Anda di halaman 1dari 11

Catatan :

Ditambahin pendahuluan, nilai-nilai profesionalisme, pemeran (siapa jadi apa), referensi


(nama bukunya)

Kalimat Dubbing

Scene 1 (Biodata Orang Tua Wahidin)


Jeda 8 detik Dr. Wahidin Soedirohoesodo lahir pada tanggal 7 Januari 1852 di Desa Mlati,
sebuah desa yang terletak 8,5 KM dari pusat kota Yogyakarta. (ibu wahidin nggendong
anak)

Ibu Wahidin (aghna) : kebaya

Scene 2 (Penjelasan Orang tua)


Jeda 1 detik Dr. Wahidin Soedirohoesodo memiliki seorang ayah yang bernama Arjo Sudiro,
tetapi karna jenggotnya yang lebat ia sering di panggil “Mbah Kruwis”,
Jeda 1 detik Keluarga Arjo Sudiro cukup terpandang di desanya. Konon, mereka berasal dari
Bagelan, Jawa Tengah. Pak Arjo Sudiro adalah seorang “ronggo”, yaitu pembantu wedana
atau semacam camat untuk bidang tertentu. Namun, yang istimewa dari Pak Arjo Sudiro
bukanlah kedudukan ataupun kekayaannya, melainkan pendapatnya tentang pendidikan.
Beliau memandang bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk anak-anaknya.
Oleh karena itu, Wahidin dan kakaknya dimasukkan ke sekolah desa yang biasa disebut
sebagai sekolah angka loro, yang artinya ‘sekolah yang nomor dua’. Sekolah tempat Wahidin
kecil letaknya masih di desanya, yakni di Mlati. Jeda 3 detik

Ayah wahidin (Adriel) : blangkon + batik

Durasi scene 1-2 (fawwaz) : 1 menit 41 detik

Scene 3 (Waktu semasa Wahidin SD/SMP)


Jeda 8 detik
Saat kecil Dr. Wahidin Soedirohoesodo bersekolah di angka loro atau De Scholen der
Tweede Klase. Sekolah ini khusus untuk anak-anak bumiputra, seperti priyayi kecil, petani,
dan buruh. + Foto gambar sekolah angka loro. Sekolah angka loro beda dari sekolah angka
siji atau De Scholen der Earste Klasse. Sekolah angka siji mutunya lebih baik karena sekolah
itu khusus untuk anak-anak bangsawan, priayi tinggi, pejabat pemerintah, atau tokoh
terkemuka pribumi lainnya. + gambar sekolah angka siji. (Wahidin bangun tidur terus mandi)
wahidin : kaos putih+celana hitam atau sarung

Jeda 3 detik
Jeda 5 detik Saat di sekolah kepandaian Wahidin sudah mulai terlihat, dia dapat menerima
pelajaran dengan cepat, bahkan dia juga menjadi murid tepandai di kelas nya. Kepandaian
Wahidin juga membuat guru-guru nya terkesan. Anjuran guru-guru itu diterima dengan baik
oleh ayah Wahidin. Hal itu sangat sesuai dengan keinginannya. Wahidin sendiri sangat
gembira mendengarnya. Pada 1864, dalam usia 12 tahun, Wahidin masuk ke Sekolah Rakyat
Rendah Eropa (Eurepeesche Lagere School—ELS) yang terletak di Yogyakarta.
Wahidin (Arwise) : kemeja putih+celana hitam+blangkon/peciiii

Scene 4 (Frits Kohle lagi ngajarin Wahidin)


Jeda 3 detik Masuknya Wahidin di ELS tidak lepas dari bantuan Frits Kohle. Dia adalah suami
kakak perempuan Wahidin. Dia orang Belanda dan menjadi administra-tur perkebunan tebu
di Wonolopo, Sragen. Karena melihat kepandaian adik iparnya itu, Frits Kohle dengan
senang hati untuk menyekolahkannya. Bersama anak-anak Frits Kohle, Wahidin bersekolah
di ELS.
(ngeliatin First Kohle di meja kerja)
 Jeda 3 detik
Jeda 5 detik Untuk persiapan masuk ELS, Frits Kohle mendidik Wahidin lebih dahulu di
rumahnya. Dia khawatir Wahidin tidak bisa diterima di ELS jika tanpa dibekali pengetahuan
tambahan lebih dulu. Tanpa peran Frits Kohle, Wahidin mungkin tidak bisa masuk ELS
karena ELS adalah sekolah khusus bagi anak-anak Eropa. Kalaupun ada anak bumiputra di
sana, mereka adalah anak-anak priayi tinggi, sedangkan keluarga Wahidin termasuk priayi
rendah.
(First Kohle ngajar)
Frits Kohle (Adriel) : baju putih+celana hitam+lakban item

