Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN KASUS VERTEBROBASILAR INSUFFICIENCY

(VERTIGO)

Dosen Pembimbing : Shinta Wahyusari ,S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Mat

Di Susun Oleh:

Riska Riffatul Maula


14201.10.18032

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKes HAFSHAWATY PESANTREAN HAFSHAWATY ZAINUL HASAN

PROBOLINGGO

2020-2021
LAPORAN PENDAHULUAN

VERTIGO

A. ANATOMI FISIOLOGI

1. Definisi sistem saraf


Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu bagian terkecil dari
organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang paling kompleks.
Susunan saraf manusia mempunyai arus informasi yang cepat dengan
kecepatan pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik
(impuls saraf).
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls
saraf ke susunan saraf pusat, pemprosesan impuls saraf dan pemberi
tanggapan rangsangan.

2. Sistem Saraf Pusat


Susunan saraf pusat (SSP) yaitu otak (ensefalon) dan medula spinalis,
yang merupakan pusat integrasi dan kontrol seluruh aktifitas tubuh. Bagian
fungsional pada susunan saraf pusat adalah neuron akson sebagai
penghubung dan transmisi elektrik antar neuron, serta dikelilingi oleh sel
glia yang menunjang secara mekanik dan metabolik (Bahrudin, 2013).
a. Otak
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting dan sebagai
pusat pengatur dari segala kegiatan manusia yang terletak di dalam
rongga tengkorak. Bagian utama otak adalah otak besar
(cerebrum), otak kecil (cereblum) dan otak tengah, Otak besar
merupakan pusat pengendali kegiatan tubuh yang disadari. Otak
besar ini dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan kiri.
Tiap belahan tersebut terbagi menjadi 4 lobus yaitu frontal, parietal,
okspital, dan temporal, sedangkan disenfalon adalah bagian dari
otak besar yang terdiri dari talamus, hipotalamus, dan epitalamus
(Khafinuddin, 2012).

b. Medula spinalis (sumsum tulang belakang)


Sumsum tulang belakang terletak memanjang di dalam rongga
tulang belakang, mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai ruas-ruas
tulang pinggang yang kedua. Sumsum tulang belakang terbagi
menjadi dua lapis yaitu lapisan luar berwarna putih (white area) dan
lapisan dalam berwarna kelabu (grey area) (Chamidah, 2013).
Lapisan luar mengandung serabut saraf dan lapisan dalam
mengandung badan saraf. Di dalam sumsum tulang belakang
terdapat saraf sensorik, saraf motorik dan saraf penghubung.
Fungsinya adalah sebagai penghantar impuls dari otak dan ke otak
serta sebagai pusat pengatur gerak refleks (Khafinuddin, 2012).

3. Sistem Saraf Tepi Susunan saraf tepi (SST)


yaitu saraf kranial dan saraf spinalis yang merupakan garis komunikasi
antara sistem saraf pusat (SSP) dan tubuh . Sistem Saraf Tepi Susunan
saraf tepi (SST) tersusun dari semua saraf yang membawa pesan dari dan
ke SSP (Bahrudin, 2013).

Berdasarkan fungsinya SST terbagi menjadi 2 bagian yaitu:

a. Sistem Saraf Somatik (SSS) Sistem saraf somatik terdiri dari 12 pasang
saraf kranial dan 31 pasang saraf spinal. Proses pada saraf somatik
dipengaruhi oleh kesadaran.
a) Saraf kranial
12 pasang saraf kranial muncul dari berbagai bagian batang
otak. Beberapa dari saraf tersebut hanya tersusun dari serabut
sensorik, tetapi sebagian besar tersusun dari serabut sensorik
dan motorik.
b) Saraf spinal

Ada 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks


dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Saraf spinal adalah saraf
gabungan motorik dan sensorik, membawa informasi ke korda
melalui neuron aferen dan meninggalkan melalui eferen.

b. Sistem Saraf Otonom (SSO)


