Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK


DISKRIMINASI RASIAL.

ICERD ( International Convention Of The Elimination Of All Forms Of Racial


Discrimination )

Makalah Ini Di ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam dan HAM

Dosen Pengampu Alfitri, S.Ag., LL.M.,Ph.D.

Disusun Oleh:

Muhammad Irsan Nur (1921699008)

Anggun Isahrianti (1921609015)

Nur Hana Camelia (1921609042)

Isly Desilvi (1921609068)

Ikhsan Cahya S (1921609044)

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA

2021
KATA PENGANTAR
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menyadari bahwa sekarang ini dunia tetap saja dicengkram oleh adanya rasisme.
Rasisme belumlah hilang di dunia ini. Rasisme dalam sejarah perjuangan umat
manusia telah meninggalkan luka-luka yang dalam dan menimbulkan adanya
masyarakat yang semakin tidak bersahabat, bermusuhan dan saling menghancurkan.

Masalah Rasisme telah muncul hampir sama tuanya dengan peradaban manusia
dan tidaklah bertambah baik seiring kemajuan jaman. Kitab Suci telah mencatat
peristiwa rasialis yang terjadi di Tanah Mesir ribuan tahun yang lalu ketika bani Israel
diperbudak oleh bangsa Mesir, dimana Musa lantas memimpin bangsa Yahudi keluar
dari tanah Mesir menuju Israel. Ketika orang mengira bahwa masalah rasialisme telah
berkurang di jaman modern seperti sekarang ini, maka mata dunia dibuka oleh
banyaknya korban jiwa yang jatuh, sehingga baru disadari bahwa masalah rasisme
belumlah selesai, bahkan sampai hari ini ketika kita telah menjalani sebuah milenium
baru.

Penghancuran akan suatu ras atau adanya diskriminasi menunjukan bahwa


manusia itu dibedakan lantaran segi luarnya saja. Manusia kurang dihargai sebagai
manusia, tetapi lebih di pandang dan di nilai hanya dari penampilan fisik. Perbedaan
warna kulit hitam, putih, kuning, atau warna lain telah banyak menjadikan sebab
perpecahan, permusuhan dan bahkan perang. Sulit untuk menerima adanya
diskriminasi berdasarkan ras atau warna kulit. Ras dan warna kulit manusia tidaklah
dapat menjadi ukuran tunggal. Manusia hendaknya di nilai dari segi martabatnya.
Manusia sungguh- sungguh sebagai manusia, justru karena martabatnya itu. harga diri
dan martabat itu melekat pada diri manusia dan tidak dapat di pisahkan lantaran
adanya perbedaan warna kulit atau ras tertentu. Itulah landasan dari hak asasi manusia
(HAM).1 Dalam artikel 2 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia selanjutnya
disebut DUHAM menyatakan bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan-kebebasan yang terdapat didalam deklarasi ini, tanpa perbedaan apapun,
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pemikiran
yang berlainan, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, status kelahiran
ataupun status lainya. (2) selanjutnya, tiadalah perbedaan dapat dibuat berdasar status
politis, jurisdiksi ataupun status internasional dari Negara atau daerah seorang
berasal, baik dari Negara merdeka, perwalian, belum memerintah sendiri atau berada
di bawah suatu batasan kedaulatan yang lain. Artikel ini mau menyatakan bahwa
setiap orang mempunyai hak dan kebebasan yang sama dan setara, karena
martabatnya. Tidak boleh diskriminasi apapun.

Perjuangan dalam deklarasi universal ini mendapat landasan hukum internasional


dalam persetujuan/konvenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik, beserta
dua protokolnya dan juga dalam persetujuan/konvenan internasional mengenai hak-
hak sosial, budaya dan ekonomi. Kesamaan dan kesetaraan hak-hak asasi manusia
mau dijamin dan dilindungi serta diperjuangkan dalam level internasional dan
diharapkan dalam prakteknya di level nasional, sehingga dapat terciptanya
masyarakat yang bebas dari diskriminasi