Scene 5 (Wahidin di ejek sama anak belanda)


Jeda 3 detik Di ELS Wahidin diakui sebagai anak yang pandai. Padahal, banyak orang Eropa
di ELS yang mengira bahwa anak-anak bumiputra pastilah bodoh. Anak-anak bumiputra
sering diejek jika tidak bisa menjawab pertanyaan di kelas. Bukan hanya karena masalah
pelajaran saja anak bumiputra sering direndahkan, melainkan juga cara berpakaian mereka
pun sering dijadikan bahan ejekan. Jeda 1 detik (Wahidin diejek)
Namun Wahidin selalu menghiraukan ejekan mereka. Jeda 8 detik (Wahidin pergi, ngeshoot
pas jalannya)
Anak Belanda (aya) : baju putih+rok item+kerudung item

Scene 6 (Wahidin belajar dengan sungguh-sungguh, Masukin foto Tweede Europese


Lagere School atau Sekolah Dasar Eropa Kedua, Wahidin belar lagi)
Jeda 1 detik (Wahidin di meja belajar) Walaupun Wahidin sering diejek oleh teman nya yang
merupakan anak Eropa, dia tetap belajar dengan tekun. Hingga , terbuktilah bahwa
kepandaiannya tidak kalah dibandingkan dengan anak Eropa, anak priayi tinggi, atau putra
para bangsawan. Wahidin dapat menerima pelajaran dengan baik dan menyelesaikan
sekolah dasar ELS-nya.

Jeda 3 detik (Wahidin ngambil buku) Wahidin lalu melanjutkan pendidikannya ke tingkat
yang lebih tinggi, yaitu di Tweede Europese Lagere School atau Sekolah Dasar Eropa Kedua.
(gambar sekolah itu)
Di tingkat itu, murid bumiputra dari golongan priayi rendah semakin sedikit. Muridnya
kebanyakan adalah anak Eropa dan bangsawan bumiputra. Namun, Wahidin tidak rendah
diri. Dia tetap dapat menerima pelajaran tanpa banyak kesulitan. Bahasa Belanda pun dapat
dikuasainya dengan baik. Oleh karena itu, dia dapat membaca dan mempelajari banyak
buku yang ditulis dalam bahasa Belanda. Puncaknya, Wahidin lulus dari tingkat itu dengan
predikat uitmuntend yang artinya ‘terbaik’.
Wahidin (Arwise) : kemeja putih+celana hitam+blangkon/peciiii

Jeda 3 detik (Wahidin di meja belajar, beda baju) Wahidin remaja sangat gembira dengan
hasil yang dicapainya. Namun, dia tidak berhenti belajar dan berpuas diri. Dia masih ingin
melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Guru-gurunya pun menyarankan agar
Wahidin melanjutkan sekolah ke Batavia atau yang sekarang dikenal sebagai Jakarta. Fritz
Kohle yang menyekolahkannya pun ikut senang. Ia puas melihat hasil yang dicapai Wahidin.
Oleh karena itu, dengan senang hati ia pun mendukung rencana Wahidin untuk bersekolah
lagi di Batavia, di Sekolah Dokter Jawa. (Wahidin belajar lagi). Jeda 3 detik
Wahidin (Arwise) : kemeja batik+celana hitam+blangkon/peciiii

Durasi scene 3-6 (yaya) : 4 menit 52 detik

Scene 7 (Foto STOVIA + foto Wahidin pas pake jas dokter)


