Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN PANCASILA

DENGAN SEJARAH BANGSA


INDONESIA

FERDINAND DEODATUS GESAR


2006010043
TEKNIK SIPIL A
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................1
BAB 1..................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN................................................................................................................................2
1. Latar Belakang.........................................................................................................................2
2. Rumusan Masalah....................................................................................................................3
3. Tujuan......................................................................................................................................3
4. Manfaat Penulisan....................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..................................................................................................................................4
1. Pengertian Pancasila.............................................................................................................4
2. Hubungan Pancasila dengan sejarah perkembangan Bangsa Indonesia................................5
BAB III..............................................................................................................................................12
KESIMPULAN..................................................................................................................................12
1. Kesimpulan.........................................................................................................................12
2. Saran...................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................13

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Nama pancasila ini terdiri dari dua kata sansekerta. Panca berarti
lima dan sila berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea
keempat pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam
memorandum DPR-GR 9 juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan didapatkan oleh
PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik
Indonesia.
Kelima butir tersebut tercantum dalam alinea ke -4 Pembukaan
UUD 1945. Sebagaimana yang telah diketahui oleh hampir semua warga
Negara Indonesia bahwa fungsi pokok dari Pancasila adalah sebagai dasar
negara, meskipun sebenarnya masih banyak fungsi-fungsi lainnya yang
tak kalah penting dan bernilai sakral bagi bangsa Indonesia sendiri dalam
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai
dasar negara Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan sebagai dasar negara
pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang telah dianggap sebagai
penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Penerapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan
pengertian bahwa negara Indonesia adalah negara Pancasila. Hal itu
terkandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan
melaksanakannya dalam seluruh perundang-undang.
Maka dari itulah makalah ini kami buat untuk menambah wawasan
bagi para pembaca.

3
2. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Pancasila?
2. Bagaimanakah Hubungan Pancasila dengan sejarah perkembangan
Bangsa Indonesia
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pancasila
2. Untuk mengetahui Hubungan Pancasila dengan sejarah
perkembangan Bangsa
4. Manfaat Penulisan
Agar pembaca mampu memaham Hubungan Pancasila sebagai
dasar negara dengan sejarah perkembangan Bangsa, dan menjalankan
setiap sila-sila Pancasila dengan baik dan benar, dan nantinya para
pembaca mampu menjadi warga negara yang baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Pancasila

Nama pancasila ini terdiri dari dua kata sansekerta. Panca berarti
lima dan sila berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Menurut Notonegoro Pancasila adalah dasar falsafah negara
Indonesia, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Pancasila
merupakan dasar falsafah dan ideologi negara yang diharapkan menjadi
pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai pemersatu, lambang persatuan
dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara Indonesia.
Menurut Muhammad Yamin Pancasila berasal dari kata panca
yang berarti lima dan sila yang berarti sendi, asas, dasar, atau pengaturan
tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian pancasila
merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah
laku yang penting dan baik.
Menurut Ir. Soekarno pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia
yang turun menurun yang sekian abad lamanya terpendam bisu oleh
kebudayaan barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara,
tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.1

5. Hubungan Pancasila dengan sejarah perkembangan Bangsa Indonesia

6. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1959)

Setelah mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, Belanda tidak


mau tinggal diam. Mereka ingin menjajah kembali Indonesia. Dengan
membonceng sekutu, pada tanggal 29 September 1945, tentara Belanda tiba
di Jakarta. Belanda mempropagandakan pada dunia internasional bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari Jepang. Pada tanggal 10 Oktober
1945 Inggris mengakui kekuasaan Belanda.[41] Belanda berupaya
5
membentuk Republik Indonesia Serikat dengan RI sebagai salah satu negara
bagiannya. Untuk mewujudkan maksudnya itu Belanda membentuk negara-
negara kecil. Wilayah negara RI hanya meliputi Jawa dan Sumatera dikurangi
Sumatera Timur dan Sumatera Selatan. Hingga 23 Februari 1949, Belanda
berhasil membentuk 15 negara bagian. Kelimabelas negara bagian itu disebut
Bijeenkoms Federal Overlag (BFO). Belanda juga melakukan agresi militer.
[42] Oleh karena itu, terjadi sengketa antara RI dan Belanda.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) turun tangan untuk menyelesaikan


