terstruktur di pendidikan formal ataupun di kegiatan
pendidikan non formal misal karang taruna dan kegiatan pemuda lainnya.

7. Fasilitator: pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode kognitif-proaktif


sebagai fasilitatornya dapat dari teman sebaya (peer group), guru, pendidik ataupun
profesional konseling kesehatan reproduksi.

18
8. Sasaran: pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode kognitif-proaktif sebagai
sasarannya dapat dilakukan pada individu ataupun kelompok (group).

9. Metode: pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode kognitif-proaktif


dilakukan dengan cara game edukasi partisipasi melibatkan sasaran dengan
fasilitator dalam pembahasan suatu permasalahan kesehatan reproduksi (sharing dua
arah).

10. Tahapan pelaksanaan: pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode kognitif-


proaktif dalam pelaksanaanya tahapan-tahapannya sebagai berikut:

a. Fasilitator dan sasaran menyiapkan diri untuk melakukan permainan edukasi.

b. Fasilitator menyiapkan media tulis (kertas/papan tulis dan alat tulis).

c. Fasilitator menjelasakan tentang game pendidikan kesehatan reproduksi dengan


metode kognitif-proaktif kepada sasaran.

d. Fasilitator melontarkan satu topik permasalahan reproduksi pada remaja.

e. Fasilitator meminta sasaran untuk menyebutkan hal positif dan negatif dari topik
permasalahan tersebut jika dilakukan oleh seorang pemuda.

f. Sasaran menggali terus menerus konsekuensi dari masing-masing cabang hal


postif dan negatif tersebut sampai tidak dapat diuraikan lagi.

g. Fasilitator meminta sasaran untuk menyimpulkan dan memaknai apakah topik


yang dibahas tadi tepat dilakukan oleh pemuda atau tidak.

h. Fasilitator memberikan pemaknaan.

Simulasi dari pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode kognitif-proaktif tampak


pada Bagan 2.

19
Bagan 2. Metode Edukasi Kognitif-Proaktif

20
Menurut Tarigan (2010), metode diskusi kelompok lebih efektif dalam
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada remaja dibandingkan
dnegan metode ceramah. Porter dan Kemacki dalam Suryani (2006) juga menyatakan
bahwa kemampuan individu menyerap informasi melalui indera pendengaran sangat
terbatas. Menurut Mevsin dalam Maolinda (2012), peer educator adalah suatu alat
pendidikan yang paling efektif untuk remaja. Hasil penelitian Parwej (2005) dalam
Maolinda (2012) menyatakan bahwa peer educator adalah strategi konvensional yang
efektif dalam peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. Peer educator
bermanfaat untuk mengurangi rasa malu dan segan yang ada dalam diri remaja dan
mampu mengubah sikap remaja yang rendah terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
seksualitas, HIV/AIDS, dan napza (Suzuki, et. all. dalam Maolinda, 2012)

Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tapi juga akan
mengadaptasi informasi tersebut dengan pemikirannya sendiri (Mayangsari, 2012).
Pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja dengan metode kognitif proaktif dirasa
menjadi salah satu pendekatan yang mudah untuk meningkatkan pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi. Dalam metode tersebut, remaja tidak hanya menerima informasi
satu arah saja akan tetapi secara proaktif dilibatkan untuk merumuskan suatu

21
permasalahan yang ada, sehingga akan lebih mudah untuk dipahami dan dimengerti.
Hal tersebut disebabkan karena remaja ikut terlibat dalam membangun suasana
pembelajaran. Selain itu pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja dengan metode
kognitif proaktif dapat dioptimalkan melalui kegiatan peer group.

Dalam konteks peer groups, pendidikan kesehatan dilakukan melalui pendidik


teman sebaya (peer educator). Pendidik sebaya adalah orang yang menjadi narasumber
bagi kelompok sebayanya. Mereka adalah orang yang aktif dalam kegiatan sosial di
lingkungannya, misalnya di karang taruna, Pramuka, OSIS, pengajian, PKK, dan
sebagainya, yang mampu menjalankan perannya sebagai komunikator bagi kelompok
sebayanya (BKKBN, 2012). Pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh peer
educator diyakini memiliki nilai efektifitas yang tinggi karena mereka menggunakan
bahasa yang kurang lebih sama sehingga informasi mudah dipahami oleh teman
sebayanya (Imron, 2012). Teman sebaya juga mudah untuk mengemukakan pikiran dan
perasaannya di hadapan peer educator. Melalui peer educator, pesan-pesan sensitif
dapat disampaikan secara lebih terbuka dan santai sehingga pengetahuan remaja,
terutama masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi, banyak diperoleh di kalangan
remaja dan harapannya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seksual remaja yang
terkontrol dan bertanggung jawab serta tidak melanggar norma yang berlaku di
masyarakat, baik norma agama, norma kesusilaan maupun norma hukum (Imron, 2012).

