Makalah Kel 6. Icerd
Makalah Kel 6. Icerd
Makalah Ini Di ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam dan HAM
Disusun Oleh:
FAKULTAS SYARIAH
2021
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menyadari bahwa sekarang ini dunia tetap saja dicengkram oleh adanya rasisme.
Rasisme belumlah hilang di dunia ini. Rasisme dalam sejarah perjuangan umat
manusia telah meninggalkan luka-luka yang dalam dan menimbulkan adanya
masyarakat yang semakin tidak bersahabat, bermusuhan dan saling menghancurkan.
Masalah Rasisme telah muncul hampir sama tuanya dengan peradaban manusia
dan tidaklah bertambah baik seiring kemajuan jaman. Kitab Suci telah mencatat
peristiwa rasialis yang terjadi di Tanah Mesir ribuan tahun yang lalu ketika bani Israel
diperbudak oleh bangsa Mesir, dimana Musa lantas memimpin bangsa Yahudi keluar
dari tanah Mesir menuju Israel. Ketika orang mengira bahwa masalah rasialisme telah
berkurang di jaman modern seperti sekarang ini, maka mata dunia dibuka oleh
banyaknya korban jiwa yang jatuh, sehingga baru disadari bahwa masalah rasisme
belumlah selesai, bahkan sampai hari ini ketika kita telah menjalani sebuah milenium
baru.
B. Rumusan Masalah
1. Kj
2. Juh
C. Tujuan
1. Hj
2. Jj
BAB II
PEMBAHASAN
A. ICERD
International Convention of the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination atau yang dapat disingkat menjadi ICERD merupakan salah satu
perjanjian internasional yang disusun dan disahkan oleh PBB. Sesuai dengan
bentuk perjanjian yang disematkan pada namanya, ICERD adalah sebuah
konvensi yang mengatur mengenai hal-hal yang penting dan resmi bagi
masyarakat internasional yang maka dari itu bersifat law-making treaty atau dapat
dijelaskan sebagai peraturan yang meletakan kaidah-kaidah hukum bagi
masyarakat internasional secara keseluruhan.
ICERD dapat dikatakan sebuah perjanjian yang bersifat law-making
treaty dan bukan bersifat treaty contract karena ICERD adalah perjanjian yang
meletakan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara
keseluruhan dan bukan hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan
perjanjian tersebut. Alasan yang mendasari kaidah-kaidah yang dikandung dalam
ICERD adalah pandangan bahwa diskriminasi rasial yang merupakan salah satu
tindakan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal
Declaration of Human Right dan dapat menjadi halangan terciptanya hubungan
antar negara dan antar manusia yang harmonis dan damai. Terlepas dari konvensi
yang memiliki sifat law-making treaty, ICERD tidak semata-mata mengikat
Indonesia ketika disahkan Teori yang dapat menjelaskan dasar pengikat
berlakunya ICERD pada Negara Indonesia adalah teori voluntaris yang mana
merupakan teori yang menjelaskan bahwa hukum internasional berlaku karena
adanya kehendak dari suatu negara untuk tunduk pada hukum internasional
tersebut.
Teori voluntaris apabila diletakan pada konteks maka akan sesuai dengan
fakta dimana Indonesia terikat oleh ICERD karena adanya kehendak dari Negara
Indonesia sendiri untuk tunduk pada hukum internasional tersebut dengan
dikeluarkannya persetujuan negara Indonesia untuk terikat setelah 34 tahun
ICERD disahkan oleh PBB. Pengesahan yang dilakukan Indonesia untuk terikat
pada ICERD adalah melalui aksesi yang menurut The Vienna Convention to the
Law of Treaties of 1969 merupakan pengesahan perjanjian internasional oleh
suatu negara yang tidak turut serta dalam perundingan atau pengesahan terhadap
perjanjian yang sudah disahkan terlebih dahulu. Pengesahan yang dilakukan
Indonesia bukan termasuk dalam ratifikasi karena Indonesia tidak mengikuti
perundingan dari ICERD dan meratifikasi ICERD setelah 34 tahun ICERD
disahkan.
Kehendak dari Negara Indonesia untuk tunduk pada hukum internasional
memerlukan tindakan aksesi karena Indonesia secara tidak langsung merupakan
bagian dari aliran dualisme. Aliran dualisme merupakan aliran yang menganggap
bahwa hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum
yang berbeda sehingga diperlukan transformasi dari hukum internasional menjadi
hukum nasional apabila hukum internasional tersebut ingin diberlakukan pada
hukum nasional. Penjelasan aliran dualisme tersebut sesuai dengan Negara
Indonesia yang melihat hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua
sistem hukum yang berbeda sehingga membutuhkan hukum internasional untuk
ber-“transformasi” ke hukum nasional untuk dapat berlaku pada Negara
Indonesia. “Transformasi” yang dimaksud dalam hal ini adalah dengan tindakan
pengesahan melalui Aksesi yang dilakukan oleh Indonesia. Pengesahan tersebut
menurut Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional merupakan perbuatan hukum untuk pengikatan diri pada
suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan, atau
persetujuan.
