Anda di halaman 1dari 16

Data-data terbaru motif perahu pada gambar cadas prasejarah di Indonesia

Adhi Agus Oktaviana1,2, M. Sabri3, Sofyan Setiabudi4, Mando Maskuri3, Nur Achmad Hidayatullah3,
Laode Darma5, Eriani3, Sitti Hardianti Sindara3, Fardi Ali Syahdar4, Basran Burhan6, Pindi Setiawan7,
Adam Brumm6, Maxime Aubert1,6

1. Place, Rock Art, and Heritage Unit (PERAHU), School of Social Science and Humanities, Griffith
University, Gold Coast, Australia
2. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kemendikbudristek, Jakarta
3. Arkeolog, lulusan FIB Universitas Halu Oleo, Kendari
4. Arkeolog, lulusan FIB Universitas Hasanuddin, Makassar
5. BPCB Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar
6. Australian Research Centre for Human Evolution, Brisbane, Australia
7. KK. Komunikasi Visual dan Multimedia, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, Bandung

Abstrak
Gambar Cadas dengan motif perahu di Indonesia ditemukan dalam jumlah yang cukup melimpah.
Situs-situs tersebut terutama ditemukan di wilayah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Motif perahu
yang ditemukan tersebut memiliki bentuk yang bervariasi. Keberagaman tersebut mendorng
penelitian ini untuk mendokumentasikan dan memberikan gambararan mengenai bentuk gambar
cadas motif perahu serta persebarannya di wilayah Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian
ini diambil melalui penelusuran kepustakaan serta observasi lapangan. Selanjutnya data tersebut
dianalis secara spasial dan perbandingan terhadap data motif perahu yang ditemukan di wilayah
Indonesia. Dari sebanyak 362 motif yang telah didokumentasikan, terdapat tiga situs yang memiliki
karakter motif perahu yang penting sebagai tambahan data motif perahu di Indonesia. Situs-situs
tersebut yakni Situs Tebing Ambe dengan motif perahu yang diperkirakan sebuah refleksi kedatangan
penduduk awal di wilayah Maros, Situs Gua Ladori dengan motif perahu bercadik, serta Situs Leang
Kalibu dengan motif perahu dua dek. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa
perkembangan teknologi pelayaran yang terjadi di Indonesia telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu
dengan variasi bentuk perahu yang dihasilkan. Keberagaman bentuk-bentuk perahu tersebut juga
memberi isyarat bahwa kemungkinan jenis-jenis perahu yang digambarkan memiliki perbedaan fungsi
dan nilai dalam masyarakat pendukungnya. Mengingat keberagaman tersebut, maka dirasa perlu
dilakukan studi yang lebih mendalam serta upaya perlindungan bagi situs-situs yang telah ditemukan.

Pendahuluan
Gambar cadas merupakan salah satu produk kreasi nenek moyang di Indonesia yang digambarkan
pada media gua, ceruk, tebing karang, atau bongkahan batu yang umumnya terdapat di kawasan karst
termasuk di Indonesia (Arifin, 1992; Widianto et al, 2015). Bentuk-bentuk gambar cadas yang
digambarkan antara lain motif figur antropomorfik, motif hewan, motif perahu, motif peralatan
(senjata, alat batu, dst), dan bentuk-bentuk geometris. Ilmi et al. (2021) menjelaskan bahwa gambar
cadas di Indonesia umumnya menggunakan bahan-bahan yang didapat dari alam sekitar berupa
pigmen hematit atau oker yang menghasilkan rentang warna merah, coklat, kuning, oranye, dan ungu
yang tentu menggunakan proses pembakaran dan campuran bahan lainnya. Warna hitam bisa juga
menggunakan bahan dari mangan atau corengan arang, sedangkan warna putih didapat dari pigmen
gipsum batuan karst atau juga kerang-kerangan (Widianto et al, 2015). Gambar cadas di Indonesia
pertama kali dilaporkan sejak abad ke-17 di wilayah Indonesia timur, hingga tahun 2021 ini temuan
gambar cadas masih banyak dilaporkan temuan situs-situs baru di kawasan karst di Indonesia.
Peta 1. Sebaran situs gambar cadas di Indonesia dan warna yang digunakan untuk menggambar
(diadaptasi dari Oktaviana, 2016; Ilmi et al. 2021)

Penelitian mengenai gambar cadas di Indonesia saat ini kembali menjadi pusat perhatian para peneliti
di dunia. Awal mula adanya gambar cadas yang didominasi oleh gambar-gambar cadas di Eropa patut
diungkap kembali, karena di belahan timur juga memiliki gambar cadas yang sezaman. Pertanggalan
gambar cadas tertua di Indonesia baru diteliti pada dua kawasan gambar cadas yaitu di kawasan karst
Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan dan kawasan karst Sangkulirang, Kalimantan Timur yang dilaporkan
dalam beberapa jurnal ilmiah terkemuka di didunai yaitu di Leang Tedongnge di Pangkep dari gambar
figuratif motif babi sekitar 45.5 ribu tahun yang lalu (Brumm et al. 2021). Selanjutnya sekitar 41 ribu
tahun yang lalu digambarkan adegan perburuan babi dan anoa di Leang Bulu Sipong 4, Pangkep oleh
pemburu yang berkamuflase (teriantrop, setengah manusia setengah hewan) (Aubert et al. 2019).
Disini dapat kita pelajari bahwa terlihat ada dua model perburuan hewan dikala itu yaitu babi diburu
sendiri sedangkan anoa diburu oleh sekelompok orang. Gambar-gambar figuratif hewan dan cap
tangan di kawasan karst Maros-Pangkep ini diperkirakan hingga periode pleistosen akhir sekitar 17
ribu tahun yang lalu (Aubert et al. 2014) yang penggambarannya menggunakan hematit atau oker.
Kemudian datang para penutur budaya Austronesia sekitar 3500 tahun yang lalu ke Nusantara dengan
gambar-gambar yang didominasi oleh warna hitam dari corengan arang. Pertanggalan dari pendukung
budaya ini pada motif figur antropomorfik di Leang Bettue pada 1583-1428 calBP (Huntley et al. 2021).

