Buku Geomorfologi Lengkap
Buku Geomorfologi Lengkap
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS MATARAM
KATA PENGANTAR PENULIS i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR v
TINJAUAN UMUM MATA KULIAH GEOMORFOLOGI DAN 1
ANALISIS BENTANG LAHAN
BAB 1. PENDAHULUAN 3
1.1. Definisi dan Ruang Lingkup 3
1.2. Geomorfologi dan Ilmu Tanah 4
1.3. Prinsip Dasar Geomorfologi 5
1.4. Konsep Uniformitarianisme 9
BAB 2. STRUKTUR KERAK BUMI 11
2.1. Kerak Bumi 11
2.2. Konsep Isostasi 13
2.3. Proses Pembentukan Kulit Bumi 14
2.4. Litosfir 16
2.4.1. Pembentukan dan Evolusi Pegunungan 17
2.4.2. Pengangkatan - Pelipatan (Fold) dan Sesar
(Fault) 18
BAB 3. RELIEF BUMI 25
3.1. Pengertian Relief 25
3.2. Kharakteristik Relief Permukaan Bumi 25
3.3. Bentang Lahan dengan Bentuk Relief Order II 27
BAB 4. BENTANG LAHAN 43
4.1. Proses Geomorfik Pembentukan Bentang Lahan 43
4.2. Pelapukan 45
4.2.1. Pelapukan Kimiawi 47
4.2.2. Pelapukan Fisik 49
4.2.3. Pelapukan Biologis 50
4.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Pelapukan 51
Gambar
5.2. Lubang pot pada sungai Goerge, New York dan Flunge Pool 69
di sungai Columbia sebagai tanda sungai masih dalam tahapan
muda (PUSPICS-UGM, 1999).
5.3. Proses pembentukan dataran banjir dan proses lain yang terkait 71
(Daniels dan Hammer, 1992).
5.4. Berbagai pola drainase yang umum dijumpai (Thornbury, 72
1969).
5.5. Tiga delta: arcate, estuarin, dan cakar burung (PUSPICS- 75
UGM, 1999).
5.6. Contoh delta tipe cakar burung (PUSPICS-UGM, 1999). 76
5.7. Proses pembentukan teras sungai (PUSPICS-UGM, 77
1999).
6.1. Sebaran gunung api di Indonesia (Pidwirny, 2006) 79
6.2. Ilustrasi bagaimana terjadinya letusan gunung api di tengah sa- 81
mudra. Di sebelah kiri, air dalam gelas beaker dipanaskan.
Molekul air yang panas memuai (BJ berkurang) bergerak ke
atas dan yang dingin ke bawah, dan seterusnya silih-berganti.
Hal tersebut identik dengan yang terjadi di perut bumi. Pening-
katan tekanan magma menyebabkan terjadinya terobosan mag-
ma ke permukaan litosfir (terjadi erupsi) (Pidwirny, 2006)
6.3. Kegiatan gunung api di daerah batas/pertemuan lempeng tek- 81
tonik divergen dan konvergen. Pada batas lempeng tektonik
divergen, lempeng tektonik dipisahkan (menjauh satu-sama
lain) oleh terobosan magma di tengah samudra. Hal sebaliknya
(konvergen), lempeng tektonik pecah/hancur dan satu bagian
berada di atas yang lain (subduction) (Pidwirny, 2006).
6.4. Contoh tipe gunung api scorio (a) G. Mauna Kae di Hawai, se- 84
belah kiri dan (b) G. La Poruna di Nicaragua, (c) G. Anak
Krakatau, dan (d). G. Bromo (latar belakang berasap adalah G.
Kawi).(Sumber: untuk gambar (a) dan (b) SDUS, 2006; (c)
dan (d) www.Wikipedia.org., 2006)
6.5. Contoh tipe gunung api shield (SDUS, 2006) 84
6.6. Stratifikasi pada gunung api tipe stata (SDUS, 2006) 85
6.7. Gunung Semeru – Jawa Timur (kiri) dan Rinjani – NTB (ka- 85
nan), sebagai contoh gunug api tipe strato di Indonesia
(www.Wikipedia.org. , 2006)
6.8. Kawah G. Kelut di Jawa Timur (kiri) dan G. Tambora di P. 86
Sumbawa (kanan) (Www.Wikipedia.org., 2006)
6.9. Jajaran sistim pit craters (Photo oleh Vic Camp., dimuat dalam 87
www.PhysicalGeography.net)
6.10. Jenis produk yang dihasilkan oleh letusan gunung api (Pidwir- 88
ny, 2006)
6.11. Contoh aliran lava basaltik (A dan B) dan andesitik (C dan D) 89
(Pidwirny, 2006)
BAB 1
PENDAHULUAN
Geomorfologi berasal dari kata “geo” yang berarti bumi dan “morphos”
yang berarti rupa atau bentuk. Dalam banyak literatur, terdapat bebeberapa
pengertian yang agak berbeda mengenai definisi geomorfologi, sehingga
cakupannya sedikit berbeda pula, seperti di sitir di bawah ini.
1. Geomorfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk
permukaan bumi (Thornbury, 1969).
2. Ilmu yang mempelajari proses-proses perubahan permukaan bumi (dis-
course on the earth) (Thornbury, 1069).
3. Ilmu yang mempelajari pembentukan permukaan bumi yang ada di da-
ratan maupun di lautan (Cooke dan Doornkamp, 1978).
4. Cabang ilmu fisiografi dan geologi yang mempelajari batuan permuka-
an, yaitu mengenai (a) konfigurasi permukaan bumi, (b) perubahan
yang terjadi di pada bentuk lahan (Daniels dan Hammer, 1992).
5. Interpretasi yang alamiah tentang pembentukan dan perkembangan ben-
tuk lahan dan bumi (Thornbury, 1969).
6. Studi yang mendiskripsikan secara sistematis tentang bentuk lahan dan
proses geomorfik yang mempengaruhi pembentukannya, hubungan an-
tara bentuk lahan dengan proses geomorfik dalam dimensi ruang
(Twidale, 1975).
7. Ilmu yang mempelajari bentuk lahan yang ada di permukaan bumi, baik
di bawah maupun di atas permukaan laut, dengan penekanan pada pro-
ses pembentukannya (genesa) dan prediksi perkembangan pada masa
yang akan datang dalam hubungannya dengan lingkungan (Verstappen,
1979).
Dari berbagai pengertian yang telah diungkapkan di atas dapat disarikan
bahwa geomorfologi mempelajari 4 aspek kajian penting, yaitu:
1. Morfografi, membahas pemerian (describe) aspek geomorfik (bentuk)
suatu daerah.
2. Morfometri, membicarakan aspek kuantitatif ukuran suatu daerah.
3. Morfostruktur, membahas proses dinamik endogen atau tektonisme, li-
patan, dan sesar (morfostruktur aktif), dan litologi (morfostruktur pasif),
keduanya mengenai tipe dan struktur batuan dalam kaitannya dengan
pelapukan dan erosi.
4. Morfodinamik, membahas proses dinamik eksogen (gaya dari luar bu-
mi), yaitu aktivitas angin, air, es, gerakan masa batuan dan volkanik.
Dalam buku ajar ini, geomorfologi secara sederhana didefinisikan seba-
gai cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari bentuk atau rupa permuka-
an bumi, proses pembentukan, dan karakteristik dari bentuk muka bumi ter-
sebut. Selain garis besar aspek teori, pembahasan akan lebih ditekankan pa-
da aplikasi dari geomorfologi dalam bidang pertanian, khususnya dikaitkan
dengan kegiatan evaluasi sumberdaya lahan yang didasarkan pada hubung-
an antara bentang lahan dengan sifat tanah dan potensi sumberdaya lahan,
dalam rangka pembangunan bidang pertanian dalam arti luas.
relatif terhadap tempat lain, karena proses geomorfik yang bekerja pada
tempat yang berbeda tersebut tidak sama intensitasnya).
3. Geomorphic processes leave their distinctive imprint upon landform and each geo-
morphic process develops its own characteristic assemblage of landform (Proses
geomorfik meninggalkan bekasnya (imprint) pada bentang lahan, dan
setiap proses geomorfik menghasilkan kharakteristik yang unik dan
menjadi penciri dari bentang lahan yang dihasilkannya).
Kita ambil contoh dua bentang lahan yang ekstrim, yaitu bentang
lahan daerah perbukitan dan dataran banjir. Erosi yang terjadi di daerah
perbukitan yang berlereng curam, menghasilkan gully erosion (alur
yang tajam dan dalam, irisan melintangnya berbentuk seperti huruf V).