Pengetahuan reproduksi pada remaja sangat efektif dalam mempengaruhi dan


dipengaruhi oleh teman sebaya. Apabila teman sebaya memiliki pengetahuan kesehatan
reproduksi yang memadai, mereka akan memberikan pengetahuan ini kepadanya
temannya (Dianawati, 2006). Transfer pengetahuan ini mempunyai harapan agar
mereka dapat mempengaruhi temannya untuk mengambil keputusan yang sehat dan
bertanggung jawab serta mampu melakukan kontrol. Sebaliknya, apabila pengetahuan
remaja tentang kesehatan reproduksi rendah, yang beredar di kalangan remaja adalah
informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk mitos-mitos yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang cenderung menyesatkan. Dalam konteks
kehidupan remaja, peer group merupakan institusi sosial kedua setelah keluarga yang
mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan remaja. Didalam peer group, terjadi
proses belajar sosial, yaitu individu mengadopsi kebiasaan, sikap, ide, keyakinan, nilai-
nilai dan pola tingkah laku dalam masyarakat, serta mengembangkannya menjadi

22
kesatuan sistem dalam dirinya. Selain itu, mereka juga bebas mengekspresikan sikap,
penilaian, serta sikap kritisnya dan belajar mendalami hubungan yang sifatnya personal.

23
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Literasi kesehatan tidak hanya berarti kemampuan baca tulis terkait dengan
bidang kesehatan saja. Literasi kesehatan memiliki peran penting dan strategis dalam
pembangunan kesehatan individu dan masyarakat. Seseorang atau kelompok
masyarakat yang memiliki literasi kesehatan yang rendah akan memiliki derajat
kesehatan yang rendah pula. Lebih dari itu, literasi kesehatan menggerakkan orang-
orang di luar sana agar lebih sadar dan menghargai kesehatan yang dimilikinya.

Pemahaman dan pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi dan


seksualitas selama ini terbilang masih rendah dan tidak sedikit pula yang
mengabaikannya. Hal ini dapat berimplikasi pada risiko seksual yang dihadapi oleh
remaja. Pemahaman terhadap seksualitas dan kesehatan reproduksi yang diberikan di
lembaga pendidikan formal maupun informal cenderung memandang aspek kesehatan
reproduksi dan seksualitas remaja hanya sebatas pada fenomena biologis semata–
cenderung mengkonstruksikan seksualitas remaja sebagai hal yang tabu dan berbahaya
—dikontrol melalui wacana moral, dan agama. Selain itu, agar lebih efektif,
pemahaman terhadap seksualitas dan kesehatan reproduksi perlu dikontekstualisasikan
berdasarkan realitas dan kondisi remaja. Diharapkan hal ini dapat mengkonstruksikan
seksualitas remaja secara positif sebagai makhluk seksual (sexual being) yang memiliki
hak kesehatan reproduksi dan agar dapat bertanggungjawab terhadap kesehatan seksual
dan reproduksinya.

Keberhasilan pendidikan kesehatan pada remaja memerlukan kerjasama antara


orang tua, guru, masyarakat dan pemerintah. Sekolah perlu bekerjasama dengan orang
tua, agar orang tua selalu mengaawasi dan membimbing anaknya. Sekolah dapat
bekerjasama dengan Puskesmas dan dinas pendidikan setempat agar memberikan
sosialisasi mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja pada tenaga pendidik (guru).
Sedangkan pemerintah dapat memberikan sosialisasi dan pelatihan Pendidikan
Kesehatan Reproduksi Remaja Komprehensif bagi guru serta menyesuaikan materi
Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja dalam kurikulum dengan keadaan remaja
saat ini. Selain itu masyarakat dapat memberikan pengawasan pada remaja di
lingkungannya.

24
25
DAFTAR PUSTAKA

Adams, R, J., Stocks, N, P., Wilson, D, H., Hill, C, L., Gravier, S., Kickbusch, I., &
Beilby, J, J. (2009). Health literacy: A New Concept for General Practice?
Australian Family Physician, 38 (3), 144–147.

Aini, 2011. Pengaruh Pendidika Kesehatan Reproduksi Remaja Melalui Media Booklet
Terhadap Perubahan Pengetahuan dan Sikap Santri Tentang Kesehatan
Reproduksi di Pesantren Darul Hikmah dan Pesantren Ta’dib Al-Syakirin di Kota
Medan Tahun. 2010

Bauchamp, A., Buchbinder, R., Dodson, S., dkk. (2015). Distribution of Health Literacy
Strengths and Weaknesses Across Socio-demographic Groups: A Cross-Sectional
Survey Using the Health Literacy Questionnaire (HLQ). BMC Public Health. 15
(1): 1—13.

