Anda di halaman 1dari 3

Melawan Ketimpangan Daerah Lewat Zonasi Sekolah

Saat ini mungkin bukan bulan yang tepat untuk berbicara mengenai zonasi sekolah. Yang mana
memang sudah kadung lekat dengan momen Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang biasanya
diadakan pada bulan Juni atau Juli tiap tahunnya. Namun zonasi sekolah selalu tetap menarik untuk
dibicarakan terutama jika menyangkut fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya.

Demo orangtua murid yang memprotes kebijakan zonasi sekolah dan klarifikasi kementerian
terkait selalu mewarnai berita-berita media masa nasional pada bulan Juni-Juli setiap tahunnya. Padahal
ada fenomena sosial lain yang juga terkait zonasi sekolah namun bisa dibahas tanpa harus menunggu
bulan Juni atau Juli. Yaitu ketimpangan.

Pendapatan merupakan komponen yang dihitung dalam Indeks Gini yang merupakan alat ukur
ketimpangan suatu negara. Data terbaru dari World Income Inequality Database (WIID) bulan Mei 2020,
ketimpangan pendapatan di Indonesia berada pada angka 35,8% atau berada pada kategori rendah. Hal
ini sebenarnya masih diragukan.

Indeks Gini diukur dengan memperhitungkan pendapatan relatif terhadap jumlah penduduk.
Pendapatan bisa berupa net income atau pun gross income. Namun untuk kasus Indonesia, pendapatan
dalam perhitungan Indeks Gini menggunakan pengeluaran. Hal ini diantaranya disebabkan oleh faktor
psikologis manusia yang masih sungkan menjawab jika ditanya mengenai pendapatannya. Namun cara
perhitungan tersebut bukan tanpa kekurangan.

Menyamakan pendapatan dengan pengeluaran bisa mengakibatkan Indeks Gini menjadi bias.
Pendapatan orang miskin mungkin bisa disamakan dengan pengeluarannya, karena orang miskin
cenderung akan menghabiskan seluruh pendapatannya untuk pengeluaran. Namun akan sangat
berbeda jika diterapkan kepada orang kaya, yang memiliki pendapatan yang lebih besar.

Orang kaya cenderung akan menabungkan sedikit pendapatannya dan sisanya digunakan untuk
konsumsi atau dengan kata lain tidak semua pendapatannya digunakan untuk pengeluaran. Hal inilah
yang membuat pengukuran indeks gini menggunakan pengeluaran penduduk mempunyai kemungkinan
akan menjadi bias. Sekarang mari kita coba hubungkan ketimpangan dengan zonasi sekolah.
Sebelumnya mari kita lihat terlebih dahulu tujuan dari zonasi sekolah yang digagas oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak tahun 2017. Dilansir dari laman kemendikbud.go.id,
zonasi sekolah mempunyai beberapa tujuan.

Adapun beberapa tujuan tersebut diantaranya adalah menjamin pemerataan akses layanan
pendidikan bagi siswa; mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan
eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri; membantu analisis perhitungan
kebutuhan dan distribusi guru.

Poin menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa inilah yang bisa digunakan
untuk melawan ketimpangan daerah. Semakin mudah seseorang dalam mengakses layanan pendidikan
maka akan semakin besar pula peluang orang tersebut untuk meningkatkan pendapatannya. Namun
sayangnya di Indonesia, orang miskin masih kesulitan dalam mengakses layanan pendidikan.

Salah satu kesulitan orang miskin sulit mengakses pendidikan terlihat pada saat PPDB. Jika PPDB
masih menggunakan sistem berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN) maka anak dari keluarga miskin
hampir dapat dipastikan tidak akan berdaya menghadapi anak dari keluarga mampu dalam
memperebutkan bangku sekolah. Hal ini disebabkan karena anak dari keluarga mampu berpeluang
mempunyai nilai UN yang lebih tinggi karena orangtuanya akan memberikan tambahan belajar berupa
les atau bimbel di luar jam sekolah yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh orangtua dari keluarga
miskin. Sehingga tidaklah mengherankan anak dari keluarga miskin lebih banyak yang bersekolah di
sekolah berkualitas rendah dan membayar biaya sekolah yang relatif lebih mahal.