sengketa tersebut. PBB mengundang kedua belah pihak untuk berunding dan
hal ini terealisasi dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB diadakan di
Den Hag pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949.
Kesepakatan yang dicapai dalam KMB adalah:[43]
- Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
- Pengakuan kedaulatan oleh pemerintah kerajaan Belanda kepada
pemerintah negara RIS.
- Didirikan uni antara RIS dan kerajaan Belanda.
Pada tanggal 27 Desember 1945, Ratu Yuliana menandatangani
piagam pengakuan kedaulatan RIS dan menyerahkan kedaulatan RIS.[44]
Sejak saat itu Konstitusi RIS diberlakukan untuk menggantikan UUD 1945.
UUD 1945 hanya berlaku di negara bagian RI. Konstitusi RIS menetapkan
bentuk negara serikat yang terdiri dari 16 negara bagian. Konstitusi ini juga
menetapkan sifat pemerintahan berdasarkan demokrasi liberal. Dalam
pemerintahan diberlakukan kabinet parlementer. Para menteri
bertanggungjawab langsung kepada parlemen.[45] Dalam alinea IV
Mukadimah Konstitusi RIS, Pancasila tetap tercantum sebagai dasar falsafah
negara.

Negara RIS tidak sampai berumur satu tahun. Pergolakan timbul di


negara-negara bagian RIS. Rakyat menuntut pembubaran RIS dan kembali ke
negara kesatuan RI. Tanggal 17 Agustus 1950, Presiden Sukarno
memproklamasikan kembalinya negara kesatuan RI dan membubarkan RIS.
Sejak itu berlaku UUDS 1950.[46] Walaupun UUDS 1950 telah merupakan
tonggak untuk menuju cita-cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, namun
masih berorientasi pada pemerintahan yang berasas demokrasi liberal.[47]
Dengan demikian jiwa UUDS 1950 merupakan penyimpangan terhadap
Pancasila. Penyimpangan tersebut antara lain:[48]

- Sistem kabinet parlementer mengakibatkan silih bergantinya


kabinet. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan pemerintah
menyusun program dalam jangka waktu tertentu. Pemerintah tidak
mampu melaksanakan pembangunan sehingga timbul
pertentangan politik, gangguan keamanan serta penyelewengan
lain dalam masyarakat.
- Secara ideologis Mukadimah UUDS 1950 tidak berhasil
mendekati rumusan asli dari Pembukaan 1945. Bahkan perumusan
kelima sila Pancasila jauh menyimpang dari yang ada dalam
Pembukaan UUD 1945.

UUDS 1950 bersifat sementara dan harus diganti dengan suatu UUD

6
yang tetap. Oleh karena itu dikeluarkan Undang-undang N0. 7 Tahun 1953
tentang Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR dan Konstituante yang
akan menyusun UUD baru. Pada akhir tahun 1955 diadakan Pemilihan
Umum dan terbentuklah konstituante. Konstituante hasil Pemilihan Umum
tersebut mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956. Namun,
Konstituante gagal menetapkan suatu UUD yang baru menggantikan UUDS
1950.[49]

Pada tanggal 5 Juli 1959, karena kegagalan Konstituante, Presiden


mengeluarkan Dekrit yang isinya:[50] Membubarkan konstituante,
Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS
1950, dan dibentuknya MPRS dan DPRS dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya. Berdasarkan dekrit tersebut maka UUD 1945 berlaku kembali di
Negara Republik Indonesia hingga saat ini.[51]

Dalam kurun waktu 18 Agustus 1945 hingga 5 Juli 1959 kehidupan


politik kita belum stabil. Bentuk negara dan pemerintahan silih berganti.
Konstitusi yang digunakan pun belum tetap. Dalam kondisi yang demikian
cita-cita Pancasila belum terwujud dalam kehidupan bangsa Indonesia.

