PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre syndrome: GBS) untuk pertama
kalinya dipelajari oleh Wardrop and Ollivier, pada tahun 1834 (Soetjipto Hamiprodjo,
1986). Tahun 1859, sindrom ini ditulis untuk pertama kalinya oleh Landry berdasar
atas peninjauannya terhadap 10 kasus kelumpuhan dengan onset akut/mendadak pada
kedua tungkai (Soetjipto Hamiprodjo, 1986). Guillain, Barr, and Strohl (1916)
menggambarkan
sindrom
ini
sebagai
benign
polyneuritis
dengan
disertai
(Kissel, Mendell, Cornblath, 2001). Tidak ada terapi pilihan utama pada sindrom ini,
lebih berdasarkan pada tindakan suportif (Kissel, Mendell, Cornblath, 2001).
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan dapat membuat uraian yang
lengkap tentang bagaimana gejala dan perjalanan penyakit ini sehingga bisa
dilakukan penegakan diagnosa sedini mungin dan bisa dilakukan terapi yang tepat
terutama dibidang rehabilitasi medik.
1.2. Identifikasi Masalah
A. Apa yang menjadi penyebab/etiologi dari GBS?
B. Bagaimana patogenesis dari GBS?
C. Bagaimana atau gejala apa saja yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk
membuat diagnosa dini GBS?
D. Apakah program rehabilitasi medik yang bisa dikerjakan ?
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud karya tulis ilmiah ini adalah untuk membuat uraian mengenai GBS
secara menyeluruh dan lengkap. Tujuan karya tulis ilmiah ini adalah untuk
menguraikan mengenai GBS dengan lebih memfokuskan pada penatalaksanaan di
bidang rehabilitasi medik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Jaringan Saraf
Jaringan saraf terdiri dari Neuroglia dan sel Schwann (sel sel penyokong)
serta Neuron (sel sel saraf). Sel Schwann membentuk myelin maupun neurolemma
saraf tepi. Mielin merupakan suatu kompleks protein lemak bewarna putih yang
mengisolasi tonjolan saraf. Mielin menghalangi aliran ion Natrium dan Kalium
melintasi membran neuronal dengan hampir sempurna. Selubung myelin tidak
kontinu di sepanjang tonjolan saraf, dan terdapat celah celah yang tidak memiliki
myelin, dinamakan nodus Ranvier. Transmisi impuls saraf di sepanjang serabut
bermielin lebih cepat dari transmisi di sepanjang serabut tak bermielin, karena impuls
berjalan dengan cara meloncat dari nodus ke nodus yang lain di sepanjang
selubung myelin. Cara transmisi seperti ini dinamakan konduksi saltatorik
(Feriyawati, 2005). Impuls pada saraf termyelinasi dapat memiliki laju sekitar 100
m/s sedang-kan pada saraf tak termyelinasi, laju impuls hanyalah 10 m/s (Gunawan,
2002).
Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan fungsional
system saraf. Setiap neuron mempunyai badan sel yang mempunyai satu atau
beberapa tonjolan. Dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju
badan sel. Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari
badan sel disebut Axon. Dendrit dan akson secara kolektif sering disebut sebagai
serabut saraf atau tonjolan saraf. Kemampuan untuk menerima, menyampaikan dan
meneruskan pesan pesan neural disebabkan oleh karena sifat khusus membran sel
neuron yang mudah dirangsang dan dapat menghantarkan pesan elektrokimia
(Feriyawati, 2005).
Nervus kranialis memiliki nuklei motorik dan/ atau sensorik di dalam otak
dan serabut-serabut saraf perifer keluar dari otak serta meninggalkan tengkorak
menuju organ sensorik atau efektor (Snell, 2002).
Tabel 2.1 Nervus Cranialis
No
Nama
Komponen
Fungsi
I
II
III
Olfactorius
Opticus
Oculomotorius
Sensorik (SVA)
Sensorik (SSA)
Motorik (GSE,
Penghidu
Penglihatan
Mengangkat kelopak mata atas,
GVE)
IV
Trochlearis
Motorik (GSE)
dan
medial;
konstriksi
bola
Trigeminus
Divisi ophtalmicus
Sensorik (GSA)
Divisi maxillaris
Sensorik (GSA)
rahang
atas;
membrane
Motorik (SVE)
maxilla
Otot-otot
pengunyah,
mylohyoideus,
m.
