Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre syndrome: GBS) untuk pertama
kalinya dipelajari oleh Wardrop and Ollivier, pada tahun 1834 (Soetjipto Hamiprodjo,
1986). Tahun 1859, sindrom ini ditulis untuk pertama kalinya oleh Landry berdasar
atas peninjauannya terhadap 10 kasus kelumpuhan dengan onset akut/mendadak pada
kedua tungkai (Soetjipto Hamiprodjo, 1986). Guillain, Barr, and Strohl (1916)
menggambarkan

sindrom

ini

sebagai

benign

polyneuritis

dengan

disertai

albuminocytologic dissociation (penaikan protein tanpa disertai kenaikan jumlah sel)


pada cairan otak (Adams, Victor, 2001). Sindrom ini lalu lebih dikenal dengan nama
sindrom Guillain-Barre, pertama kali dikemukakan oleh H.Draganesco dan
J.Claudian (1927) (Soetjipto Hamiprodjo, 1986).
Walau sudah sejak dua abad yang lalu sindrom ini ditemukan, tetapi
pengetahuan mengenai sindrom ini masih belum seluruhnya diketahui. Etiologi yang
menjadi penyebab utama sindrom ini belum dapat ditentukan secara pasti. Berbagai
etiologi yang dianggap sebagai penyebab sindrom tampak kurang berhubungan
dengan keadaan patologi yang ditemukan sehingga rangkaian patogenesa sindrom
belum dapat diuraikan secara lengkap.
Sindrom GBS adalah kelainan pada saraf perifer yang mengenai banyak saraf
(polyneuropathy), bersifat akut, simetris, dan ascending (berjalan naik mulai dari
distal tungkai progresif naik ke bagian atas tubuh). Sifat kelumpuhan ini dikenal
dengan istilah ascending paralysis (Gilroy, 2000).
Sindrom GBS jarang terjadi, insidensi rata-rata sindrom ini di seluruh dunia
bervariasi antara 0,4-1,7 kasus/100.000 orang/tahun (Adams, Victor, 2001).
Tindakan yang lebih agresif diperlukan dalam penanganan sindrom ini
terutama dalam hal peningkatan kualitas penatalaksanaan terhadap pasien, sehingga
dapat mengurangi angka kematian atau kecacatan sebagai gejala sisa sindrom ini

(Kissel, Mendell, Cornblath, 2001). Tidak ada terapi pilihan utama pada sindrom ini,
lebih berdasarkan pada tindakan suportif (Kissel, Mendell, Cornblath, 2001).
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan dapat membuat uraian yang
lengkap tentang bagaimana gejala dan perjalanan penyakit ini sehingga bisa
dilakukan penegakan diagnosa sedini mungin dan bisa dilakukan terapi yang tepat
terutama dibidang rehabilitasi medik.
1.2. Identifikasi Masalah
A. Apa yang menjadi penyebab/etiologi dari GBS?
B. Bagaimana patogenesis dari GBS?
C. Bagaimana atau gejala apa saja yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk
membuat diagnosa dini GBS?
D. Apakah program rehabilitasi medik yang bisa dikerjakan ?
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud karya tulis ilmiah ini adalah untuk membuat uraian mengenai GBS
secara menyeluruh dan lengkap. Tujuan karya tulis ilmiah ini adalah untuk
menguraikan mengenai GBS dengan lebih memfokuskan pada penatalaksanaan di
bidang rehabilitasi medik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Jaringan Saraf
Jaringan saraf terdiri dari Neuroglia dan sel Schwann (sel sel penyokong)
serta Neuron (sel sel saraf). Sel Schwann membentuk myelin maupun neurolemma
saraf tepi. Mielin merupakan suatu kompleks protein lemak bewarna putih yang
mengisolasi tonjolan saraf. Mielin menghalangi aliran ion Natrium dan Kalium
melintasi membran neuronal dengan hampir sempurna. Selubung myelin tidak
kontinu di sepanjang tonjolan saraf, dan terdapat celah celah yang tidak memiliki
myelin, dinamakan nodus Ranvier. Transmisi impuls saraf di sepanjang serabut
bermielin lebih cepat dari transmisi di sepanjang serabut tak bermielin, karena impuls
berjalan dengan cara meloncat dari nodus ke nodus yang lain di sepanjang
selubung myelin. Cara transmisi seperti ini dinamakan konduksi saltatorik
(Feriyawati, 2005). Impuls pada saraf termyelinasi dapat memiliki laju sekitar 100
m/s sedang-kan pada saraf tak termyelinasi, laju impuls hanyalah 10 m/s (Gunawan,
2002).
Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan fungsional
system saraf. Setiap neuron mempunyai badan sel yang mempunyai satu atau
beberapa tonjolan. Dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju
badan sel. Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari
badan sel disebut Axon. Dendrit dan akson secara kolektif sering disebut sebagai
serabut saraf atau tonjolan saraf. Kemampuan untuk menerima, menyampaikan dan
meneruskan pesan pesan neural disebabkan oleh karena sifat khusus membran sel
neuron yang mudah dirangsang dan dapat menghantarkan pesan elektrokimia
(Feriyawati, 2005).