Jeda 1 detik Sekolah Dokter Jawa adalah sekolah untuk tenaga kesehatan yang didirikan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia pada masa penjajahan. Sekolah itu didirikan
untuk menghasilkan dokter bumiputra. Dokter bumiputra itu diharapkan dapat
meningkatkan kesehatan masyarakat karena saat itu memang masih sering terjadi wabah
penyakit.
Wahidin masuk ke Sekolah Dokter Jawa pada tahun 1869. Saat itu masa belajarnya masih
tiga tahun. Dia merupakan anak desa pertama yang bisa belajar di Sekolah Dokter Jawa.
Meskipun demikian, dia tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran.
Wahidin memang telah menguasai bahasa Belanda dengan baik. Terbukti, dia lulus dengan
cepat. Dia tidak perlu waktu tiga tahun untuk lulus, tetapi hanya 22 bulan.
Karena kepandaiannya itu, Wahidin kemudian diangkat sebagai asisten guru (Asistent
Leerar) di sana. Pengangkatan itu terjadi pada 1872.
Wahidin selama beberapa tahun menjadi asisten guru. Karena ingin lebih berguna bagi
masyarakat luas, dia memutuskan untuk berhenti menjadi asisten guru. Setelah diizinkan,
dia kembali ke tempat asalnya, Yogyakarta.

Scene 8 (Menyapa warga sekitar)


Jeda 3 detik Sebagai dokter, dia dikenal sangat murah hati, lembut, dan ramah kepada siapa
pun terutama masyarakat sekitar Jeda 10 detik
Wahidin (Fawwaz) : kemeja putih+celana putih+blangkon/peciiii. Alternatif : celana item

Durasi scene 7-8 (arwise) : 1 menit 36 detik

Scene 9 (foto+quotes) (Nulis resep obat + Pasien bayar cuma Wahidin menolak bayaran)
Dokter Wahidin mempunyai sikap yang sangat terpuji, yaitu membantu orang yang
memerlukan, menerangi orang yang kegelapan, menyembuhkan orang yang sakit, memberi
tahu orang yang belum tahu, mendamaikan orang yang bertengkar, dan seterusnya.
Mungkin karena prinsip itulah, dia menggunakan nama tambahan Soedirohoesodo.
sudirahusada (yang dalam nama lengkap Dokter Wahidin dieja menjadi Soedirohoesodo) itu
artinya 'tangguh dalam mengobati'. Nama itu sangat tepat untuk Dokter Wahidin. Jeda 3
detik

Jeda 3 detik Dia juga sabar memberikan penjelasan kepada pasiennya. Kemurahan hatinya
tampak dalam pelayanannya. Untuk pasien yang tidak mampu, Dokter Wahidin tidak
memungut biaya pengobatan. Sering kali, pasiennya malah diberi ongkos untuk naik delman
saat pulang. Bagi orang kaya pun, dia hanya memungut biaya sekadarnya. Sungguh mulia
hati Dokter Wahidin. (Wahidin nolak dibayar) Jeda 10 detik
Durasi scene 9 (aghna) : 1 menit 13 detik
Pasien (muthia) : kebaya
Wahidin (fawwaz) : kemeja putih, jas lab

Scene 10 (Wahidin ngobatin pasien + Dokter Cedee dan Dokter Van Borne nge gibah dari
belakang)
Jeda 1 detik Karena keluhuran budinya, tidak heran bila banyak orang suka berobat kepada
Dokter Wahidin. Dengan demikian, dia semakin terkenal sebagai dokter yang ramah dan
dermawan. Akan tetapi, kemasyhuran Dokter Wahidin rupanya membuat beberapa orang iri
hati. Jeda 5 detik
Pasien (Ine) : kebaya

Jeda 3 detik Mereka, antara lain, adalah dua dokter Belanda yang berpraktik di Yogyakarta,
yaitu Dokter Cedee dan Dokter Van Borne. Karena iri hati itu pula, mereka bersekongkol
untuk mengadukan Dokter Wahidin kepada Residen Yogyakarta. Sungguh tidak adil, izin
praktik dr. Wahidin pun kemudian benar-benar dicabut.  Akan tetapi, rupanya masyarakat
tidak peduli. Para pasien tetap berobat kepada Dokter Wahidin. Setelah ditelusuri, tuduhan
sebagai "dukun" itu tidak terbukti. Melihat tipu muslihat itu tidak mempan, orang-orang
yang iri itu pun lalu mengakui keunggulan Dokter Wahidin. Jeda 1 detik
Durasi scene 10 (arwise) : 1 menit 10 detik
Dokter Cedee & Dokter Van Borne (Muthia&Aurora) : kemeja putih, jas lab, rok putih,
kerudung item