Bentuk alur tersebut menunjukan telah terjadi penggerusan tanah oleh
agen erosi (air) secara vertikal yang intensif, sebagai akibat dari gerak-
an air limpasan yang cepat (energi tinggi) pada lereng yang curam. Se-
baliknya, erosi di daerah yang relatif datar (yaitu daerah dataran banjir)
menghasilkan alur yang dangkal tetapi lebar, berkelok-kelok (pola me-
ander). Karakteristik itu menunjukan telah terjadinya erosi ke arah la-
teral yang lebih dominan daripada yang ke arah vertikal. Jadi, proses
erosi di kedua bentang lahan tersebut tetap membekas pada bentang
lahan yang terbentuk melalui proses itu.
4. As the different erosional agents act upon the earth’s surface, there is produced an
orderly sequence of landform (Agen erosi yang berbeda bekerja pada permu-
kaan bumi menghasilkan bentang lahan yang tampak secara berurutan
dan teratur).
Erosi oleh air limpasan akan menghasilkan bentang lahan dimana
terjadi erosi, transportasi, dan deposisi pada posisi lereng yang teratur
(berurutan). Erosi oleh angin menghasilkan bentang lahan yang diciri-
kan oleh cekungan dan gundukan partikel debu dan pasir dengan urutan
sesuai dengan arah dan kecepatan agen erosi (angin). Kedua erosi
dengan agen erosi yang berbeda tersebut dapat saja terjadi di daerah
yang sama, jika di daerah itu pernah terjadi perubahan iklim yang eks-
trim. Bentang lahan yang terbentuk oleh hasil kerja dari kedua agen
erosi itu akan tampak secara berurutan, sesuai dengan waktu kejadian
dan intensitasnya.
5. Complexity of geomorphic evolution is more common than simplicity (Evolusi
geomorfik umumnya bersifat kompleks dan jarang bersifat sederhana).
Kondisi alami permukaan bumi sebagian besar merupakan hasil
dari banyak kejadian alami yang menyebabkan terjadinya proses geo-
morfik yang berbeda pada suatu bentang lahan, baik terjadi dalam wak-
tu bersamaan maupun bergantian. Misalnya, erosi, tekanan tektonik
yang menghasilkan suatu patahan atau angkatan, gempa, dan pergeser-
an lapisan tanah, menghasilkan proses pembentukan dan perkembangan
bentang lahan yang kompleks. Proses yang kompleks itu lebih banyak
dijumpai daripada yang sederhana.
6. Little of the earth’s topography is older than tertiary and most of it is not older
than Pleistocene (Hanya sebagian kecil topografi di permukaan bumi
yang lebih tua dari masa tertier dan sebagian besar tidak lebih tua dari
masa Pleistocene).
Masa Tertiary adalah 1,6 – 65 juta tahun yang lalu sebelum masehi
(SM), sedangkan masa Pleistocene adalah sekitar 1,6 juta tahun yang
SM. Jadi, sebagian besar bentang lahan yang ada sekarang jarang yang
sangat tua, berdasarkan umur geologis.
7. Proper interpretation of present-day landscapes is impossible without full appre-
ciation of the manifold influences of the geologic and climatic changes during the
pleistocence (Interpretasi secara tepat tentang landscapes yang ada saat ini
tidak akan mungkin dilakukan tanpa pemahaman yang mendalam me-
ngenai pengaruh perubahan geologi dan iklim dalam masa pleistocene).
8. An appreciation of world climates is a necessary to a proper understanding of
varying importance difference of geomorphic processes (Pemahaman iklim glo-
bal diperlukan untuk dapat memahami keragaman penting yang terjadi
dari perbedaan proses geomorfik).
9. Geomorphology, although concern with present-day landscapes, attains its maxi-
mum usefulness by historical extension (Meskipun geomorfologi lebih
memperhatikan pada bentang alam yang ada saat ini, manfaat maksi-
mum dapat diperoleh jika melalui pemahaman historis).
BAB 2
STRUKTUR KERAK BUMI
Dalam bab ini dibahas secara ringkas tentang beberapa aspek geologi
fisik dengan maksud agar pemahaman tentang bentang lahan atau bentang
alam lebih mudah, karena pembentukan dan perkembangan bentang lahan
sangat dipengaruhi oleh proses geofisik dan struktur geologi. Beberapa con-
toh proses geofisik dikemukakan dalam bab ini untuk menjelaskan bagai-
mana suatu proses yang berkaitan dengan evolusi bumi mempengaruhi ben-
tang lahan yang terbentuk dan berkembang.
plastis. Istilah lapisan litosfir mencakup lapisan crust + mantle bagian atas
(Gambar 2.2).
Kulit luar bumi (crust )
Kulit dalam bumi (mantle )
Lithosfir 100 km
Gambar 2.2. Struktur crust dan lapisan bagian atas mantle (dimodifikasi
Pidwirny, 2006).
Bahan pada inti bumi (core) terdiri dari Ni dan Fe, dapat dibagi menjadi
dua lapisan, yaitu (1) lapisan bagian luar inti bumi (outer core) yang
ketebalannya + 2.250 km, BJ + 11 dan bersifat cair, dan (2) lapisan bagian
dalam inti bumi (inner core), radiusnya + 1.220 km, berupa padatan
dengan BJ + 13.
Jika dianomalikan seperti medium cair dan terdapat benda yang BJ-nya
lebih kecil (yaitu daratan), maka bagian kulit (daratan) yang tipis tersebut
seolah-olah terapung di atas bagian bumi yang berat (mantle). Karena
tipisnya lapisan kerak bumi bagian luar yang sedang kita pijak ini, jika
terjadi gerakan di bagian dalam bumi (mantle), maka bagian yang tipis
tersebut akan mudah terpengaruh dan mengalami perubahan bentuk. Feno-
mena seperti inilah yang menyebabkan terbentuknya beraneka-ragam ben-
tang lahan yang dapat kita saksikan sekarang.
B).
Crust
C).
Crust
Perbukitan
Dataran tinggi
Crust daratan
Crust daratan
Litosfir Litosfir
Bahan crust juga dapat dihasilkan melalui aktivitas intrusif dan extrusif
(plutonik) batuan beku, seperti diilustrasi pada Gambar 2.5. Berbeda dengan
crust daratan yang secara aktif terbentuk dari berbagai aktivitas gunung api
di tengah samudra (Gambar 2.6). Bahan letusan gunung api (magma) yang
terjadi di tengah samudra menyebar merata dan menjauh dari pusat letusan.
Karena proses tersebut, dapat ditemukan batuan yang berumur makin tua ke
arah menjauh dari zone letusan. Jika crust samudra bertemu dengan crust
daratan, maka crust samudra akan masuk ke bagian bawah crust daratan,
karena BJ crust daratan lebih tinggi daripada crust samudra.
2.4. Litosfir
Litosfir adalah bagian dari kerak bumi yang posisinya antara dasar crust
dengan bagian atas mantle, di atas bagian mantle yang plastis; ketebalannya
sekitar 100 m. Gerakan oleh gaya tektonik, atau perubahan geologik yang
terjadi di litosfir, sangat penting kaitannya dengan proses pembentukan ben-
tang lahan pegunungan dan munculnya bentuk lipatan/angkatan (fold) dan
sesar (fault). Dalam sub bab ini akan dibahas bentang lahan pada ketiga
struktur geologi tersebut.
kel tersebut terlepaskan dari masa batuan melaui proses pelapukan, kemudi-
an dipindahkan oleh proses erosi ke tepian daratan (lihat Gambar 2.8 dan
2.9). Di ujung daratan, endapan tersebut dapat membentuk batuan berlapis
(shale), batu kapur, dan batu pasir. Akumulasi batuan volkanik terbentuk di
sepanjang batas konvergensi, dimana penetrasi (subdution) lempeng tekto-
nik menyebabkan magma tertekan dan nenerobos keluar membentuk pluton
(titik volkanik/sumber magma) dan gunung api. Gunung api yang terbentuk
biasanya berjajar, disebut deretan pulau volkanik (island arc). Batuan
volkanik juga dapat berubah menjadi endapan batu pasir (sandstone).
Crust samudra
SEBELUM TUBRUKAN kuno
Ujung lempeng India
Lempeng
Eurasia
Lempeng India
umur 2,5 juta tahun
Titik kontrol/ref
SESUDAH TUBRUKAN
Pengangkatan Himalaya
Pengangkatan Lempeng Tibet
Titik kontrol/ref
Lempeng India
Deret Perbukitan
(belt) Crust Daratan
Erosi permukaan
dan sesar blok
B. Tahap pengaktanan
Mantel isostatik dan sesar blok
Pengangkatan isostatik
Gambar 2.9. Setelah tahapan orogenik, pelapukan dan erosi mulai memin-
dahkan material dari permukaan pegunungan yang baru terbentuk. Pemin-
dahan masa batuan tersebut menyebabkan daratan dimana pegunungan
berada menjadi berkurang bobotnya dan bagian ujung crust mulai menga-
pung lebih tinggi dalam mantel. Tekanan balik isostatik ini menyebabkan
pengangkatan dan tekanan ke atas karena pergerakan dari crust mengahsil-
kan sesar normal dan graben (digambar ulang dari Pidwerny, 2006).
a. Lipatan-angkatan antiklin
b. Lipatan-angkatan sinklin
d. Lipatan-angkatan recumbent
a. Sesar normal
b. Sesar graben
c. Horst fault
Gambar 2.11. Beberapa macam sesar (digambar ulang dari Pitwerny, 2006)
yang lain (Gambar 2.11- b). Horst fault terbentuk dari dua reverse fault
yang me-nyebabkan suatu blok batuan tedorong ke atas (Gambar 2.11- c).