Sedangkan pertanggalan di wilayah Sangkulirang pada kurun waktu 40 ribu tahun hingga 13 ribu tahun
dari gambar-gambar figuratif banteng dan cap tangan di Liang Jeriji Saleh dan gambar ‘datu saman’ di
Liang Sara yang termuda (Aubert et al. 2018). Berlanjut ke tinggalan gambar cadas dari penutur
budaya Austronesia di wilayah ini yang diperkirakan sekitar 3 ribu tahun yang lalu. Pertanggalan
gambar cadas tersebut memberikan tambahan bukti arkeologis manusia prasejarah yang bermigrasi
dari paparan sunda ke paparan sahul sejak 65 ribu tahun yang lalu. Berbagai teori migrasi
diketengahkan oleh para peneliti yang terutama memberikan hipotesa adanya dua jalur migrasi
menuju paparan sahul melalui rute utara dan rute selatan (Birdshell 1977; Kealy et al. 2017).
Gambar cadas yang terkait dengan jejak-jejak budaya maritim pada masa prasejarah di Indonesia
menunjukkan bahwa leluhur atau moyang kita telah memiliki pengetahuan dalam bidang pelayaran.
Jejak budaya maritim tersebut salah satunya dapat kita lihat pada tinggalan motif-motif perahu pada
gambar cadas yang tersebar di Indonesia (Oktaviana 2009). Perahu memiliki nilai penting bagi
masyarakat di Indonesia, selain sebagai sarana transportasi dan komunikasi yang menghubungkan
antar daerah, antar pulau, juga memiliki nilai simbolik yang menghubungkan masyarakat sekarang
dengan moyang. Cara-cara menggerakan perahu yang terekam dalam gambar cadas telah dijelaskan
oleh Oktaviana (2009, 2012, 2018) dalam rangka mengetahui sejauh mana moyang mempreservasi
pengetahuan mengenai perahu di Nusantara.

Peta 2. Lokasi Situs Tebing Ambe, Gua Ladori, dan Gua Kalibu (©M. Sabri)

Dalam menentukan satu motif disebut motif perahu pada gambar cadas, diperlukan atribut-atribut
yang menentukan motif gambar cadas tersebut sebagai motif perahu seperti bentuk perahunya yang
bisa digambarkan dengan garis lengkung atau bentuk x-ray (terlihat isian dalam perahu), atau bisa
juga bentuk garis solid. Selanjutnya adanya atribut tambahan bagian-bagian perahu dari yang
sederhana berupa perahu lesung, perahu dengan penggerak dayung, kemudi, adanya tiang layar, layar
segitiga, hingga layar persegi. Selain itu juga, seperti figur-figur manusia yang digambarkan di atas
bagian haluan, lambung atau buritan perahu dengan beragam aktifitas seperti sedang mendayung
duduk, mendayung berdiri, maupun sedang berperang dengan memegang senjata. Figur-figur
manusia yang digambarkan bisa juga sendiri ataupun berkelompok dengan berjejer diatas perahu.

Tambahan data terbaru mengenai gambar perahu pada tulisan kali ini yaitu dari tiga situs di kawasan
karst Sulawesi yaitu situs Tebing Ambe, Situs Gua Ladori, dan Situs Gua Kalibu. Ketiga situs ini belum
dibahas secara umum oleh peneliti sehingga perlu diangkat untuk menjadi salah satu tambahan data
gambar cadas yang akan menunjang kekayaan budaya maritim di Indonesia. Apa saja yang menarik
dari gambar-gambar perahu di ketiga situs ini akan dibahas pada tulisan ini.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam tulisan ini berdasarkan penelusuran data pustaka dan observasi
dilapangan. Penelusuran dilakukan pada data-data pustaka terkait motif-motif perahu yang sudah
diteliti yang diterbitkan dalam publikasi ilmiah. Untuk observasi dilapangan dilaksanakan tahun 2017
di Tebing Ambe, Maros, Sulawesi Selatan, dan tahun 2021 di Gua Kalibu, Muna, Sulawesi Tenggara
dalam rangka penelitian kerjasama Puslit Arkenas dan Griffith University, Australia. Sedangkan tahun
2020 di Gua Ladori, Bendewuta, Sulawesi Tenggara dilaksanakan oleh M. Sabri untuk penyusunan
tugas akhir kuliah di Universitas Halu Oleo Kendari.

Penjelasan secara kualitatif mengenai kondisi situs yang diteliti hingga pendeskripsian motif perahu di
lapangan menggunakan deskripsi verbal dan piktorial. Lalu dilanjutkan dengan pengolahan data
fotografi menggunakan laptop dengan pengolahan plugin DStretch dan juga penjiplakan gambar-
gambar perahu tersebut secara digital untuk memperjelas ilustrasi gambar. Analisis spasial dan
perbandingan mengenai gambar-gambar perahu pada gambar cadas di Indonesia akan dijelaskan
dalam tulisan ini.

Hasil dan Pembahasan

Tebing Ambe, Bontoa, Maros

Figur 1. Panil 1 dan denah Situs Tebing Ambe (Maskuri, 2017)

Secara administrasi Tebing Ambe terletak di Desa Buntulempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten
Maros, Sulawesi Selatan. Gua ini berada pada koordinat S 04°54’35.70’’ dan E 119°36’10.90’’ dengan
ketinggian 20 mdpl menghadap ke arah timur laut. Akses jalan menuju tebing berjalan kaki melewati
beberapa tambak warga. Tebing Ambe berada di perbukitan karst dekat Rammang-Rammang.
Pertama kali dilaporkan oleh penduduk kepada salah satu juru pelihara BPCB Sulawesi Selatan dan
didokumentasi oleh tim kerjasama penelitian arkeologi Puslit Arkenas dan Griffith University tahun
2017. Temuan arkeologis selain gambar cadas, di permukaan tanah di bawah tebingnya ditemukan
antara lain fragmen cangkang kerang, fragmen tembikar dan beberapa serpih batu.