7. Pancasila pada Masa Orde Lama

Orde Lama berlangsung kurang lebih 5 atau 6 tahun, yakni antara


tahun 1959-1965.[52] Presiden Indonesia pada waktu itu dijabat oleh Ir.
Soekarno dan Moh. Hatta sebagai wakilnya. Kurun waktu lima tahun masa
pemerintahan Orde Lama ini ditandai oleh dua momen penting, yakni
keluarnya Dekret Presiden tahun 1959 dan keluarnya Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) 1965.[53]

Meskipun pemilihan umum I diadakan tahun 1955, ini tidak berarti


bahwa partai yang memenangkan pemilu otomatis menjadi penguasa, seperti
kita pahami dalam demokrasi sekarang. Pada waktu itu, sistem pemerintahan
bukan dalam bentuk presidensil tetapi parlementer[54] (UUDS, 1950). Sistem
ini mengkondisikan Presiden sebagai penanggung jawab jalannya
pemerintahan tidak memiliki kekuasaan penuh. Pemerintah tidak mampu
menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan yang pesat,
sehingga menimbulkan pertentangan-pertentangan politik, ganguan keamanan,
serta penyelewengan-penyelewengan lainnya.[55]

Sistem demokrasi parlementer tidak dapat diandalkan dalam


pembangunan ekonomi bangsa. Pergantian kabinet yang rata-rata hanya
berumur 6 atau 8 bulan dalam setahun mengakibatkan tidak menentunya
suatu program pembangunan yang tetap untuk jangka waktu tertentu. Dan
modal-modal raksasa asing mengontrol perekonomian nasional.[56]

Selain itu, badan konstituante yang diserahi tugas membentuk UUD


menggantikan UUDS ternyata gagal, walaupun badan itu telah bekerja kurang

7
lebih dua setengah tahun. Bahkan setengah dari anggota sidang tidak sanggup
lagi mengahadiri rapat-rapat, sehingga praktisnya mereka tidak bekerja lagi.
[57]

Mempertimbangkan kenyataan di atas, Presiden Soekarno selaku


badan yang bertanggung jawab waktu itu, dan didukung oleh masyarakat
Indonesia menyatakan bahwa situasi yang tidak stabil ini menimbulkan
bahaya bagi kesatuan negara. Karena itu, ia mengeluarkan sebuah Dekret atau
Pernyatan pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya: Membubarkan konstiuante,
Menetapkan berlakunya kembali UUD ’45 menggantikan UUDS ’50, dan
Membentuk MPRS dan DPRS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.[58]
Dengan ini secara implisit sistem pemerintahan Indonesia yang sebelumnya
parlementer diganti dengan sistem pemerintahan presidensil.

Pada akhir tahun 1959 dan permulaan tahun 1960, stabilitas di


bidang politik, ekonomi dan keamanan di Indonesia sudah menunjukkan
kemajuan. Dalam hal politik misalnya, lembaga pemerintahan sudah ditata
dengan baik. Presiden memegang kuasa eksekutif, DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) memegang kuasa legislatif, dan MA (Mahkamah Agung) memegang
kuasa judikatif.[59] Dalam hal ekonomi, sejumlah daerah meyatakan puas
dengan kebijakan pemerintah dalam menstabilkan perekonomian bangsa.

Meskipun roda pemerintahan berlangsung dengan baik, namun tidak


dapat dipungkiri muncul sejumlah penyelewengan yang praktisnya
bertentangan dengan ideologi Pancasila.[60] Setengah tahun pertama zaman
pemerintahan orde lama, tampak adanya usaha-usaha keras untuk meletakkan
ketiga kekuasan eksekutif, legislatif dan yudikatif kepada satu tangan, yakni
Presiden. Di balik kenyataan bahwa stabilitas ekonomi terjamin, ada
pemimpin yang diktator, yang melenyapkan kelompok-kelompok borjuis
dalam masyarakat.[61] Dan ini mengandung paham marxisme yang dengan
cara itu semua manusia mencapai cita-citanya, yakni bebas dan bahagia. Hal
inilah yang seakan-akan membuka pintu bagi masuknya paham komunisme
yang dibawa PKI tahun 1965. Dengan singkat kita dapat menyimpulkan
bahwa di era orde lama Pancasila dikembangkan menurut teori-teori
marxisme.[62]

