Anda di halaman 1dari 32

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

di Pelayanan Farmasi Komunitas

DISUSUN OLEH :

NI LUH SINTYA DEWI 2109484010073


NI NYOMAN AYUK LILIK APRILIAWATI 2109484010074
NI PUTU BINTANG MAHARANI 2109484010075
NI PUTU SENJA WIDHIAWATI 2109484010076
NI PUTU WIDYA PRATIWI 2109484010077
NI PUTU YENI PRATIWI 2109484010078
NI WAYAN OKTAVIANI 2109484010079
NI WAYAN PUTRI GITA SWARI 2109484010080
PUTU MEIRA EKANADI 2109484010081
PUTU WIDYA NILA UTAMI 2109484010082

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Terima Kasih kami ucapkan kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha
Esa karena berkat rahmat beliau, Makalah yang berjudul “Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Pelayanan Farmasi Komunitas” ini dapat diselesaikan.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah K3 di
Fakultas Farmasi, Universitas Mahasaraswati Denpasar. Dalam Penulisan makalah ini kami
merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun dari segi materi,
mengingat akan keterbatasan yang dimiliki.
Semoga isi dari makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami serta pembaca sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai.
Om Santhi, Santhi, Santhi Om.

Denpasar, Oktober 2021

ii
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................................... ii

Daftar Isi........................................................................................................................ iii

BAB I Pendahuluan

▪ 1.1 Latar belakang .................................................................................................................... 1


▪ 1.2 Rumusan masalah ............................................................................................................... 2
▪ 1.3 Tujuan penulisan ................................................................................................................ 2

BAB II Pembahasan

▪ 2.1 Pengertian Kesehatan Kerja dan Keselamatan Kerja .......................................................... 3


▪ 2.2 Pengertian Farmasi Komunitas ........................................................................................... 4
▪ 2.3 Syarat dari Keselamatan Kerja ............................................................................................ 6
▪ 2.4 Tujuan dari Kesehatan dan Keselamatan Kerja ..................................................................9
▪ 2.5 Penerapan Keselamatan Kerja dalam Ruang Lingkup Farmasi Komunitas ....................... 10
▪ 2.6 Contoh Kasus Kesehatan Kerja dan Keselamatan Kerja di Pelayanan Farmasi
Komunitas ................................................................................................................................ 15
▪ 2.7 Cara Menanggulangi Kasus yang Terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja Dalam
Pelayanan Farmasi Komunitas ................................................................................................ 20

BAB III Penutup

▪ 3.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 27

Daftar Pustaka .............................................................................................................. 29

iii
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan
manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur, serta
menciptakan perlindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan bahaya baik fisik, mental
maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Di era globalisasi,
K3 telah menjadi sebuah kebutuhan dalam setiap bagian kerja baik yang berada dilapangan
ataupun didalam ruangan. K3 adalah suatu bentuk usaha atau upaya bagi para pekerja untuk
memperoleh jaminan atas keselamatan dan kesehatan kerja dalam melakukan pekerjaan yang dapat
mengancam dirinya baik berasal dari individu maupun lingkungan kerjanya.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 menyatakan


bahwa upaya K3 harus diselengarakan disemua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang
mempunyai resiko bahaya kesehatan. Rumah sakit dan di pelayanan farmasi termasuk dalam
kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak
kesehatan, tidak hanya karyawan yang bekerja, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung
rumah sakit dan apotik. Menerapkan program K3 dalam lingkungan kerja dengan tujuan agar
setiap tenaga kerja berhak untuk mendapatkan jaminan keselamatan dankesehatan kerja.
Perlindungan tenaga kerja dari bahaya dan penyakit akibat kerja atau lingkungan kerja sangat
dibutuhkan sehingga pekerja merasa aman dan nyaman dalam menyelesaikan pekerjaannya,
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja bagi pekerja, untuk dapat bekerja sebaik
mungkin dan juga dapat mendukung keberhasilan serta target dalam pekerjaan dapat tercapai.
Salah satu faktor yang dapat membentuk kepuasan kerja adalah adanya jaminan dan kondisi kerja
yang nyaman bagi anggota organisasi. Dan K3 merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja.

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa pengertian kesehatan kerja dan keselamatan kerja?
b. Apa pengertian farmasi komunitas?
c. Apa saja syarat dari keselamatan kerja?
d. Apa tujuan dari kesehatan dan keselamatan kerja?
e. Bagaimana penerapan keselamatan kerja dalam ruang lingkup farmasi komunitas?
f. Bagaimana contoh kasus kesehatan kerja dan keselamatan kerja di pelayanan farmasi
komunitas?
g. Bagaimana cara menanggulangi kasus yang terkait kesehatan dan keselamatan kerja
dalam pelayanan farmasi komunitas?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui pengertian kesehatan kerja dan keselamatan kerja
b. Untuk mengetahui pengertian farmasi komunitas
c. Untuk mengetahui syarat dari keselamatan kerja
d. Untuk mengetahui tujuan dari kesehatan dan keselamatan kerja
e. Untuk mengetahui penerapan keselamatan kerja dalam ruang lingkup farmasi komunitas
f. Untuk mengetahui kasus kesehatan kerja dan keselamatan kerja di pelayanan farmasi
komunitas
g. Untuk mengetahui cara menanggulangi kasus yang terkait kesehatan dan keselamatan
kerja dalam pelayanan farmasi komunitas