Bröder J, Chang P, Kickbusch I, Levin-Zamir D, McElhinney E, Nutbeam D, Okan O,


Osborne R, Pelikan J, Rootman I, Rowlands G. (2018). IUHPE Position Statement
on Health Literacy: A Practical Vision for a Health Literate World. Glob Health
Promot, 25(4):79– 88.

Diah Berliana. 2018. Pengetahuan Tentang Perawatan Pasien Hipertensi di Wilayah


Kerja Puskesmas Pucang Sewu Surabaya. e-Journal Keperawatan Vol. 11 No.3.
ISSN 1979-8091

Duong T, et al., A New Comprehensive Short-form Health Literacy Survey Tool for
Patients in General, Asian Nursing Research (2017), http://dx.doi.org/10.1016/j.
anr.2017.02.001 (11) (PDF) A New Comprehensive Short-form Health Literacy
Survey Tool for Patients in General, 11 (1), 30—35.

Farihah, F. 2015. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja melalui Pendidikan


Keluarga. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera, 13.

Fransen, M.P., T. M. Van Schaik, T.B. Twickler & M.L. Essink-Bot. (2011).
Applicability of Internationally Available Health Literacy Measures in the
Netherlands, Journal
of Health Communication: International Perspectives, 16 (3), 134—149, DOI:
(11) (PDF) Applicability of Internationally Available Health Literacy Measures
in the Netherlands.

H. Setiawan, S Suhanda, E Rosiliati. 2018. Prmosi Kesehatan Pencegahan Hipertensi


Sejak Dini

Juan Song. Gender Diffrences in Hypertension in JAMA Cardiology Publish 01 may


2019

Liena Sofiana, Yudga Putramadja, dkk. 2018. Upaya Peningkatan Pengetahuan Tentang
Hipertensi Melalui Metode Penyuluhan

Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta : Kemenkes

4
Murti, D. P. & Winoto, Y. 2018. Hubungan Antara Kemampuan Literasi Informasi
dengan Prestasi Belajar Siswa SMAN 1 Cibinong Kabupaten Bogor.
BIBLIOTIKA: Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi, 2, 1-5.

Nasriyanto, E.N. (2018). Determinan Sosial dan Tingkat Literasi Kesehatan Mahasiswa
Program Studi Reguler Universitas Indonesia Angkatan 2017/2018. Tesis tidak
dipublikasikan. Universitas Indonesia, Depok.

Nazmi, Rudolfo G, Restila R, Emytri. (2015). Faktor-faktor yang Memengaruhi Literasi


Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Systematic Review. Prosiding
Seminar Nasional Penelitian dan PKM Kesehatan, p-ISSN 2477-2364.

Nutbeam D: Health literacy as a public goal: a challenge for contemporary health


education and communication strategies into the 21st century. Health Promot Int
2000, 15(3):259-267.

Oktarina, Dwi. 2020. Literasi Kesehatan di Tengah Pandemi. Harian Babel Post 25
April 2020.

PUSDATIN KEMENKES, 2019 di akses pada Kamis, 07 Januari 2020

Puspita E, Oktaviarini E, Dyah Y, 2017. Peran Keluarga dan Petugas Kesehatan Dalam
Kepatuhan Pengobatan Penderita Hipertensi di Puskesmas Gunung Pati
Semarang. ISSN 1693-3443

Ratna W, Kharisma S, Olivia J, dkk. 2018. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Hipertensi


Terhadap Pengetahuan Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Manisrenggo.
Journal Of Community Engagenment In Health. E-ISSN :2620-3766

Rendi, Tavip Dwi W. Warsono. 2017 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang


Hipertensi Terhadap Perubahan Perilaku Gaya Hidup Klien Hipertensi di
Puskesmas Dau Kabupaten Malang. Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017

Sanjaya, W. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta, Kencana Prenada Media


Group.

Sorensen K, Van S, den Broucke J, Fullam GD, Pelikan J, Slonska Z, Brand H. (2012).
E Consortium Health Literacy Project: Health Literacy and Public Health: A
Systematic Review and Integration of Definitions and Models. BMC Public
Health, 12(80), 12—80. doi:10.1186/1471–2458–12-80.

Sri H, Junaiti S, Sukihananto. 2016. Penyuluhan Kesehatan Melalui Media Cetak


Berpengaruh Terhadap Perawatan Hipertensi Pada Usia Dewasa di Kota Depok.
pISSN 1410-4490

5
6

Anda mungkin juga menyukai