Prinsip Pancasila adalah memperhatikan kepentingan semua


golongan, lapisan masyarakat, berbagai daerah, suku dan agama. Pancasila
menolak prinsip suara terbanyak yang dapat mengakibatkan tirani minoritas.
Keputusan ditentukan berdasarkan kebulatan mufakat sebagai hasil
permusyawaratan perwakilan rakyat (sila IV Pancasila).[63] Mengenai hal ini,
Jendral Dr. A. H. Nasution dan Prof. Dr. Hazairin mengatakan demokrasi
Pancasila mengindahkan batas-batas yang dibangun oleh kebudayaan modern,
sebab Indonesia terdiri dari bemacam-macam daerah, suku dan agama. Maka
demokrasi Pancasila bukan semata-mata berdasarkan kekuasaan mayoritas.
[64]

Pancasila menjunjung tinggi nilai kebebasan, baik kebebasan pribadi


maupun kebabasan kelompok. Karena itu, paham marxisme dan komunisme
yang menekankan sosialisme meleburkan aspek pribadi manusia, yakni

8
kebebasan. Hal ini bertentangan dengan sila II dan V Pancasila.

8. Pancasila pada Masa Orde Baru

Orde Baru (orba) adalah era pemerintahan pengganti pemerintahan


Orde Lama (Orla). Masa pemerintahan Orba adalah sejak 11 Maret 1966
hingga 12 mei 1998. Pemerintahan Orla melaksanakan Pacasila dan UUD
1945 dalam rangka “revolusi Indonesia Belum Selesai” dan tidak berjalan
mulus, sedangkan Orba ditandai dengan suatu tatanan kehidupan masyarakat
dan pemerintahan yang menuntut dilaksakannya Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Lahirnya Orba diawali dengan tuntutan aksi-
aksi dari rakyat yang dipelopori para mahasiswa. Tuntutan mereka dikenal
dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat). Isi tuntutan tersebut adalah pembubaran
PKI dan ormas-ormasnya, pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan
penurunan harga.[65]

Berdasar fakta bahwa Orla tidak mampu lagi menguasai pimpinan


negara, maka Presiden Soekarno memberikan kekuasaan penuh kepada
Panglima Angkatan Darat Letnan Jendral Soeharto melalui surat perintah 11
Maret 1966 (Super Semar). Tugas pemegang Super Semar cukup berat, yaitu
memulihkan keamanan dengan jalan menindak pengacau keamanan yang
dilakukan oleh PKI dan ormasnya, membubarkan PKI serta menteri-meteri
yang memiliki indikasi terlibat G-30-S/PKI.[66]

Sidang MPRS IV tahun 1966 menerima dan memperkuat Super


Semar dengan dituangkan dalam Tap. No.IX/MPRS/1966. Hal ini
menunjukkan bahwa semenjak itu, Super Semar tidak lagi bersumberkan
Hukum Tatanegara Darurat akan tetapi bersumber pada kedaulatan rakyat
(pasal 1 ayat 2 UUD 1945). Selanjutnya, MPRS menegaskan sumbangan
pemikiran DPR-GR yang sekaligus dijadikan sebagai landasan hukum bagi
Pemerintah RI untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Sumbangan pikiran itu meliputi tiga hal yaitu (1) Sumber
tertib hukum RI, (2) Tata urutan peraturan prundangan RI dan bagan susunan
kekuasaan di dalam Negara RI, (3) Skema susunan kekuasaan di dalam
Negara RI.[67]

Pikiran pertama menegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari


segala sumber hukum. Hal ini berarti Pancasila dijadikan pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita hukum serta moral yang meliputi suasana kejiwaan
dan watak dari rakyat. Pikiran kedua meletakkan UUD 1945 sebagai dasar
dan sumber bagi semua peraturan perundang-undangan. Pikiran ketiga
menyekemakan kekuasaan di dalam Negara RI dengan urutan sebagai
berikut: Pancasila, Pembukaan UUD 1945, UUD, MPR, lembaga-lemabaga
yang meliputi MA, BPK, DPR, Presiden dan DPA. Skema ini bermaksud
mengoreksi distribusi kekuasaan yang diciptakan oleh demokrasi terpimpin
yang berpusat pada Presiden Soekarno.[68]