2
BAB II

Pembahasan
2.1 Pengertian Kesehatan Kerja dan Keselamatan Kerja

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)merupakan suatu upaya perlindungan kepada


tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja terhadap bahaya dari akibat
kecelakaan kerja.Tujuan K3 adalah mencegah,megurangi, bahkan menihilkan resiko penyakidan
kecelakaan akibat kerja (KAK) serta meningkatkan derajat kesehatan para pekerja sehingga
produktivitas kerja meningkat Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting bagi
perusahaan, karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi
juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terdapat beberapa pengertian
tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang didefinisikan oleh beberapa ahli, dan pada dasarnya
definisi tersebut mengarah pada interaksi pekerja dengan mesin atau peralatan yang digunakan,
interaksi pekerja dengan lingkungan kerja, dan interaksi pekerja dengan mesin dan lingkungan
kerja. Selalu ada resiko kegagalan (risk of failures) pada setiap proses/aktifitas pekerjaan, baik itu
disebabkan perencanaan yang kurang sempurna, pelaksanaan yang kurang cermat, maupun akibat
yang tidak disengajanseperti keadaan cuaca, bencana alam, dll. Salah satu risiko pekerjaan yang
terjadi adalah adanya kecelakaan kerja.Saat kecelakaan kerja (work accident) terjadi, seberapapun
kecilnya, akan mengakibatkan efek kerugian (loss), oleh karena itu sebisa mungkin dan sedini
mungkin, kecelakaan/potensi kecelakaan kerja harus dicegah/dihilangkan, atau setidak-tidaknya
dikurangi dampaknya.

Filosofi dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah melindungi keselamatan dan
kesehatan para pekerja dalam menjalankan pekerjaannya, melalui upaya-upaya pengendalian
semua bentuk potensi bahaya yang ada di lingkungan tempat kerjanya. Bila semua potensi bahaya
telah dikendalikan dan memenuhi batas standar aman, maka akan memberikan kontribusi
terciptanya kondisi lingkungan kerja yang aman, sehat, dan proses produksi menjadi lancar, yang
pada akhirnya akan dapat menekan risiko kerugian dan berdampak terhadap peningkatan
produktivitas. Filosofi penerapan K3 tidak hanya dilakukan ditempat kerja, tapi secara tidak kita
sadari sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dimanapun kita berada. Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) merupakan upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman,

3
nyaman dan mencapai tujuan yaitu produktivitas setinggi-tingginya. Kesehatan dan Keselamatan
Kerja sangat penting untuk dilaksanakan pada semua bidang pekerjaan tanpa terkecuali proyek
pembangunan gedung seperti apartemen, hotel, mall dan lain-lain, karena penerapan K3 dapat
mencegah dan mengurangi resiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan kerja.
Pelatihan kesehatan dan kelelamatan kerja (K3) mampu menurunkan resiko terjadinya kecelakaan
kerja. Semakin besar pengetahuan karyawan akan K3 maka semakin kecil terjadinya resiko
kecelakaan kerja, demikian sebaliknya semakin minimnya pengetahuan karyawan akan K3 maka
semakin besar resiko terjadinya kecelakaan kerja.Terjadinya kecelakaan kerja dimulai dari
disfungsi manajemen dalam upaya penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Ketimpangan tersebut menjadi penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja. Dengan semakin
meningkatnya kasus kecelakaan kerja dan kerugian akibat kecelakaan kerja, serta meningkatnya
potensi bahaya dalam proses produksi, dibutuhkan pengelolaan K3 secara efektif, menyeluruh, dan
terintegrasi dalam manajemen perusahaan. Manajemen K3 dalam organisasi yang efektif dapat
membantu untuk meningkatkan semangat pekerja dan memungkinkan mereka memiliki
keyakinandalam pengelolaan organisasi.

2.2 Pengertian Farmasi Komunitas

Farmasi Komunitas adalah area praktik farmasi di mana obat dan produk kesehatan lainnya
dijual atau disediakan langsung kepada masyarakat secara eceran, baik melalui resep
doktermaupun tanpa resep dokter (FIP, 1998).Praktik Farmasi Komunitas merupakan salah satu
wujud pengabdian profesi apoteker.Untuk penjaminan mutu penyelenggaraan praktik farmasi
komunitas, WHO dan FIPmenerbitkan dokumen Cara Praktik Farmasi yang Baik di Farmasi
Komunitas dan FarmasiRumah Sakit atau Good Pharmacy Practice(GPP) In Community and
Hospital PharmacySettings(WHO, 1996) dan Standar Kualitas Pelayanan Kefarmasian atau
Standard forQuality of Pharmacy Services(FIP, 1997). Dengan maksud yang sama, Indonesia
menetapkan Standar Pelayanan Kefarmasian diApotik (Menkes RI, 2004) sebagai pedoman bagi
para apoteker dalam menjalankan profesi,dengan tujuan melindungi masyarakat dari pelayanan
yang tidak profesional. Penetapanstandar pelayanan ini merupakan konsekuensi perubahan
fundamental dari pelayanan berorientasi produk ke pelayanan berorientasi pasien yang mengacu
pada filosofi asuhankefarmasian (pharmaceutical care), yaitu pelayanan komprehensif di mana

4
apotekermengambil tanggung jawab mengoptimalkan terapi obat, untuk mencapai hasil yang lebih
baik dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien (Cipolle, dkk., 1998).Sebagaimana
layanan kesehatan modern yang mengharuskan apoteker memiliki pengetahuandan keterampilan
klinis tingkat lanjut, asuhan kefarmasian membutuhkan pengembangan lebihlanjut karakteristik-
karakteristik yang membuat apoteker menjadi sebuah profesi, bukansekadar sebuah pekerjaan
(Benner dan Beardsley, 2000).