2.1.2 Susunan Saraf Tepi


Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf selain saraf pusat dalam
tubuh. Sistem ini terdiri dari saraf cranial dan saraf spinal. Secara fungsional sistem
saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen (Noback, 1982).
1. Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke Sistem
Saraf Pusat (SSP).
2. Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar.
Sistem eferen dibagi menjadi dua macam divisi:
a. Divisi somatic (volunteer) berkaitan dengan perubahan lingkungan eksternal dan
pembentukan respon motorik volunter pada otot rangka.
b. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respons involunter pada otot
polos, otot jantung, dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui
dua jalur yaitu simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis berasal dari area toraks
dan lumbal pada medulla spinalis. Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan
sakral pada medulla spinalis.
2.2.3 Nervus Cranialis
Ada 12 saraf kranial yang meninggalkan otak melalui foramina dan fissura di
tengkorak. Semua saraf ini didistribusikan ke kepala dan leher kecuali saraf kranial
kesepuluh, yang mempersarafi struktur-struktur yang berada di toraks dan abdomen.
Saraf-saraf otak tersebut diberi nama sebagai berikut: olfactorius (n.I), opticus (n.II),
oculomotorius (n.III), trochlearis (n.IV), trigeminus (n.V), abducens (n.VI), facialis
(n.VII), vestibulocochlearis (n.VIII), glossopharyngeus (n.IX), vagus (n.X),
accessorius (n.XI), dan hypoglossus (n.XII) (Snell, 2002).
Nervus olfactorius, nervus opticus, dan nervus vestibulocochlearis merupakan
saraf sensorik murni. Nervus oculomotorius, nervus trochlearis, nervus abducens,
nervus accessorius, dan hypoglossus adalah saraf motorik murni. Nervus trigeminus,
nervus facialis, nervus glossopharyngeus, dan nervus vagus merupakan saraf
campuran motorik dan sensorik (Snell, 2002).

Nervus kranialis memiliki nuklei motorik dan/ atau sensorik di dalam otak
dan serabut-serabut saraf perifer keluar dari otak serta meninggalkan tengkorak
menuju organ sensorik atau efektor (Snell, 2002).
Tabel 2.1 Nervus Cranialis
No

Nama

Komponen

Fungsi

I
II
III

Olfactorius
Opticus
Oculomotorius

Sensorik (SVA)
Sensorik (SSA)
Motorik (GSE,

Penghidu
Penglihatan
Mengangkat kelopak mata atas,

GVE)

menggerakkan bola mata ke atas,


bawah,

IV

Trochlearis

Motorik (GSE)

dan

medial;

konstriksi

pupil; akomodasi mata


Membantu menggerakkan

bola

mata ke bawah dan lateral


V

Trigeminus
Divisi ophtalmicus

Sensorik (GSA)

Kornea, kulit dahi, kulit kepala,


kelopak mata, dan hidung; juga
membran mukosa sinus parasanal

Divisi maxillaris

Sensorik (GSA)

dan rongga hidung


Kulit wajah di atas maxilla; gigi
geligi

rahang

atas;

membrane

mukosa hidung, sinus dan lempeng


Divisi mandibularis

Motorik (SVE)

maxilla
Otot-otot

pengunyah,

mylohyoideus,

m.

M.

digastricus

venter anterior, m. tensor veli


palatini,

dan

m.

tensor

tympanicum.
Sensorik (GSA)

Kulit pipi; kulit di atas mandibula


dan sisi kepala, gigi geligi rahang
bawah dan articulation temporo
mandibularis; membrane mukosa
mulut dan bagian anterior lidah
5

VI

Abducens

Motorik (GSE)

M. rectus lateralis menggerakkan

VII

Facialis

Motorik (SVE)

mata ke lateral
Otot-otot wajah dan kulit kepala,
m. stapedius, m. digastricus venter
posterior, dan m. stylohyoideus.