Tahun 1973 Pemerintah orde baru kemudian melaksanakan pemilu


dan membentuk MPR. Adapun misi yang harus diemban Orba berdasarkan

9
Tap. No.X/MPR/1973, meliputi:[69]

- Melanjutkan pembangunan lima tahun dan menyusun serta


melaksanakan Rencana Lima Tahun II dalam rangka GBHN.
- Membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan demokrasi
Pancasila.
- Melaksanakan Politik luar Negeri yang bebas dan aktif dengan
orientasi pada kepentingan nasional.
Demikianlah, orde baru berangsur-angsur melaksanakan programnya
dalam upaya merealisasikan pembangunan nasional sebagai perwujudan
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orba
mengambil tugas utama yaitu penciptaan ketertiban dan kemantapan
ekonomi. Oleh sebab itu, Orba segera mengambil jarak dengan kelompok-
kelompok yang kuat orientasi ideologisnya. Pemimpin orba segera menyusun
birokrasi yang mendukung kebijakannya. Kemudian, dia menciptakan ABRI
yang loyal di bawah komandonya. Dalam kebijakan ekonomi, kebijakan Orba
bertolak belakang dengan kebijakan Orla. Akan tetapi, dalam kebijakan
sistem dan politik, Orba cenderung otoriter dan monopolistik sebagai pelanjut
dari rezim Orla.[70]

Pemerintahan Orba telah banyak melakukan pelbagai kebijakan yang


turut mempengaruhi perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Ada empat
kebijakan besar yang perlu dicatat. Kebijakan pertama adalah Pola
Pembangunan jangka Panjang 25-30 tahun. Kebijakan ini termuat dalam hasil
sidang umum MPR tahun 1973 (Tap. MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN
Bab III). Kebijakan kedua adalah tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan
Pancasila P-4). Kebijakan ini ditetapkan dalam Sidang Umum MPR tahun
1978 (Tap.MPR No.II/MPR/1978). Kebijakan ketiga adalah memberi gelar
kepada Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Kebijakan keempat
adalah penetapan Pancasila sebagai asas tunggal partai.[71]

9. Pancasila pada masa Reformasi

Tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.00, boleh dikatakan sebagai hari dan
saat bersejarah bagi bangsa Indonesia umumnya, dan gerakan reformasi
khususnya. Pada detik-detik itu, presiden Soeharto yang selama 30 tahun lebih
berkuasa mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan presiden RI kepada
Wakil Presiden B. J. Habibie dan diikuti dengan pembentukan Kabinet
Reformasi Pembangunan.[76] Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan
pemerintahan transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk
melakukan reformasi secara menyeluruh. Dengan demikian, tembok
penghalang reformasi sudah runtuh dan jalan untuk proses reformasi
selanjutnya terbuka lebar, tetapi pada saat yang sama tantangan terhadap
reformasi pun terhampar di depan.[77]

Kita tahu bahwa ketika gelombang reformasi melanda Indonesia


maka seluruh aturan main dalam wacana politik mengalami keruntuhan
terutama praktek-praktek elit politik yang dihinggapi penyakit Korupsi Kolusi
dan Nepotisme (KKN). Bangsa Indonesia ingin mengadakan suatu
10
perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi
terwujudnya masyarakat madani[78] yang sejahtera, masyarakat yang
bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia,
masyarakat demokratis yang bermoral religius serta masyarakat yang
bermoral kemanusiaan dan beradab.[79]

Dalam kenyataannya gerakan reformasi ini harus dibayar mahal


oleh bangsa Indonesia yaitu dampak sosial, politik ekonomi terutama
kemanusiaan. Para elit politik memanfaatkan gelombang reformasi ini demi
meraih kekuasaan, sehingga tidak mengherankan jikalu banyak terjadi
perbenturan kepentingan politik. Berbagai gerakan muncul disertai dengan
akibat tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan menelan banyak
korban jiwa.[80]

Di balik berbagai macam keterpurukan bangsa Indonesia tersebut


masih tersisa satu keyakinan akan nilai yang dimilikinya yaitu nilai-nilai yang
berakar dari pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri yaitu nilai-nilai
Pancasila. Reformasi adalah menata kehidupan bangsa dan negara dalam
suatu sistim negara di bawah nilai-nilai Pancasila, bukan menghancurkan dan
membubarkan bangsa dan negara Indonesia. Betapapun perubahan dan
reformasi dilakukan namun bangsa Indonesia tidak akan menghancurkan nilai
religiusnya, nilai kemanusiaannya, nilai persatuannya, nilai kerakyatan serta
nilai keadilannya. Bahkan pada hakikatnya reformasi itu sendiri adalah
mengembalikan tatanan kenegaraan ke arah sumber nilai yang merupakan
platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama ini
diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang baik pada masa orde lama
maupun orde baru. Oleh karena itu proses reformasi walaupun dalam lingkup
pengertian reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang
jelas yang merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.[81]