M.
digastricus
dan
m.
tensor
tympanicum.
Sensorik (GSA)
VI
Abducens
Motorik (GSE)
VII
Facialis
Motorik (SVE)
mata ke lateral
Otot-otot wajah dan kulit kepala,
m. stapedius, m. digastricus venter
posterior, dan m. stylohyoideus.
Sensorik (SVA)
VIII
Vestibulocochlear
Vestibular
Sekretomotorik
parasimpatis
(GVE)
Sensorik (SSA)
Dari
utriculus,
sacculus,
dan
IX
Cochlear
Glossopharyngeus
Sensorik (SSA)
Motorik (SVE)
gerakan kepala
Organ Corti- pendengaran
M.stylopharingeus-membantu
menelan.
Sekretomotorik
Kelenjar parotis.
parasimpatis
(GVE)
Sensorik (GVA,
SVA, GSA)
faring;
(baroreseptor);
X
Vagus
sinus
carotis
corpus
carotis
Motorik (GVE,
(kemoreseptor)
Jantung dan pembuluh darah besar
SVE)
Sensorik (GVA,
SVA, GSA)
XI
Accessorius
Motorik (SVE)
Radix cranialis
Radiks spinalis
XII
Hypoglossus
Motorik (SVE)
cabang-cabang n. vagus
M. sternocleidomastoideus dan m.
Motorik (GSE)
trapezius
Otot-otot
lidah
palatoglossus)
(kecuali
mengatur
m.
bentuk
(S1-5), dan Sepasang saraf Koksigial. Penyebaran semua saraf medulla spinalis di
mulai dari torakal I sampai lumbal III, mempunyai cabang-cabang dalam saraf yang
akan keluar membentuk pleksus dan ini akan membentuk saraf tepi ( perifer ) terdiri
dari (Hutama dkk, 2010) :
1. Pleksus servikalis, di bentuk oleh cabang-cabang saraf servikalis anterior, cabang
ini bekerja sama dengan nervus vagus dan nervus asesorius
2. Pleksus brakialis, dibentuk oleh persatuan cabang-cabang anterior dari saraf
servikal 4 dan torakal 1, saraf terpenting nervus mediana. Nervus ulnaris radialis
mempersarafi anggota gerak atas.
3. Pleksus lumbalis,di buat oleh serabut saraf dalam torakal 12, saraf terbesar yaitu
nervus femoralis dan nervus obturator Di bentuk oleh saraf dari lumbal dan
sacral, saraf skiatik yang merupakan saraf terbesar keluar mempersarafi otot
anggota gerak bawah.
Gambar 2.1 Saraf Spinalis
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi,2002).
Pada sindrom guillain barre yang sering terjadi adalah tipe AIDP (Acute
inflammatory demyelinating polyradikulopathy ) Subtipe sindrom Guillain Barre
sindrom yang lain antara lain : acute motor axonal neuropathy dan akut motor sensory
axonal neuropathy. Variasi dari Sindrom Guillain barre meliputi Miller Fisher
syndrome (keterlibatan nervus cranial, ataksia)dan akut pan-dysautonomia. (Fary
Khan, 2004)
keterlambatan
atau
perubahan
sinyal.
Kejadian
tersebut
spesifik
dan
glikolipid
seperti
GM1
dan
GD1b,
kemudian
sel Schwann, strip mielin dari akson, dan kadang-kadang degenerasi akson. T-sel
autoreaktif yang dianggap "aktif" dan memediasi respon autoimun ini dengan
memulai kaskade untuk inflamasi. Winer, mengusulkan kemungkinan mekanisme
penyakit dimana antibodi antiganglioside tampak reaksi silang dengan antigen dalam
lipopolisakarida agen infeksi tertentu sebagai triggers GBS. literatur saat ini
menunjukkan bahwa molekul mimikri adalah mekanisme kemungkinan reaksi
autoimun. Mimikri molekuler adalah ketika sistem kekebalan tubuh merespon antigen
spesifik (dianggap ada karena infeksi) atau organisme yang sebenarnya terlibat dalam
infeksi sebelumnya, dan menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk menyerang
epitop yang sama dalam sistem saraf perifer (Mantay 2007).