Tabel 1. Persentase temuan gambar cadas di Tebing Ambe

No Motif Total %
1 Antropomorfik 26 40%
2 Ayam 4 6.15%
No Motif Total %
3 Burung 1 1.53%
4 Ikan 6 9.23%
5 Perahu 17 26.15%
6 Bulatan 1 1.53%
7 Segitiga 2 3.07%
8 Geometris 8 12.34%
Total 65 100%

Jumlah gambar cadas yang teridentifikasi pada situs Tebing Ambe sebanyak 65 objek gambar cadas.
Motif yang digambarkan berupa figur antropomorfik (26), ayam (4), burung (1), ikan (6), perahu (17),
bulatan (1), segitiga (2), dan geometris (8). Semua gambar cadas di situs ini berada pada dinding tebing
yang dibagi ke dalam 3 panil. Warna yang digunakan yaitu warna merah dan hitam dengan teknik
kuasan. Sebagian gambar cadas yang berwarna merah mengalami kerusakan karena pengelupasan,
kondisi ini diperparah dengan terpaparnya gambar cadas jika terik matahari sore hari.

Figur 2. Gambar cadas di Tebing Ambe, Maros

Signifikasi dari gambar-gambar cadas di situs ini yaitu pertama, lokasi panil gambar cadas berada di
tebing, dimana situs yang memiliki gambar cadas berupa tebing di kawasan Maros-Pangkep kurang
dari 10 situs dan didominasi oleh gambar cadas yang digambarkan pada gua atau ceruk. Kedua,
gambar-gambar cadas di Tebing Ambe kemungkinan merepresentasikan mengenai perayaan
kedatangan sekelompok orang atau suku ke kawasan Maros-Pangkep.

Asumsinya yaitu digambarkannya dua pasang figur antropomorfik yang duduk berdampingan (laki-laki
dan perempuan) di atas dua haluan kapal. Ciri yang membedakan laki-laki dan perempuan dari gambar
pertama yaitu motif pada bagian badan, yang perempuan menggunakan penutup dada. Sedangkan
pada motif yang kedua ditandai dengan bentuk badan pria yang segi empat dan yang perempuan
bentuk badan agak segitiga. Kedua gambar tersebut kemungkinan merupakan bangsawan atau
pemimpin kelompok. Dari panil ini juga digambarkan beberapa figur manusia berjejer dengan tangan
berpegangan juga seperti sedang menari. Adapun perahu-perahu yang digambarkan pada situs ini
beberapa merupakan perahu lesung dan sisanya perahu berlinggi dengan hiasan di ujung-ujung
haluannya. Salah satu perahu juga digambarkan dengan satu figur antropomorfik yang sedang
mendayung berdiri. Gambar lainnya yaitu beberapa figur ikan yang digambarkan dengan posisi
mengarah ke atas dan gambar satu burung yang kemungkinan merupakan burung rangkong dengan
sayap terentang mengarah ke kiri.

Figur 3. Motif dua pasang figur antropomorfik diatas haluan perahu

Pada panil selanjutnya digambarkan satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang sedang
berpegangan pada satu cerukan, menggunakan warna merah yang sama dengan panil sebelumnya.
Penggambaran satu keluarga ini juga jarang ditemukan di gambar cadas di Indonesia.

Figur 4. Motif figur antropomorfik merepresentasikan satu keluarga

Sedangkan panil terakhir berada di bawah sebanyak sembilan motif, semuanya berwarna hitam
dengan motif-motif seperti motif ayam, figur antropomorfik, dan geometris. Gambar-gambar pada
panil terakhir ini yang merepresentasikan budaya dari penutur Austronesia.

Gua Ladori, Bendewuta, Konawe Utara


Secara administrasi Gua Ladori terletak di Desa Bendewuta, Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe
Utara, Sulawesi Tenggara. Gua ini berada pada koordinat S 03°19’25.3’’ dan E 122°04’28.6’’ dengan
ketinggian 48 mdpl. Akses jalan menuju gua menggunakan perahu dari desa Bendewuta menyusuri
sungai Ladori selama 20 menit. Arah hadap gua ke arah barat daya dengan kedalaman mencapai 150
meter. Vegetasi di kawasan ini seperti beringin, enau, dan tumbuhan karst. Gua Ladori pernah
dilaporkan oleh Fage, 2014 pada ekspedisi Matarombeo yang juga menemukan situs Gua Anawai
dengan temuan gambar cadas cap tangan berwarna merah. Gua Ladori diidentifikasi ulang oleh M.
Sabri dalam rangka penyusunan skripsi tahun 2020. Secara keseluruhan gua ini memiliki 4 ruangan
dengan ukuran yang bervariasi. Ruangan pertama yang terletak di mulut gua merupakan lokasi
ditemukannya seluruh tinggalan arkeologis tersebut. Secara umum kelembaban ruangan dimana
gambar-gambar cadas tersebut ditemukan cukup rendah dengan intensitas cahaya yang relatif
rendah. Temuan arkeologis di situs ini selain gambar cadas antara lain fragmen kerang, fragmen
tembikar, dan fragmen keramik.