Tipe utama dari sesar adalah sesar lurus atau sesar transform, yaitu sesar
yang secara alami tampak tegak, dihasilkan oleh tekanan paralel.
BAB III
RELIEF BUMI
tersebut terjadi, maka akan terdapat tiga kelompok besar atau order relief di
permukaan bumi, yaitu:
1) Relief order I: benua dengan paparan dan cekungan samudra
2) Relief order II: pegunungan, dataran tinggi, dan dataran rendah.
3) Relief order III: perbukitan, lembah, ngarai.
Sangat Muda
Muda
Dewasa
Tua
undak-undak, karena kerasnya lava dan adanya sesar. Mata air pa-
nas, sesar, dan kerucut gunung api, dapat pula berasosiasi dengan
plateau lava.
Plateau tersesarkan atau plateau terganggu (broken or wraped
plateau) adalah plateau yang kebanyakan mengalami gangguan
oleh sesar, lipatan, atau bahkan berubah dan terintrusi. Beberapa
contoh plateau antara lain plateau Colorado dan plateau Missouri
(AS), beberapa pateau dari pegunungan selatan Jawa, plateau Su-
kodana (Lampung).
Kondisi awal
Muda
Dewasa
Tua
drag lain yang dibentuk oleh sesar dapat naik membentuk hog-
backs.
5). Igneous hogbacks, terbentuk oleh lapisan sill atau lensa batuan beku
di sekitar lakoklit. Batuan tersebut yang menerobos lapisan batuan
sedimen yang lunak, dan setelah pengikisan dapat membentuk hog-
backs.
6). Burried hogbacks, merupakan bukit hogbacks yang terpisah satu
sama lain oleh adanya endapan aluvial yang tebal dan extensif di
sekitarnya.
Aspek geografi kubah. Inti kubah yang terdiri dari batuan kristalin
sering dimanfaatkan sebagai sumber logam. Penambangan garam sering
dijumpai pada kubah garam. Jika tidak berpotensi akan mineral, inti
kubah yang bertekstur kasar sering merupakan daerah hutan, sekaligus
merupakan daerah tadah hujan. Bagian berlereng terjal dari hogbacks
sebaiknya dihutankan untuk mencegah longsor dan untuk tujuan kon-
servasi air.
Daerah luar dari kubah, karena adanya perulangan lapisan keras dan
lunak sering, merupakan perangkap air artesis atau minyak bumi.
Awal
Muda
Dewasa
Tua
Muda
Dewasa
Tua
Gambar 3.6. Tahapan perkembangan pegunungan lipatan (fault mountain)
(PUSPICS-UGM, 1999)
BAB 4
BENTANG LAHAN
Degradasi
Eksogen
Agradasi
Volkanisme
PROSES
Endogen
GEOMORFIK
Diastropisma
Ektraterestrial
Gambar 4.1. Diagram proses geomorfik pembentukan bentang lahan.
4.2. Pelapukan
Magma
Bentang
Proses tektonik lahan
struktural
Pengerasan
Batuan
Perombakan
Pelapukan batuan (fisik, Bentang
kimia, biologi) lahan
l k
Pecahan/debris
Pengikisan, Bentang
Bahan endapan pengangkutan oleh lahan
dari erosi agen erosi erosional
Muatan bahan
endapan
Bentang
Pengendapan Pengendapan oleh lahan
air, angin, es pengendap-
pelapukan fisik pada batuan yang tersusun atas berwarna-warni butiran da-
pat terjadi dengan kecepatan dan arah yang berbeda-beda pada batas batuan
itu, sehingga menimbulkan ketidak-stabilan batuan tersebut.
Pembasahan-pengeringan batuan dapat menyebabkan pecahnya batu-
an. Proses itu berkaitan dengan jumlah molekul air yang berada di ruang an-
tara pertikel penyusun bongkah batuan/mineral. Meningkatnya ketebalan la-
pisan molekul air menimbulkan tekanan yang makin besar. Proses itu dapat
dipercepat apabila terjadi pula pelarutan natrium sulfat dalam batuan itu.
Sebagian besar batuan beku terbentuk di bawah permukaan bumi de-
ngan tekanan dan temperatur lebih tinggi daripada di permukaan bumi. Ka-
rena terjadinya erosi di lapisan atas kulit bumi, batuan tersebut dapat mun-
cul di permukaan bumi yang tekanan udaranya lebih rendah daripada di ba-
gian dalam bumi. Penurunan tekanan itu dapat menyebabkan pecahnya ba-
tuan ke arah horizontal. Intensitas penghacuran tersebut makin tinggi de-
ngan makin dekatnya batuan ke permukaan bumi.
Labil
Olivin
Augit Plagioklas-Ca
Plagioklas-Ca-K
Hornblende Plagioklas-k, Ca
Plagioklas-k
Biotit
Felspat Alkali
Muskovit
Stabil Kwarsa
terbentuknya mineral kaolin dan feldsfar selama pelapukan, dan (3) pe-
lepasan tekanan selama terjadinya erosi.
ALIRAN
GLASIER
OMBAK/ARUS
ANGIN
GLASIER
Gambar 4.5. Kenampakan relief order II, bentang lahan destruksional oleh
berbagai gaya eksogen (PUSPICS-UGM, 1999).
TAHAPAN MUDA
TAHAPAN DEWASA
TAHAPAN TUA
TAHAPAN PEREMAJAAN
Gambar 4.8. Bekerjanya aliran air dan kecepatan aliran masa batuan
(PUSPICS-UGM, 1999).
BAB V
BENTANG LAHAN FLUVIAL
tanah di daerah bagian lereng atas yang terbentuk dari bahan induk batuan,
bergerak turun akibat aliran air dan gaya gravitasi bumi.
Fakta lapangan menunjukan bahwa sebagian besar bahan endapan (flu-
vial) berasal dari aliran air yang berkelok-kelok (meadering stream) atau
dari kipas aluvial (alluvial fan). Material endapan itu merupakan bahan in-
duk penting dalam pembentukan tanah, karena bahan itu terdapat di berba-
gai posisi sistem lahan. Walaupun bahan fluvial sangat kompleks, sampai
batas tertentu dapat diprediksi sifat dan asalnya berdasarkan anasir bahan
hasil sedimentasi.
Pegunungan dome dengan aliran konsekuen (C), subsekuen (S), obsekuen (O),
dan resekuen (R)
nampang melintang berbentuk V dengan tebing yang terjal dan dalam, serta
jarak antar satu sungai dengan sungai yang lain sangat jauh. Selanjutnya,
kondisi aliran biasanya sangat kuat dan mampu mengangkut bahan yang
terkitis sehingga tidak memberikan peluang untuk terjadinya pelapukan ter-
hadap bahan yang dideposisikan. Pada sungai muda, bahan yang ditranspor-
tasikan dan dideposisikan biasanya menutupi seluruh dasar lembah dengan
maupun tanpa dataran banjir, kadangkala dijumpai air terjun. Variasi batuan
yang ada menyebabkan gradien sungai tampak tidak teratur. Kadang-ka-
dang ditemui danau pada daerah depresi asal (initial depression). Aliran
sungai biasanya cepat dan airnya jernih. Potholes dan rock channel sering
dijumpai pada dasar sungai, seperti dapat dilihat pada Gambar 5.2. Ciri ben-
tukan seperti itu menunjukan kondisi sungai pada tahapan muda.
Selanjutnya, hubungan antara kemampuan untuk memindahkan beban
yang relatif besar yang dinyatakan dengan kekuatan ukuran beban yang di-
gerakan dan kecepatan transportasi telah dijelaskan hubungan tersebut pa-
da Gambar 4.5. Secara rinci kemampuan aliran sungai dalam hubungannya
dengan kecepatan aliran sungai dan ukuran bahan yang mampu dipindahkan
dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Hubungan antaran kecepatan aliran air dan ukuran (diameter)
butir beban yang dapat diangkut oleh aliran sungai.
but dapat terputar oleh arus dan menggerus lubang yang dilewatinya selama
dalam perjalanan aliran, kemudian membentuk potholes, dan pada dasar air
terjun terbentuk plunge pools. Representasi uraian tersebut di atas dapat di-
lihat pada Gambar 5.2.