Sensorik (SVA)

Pengecapan dari dua-pertiga bagian


anterior lidah, dari dasar mulut dan
palatum.

VIII

Vestibulocochlear
Vestibular

Sekretomotorik

Kelenjar ludah submandibula dan

parasimpatis

sublingual, kelenjar lakrimalis, dan

(GVE)

kelenjar hidung dan palatum.

Sensorik (SSA)

Dari

utriculus,

sacculus,

dan

canalis semicircularis- posis dan

IX

Cochlear
Glossopharyngeus

Sensorik (SSA)
Motorik (SVE)

gerakan kepala
Organ Corti- pendengaran
M.stylopharingeus-membantu
menelan.

Sekretomotorik

Kelenjar parotis.

parasimpatis
(GVE)
Sensorik (GVA,

Sensasi umum dan pengecap dari

SVA, GSA)

dua pertiga bagian posterior lidah


dan

faring;

(baroreseptor);
X

Vagus

sinus

carotis

corpus

carotis

Motorik (GVE,

(kemoreseptor)
Jantung dan pembuluh darah besar

SVE)

di toraks; laring, trakea, bronkus,


dan paru; traktus alimentary dari

Sensorik (GVA,

faring ke fleksura splenicus kolon;

SVA, GSA)

hepar, ginjal, dan pankreas


6

XI

Accessorius

Motorik (SVE)

Radix cranialis

Otot-otot palatum molle (kecuali


m. tensor veli palatini), faring
(kecuali m. stylopharyngeus), dan
laring (kecuali m. cricothyroid) di

Radiks spinalis
XII

Hypoglossus

Motorik (SVE)

cabang-cabang n. vagus
M. sternocleidomastoideus dan m.

Motorik (GSE)

trapezius
Otot-otot

lidah

palatoglossus)

(kecuali

mengatur

m.

bentuk

dan pergerakan lidah


2.2.4 Saraf Spinalis
Saraf spinalis berjumlah 31 pasang saraf, terdiri dari 8 pasang saraf Servikal (C 1), 12 pasang saraf Torakal (T1-12), 5 pasang saraf Lumbal (L1-5), 5 pasang saraf Sacral

(S1-5), dan Sepasang saraf Koksigial. Penyebaran semua saraf medulla spinalis di
mulai dari torakal I sampai lumbal III, mempunyai cabang-cabang dalam saraf yang
akan keluar membentuk pleksus dan ini akan membentuk saraf tepi ( perifer ) terdiri
dari (Hutama dkk, 2010) :
1. Pleksus servikalis, di bentuk oleh cabang-cabang saraf servikalis anterior, cabang
ini bekerja sama dengan nervus vagus dan nervus asesorius
2. Pleksus brakialis, dibentuk oleh persatuan cabang-cabang anterior dari saraf
servikal 4 dan torakal 1, saraf terpenting nervus mediana. Nervus ulnaris radialis
mempersarafi anggota gerak atas.

3. Pleksus lumbalis,di buat oleh serabut saraf dalam torakal 12, saraf terbesar yaitu
nervus femoralis dan nervus obturator Di bentuk oleh saraf dari lumbal dan
sacral, saraf skiatik yang merupakan saraf terbesar keluar mempersarafi otot
anggota gerak bawah.
Gambar 2.1 Saraf Spinalis

2.2. Gullain Barre Syndrome


2.2.1 Definisi
Guillain-Barr syndrome (GBS) adalah sebuah autoimun penyakit yang
menyerang sistem saraf perifer yang biasanya dipicu oleh proses infeksi akut. GBS
adalah gangguan inflamasi dari saraf perifer (Pithadia, 2010).
Parry mengatakan bahwa, GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
8

paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi,2002).
Pada sindrom guillain barre yang sering terjadi adalah tipe AIDP (Acute
inflammatory demyelinating polyradikulopathy ) Subtipe sindrom Guillain Barre
sindrom yang lain antara lain : acute motor axonal neuropathy dan akut motor sensory
axonal neuropathy. Variasi dari Sindrom Guillain barre meliputi Miller Fisher
syndrome (keterlibatan nervus cranial, ataksia)dan akut pan-dysautonomia. (Fary
Khan, 2004)

Gambar 2.2 Kerusakan Mielin


2.2.2 Epidemiologi
Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian
mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara
usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia
termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Lakilaki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83%
penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada
kelompok ras yang tidak spesifik (Japardi,2002).
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.

Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan


wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau (Japardi,2002).
2.2.3 Etiologi
Sindrom Guillain Barre adalah kondisi autoimun yang menyerang saraf
seseorang, sehingga terjadi kerusakan myelin bahkan sampai akson yang
menyebabkan

keterlambatan

atau

perubahan

sinyal.

Kejadian

tersebut

mangakibatkan menyebarnya paralisis (Guillain barre syndrome association of new


south wales, 2004 ).
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa dua pertiga kasus GBS berhubungan
dengan infeksi akut sebelumnya oleh beberapa spesies bakteri dan virus.
Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, virus Epstein-Barr,
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Varicella-zoster telah
ditemukan di serum pasien yg menderita GBS (Koga, 2006).
Dalam kasus infeksi C. jejuni, antibodi diproduksi, menyebabkan aktivasi
sistem komplemen, dan fagositosis bakteri terjadi. Namun, dalam kasus langka
antibodi yang diproduksi terhadap antigen C. jejuni Tertentu juga akan mengikat
gangliosides dari saraf tepi, menyebabkan aktivasi komplemen dan kerusakan oleh
fagosit. Hal ini menyebabkan kerusakan jaringan perifer saraf, yang mengarah ke
demielinasi dan kerusakan aksonal (Shahar, 2006).
2.2.4 Patofisiologi
GBS adalah penyakit pasca-infeksi yang dimediasi sitem imun. Mekanisme
imun seluler dan humoral mungkin memainkan peran dalam perkembangannya.
Kebanyakan pasien melaporkan mengalami penyakit menular sebelum mengalami
GBS. Banyak dari agen infeksi diperkirakan mendorong produksi antibodi terhadap
gangliosides

spesifik

dan

glikolipid

seperti

GM1

dan

GD1b,

kemudian

antiboditersebut didistribusikan ke seluruh myelin di sistem saraf perifer (Pithadia,


2010).
Adanya antibodi dan T-sel yang bereaksi terhadap myelin perifer
menimbulkan teori bahwa GBS adalah tipe patologi autoimun. Makrofag menyerang
10

sel Schwann, strip mielin dari akson, dan kadang-kadang degenerasi akson. T-sel
autoreaktif yang dianggap "aktif" dan memediasi respon autoimun ini dengan
memulai kaskade untuk inflamasi. Winer, mengusulkan kemungkinan mekanisme
penyakit dimana antibodi antiganglioside tampak reaksi silang dengan antigen dalam
lipopolisakarida agen infeksi tertentu sebagai triggers GBS. literatur saat ini
menunjukkan bahwa molekul mimikri adalah mekanisme kemungkinan reaksi
autoimun. Mimikri molekuler adalah ketika sistem kekebalan tubuh merespon antigen
spesifik (dianggap ada karena infeksi) atau organisme yang sebenarnya terlibat dalam
infeksi sebelumnya, dan menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk menyerang
epitop yang sama dalam sistem saraf perifer (Mantay 2007).
Terdapat 5 subtipe GBS berdasarkan kelainan dan jenis kerusakannya, yaitu
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), Acute motor
axonal neuropathy (AMAN), Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN),
Miller Fisher syndrome, Acute panautonomic neuropathy. Perbedaan kelimanya
ditampilkan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2 Sub Tipe GBS
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Antibody mediated autoimmune disorder.
Triggered by antecedent infection or vaccination.
Inflammatory demyelination present and may be accompanied by axonal nerve loss.
Remyelination occurs upon cessation of immune reaction.
Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Most patients seropositive for Campylobacter infection.
Pure motor axonal form of neuropathy.
Pediatric patients mostly affected and recovery typically rapid
Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degeneration of myelinated motor and sensory fibers with minimal inflammation and demyelination.
Similar to AMAN except AMSAN only affects sensory nerves and roots.
Typically affects adults.
Miller Fisher syndrome
Rare, rapidly evolving ataxia, areflexia, with limb weakness and ophthalmoplegia.
Sensory loss not common, but proprioception can be impaired.
Demyelination and inflammation of cranial nerves III/IV, spinal ganglia, and peripheral nerves.
Resolution in one to three months.
Acute panautonomic neuropathy
Rarest of all types, with sympathetic, parasympathetic, and cardiac involvement.
Recovery is gradual and incomplete.