Scene 11 (Wahidin bertemu dengan Sutomo dan Suradji)


Jeda 5 detik (Soetomo dan Suradji ngobrol) Pada akhir tahun 1907 Dokter Wahidin singgah
di sekolahnya dulu, Sekolah Dokter Jawa yang telah berganti nama menjadi STOVIA.
Seotomo dan Seorajdi yang mendengar berita tersebut berniat untuk  mengundang Dokter
Wahidin dalam suatu pertemuan.
Jeda 5 detik, (Wahidin datang)
Mereka ingin mendengarkan cerita perjalanan Dokter Wahidin, juga mengetahui pikiran-
pikirannya secara langsung. Mereka tergugah dengan semangat dr. Wahidin.
Seotomo dan kawan-kawannya saat itu sangat mendukung perjuangan Dokter WAHIDIN
Soedirohoesodo.  Dengan semangat itu, kelak, Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan
sebuah organisasi pemuda Jawa sebagai usaha  mereka untuk mewujudkan cita-cita Dokter
Wahidin Soedirohoesodo. Organisasi itu kemudian dinamakan Budi Utomo. Nama Budi
Utomo diambil dari kata budi utami. Kata-kata itu digunakan oleh Soetomo saat pertemuan
dengan Dokter Wahidin tersebut. Konon, setelah Dokter Wahidin mengemukakan
gagasannya untuk membentuk lembaga beasiswa, (ngobrol bertiga)
Jeda 1 detik Soetomo menyahut, “Punika setunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi
utami!” Artinya adalah ‘Itu merupakan suatu perbuatan yang baik dan menunjukkan
keluhuran budi!’ Kata-kata itu dinilai tepat untuk menggambarkan semangat organisasi
mereka. (Soetomo menyahut “punika…”)
Jeda 3 detik
Sutomo (Arwise) : batik, celana item
Suradji (Yaya): kemeja item, celana item, kerudung item,blangkon
Wahidin (fawwaz) : kemeja putih, celana item,

Scene 12 (Masukin foto organisasi Budi Utomo)


Lima bulan setelah kunjungan Dokter Wahidin ke STOVIA, tepatnya pada tanggal 20 Mei
1908, organisasi Budi Utomo resmi berdiri. Organisasi ini bertujuan untuk meringankan
beban perjuangan bangsa Jawa dan memajukan pendidikan serta kerohanian mereka. Pada
Kongres Pertama Budi Utomo yang dilaksanakan di Yogyakarta, Dr Wahidin ditunjuk sebagai
wakil organisasi ini. Setelah kongres pertama, Budi Utomo terus berkembang.
Perkembangan ini tidak lepas dari peranan Dokter Wahidin sebagai pelopor bijak. Ia
merupakan tokoh pemisah antara masa lalu yang gelap dan masa depan yang terang di
negeri kita.
Dengan dukungan Budi Utomo, gagasan lama Dokter Wahidin untuk mendirikan lembaga
beasiswa itu terus diperjuangkan. Usaha itu dijadikan sebagai salah satu program Budi
Utomo. (foto organisasi budi utomo)

Di Yogyakarta, usaha itu mendapat dukungan besar dari Pangeran Notodirodjo dari
Kadipaten Pakualaman. Dia adalah kawan karib Dokter Wahidin Soedirohoesodo. (foto
pangeran notodirodjo)

Selain itu, ada pula dukungan dari R.M. Dwidjosewojo (jeda 2 detik), R.M. Boedihardjo (jeda
2detik), dan R. Sosrosoegondo (jeda 2 detik).

Durasi scene 11-12 (muthia) : 2 menit 44 detik

Scene 13 (foto anak jaman dulu lagi belajar) (Wahidin ngobrol sama Sultan
Hamengkubuwana VII + ngasih uang ke Wahidin)
(foto anak jaman dulu lagi belajar) Karena masalahnya cukup rumit, usaha itu kurang
berkembang di beberapa daerah. Akan tetapi, di Batavia, usaha itu berkembang dengan
cukup baik. Semua itu berkat usaha yang gigih dari para penggerak Budi Utomo, seperti
Dokter Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soeradji. Akhirnya, usaha itu
menampakkan tanda-tanda keberhasilan. Setelah dukungan cukup besar, Budi Utomo
berencana membuat sebuah lembaga khusus untuk mengurusi beasiswa. Namanya adalah
“Darmawara”. Lembaga itu berdiri pada 25 Oktober 1913.