Sistem saraf otonom mengatur jaringan dan organ tubuh yang
tidak disadari. Jaringan dan organ tubuh yang diatur oleh sistem saraf
otonom adalah pembuluh darah dan jantung. Sistem ini terdiri atas
sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Fungsi dari kedua
sistem saraf ini adalah saling berbalikan.
B. DEFINISI
Vertebrobasilar insufisiensi (VBI) adalah suatu jenis penyakit dimana terjadi
aliran darah yang tidak adekuat melalui sirkulasi posterior otak yang disuplai dari
arteri vertebralis yang bergabung membentuk arteri basilar atau lazim disebut
vertigo (Mayasari Kartika,2019).
Vertigo dapat adalah salah satu bentuk gangguan keseimbangan dalam
telinga bagian dalam sehingga menyebabkan penderita merasa pusing dalam
artian keadaan atau ruang di sekelilingnya menjadi serasa 'berputar' ataupun
melayang. Vertigo menunjukkan ketidakseimbangan dalam tonus vestibular. Hal
ini dapat terjadi akibat hilangnya masukan perifer yang disebabkan oleh
kerusakan pada labirin dan saraf vestibular atau juga dapat disebabkan oleh
kerusakan unilateral dari sel inti vestibular atau aktivitas vestibulocerebellar.
(Setiawati,2016)
Vertigo dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk gangguan
keseimbangan atau gangguan orientasi di ruangan. Banyak system atau organ
tubuh yang ikut terlibat dalam mengatur dan mempertahankan keseimbangan
tubuh kita. Keseimbangan diatur oleh integrasi berbagai sistem diantaranya
sistem vestibular, system visual dan system somato sensorik (propioseptik).
Untuk memperetahankan keseimbangan diruangan, maka sedikitnya 2 dari 3
sistem system tersebut diatas harus difungsikan dengan baik. Pada vertigo,
penderita merasa atau melihat lingkunganya bergerak atau dirinya bergerak
terhadap lingkungannya. Gerakan yang dialami biasanya berputar namun
kadang berbentuk linier seperti mau jatuh atau rasa ditarik menjauhi bidang
vertikal. Pada penderita vertigo kadang-kadang dapat kita saksikan adanya
nistagmus. Nistagmus yaitu gerak ritmik yang involunter dari pada bolamata.
(Lumban Tobing. S.M, 2013)
C. KLASIFIKASI

Klasifikasi Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis,


yaitu:
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling
seringterjadi, dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari
kasus BPPV. Penyebab paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal
inidikarenakan debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh
kekanal posterior karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada
padaposisi yang paling bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun
berbaring (Imai T, et al, 2016).
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama
kalidiperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik
vertigoposisional yang diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah
nistagmushorizontal yang terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan
fase cepat ke Universitas Sumatera Utara arah telinga di posisi bawah)
atau apogeotropik (arah gerakan fase cepatkearah telinga di posisi atas)
selama kepala dipalingkan ke salah satu sisidalam posisi telentang.
Nistagmus geotropik terjadi karena adanyaotokonia yang terlepas dari
utrikulus dan masuk ke dalam lumen posteriorkanalis horizontal
(kanalolitiasis), sedangkan nistagmus apogeotropikterjadi karena
otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada kupulakanalis
horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia didalam
lumen anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis apogeotropik) (Imai T, et
al, 2016).

Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa


tahunterakhir terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal.
Pasien dengankeluhan dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak
sesuai dengan kriteriadiagnostik BPPV kanalis posterior harus dicurigai sebagai
BPPV kanalis horizontal (Imai T, et al, 2016).