Oleh karena itu, gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam


perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi, sebab tanpa
adanya suatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akan mengarah pada
suatu diisintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta pada akhirnya menuju pada
kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif
Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijkasanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.[82]

Dalam perspektif Pancasila, gerakan reformasi sebagai suatu upaya


untuk menata ulang dengan melakukan perubahan-perubahan sebagai
realisasi kedinamisan dan keterbukaan Pancasila dalam kebijaksanaan dan

11
penyelenggaraan negara. Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka dan
dinamis, Pancasila harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman
terutama perkembangan dinamika aspirasi rakyat. Nilai-nilai Pancasila ada
pada falsafah hidup bangsa Indonesia, dan sebagai bangsa, maka akan
senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai dengan tuntutan zaman.
Oleh karena itu, Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang
‘reformatif’ artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu
menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat, dalam mangantisipasi
perkembangan zaman, yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, akan tetapi nilai-nilai
esensialnya bersifat tetap yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan dan Keadilan.[83]

12
BAB III
KESIMPULAN

1. Kesimpulan
Kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki Ideologi Pancasila,
harus memahami apa arti dari Pancasila itu sendiri terutama hubungannya
dengan sejarah perkembangan bangsa, seperti kata Ir. Soekarno pancasila
adalah isi jiwa bangsa Indonesia. Maka dari itu Pancasila sebagai
pandangan hidup suatu bangsa dan dasar negara Republik Indoneesia.
Pancasila telah melekat dan men darah daging pada masyarakat Indonesia.
Maka masyarakat Indonesia menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup
ataupun menjadikan Pancasila sebagai perjuangan utama oleh masyarakat
bangsa Indonesia.

10. Saran
Saya menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Saya akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan.
Saran Saya dalam makalah ini adalah untuk menambah lagi
wawasan bagi para pembaca agar kita sebagai bangsa Indonesia mampu
manjunjung tinggi dan mengamalkan setiap sila-sila pancasila.
DAFTAR PUSTAKA

Ronto. 2012. Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara. Jakarta: PT Balai
Pustaka.
http://satujam.com/pancasila-dan-lambangnya/
Lubis, Maulana Arafat. 2018. Pembelajaran PPKn (Teori Pengajaran Abad 21 di
SD/ MI). Yogyakarta: Samudra Biru.
Gesmi, Irwan & Yun Hendri.2018. Buku Ajar Pendidikan Pancasila. Ponorogo:
Uwais Inspirasi Indonesia.

[41] P.J. Suwarno, Pancasila budaya …,hlm.138-139.

[42] Agresi I terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 dan agresi II terjadi pada tanggal 19
Desember 1948. dalam agresi ini Belanda menyerbu daerah yang diakui sebagai
wilayah negara RI. [Lihat Syahrial Syarbaini, Pendidikan …, hlm. 77.]

[43] Syahrial Syarbaini, Pendidikan …, hlm. 79.

[44] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pancasila …, hlm. 93.

[45] Kaelan, M.S, Pancasila …, hlm. 50.

[46] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pancasila …, hlm. 93-94.

[47] Kaelan, M.S, Pancasila …, hlm. 52.

[48] M. Mardojo, “Saat-saat yang Menentukan dalam Sejarah Ketatanegaraan


Republik Indonesia”, dalam Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila (Jakarta: Kurnia
Esa, 1984), hlm. 154.

[49] P.J. Suwarno, Pancasila budaya …,hlm.150.

[50] M. Mardojo, “Saat-saat…, hl. 156.


[51]. Kaelan, M.S., Pendidikan …,hlm.52.

[52] C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil., Pancasila…, hlm. 90.

[53] P. J. Suwartono, Pancasila…, hlm. 152-157.