Untuk sungai pada tahapan muda yang umumnya terdapat di daerah pe-
gunungan, dengan kondisi morfologi yang terjal dan gradien yang besar,
serta arus yang cepat, maka banyak air terjun yang mempunyai beberapa
manfaat dari aspek geografi penting, seperti pembangkit tenaga listrik, sum-
ber air minum, dan kadang-kadang untuk media transportasi dan atraksi pa-
riwisata (arum jeram). Dengan sifat dan karakteristik tersebut di atas, su-
ngai pada tahapan muda di daerah hulu banyak terjadi longsoran, runtuhan,
dan erosi hulu yang memerlukan pemantauan (monitoring) dan upaya per-
ingatan dini (early warning). Pembuatan check dam dan terrassering serta
penghutanan dan penghijauan, merupakan upaya untuk menanggulangi
dampak kurang menguntungkan dari besarnya tenaga yang dihasilkan oleh
aliran air permukaan pada sungai muda.
Pada sungai yang telah mencapai tahapan dewasa, gradien sungai bia-
sanya berkurang, ditandai dengan punggung sungai mulai landai sehingga
kecepatan aliran sungai mulai berkurang sehingga tidak lagi mampu meng-
angkut bahan hasil kikisan yang ukurannya relatif besar. Pada tahapan ini,
daya erosi vertikal berkurang dan terjadi pengendapan. Air terjun jarang
dijumpai pada sungai tahap dewasa. Bahan yang diendapkan biasanya
mengalami pelapukan yang lebih intensif dan dinding lembah lebih landai.
Secara visual, jarang dijumpai adanya singkapan batuan segar, dan dasar
sungai biasanya melebar yang memacu terbentuknya dataran banjir (flood
plain).
Dalam proses evolusinya, sebuah sungai dapat mencapai keseimbang-
an, kuantitas bahan tererosi dan pengendapan setara. Sungai yang demikian
mempunyai penampang yang seimbang. Perubahan keadaan yang terjadi
Gambar 5.2. Lubang pot pada sungai Goerge, New York dan Flunge Pool
di sungai Columbia sebagai tanda sungai masih dalam tahapan muda
(PUSPICS-UGM, 1999).
Gambar 5.3. Proses pembentukan dataran banjir dan proses lain yang terkait
(Daniels dan Hammer, 1992).
struktur batuan. Beberapa pola drainase yang banyak dikenal adalah dendri-
tik, retanguler, trelis, radial, anular (Gambar 5.4).
Pola drainase dendritik atau sering disebut pola aliran seperti batang
pohon dengan cabangnya yang mengalir ke semua arah, dan akhirnya me-
nyatu di induk sungai. Pola drainase seperti ini terjadi pada daerah dengan
struktur batuan yang homogen, misalnya seperti batuan granit, atau lapisan
batuan sedimen horizontal.
Pola drainase retangular biasanya terbentuk pada cabang sungai yang
berbelok-belok dan bersambung, membentuk sudut hampir tegak lurus. Pola
aliran retangular banyak terdapat pada bentang lahan dengan struktur
geologi kekar dan sesar yang juga berpola berpotongan tegak lurus.
Pola drainase trelis berpola seperti bentuk pagar tralis. Pola aliran trelis
merupakan ciri sungai yang terbentuk pada daerah pegunungan lipatan de-
ngan kemiringan besar. Biasanya, sungai yang besar mengikuti singkapan
batuan yang lebih lunak. Sungai subsekuen dengan cabang sungai obseku-
en/dan resekuen di sebelah kiri dan kanan sungai besar. Sungai yang ada
dapat saja memotong arah struktur utama karena terjadinya superposisi da-
lam proses pembentukannya.
Pola drainase radial umumnya terjadi pada bentang lahan pegunungan
kubah pada tahap muda dan dewasa. Sungai yang terbentuk biasanya tipe
konsekuen yang sentrifugal dari suatu puncak. Pada cekungan struktural da-
pat pula terbentuk pola drainase radial yang sentripetal ke tengah cekungan.
Pola drainase anular merupakan pola aliran yang terbentuk pada daerah
kubah struktural yang telah terkikis (dewasa), sungai besarnya mengalir
melingkar mengikuti struktur batuan dan bagian yang lunak. Sungai itu
umumnya jenis sungai subsekuen. Dengan demikian, pola aliran anular me-
rupakan variasi dari pola aliran trelis.
5.5 Delta
Jika tidak mampu lagi mengangkut bahan yang dibawanya karena ber-
kurangnya kecepatan atau karena kehilangan volume aliran, sungai akan
mengendapkan bebannya di daratan. Hal itu biasanya terjadi pada lekukan
lereng, sisi dalam meander, pertemuan antara dua aliran sungai, dan pada
perubahan gradien yang tajam. Tetapi, pengendapan juga akan terjadi jika
sungai mengalir ke danau atau laut. Daratan yang terletak antara dua aliran
sungai besar sering menjadi daerah rawa, karena air yang meluap tidak da-
pat kembali ke dalam sungai, terhalang oleh tanggul alam. Jika aliran su-
ngai masuk bertemu laut, maka dapat terbentuk daratan dari hasil pengen-
dapan bahan yang terbawa oleh aliran sungai, dan daratan itu disebut delta.
Bentuk delta dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain bentuk dan
gradien sungai, besarnya beban, serta kekuatan dan arah arus laut. Contoh
pembentukan dan perkembangan beberapa macam delta disajikan pada
Gambar 5.5 dan 5.6.
Delta arcuate, berbentuk convek (cembung) ke arah laut, dibatasi pegu-
nungan/bukit di daerah hulu dan samping. Beban sungai terdiri dari fraksi
kasar dan sedikit bahan suspensi, dan bersifat porus. Contoh delta arcuate
Gambar 5.5. Tiga delta: arcate, estuarin, dan cakar burung (PUSPICS-
UGM, 1999).
antara lain delta Gangga, Irawadi, dan delta Mekong. Estuarine filling,
berbentuk memanjang pada daerah endapannya. Misalnya delta Elbe, Seine,
Loire, dan Hunson. Bird’s fost delta, berbentuk seperti cakar ayam, terjadi
dari sungai utama yang kemudian bercabang-cabang melebar ke laut,
misalnya Delta Mississippi. Hal itu terjadi karena adanya penyumbatan pa-
da sumbu arus. Daerah antara dua cabang sungai pada delta itu umumnya
berupa rawa. Arah pengembangan delta banyak dipengaruhi oleh arah arus
pantai, angin, dan iklim. Beban yang diendapkan umumnya halus.
BAB 6
BENTANG LAHAN DAERAH GUNUNG API
Proses dan bentuk gunung api sangat erat kaitannya dengan jenis mag-
ma, batuan, atau bahan erupsi yang membentuk bentang lahan daerah
gunung api dan sekitarnya. Karena sebagian besar tanah mineral terbentuk
dari batuan (vulkanik), aspek pertanian, khususnya tingkat kesuburan tanah
pada bentang lahan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat batuan hasil
erupsi tersebut.
Tabel 6.1. Tipe dan bentuk gunung api utama (Pidwirny, 2006)
Tipe Kubah Scorio (Scorio Cone) (Gambar 6.4), dikenal pula sebagai
cinder cone, merupakan tipe gunung api yang paling umum dijumpai dan
terkecil, tingginya umumnya kurang dari 300 m. Tipe ini dapat terbentuk
terpisah di ladang lava basaltik, dan monogenetik (hanya terbentuk dari se-
kali erupsi besar). Contoh gunung api jenis ini di Indonesia adalah kom-
pleks gunung api Bromo dan Anak Krakatau.
Tipe gunung api berlapis (shield volcanous), landai dan melebar dengan
gambaran dasar beragam dari beberapa km sampai > 100 km (Gambar 6.5).
Bentuk ini dihasilkan oleh ekstrusi lava basalt yang sangat encer, menyebar
merata dari puncak gunung api ke arah samping menuruni lereng yang gu-
nung api yang landai.
gunung itu. Banyak gunung api di Indonesia yang termasuk dalam tipe
strato (misalnya G. Rinjani, Agung, Semeru, Merapi, dan G. Kawi).
Gambar 6.6. Statifikasi pada gunung api tipe stata (SDUS, 2006)
Gambar 6.7. Gunung Semeru – Jawa Timur (kiri) dan Rinjani – NTB
(kanan), sebagai contoh gunug api tipe strato di Indonesia
(Www.Wikipedia.org., 2006)
Selain dari ketiga tipe gunung api yang umum (Tabel 6.1), ada dua tipe
gunung api penting, yaitu tipe gunung api subordinat dan hidrovolkanik. Pa-
da tipe subordinat, lava dan tepra dapat dikeluarkan dari mulut gunung api
(vent), tetapi tidak ada kaitannya dengan pembentukan sistim kubah di seki-
tar vent. Tipe kubah di sekitar vent yang berkaitan dengan proses hidrovol-
kamik juga menghasilkan struktur gunung api yang khas.
6.2.2. Kaldera
Ketika erupsi terjadi, volume magma dalam dapur magma (magma
chamber) bekurang sehingga terdapat rongga di bawah vent gunung api.
Adanya rongga tersebut menyebabkan runtuhnya dinding gunung api ke
dalam rongga tersebut, sehingga terbentuk cekungan yang terjal yang dise-
but kaldera. Ukuran kaldera sangat beragam (diameternya 1 – 100 km), dan
dapat dibedakan dengan mudah terhadap lubang puncak (summit crater)
yang ukurannya lebih kecil sebagai hasil letusan melalui mulut di puncak
gunung api (central vent). Kaldera felsik dikelilingi oleh lapisan tebal batu
apung (fumice) dari aliran bahan piroklastik.
Kaldera yang terbentuk dari hasil runtuhnya dinding gunung api tipe
strato menghasilkan kaldera seperti danau (lake type caldera). Kaldera ter-
dalam adalah pada G. Mazama di Oregon USA yang terbentuk pada letusan
yang terjadi sekitar 6850 tahun yang lalu (Pidwirny, 2006), kedalaman
airnya mencapai 600 m dan dinding di atas air itu juga sekitar 600 m.
Kaldera semacam itu tentu dihasilkan dari letusan gunung api yang keku-
atannya luar biasa besarnya, sehingga mampu mengeluarkan magma dalam
volume sangat besar. Danau Toba di Sumatra merupakan resurgent caldera
terbesar di dunia, tetapi tidak dapat dikategorikan seperti halnya lake type
caldera.
Contoh menarik lainnnya tentang kaldera pada gunung api strato adalah
kaldera (kawah) gunung Kelut di Jawa Timur dan Tambora di P. Sumbawa
(Gambar 6.8).
Gambar 6.9. Jajaran sistim pit craters (Photo oleh Vic Camp., dimuat dalam
www.Physical Geography.net)
Gambar 6.10. Jenis produk yang dihasilkan oleh letusan gunung api
(Pidwirny, 2006)
Dari segi volumenya, sebagian besar aliran lava terdiri atas bahan basal-
tik. Lelehan basaltik mengandung sedikit gas dan lebih cair (fluiditas tinggi)
daripada bahan andesitik sampai rhyolit. Fluiditas yang tinggi tersebut ber-
kaitan dengan rendahnya kadar SiO2. Jika gas keluar dari lelehan basaltik ti-
dak menimbulkan tekanan yang terlalu besar, sehingga erupsi yang terjadi
lebih tenang dan tidak explosif. Berbeda dengan magma felsik, gerakan gas
ke atas terhalang oleh magma felsik yang viscositasnya (kelekatan) tinggi.
Hal tersebut menyebabkan terbentuknya tekanan gas yang tinggi sehingga
erupsinya sangat explosif diikuti dengan penghamburan bahan piroklastik.
Gambar 6.11 adalah contoh aliran lava basaltik dan lava andesitik.
Lava basaltik umumnya dapat membentuk aliran yang tipis dan luas,
permukaannya halus. Sebaliknya, lava andesitik menghasilkan aliran batuan
lava yang tebal, berbongkah, sehingga permukaan yang dihasilkan tampak
kasar. Terbentuknya bongkahan tersebut disebabkan oleh viskositas lava
andesitik yang tinggi, sehingga ketebalnya mencapai ratio (ketebalan/luas)
> 1/100; dan dalam beberapa kasus dapat membentuk kubah lava (lava
domes). Lava andesitik biasanya berasal dari gunung api tipe strato.
(A) (B)
(C)
(C)
Gambar 6.11. Contoh aliran lava basaltik (A dan B) dan andesitik (C dan
D) (Pidwirny, 2006)
Makin tinggi kadar SiO2 dan polimernya, maka makin tinggi pula vis-
kositas lava. Meskipun lava dasitik sampai rhyolitik dihasilkan dari tipe gu-
nung api strato, keduanya tidak sebanyak lava andesitik. Erupsi bahan felsik
dari gunung api strato umumnya explosif disertai dengan pembentukan
aliran tepra dan bahan piroklastik, berkadar gas tinggi pada magma dasitik
dan rhyolitik.
banyak tempat di gali untuk bahan baku bangunan. Tufanya yang bersifat
hidrantik sering digunakan sebagai tras semen (cement trass).
Selain manfaat yang banyak seperti telah dijelaskan di atas, aktivitas
gunung api juga banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Bencana gunung api sangat tergantung pada sifat letusan dan morfologinya
(tipe gunung api). Beberapa bencana yang dapat timbul antara lain berupa
aliran lava, jatuhan bahan piroklastik secara langsung, aliran lahar (dingin
maupun panas), hembusan awan panas dan gas beracun (CO, CO2, H2SO4,
HCL, HF, dan HBr), dan longsoran. Longsoran tanah sering terjadi pada
tebing terjal di daerah lereng gunung api tua dengan tahapan erosi dewasa
(Misalnya di G. Manglayang – Larantuka/Flores, G. Marapi - Sumatra
Barat, G. Ciremai - Jawa Barat).
(masam, kadar SiO2 > 70 %) yang juga banyak dikeluarkan oleh gunung api
tipe shield mengandung sedikit Ca, Mg, dan unsur hara mikro, tetapi kaya
unsur K. Dari penjelasan umum itu dapat disimpulkan bahwa daerah di
sekitar gunung api tipe scorio dan strato relatif lebih subur daripada daerah
di sekitar gunung api tipe shield. Tentu saja kesimpulan ini tidak mutlak,
karena bahan batuan atau lava yang dikelaurkan oleh aktivitas suatu gunung
api serta pola sebarannya bahan itu sangat beragam.
Hal penting lain yang menentukan kesuburan relatif daerah sekitar gu-
nung api adalah sejarah letusan (frekuensi dan besar-kecilnya erupsi) serta
pola penyebaran bahan volkanik. Salah satu contoh yang tampak jelas per-
bedaannya dari segi kesuburan tanah adalah antara daerah Kab. Lombok
Timur dengan Kab. Lombok Barat bagian utara (Kec. Gangga sampai Ba-
yan) NTB. Bahan volkanik yang terlempar ke Lombok Timur lebih bersifat
basaltik, sedangkan yang ke Lombok Barat bagian utara adalah bahan vol-
kanik ringan (batu apung) yang bersifat silisius (kadar silikat tinggi) dan
masam. Terlepas dari kondisi iklim yang berbeda antara kedua wilayah
tersebut, lahan pertanian di Kab. Lombok Timur lebih subur daripada di
Kab. Lombok Barat bagian utara.
BAB 7
GEOMORFOLOGI DAERAH KARST
Kawasan karst biasanya dicirikan oleh tata air yang didominasi oleh
aliran air di bawah permukaan tanah. Biosfer kawasan karst dicirikan oleh
adanya jenis tumbuhan tertentu, baik yang hidup di permukaan maupun di
kegelapan gua. Tumbuhan dapat hidup di kawasan karst karena kawasan itu
kaya unsur kalsium dari batu gamping. Pada daerah tropika basah, seperti di
Indonesia, pembentukan tanah di kawasan karst memerlukan waktu yang
sangat lama. Sebagai contoh, untuk pembentukan tanah setebal 1 m diperlu-
kan pelarutan batu gamping setebal 25 m selama 250 - 750 tahun (Yuan,
1983). Maka dapat diperkirakan telah seberapa lama waktu proses itu terja-
di untuk menghasilkan kawasan karst yang memiliki tanah setebal 3 m dan
menghasilkan bentang lahan eksokart dan endokarst.
Dengan demikian air yang mengalir melalui lorong gua dapat dianggap
sebagai sungai utama, dan percabangan yang ada mengalir melalui celah
dan retakan batuan. Sebagian kecil air yang bergerak melalui ruang antar-
butir (vadose seepages) batuan karbonat dan retakan sempit (vedose tric-
kles) di kenal sebagai air perkolasi. Air perkolasi dapat dianalogikan de-
ngan aliran difuse, mengalir lambat dan bertindak sebagai “cadangan” air
sungai bawah tanah pada musim kemarau. Air perkolasi di kawasan karst
bergerak dengan kecepatan yang beragam, terganrung dari derajat karstifi-
kasi dan keadaan jaringan sistem celah-retakan yang ada. Di bawah permu-
kaan tanah, di jalur epikarstik, dapat terbentuk tempat penampungan semen-
tara yang disusun oleh saluran dan jaringan retakan atau celah yang luas.