D. ETIOLOGI

Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ


keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf
yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vetigo bisa disebabkan oleh
kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan
otak dan di dalam otaknya sendiri. Vertigo juga bisa berhubungan dengan
kelainan penglihatan atau perubahan tekanan darah yang terjadi secara tibatiba.
Penyebab umum dari vertigo: (Israr, 2012).
1. Keadaan lingkungan
Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)
2. Obat-obatan
a. Alkohol
b. Gentamisin
3. Kelainan sirkulasi
Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena
berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral
dan arteri basiler
4. Kelainan di telinga
a. Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam
telinga bagian dalam (menyebabkan benign paroxysmal positional
vertigo)
b. Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri.
c. Herpes zoster
d. Labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga)
e. Peradangan saraf vestibuler
f. Penyakit Meniere
5. Kelainan neurologis
a. Sklerosis multipel
b. Patah tulang tengkorak yang disertai cedera pada labirin,
persarafannya atau keduanya
c. Tumor otak
d. Tumor yang menekan saraf vestibularis.

E. MANIEFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis pada klien dengan vertigo yaitu Perasaan berputar yang
kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual,
muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput
putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur,
tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan
selaput tipis (Rahayu,2013)
Pasien Vertigo akan mengeluh jika posisi kepala berubah pada suatu
keadaan tertentu. Pasien akan merasa berputar atau merasa sekelilingnya
berputar jika akan ke tempat tidur, berguling dari satu sisi ke sisi lainnya, bangkit
dari tempat tidur di pagi hari, mencapai sesuatu yang tinggi atau jika kepala
digerakkan ke belakang. Biasanya vertigo hanya berlangsung 5-10 detik.
Kadang-kadang disertai rasa mual dan seringkali pasien merasa
cemas.Penderita biasanya dapat mengenali keadaan ini dan berusaha
menghindarinya dengan tidak melakukan gerakan yang dapat menimbulkan
vertigo. Vertigo tidak akan terjadi jika kepala tegak lurus atau berputar secara
aksial tanpa ekstensi, pada hampir sebagian besar pasien, vertigo akan
berkurang dan akhirnya berhenti secara spontan dalam beberapa hari atau
beberapa bulan, tetapi kadang-kadang dapat juga sampai beberapa tahun.
Pada anamnesis, pasien mengeluhkan kepala terasa berputar pada
perubahan posisi kepala dengan posisi tertentu. Secara klinis vertigo terjadi pada
perubahan posisi kepala dan akan berkurang serta akhirnya berhenti secara
spontan setelah beberapa waktu. Uji posisi dapat membantu mendiagnosa
vertigo, yang paling baik adalah dengan melakukan manuver Hallpike : penderita
duduk tegak, kepalanya dipegang pada kedua sisi oleh pemeriksa, lalu kepala
dijatuhkan mendadak sambil menengok ke satu sisi. Pada tes ini akan didapatkan
nistagmus posisi dengan gejala :
1. Penderita vertigo akan merasakan sensasi gerakan seperti berputar, baik
dirinya sendiri atau lingkungan
2. Merasakan mual yang luar biasa
3. Sering muntah sebagai akibat dari rasa mual
4. Gerakan mata yang abnormal
5. Tiba - tiba muncul keringat dingin
6. Telinga sering terasa berdenging
7. Mengalami kesulitan bicara
8. Mengalami kesulitan berjalan karena merasakan sensasi gerakan berputar.
9. Pada keadaan tertentu, penderita juga bisa mengalami ganguuan
penglihatan (Tobing,2015)
F. PATHWAY

Etiologi

Vestibuler Non-vestibuler

Fisiologis: motion sickness, Vestibular neuronitis, Cerebeller haemorrhage, Brainstem ischemic attacks, Basilar artery migrane,
Meniere's disease, Labyrnthitis, Perilymphatic fistula Posterior fossa tumors, Arteriosklerosis, Anemia dan Intoksikasi

Sistem keseimbangan tubuh (vestibuler) terganggu

Sensasi seperti bergerak, berputar

VERTIGO

BREATHING BLOOD BRAIN BLADDER BOWL BONE


Dizzines Ketidak seimbangan proses peredaran darah Gg. di SSP atau SST Sirkulasi oksigen di otak Pusing, sakit kepala Ketidakcocokan informasi yg di
menurun sampaikan ke otak oleh saraf aferen