11

2.2.5 Gejala Klinis


Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer (Japardi,2002).
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

Terjadinya kelemahan yang progresif

Hiporefleksi

II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:


a. Ciri-ciri klinis:
o Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.
o Relatif simetris
o Gejala gangguan sensibilitas ringan
o Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak
lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,
kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak
lain.
o Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
o Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dangejala vasomotor.
o Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

12

o Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan


pada LP serial
o Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
o Varian:

Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:


Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan
hantar kurang 60% dari normal
2.2.6 Pengobatan
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas (imunoterapi) (Japardi, 2002).
1. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
2. Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis

13

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance
0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

14

3. Kortikosteroid
Pengobatan GBS dengan steroid tidak efektif pada penelitian prospektif acak
dengan menggunakan 500 mg methylprednisolone, meskipun usulan awal
kegunaannya dalam menurunkan keparahan penyakit. Oleh karena itu, kortikosteroid
tidak boleh digunakan dalam pengobatan GBS (Fary Khan, 2004).
2.3 Program Rehabilitasi Medik GBS
Tujuan dari rehabilitasi medik pada pasienGBS ini adalah untuk memperbaiki
dan memelihara fungsi kemandirian seseorang sesegera ungkin setelah kondisi pasien
stabil. Rehabilitasi mencakup tim interdispiler (misalnya occupasi terapist,
fisioterapist, peraawat dan pekerja sosial ) memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarga dan berpartisipasi untuk mewujudkan tujuan yang yang direncanakan
dengan pendekatan fungsional yaitu dengan meminimalisasi dissability dan
memaksimalkan fungsi. Komplikasi respirasi dari GBS dapat diatasi dengan
rehabilitasi. Pada umumnya pasien GBS berat dilakukan rehabilitasi 3-6 minggu
diikuti oleh program rehabilitasi komunitas dan home based rehabilitasi selama 3-4
bulan. (Fary Khan, 2004)
Berkaitan dengan fase akut, pasien memerlukan rehabilitasi untuk mencegah
hilangnya fungsi. Latihan ini berfokus pada penerapan fungsi ADL (Activity of Daily
Living) seperti meyikat gigi, mandi dan berpakaian. Occupasi terpist menyediakan
erlatan untuk membantu pasien melakukan ADL sendiri (misal dengan wheelchair
dan special cutlery). Fisioterapis merencanakan program training progresif dan
mengarahkan pasien untuk mengoreksi functional movement mencegah kompensasi
yang berbahaya dikarenakan efek negatif yang berlangsung lama. Speech therapist
sangat penting untuk mengembalikan fungsi berbicara dan menelan apabila pasien
dipasang intubasi dan trakheostomi. ( Norman Swan, 2009)
Restrictive pulmo berkaitan dengan sleep hiperkapnea dan hipoksia selama
tidur. Penurunan saturasi oksigen mengindikasikan pasien dengan hipoksia dan
hiperkapnea. Tindakan fisioterapi (chest perkusi, breathing exercise, resistive
inspiratory training) digunakan untuk membersihkan sekret pada saluran nafas
15

sehingga mengurangi kerja pernafasan. Pasiendisarankan untuk tracheostomi untuk


mencegah kelemahan yang berlebihan dari otot pernafasan (Fary Khan, 2004).
Dysautonomia berkaitan dengan bentuk berat dari GBS memperpanjang
durasi akut. Bentuk tersebut dapat mengancam jiwa dengan cardiac aritmia.
Perawatan rehabilitasi melipui : edukasi dan kesadan dari pegawai, pasien , keluarga
pasien, menggunakan compression stocking, adequat hidration, profiling techniques
dan penggunaan tilt table (Fary Khan, 2004).
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan penurunan volume darah dan
apabila bersamaan dengan hipotensi postural sangat sulit untuk penganannya. Tilt
table dapat efektif untuk rehabilitasi pada pasien imobilisasi Mobilisasi awal akan
menurunkan kadar kalsium dalam serum dan berlawanan hiperkalsemi pada
imobilisasi (Fary Khan, 2004).
Fisioterapi meliputi mobilitas bertahap dimana meliputi pemeliharaan postur
pasien, memelihara ROM dari tulang sendi (pasive,aktive, active assisted),
menyediakan ankle foot orthosis untuk mencegah plantar kontraktur, melakukan
endurance (latihan berulang dengan tahanan ringan), strengthening group dari otot
yang berbeda dan melakukan program ambulasi yang progesif dimana dengan
menggunakan teknik bed mobilitas dan penggunaan wheelchair (Fary Khan, 2004)
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik,
ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi.
Pada fase awal - ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik.- fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan
kondisi sehingga hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi
penekanan. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi
pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan pada fase kedua penekanan pada semua problem menjadi sangat
penting. pada fase penyembuhan - ketika kondisi pasien membaik-