Jeda 3 detik (Wahidin ngobrol, sultan ngasih duit) Darmawara pun mendapatkan simpati
dan dukungan dari Kesultanan Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwana VII (memerintah 1877-
1920) memberikan bantuan sebidang tanah seharga 100.000 gulden dan dana berupa uang
45.000 gulden. Bantuan itu kemudian digunakan untuk mendirikan tiga sekolah, namanya
Sekolah Netral. Dua sekolah dibangun di Yogyakarta dan satu di Surakarta. Jeda 3 detik
Sultan H (Adriel) : kemeja batik+blangkon+celana item

Scene 14 (Wahidin menerbitkan suatu majalah + Masukin foto majalahnya + foto kereta)
Dokter Wahidin semakin prihatin melihat penderitaan dan keterbelakangan bangsanya. Dia
bertekad untuk melakukan aksi yang lebih nyata dan terencana. Ada dua hal pokok yang
akan diperjuangkan Dokter Wahidin. Pertama, memberikan pendidikan sebaik-baiknya
kepada masyarakat. Kedua, menggugah kesadaran kebangsaan mereka. Dokter Wahidin
ingin menyadarkan masyarakat bahwa mereka adalah saudara sebangsa. Jeda 1 detik

Sebagai bagian dari aksi itu, Dokter Wahidin kemudian membuat majalah berkala Retno
Dhoemilah pada Mei 1895. Terbitnya tiap hari Selasa dan Jumat. Majalah itu dibuat bersama
kawannya, orang Belanda, yang bernama F.L. Winter. Adapun badan usaha yang
menerbitkannya ialah Firma H. Buning yang beralamat di Kota Yogyakarta. Nama Retno
Dhoemilah berarti ‘permata yang bercahaya’. Majalah itu diharapkan menjadi sesuatu yang
sangat berharga seperti permata. Cahayanya memberikan penerangan kepada bangsanya
untuk mencapai kemajuan. Majalah Retno Dhoemilah, pada tahun awal, dipimpin oleh F.L.
Winter. Saat itu, majalah itu memuat berita dari Yogyakarta, Surakarta, Malang, Rembang,
Cirebon, dan kota-kota lain di Jawa. Jeda 1 detik

Retno Dhoemilah bukan satu-satunya media massa yang dibuat oleh Dokter Wahidin. Dia
juga menerbitkan majalah Goeroe Desa. Majalah itu diharapkan dapat berperan seperti
guru, yaitu memberikan pengetahuan yang penting bagi orang-orang desa. Isi majalah itu,
antara lain, adalah pengetahuan tentang pertanian dan kesehatan. (Megang koran + foto
majalah) (Wahidin megang koran sambil baca-baca), jeda 3 detik,
(foto Retno Dhoemilah)
Wahidin (Fawwaz) : kemeja putih+celana hitam+blangkon/peciiii

Durasi scene 14 (adriel) : 2 menit 15 detik


(foto Wahidin di tugu jogja yang di buku) jeda 1 detik Setelah beberapa tahun
menyebarluaskan pikirannya melalui majalah, Dokter Wahidin Soedirohoesodo merasakan
hal itu belum cukup. Dia lantas ingin berkampanye secara langsung. Akhirnya, pada
November 1906 Dokter Wahidin Soedirohoesodo memutuskan untuk berkeliling Pulau Jawa
sendirian. Sungguh perjuangannya itu benar-benar luar biasa. Usianya yang sudah 50 tahun
bukanlah halangan untuk berjuang. (Foto yang di ppt Wahidin di stasiun tugu jogja)

(foto kereta jaman dulu), jeda 1 detik Untuk perjalanan antarkota di Jawa, Dokter Wahidin
menggunakan kereta api kelas tiga karena biayanya paling murah. Dia mulai dari kota
terdekat, yaitu Magelang, Salatiga, dan seterusnya. Semua itu dibiayainya sendiri. Sumber
dananya berasal dari penjualan hartanya, yaitu empat delman dan delapan belas ekor kuda.
Begitulah, dokter yang murah hati itu rela berkorban demi kemajuan bangsanya. (Foto
kereta jaman dulu)
Durasi scene 14 (aurora) : 1 menit