Terdapat 5 subtipe GBS berdasarkan kelainan dan jenis kerusakannya, yaitu
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), Acute motor
axonal neuropathy (AMAN), Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN),
Miller Fisher syndrome, Acute panautonomic neuropathy. Perbedaan kelimanya
ditampilkan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2 Sub Tipe GBS
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Antibody mediated autoimmune disorder.
Triggered by antecedent infection or vaccination.
Inflammatory demyelination present and may be accompanied by axonal nerve loss.
Remyelination occurs upon cessation of immune reaction.
Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Most patients seropositive for Campylobacter infection.
Pure motor axonal form of neuropathy.
Pediatric patients mostly affected and recovery typically rapid
Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degeneration of myelinated motor and sensory fibers with minimal inflammation and demyelination.
Similar to AMAN except AMSAN only affects sensory nerves and roots.
Typically affects adults.
Miller Fisher syndrome
Rare, rapidly evolving ataxia, areflexia, with limb weakness and ophthalmoplegia.
Sensory loss not common, but proprioception can be impaired.
Demyelination and inflammation of cranial nerves III/IV, spinal ganglia, and peripheral nerves.
Resolution in one to three months.
Acute panautonomic neuropathy
Rarest of all types, with sympathetic, parasympathetic, and cardiac involvement.
Recovery is gradual and incomplete.
11
Hiporefleksi
12
13
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance
0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
14
3. Kortikosteroid
Pengobatan GBS dengan steroid tidak efektif pada penelitian prospektif acak
dengan menggunakan 500 mg methylprednisolone, meskipun usulan awal
kegunaannya dalam menurunkan keparahan penyakit. Oleh karena itu, kortikosteroid
tidak boleh digunakan dalam pengobatan GBS (Fary Khan, 2004).
2.3 Program Rehabilitasi Medik GBS
Tujuan dari rehabilitasi medik pada pasienGBS ini adalah untuk memperbaiki
dan memelihara fungsi kemandirian seseorang sesegera ungkin setelah kondisi pasien
stabil. Rehabilitasi mencakup tim interdispiler (misalnya occupasi terapist,
fisioterapist, peraawat dan pekerja sosial ) memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarga dan berpartisipasi untuk mewujudkan tujuan yang yang direncanakan
dengan pendekatan fungsional yaitu dengan meminimalisasi dissability dan
memaksimalkan fungsi. Komplikasi respirasi dari GBS dapat diatasi dengan
rehabilitasi. Pada umumnya pasien GBS berat dilakukan rehabilitasi 3-6 minggu
diikuti oleh program rehabilitasi komunitas dan home based rehabilitasi selama 3-4
bulan. (Fary Khan, 2004)
Berkaitan dengan fase akut, pasien memerlukan rehabilitasi untuk mencegah
hilangnya fungsi. Latihan ini berfokus pada penerapan fungsi ADL (Activity of Daily
Living) seperti meyikat gigi, mandi dan berpakaian. Occupasi terpist menyediakan
erlatan untuk membantu pasien melakukan ADL sendiri (misal dengan wheelchair
dan special cutlery). Fisioterapis merencanakan program training progresif dan
mengarahkan pasien untuk mengoreksi functional movement mencegah kompensasi
yang berbahaya dikarenakan efek negatif yang berlangsung lama. Speech therapist
sangat penting untuk mengembalikan fungsi berbicara dan menelan apabila pasien
dipasang intubasi dan trakheostomi. ( Norman Swan, 2009)
Restrictive pulmo berkaitan dengan sleep hiperkapnea dan hipoksia selama
tidur. Penurunan saturasi oksigen mengindikasikan pasien dengan hipoksia dan
hiperkapnea. Tindakan fisioterapi (chest perkusi, breathing exercise, resistive
inspiratory training) digunakan untuk membersihkan sekret pada saluran nafas
15
fisioterapi
17
atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit.
Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali
bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan
seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat
jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa
ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya.
Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian
latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit
yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita
sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan.
Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban
unntuk meningkatkan kekuatan otot.
Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya
fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti
misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu
diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan
fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja
yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran
kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan
pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit.
Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti
sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap
berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu,
atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat
perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya.
Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
19
penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi.
Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas
penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau
bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup
untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah
membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai
panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang
otot.
2.3.2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS
yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya
jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi
secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah
disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan
untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin
menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya
kembali terjadi penurunan kapasitas vital (ikatan fisioterapi,2009).
Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa
dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan
kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu
memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringanjaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk
terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik,
rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma
21
sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan
positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan
efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan.
Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu
sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat
cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.
Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran
pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem
pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang
dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan
mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa
meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.
Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila
sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini
berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan
ventilasi menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator
atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa
diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa
meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain
menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural
drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal
ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan,
penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda
gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi
22
penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini
sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran
pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot
pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot
pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk
mempertahankan kekuatan otot.
Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi.
Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi
lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal
ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang
berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila
kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing
dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan
menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan
melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan
akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang
bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan
adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah
kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing
ke saluran pernafasan sudah teratasi.
2.3.3. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila
kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial
nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu
dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut
antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau
23
dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan
manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan,
rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada
penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya
dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha
pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan
tulang harus selalu mendapat perhatian.(ikatan fisioterapi,2009)
25
BAB III
KESIMPULAN
Guillain-Barr syndrome (GBS) adalah sebuah autoimun penyakit yang
menyerang sistem saraf perifer yang biasanya dipicu oleh proses infeksi akut. Pada
sindrom guillain barre yang sering terjadi adalah tipe AIDP (Acute inflammatory
demyelinating polyradikulopathy ). Penelitian terakhir menyebutkan bahwa dua
pertiga kasus GBS berhubungan dengan infeksi akut sebelumnya oleh beberapa
spesies bakteri dan virus. Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, virus Epstein-Barr,
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Varicella-zoster telah
ditemukan di serum pasien yg menderita GBS (Koga, 2006).
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer (Japardi,2002).
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomatik. Pengobatan biasanya
26
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Victor. 2001. Diseases of spinal cord, peripheral nerve, and muscle. Dalam:
Maurice Victor, Allan H. Ropper, editor: Principles of neurology. 7th ed. New
York: McGraw Hill. p. 1380-1387.
Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma gullain-barre. Medika
(11); 918-922
Fary
Khan,
2004.
Rehabilitation
Guillain
Barre
https://www.racgp.org.au/afp/200412/20041128khan.pdf
Syndrom.
Feriyawati, Lita. 2005. Anatomi Sistem Saraf dan Peranannya Dalam Regulasi
Kontraksi Otot Rangka. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Gilroy J. 2000. Basic neurology. Edisi: 3. New York: McGraw Hill.
Guillain barre syndrome association of new south wales, 2004. Guillain-Barre
syndrome
www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/.../Guillain-Barre_syndrome
Gunawan, Adi. 2002. Mekanisme Penghantaran Dalam Neuron (Neurotransmisi).
Integral, vol. 7 no. 1, April 2002
Hutama A., Edo dkk. 2010. Sistem Persarafan. Program Studi Ilmu Keperawatan.
Stik Bina Husada Palembang.
Ikatan fisioterapi,2009. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Guillain-Barre
Syndrome
http://fisiosby.com/penatalaksanaan-fisioterapi-pada-kasusguillain-barre-syndrome/
Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma gullain barre. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas
Sumatra
Utara.
Dikases
dari
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf
Kissel John T., Cornblath David R., Mendell Jerry, R. 2001. Guillain-Barre
syndrome. Diagnostic and management of peripheral nerve disorders. New
York: Oxford University Press. p. 145-167.
Koga M, Gilbert M, Takahashi M, Li J, Koike S, Hirata K, Yuki N. 2006.
Comprehensive analysis of bacterial risk factors for the development of
27
28