B. Rumusan Masalah
1. Kj
2. Juh
C. Tujuan
1. Hj
2. Jj
BAB II
PEMBAHASAN
A. ICERD
International Convention of the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination atau yang dapat disingkat menjadi ICERD merupakan salah satu
perjanjian internasional yang disusun dan disahkan oleh PBB. Sesuai dengan
bentuk perjanjian yang disematkan pada namanya, ICERD adalah sebuah
konvensi yang mengatur mengenai hal-hal yang penting dan resmi bagi
masyarakat internasional yang maka dari itu bersifat law-making treaty atau dapat
dijelaskan sebagai peraturan yang meletakan kaidah-kaidah hukum bagi
masyarakat internasional secara keseluruhan.
ICERD dapat dikatakan sebuah perjanjian yang bersifat law-making
treaty dan bukan bersifat treaty contract karena ICERD adalah perjanjian yang
meletakan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara
keseluruhan dan bukan hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan
perjanjian tersebut. Alasan yang mendasari kaidah-kaidah yang dikandung dalam
ICERD adalah pandangan bahwa diskriminasi rasial yang merupakan salah satu
tindakan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal
Declaration of Human Right dan dapat menjadi halangan terciptanya hubungan
antar negara dan antar manusia yang harmonis dan damai. Terlepas dari konvensi
yang memiliki sifat law-making treaty, ICERD tidak semata-mata mengikat
Indonesia ketika disahkan Teori yang dapat menjelaskan dasar pengikat
berlakunya ICERD pada Negara Indonesia adalah teori voluntaris yang mana
merupakan teori yang menjelaskan bahwa hukum internasional berlaku karena
adanya kehendak dari suatu negara untuk tunduk pada hukum internasional
tersebut.
Teori voluntaris apabila diletakan pada konteks maka akan sesuai dengan
fakta dimana Indonesia terikat oleh ICERD karena adanya kehendak dari Negara
Indonesia sendiri untuk tunduk pada hukum internasional tersebut dengan
dikeluarkannya persetujuan negara Indonesia untuk terikat setelah 34 tahun
ICERD disahkan oleh PBB. Pengesahan yang dilakukan Indonesia untuk terikat
pada ICERD adalah melalui aksesi yang menurut The Vienna Convention to the
Law of Treaties of 1969 merupakan pengesahan perjanjian internasional oleh
suatu negara yang tidak turut serta dalam perundingan atau pengesahan terhadap
perjanjian yang sudah disahkan terlebih dahulu. Pengesahan yang dilakukan
Indonesia bukan termasuk dalam ratifikasi karena Indonesia tidak mengikuti
perundingan dari ICERD dan meratifikasi ICERD setelah 34 tahun ICERD
disahkan.
Kehendak dari Negara Indonesia untuk tunduk pada hukum internasional
memerlukan tindakan aksesi karena Indonesia secara tidak langsung merupakan
bagian dari aliran dualisme. Aliran dualisme merupakan aliran yang menganggap
bahwa hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum
yang berbeda sehingga diperlukan transformasi dari hukum internasional menjadi
hukum nasional apabila hukum internasional tersebut ingin diberlakukan pada
hukum nasional. Penjelasan aliran dualisme tersebut sesuai dengan Negara
Indonesia yang melihat hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua
sistem hukum yang berbeda sehingga membutuhkan hukum internasional untuk
ber-“transformasi” ke hukum nasional untuk dapat berlaku pada Negara
Indonesia. “Transformasi” yang dimaksud dalam hal ini adalah dengan tindakan
pengesahan melalui Aksesi yang dilakukan oleh Indonesia. Pengesahan tersebut
menurut Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional merupakan perbuatan hukum untuk pengikatan diri pada
suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan, atau
persetujuan.
Pemerintah Indonesia dalam melakukan pengesahan perjanjian
internasional tidak hanya dengan sebuah pernyataan semata melainkan
menggunakan undang- undang atau keputusan presiden. Hal tersebut dilakukan
dengan dasar pada ketentuan Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dimana pengesahan perjanjian
internasional di Indonesia dilakukan melalui 2 peraturan yaitu melalui undang-
undang dan keputusan presiden dimana suatu perjanjian internasional akan
disahkan melalui undang-undang berdasarkan materinya apabila berkenaan
dengan materi sebagai berikut :
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; a.
Sedangkan perjanjian internasional Perubahan wilayah atau penetapan
batas wilayah negara Republik Indonesia;
b. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
c. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
d. Pembentukan kaidah hukum baru;
e. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri

yang materinya tidak termasuk dalam hal-hal di atas dilakukan dengan


keputusan presiden tetapi dengan disahkannya Undang- Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang kemudian
diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan maka keputusan presiden untuk mengesahkan
perjanjian internasional sekarang berbentuk Peraturan Presiden. Sejalan dengan
peraturan di atas, pengesahan ICERD dilakukan dengan undang- undang karena
ICERD memiliki materi yang berkenaan dengan hak asasi manusia.