fisioterapi

ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien. Secara keseluruhan


penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.
16

Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama


dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal,
kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi.
Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat
optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap
dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal
bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik
selain mencegah terjadinya dekubitus.
Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi
fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap
ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.Sedangkan pada tahap akhir ketika kondisi pasien sudah membaik - fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi.
Yang menjadi perhatian utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan
kekuatan otot.
Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara maksimal.
Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk mendukung peningkatan
aktivitas dan metabolisma. Bila ada gangguan sensorik, harus juga dilakukan
tindakan untuk meningkatkan fungsi sensori.
Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan toleransi pasien
terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama berbaring, gangguan
sistem saraf otonomi akan lebih menghambat program mobilisasi.Dengan tidak
mengurangi pentingnya pengobatan pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada
kasus Guillain Barre Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada
perawatan tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita
GBS adalah baik.
Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini akan
menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya penatalaksanaan
fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan penderita pada fungsi sosial
seperti semula

17

2.3.1. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal (ikatan


fisioterapi,2009).
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik
pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah
utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada
fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang
otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus
memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada
fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan
jumlah motor unit yang kembali bekerja
Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila
memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota
badannya, sebaiknya bantuan diberikan. Bila kemudian kondisi kelemahan otot
sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang
menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita
akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada pasien
semakin banyak dari waktu ke waktu.
Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam menggerakkan
anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis
juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan
secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga
akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan
sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara
sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga
tidak ada gerakan otot yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati
tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah
18

atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit.
Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali
bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan
seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat
jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa
ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya.
Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian
latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit
yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita
sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan.
Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban
unntuk meningkatkan kekuatan otot.
Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya
fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti
misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu
diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan
fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja
yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran
kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan
pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit.
Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti
sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap
berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu,
atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat
perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya.
Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)

19

Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa


dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase
pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara
penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan
sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya
juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan
aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan
sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda
dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase
pertama dan kedua.
Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah
pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.
Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya
disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada
setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke
waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang
maksimal.
Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot
juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua
sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan
panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot
yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari,
misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak
terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.
Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap
individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk
mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu
20

penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi.
Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas
penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau
bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup
untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah
membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai
panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang
otot.
2.3.2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS
yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya
jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi
secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah
disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan
untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin
menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya
kembali terjadi penurunan kapasitas vital (ikatan fisioterapi,2009).
Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa
dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan
kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu
memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringanjaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk
terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik,
rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma
21

sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan
positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan
efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan.
Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu
sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat
cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.
Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran
pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem
pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang
dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan
mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa
meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.
Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila
sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini
berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan
ventilasi menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator
atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa
diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa
meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain
menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural
drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal
ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan,
penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda
gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi
22

penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini
sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran
pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot
pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot
pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk
mempertahankan kekuatan otot.
Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi.
Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi
lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal
ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang
berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila
kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing
dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan
menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan
melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan
akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang
bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan
adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah
kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing
ke saluran pernafasan sudah teratasi.
2.3.3. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila
kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial
nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu
dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut
antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau
23

postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada


waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh
memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap
tubuh.
Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama
memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut
teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian
tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf
otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan
darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka
yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan
spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah,
bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator
tekanan darah.
Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,
kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara
teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan
murni oleh karena gangguan sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya
gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi
tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri
tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak
hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa
nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama
sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa
24

dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan
manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan,
rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada
penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya
dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha
pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan
tulang harus selalu mendapat perhatian.(ikatan fisioterapi,2009)