Pada musim hujan, jalur epikarstik mendapat tambahan air yang mengalir
melalui saluran, sedangkan pada musim kemarau dari air perkolasi. Tam-
pungan air yang demikian dikenal sebagai akuifer epikarstik (Bonnaci,
1997).
Sistem celah-rekahan pada gua di kawasan karst dapat disamakan de-
ngan sungai utama dan percabangannya. Air di dalam masa batuan karbonat
dapat dianalogikan dengan aliran difuse, sehingga keduanya akan bertindak
sebagai reservoir untuk menambah air sungai bawah tanah pada musim ke-
marau. Selisih jumlah air yang masuk dan yang keluar merupakan jumlah
air yang tertampung di kawasan karst.
Neraca air kawasan karst tergantung pada jumlah air yang masuk dan
ke luar. Kemampuan batuan dalam sistem rekahan-celah-gua untuk me-
nyimpan air tergantung pada jenis litologi, ketebalan masing-masing lapisan
batugamping, kesarangan dan porositas batuan primer dan sekunder, serta
kerapatan kekar. Hidrologi karst yang bersifat dinamis secara bertahap akan
mengalami perubahan akibat pelebaran sistem celah-retakan. Perubahan
yang sifatnya drastis biasanya disebabkan oleh kegiatan tektonik. Menge-
ringnya air telaga secara serempak akibat runtuhnya lorong gua di bawah-
nya merupakan contoh dari pengaruh kegiatan tektonik.
Menurut Bonnaci (1997), keadaan di dalam akuifer epikarstik itu seo-
lah-olah menangguhkan aliran air perkolasi, sehingga pada saat terjadi
hujan lebat, jalur epikarstik mengalami banjir ke arah hilir, kecepatan air di
saluran utama semakin besar, sehingga air terdesak masuk ke dalam akuifer
epikarstik. Air yang terdesak itu semula terjadi di bagian yang paling deras
arusnya, yaitu di bagian hilir sungai bawah tanah, di dekat pemunculannya
di permukaan (mata air). Secara perlahan, air yang terdesak berpindah ke
arah hulu. Jika celah atau retakan dalam akuifer epikarstik tidak mampu
menampung air yang melimpah, maka akan terjadi arus balik. Fenomena ini
sangat penting dalam memahami hidrodinamika karst, karena arus balik dan
turbulen akan menyebabkan retakan menjadi semakin lebar. Akibatnya, ke-
mampuan akuifer epikarstik dalam menampung dan menahan air hujan
makin besar.
Pada musim kemarau, yang merupakan perioda aliran lambat, akuifer
epikarstik menyalurkan air perkolasi ke dalam saluran utama, dari hulu
hingga hilir. Pada musim kemarau yang panjang, secara berangsur-angsur
akuifer epikarstik mengering. Pengisian kembali akuifer tersebut dalam
sistem hidrologi karst membutuhkan waktu berbulan-bulan. Proses peng-
isian kembali terjadi secara progresif, dan tidak mungkin disebabkan oleh
hujan lebat yang terjadi hanya beberapa kali pada permulaan musim hujan.
Selama permulaan musim hujan, air mengisi retakan akuifer epikarstik,
sebelum mengalir ke dalam saluran utama. Ko (1997) berpendapat bahwa
pada saat itu mungkin saja terjadi banjir di dalam gua, terutama jika air ma-
suk melalui lubang, misalnya pada gua-tembus (though cave).
Pada suatu kawasan karst, subsistem akuifer epikarstik tidak hanya ter-
dapat di satu bagian saja, tetapi di beberapa tempat, tergantung pada jenis
litologi, keadaan stratigrafi, dan derajat karstifikasi. Semua subsistem yang
ada akan berhubungan dengan saluran utama, sebelum berakhir pada suatu
mata air karst.
Penelitian berbagai jenis akuifer karst dilakukan berdasarkan mekanis-
me dan dinamiska sistem masukan (input) dan luaran (output). Usaha itu
dilakukan melalui analisis hidrograf pada mata air karst (Bonnaci, 1997).
Hidrograf sumber air karst merupakan gambaran integral dari jaringan ce-
lah-retakan yang menampung dan menyalurkan air ke mata air yang ada.
Bentuk kurva hidrograf air yang terekam untuk suatu mata air menggam-
barkan tanggapan akuifer terhadap masukan air. Bentuk kurva dan kecepat-
an air akan menginformasikan sifat penampungan dan struktur akuifer yang
menyalurkan air ke mata air yang ada. Analisis hidrograf yang bersifat ku-
antitatif akan menjadi lebih lengkap jika disertai dengan analisis kualitatif
air (kemograf).
Di bagian dalam karst, baik pada jalur jenuh, freatik, maupun jalur pe-
nuh air, juga terdapat akuifer. Akuifer ini disusun oleh jaringan celah, retak-
an, dan gua, yang saling berhubungan dan dipenuhi air sepanjang tahun.
Jalur ini juga membentuk subsistem tersendiri, memiliki aliran lambat dan
cepat di dekat saluran utama.
Selain itu perlu juga dipahami bahwa pada batugamping berongga, apa-
lagi jika sudah membentuk sistem perguaan, aliran air berubah menjadi tur-
bulensi. Pipa atau saluran yang yang dilalui arus turbulen setidaknya mem-
punyai garis tengah lebih dari 1 cm (Atkinson, 1977). Perubahan sifat fisik
batugamping, misalnya pelebaran sistem rekahan atau atau celah, akan
mengubah sistem hidrologi karst secara drastis. Pelebaran retakan atau ce-
lah pada lapisan batugamping mampu meningkatkan kelolosan air sampai
10.000 kali dari nilai kelulusan primer. Jika terjadi sistem gua, kelolosannya
lebih besar lagi, yaitu hingga sekitar 107 kali kelolosan asli.
Keberadaan tanah (tebal, jenis), vegetasi (jumlah, jenis) dan topografi
kawasan karst cenderung mempengaruhi proses peresapan air ke dalam ta-
nah. Hubungannya dengan topografi, air akan lebih mudah meresap di dae-
rah lekukan seperti dolina, uvala, dan lembah. Pada lereng pebukitan yang
terjal, air hujan mengalir sebagai air permukaan. Di dalam sistem kapiler
batuan, peresapan air dihambat oleh gelembung udara yang ada di dalam
celah dan retakan sempit oleh endapan biogenik, seperti humus dan bahan
organik lainnya, atau oleh lumpur, pasir, kerikil, dan akar tumbuhan. Pere-
sapan juga mengalami hambatan pada saat hujan lebat, yaitu ketika akuifer
epikarstik sudah jenuh atau daya salur sistem sifon yang ada terlampaui, se-
hingga terjadi arus balik yang cukup kuat. Gejala seperti itu antara lain
terjadi pada sistem aliran S. Suci, luweng Glatikan, Gelung, dan Grubug, di
daerah Gunung Sewu (Samodra, 1996).
Proses geologi, misalnya pengikisan dasar lembah yang dialiri oleh su-
ngai permukaan, atau pengangkatan akibat gaya tektonik, cenderung me-
nyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah. Proses tersebut menyebab-
kan celah, retakan, dan lorong yang semula dialiri air, berangsur-angsur
atau mendadak kering, membentuk lorong fosil. Air mengalir melalui sis-
tem celah atau lorong baru yang letaknya lebih dalam. Sistem celah-retakan
dan lorong baru itu sebenarnya sudah ada sebelumnya, yaitu sebagai lapisan
yang terdapat porositas dan permeabilitas primer, berkembang pada jalur
jenuh air dan jalur di bawah muka air bawah tanah. Di satu sisi, kegiatan
tektonik akan menciptakan retakan baru yang dianggap memperlancar ge-
rakan air di dalam lapisan batuan. Di sisi lain, kegiatan itu menjadi pemicu
terjadinya proses peruntuhan lorong gua, sehingga celah menjadi lebih sem-
pit dan lintasan airpun berubah arah. Pada musim hujan, air akan memban-
jiri seluruh akuifer karst yang ada. Lorong fosil atau celah yang sebelumnya
kering terisi kembali. Di permukaan terbentuk mata air baru, atau mata air
yang berpindah tempat. Limpahan air yang tidak tertampung menyebabkan
timbuknya arus balik, sehingga air mengisi semua lorong dan celah kering
yang ada.