Pelayanan kefarmasian telah mengalami pergeseran fokus pelayanan, dari pelayanan


berorientasi produk ke pelayanan berorientasi pasien. Tradisi pelayanan yang semula hanya
melakukan pengelolaan obat sebagai komuditas, menjadi pelayanan yang komprehensif dengan
tujuan akhir meningkatkan kualitas hidup pasien. Farmasi Komunitas atau Farmasi Perapotekan
sebagai salah satu model sarana pelayanan kefarmasian di samping Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Puskesmas dan Instalasi Farmasi Klinik, harus menyesuaikan terhadap situasi
dan kondisi pergeseran fokus pelayanan tersebut. Berbeda dengan tiga model pelayanan
kefarmasian lain yang dikelola secara institusional dan merupakan bagian dari sarana kesehatan
umum, Farmasi Komunitas dikelola oleh seorang apoteker secara mandiri dengan berbagai
perbedaan penampilan dan pengelolaan yang diatur pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan.Sesuai Standar Pelayanan Kefarmasian yang berlaku bagi masing-masing sarana
pelayanan kefarmasian, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Puskesmas dan Instalasi
Farmasi Klinik hanya boleh melayani resep dari dokter yang praktik di lingkungan Rumah Sakit,
Puskesmas atau klinik dimana Instalasi Farmasi itu berada. Instalasi farmasi juga tidak boleh
melayani pasien untuk keperluan swamedikasi. Berbeda dengan tiga Instalasi Farmasi di atas,
Farmasi Komunitas boleh melayani resep dari manapun sepanjang ditulis oleh dokter yang
berpraktik di daerah yang sama. Farmasi Komunitas juga boleh melayani pasien untuk keperluan
swamedikasi, dan justru pelayanan swamedikasi yang saat ini lebih memberi kehidupan bagi
apotek di era pelayanan kesehatan dicover oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).Pelayanan kesehatan mempunyai peranan strategis dalam
upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan apotek merupakan salah satu
pelayanan kesehatan di Indonesia. Pelayanan apotek saat ini harus berubah orientasi dari drug
oriented menjadi patient oriented dengan berasaskan pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan
farmasi yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi harus diubah
menjadi pelayanan yang komprehensif dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

5
Dua puluh lima persen kesembuhan pasien diharapkan diperoleh dari kenyamanan serta baiknya
pelayanan apotek, sedangkan 75% berasal dari obat yang digunakan pasien. Pelayanan yang
bermutu selain mengurangi risiko terjadinya medication error, juga memenuhi kebutuhan dan
tuntutan masyarakat sehingga masyarakat akan memberikan persepsi yang baik terhadap apotek.
Telah ada kesepakatan bahwa mutu pelayanan kesehatan dititikberatkan pada kebutuhan dan
tuntutan pengguna jasa yang berkaitan dengan kepuasan pasien sebaga konsumen.Pelayanan yang
bermutu selain berdasarkan kepuasan konsumen juga haru sesuai dengan standar dan kode etik
profesi. Untuk menjamin mutu pelayanan farmasi kepada masyarakat, telah dikeluarkan standar
pelayanan farmasi komunitas (apotek) yang meliputi antara lain sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, pelayanan resep (tidak hanya meliputi peracikan dan penyerahan obat tetapi juga
termasuk pemberian informasi obat), konseling, monitoring penggunaan obat, edukasi, promosi
kesehatan, dan evaluasi terhadap pengobatan (antara lain dengan membuat catatan pengobatan
pasien) Semakin pesatnya perkembangan pelayanan apotek dan semakin tingginya tuntutan
masyarakat, menuntut pemberi layanan apotek harus mampu memenuhi keinginan dan selera
masyarakat yang terus berubah dan meningkat.

2.3 Syarat dari Keselamatan Kerja

Syarat dari Keselamatan Kerja diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( Ruli Rahmawati, 2017) :

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.


2. Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran.
3. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-
kejadian lain yang berbahaya.
5. Memberi pertolongan pada kecelakaan.
6. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.
7. Mencegah dan mengendalikan timbulnya atau menyebarluasnya suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angina, cuaca, sinar laut atau radiasi, suara, dan getaran.
8. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis,
keracunan, infeksi, dan penularan.

6
9. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
10. Menyelenggarakan suhu udara yang baik.
11. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
12. Memelihara kebersihan, kesehatan, ketertiban.
13. Memperoleh keserasian antara proses kerja.
14. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman, atau barang.
15. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
16. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan
barang.
17. Mencegah terkena aliran listrik
18. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamatan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Undang-undang yang Mengatur Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

a. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentanng keselamatan kerja Undang-undang ini


mengatur dengan jelas tentang kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam
melaksanakan keselamatan kerja.
b. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan Undang-undang ini menyatakan
bahwa secara khusus perusahaan yang bekewajiban memeriksakan kesehatan badan,
kondisi mental dan kemampuan fisik pekerja yang baru maupun yang akan dipindahkan
ketempat kerja yang baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerja yang diberikan kepada pekerja,
serta pemeriksaan kesehatan secara berkala. Sebaliknya para pekerja juga berkewajiban
memakai Alat Pelndung Diri (APD) dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. Undang-undang nomor 23 tahun1992,
pasal 3 tentang kesehatan kerja menekankan pentingnya kesehatan kerja agar setiap pekerja
dapat berkerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakata
sekelilingnya hingga diperoleh produktifitas kerja optimal. Karena itu, kesehatan kerja
meliput pelayanan kesehatan kerja, mencegah penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan
kerja.
c. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Undang-undang ini mengatur
mengenai segala hal yang berhubungan dengan ketenaga kerjaan mulai dari upah kerja,

7
jam kerja, hak material, cuti sampai dengan keselamatan dan kesehatan kerja. (Silfinus
Padma, 2018).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 74 tahun 2016:

Pasal 3 : Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerjabaik physik maupun
psychis, peracunan, infeksi dan penularan;

Pasal 4 : (1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam
perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian,
penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknik dan aparat produksi
yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.

Pasal 12 : Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenagakerja untuk :

a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli
keselamatan kerja;
b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dankesehatan kerja yang
diwajibkan;
d. Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syaratkeselamatan dan kesehatan kerja
yang diwajibkan;
e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan
kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam
hal-hal khususditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggung-jawabkan.

8
2.4 Tujuan dari Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satubagian dari perlindungan bagi
tenaga kerja dan bertujuanuntuk mencegah serta mengurangi terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja dan di dalamnya termasuk :

1. Menjamin para pekerja dan orang lain yang adadisekitar tempat kerja selalu dalam keadaan
sehat dan selamat.
2. Menjaga agar sumber-sumber produksi digunakansecara aman dan efisien.
3. Menjamin kelancaran proses produksi yang merupakanfaktor penting dalam meningkatkan
produktivitas.