25

BAB III
KESIMPULAN
Guillain-Barr syndrome (GBS) adalah sebuah autoimun penyakit yang
menyerang sistem saraf perifer yang biasanya dipicu oleh proses infeksi akut. Pada
sindrom guillain barre yang sering terjadi adalah tipe AIDP (Acute inflammatory
demyelinating polyradikulopathy ). Penelitian terakhir menyebutkan bahwa dua
pertiga kasus GBS berhubungan dengan infeksi akut sebelumnya oleh beberapa
spesies bakteri dan virus. Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, virus Epstein-Barr,
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Varicella-zoster telah
ditemukan di serum pasien yg menderita GBS (Koga, 2006).
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer (Japardi,2002).
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomatik. Pengobatan biasanya

menggunakan plasmaparesis dan

imunosupresan. Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak


awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Pada fase awal fisioterapi ditujukan pada
pemeliharaan fungsi dan kondisi sehingga hanya problem muskuloskeletal dan
kardiopulmari yang menjadi penekanan. Sedangkan pada fase kedua penekanan pada
semua problem. Pada fase penyembuhan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan
pengoptimalan kondisi pasien. Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi
ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.

26

DAFTAR PUSTAKA
Adams, Victor. 2001. Diseases of spinal cord, peripheral nerve, and muscle. Dalam:
Maurice Victor, Allan H. Ropper, editor: Principles of neurology. 7th ed. New
York: McGraw Hill. p. 1380-1387.
Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma gullain-barre. Medika
(11); 918-922
Fary

Khan,
2004.
Rehabilitation
Guillain
Barre
https://www.racgp.org.au/afp/200412/20041128khan.pdf

Syndrom.

Feriyawati, Lita. 2005. Anatomi Sistem Saraf dan Peranannya Dalam Regulasi
Kontraksi Otot Rangka. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Gilroy J. 2000. Basic neurology. Edisi: 3. New York: McGraw Hill.
Guillain barre syndrome association of new south wales, 2004. Guillain-Barre
syndrome
www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/.../Guillain-Barre_syndrome
Gunawan, Adi. 2002. Mekanisme Penghantaran Dalam Neuron (Neurotransmisi).
Integral, vol. 7 no. 1, April 2002
Hutama A., Edo dkk. 2010. Sistem Persarafan. Program Studi Ilmu Keperawatan.
Stik Bina Husada Palembang.
Ikatan fisioterapi,2009. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Guillain-Barre
Syndrome
http://fisiosby.com/penatalaksanaan-fisioterapi-pada-kasusguillain-barre-syndrome/
Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma gullain barre. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas
Sumatra
Utara.
Dikases
dari
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf
Kissel John T., Cornblath David R., Mendell Jerry, R. 2001. Guillain-Barre
syndrome. Diagnostic and management of peripheral nerve disorders. New
York: Oxford University Press. p. 145-167.
Koga M, Gilbert M, Takahashi M, Li J, Koike S, Hirata K, Yuki N. 2006.
Comprehensive analysis of bacterial risk factors for the development of
27

Guillain-Barr syndrome after Campylobacter jejuni infection. J Infect Dis,


193, 547555.
Mantay Kristi McClellan PA-S, Armeau Elin Phd PA-C, Parish Thomas DHSc PA-C.
Recognizing Guillain-Barr Syndrome in the Primary Care Setting. The
Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice. Vol.5 No. 1. Jan 2007.
Dikases dari : http://www.ijahsp.nova.edu.
Noback, Charles R. dan Robert J. Demarest.1982.Anatomi Susunan Saraf Manusia,
Edisi 2.Jakarta:EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Norman Swan,2009. Sindrom Guillain Barre. http://www.wikipedia.com
Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime Medical Publisher
Pithadia, Anand B. 2010. Guillain-Barr syndrome (GBS). Departemen of
pharmacology. Parul Institute of parmacy. Gujarat, India.
Shahar E. 2006. Current therapeutic options in severe Guillain-Barr syndrome. Clin
Neuropharmacol, 29, 4551.
Snell Richard S. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Soetjipto Hamiprodjo. 1986. Pola penderita acute inflammatory idiophatic
polyneuropathy. Bandung: FK Unpad
Van Doorn PA. Guillain Barre Syndrome. Orphanet Encyclopedia. September 2004.
Diakses dari : http://www.orphanet.net.pdf.

28

Anda mungkin juga menyukai