Daya tampung juga meningkat pada lorong baru yang terbentuk akibat
pembajakan sungai bawah tanah (underground river pirating) (Atkinson,
1977). Keadaan ini secara khusus terjadi pada lorong berair yang berbelok-
belok (meandering). Pelarutan yang memperbesar lorong sering diikuti de-
ngan peruntuhan dinding dan atap lorong. Proses peruntuhan yang menye-
babkan lorong menjadi makin lebar karena lapisan batuan mengalami pe-
ngurangan daya dukung. Pelebaran ini bahkan dapat membentuk ruangan
besar di bawah tanah, sehingga daya tampung air menjadi jauh lebih besar
dibanding keadaan semula. Luapan air ketika banjir juga membawa bera-
gam jenis dan ukuran sedimen asal luar, yang selanjutnya diendapkan dida-
sar lorong atau di dalam retakan batuan. Proses ini menimbulkan akibat se-
baliknya, yaitu mengecilnya daya tampung air.
BAB VIII
GEOMORFOLOGI DAERAH PANTAI
Pada dasarnya, sifat dan keadaan geormopologi suatu wilayah tidak me-
ngenal batas teritorial negara. Tidak ada pemisahan antara geormorfologi
darat dan laut. Namun, secara fisik dapat dilihat bahwa wilayah darat ditu-
tupi oleh media udara, walaupun pada beberapa tempat tertutup oleh media
air, seperti daerah rawa, danau dan sungai; sedangkan laut dan lautan tertu-
tup oleh media air. Perbedaan lain adalah dalam segi proses perubahan yang
terjadi pada wilayah itu, misalnya yang berkaitan dengan proses erosi,
transportasi sedimen, dan pelapukan sedimentasi.
8.1. Pantai
Berdasarkan proses pembentukannya (genesa), pantai dapat diklasifi-
kasikan menjadi (1) pantai submergence, (2) pantai emergence, (3) pantai
netral, dan (4) pantai campuran (compound).
1) Pantai submergence.
Pantai submergence terbentuk jika muka air laut menggenangi dae-
rah dataran. Pada awal terbentukan daerah pantai (tahapan muda) bia-
sanya tidak teratur, banyak teluk dan lembah yang tenggelam. Dasar
laut juga tak teratur dan terdapat lembah dan bukit tua yang telah ada
sebelumnya. Proses selanjutnya, gelombang mulai mengkikis lebih da-
lam di bagian yang lemah, membentuk gua pantai (sea caves). Selan-
jutnya, sering terjadi longsoran karena proses pengikisan kaki tebing.
Akibat pengikisan lanjut dan pengendapan terbentuk spites, dan
8.3. Delta
Sebuah delta terdiri dari kumpulan endapan yang berasal dari daratan
(fluvial sediment) pada muara sebuah sungai. Sejumlah bahan endapan
yang dibawa oleh air sungai lebih besar jumlahnya dibanding dengan bahan
endapan yang sudah terendapkan dan disapu lagi oleh arus atau ombak laut-
an. Suatu keseimbangan antara masukan bahan endapan dari sungai dengan
dinamika penerimaan sedimen di sebuah lingkungan pengendapan, secara
terus-menerus dibentuk oleh regime sedimen yang berhubungan langsung
dengan variasi proses pembentukan pesisir pantai dengan kuantitas masuk-
an sedimen lebih besar ke dalam lingkungan endapan pantai tersebut.
sarana transfortasi dan (2) berbagai kenala teknis dan ekologis yang harus
dipertimbangkan.
Dari aspek geomorfologi, daerah pasang surut terbentuk melalui proses
pengendapan bahan aluvial yang dibawa oleh aliran sungai, kemudian dien-
dapkan di sekitar muara sungai itu. Karena adanya air pasang dari laut, ma-
ka aliran air sungai itu tertahan, bahkan berbalik arah (ke hulu). Luapan air
sungai mengarah ke samping, sehingga terbentuklah rawa di sepanjang alur
sungai di dekat muara. Proses itu diikuti dengan pengendapan partikel halus
(clay) dan terjadi terus-menerus dalam waktu geologis sehingga meng-
hasilkan areal rawa pasang surut yang luas.
Seperti tampak pada Gambar 8.1, karena kondisi reduktif daerah rawa
memungkinkan terbentuknya tanah organik (gambut). Selain itu, senyawa
sulfat dari air tawar (sungai) maupun air laut dapat membentuk senyawa
kompleks sulfida dengan logam polivalen (Fe, Al, Mn) melalui proses
biokimia dalam kondisi reduktif. Hasil akhir pembentukan senyawa sulfidik
yang umum dijumpai adalah pirit (FeS2).
Jika tanah organik tersebut terbentuk pada cekungan (sungai tua), maka
akan terbentuk tanah organik yang dalam, bisa mencapai lebih dari 2 m, dan
kurang subur. Hal itu dikarenakan bahan organik yang tertimbun berasal
terutama dari tanaman air, mengambil unsur hara hanya dari air dan udara,
sehingga relatif miskin hara. Sebaliknya, tanah organik yang dangkal ter-
bentuk dari sisa tanaman yang tumbuh pada tanah mineral (endapan) yang
kaya unsur hara, perakarannya dapat menjangkau unsur hara dari tanah mi-
neral lebih dalam. Tanah organik yang umumnya direkomendasikan untuk
diusahakan sebagai lahan pertanian adalah yang tebalnya < 50 cm.
Tanah pasang surut yang mengandung senyawa sulfidik (pirit) pada po-
sisi dangkal umumnya tidak direkomendasikan untuk dibuka, karena pada
kondisi oksidatif (berhubungan langsung dengan atmosfir), pirit akan terok-
sidasi menghasilkan asam sulfat sehingga tanah menjadi sangat masam.
Berkaitan dengan hal tersebut, pembuatan konstruksi saluran drainase juga
harus mempertimbangkan kemungkanan terjadinya oksidasi pirit tersebut.
Bahan tanah sulfidik (sulfat masam potensial) harus dipertahankan dalam
kondisi reduktif (tergenang), sehingga tidak teroksidasi menjadi sulfat ma-
sam aktual.
BAB 9
KLASIFIKASI DAN ANALISIS
BENTANG LAHAN
suatu bentang lahan dipilah lebih rinci berdasarkan relief, kelerengan, dan
litologinya.
Pada sistim klasifikasi untuk LREP-II, bentang alam (landscape) di su-
atu kawasan dibagi menjadi 10 kelompok utama bentang lahan (landforms)
Selanjutnya, kelompok utama dibagi lagi menjadi beberapa sub kelompok
berdasarkan sifat masing-masing sub kelompok dan sub sub kelompok (li-
hat Tabel 9.1a – 9.1c).
Pada Tabel 9.1a – 9.1c tampak bahwa pembagian unit bentang lahan
atau unit lahan cukup detail, sesuai dengan keperluan penggunaan sistim
tersebut untuk survai dan pemetaan tanah pada tingkat semi detail. Untuk
survai dan pemetaan tanah pada tingkat tinjau, tentu saja tidak perlu dilaku-
kan klasifikasi sedetail itu, mungkin sampai kategori kelompok utama su-
dah cukup, seperti yang dilakukan dan dilaporkan oleh Desaunettes (1997)
untuk sistim lahan di Nusa Tenggara dan Maluku.
Tabel 9.1a. Kelompok Utama (order) pada sistim klasifikasi bentang lahan
LREP-II dan uraian penjelasan ciri dan sifatnya
Tabel 9.1c. Pembagian lebih rinci dari sub kelompok berdasarkan unit ben-
tuk wilayah (relief) pada sistim klasifikasi bentang lahan LREP-II
Kemungkinan kelas kombinasi yang lain masih dapat disusun berdasarkan unit
yang telah disebutkan di atas.
Unit Lereng
1. Bentuk Lereng
vs Lereng cembung
ss Lereng lurus
cs Lereng cekung
xs Lereng tak teratur
ts Lereng diteras
Apabila tidak disebutkan, biasanya dianggap bahwa lereng bagian atas
adalah cembung, lereng tengah lurus, dan lereng bawah adalah cekung, se-
dangkan kaki lereng bisa cekung atau lurus.
2. Kelas Lereng
Aspek lereng yang penting adalah derajat kemiringannya yang dinyatakan
dengan satuan persen (%). Klasifikasinya sebagai berikut:
1) Untuk lereng tunggal :
A 0–3% Datar
B 3–8% Agak landai
C 8 – 15 % Landai
D 15 – 25 % Agak curam
E 25 – 40 % Curam
F 40 – 60 % Sangat curam
G > 60 % Terjal
2) Kemungkinan kelas kombinasi :
AB 0 – 8 % Datar dan agak melandai
BC 3 – 15 % Agak melandai dan melandai
CD 8 – 25 % Melandai dan agak curam
DE 15 – 40 % Agak curam dan curam
EF 25 – 60 % Curam dan sangat curam
FG > 40 % Sangat curam dan terjal
3. Panjang Lereng
Panjangnya suatu lereng perlu diketahui, antara lain untuk keperluan
pendugaan besarnya erosi yang dapat terjadi. Apabila tidak dilakukan
pengukuran, perkiraan panjangnya suatu lereng perlu dilakukan. Klasifikasi
panjangnya lereng adalah sebagai berikut:
Bahan Induk
Bahan induk dapat berupa bahan plutonik, volkanik, sedimen, metamorfik, alu-
vium atau organik.
