Anda di halaman 1dari 2

Sejarah dan Makna Tari Tor-Tor

"Tor-tor" berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat
Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang.
Mengupas Sejarah dan Makna Tari Tor-TorTari Tor-tor dari Sumatra Utara,
ditampilkan saat ada ritual panen, kematian, dan penyembuhan. Wujudnya
mulai bertransformasi di wilayah perkotaan karena menjadi tontonan, tidak
semua yang melihatnya ikut terlibat.
Melimpahnya kebudayaan Indonesia terlihat dari beragamnya bentuk
pertunjukan, tarian, alat musik, dan pakaian. Bukan hal mudah untuk
menciptakannya karena harus mencurahkan akal budi dan daya upaya
masyarakat suatu wilayah. Wajar jika kemudian terjadi perdebatan panjang
saat Tari Tor-tor dan Gordang Sembilan (Gondang Sembilan) dari Mandailing,
Sumatra Utara, dinyatakan akan menjadi hak cipta Malaysia.
Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga, kata "Tor-
tor" berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak.
Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga berirama mengentak.
"Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan
pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui," kata
Togarma kepada National Geographic Indonesia, Selasa (19/6).
Pesan ritual itu, lanjut Togarma, ada tiga yang utama. Yakni takut dan taat
pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang
Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang
masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir
dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.
"Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa.
Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur,"
imbuh mantan pengajar Seni Rupa dan Desain di Universitas Trisakti, Jakarta
itu.
tari tortor,sumatra utaraTari Tor-tor dari Sumatra Utara. Tarian ditampilkan
dengan maksud membangkitkan jiwa yang ada dalam diri manusia. (Feri Latief)
Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah
Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau
menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada
pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.
Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di
upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi
ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang
hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.
Memang belum ada buku yang mendeskripsikan rekam sejarah Tari Tor-tor
dan Gondang Sembilan. Namun, ditambahkan oleh Guru Besar Tari Universitas
Indonesia Edi Sedyawati, sudah ada pencatatan hasil perjalanan di zaman
kolonial yang mendeskripsikan Tari Tor-tor.
Meski demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga
mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh
pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.

Gondang Sembilan
Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga
Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah
gendang yang ditabuh.
Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena
gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak
Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua
buah gendang.
Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya
dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir
sama dengan besar bedug yang ada di masjid. "Ada kesejajaran dengan agama
Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug."
Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang
onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair
tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. "Senandungnya sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh komunitas peminta acara," imbuh Togarma.
Sayangnya keindahan budaya Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan ternoda
dengan kurangnya penghargaan. Sulit mencari pihak yang mau membiayai
pagelaran budaya ini, terutama di Ibu Kota.

Anda mungkin juga menyukai