Sejalan dengan ratifikasi menurut Edy Suryono yang memiliki dua arti
yaitu ratifikasi dalam arti internasional dan ratifikasi dalam arti konstitusional.
Indonesia telah mengesahkan ICERD dalam arti internasional pada tanggal 25
Mei 1999 dengan melakukan penandatanganan untuk terikat pada ICERD serta
telah mengesahkan ICERD dalam arti konstitusional melalui Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) dimana pada Pasal
1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa disahkannya ICERD dengan
Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 22. Pasal 22 yang disyaratkan oleh
Indonesia menyatakan bahwa sengketa antara dua atau lebih negara pihak
mengenai materi yang diatur dalam konvensi ini, apabila tidak dapat terselesaikan
melalui negosiasi atau prosedur yang secara tegas ditentukan dalam ICERD maka
atas permintaan pihak yang bersengketa dapat diajukan ke Mahkamah
Internasional untuk mendapat keputusan. Alasan dibalik reservasi yang dilakukan
Indonesia adalah Pasal 22 ICERD memungkinkan subjek yang menjadi pihak
dalam persengketaan diskriminasi rasial dapat mengajukannya untuk diadili di
hadapan Mahkamah Internasional. Hal tersebut berbeda dengan pendirian
Indonesia yang meyakini bahwa pengajuan persengketaan ke Mahkamah
Internasional hanya bisa dilakukan atas dasar kesepakatan seluruh pihak
Pengesahan ICERD oleh Indonesia adalah perwujudan aksi nyata dari Pasal 2
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menuliskan bahwa Presiden
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sepakat
untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pengesahan Indonesia atas ICERD dapat dikatakan mewakili kehendak Indonesia
untuk terikat dan menerima segala bentuk hak dan kewajiban yang dibebankan
oleh ICERD. Bentuk keterikatan Indonesia seharusnya dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan ICERD secara menyeluruh kecuali pasal yang disyaratkan
yaitu Pasal 22.

B. Implementasi International Convention on the Elimination of All Forms of


Racial Discrimination 1965 dalam Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia

Menimbang bahwa Piagam PBB didasarkan pada prinsip dasar mengenai


martabat dan kesetaraan dalam seluruh umat manusia, dan bahwa setiap negara
anggota telah bersepakat untuk turut serta dalam pencapaian tujuan dari PBB
yaitu menciptakan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar tanpa
pembedaan menurut ras, jenis kelamin, bahasa, dan kepercayaan. Terlebih lagi
pada Pasal 2 ICERD disebutkan bahwa setiap negara pihak harus segera melarang
dan mengakhiri, dengan segala cara yang sesuai, yaitu dengan menciptakan
kebijakan-kebijakan termasuk melalui peraturan perundang-undangan,
diskriminasi ras oleh setiap orang, kelompok, atau organisasi apapun sehingga
tertulis dengan jelas terdapat kewajiban dari negara pihak untuk membuat
peraturan perundang-undangan mengenai penghapusan diskriminasi rasial yang
mengimplementasikan ketentuan-ketentuan pada ICERD. Dari sudut pandang
ketentuan hukum, Indonesia telah cukup menjalankan komitmen dalam lingkup
nasional dengan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan ICERD dalam
hukum nasional. Implementasi dari ketentuan ICERD pada hukum nasional dapat
ditemukan dalam pasal-pasal hukum nasional yang dijabarkan sebagai berikut:

1. Definisi dan Ruang Lingkup Diskriminasi Rasial


Definisi dan ruang lingkup diskriminasi rasial pada ICERD terletak pada
Pasal 1 yang berbunyi :
a. Dalam Konvensi ini, istilah “diskriminasi rasial” diartikan segala
pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan
b. ras, warna kulit, keturunan, atau asal-usul kebangsaan atau etnis yang
memiliki tujuan atau efek menghapuskan atau mengurangi pengakuan,
perolehan, atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan, hak asasi manusia
dan kebebasan mendasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, atau bidang kehidupan publik lainnya;
c. Konvensi ini tidak berlaku untuk pembedaan, pengecualian,
pembatasan, atau preferensi yang dilakukan oleh suatu Negara Pihak
pada Konvensi ini antara warganegara dan bukan warga negara;
d. Tidak ada sesuatu pun dalam Konvensi ini yang dapat ditafsirkan
sebagai ikut campur dalam bentuk apapun pada ketentuan hukum
Negara-negara Pihak mengenai kewarganegaraan, kependudukan, atau
naturalisasi, dengan ketentuan bahwa hukum tersebut tidak
mendiskriminasikan kewarganegaraan tertentu; Langkah-langkah
khusus yang diambil dengan tujuan untuk mengamankan kemajuan
yang pantas dari kelompok ras atau etnis tertentu atau individu yang
membutuhkan perlindungan yang mungkin diperlukan untuk
memastikan bahwa kelompok atau individu tersebut menikmati
penerimaan atau pelaksanaan hak asasi manusia yang sama dan
kebebasan mendasar tidak dianggap sebagai diskriminasi rasial, namun
asalkan tindakan tersebut tidak menimbulkan konsekuensi bahwa
tindakan tersebut mengarah pada pemeliharaan hak-hak khusus untuk
kelompok ras tertentu dan bahwa tindakan tersebut tidak akan
dilanjutkan setelah tujuannya telah terpenuhi.

Sedangkan definisi dan ruang lingkup diskriminasi rasial dalam peraturan


perundang-undangan Indonesia berada pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis68 yang dimana pada Pasal
1 undang-undang tersebut memberikan definisi yaitu :

Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian,


pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang
mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Selain pada undang-undang penghapusan diskriminasi ras dan etnis,


diskriminasi juga disebut pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusiab yang menyebutkan bahwa

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang


langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Dari kedua definisi diskriminasi dalam undang-undang Indonesia, dapat


ditemukan bahwa terdapat beberapa perbedaan definisi dan ruang lingkup
diskriminasi rasial dengan ICERD sebagai berikut :
a. Istilah yang digunakan pada ICERD dan peraturan perundang- undangan
Indonesia berbeda dimana pada ICERD digunakan istilah Diskriminasi
Rasial, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menggunakan
Diskriminasi Ras dan Etnis, dan UU HAM mengatur mengenai istilah
Diskriminasi secara luas.
b. Dasar dilakukannya diskriminasi pada ICERD lebih luas dari peraturan
perundang-undangan Indonesia. Pada ICERD dasar dilakukannya
diskriminasi rasial adalah berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau
asal-usul kebangsaan atau etnis, sedangkan pada peraturan perundang-
undangan Indonesia diskriminasi ras dan etnis pada UU Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis adalah berdasarkan ras dan etnis saja. Di UU
HAM disebutkan diskriminasi adalah tindakan yang didasarkan agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.
c. Subjek yang diatur oleh ICERD berbeda dengan peraturan perundang-
undangan Indonesia karena yurisdiksi dari kedua ketentuan tersebut juga
berbeda. Pada ICERD subjek yang diatur adalah negara-negara pihak,
bersamaan dengan masyarakat internasional, sedangkan pada peraturan
perundang-undangan Indonesia subjek yang diatur adalah subjek
hukumnya terbatas pada bagian-bagian dari negara Indonesia saja.
d. Pada ICERD terdapat pembatasan pada ayat (2) yang tentunya tidak
dimiliki peraturan perundang-undangan Indonesia karena pembatasan
tersebut diperlukan hanya karena yang menjadi subjek dari ICERD adalah
negara-negara pihak.

Dari keempat perbedaan tersebut mudah untuk dipahami apabila ICERD


berbeda dengan peraturan perundang-undangan Indonesia sesuai dengan aliran
dualisme yang mana menjelaskan bahwa hukum internasional dan hukum
nasional memang sudah berbeda pada awalnya karena perbedaan subjek, sumber,
dan prinsip dasar, sehingga diperlukan transformasi yang menyesuaikan hukum
internasional menjadi hukum nasional. Perbedaan tersebut akan muncul karena
perbedaan dasar dari hukum internasional dan hukum nasional walaupun pada
bagian mengingat dari UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pembuatan
dari UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis didasarkan pada pengesahan
ICERD.