Tingkat Torehan
Suatu aspek penting yang sangat berkait dengan bentuk wilayah/relief, kondisi
bentang lahan, dan pengelolaan lahannya, adalah keadaan atau tingkat torehan (dis-
section) yang disebabkan oleh erosi yang telah terjadi dan saat sekarang. Tingkat
torehan ini dapat diklasifikasi secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
1. Klasifikasi tingkat torehan secara kualitatif berdasarkan Desaunettes (1977)
adalah sebagai berikut :
a. Sedikit tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air (interfluves)
lebar dengan gullies dangkal
b. Agak tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air agak lebar
dan gullies agak dalam.
c. Tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air sempit dan gullies
dalam.
d. Sangat tertoreh, dicirikan oleh adanya punggung (ridges) sempit dan
gullies sangat dalam dan sangat banyak.
2. Klasifikasi tingkat torehan secara kuantitatif mengikuti Strahrer (1964)
berdasarkan panjangnya alur drainase per satuan luas, sebagai berikut:
Pola Drainase
Jaringan anak sungai yang terbentuk secara alami sangat ditentukan oleh
kondisi strata batuan yang ada. Jaringan sungai/anak sungai tersebut yang dikenal
dengan nama pola drainase (drainage pattern) dengan demikian dapat memberikan
informasi tentang sifat batuan/strata di bawahnya. Oleh karena itu, setiap landform
mempunyai pola drainase masing-masing, karena landform sangat ditentukan oleh
keadaan dan sifat strata batuannya. Beberapa pola drainase utama adalah :
BAB X
APLIKASI GEOMORFOLOGI
yang sangat diperhatikan, karena hal tersebut berkaitan dengan faktor kese-
lamatan bangunan itu sendiri dan utamanya bagi pengguna sarana tersebut.
Banyak bentukan alam yang unik dan dihasilkan oleh proses geomorfik,
misalnya kawasan pantai, pegunungan, dan karst (gua), menjadi daya tarik
wisatan. Hal itu menunjukan bahwa geomorfologi telah diterapkan pula da-
lam pengembangan daerah wisata.
Dalam dua dasa warsa terakhir, banyak perhatian dicurahkan pada as-
pek penanganan masalah degradasi lingkungan. Misalnya, proses erosi yang
dipercepat, tanah longsor, intrusi air laut, dan deflesi keaneka-ragaman bio-
ta. Dalam hal itu, aspek bentang lahan (geomorfologi) telah menjadi salah
satu faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan
penanganan dan monitoring masalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, T.C. (1977). Diffuse flow and conduit flow in limestone terrain in
the Medip Hill, Great Britain. Journal Hydrology ,Vol. 35.
Birkeland, P. (1984). Soil and Geomorphology. Oxford University Press.
New York.
Bonnaci, O. (1997). Role of speleology in karst hydrology and
hydrogeology. p. 27-30, Proceeding 12 th International Conggress
of Speleology.
Cooke, R.U. dan Doornkamp, J.C. (1978). Geomorphology in Environmntal
Management. Clarendon Press. Oxford.
Daniels, R.B. dan Hammer, R.D. (1992). Soil Geomorphology. John Willey
and Soons, INC.
Dep. Kimpraswil (2006). Informasi umum tentang rawa pasang surut
di Indonesia (www.kimpraswil.co.id)
Dessaunettes, J.R. (1977). Cataloque of Landforms for Indonesia. Prepared
for the Land Capability Appraisal Project at the Soil and Research
Institute Bogor, Indonesia.
Euroconsult (1994). Second Land Resource Evaluation and Planning Pro-
ject. Part C, Strengthening Soil Resources Mapping. CSAR. Bogor.
FAO (1984). Guidelines: Land Evaluation For Rainfed Agriculture. FAO
Soil Bulletin 52. Rome, Italy.
Gerrard, J. (1989). Soil Geomorphology. Champan & Hall. London.
IUCN (1997). Guideline for Cave and Kars Protection. Glend, Switzerland
and Cambrige UK.
Ko, KRT.(1997). Introduksi Kartospeleologi. Himpunan Kegiatan Speleo-
logi Indonesia.
Land Resources Department Department of Transmigration (1988). Physi-
cal Planning Programe For Transmigration (RePPProT). Jakarta
Lowes, D.D. dan Waltham, T. (1995). A dictionary of karst and caves. Bri-
tish Cave Research Association. Cave Studies Series Vol. 6.
London.
Monroe, G.H. (1970). A glossary of kars terminology. USGS Water Supply
paper 1899-K. US Government Printing Office. Washington
PUSPICS-UGM (1999). Geomorfologi. Bahan Kursus Singkat Untuk
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pidwirny, M. (2006). Fundamental of Physical Geography (A Review pre-
sented online in www.Physical Geography.net).
LAMPIRAN
16. Sebutkan factor apa saja yang mempengaruhi proses pelapukan batuan.
17. Jelaskan bagaimana proses terjadinya gerakan masa tanah atau batuan,
dan syarat kondisi yang bagaimana kemungkinan longsoran itu dapat
terjadi.
18. Apa yang dimaksud dengan bentang lahan fluvial? Jelaskan.
19. Sebutkan beberapa tipe bentang lahan fluvial dan contohnya di NTB.
20. Sebutkan ciri dari sungai pada tahap perkembangan muda dan tua.
21. Pola drainase dapat memberikan informasi tentang sifat bentang lahan.
22. Aktivitas gunung api mempunyai kaitan erat dengan pertanian/kesubur-
an tanah, jelaskan.
23. Jelaskan tiga tipe dan bentuk gunung api, serta cirri bahan erupsi yang
dikeluarkan.
24. Adakah hubungan antara morfologi gunung api dengan kesuburan tanah
disekitarnya? Jelaskan.
25. Jelaskan apa yang dimaksud dengan bentang lahan karst, dan bagaima-
na proses utama pembentukan bentang lahan karst.
26. Jelaskan beberapa sifat dan ciri penting bentang lahan karst.
27. Jelaskan apa arti penting daerah karst bagi aspek pertanian, hidrologi,
dan wisata.
28. Berdasarkan proses pembentukannya, tedapat 4 jenis pantai. Sebutkan
dan jelaskan proses pembentukannya.
29. Jelaskan persyaratan kondisi laut untuk dapat terbentuk terumbu
karang.
30. Jelaskan beberapa aspek penting daerah pasang surut kaitannya dengan
pengembangan pertanian di Indonesia.
31. Apa yang adan sudah ketahui dengan sistim klasifikasi bentang lahan
LREP, jelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, T.C. (1977). Diffuse flow and conduit flow in limestone terrain in
the Medip Hill, Great Britain. Journal Hydrology ,Vol. 35.
Birkeland, P. (1984). Soil and Geomorphology. Oxford University Press.
New York.
Bonnaci, O. (1997). Role of speleology in karst hydrology and
hydrogeology. p. 27-30, Proceeding 12 th International Conggress
of Speleology.
Cooke, R.U. dan Doornkamp, J.C. (1978). Geomorphology in Environmntal
Management. Clarendon Press. Oxford.
Daniels, R.B. dan Hammer, R.D. (1992). Soil Geomorphology. John Willey
and Soons, INC.
Dessaunettes, J.R. (1977). Cataloque of Landforms for Indonesia. Prepared
for the Land Capability Appraisal Project at the Soil and Research
Institute Bogor, Indonesia
Euroconsult (1994). Second Land Resource Evaluation and Planning Pro-
ject. Part C, Strengthening Soil Resources Mapping. CSAR. Bogor.
FAO (1984). Guidelines: Land Evaluation For Rainfed Agriculture. FAO
Soil Bulletin 52. Rome, Italy.
Gerrard, J. (1989). Soil Geomorphology. Champan & Hall. London.
IUCN (1997). Guideline for Cave and Kars Protection. Glend, Switzerland
and Cambrige UK.
Ko, KRT.(1997). Introduksi Kartospeleologi. Himpunan Kegiatan Speleo-
logi Indonesia.
Land Resources Department Department of Transmigration (1988). Physi-
cal Planning Programe For Transmigration (RePPProT). Jakarta
Lowes, D.D. dan Waltham, T. (1995). A dictionary of karst and caves. Bri-
tish Cave Research Association. Cave Studies Series Vol. 6.
London.
Monroe, G.H. (1970). A glossary of kars terminology. USGS Water Supply
paper 1899-K. US Government Printing Office. Washington
PUSPICS-UGM (1999). Geomorfologi. Bahan Kursus Singkat Untuk
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pidwirny, M. (2006). Fundamental of Physical Geography (A Review pre-
sented online in www.Physical Geography.net).