Kesehatan kerja bertujuan pada pemeliharaan danpencegahan serta risiko gangguan kesehatan
fisik, mentaldan sosial pada semua pekerja yang disebabkan oleh kondisidan lingkungan kerja
sehingga diharapkan produktivitas pekerja dapat dipertahankan dan apabila si pekerja
telahmemasuki usia pensiun maka yang bersangkutan dapatmenikmati hari tuanya tanpa
mengalami gangguan penyakit akibat hubungan kerja. (Drs. Abdul Muchid, Apt, 2008). Pada
Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pada Bab I pasal 1 ayat 1, dijelaskan
pengertian tempat kerja adalah tiap ruang atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap,
tenaga kerja berhak mendapat perlindungan. Pemerintah Republik Indonesia memiliki tujuan
untuk melindungi keselamatan pekerja dengan mengeluarkan UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 86 ayat 2 yaitu “untuk melindungi keselamatan pekerja atau buruh guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan
kerja”. Selain itu pada pasal 87 ayat 1 menjelaskan tentang setiap perusahaaan wajib menerapkan
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Pada PP No. 50 tahun 2012 pasal 7 ayat 2,
menjelaskan bahwa penyusunan kebijakan K3, seorang pengusaha harus melakukan tinjauan awal
kondisi K3 yang meliputi pertama identifikasi potensi bahaya, penilaian risiko dan pengendalian
risiko, kedua adalah perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan sektor lain yang baik.
Ketiga yaitu peninjauan sebab akibat kejadian yang membahayakan. (Indra Oditya Putra, 2018)

Dimana dalam pelayanan kefarmasiaan komunitas seorang apoteker atau tenaga teknis
kefarmasian memiliki tujuan :

9
A. Tujuan umum
K3 Sebagai acuan bagi apoteker yang melakukan pelayanan kefarmasian pada
komunitas dalam melaksanakan program keselamatan pasien
B. Tujuan khusus
• Terlaksananya program keselamatan pasien bagi apoteker di rumah sakit dan
komunitas secara sistematis dan terarah.
• Terlaksananya pencatatan kejadian yang tidak diinginkan akibat penggunaaan obat
(adverse drug event) di komunitas.
• Sebagai acuan bagi Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi/
Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan terhadap apoteker di instalasi
farmasi rumah sakit dan apoteker di sarana komunitas.

2.5 Penerapan Keselamatan Kerja dalam Ruang Lingkup Farmasi Komunitas

Keselamatan Pasien Dalam Pelayanan Kefarmasian dalam membangun keselamatan


pasien banyak istilah-istilah yang perlu difahami dan disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut
diantaranya adalah:

- Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)

- Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)

- Kejadan Sentinel

- Adverse Drug Event

- Adverse Drug Reaction

- Medication Error

- Efek samping obat

- Praktek pekerjaan kefarmasian dalam komunitas meliputi obat-obatan, pengadaan produk


farmasi dan pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker dalam sistem pelayanan
kesehatan.

10
- Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang diberikan oleh tenaga farmasi dalam
mendukung pelayanan kefarmasian. Di luar suplai obat-obatan, jasa kefarmasian meliputi
informasi, pendidikan dan komunikasi untuk mempromosikan kesehatan masyarakat, pemberian
informasi obat dan konseling, pendidikan dan pelatihan staf.

- Pekerjaan kefarmasian meliputi penyediaan obat dan pelayanan lain untuk membantu masyarakat
dalam mendapatkan manfaat yang terbaik.

Peran Tenaga Teknis Kefarmasian dan Apoteker untuk Pasien adalah :

A. Memastikan terapi dan hasil yang sesuai


➢ Memastikan farmakoterapi yang sesuai
➢ Memastikan kepahaman/kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatannya
➢ Monitoring dan pelaporan hasil
B. Dispensing obat dan alat kesehatan
➢ Memproses resep atau pesanan obat
➢ Menyiapkan produk farmasi
➢ Mengantarkan obat atau alat kesehatan
C. Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit
➢ Pengantaran jasa penanggulangan klinis
➢ Pengawasan dan pelaporan issue kesehatan masyarakat
➢ Promosi penggunaan obat yang aman dalam masyarakat
D. Manajemen sistem kesehatan
➢ Pengelolaan praktek
➢ Pengelolaan pengobatan dalam sistem kesehatan
➢ Pengelolaan penggunaan obat dalam sistem kesehatan
➢ Partisipasi dalam aktivitas penelitian
➢ Kerjasama antardisipli

Peran Tenaga Kefarmasian dalam aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep
atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat,
konseling, monitoring dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada
pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim

11
pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik
terbukti memiliki konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan.

Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :

1. Pemilihan

Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan dengan
pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai formularium.

2. Pengadaan

Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan sesuai peraturan yang
berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.

3. Penyimpanan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan


pengambilan obat dan menjamin mutu obat:

• Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication
names) secara terpisah.
• Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan cedera
jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya : menyimpan
cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik
opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik , kelompok obat
antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis, tetapi tempatkan
secara terpisah
• Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4. Skrining Resep

Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error melalui
kolaborasi dengan dokter dan pasien.

• Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam medik/
nomor resep,

12
• Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter.
Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi dokter
penulis resep.
• Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan
keputusan pemberian obat, seperti : Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan
data klinis (alergi, diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui
tinggi dan berat badan pasien yang menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk
keperluan perhitungan dosis. Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium,
tanda-tanda vital dan parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data
laboratorium yang penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis
dosis (seperti pada penurunan fungsi ginjal).
• Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
• Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan
otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan
pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.
• Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun
harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan
mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus
diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima
permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
5. Dispensing
• Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
• Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat
pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dariwadah, pada saat mengembalikan
obat ke rak.
• Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
• Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai,
pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.