Figur 5. Tampak depan mulut gua dan denah Gua Ladori (Sabri, 2020)

Gambar cadas di situs ini digambarkan menggunakan pigmen warna hitam dengan jumlah gambar
yang teridentifikasi sebanyak 222 objek gambar cadas. Motif yang digambarkan berupa figur
antropomorfik (44), figure hewan (24), perahu (104), geometris (35), dan abstrak (15). Kondisi gambar
sebagian masih jelas. Namun ada beberapa gambar yang telah aus, terutama gambar-gambar yang
terletak di dinding sisi selatan. Hal tersebut dikarenakan keletakan beberapa gambar hanya berjarak
30 cm dari permukaan tanah di lantai ruangan.

Tabel 2. Persentase temuan gambar cadas di Gua Ladori

No Motif Jumlah %
1 Antropomorfik 44 20%
2 Hewan 24 11%
3 Perahu 104 47%
4 Geometris 35 16%
5 Abstrak 15 7%
Total 222 100%

Motif yang menarik untuk dibahas dalam artikel ini yaitu motif perahu cadik berlinggi dan
berpenumpang, kemungkinan digambarkan 10 individu, pada ketinggian 112 cm dari permukaan
lantai gua dengan ukuran 72 cm x 30 cm. Kajian mengenai teknologi pelayaran pada masa prasejarah
salah satunya yaitu bagaimana penggunaan cadik oleh masyarakat di pesisir pulau. Dalam hal ini
gambar cadas perahu bercadik di Gua Ladori memberikan sumbangan penting bahwa perahu cadik
digunakan oleh moyang terdahulu. Penggunaan cadik ini di Nusantara ini menjadi bukti dari budaya
penutur Austronesia yang tersebar dari Madagaskar hingga ke Kepulauan Pasifik. Namun sedikit bukti
arkeologis dari ekskavasi yang menunjukkan penggunaan cadik, lebih banyak dari bukti etnografi,
sehingga gambar cadik di Gua Ladori ini penting untuk diketahui.
Figur 6. Perahu cadik di Gua Ladori, Bendewuta (Sabri, 2020)

Gua Kalibu, Liang Kabori, Muna

Figur 7. Tampak depan mulut gua dan denah Gua Kalibu, Muna (Hidayatullah, 2021)

Secara administrasi Gua Kalibu terletak di Dusun II, Desa Liangkabori, Kecamatan Lohia Kabupaten
Muna, Sulawesi Tenggara. Gua ini berada pada koordinat S 04°53’0641’’ dan E 122°39’6796’’ dengan
ketinggian 107 Mdpl menghadap ke barat daya. Akses jalan menuju gua berjalan kaki melewati
beberapa kebun warga yang ditanami jagung, singkong, dan jambu mete. Ruang gua cukup sempit
dan harus merunduk untuk masuk kedalam gua. Gambar-gambar cadas berada di dinding dan langit-
langit gua yang diakses dengan sedikit menunduk dan dengan posisi duduk atau telentang.

Tabel 3. Persentase Gambar Cadas di Gua Kalibu, Muna


No Motif Total Percentage
1 Antropomorfik 15 50%
2 Kelabang 5 16.67%
3 Perahu 4 13.33%
4 Geometris 4 13.33%
Tidak
5 2 6.67%
teridentifikasi
Total 30 100%

Jumlah gambar cadas yang teridentifikasi sebanyak 30 objek gambar cadas. Motif yang digambarkan
berupa figur antropomorfik (15), kelabang (5), perahu (4), geometris (4), dan tidak teridentifikasi (2).
Gambar perahu dengan linggi normal ditunggangi 9 figur manusia. Gambar pada panel 1 dan 3 terletak
pada langit-langit gua sedangkan gambar pada panil dua terletak pada dinding gua. Kondisi gambar
sebagian masih jelas. Namun ada beberapa gambar yang telah aus. Di dalam gua terdapat tetesan air
dari stalagtit yang masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang berkebun disekitar gua.

Figur 8. Motif perahu dengan dek dua tingkat di Leang Kalibu

Di Leang Kalibu diidentifikasi ada sekitar 4 motif perahu, dua diantaranya digambarkan memiliki dek
dua tingkat mengunakan teknik kuasan dengan warna coklat. Terdapat 5 figur manusia yang
digambarkan pada motif pertama (kiri), di bagian dek bawah, terlihat 2 figur manusia, yang di sebelah
kiri digambarkan dengan bagian kepala, badan, dan kedua lengan menyamping, sedangkan
disebelahnya hanya terlihat bagian kepala dan badan. Tiga figur di dek atas digambarkan dengan
sedang berdiri. Diluar gambar perahu terdapat tiga figur antropomorfik menaiki hewan dengan posisi
dua di sisi kiri dan satu di bagian bawah. Pada motif kedua (kanan), terlihat 6 motif figur antropomorfik
dengan posisi di dek bagian bawah dan 7 figur antropomorfik yang terlihat memegang senjata.

Perkembangan penggunaan perahu yang terpreservasi pada gambar cadas


Beberapa peneliti menjelaskan bahwa migrasi manusia modern awal dari paparan Sunda ke Sahul
yang melewati Wallacea diperlukan keterampilan menggunakan transportasi air. Wilayah Wallacea
sejak periode pleistosen tidak pernah bersatu dengan daratan Sunda maupun Sahul ini merupakan
tantangan yang sulit bagi mereka untuk bermigrasi (Bednarik 1998). Mahdi (2018) menjelaskan
perkembangan perahu dari yang sederhana sampai yang tingkat yang lebih kompleks dari perahu rakit
atau lesung sampai ke perahu yang memiliki tiang layar di Nusantara telah lama berkembang sejak
periode prasejarah. Lebih lanjut Horridge (1981) menjelaskan bahwa penggunaan linggi, penambahan
papan-papan, tambuko, dan bentuk-bentuk layar merupakan pengaruh adaptasi dan difusi dari tradisi
pelayaran di Mediterania, China, dan di wilayah Asia Tenggara Kepulauan. Penggambaran perahu pada
gambar cadas di Indonesia timur termasuk Timor Leste sangat bervariasi dari penggambaran tiang
layar, layar, linggi berhias dan kemudi (Lape et al. 2007, O’Connor et al. 2018, Yuwono et al. 2020).