Kondisi tersebut diperparah dengan tidak meratanya penyebaran sekolah negeri di daerah-
daerah. Kemendikbud pada Rapat Koordinasi Nasional terkait PPDB Sistem Zonasi yang diadakan KPAI
pada tanggal 5 September 2019 di Jakarta menyampaikan bahwa setidaknya ada 1.375 kecamatan di
Indonesia yang tidak memiliki sekolah menengah negeri dan 394 kecamatan yang tidak memiliki
SMP/MTs Negeri. Sejalan dengan temuan Kemendikbud, Litbang Kompas pada Diskusi Media tanggal 27
November 2019 di Lembaga Administrasi Negara memaparkan kondisi sebaran SMP di Kota Bogor yang
ternyata hanya mampu melayani 37,65% dari keseluruhan wilayah Kota Bogor, dengan kata lain sebesar
62,35% wilayah Kota Bogor tidak terlayani oleh SMP-SMP yang ada di Kota Bogor.

Keadaan ini akan semakin mempersulit orang miskin, padahal lewat pendidikanlah peluang
orang miskin untuk meningkatkan pedapatannya akan semakin besar. Tanpa kemudahan akses
pendidikan maka mereka akan selamanya terjebak dalam kemiskinan. Penelitian yang telah
dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) tahun 2019 menunjukkan,
pendapatan anak- anak miskin setelah dewasa 87 persen lebih rendah dibanding mereka yang sejak
anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin. Lantas, bagaimana pemerintah daerah bisa memanfaatkan
sistem zonasi pada PPDB untuk mengurangi ketimpangan? Sistem Zonasi memungkinkan anak keluarga
miskin semakin mudah mengakses layanan pendidikan. Pada sistem zonasi, PPDB tidak lagi
mengutamakan nilai UN sebagai komponen utama diterima tidaknya peserta didik dalam PPDB.

Sistem zonasi lebih memprioritaskan jarak sekolah dengan tempat tinggal peserta didik,
sehingga peluang anak dari keluarga miskin menjadi lebih besar. Hal ini akan mempengaruhi
pendapatan mereka di masa depan. Dan secara tidak langsung mempengaruhi tingkat ketimpangan di
Indonesia. Karena itu, salah satu upaya untuk mengatasi ketimpangan di Indonesia melalui zonasi
sekolah diperlukan sinergitas antara pemerintah pusat yang diwakili oleh kemendikbud dan pemerintah
daerah yang diwakili dinas pendidikan sehingga implementasi zonasi sekolah pada PPDB menjadi
gerakan yang saling bersinergi dan seirama antara pusat dan daerah.

Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, pemerintah daerah sebelum Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) mengenai PPDB diterbitkan, melakukan
pendataan terkait ketersediaan sekolah negeri di daerahnya disinkronisasikan dengan data jumlah anak
usia sekolah yang berada dalam zona sekolah tersebut. Sejak Permendikbud dikeluarkan tahun 2017
sampai sekarang, pemerintah daerah sepertinya belum mensinkronisasikan kedua data tersebut.
Sehingga pada saat pelaksanaan PPDB, terlihat ada sekolah yang kewalahan menerima pendaftar dan
ada sekolah yang sepi peminat. Sinkronisasi kedua data tersebut bisa digunakan oleh pemerintah daerah
untuk menentukan zona dari satu sekolah sehingga secara optimal bisa menampung anak usia sekolah
di sekitarnya.

Kedua, pemerintah pusat memberikan relaksasi terhadap regulasi yang terkait pembangunan
sekolah baru oleh pemerintah daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pembangunan
dan bisa segera dimanfaatkan oleh pemda untuk menampung anak usia sekolah di daerahnya.

Ketiga, dilakukan pembagian tanggungjawab perjenjang oleh pemerintah, untuk jenjang PAUD
sampai SMP/sederajat tanggungjawab diserahkan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten, jenjang
SMA/sederajat oleh Pemerintah Provinsi, sementara jenjang PT kepada Pemerintah Pusat. Sehingga
pendidikan anak akan terjamin dari tingkat PAUD sampai tingkat PT.

Keempat, pemerintah pusat dan daerah bekerjasama untuk meningkatkan peringkat


kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia agar banyak investor yang datang dan
membuka banyak lapangan pekerjaan di Indonesia. Hal ini dilakukan agar lulusan-lulusan baru di
Indonesia dapat tertampung dan tidak menjadi pengangguran.

Empat usul diatas diharapkan dapat semakin mempermudah orang miskin dalam mengakses
layanan pendidikan, yang pada akhirnya akan memperbesar peluang mereka mendapatkan pendapatan
yang lebih baik. Akibatnya, distribusi pendapatan Indonesia lebih merata dan menurunkan ketimpangan.

Anda mungkin juga menyukai