Merangsang S. parasimpatis Kontraksi jantung meningkat Spasme saraf Gelisah, ansietas


Kompensasi jantung Proses pengolahan informasi
Nyeri, sakit kepala memompa lebih cepat terganggu
Bronkokontriksi Takikardi Peristaltik

Redistribusi aliran darah Transmisi persepsi ke reseptor


Hipoventilasi Disritmia
Disorientasi ke organ2 vital Mual, muntah proprioception terganggu

Kerja napas meningkat MK : Gg. Perfusi jaringan Perfusi jaringan Anoreksia


Kesadaran menurun
Kegagalan koordinasi
Dyspnea MK : Gg. Rasa
MK : Resiko Hipoperfusi ginjal MK: Perubahan nutrisi kurang
nyaman nyeri Ketidak teraturan
Cidera dari kebutuhan tubuh kerja otot
MK : Penurunan fx ginjal

Pola napas tidak


MK : Gg. Eliminasi urine Produksi urine MK : Intoleransi
aktifitas
MK : Kerusakan pertukaran gas
G. PATOFISIOLOGI
Kondisi alat keseimbangan baik sentral maupun perifer yang tidak normal atau
adanya gerakan yang aneh/ berlebihan, maka tidak terjadi proses pengolahan
input yang wajar dan muncullah vertigo. Selain itu, terjadi pula respons
penyesuaian otot-otot yang tidak adekuat, sehinggan muncul gerakan
abnormal mata (nistagsum), unsteadiness/ ataksia sewaktu berdiri/ berjalan
dan seperti gejala lainnya (Akbar, 2013). Menurut Akbar (2013) ada beberapa
teori di antaranya :

1. Teori rangsangan berlebihan (overstimulasi)


Dasar teori ini adalah suatu asumsi bahwa makin banyak dan semakin cepat
rangsangan (gerakan kendaraan), makin berpeluang menimbulkan sindrom
vertigo akibat gangguan fungsi Al at Keseimbangan Tubuh (AKT). Jenis
rangsangan AKT ini yang ada pada saat ini antara kursi putar Barany,
faradisasi/ galvanisasi dan irigasi telinga, serta kendaraan laut dan darat.
Menurut teori ini sindrom vertigo timbul akibat rangsangan berlebihan
terhadap kanalis semisirkulasi menyebabkan hiperemi dari organ ini sehingga
bisa muncul sindrom vertigo (vertigo, nistagmus, mual dan muntah). Keadaan
normal (fisiologi), impuls yang diterima akan diperbandingkan antara sisi kiri
dengan kanan, antara impuls yang berasal dari penglihatan dengan
proprioseptik dan vestibular secara timbal balik. Pengolahan informasi
berjalan secara reflektoris lewat proses yang normal dengan hasil akhir
terjadinya penyesuaian otot-otot penggerak/ penyangga tubuh dan otot
penggerak bola mata. Oleh karena itu, maka tubuh dan kepala tetap tegak
serta berjalan lurus (tidak sempoyongan atau tidak melawan arah) serta dapat
melihat objek penglihatan dengan jelas meskipun sedang bergerak (jalan lari).
2. Teori konfliks sensori ini dari kedua sisi (kanan-kiri) antara masukan dari
ketiga jenis (vestibulum, visus, proprioseptik) atau reseptor AKT. Keadaan ini
bisa sebagai akibat rangsangan berlebihan, dari lesi sistem vestibular sentral
atau perifer sehingga bisa menyebabkan pusat pengolah data di otak
mengalami kebingunan dan selanjutnya proses masnya sensori yang
menempuh jalur tidak normal. Proses tidak normal ini akan menimbulkan
perintah (keluaran) dari pusat AKT menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan
keadaan yang sedang dihadapi dan membangkitkan tanda kegawatan.
Perintah/ keluaran yang tidak sesuai akan menimbulkan refleks antisipatif
yang salah dari otot-otot ekstremitas (deviasi jalan sempoyongan), penyangga
tubuh (deviasi saatberposisi tegak) otot, dan otot penggerak mata
(nistagmus). Tanda kegawatan berupa vertigo yang bersumber dari
korteksotak dan keringat dingin serta mual muntah yang berasaldari aktivitas
sistem saraf otonom.
G. KOMPLIKASI