Namun dalam perkembangannya hanya sebagian kecil yang dapat terekam dalam gambar cadas.
Oktaviana (2009, 2012, 2018) mengungkapkan bahwa terdapat tujuh cara untuk menggerakan perahu
di wilayah daerah aliran sungai, pesisir pantai atau penyebrangan antar pulau yang terekam dalam
gambar-gambar cadas prasejarah di Indonesia yaitu:
1. Motif perahu dengan di dayung duduk (di Gua Pominsa, Muna)
2. Motif perahu dengan di dayung berdiri (di Leang Bulu Sipong 1 Maros, Ceruk Risatot, Papua)
3. Motif perahu dengan tambahan linggi (Gua Metanduno, Gua Pominsa)
4. Motif perahu dengan satu tiang layar (Gua Metanduno, Gua Kabori, Gua Pominsa)
5. Motif perahu dengan dua atau lebih tiang layar (Gua Metanduno)
6. Motif perahu dengan kombinasi tiang layar dan kemudi tunggal (Gua Kabori)
7. Motif perahu dengan kombinasi tiang layar dan kemudi ganda (Gua Kabori)

Berdasarkan rekapitulasi motif perahu pada gambar cadas di Indonesia (tabel 4), sebanyak 362 motif
perahu digambarkan pada 46 situs di 17 kawasan karst di Indonesia. Motif perahu yang sederhana
seperti perahu lesung digambarkan sebanyak 81 motif (22.37%). Motif perahu yang digambarkan
dengan linggi menjadi motif perahu yang paling dominan digambarkan yaitu sebanyak 216 motif
(59.66%). Motif perahu yang digambarkan dengan tambahan tiang layar sebanyak 28 motif (7.73%).
Motif perahu dengan tambahan layar sebanyak 26 motif (7.18%), sedangkan motif perahu dengan
kemudi digambarkan sebanyak 5 motif (1.38%). Adapun motif perahu dengan tambahan cadik
sebanyak 3 motif (0.82%), dan motif perahu dengan dua dek sebanyak 4 motif (1.10%). Penggunaan
warna pada motif-motif perahu pada gambar cadas di Indonesia yaitu sebanyak 187 motif (51.65%)
menggunakan warna hitam, sedangkan warna coklat sebanyak 104 motif (28.72%), lalu warna merah
66 motif (18.23%), dan terakhir warna putih 4 motif (1.10%).

Tabel 4. Rekapitulasi motif perahu pada gambar cadas di Indonesia

Perahu
Perahu Perahu Perahu Perahu
Perahu Perahu dengan
No Kawasan Situs dengan dengan dengan dua Warna Jumlah Sumber
Lesung Berlinggi Tiang
layar kemudi cadik dek
Layar
Sangkulir Delineasi
Hitam
ang, 2015, BPCB
1 Gua Merayap 1 (1) 1
Kalimanta Kalimantan
n Timur Timur

Sangkulir Delineasi
Hitam
ang, 2016, BPCB
2 Gua Layar 1 (1) 1
Kalimanta Kalimantan
n Timur Timur
Sangkulir
Hitam Oktaviana
ang, Lubang
3 7 (7) 7 Survey
Kalimanta Mardua
2014
n Timur
Mentewe
Hitam
, Liang Sugiyanto
4 3 (3) 3
Kalimanta Kacamata 2017
n Selatan
Mentewe
Hitam
, Sugiyanto
5 Liang Susu 1 (1) 1
Kalimanta 2017
n Selatan
Maros, Merah Oktaviana
Leang Bulu
6 Sulawesi 2 (2) 2 Survey
Sipong 1
Selatan 2017

Maros, Merah Oktaviana


7 Sulawesi Tebing Ambe 8 9 (17) 17 Survey
Selatan 2017

Maros, Hitam Oktaviana


Leang
8 Sulawesi 2 (2) 2 Survey
Garantiga 2
Selatan 2017

Maros, Hitam Oktaviana


Leang
9 Sulawesi 1 (1) 1 Survey
Balangajia 2
Selatan 2018

Maros, Leang Hitam Oktaviana


10 Sulawesi Turungang 1 (1) 1 Survey
Selatan Tangngayya 2018

Wiwirano Hitam
Hakim et
11 , Sulawesi Gua Pondoa 2 2 1 (5) 5
al. 2018
Tenggara
Bendewu
Hitam
ta, Sabri
12 Gua Ladori 20 92 2 (114) 114
Sulawesi (2020)
Tenggara
Perahu
Perahu Perahu Perahu Perahu
Perahu Perahu dengan
No Kawasan Situs dengan dengan dengan dua Warna Jumlah Sumber
Lesung Berlinggi Tiang
layar kemudi cadik dek
Layar
Bendewu
Hitam
ta, Gua
13 2 5 (7) 7 Sabri 2020
Sulawesi Watutinuda
Tenggara
Bendewu
Hitam
ta, Gua
14 4 6 (10) 10 Sabri 2020
Sulawesi Songkonuai
Tenggara
Muna, Hitam Oktaviana
Ceruk La
15 Sulawesi 1 1 (2) 2 survey
Tangga Ara
Tenggara 2021

Muna, Hitam Oktaviana


Ceruk
16 Sulawesi 1 (1) 1 survey
Lakubha
Tenggara 2021
Hitam
Muna, (6), Oktaviana
17 Sulawesi Gua Toko 5 1 1 1 Coklat 8 survey
Tenggara (2) 2021

Muna, Coklat Oktaviana


18 Sulawesi Gua Kabori 3 (3) 3 survey
Tenggara 2015
Hitam
Muna, (3), Oktaviana
Gua
19 Sulawesi 9 35 3 1 coklat 48 survey
Metanduno
Tenggara (45) 2021

Hitam(3)
Muna, Gua Oktaviana
Coklat
20 Sulawesi Kaghofighofin 3 8 2 1 14 survey
Tenggara e (11) 2021

Muna, Coklat Oktaviana


Gua
21 Sulawesi 3 (3) 3 survey
Lakantagho 1
Tenggara 2021
Coklat
Muna, (33), Oktaviana
22 Sulawesi Gua Pominsa 16 20 5 1 1 Hitam 42 survey
Tenggara (9) 2021

Muna, Coklat Oktaviana


Gua
23 Sulawesi 1 6 (7) 7 survey
Maarewu
Tenggara 2021
Dolulolon
g, Putih (1) O’Connor
24 Tene Koro 1 1
Lembata, et al. 2018
NTT
Merah
Tron Bon Lei Yuwono et
25 Alor, NTT 2 3 2 (7) 7
1&2 al. 2020

Kisar, Merah
Ceruk Intutun O’Connor
26 Maluku 1 (1) 1
1 et al. 2020
Tenggara

Kisar, Merah
Ceruk Intutun O’Connor
27 Maluku 2 (2) 2
3 et al. 2020
Tenggara

Kisar, Merah
Ceruk Intutun O’Connor
28 Maluku 1 (1) 1
10 et al. 2020
Tenggara
Perahu
Perahu Perahu Perahu Perahu
Perahu Perahu dengan
No Kawasan Situs dengan dengan dengan dua Warna Jumlah Sumber
Lesung Berlinggi Tiang
layar kemudi cadik dek
Layar
Kisar, Merah
Here Sorot O’Connor
29 Maluku 1 (1) 1
Entapa et al. 2020
Tenggara

Kisar, Merah
O’Connor
30 Maluku Gua Irmula 1 2 (3) 3
et al. 2020
Tenggara

Kisar, Merah
O’Connor
31 Maluku Jawalang 6 1 (1) 1
et al. 2020
Tenggara
Nusiata,
Wetang, Merah
Kealy et al.
32 Maluku Tawawun 1 (1) 1
2018
Barat
Daya
Nusiata,
Wetang, Merah
Kealy et al.
33 Maluku Raitawuni 2 1 (1) 1
2018
Barat
Daya
Kei, Merah
Ballard
34 Maluku Dudumahan 3 1 (4) 4
1988
Tenggara
Kei, Merah
Wattimena
35 Maluku Ceruk Kei Lein 13 1 (14) 14
et al. 2021
Tenggara
Seram Merah Oktaviana
Tebing
36 Laut, 1 (1) 1 Survey
Watusika
Maluku 2015
Misool, Merah Oktaviana
Tebing 3
37 Raja 1 (1) 1 survey
Pana-Pana
Ampat 2014
Misool, Merah Oktaviana
Tebing
38 Raja 3 (3) 3 survey
Sunbayo
Ampat 2014
Misool, Merah Oktaviana
Tebing
39 Raja 1 (1) 1 survey
Sunmalelen
Ampat 2014
Misool, Tebing Merah Oktaviana
40 Raja Manikai- 1 (1) 1 survey
Ampat popoatsa 2014
Misool, Merah Oktaviana
Tebing
41 Raja 1 (1) 1 Survey
Kapocol
Ampat 2016
Misool, Merah Oktaviana
Tebing
42 Raja 1 (1) 1 Survey
Lemmakana 2
Ampat 2016
Misool, Oktaviana
Tebing Putih (1)
43 Raja 1 1 Survey
Tomolol 2
Ampat 2016
Misool, Hitam Oktaviana
44 Raja Gua Tomolol 1 (1) 1 Survey
Ampat 2016
Waigeo, Oktaviana
Tebing Kabui Putih (3)
45 Raja 1 1 1 3 Survey
4
Ampat 2016
Arguni,
Merah Oktaviana
Fakfak, Tebing
46 1 (1) 1 survey
Papua Risatot
2021
Barat
Perahu
Perahu Perahu Perahu Perahu
Perahu Perahu dengan
No Kawasan Situs dengan dengan dengan dua Warna Jumlah Sumber
Lesung Berlinggi Tiang
layar kemudi cadik dek
Layar
Roder
Furir, Hitam 1939
47 Papua Sosorra 1 2 5 1 (9) 9 (sudah
Barat tidak bisa
dilihat)
Mai-Mai, Merah Oktaviana
48 Papua Nemnembe 1 (1) 1 survey
Barat 2021
216 28 26
Total 81 motif motif motif motif 5 motif 3 motif 4 motif 362
(22.37%) (59.66) (7.73%) (7.18% (1.38% (0.82%) (1.10%) motif

Gambar cadas di Tebing Ambe, Maros memberikan tambahan data gambar cadas perahu di kawasan
karst Maros-Pangkep yang berbentuk perahu lesung dengan didayung berdiri dan perahu berlinggi.
Memang sampai saat ini motif-motif perahu di kawasan tersebut sebagian besar pada gambar cadas
yang digambarkan berupa perahu lesung dan perahu berlinggi seperti di Leang Bulu Sipong 1 Maros
yang menggunakan warna merah. Selain itu juga, pada saat survey di Leang Bulu Sipong 1 Maros, dari
arah mulut gua yang ke arah persawahan tampak dari kejauhan terlihat arah Tebing Ambe. Leang Bulu
Sipong 1 Maros memiliki gambar perahu lesung berlinggi dengan dua figur antropomorfik diatasnya
yang sedang mendayung berdiri. Perlu riset yang lebih detail mengenai keterkaitan antara kedua situs
tersebut.

Terkait dengan pertanggalannya yang masih belum diketahui apakah motif-motif perahu yang
berwarna merah tersebut apakah sudah digambarkan pada periode pra-Austronesia atau sejaman
dengan budaya penutur Austronesia yang menggunakan warna hitam. Menarik juga menelisik apakah
manusia Toala yang hadir setidaknya sejak 8 ribu tahun yang lalu juga memiliki kepandaian
menggambar di kawasan karst Maros-Pangkep? Karena dari pertanggalan yang ada di kawasan
tersebut ada rentang masa dari 17 ribu tahun yang lalu ke sekitar 3.500 tahun yang lalu, belum
ditemukan hubungan tinggalan arkeologi dengan gambar cadasnya. Pertanyaan ini semoga kedepan
akan terjawab oleh riset-riset arkeologi yang semakin berkembang.
Peta 3. Sebaran motif perahu dengan perbedaan warna pigmen yang dipakai pada gambar cadas di
Indonesia

Sedangkan gambar cadas yang ditemukan di Gua Ladori, Matarombeo memberikan tambahan data
yang tidak kalah penting terkait dengan penggunaan cadik sebagai bagian dari teknologi perahu yang
penting yang merupakan bagian dari tradisi penutur Austronesia. Gambar-gambar cadas di kawasan
ini yang sebagian besar didominasi oleh tinggalan Penutur Austronesia yang diidentifikasi dari
penggunaan warna hitam (Hakim, O’Connor & Bulbeck, 2018). Penggunaan cadik digunakan dengan
tujuan untuk memberikan keseimbangan pada perahu-perahu lesung yang digunakan untuk
transportasi di sungai besar atau pesisir pantai. Cadik yang berukuran besar digunakan untuk perahu-
perahu yang akan menyebrang lintas pulau. Penggunaan cadik oleh masyarakat pesisir masih kita
jumpai di beberapa kawasan pesisir pantai yang memiliki karakter ombak yang lumayan besar.

Terakhir Gambar cadas di Gua Kalibu, Muna juga memberikan tambahan data baru mengenai rekaman
bentuk perahu yang memiliki dek dua tingkat. Penggambaran perahu dengan metif seperti ini jarang
ditemukan di kawasan karst lainnya. Sekaligus juga, jika dilihat dari ragam motif perahu yang
ditemukan pada gambar cadas di kawasan karst Muna, banyaknya jenis-jenis perahu yang
digambarkan menunjukkan tingkat kreatifitas dan pengetahuan mengenai pelayaran sangat
berkembang di wilayah tersebut.

Simpulan
Motif perahu pada gambar cadas di Tebing Ambe, Gua Ladori, dan Gua Kalibu memberikan tambahan
data yang penting terhadap bukti-bukti budaya maritim di Indonesia. Teknologi perahu yang terekam
dan terpreservasi pada motif-motif gambar cadas tersebut membuktikan pentingnya generasi
penerus untuk menjaga dan melestarikan. Upaya riset berkelanjutan pada gambar cadas, terkait
mengenai umur pertanggalan motif perahu pada gambar cadas di Indonesia amat diperlukan. Karena
sampai saat ini, pertanggalan gambar cadas baru sebatas motif teriantropik, motif ‘datu shaman’,
motif hewan (babi, anoa, dan banteng), dan motif cap tangan negatif yang yang telah diketahui
umurnya pada periode pra-Austronesia. Sedangkan motif yang dipertanggalkan pada periode
Austronesia yaitu pada motif figur antropomorfik. Sehingga temuan-temuan gambar cadas kedepan
semakin memberikan sumbangsih pengetahuan dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Indonesia.