13
6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-hal yang penting
tentang obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada
pasien adalah :
• Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan obat
dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan harus kembali
ke dokter
• Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
• Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat lain dan
makanan harus dijelaskan kepada pasien
• Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR) yang mengakibatkan
cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai bagaimana cara mengatasi
kemungkinan terjadinya ADR tersebut.
• Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah rusak
atau kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker mempunyai
kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin terlewatkan pada proses
sebelumnya.
7. Penggunaan Obat

Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit
dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal yang
perlu diperhatikan adalah :

• Tepat pasien
• Tepat indikasi
• Tepat waktu pemberian
• Tepat obat
• Tepat dosis
• Tepat label obat (aturan pakai)
• Tepat rute pemberian

14
8. Monitoring dan Evaluasi

Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,
mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi
didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan
kesalahan. Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam
program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara terus menerus
mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan
pasien. (Drs. Abdul Muchid, Apt, 2008).

2.6 Contoh Kasus Kesehatan Kerja dan Keselamatan Kerja di Pelayanan Farmasi
Komunitas

CEDERA AKIBAT OBAT DAN MEDICATION ERROR, SERTA MALPRAKTIK


APOTEKER

Setiap upaya kesehatan tidak selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien dengan
baik, bisa jadi menimbulkan kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak
mungkin dapat dihindari sama sekali, sehingga menimbulkan permasalahan hukum jika pasien
akan menuntut pemberi pelayanan, yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan
malpraktik atau resiko dari tindakan yang diberikan oleh apoteker dalam pelayanan kefarmasian.
Demikian juga permasalahan hukum yang terjadi untuk kalangan kesehatan perlu pemahaman oleh
para penegak hukum termasuk pengadilan dalam memberikan putusan timbulnya dugaan
malpraktik. Karena pada umumnya tuntutan pasien berdasarkan akibat yang terjadi atau hasil yang
menimpa pada dirinya, sedangkan dugaan malpraktik kesehatan dalam pelayanan kefarmasian
sangat diperlukan causa atau penyebabnya yang menyebabkan terjadinya tuntutan oleh pasien.
Beberapa contoh kesalahan dalam pelayanan kefarmasian yang perlu pengkajian apakah dapat
dikatakan malpraktik atau tidak, beberapa kesalahan dalam pengkajian resep:

1. Apoteker menerima resep obat tetapi tidak melakukan skrining/pengkajian.


2. Apoteker menerima resep dokter akan tetapi tulisannya meragukan atau tidak jelas, tetapi
apoteker tidak melakukan kewajibannya untuk konfirmasi dulu kepada dokter penulis
resep.

15
3. Salah menginteprestasi atau membaca resep, sehingga obat yang diberikan tidak sesuai
dengan peresepan dokter.

Kategori kesalahan dalam pemberian obat:

1. Pasien mengalami reaksi alergi.


2. Kontraindikasi.
3. Obat kadaluwarsa,
4. Bentuk sediaan yang salah.
5. Frekuensi pemberian yang salah.
6. Label obat salah, tidak ada, atau tidak jelas.
7. Informasi obat kepada pasien yang salah atau tidak jelas.
8. Obat diberikan pada pasien yang salah.
9. Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah.
10. Jumlah obat yang tidak sesuai.
11. ADR Adverse Drug Reaction (jika digunakan berulang).
12. Rute pemberian yang salah.
13. Cara penyimpanan yang salah.
14. Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang salah.

Kesalahan diatas dapat menimbulkan dampak negatif (kerugian, cacat, meninggal) pada pasien
dan secara umum kesalahan dibedakan dalam 2, yaitu bagian pertama dampak kerugian karena
resiko dari obatnya yang disebut cedera akibat obat dan yang kedua dampak merugikan pasien
karena kesalahan manusianya (apoteker) yang lebih dikenal dengan medication error.

A. Cedera Akibat Obat

Cedera akibat obat adalah suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) atau sangat tidak mudah diramalkan (unpredictable), dan sifatnya sangat kasuistik
yang terjadi pada pelayanan kefarmasian meskipun sudah sesuai standar yang benar tetapi
mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian.
Dengan demikian suatu akibat buruk yang tidak dapat diduga dipandang dari ilmu pengetahuan
dan teknologi kefarmasian saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum kepada apoteker. Dengan demikian kejadian yang tidak

16
diharapkan dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan dapat pula
disebabkan oleh error. Kejadian yang tidak diharapkan akibat errors dianggap dapat dicegah
(preventable). Apabila preventable adverse events tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia
memenuhi semua unsur kelalaian menurut hukum, sehingga disebut sebagai negligent adverse
events Suatu adverse events (hasil yang tidak diharapkan) di bidang medik sebenarnya dapat
diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan pemberian
pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker.
2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui
sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
(foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable), karena tindakan
yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Risiko ini harus diinformasikan terlebih
dahulu kepada pasien.
3. Hasil dari suatu kelalaian apoteker kurang teliti, kurang hati-hati.
4. Hasil dari suatu kesengajaan dengan modus tertentu untuk kepentingannnya.

B. Medication Error

Menurut NCC MERP (National Coordinating Council Medication Error Reporting And
Preventio) yaitu Dewan Koordinasi Nasional untuk Pencatatan dan Pencegahan Kesalahan Obat
yang sudah diaplikasikan di luar negeri. Medication Error (ME) atau kesalahan pelayanan obat
yaitu setiap kejadian yang dapat dihindari yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat
yang tidak tepat atau membahayakan pasien sementara obat berada dalam pengawasan tenaga
kesehatan atau pasien.

C. Perbedaan Cedera akibat Obat dan Medication Error

Secara yuridis sangat jelas perbedaannya cedera karena obat merupakan pengaruh akibat obat
yang tidak dikehendaki oleh pemberi tindakan dalam hal ini oleh apoteker, meskipun cedera akibat
obat masih dibedakan menjadi terjadi cedera dan dapat terjadi atau tidak terjadi cedera. Dalam hal
terjadi cedera tidak ada unsur kelalaian yang dilakukan oleh apoteker akibat cedera karena obat,
sehingga apoteker tidak bisa dituntut secara hukum. Sedangkan jika cedera akibat obat
mengakibatkan terjadi atau tidak terjadi cedera, maka akan ada dua kemungkinan yaitu karena

17
medication erorr atau karena efek samping obat, kedua hal ini dapat dicegah oleh apoteker atau
sudah bisa diketahui sebelumnya sehingga apoteker bisa dituntut secara hukum karena kelalainnya
atau karena tidak melakukan sesuatu agar cedera tidak terjadi. Apoteker sebagai tenaga kesehatan
mempunyai kewajiban memberikan pelayanan yang bertanggung jawab sehingga apoteker juga
mempunyai kewajiban pemberian pelayanan melalui informasi, monitoring dan evaluasi terhadap
obat yang diberikan pada pasien. Medication erorr adalah kesalahan karena obat yang terjadi pada
pasien selama pasien masih menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan. Berarti tenaga kesehatan
(Apoteker) bisa dituntut secara hukum karena kelalainnya atau karena tidak melakukan sesuatu
untuk tidak terjadinya cedera karena obat dan dalam medication erorr bisa saja ada unsur kelalaian
maupun unsur kesengajaan membiarkan kemungkinan terjadinya cedera akibat obat. Pada
medication erorr dan cedera akibat obat bisa terjadi karena peran serta pasien yang disebut
contributory negligence dimana pasien tidak patuh terhadap informasi yang disampaikan oleh
apoteker sehingga bisa terjadi hal tersebut diatas.

D. Malpraktik Apoteker

Pelanggaran apoteker dalam menjalankan praktik profesi dapat dikatakan sebagai suatu
penyimpangan atau kesalahan baik karena disadari maupun tidak disadari (kelalain) yang disebut
yang berakibat timbulnya malpraktik. Malpraktik merupakan istilah yang sangat umum sifatnya
dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti
“pelaksanaan atau tindakan yang salah”, meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan
istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi.

Kalau malpraktik dilakukan dihubungkan dengan kata apoteker maka akan menjadi malpraktik
apoteker atau malpractice pharmachist dan dalam kefarmasian secara umum maka akan disebut
malpraktik kefarmasian (Malpractice pharmaceutical). Kegagalan untuk memberikan pelayanan
profesional dan melakukan pada tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar di dalam
masyarakat oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan
atau kerugian bagi penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap
mereka, termasuk didalamnya setiap sikaptindak profesional yang salah, kekurang ketrampilan

18
yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian, atau kewajiban hukum, praktek buruk , atau illegal
atau sikap immoral.

Suatu praktek Pelayanan apoteker dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik apoteker
dilihat dari 3 aspek:

1. Intensional Professional Misconduct, yaitu bahwa apoteker berpraktek tidak


bertanggungjawab yaitu dengan melakukan praktek yang salah/buruk dan dalam
prakteknya melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar yang ditetapkan
baik standar dari profesinya (standar profesi, pedoman disiplin, Pedoman praktek,Standar
Prosedur Operasional) maupun yang ditetapkan pemerintah (standar pelayanan
kefarmasian) dan dilakukan dengan sengaja tidak mengindahkan standar-standar dalam
aturan yang ada dan tidak ada unsur kealpaan/kelalaian. Misalnya apoteker memalsukan
copy resep, membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien ataupun
tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang.
2. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang apoteker yang karena kelalaiannya
(culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien. Seorang apoteker lalai
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan kefarmasian.
3. Lack of Skill yaitu apoteker yang melakukan pelayanan tetapi diluar kompetensinya atau
kewenangan yang diberikan kepadanya.

Malpraktik apoteker di Indonesia khususnya malpraktik dengan unsur kesengajaan yang dapat
dikelompokkan sebagai criminal malpractice atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian pasien
(civil malpractice) sangatlah minim yang terungkap sampai pengadilan pidana atau perdata,
demikian juga di luar negeri. Malpraktik administrasi lebih banyak terjadi di banding kedua
malpraktik tersebut diatas, malpraktik administrasi apoteker yang sering tejadi yaitu apoteker
berpraktek tanpa mempunyai SIPA/SIKA.

19
2.7 Cara Menanggulangi Kasus yang Terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja Dalam
Pelayanan Farmasi Komunitas.

Cara menanggulangi kasus yang terkait kesehatan dan keselamatan kerja dalam pelayanan
farmasi komunitas berdasarkan contoh kasus diatas adalah:

A. Pertanggungjawaban Malpraktik Secara Etik

Pelanggaran Kode Etik Profesi merupakan penyimpangan terhadap norma yang ditetapkan dan
diterima oleh sekelompok profesi, kode etik profesi akan mengarahkan atau memberi petunjuk
kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu
dimata masyarakat. Kode etik profesi akan bisa dijadikan sebagai acuan dasar dan sekaligus alat
kontrol internal bagi anggota profesi, disamping juga sebagai alat untuk melindungi kepentingan
masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak profesional. Pelanggaran etik belum tentu
pelangaran hukum, jika apoteker melanggar etik maka akan diputuskan oleh MEDAI (Majelis Etik
dan Disiplin Apoteker Indonesia) sanksi yang diberikan biasanya sanksi administratif, bukan
hukuman badan atau penjara, bahkan sanksinya berupa sanksi moral. Peraturan yang digunakan
dasar oleh MEDAI untuk memberi keputusan ada tidaknya pelanggaran etik yaitu Kode Etik
Apoteker Indonesia dan Sumpah atau Janji Apoteker.

B. Pertanggungjawaban Malpraktik Disiplin

Disiplin Apoteker adalah kesanggupan Apoteker untuk menaati kewajiban dan menghindari
larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan praktik yang
apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Pelanggaran disiplin adalah
pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau penerapan keilmuan, yang pada hakekatnya dapat
dikelompokkan dalam 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Melaksanakan praktik apoteker tidak kompeten.


2. Tugas dan tanggungjawab professional pada pasien tidak dilaksankan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan apoteker.

Seorang apoteker yang menjalankan praktek kefarmasian tidak memiliki surat ijin praktek/kerja
bila terjadi pada penyelenggaraan praktik kefarmasian, maka tidak saja norma etika, tetapi norma-
norma disiplin juga berlaku dan dapat dikenakan, karena dianggap perilaku apoteker itu

20
berpengaruh terhadap praktik pelayanan kefarmasian yang dilakukannya. Sanksi disiplin yang
dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan Peraturan perUndang- Undangan yang berlaku adalah:

1. Pemberian peringatan tertulis.


2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau
Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker.
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di Institusi Pendidikan Apoteker.

C. Pertanggungjawaban Secara Hukum


1. Hukum Perdata

Bentuk pelanggaran dan pertanggungjawaban secara perdata disebut dengan Malpraktik


Perdata (Civil Malpractice), pertanggungjawaban apoteker pada pelanggaran jenis ini bersumber
pada 2 (dua) dasar hukum yaitu pertama, terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi farmasetik, kedua terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian.

Pertanggungjawaban perdata malpraktik dalam peraturan hukum yaitu :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban perdata,


berdasar tiga prinsip yang diatur dalam pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yaitu sebagai berikut:

1) Pasal 1365 yang menyebutkan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu,
mengganti kerugian tersebut”. Undang-Undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang
perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala
sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang, jadi suatu bertentangan dengan kewajiban
hukum diri sendiri, menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik).
Tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang
seorang dalam pergaulan hidup.

21
2) Pasal 1366 Seorang apoteker dapat dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan
kerugian. “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-
hatinya”.

3) Pasal 1367 Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian
yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari
tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. Dengan demikian maka pada pokoknya
ketentuan Pasal 1367 mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau
yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut.

b. Undang-Undang No. 36 tahun 2014 pasal 77

Setiap penerima pelayanan kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian tenaga
kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

c. Peraturan Pemerintah 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan pasal 43

Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang
terjadi karena sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan.

2. Hukum Administrasi

Tenaga kesehatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga


kesehatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan atau peraturan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga apoteker untuk menjalankan profesinya harus
mempunyai Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan
melalui Komite Farmasi Nasional)/Konsil Tenaga Kesehatan dan diwajibkan pula memiliki Surat
Ijin Kerja Apoteker (SIKA) atau Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) yang dikeluarkan di tingkat
Kabupaten/Kota. Pemerintah juga mengatur batas kewenangan serta kewajiban tenaga kesehatan,

22
apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan
melanggar hukum administrasi.

Bentuk pelanggaran administratif apoteker yang dapat menyebabkan malpraktik apoteker jika:

1. Apoteker tidak taat pada regulasi yang dibuat pemerintah.

2. Apoteker praktek tidak memeiliki STRA yang masih berlaku.

3. Apoteker praktek tidak mempunyai Surat Izin Praktek/Kerja.

4. Ketidaklengkapan perizinan

Penegakan hukum pada pelanggaran administrasi seperti peringatan sampai pencabutan izin.
Dua macam pelanggaran administrasi adalah sebagai berikut:

1. Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan apoteker.

2. Pelanggaran administrasi tentang pelayanan kefarmasia.

Kewajiban administrasi apoteker dapat dibedakan menjadi kewajiban administrasi yang


berhubungan dengan kewenangan sebelum apoteker memberikan pelayanan kefarmasian misal
mempunyai sertifikat kompetensi, memiliki STRA, memiliki SIPA/SIKA dan kewajiban
administrasi pada saat apoteker memberikan pelayanan kefarmasian. Pelanggaran terhadap
kewajiban– kewajiban administrasi tersebut dapat menjadi malpraktik, apabila setelah pelayanan
yang dijalankan menimbulkan kerugian kesehatan atau jiwa pasien. Menteri (Kesehatan) dapat
mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan yang melanggar hukum di bidang
sediaan farmasi dan alat kesehatan. Tindakan administratif dapat berupa:

1. Teguran.

2. Pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan.

3. Hukum Pidana

a. Pidana dalam KUHP

Beberapa pasal yang tercantum dalam KUHP sebagai hukum umum (lex general) yang dapat
dikenakan pada kasus malpraktik, umumnya berkaitan dengan kesengajaan dan pelanggaran,
misalnya kejahatan pemalsuan surat, kejahatan terhadap kesusilaan, membiarkan orang yang

23
seharusnya ditolong, pelanggaran terhadap rahasia kedokteran dan kefarmasian, membantu
melakukan abortus dengan pemberian obat, dan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa.

Pasal-pasal tersebut diatas adalah sebagai berikut:

1) Pasal 294 ayat (2) KUHP tentang kesusilaan.

2) Pasal 304,531 KUHP membiarkan seseorang yang seharusnya ditolongnya.

3) Pasal 322 KUHP, pelanggaran rahasia yang wajib disimpannya oleh apoteker.

4) Pasal 299, 347, 348, dan 349 KUHP, tentang melakukan perbuatan abortus atau membantu
abortus.

5) Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati: Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

6) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barang siapa karena
kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Ayat (2) Barang siapa karena
kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga menimbulkan penyakit
atau halangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau atau pidana kurungan paling lama enam
bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

7) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iainlain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih
berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan sepertiga, dan yang
bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan
dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

8) Pasal 386, menjual, menawarkan atau menyerahkan obat-obatan yang diketahui bahwa itu
palsu, dan menyembunyikan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

24
Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah
sakit/sarana kesehatan.

b. Pidana dalam UU No.36 tahun 2009

1) Pasal 190 ayat (1) Tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien
yang dalam keadaan gawat darurat pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ayat (2) jika mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2) Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

3) Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4) Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).

5) Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

c. Pidana dalam UU No.36 tahun 2014

25
1) Pasal 84 ayat (1) Setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang
mengakibatkan penerima pelayanan kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun. Ayat (2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.

2) Pasal 85 ayat (1) Setiap tenaga kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa
memiliki STR sebagaimana dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

3) Pasal 86 ayat (1) Setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

d. Peraturan Pemerintah 72 tahun 1998

1) Pasal 74 Barang siapa dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan


farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).

2) Pasal 75 Barang siapa dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan alat kesehatan
yang tidak memenuhi persyaratan dan mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa izin
edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).

3) Pasal 76 Barang siapa dengan sengaja: memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan


farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan dan memproduksi dan/atau
mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

4) Pasal 77 Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

26
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan suatu upaya perlindungan kepada tenaga
kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja terhadap bahaya dari akibat
kecelakaan kerja. Tujuan K3 adalah mencegah, megurangi, bahkan menihilkan resiko penyakit
dan kecelakaan akibat kerja (KAK) serta meningkatkan derajat kesehatan para pekerja sehingga
produktivitas kerja meningkat. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting bagi
perusahaan, karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi
juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Farmasi Komunitas adalah area
praktik farmasi di mana obat dan produk kesehatan lainnya dijual atau disediakan langsung kepada
masyarakat secara eceran, baik melalui resep doktermaupun tanpa resep dokter (FIP, 1998). Syarat
dari Keselamatan Kerja diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja ( Ruli Rahmawati, 2017). Undang-undang yang Mengatur Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3), yaitu UU No. 1 tahun 1970, UU No. 23 tahun 1992 dan UU No. 13 tahun
2003

Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu bagian dari perlindungan bagi
tenaga kerja dan bertujuan untuk mencegah serta mengurangi terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja dan di dalamnya termasuk menjamin para pekerja dan orang lain yang ada disekitar
tempat kerja selalu dalam keadaan sehat dan selamat, menjaga agar sumber-sumber produksi
digunakan secara aman dan efisien, dan lain-lain

Penerapan keselamatan kerja dalam ruang lingkup farmasi komunitas, yaitu keselamatan
pasien dalam pelayanan kefarmasian dalam membangun keselamatan pasien, banyak istilah-istilah
yang perlu dipahami dan disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah kejadian
Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event), kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss), dan lain-lain.
Praktek pekerjaan kefarmasian dalam komunitas meliputi obat-obatan, pengadaan produk farmasi
dan pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan.
Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang diberikan oleh tenaga farmasi dalam
mendukung pelayanan kefarmasian. Di luar suplai obat-obatan, jasa kefarmasian meliputi
informasi, pendidikan dan komunikasi untuk mempromosikan kesehatan masyarakat, pemberian

27
informasi obat dan konseling, pendidikan dan pelatihan staf. Pekerjaan kefarmasian meliputi
penyediaan obat dan pelayanan lain untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan manfaat
yang terbaik. Peran tenaga teknis kefarmasian dan apoteker untuk pasien adalah

a. Memastikan terapi dan hasil yang sesuai


b. Dispensing obat dan alat kesehatan
c. Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit
d. Manajemen sistem kesehatan

Contoh kasus kesehatan kerja dan keselamatan kerja di pelayanan farmasi komunitas, yaitu
cedera akibat obat dan medication error, serta mallpraktik apoteker. Cara menanggulangi kasus
yang terkait kesehatan dan keselamatan kerja dalam pelayanan farmasi komunitas berdasarkan
contoh kasus diatas adalah

1. Pertanggungjawaban Malpraktik Secara Etik


2. Pertanggungjawaban Malpraktik Disiplin
3. Pertanggungjawaban Secara Hukum

28
Daftar Pustaka
Arrazy, S., dkk. (2014). Penerapan sistem manajemen keselamatan kebakaran di Rumah Sakit
Dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas tahun 2013. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 5, 103-111.
http://eprints.unsri.ac.id/5854/1/4._Syafan_Arrazy.pdf.
secipto. 2014. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Yuwono, R & Yuanita, F. (2015). Analisa Faktor K3 dan Ergonomi Terhadap
Kepuasan Pasien Pada Fasilitas Pusat Kesehatan Universiti Malaysia
Pahang. Jurnal Ilmiah Teknik Industri (JITI); 14(1):1-2
Saputra. 2014. Buku Saku Keperawatan Pasien dengan Gangguan Fungsi. Tanggerang Selatan
Dumadi, W. (2016). Malpraktik apoteker dalam pelayanan kefarmasian. Tesis Program Pascasarjana
Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Indra Oditya Putra. 2018. RISK MANAGEMENT AT BIOPHARMACEUTICAL AND
PHARMACEUTICAL ANALYSIS LABORATORY OF AIRLANGGA UNIVERSITY FACULTY
OF PHARMACY. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health,Vol. 7 No 1 hal 81-90
Ivana, Azza, Baju Widjasena, and Siswi Jayanti. "Analisa Komitmen Manajemen Rumah Sakit (RS)
Terhadap Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Pada RS Prima Medika Pemalang." Jurnal
Kesehatan Masyarakat (Undip) 2.1 (2014): 35-41.
Nasution, A., Hasibuan, P. A. Z., Dalimunthe, K. A., Tanjung, Y. H. R., Husori, M. D. I., Nasution, E.
S., ... & Malasari, J. Penuntun Praktikum Farmasi Komunitas
Rawis, Thresia Deisy, Jermias Tjakra, and Tisano Tj Arsjad. "Perencanaan biaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) pada proyek konstruksi bangunan (studi kasus: sekolah st. ursula
kotamobagu)." Jurnal Sipil Statik 4.4 (2016)
Ruli Rahmawati.2017. Gambaran Penerapan Program K3 Pada Rumah Sakit (K3RS) di Semarang.
Semarang : Universitas Diponogoro
Silfinus Padma.2018. Jurnal Penelitian Evaluasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
.Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945
Drs. Abdul Muchid, Apt. 2008. Buku : Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien.
Jakarta : Direktorat Buna Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Dapertemen Kesehatan RI
Drs. Abdul Muchid, Apt. 2006. Pedoman Kesehatan dan Keselamataan Kerja Instalasi Farmasi di
Rumah Sakit. Jakarta : Direktorat Buna Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Dapertemen Kesehatan RI

29

Anda mungkin juga menyukai