Anda di halaman 1dari 6

Faktor Risiko

1. Usia
Insidensi mioma uteri meningkat seiring bertambahnya usia dan mencapai
puncaknya pada usia 50 tahun. Mioma uteri jarang terjadi pada perempuan sebelum
pubertas dan angka kejadiannya menurun setelah menopause. Angka kejadian
leiomioma uteri meningkat berdasarkan usia yakni mencapai 62,7 per 10.000 pada
wanita berusia 45-49 tahun dan menurun menjadi 31,8 per 10.000 pada wanita berusia
50-54 tahun.
Studi pada wanita hamil menunjukkan onset mioma uteri lebih cepat pada
wanita kulit hitam dibandingkan wanita kulit putih. Insidensi mioma uteri pada usia
35 tahun sebanyak 60% dan usia 50 tahun meningkat hingga >80% pada populasi
wanita Afrika-Amerika. Pada wanita Kaukasia, insidensi pada usia 35 tahun
sebanyak40% dan usia 50 tahun sebanyak 70%.

2. Ras dan Genetik


Insidensi mioma uteri 2-3 kali lipat pada wanita kulit hitam, sedangkan
insidensi mioma uteri pada wanita hispanik, Asia, dan kulit putih adalah serupa.
Insidensi mencapai 50% pada wanita kulit hitam dan 25% pada wanita kulit putih.
Mioma pada wanita kulit hitam memiliki ukuran yang lebih besar, jarang multipel,
dan menyebabkan gejala yang lebih parah dibandingkan dengan etnis lain. Perbedaan
ras menunjukkan perbedaan biosintesis dan atau metabolisme estrogen yang
dimediasi genetik. Perubahan beberapa gen (MED12, HMG1, HMG1-C, HMG1 (Y)
HMGA2, COL4A5, COL4A6, CYP1A1, dan CYP1B1), protoonkogen (misalnya, p27
dan p53) dan jalur sinyal (PI3K-AKT-MTOR) berkaitan dengan etiologi mioma uteri
(Pavone et al, 2017; Lubis, 2020). Selain itu, gangguan translokasi kromosom 10, 12,
dan 14, delesi kromosom 3 dan 7, serta aberasi kromosom 6 juga berkaitan dengan
etiologi mioma uteri.
Mioma uteri stabil secara kromosom, namun 40%-50% mioma memiliki
kelainan sitogenetik, seperti trisomi 12; penataan ulang 12q, 6p, 10q, 13q; dan
penghapusan 7q, 3q, 1p. Translokasi kromosom (q14dq15, q23dq24) yang paling
umum pada mioma ditemukan pada grup dengan mobilitas tinggi yaitu gen promotor
AT-hook (HMGA2). Hal ini akan mengakibatkan ekspresi HMGA2 berlebih yang
nantinya berkaitan dengan pembentukan tumor. Selain perubahan kromosom, mutasi
mediator complex subunit 12 (MED12) juga sering ditemukan pada mioma uteri
dengan frekuensi 50%-85%. MED12 merupakan regulator transkripsi yang
menjembatani urutan regulasi DNA ke kompleks RNA polimerase II. Inaktivasi
MED12 akan menghasilkan peningkatan regulasi transforming growth factor b (TGF-
b) yang mempengaruhi gen pengkode protein pembentuk kolagen dan matriks
ekstraseluler sehingga pembentukannya berlebihan.
MiRNA merupakan RNA non-coding kecil (22-25 bp) yang berfungsi
mengatur ekspresi gen melalui penghambatan translasi atau degradasi mRNA target.
MiRNA diekspresikan secara abnormal pada sel mioma sehingga miRNA (let-7,
200a, 200c, 93, 106b, dan 21) juga memiliki peran dalam pembentukan mioma uteri.
MiRNA mempengaruhi patobiologi mioma uteri melalui ekspresi gen yang
bertanggungjawab pada proliferasi seluler, apoptosis, pergantian matriks ekstraseluler,
angiogenesis, dan inflamasi.

3. Faktor Reproduksi
Kehamilan memiliki peningkatan tajam estrogen dan progesteron seperti pada
awal kehamilan, serta penurunan produksi estrogen dan progesteron seperti pada
periode pascapartum. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan mioma. Sebanyak
36% dari mioma uteri yang muncul pada trimester pertama kehamilan tidak
teridentifikasi pada layar ultrasound yang dilakukan 3-6 bulan pasca partum karena
ukuran mioma berkurang hingga mencapai diameter 0,5 cm. Pada wanita menyusui,
terdapat sedikit atau tidak berpengaruh pada mioma uteri.(13)
Ukuran mioma selama trimester I dapat tidak berubah atau dapat membesar
akibat respon awal terhadap peningkatan estrogen. Pada trimester kedua, mioma
berukuran 2-6 cm. Ukuran ini dapat tetap atau bertambah besar. Sedangkan pada
mioma yang berukuran >6 cm dapat mengecil karena down regulation reseptor
estrogen. Selama trimester III, mioma dapat menetap atau mengecil
karenaberkurangnya reseptor estrogen.(7)
Mioma uteri juga dapat menyebabkan infertilitas atau subfertilitas sehingga menurunkan
angka paritas. Pada wanita yang terakhir melahirkan 5 tahun atau lebih akan meningkatkan
risiko perkembangan mioma 2-3 kali lipat dibanding wanita yang baru saja melahirkan pada
ras kulit hitam dan kulit putih. Beberapa penelitian menyatakan menarke dini dapat
meningkatkan risiko mioma uteri. Selain itu, keterlambatan menopause cenderung membuat
perkembangan miom baru.(11)

Faktor Hormonal

Pada tingkat fibroid, jumlah reseptor progesteron seperti PR-B meningkat. Ekspresi PR-B
(diukur dengan PR-B mRNA) dalam jaringan miom berhubungan dengan jumlah tumor, akan
tetapi intensitas perdarahan intermenstrual dan dismenore berkurang. Pada pasien dengan
sindrom polikistik ovari terjadi kondisi hiperestrogenik yang akan meningkatkan risiko
mioma uteri. LH berbagi reseptor dengan human chorionic gonadotropin, yaitu hormon yang
merangsang pertumbuhan uterus selama awal kehamilan. Peningkatan kadar LH akan
merangsang pertumbuhan miom selama peri-menopause. Hubungan antara kontrasepsi oral
(kontrasepsi oral) dan mioma uteri masih dalam perdebatan. Wanita pascamenopause yang
menerima terapi pengganti hormon estrogen maupun kombinasi menunjukkan perkembangan
miom.(12)

Nulipara

Wanita dengan nulipara memiliki faktor risiko yang lebih tinggi dibanding wanita dengan
multipara.(5) Hal ini berkaitan dengan pengaruh paparan hormon seks, estrogen, dan
progesteron.(5)

Obat-obatan

Obat-obatan yang bersifat Endocrine-Disrupting Chemicals (EDC) atau bahan kimia yang
mengganggu endokrin terdapat pada plasticizer, dioxin, polychlorinated biphenyl,
organochlorines, phthalates, genistein, dan diethylstilbestrol (DES). Sebuah penelitian
terhadap model hewan pengerat dan studi epidemiologi manusia menunjukkan DES dapat
meningkatkan tumorigenesis. EDC berhubungan langsung dengan reseptor estrogen dan
mempengaruhi perubahan ekspresi gen pada uterus yang berkembang.(13)

Obesitas

Body Mass Index (BMI) yang tinggi akan meningkatkan risiko mioma uteri. Insidensi
penanganan melalui pembedahan tinggi pada wanita dengan penambahan berat badan >20 kg
dibanding wanita dengan penambahan berat badan <10 kg. Penurunan risiko ditemukan pada
wanita yang menurunkan berat badannya. Obesitas merupakan faktor risiko mioma uteri
melalui mekanisme hormonal maupun inflamasi. Obesitas bertanggung jawab pada
peningkatan konversi androgen adrenal menjadi estron dan penurunan produksi sex hormone
binding globulin (SHBG) di hepar sehingga menghasilkan lebih banyak estrogen aktif yang
tidak terikat. Terdapat sebuah penelitian yang mempelajari hubungan antara mioma uteri
dengan distribusi jaringan lemak. Hasil yang didapatkan ialah ketebalan lemak preperitoneal
(ekspresi lemak viseral) melalui pengukuran dengan ultrasound berkaitan dengan adanya
mioma. Sedangkan ketebalan lemak subkutan secara signifikan tidak berkaitan dengan
mioma.(11)

Efek proinflamasi lebih terlihat pada lapisan viseral dibandingkan dengan kompartemen
lemak subkutan. Obesitas sentral dapat meningkatkan resistensi insulin dan hiperinsulinemia.
Hiperinsulinemia secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perkembangan mioma
dengan meningkatkan proliferasi sel otot polos miometrium dan meningkatkan sirkulasi
hormon ovarium. Obesitas sentral, resistensi insulin, tekanan darah tinggi, dan hiperlipidemia
merupakan komponen sindrom metabolik yang memiliki faktor risiko tinggi terhadap mioma
uteri.(11)

Gaya Hidup dan Diet

Aktivitas fisik, stres, diet, polusi, alkohol, dan konsumsi kafein dapat memodulasi jalur
persinyalan dan mekanisme molekuler yang terlibat dalam perkembangan serta pertumbuhan
mioma uteri. Aktivitas fisik dapat mengurangi hormon seks yang bersirkulasi, kadar insulin,
dan estrogen bebas. Pada wanita yang melakukan olahraga teratur, risiko mioma uteri lebih
rendah daripada wanita yang tidak berolahraga. Sebuah penelitian melaporkan bahwa wanita
dengan kategori aktivitas fisik yang tinggi, yaitu ≥7 jam/ minggu, secara signifikan memiliki
tingkat risiko mioma uteri lebih rendah dibanding wanita dengan aktivitas fisik <2 jam/
minggu.(12)

Stres dapat menjadi faktor risiko mioma uteri. Stres berhubungan dengan BMIyang tinggi,
obesitas, konsumsi alkohol, dan tekanan darah tinggi. Semua hal tersebut merupakan faktor
risiko mioma uteri sehingga stres akan meningkatkan risiko terjadinya mioma uteri. Hormon
stres juga meningkatkan reseptor growth factors, sitokin, dan matriks metaloproteinase. Stres
juga mempengaruhi jalur hipotalamus- hipofisis-adrenal dan gonad yang berpengaruh pada
bioavailabilitas estrogen sehingga akan meningkatkan risiko perkembangan mioma uteri.(!3)

Diet juga memiliki peran terhadap kejadian mioma uteri. Beberapa komponen makanan dapat
mengubah metabolisme hormon endogen yang juga berpengaruh pada kadar estrogen.
Konsumsi daging sapi atau daging merah lain (1,7 kali lipat) sertaham (1,3 kali lipat) dapat
meningkatkan risiko mioma uteri.(12) Selain itu, makanan dengan indeks glikemik tinggi dan
tinggi asam lemak omega-3 terutama marine fatty acid (MFA) akan meningkatkan kejadian
tumor melalui jalur induksi hormonal akibat penumpukan lemak.(12) Sedangkan konsumsi
buah-buahan (terutama buah jeruk) dan sayuran dapat menurunkan risiko mioma uteri. Buah
dan sayuran mengandung nutrisi yang dapat menghambat proliferasi, apoptosis, maupun pada
jalur hormonal. Kebiasaan makan di beberapa negara menyebabkan perbedaan prevalensi
mioma uteri. Sebagai contoh, asam lemak yang berasal dari hewan merupakan kandungan
makanan utama pada wanita kulit hitam yang berkontribusi terhadap kejadian mioma uteri.
Namun pola makan masih dalam perdebatan karena banyaknya faktor risiko lain yang
mempengaruhi.(12)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D merupakan faktor risiko


mioma uteri. Wanita Afrika-Amerika memiliki kadar vitamin D3 serum yang lebih rendah
daripada wanita kulit putih karena faktor genetik, diet, dan pigmentasi. Vitamin D3
menghambat proliferasi sel leiomioma secara in vitro dan menurunkan ukuran leiomioma
uteri pada model hewan coba secara in vivo. Vitamin D3 menjadi agen antiestrogenik yang
dapat mengurangi ekspresi reseptor steroid. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin D dapat menjadi pilihan terapi untuk mioma uteri. Asupan vitamin A juga memiliki
peran dalam menurunkan risiko mioma uteri melalui asam retinoat. Vitamin A yang telah
diserap diubah menjadi senyawa aktif asam retinoat yang kemudian akan menghambat
pertumbuhan mioma.(13)

Rokok dapat meningkatkan proliferasi sel yang kemudian juga akan meningkatkan risiko
mioma uteri. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan konsumsi alkohol dapat
meningkatkan risiko mioma uteri melalui peningkatan kadar estrogen total. Peningkatan
risiko juga ditemukan pada wanita muda

dengan konsumsi tinggi kopi atau asupan kafein. Kafein dapat meningkatkan kadar estradiol
pada fase folikuler awal, meningkatkan produksi hormon seks steroid, danmenghambat
fosfodiesterase.(13)

Penyakit Komorbid

Hipertensi, polycystic ovary syndrome (PCOS), dan diabetes merupakan tiga penyakit yang
umumnya berasosiasi dengan kejadian mioma. Peningkatan insulin danIGF-I serta
hiperandrogen menjadi faktor pemicu PCOS dan diabetes, pada hipertensi terjadi pelepasan
sitokin yang merangsang proliferasi jaringan tumor.(5)

Infeksi/Iritasi

Infeksi, iritasi, atau cedera rahim akan meningkatkan risiko mioma uteri melalui induksi
growth factor.(5)

Anda mungkin juga menyukai