Referensi
Arifin, K. (1992). Lukisan Batu Karang di Indonesia: Suatu Evaluasi Hasil Penelitian. Depok: Lembaga
Penelitian-Universitas Indonesia.
Arifin, K. and P. Delanghe. 2004. Rock Art in West Papua. Paris: UNESCO Publishing.
Aubert, M., Brumm, A., Ramli, M., Sutikna, T., Saptomo, E. W., Hakim, B., et al. (2014). Pleistocene
cave art from Sulawesi, Indonesia. Nature 514: 223–227.
Aubert, M., Setiawan, P., Oktaviana, A. A., Brumm, A., Sulistyarto, P. H., Saptomo, E. W., et al. (2018).
Palaeolithic cave art in Borneo. Nature 564: 254–257.
Aubert, M., Lebe, R., Oktaviana, A. A., Tang, M., Burhan, B., Jusdi, A., et al. (2019). Earliest hunting
scene in prehistoric art. Nature 576: 442–445.
Ballard, C. (1988). Dudumahan: A Rock art site on Kai Kecil, South East Mollucas. BIPPA 8: 139-161.
Bednarik, R. G. (1998). An experiment in Pleistocene seafaring. The International Journal of Nautical
Archaeology 27: 139–149.
Birdsell, J. B. (1977). The recalibration of a paradigm for the first peopling of Greater Australia. In Allen,
J., Golson, J., and Jones, R. (eds.), Sunda and Sahul: Prehistoric Studies in Southeast Asia,
Melanesia and Australia. Academic Press, London, pp. 113–167.
Brumm, A., Oktaviana, A. A., Burhan, B., Hakim, B., Lebe, R., Zhao, J., Sulistyarto, P. H., Ririmasse, M.,
Adhityatama, S., Sumantri, I., & Aubert, M. (2021). Oldest cave art found in Sulawesi. Science
Advances, 7(3). https://doi.org/10.1126/sciadv.abd4648
Fage, L.-H. (2015). Rapport préliminaire: Prospection archéologique, massif de Matarombeo Sulawesi
Central, Octobre 2014, NaturEvolution. doi.org/10.13140/RG.2.1.1934.3205 (accessed 25
October 2021).
Gaffney, D. (2021;2020;). Pleistocene water crossings and adaptive flexibility within the homo genus.
Journal of Archaeological Research, 29(2), 255-326. https://doi.org/10.1007/s10814-020-
09149-7
Hakim, B., O’Connor, S., & Bulbeck, D. (2018). Black drawings at the cave site of Gua Pondoa, Southeast
Sulawesi: The motifs and a comparison with pigment art elsewhere in Sulawesi and the
broader Western Pacific region. In S. O’Connor, D. Bulbeck & J. Meyer (ed.), The Archaeology
of Sulawesi: Current Research on the Pleistocene to the Historic Period, pp. 79–92. Canberra:
ANU Press.
Horridge, A.; Snoek, C. (1981). The Prahu: traditional sailing boat of Indonesia / Adrian Horridge; with
drawings by Chris Snoek. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Huntley, J., Aubert, M., Oktaviana, A. A., Lebe, R., Hakim, B., Burhan, B., Aksa, L. M., Geria, I. M., Ramli,
M., Siagian, L., Brand, H. E. A., & Brumm, A. (2021). The effects of climate change on the
pleistocene rock art of Sulawesi. Scientific Reports, 11(1), 9833-10.
https://doi.org/10.1038/s41598-021-87923-3
Ilmi, M. M., Maryanti, E., Nurdini, N., Setiawan, P., Kadja, G. T. M., & Ismunandar, I. (2021). A review
of radiometric dating and pigment characterizations of rock art in Indonesia. Archaeological
and Anthropological Sciences, 13(7). https://doi.org/10.1007/s12520-021-01357-6
Kealy, S., Louys, J., & O'Connor, S. (2018). Least-cost pathway models indicate northern human
dispersal from Sunda to Sahul. Journal of Human Evolution, 125, 59-70.
https://doi.org/10.1016/j.jhevol.2018.10.003
Kealy, S., Wattimena, L., O’Connor, S. (2018). A geological and spatial approach to prehistoric
archaeological surveys on small islands: case studies from Maluku Barat Daya, Indonesia.
Kapata Arkeologi, 14(1): 1-14.
Kosasih, E.A. (1985). Hasil penelitian lukisan-lukisan pada beberapa gua dan ceruk di Pulau Muna
(Sulawesi Tenggara). In R.P. Soejono, S. Suleiman, S. Satari, N.A. Subagus and R. Indraningsih
(eds), Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II, Cisarua, 5–10 Maret 1984, pp. 55–66.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Lape, P.V., S. O’Connor and N. Burningham. (2007). Rock art: A potential source of information about
past maritime technology in the South-East Asia-Pacific region. International Journal of
Nautical Archaeology 36(2):238–253. doi.org/10.1111/j.1095-9270.2006.00135.x (accessed 5
June 2018).
Mahdi, W. (2018). Pre-austronesian origins of seafaring in insular Southeast Asia. In A. Acri, R. Blench
& A. Landmann (Eds.), (pp. 325-374). ISEAS–Yusof Ishak Institute Singapore.
https://doi.org/10.1355/9789814762779-010
O'Connor, S., Kealy, S., Louys, J., Kaharudin, H. A., Lebuan, A., & Hawkins, S. (2018). Unusual painted
anthropomorph in Lembata island extends our understanding of rock art diversity in
indonesia. Rock Art Research, 35(1), 79-84.
Oktaviana, A.A. (2009). Penggambaran Motif Perahu pada Seni Cadas di Indonesia. Unpublished BA
thesis, Program Studi Arkeologi, University of Indonesia, Jakarta.
Oktaviana, A.A. (2012). Teknik menggerakkan perahu yang terekam dalam seni cadas sebagai
kekayaan seni dan maritim di Indonesia. In S. Rahardjo (ed.), Arkeologi untuk Publik, pp. 537–
549. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Oktaviana, A.A. (2018). Hand stencils and boats in the painted rock art of the karst region of Muna
Island, Southeast Sulawesi. In S. O’Connor, D. Bulbeck & J. Meyer (ed.), The Archaeology of
Sulawesi: Current Research on the Pleistocene to the Historic Period, pp. 61–77. Canberra: ANU
Press.
Oktaviana, A. A., Lape, P. V., & Ririmasse, M. N. (2018). Recent rock art research on east seram,
maluku: A key site in the rock art of West Papua and south east Maluku. Kapata Arkeologi,
14(2), 135-144. https://doi.org/10.24832/kapata.v14i2.534
Sabri, M. Gambar Cadas Pada Gua-gua Kawasan Perbukitan Karst Matarombeo di Desa Bendewuta,
Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Unpublished BA
thesis, jurusan Arkeologi, University of Halu Oleo.
Sugiyanto, B. (2017). Rock-Art Perahu: Data Baru Kajian Maritim Awal di Kalimantan Selatan. Diakses
dari laman web tanggal 28 Oktober 2021. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/rock-art-
perahu-data-baru-kajian-maritim-awal-di-kalimantan-selatan/
Wattimena, L., Salhuteru, M. J., & Peseletehaha, G. A. (2021). Rock art at Kel Lein site, Kaimear islands,
Maluku. Kapata Arkeologi, 16(1) https://doi.org/10.24832/kapata.v16i1.1-12
Widianto H, Arifin K, Setiawan P, Said A, Oktaviana AA (2015) Gambar cadas prasejarah di Indonesia,
Permana, R. C. E. Ed., Jakarta, Special Region of Jakarta, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya
dan Permuseuman.
Yuwono, P., Mahirta, M., O’connor, S., Kealy, S., Black, A., & Hawkins, S. (2020). New painted rock art
sites in Alor island, eastern Indonesia, support a diversity of artistic traditions in the late
holocene. Rock Art Research, 37(1), 35-45.

Anda mungkin juga menyukai