Total durasi scene 14 (Adriel+aurora) : 3 menit 15 detik

Scene 15 (Foto Museum Kebangkitan Nasional dll)

Pemerintah Republik Indonesia menghargai jasanya sebagai pelopor pergerakan nasional


dengan memberikan gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 1973 sesuai dengan
Keppres No. 88/TK/1973. (foto Wahidin), jeda 1 detik
Sebagian gambaran perjuangannya dapat kita saksikan di Museum Kebangkitan Nasional di
Jakarta, (foto museum) jeda 5 detik
selain itu nama beliau juga menjadi  nama rumah sakit di Makassar, Sulawesi Selatan, (foto
rumah sakit) jeda 5 detik
serta menjadi nama jalan di banyak daerah di Indonesia. (foto jalan) jeda 5 detik
Durasi scene 15 (alisha) : 49 detik

Scene 16 (Sisi lain Wahidin)


Di samping profesinya sebagai seorang dokter yang murah hati, Dokter Wahidin ternyata
mempunyai kemahiran dalam bidang seni, yaitu mendalang dan karawitan. Di rumahnya,
Dokter Wahidin mempunyai seperangkat gamelan. Pada saat-saat tertentu,  orang-orang
sekitar datang dan bermain gamelan di situ. Dokter Wahidin pun dengan senang hati ikut
bermain bersama mereka. Di kediamannya itu pula sering digelar berbagai pertunjukan seni,
terutama wayang. Dokter Wahidin tidak hanya bisa memainkan gamelan, tetapi mahir. Dia
pandai memainkan sangat banyak gending dengan alat gamelan apa saja. (mainin gamelan)
(fawwaz main gamelan + video main gamelan jaman dulu) jeda 3 detik

Demikian juga dalam mendalang. Pengetahuan dan keahliannya nyaris menyamai dalang
yang sebenarnya. (fawwaz main wayang+kalo ada foto Wahidin main wayang) jeda 5-8
detik

Tokoh lain yang memberikan kesaksian tentang keahlian Dokter Wahidin adalah Ki Hajar
Dewantara (Suwardi Suryaningrat). (fto dewantara) jeda 1 detik
Dalam tulisannya untuk mengenang Dokter Wahidin, Ki Hajar Dewantara menyatakan, "Juga
sebagai dalang, yaitu penyelenggara suatu permainan wayang, Ngabehi Soedirohoesodo
adalah yang terbaik di antara para amatir di kota kebudayaan Yogya." (foto bukunya kalo
ada, kalo gaada dewantara aja +tulisan) jeda 3 detik
Wahidin (fawwaz) : kemeja batik+celana hitam+blangkon/peciiii

Scene 17 (Njelasin kalo Wahidin jadi tempat ngadu berbagai masalah)


Karena kebijaksanaan dan sikapnya yang lembut, para tetangga menjadikan Dokter Wahidin
sebagai tempat mengadu jika ada masalah. jeda 3 detik
Dokter Wahidin pun berusaha memberikan jawaban atau jalan keluar untuk berbagai
masalah itu. (tetangga ngobrol) jeda 5-8 detik
Wahidin (fawwaz) : kemeja putih+celana hitam+blangkon/peciiii
Warga : kebaya

Durasi scene 16-17 (aya) : 1 menit 51 detik

Scene 18 (Sifat Wahidin yang perlu diteladani + Foto foto lama beliau)
Sifat dokter wahidin yang dapat diteladani diantaranya :
1. Semangat kebangsaan yang tidak pernah padam jeda 2 detik
2. Semangat pantang menyerah dalam berusaha jeda 2 detik
3. Nasihat mengenai arti pentingnya pendidikan jeda 2 detik
4. Teladan untuk rela berkorban demi tujuan luhur jeda 2 detik
5. Teladan untuk bergaul di masyarakat secara baik jeda 2 detik
6. Semangat untuk menghargai seni dan budaya sendiri jeda 2 detik
7. Teladan untuk hidup sederhana jeda 2 detik
8. Teladan untuk menjadi dermawan jeda 2 detik

Durasi scene 18 (ine) : 48 detik

TOTAALLLL : 22 MENIT 11 DETIK

Anda mungkin juga menyukai