C. Penerapan Di Indonesia
Kajian terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All
Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965). Undang-Undang Nomor
29 Tahun 1999 tentang ratifikasi CERD ini lahir karena desakan yang kuat pada
pemerintah Indonesia baik dari dalam maupun luar negeri akibat terjadinya
kerusuhan Mei 1998. Peristiwa kerusuhan rasial Mei 1998 merupakan peristiwa
monumental yang memakan korban dalam jumlah amat besar, baik dari kaum
miskin kota maupun kelompok etnis Tionghoa. Protes, kecaman maupun desakan
yang amat kuat membuat pemerintah memutuskan meratifikasi Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.
UndangUndang ini ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1999 oleh B.J. Habibie
dan langsung diundangkan pada hari itu juga. Pemerintah Indonesia mendasarkan
pemikiran pentingnya meratifikasi konvensi ini pada beberapa pemikiran :
1. Bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat
martabat manusia serta menjamin semua WNI mendapat perlakuan
yang sama di muka hukum;
2. Bahwa Indonesia menghormati, menjunjung tinggi prinsip dan tujuan
Piagam PBB serta DUHAM;
3. Bahwa konvensi itu tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan RI.
Kalau kita mengkaitkannya dengan kenyataan di dalam praktek kehidupan
bernegara kita tentu akan langsung dengan mudah menemukan kontradiksi
kontradiksi. Misalkan pandangan yang sampai sekarang tetap menjadi perdebatan.
“HAM menurut barat dan HAM yang berdasar Pancasila”. Kedua istilah ini sama-
sama tidak jelas, tapi terus menjadi bahan perdebatan konyol bila sebuah kasus
pelanggaran HAM terjadi dan ada upaya membongkarnya. Atau kenyataan ironis
dari keberadaan puluhan peraturan rasial dalam sistem hukum positif Negara
Indonesia, atau kebijakan rasis yang sampai sekarang masih mendiskriminasi
warga negara berdasarkan ras atau etnisnya, keberadaan lembaga-lembaga
pelestari rasialisme atau stigmatisasi, dll. Namun bagaimanapun buruknya
pelanggaran rasial di Indonesia, kita patut mensyukuri telah diratifikasinya
konvensi ini.

Dalam meratifikasi konvensi ini pemerintah Indonesia memutuskan untuk


membuat sebuah reservation (persyaratan) sesuai Pasal 22 CERD yang mengatur
tentang perselisihan dan mekanisme Mahkamah Internasional. Sikap ini diambil
karena Pemerintah Indonesia memutuskan tidak mengakui yurisdiksi Mahkamah
Internasional yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction). Tepatnya
sebagai berikut yang tertulis di dalam lampiran Undang-Undang Nomor 29 Tahun
1999 :
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 ini dibuat
sistematika sebagai berikut :
1. Umum : berisi sejarah lahirnya Konvensi; Misalkan untuk pemerintah
Indonesia, selain proses yang sudah dituliskan pada bagia Pendahuluan
juga terdapat beberapa peristiwa hukum penting :
a. Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003;
b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM;
c. RUU Pengesahan Konvensi
2. Pokok-pokok pikiran yang melahirkan CERD;
a. Praktek-praktek diskriminasi rasial yang terkait dengan penjajahan
dalam bentuk apa pun dan di mana pun dapat merapuhkan sendi-
sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan berbudaya.
Untuk menegakkan sendi-sendi masyarakat demikian, seluruh
anggota masyarakat internasional bertekad bulat untuk
b. mengambil semua langkah yang diperlukan guna penghapusan
diskriminasi rasial dalam segala bentuk dan manifestasinya, serta
mencegah dan memerangi doktrin-doktrin dan praktek-praktek
rasis guna memajukan saling pengertian antar ras serta
membangun masyarakat internasional yang bebas dari segala
bentuk diskriminasi rasial.
c. Masyarakat internasional sepakat untuk mengatur penghapusan
diskriminasi rasial dari segala bentuk dan manifestasinya dengan
segera di seluruh kawasan dunia serta menjamin pengertian dan
penghormatan terhadap martabat manusia, dalam suatu wadah
perangkat internasional yang mengikat semua Negara Pihak secara
hukum.
d. Dalam kaitan itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa telah
menerima Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada tanggal 20
November 1963. Pasal 2 Deklarasi ini menjamin bahwa setiap
negara, institusi, kelompok, atau individu diwajibkan untuk tidak
melaksanakan diskriminasi rasial dalam bentuk apa pun.
e. Perangkat internasional sebelumnya di bidang HAM yang
mendorong lahirnya Konvensi ini adalah Declaration on the
Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples,
(Deklarasi tentang Kemerdekaan Bangsa Bangsa dan Negara-
negara Jajahan), yang diterima oleh Majelis Umum pada tahun
1960 melalui Resolusi Majelis Umum 1514 (XV) juga telah
menegaskan dan menyatakan dengan khidmat perlunya hal-hal
tersebut diakhiri tanpa syarat apa pun juga.
f. Perangkat internasional lain yang penting dan perlu diperhatikan di
bidang HAM adalah Convention Concerning Discrimination in
Respect of Employment and Occupation, (Konvensi tentang
Diskriminasi di Bidang Lapangan Kerja dan Pekerjaan) yang
diterima oleh Organisasi Buruh Internasional pada tahun 1958, dan
Convention Against Discrimination in Education, (Konvensi
Menentang Diskriminasi di Bidang Pendidikan) yang diterima oleh
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya pada tahun
1960.
3. Alasan Indonesia menjadi Negara Pihak dalam Konvensi;
a. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin
dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini
merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia
bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial.
b. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-
Undang Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan
peraturan perundang- undangan yang mengandung ketentuan
tentang penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi rasial, namun
masih belum memadai untuk mencegah, mengatasi, dan
menghilangkan praktek-praktek diskriminasi rasial, sehingga perlu
disempurnakan.
c. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan nasional tersebut
dapat meningkatkan perlindungan hukum yang lebih efektif
sehingga dapat lebih menjamin hak-hak setiap warga negara untuk
bebas dari segala bentuk diskriminasi rasial, dalam segala bentuk
dan manifestasinya dengan segera, demi tercapainya suatu
masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya.
d. Suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya
dapat mewujudkan upaya bersama untuk memelihara perdamaian,
ketertiban umum, kemakmuran dunia, dan melestarikan peradaban
umat manusia.
e. Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggung
jawab menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya
memajukan dan melindungi HAM, khususnya hak untuk bebas
dari segala bentuk diskriminasi rasial. Hal ini juga dapat
meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dan
memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap
Indonesia.
4. Pokok-pokok isi Konvensi :
a. Pembukaan/Mukadimah memuat dasar dan tujuan Konvensi;
b. Bab I : memuat ketentuan pokok yang menyangkut definisi dan
kewajiban Negara Pihak untuk mengutuk diskriminasi rasial serta
untuk mengambil semua langkah yang sesuai untuk secepat
mungkin menyusun kebijakan penghapusan segala bentuk
diskriminasi rasial dan memajukan pengertian antar ras;
c. Bab II : memuat Ketentuan mengenai Komite;
d. Bab III : merupakan Ketentuan Penutup.

D. Ketentuan Pokok Konvensi adalah ringkasan prinsip pokok materi Konvensi


CERD.
Banyak kalangan menyatakan bahwa Undang- Undang Nomor 29 Tahun
1999 ini telah cukup untuk menjawab masalah-masalah rasialisme di Indonesia.
Namun kita tahu bahwa materi yang diatur dalam CERD hanyalah kesepakatan
politis yang tidak ditujukan untuk pengaturan kehidupan individu. Jelas aturan itu
ditujukan untuk Negara Peserta Konvensi, bukan antar Negara Peserta Konvensi
dengan individu. Walaupun memang diatur tentang petisi, namun rasialisme jelas
jauh lebih luas dari sekedar petisi. Problem rasial dalam kehidupan masyarakat
Indonesia setidaknya dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Diskriminasi dalam sistem politik hukum
Setidaknya sampai sekarang masih terdapat lebih dari 60 peraturan tertulis
yang bersifat diskriminasi rasial. Ada peraturan yang nyata-nyata menerapkan
rasialisme, ada yang ditafsirkan demikian oleh para birokrat aparatur negara.
Sebagian besar peraturan ini ditujukan kepada etnis Tionghoa, namun
belakangan juga diarahkan pada etnis- etnis lain. Misalkan pada etnis Aceh
belum lama ini dibuat sebuah Surat Edaran oleh PEMDA. Isinya mengatur
bahwa masyarakat boleh menangkap etnis Aceh yang mencurigakan dan
stigma bahwa mereka kemungkinan berbahaya berkaitan dengan bom.
b. Kebijakan diskriminatif
Aturan tidak tertulis yang dibuat baik secara terbuka ataupun tidak oleh
Negara. Misalkan aturan untuk menandai Kartu Keluarga dengan nomor Surat
Bukti Kewarganegaraan (SBKRI) bagi etnis Tionghoa. Atau kasus
perampasan properti dari banyak orang yang menjadi korban dalam peristiwa
1965. Mereka yang distigma sebagai anggota PKI/Komunis atau anti Soeharto
atau kelompok etnis Tionghoa menjadi sasaran perampasan properti.
Merupakan sebuah aturan tidak tertulis (kebijakan) untuk negara atau orang-
orang yang terlibat tidak usah mengembalikan property atau barang
rampasannya itu. Kasus ini dianggap selesai dan sebaiknya tidak diungkit-
ungkit lagi.
c. Keberadaan lembaga pelestari rasialisme
Misalkan BKMC (Badan Koordinasi Masalah Cina), sebuah badan
intelijen di bawah TNI Angkatan Darat. Lembaga ini bertugas memastikan
ketundukan etnis Tionghoa pada puluhan peraturan atau policy yang
diskriminasi rasial;
d. Stigmatisasi kepada warga Negara
Stigmatisasi ini adalah langkah untuk memberi pembenaran atas tindakan
mendiskriminasi etnis tertentu yang telah diberi stigma tertentu. Misalkan
stigma untuk mendiskriminasi etnis Tionghoa adalah bahwa mereka adalah
non-pri, bangsa asing yang masuk ke Indonesia dan mendapat kekayaan besar.
Stigma ini kemudian menjadi pembenaran bagi kelompok orang atau aparat
negara membedakan etnis Tionghoa dari etnis lainnya.
e. Kekerasan rasial
Setiap tahun selalu terdapat lebih dari sepuluh kerusuhan rasial dari
berbagai etnis (tercatat semenjak tahun 1998). Etnis yang dominan
berhadapan dengan masalah kekerasan atau konflik rasial : Madura, Dayak,
Tionghoa, Betawi. Sampai sekarang tidak ada satupun dari puluhan
kerusuhan atau peristiwa kekerasan rasial yang diselesaikan secara tuntas oleh
Negara. Baru kasus Mei 1998 yang agak maju dengan dibentuknya Tim
Penyelidik Ad hoc Kerusuhan Mei 1998 oleh Komnas HAM.
f. Politik asimilasi
Sebuah kebijakan yang tampaknya sepintas amat baik. Kebijakan ini
menggariskan bahwa yang terbaik dilakukan oleh seorang etnis Tionghoa
ialah bila ia menikah dengan etnis yang lain, melupakan budaya asalnya dan
menggantinya dengan budaya etnis lain, dll. Kebijakan itu secara implisit
menanamkan sebuah nilai yang amat buruk : etnis Tionghoa yang tidak
berasimilasi adalah kelompok yang buruk, eksklusif, tidak tahu diri, dll.
Rangkaian tindak rasial yang ada di Indonesia ini adalah kerja besar yang
harus diselesaikan pemerintah Indonesia. Dengan tindakan meratifikasi
CERD, maka pemerintah Indonesia seharusnya mengutuk semua daftar
pelanggaran rasial itu dan berusaha secepatnya melakukan upaya yang
memadai untuk mengubah keadaan itu. Setidaknya dapat kita tuliskan
beberapa langkah yang harus dilakukan segera :
1. Membentuk Undang-Undang Anti Diskriminasi Ras dan Etnis.
Undang- undang ini harus mengatur sanksi pidana bagi para pihak
yang melakukan tindakan rasis dan juga mengatur pencabutan semua
peraturan hukum yang diskriminatif;
2. Membubarkan dan menyatakan terlarangnya BKMC;
3. Membuat kurikulum pendidikan dan pola pengajaran yang baru yang
mengutamakan nilai anti diskriminasi dan penghargaan pada hak-hak
asasi manusia seperti tercantum dalam DUHAM;
4. Menyelidiki dan melakukan proses hukum yang baik terhadap semua
kasus kerusuhan dan kekerasan rasial yang telah terjadi.

Rangkaian tindakan ini jelas akan berdampak amat positif dan perlu
segera dilakukan. Mungkin di sini kita akan mendapat pelajaran langsung
mengenai lemahnya CERD. Tidak ada batasan kata ‘segera’. Entah setahun,
dua tahun atau lima tahun atau lima puluh tahun rangkaian usaha penghapusan
diskriminasi rasial akan dilakukan oleh pemerintah kita. Ratifikasi CERD
memang tidak cukup, perlu langkah-langkah perjuangan yang sistematis untuk
melawan diskriminasi rasial

Anda mungkin juga menyukai