Pemerintah Indonesia dalam melakukan pengesahan perjanjian
internasional tidak hanya dengan sebuah pernyataan semata melainkan
menggunakan undang- undang atau keputusan presiden. Hal tersebut dilakukan
dengan dasar pada ketentuan Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dimana pengesahan perjanjian
internasional di Indonesia dilakukan melalui 2 peraturan yaitu melalui undang-
undang dan keputusan presiden dimana suatu perjanjian internasional akan
disahkan melalui undang-undang berdasarkan materinya apabila berkenaan
dengan materi sebagai berikut :
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; a.
Sedangkan perjanjian internasional Perubahan wilayah atau penetapan
batas wilayah negara Republik Indonesia;
b. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
c. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
d. Pembentukan kaidah hukum baru;
e. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri
Sejalan dengan ratifikasi menurut Edy Suryono yang memiliki dua arti
yaitu ratifikasi dalam arti internasional dan ratifikasi dalam arti konstitusional.
Indonesia telah mengesahkan ICERD dalam arti internasional pada tanggal 25
Mei 1999 dengan melakukan penandatanganan untuk terikat pada ICERD serta
telah mengesahkan ICERD dalam arti konstitusional melalui Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) dimana pada Pasal
1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa disahkannya ICERD dengan
Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 22. Pasal 22 yang disyaratkan oleh
Indonesia menyatakan bahwa sengketa antara dua atau lebih negara pihak
mengenai materi yang diatur dalam konvensi ini, apabila tidak dapat terselesaikan
melalui negosiasi atau prosedur yang secara tegas ditentukan dalam ICERD maka
atas permintaan pihak yang bersengketa dapat diajukan ke Mahkamah
Internasional untuk mendapat keputusan. Alasan dibalik reservasi yang dilakukan
Indonesia adalah Pasal 22 ICERD memungkinkan subjek yang menjadi pihak
dalam persengketaan diskriminasi rasial dapat mengajukannya untuk diadili di
hadapan Mahkamah Internasional. Hal tersebut berbeda dengan pendirian
Indonesia yang meyakini bahwa pengajuan persengketaan ke Mahkamah
Internasional hanya bisa dilakukan atas dasar kesepakatan seluruh pihak
Pengesahan ICERD oleh Indonesia adalah perwujudan aksi nyata dari Pasal 2
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menuliskan bahwa Presiden
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sepakat
untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pengesahan Indonesia atas ICERD dapat dikatakan mewakili kehendak Indonesia
untuk terikat dan menerima segala bentuk hak dan kewajiban yang dibebankan
oleh ICERD. Bentuk keterikatan Indonesia seharusnya dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan ICERD secara menyeluruh kecuali pasal yang disyaratkan
yaitu Pasal 22.
C. Penerapan Di Indonesia
Kajian terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All
Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965). Undang-Undang Nomor
29 Tahun 1999 tentang ratifikasi CERD ini lahir karena desakan yang kuat pada
pemerintah Indonesia baik dari dalam maupun luar negeri akibat terjadinya
kerusuhan Mei 1998. Peristiwa kerusuhan rasial Mei 1998 merupakan peristiwa
monumental yang memakan korban dalam jumlah amat besar, baik dari kaum
miskin kota maupun kelompok etnis Tionghoa. Protes, kecaman maupun desakan
yang amat kuat membuat pemerintah memutuskan meratifikasi Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.
UndangUndang ini ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1999 oleh B.J. Habibie
dan langsung diundangkan pada hari itu juga. Pemerintah Indonesia mendasarkan
pemikiran pentingnya meratifikasi konvensi ini pada beberapa pemikiran :
1. Bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat
martabat manusia serta menjamin semua WNI mendapat perlakuan
yang sama di muka hukum;
2. Bahwa Indonesia menghormati, menjunjung tinggi prinsip dan tujuan
Piagam PBB serta DUHAM;
3. Bahwa konvensi itu tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan RI.
Kalau kita mengkaitkannya dengan kenyataan di dalam praktek kehidupan
bernegara kita tentu akan langsung dengan mudah menemukan kontradiksi
kontradiksi. Misalkan pandangan yang sampai sekarang tetap menjadi perdebatan.
“HAM menurut barat dan HAM yang berdasar Pancasila”. Kedua istilah ini sama-
sama tidak jelas, tapi terus menjadi bahan perdebatan konyol bila sebuah kasus
pelanggaran HAM terjadi dan ada upaya membongkarnya. Atau kenyataan ironis
dari keberadaan puluhan peraturan rasial dalam sistem hukum positif Negara
Indonesia, atau kebijakan rasis yang sampai sekarang masih mendiskriminasi
warga negara berdasarkan ras atau etnisnya, keberadaan lembaga-lembaga
pelestari rasialisme atau stigmatisasi, dll. Namun bagaimanapun buruknya
pelanggaran rasial di Indonesia, kita patut mensyukuri telah diratifikasinya
konvensi ini.
Rangkaian tindakan ini jelas akan berdampak amat positif dan perlu
segera dilakukan. Mungkin di sini kita akan mendapat pelajaran langsung
mengenai lemahnya CERD. Tidak ada batasan kata ‘segera’. Entah setahun,
dua tahun atau lima tahun atau lima puluh tahun rangkaian usaha penghapusan
diskriminasi rasial akan dilakukan oleh pemerintah kita. Ratifikasi CERD
memang tidak cukup, perlu langkah-langkah perjuangan yang sistematis untuk
melawan diskriminasi rasial