[54] Parlementer artinya para mentri, baik secara kolektif maupun individu tidak
bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi kepada DPR. [M. Mardojo, “Saat-saat…,
hlm. 154.]

[55] Beberapa contoh ketagangan politik yang muncul misalnya, DPR yang
memenangkan pemilu tidak mampu memenuhi harapan masyarakat, sebab banyak
kelompok masyarakat yang belum terwakili. Muncul kritikan tajam dari daerah yang
menuduh bahwa segala pembangunan hanya diarahkan pada pemerintah pusat. [M.
Mardojo, “Saat-saat …”, hlm. 155.]

[56] M. Mardojo, “Saat-saat …”, hlm. 155.; bdk. Syahrial Syarbaini,


Pendidikan…,hlm. 80.

[57] C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil.., Pancasila …, hlm. 95.

[58] Syahrial Syarbaini, Pendidikan …, hlm. 81.

[59] M. Mardojo, “Saat-saat …”, hlm. 159.

[60] P. J. Suwartono, Pancasila budaya …, 156.; bdk. C. S. T. Kansildan Christine S.


T. Kansil, Pancasila …, hlm. 104-105.

[61] M. Mardojo, “Saat-saat …”, hlm. 162.

[62] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 1982),
hlm. 12.

[63] Kuntjoro Purbopranoto, “Hak-hak Asasi Manusia dalam Pancasila”, dalam Darji
Darmodiharjo, Santiaji Pancasila (Jakarta: Kurnia Esa, 1984), hlm. 237.

[64] Kuntjoro Purbopranoto, “Hak-hak …”, hlm. 238.

[65] Kaelan, M.S., Pendidika…, hlm.54; bdk P.J. Suwarno, Pancasila Budaya…, hlm.
157; bdk juga Syahrial Syarbaini, Pendidikan…, hlm. 83.

[66] Syahrial Syarbaini, Pendidikan…, hlm. 83.

[67] P.J. Suwarno, Pancasila Budaya…, hlm. 158.

[68] P.J. Suwarno, Pancasila Budaya…, hlm. 160.

[69] Kalean, M.S., Pendidikan…, hlm. 55; bdk P.J. Suwarno, Pancasila Budaya…,
hlm. 158.

[70] Kalean, M.S., Pendidikan…, hlm. 55.

[71] Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan
Perkhidmatan, 1984), hlm. 90.
[72] Deliar Noer, Islam, Pancasila…, hlm. 59.

[73] Deliar Noer, Islam, Pancasila…, hlm. 61.

[74] Deliar Noer, Islam, Pancasila…, hlm. 90.

[75] Deliar Noer, Islam, Pancasila…, hlm. 99.

[76] T. A. Legowo, Runtuhnya Tembok Penghalang Reformasi dalam Analisis CSIS


No. 3 XXVII (Juli-September 1998), hlm. 301.

[77] T. A. Legowo, Runtuhnya Tembok…, hlm. 301; bdk. Kaelen M. S. Pendidikan


…, hlm. 238.
[78] Masyarakat madani adalah masyarakat kota, masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu dan teknologi yang
berperadaban. [Lihat Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 721.]

[79] Kaelen M. S, Pendidikan …,hlm.235.

[80] Tragedi yang sangat memilukan itu antara lain peristiwa amuk masa di Jakarta,
Tangerang, Solo, Jawa Timur, Kalimantan serta daerah-daerah lainnya. Bahkan
tragedi antaretnis terjadi di berbagai daerah antara lain di Dili, Kupang, Ambon,
Kalimantan Barat serta beberapa daerah lainnya. Ancaman disintegrasi dan sentimen
suku agama dan ras semakin merongrong eksistensi bangsa Indonesia, kepatuhan
terhadap hukum semakin merosot, sehingga hukum seakan-akan sudah tidak
berfungsi lagi. [Lihat Kaelen M. S.. Pendidikan …, hlm. 235]; bdk. A. Sudiarja,
Reformasi Quo Vadis dalam BASIS No. 07-08, tahun ke-47 (Juli-Agustus 1998),
hlm. 6.

[81] Kaelen M. S. Pendidikan …, hlm. 235-236.

[82] Kaelen M. S. Pendidikan …, hlm. 241.

83] Kaelen M. S. Pendidikan …, hlm. 243.

Anda mungkin juga menyukai