1. Cidera fisik
Pasien dengan vertigo ditandai dengan kehilangan keseimbangan akibat
terganggunya saraf VIII (Vestibularis), sehingga pasien tidak mampu
mempertahankan diri untuk tetap berdiri dan berjalan.
2. Kelemahan otot
Pasien yang mengalami vertigo seringkali tidak melakukan aktivitas.
Mereka lebih sering untuk berbaring atau tiduran, sehingga berbaring
yang terlalu lama dan gerak yang terbatas dapat menyebabkan
kelemahan otot.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan  CT-scan atau MRI kepala dapat menunjukkan kelainan tulang


atau tumor yang menekan saraf. Jika diduga infeksi maka bisa diambil contoh
cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang.
2. Pemeriksaan angiogram, dilakukan karena diduga terjadi penurunan aliran
darah ke otak. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya sumbatan
pada pembuluh darah yang menuju ke otak.
3. Pemeriksaan khusus : ENG, Audiometri dan BAEP, psikiatrik.
4. Pemeriksaan tambahan : EEG, EMG, EKG, laboratorium, radiologik.
5. Pemeriksaan fisik : mata, alat keseimbangan tubuh, neurologik, otologik,
pemeriksaan fisik umum (Kang 2014).

I. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
1) Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin)

a) Dimenhidrinat lama kerja tini ialah 4–6 jam. Obat dapat diberi per
oral atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena),
dengan dosis 25 mg-50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
b) Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari.
c) Senyawa betahistin (suatu analog antihistamin):
I. Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral
II. Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari. Maksimum
6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.
2) Kalsium Antagonis
Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan
dapat mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier.
Dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari.
b. Nonfarmakologi.

1) Pasien duduk tegak dipinggir tempat tidur dengan kedua tungkai


tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan
cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu
duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi
lain. pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali.
2) Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-
masing diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3
minggu dengan latihan pagi dan sore hari.
3) Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan
metode Brand Daroff.
4) Pasien duduk tegak dipinggir tempat tidur dengan kedua tungkai
tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan
cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu
duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi
lain. pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali.
5) Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-
masing diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3
minggu dengan latihan pagi dan sore hari.
6) Epley manuver untuk pengobatan dari posterior canal BPPV (benigh
paroxysmal positional vertigo), vertigo posisional paroksismal
benigna, adapun Langkah-langkanya:
a. 1 dan 2 dari manuver Epley adalah langkah-langkah tes Dix-
Hallpike positif. Setelah memegang selama 20 detik di posisi 2,
kepala berubah 90 ke arah yang tidak terpengaruh.

b. Setelah menahan selama 20 detik di posisi 3, kepala beralih


lagi ke posisi yang hampir menghadap ke bawah dengan tubuh
yang juga beralih untuk mengakomodasi gerakan kepala.

c. Setelah memegang selama 20 detik di posisi 4, pasien dibawa


ke posisi duduk.
d. Pergerakan materi otolit dalam labirin digambarkan dengan
setiap langkah, memperlihatkan. Bagaimana otoliths
dipindahkan dari kanal semikirit ke ruang depan.

J. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


a. Pengkajian
Pengkajian Dan Pemeriksaan Fisik
1. Anamnesa
Identitas Klien
Meliputi nama klien, usia: di derita usia dewasa, jenis kelamin : dominan
perempuan, pekerjaan : yang mengakibatkan mabuk darat, alamat rumah :
lingkungan yang kumuh dan kotor.
1) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum : lemah
b) Tanda-tanda vital
Tekanan Darah ; ≥100/90 mmHg,
RR : ≥23x/menit
Nadi : ≥89x/menit
Suhu : ≥37,0ºC
c) Kepala
Pusing seperti beban berat dan berputar, benda sekitar bergerak.
d) Mata
Inspeksi : Anemis, cekung, terasa panas
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
e) Abdomen
Inspeksi : bentuk cekung, mual dan muntah
f) Integument
Inspeksi : Mukosa pucat, kulit kering
Palpasi : teraba hangat
b. Diagnosa
1) Resiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi kognitif
2) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
3) Gangguan rasa nyaman burhubungan dengan gejala penyakit.
c. Intervensi
1. Resiko cedera
1) Menejemen keselamatan lingkungan (SIKI,192)
a) Observasi
 Identifikasi kebutuhan dan keselamatan(mis.kondisi fisik,fungsi kognitif)
b) Teraupetik
 Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan
 Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahay dan resiko)
c) Edukasi
 Ajarkan individu ,keluarga resiko tinggi bahaya lingkungan
2) Edukasi keselamatan rumah (66)
a) Observasi
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
b) Edukasi
 Anjurkan memastikan pemasangan pegangan tangan di area yang
perlu,jika perlu
 Anjurkan memastika lantai kamar mandi tidak licin
 Anjurkan memastikan keset dan karpet lantai rapi dan bebas barang
berserakan.
2. Defisit perawatan diri
1) Dukungan perawatan diri (36)
a) Observasi
 Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
 Monitor tingkat kemandirian
 Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri
berpakaian,berhias,dan makan
b) Teraupetik
 Sediakan lingkungan yang teraupetik (Mis suasana rilek,privasi)
 Siapkan keperluan pribadi (Mis, sikat gigi,parfum dan sabun
mandi)
 Dampingi dalam melakukan perawatan mandiri
 Jadwalkan rutinitas perawatan diri
c) Edukasi
 Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten.
2) Pengaturan posisi (293)
a) Terapeutik
 Tempatkan pada tempat tidur yang tepat
 Tempatkan objek yang sering digunakan dalam jangkauan
 Atur posisi tidur yang di sukai,jika tidak kontraindikasi
b) Edukasi
 Ajarkan cara menggunakan postur yang baikdan mekanika tubuh
yang baik selama melkukan perubahan posis
3) Manajemen lingkungan (194)
a) Observasi
 Identifikasi keamanan dan kenyamanan lingkungan
b) Terapeutik
 Atur suhu lingkungan yang sesuai
 Sediakan ruang berjalan yang cukup dan aman
 Sediakan tempat tidur dan lingkungan yang bersih dan nyaman
 Sediakan pewangi ruangan,jika perlu
 Izinkan keluarga untuk tinggal mendampingi pasien
c) Edukasi
 Jelaskan cara membuat lingkungan ruman yang aman
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad soepardi, efiaty dan Nurbaiti.(2012). Buku ajar ilmu kesehatan telingahidung
tenggorok kepala leher edisi ke lima. Jakarta : Gaya Baru
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta
Lumban Tobing. S.M, 2003, Vertigo Tujuh Keliling, Jakarta : FK UI

Mardjono M. & Sidharta P., 2008. Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
Nagel, P., Gurkov, R. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Alih bahasa Dany, F. Jakarta :
EGC
PPNI. 2017. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) : Jakarta

PPNI. 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) : Jakarta

PPNI. 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Jakarta

Santosa, Budi. 2013.Diagnosis Keperawatan Devinisi & Klasifikasi NANDA 2015-


2017. Jakarta: Prima Medika

Sjamsuhidayat & Jong.(2015).Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 3.Jakarta:EGC

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G., 2011. Buku ajar keperawatan medical-bedah Brunner &
Suddarth, vol:3, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai