Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GAWAT DARURAT

DENGAN TRAUMA ABDOMEN

OLEH :

KELOMPOK 11

1. Putu Diah Purnamawati (17C10049)


2. I Nyoman Agus Astrawan (17C10050)

3. Ni Putu Regina Pramestia Putri (17C10051)

4. Ni Luh Ayu Deviana Sari Budaya (17C10052)

SARJANA KEPERAWATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

TAHUN AJARAN 2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan asuhan keperawatan ini. Dalam makalah yang penulis buat ini,
penulis membahas mengenai “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
GAWAT DARURAT DENGAN TRAUMA ABDOMEN”.
Sehubungan dengan tersusunnya asuhan keperawatan ini, penulis
mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi – tingginya kepada semua pihak
yang telah membantu dan membimbing dalam penulisan makalah ini. Secara
khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak I Gede Putu Darma Suyasa,S.Kp.,M.Ng.,Ph.D Selaku Rektor


ITEKES BALI.
2. Bapak Ns. I Nyoman Arya Mahaputra, M.Kep., Sp. KMB. Selaku
Dosen Keperawatan Gawat Darurat
3. Rekan – rekan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Ada pun materi yang diambil dalam pengerjaan makalah ini dibuat dengan
melalui beberapa metode pengerjaanya itu dengan menggunakan sumber bacaan
secara langsung dalam bentuk buku-buku panduan dan melalui informasi
langsung dari internet. Mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekeliruan dalam
penyusunan makalah ini.

Akhir kata semoga asuhan keperawatan ini dapat memberikan manfaat


bagi kita semua. 

Denpasar, 29 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

Latar Belakang............................................................................................... 1
Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
Tujuan............................................................................................................ 3
Manfaat.......................................................................................................... 3

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

Anatomi Fisiologi.......................................................................................... 4
Definisi........................................................................................................... 7
Klasifikasi...................................................................................................... 7
Etiologi........................................................................................................... 8
Patofisiologi................................................................................................... 9
WOC.............................................................................................................. 11
Manifestasi Klinis.......................................................................................... 11
Pemeriksaan Diagnostik................................................................................. 11
Komplikasi..................................................................................................... 13
Penatalaksanaan............................................................................................. 14
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

Pengkajian Keperawatan................................................................................ 17

Diagnosa Keperawatan.................................................................................. 20

Intervensi Keperawatan................................................................................. 21

Implementasi Keperawatan............................................................................ 26

Evaluasi Keperawatan.................................................................................... 27

BAB III : PENUTUP

ii
Kesimpulan.................................................................................................... 29

Saran.............................................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera


di mana pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan
hemodinamik adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ-
organ yang berada di rongga abdomen adalah organ-organ pencernaaan.
Selain trauma abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada system
pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna baik saluran bagian
atas ataupun saluran cerna bagian bawah bila di biarkan tentu berakibat
fatal bagi korban atau pasien bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh
karena itu kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada
system pencernaan secara cepat, cermat, dan tepat sehingga hal-hal
tersebut dapat kita hindari.

Trauma abdomen menduduki peringkat ketiga dari seluruh


kejadian trauma dan sekitar 25% dari kasus memerlukan tindakan operasi
(Hemmila, 2008). Trauma abdomen diklasifikasikan menjadi trauma
tumpul dan trauma tembus. Trauma tembus abdomen biasanya dapat
didiagnosis dengan mudah dan andal, sedangkan trauma tumpul abdomen
sering terlewat karena tanda-tanda klinis yang kurang jelas (Fadhilakmal,
2013). Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas
biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma
tusuk. Walaupun tekhnik diagnostic baru sudah banyak di pakai, misalnya
Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih merupakan
tantangan bagi ahli klinik

Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang


tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika
tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma akibat
benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan

1
kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk
sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen (Suratun &
Lusianah. 2010).

Peran dan fungsi perawat sebagai pelaksana pelayanan, pengelola,


pendidik, peneliti dalam bidang keperawatan dan kesehatan. Peran dan
fungsi perawat sebagai fungsi Independen yaitu berkaitan dengan
pemberian asuhan (Care), sebagai fungsi Dependen yaitu fungsi yang
didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari profesi lain dan sebagai
fungsi Kolaboratif yaitu kerjasama saling membantu dalam program
kesehatan (perawat sebagai anggota tim kesehatan). Pertolongan penderita
gawat darurat dapat terjadi di mana saja baik di dalam rumah sakit maupun
di luar rumah sakit, dalam penanganannya melibatkan tenaga medis
maupun non medis termasuk masyarakat awam. Pada pertolongan pertama
yang cepat dan tepat akan menyebabkan pasien/korban dapat tetap
bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut.

Berdasarkan latar belakang di atas maka kami kelompok tertarik


membahas tentang “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
pada pasien dengan Trauma Abdomen”, mengingat masih tingginya
masalah kesehatan masyarakat karena trauma akibat benda tajam yang
disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan besar didalam
abdomen.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan rumusan


masalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana Laporan Pendahuluan tentang Trauma Abdomen?


1.2.2 Bagaimana Asuhan Keperawatan Teoritis pada pasien dengan
Trauma Abdomen?

2
1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari pembuatan


laporan ini yakni sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui sekaligus memberikan informasi baik
mahasiswa maupun kalayak umum tentang penanganan yang
baik dan tepat serta asuhan keperawatan yang tepat diberikan
kepada pasien dengan Trauma Abdomen.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khususnya yaitu:
1.3.2.1 Untuk mengetahui laporan pendahuluan tentang
Trauma Abdomen;
1.3.2.2 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Teoritis pada
pasien dengan Trauma Abdomen.

1.4 Manfaat

Dari tujuan di atas, adapun manfaat dari pembuatan laporan ini


yakni sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis


Sebagai mahasiswa kita bisa mempelajari atau memahami
bagaimana penanganan maupun pencegahan yang baik dan
tepat serta asuhan keperawatan yang tepat diberikan pada
pasien dengan Trauma Abdomen.
1.4.2 Manfaat Praktis
Kita sebagai mahasiswa bisa mempraktikan ataupun
menerapkan bagaimana penanganan maupun pencegahan yang
baik dan tepat diberikan serta asuhan keperawatan yang tepat
diberikan pada pasien dengan Trauma Abdomen.

3
BAB II

TINJUAN TEORITIS

2.1 Anatomi Fisiologi


2.1.1 Sistem Pencernaan Manusia

Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari


beberapa organ, berturut- turut dimulai dari:

1. Rongga Mulut
Mulut merupakan saluran pertama yang dilalui makanan. Pada
rongga mulut, dilengkapi alat pencernaan dan kelenjar
pencernaan untuk membantu pencernaan makanan.
2. Esofagus
Merupakan saluran yang menghubungkan antara rongga mulut
dengan lambung. Pada ujung saluran esophagus setelah mulut
terdapat daerah yang disebut faring. Pada faring terdapat klep,
yaitu epiglotis yang mengatur makanan agar tidak masuk ke
trakea (tenggorokan). Fungsi esophagus adalah menyalurkan
makanan ke lambung. Agar makanan dapat berjalan sepanjang
esophagus, terdapat geraka peristaltik sehingga makanan dapat
berjalan menuju lambung.
3. Lambung
Lambung adalah kelanjutan dari esophagus, berbentuk seperti
kantung. Lambung dapat menampung makanan 1 liter hingga
mencapai 2 liter. Dinding lambung disusun oleh otot-otot polos
yang berfungsi menggerus makanan secara mekanik melalui
kontraksi otot-otot tersebut. Ada 3 jenis otot polos yang
menyusun lambung, yaitu otot memanjang, otot melingkar, dan
otot menyerong.
4. Usus Halus
Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung. Usus halus
memiliki panjang sekitar 6-8 meter. Usus halus terbagi menjadi

4
3 bagian yaitu duodenum (± 25 cm), jejunum (± 2,5 m), serta
ileum (± 3,6 m). Pada usus halus hanya terjadi pencernaan
secara kimiawi saja, dengan bantuan senyawa kimia yang
dihasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia dari kelenjar
pankreas yang dilepaskan ke usus halus.
5. Usus Besar
Merupakan usus yang memiliki diameter lebih besar dari usus
halus. Memiliki panjang 1,5 meter, dan berbentuk seperti huruf
U terbalik. Usus besar dibagi menjadi 3 daerah, yaitu: Kolon
Asenden, Kolon Transversum, dan Kolon Desenden. Fungsi
kolon adalah:
a) Menyerap air selama proses pencernaan.
b) Tempat dihasilkannya vitamin K, dan vitamin H
(Biotin) sebagai hasil simbiosis dengan bakteri usus,
misalnya E-coli.
c) Membentuk massa feses.
d) Mendorong sisa makanan hasil pencernaan (feses)
keluar dari tubuh. Pengeluaran feses dari tubuh
defekasi.
6. Rektum dan Anus
Merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh.
Sebelum dibuang lewat anus, feses ditampung terlebih dahulu
pada bagian rectum. Apabila feses sudah siap dibuang maka
otot spinkter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus.
Otot spinkter yang menyusun rektum ada 2, yaitu otot polos
dan otot lurik.
2.1.2 Abdomen

Abdomen ialah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuk


lonjong dan meluas dari atas diafragma sampai pelvis
dibawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi dua bagian yaitu
abdomen (rongga sebelah atas dan yang lebih besar), dan pelvis
yaitu rongga sebelah bawah dan kecil (Syaifuddin, 2009).

5
Gambar a.1 Anatomi abdomen

Batasan-batasan abdomen

a. Di bagian atas dibatasi oleh diafragma.


b. Di bagian bawah dibatasi oleh pintu masuk panggul dari
panggul besar.
c. Di depan dan kedua sisi dibatasi oleh otot-otot abdominal,
tulang-tulang illiaka dan iga-iga sebelah bawah.
d. Di belakang dibatasi oleh tulang punggung, otot psoas dan
quadratrus lumborum.

Isi Abdomen

Sebagaian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus


halus, dan usus besar. Hati menempati bagian atas, terletak di bawah
diafragma, dan menutupi lambung dan bagian pertama usus halus.
Kandung empedu terletak dibawah hati. Pankreas terletak dibelakang
lambung, dan limpa terletak dibagian ujung pancreas. Ginjal dan
kelenjar suprarenal berada diatas dinding posterior abdomen. Ureter
berjalan melalui abdomen dari ginjal. Aorta abdominalis, vena kava
inferior, reseptakulum khili dan sebagaian dari saluran torasika
terletak di dalam abdomen (Pearce C, Evelyn. 2009). Pembuluh
limfe dan kelenjar limfe, urat saraf, peritoneum dan lemak juga
dijumpai dalam rongga ini.

6
2.2 Definisi

Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ


abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi
gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai
organ.

Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa


trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak
disengaja (Smeltzer, 2010).

Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan


daerah antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011).

Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap


struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh
luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2010).

Jadi, trauma abdomen adalah trauma atau cedera pada abdomen


yang menyebabkan perubahan fisiologis yang terletak diantara diafragma
dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau tusuk.

2.3 Klasifikasi

Menurut Fadhilakmal (2013), Trauma pada dinding abdomen dapat


dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu:

1. Kontusio dinding abdomen


Disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding
abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi
eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa
darah dapat menyerupai tumor.

7
2. Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma
penetrasi.

Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner


terdiri dari:

a. Perforasi organ viseral intraperitoneum


Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya
cedera pada dinding abdomen.
b. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan
diagnostik ahli bedah.
c. Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri
diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi.

2.4 Etiologi

Menurut Smaltzer (2010), penyebab trauma abdomen dapat terjadi


karena kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan
terjatuh dari ketinggian. Penyebab trauma yang lainnya sebagai berikut:

1. Penyebab trauma penetrasi

a. Luka akibat terkena tembakan

b. Luka akibat tikaman benda tajam

c. Luka akibat tusukan

2. Penyebab trauma non-penetrasi

a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh

b. Hancur (tertabrak mobil)

8
c. Terjepit sabuk pengaman karena terlalu menekan perut

d. Cedera akselerasi/deserasi karena kecelakaan olah raga


Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu:
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh
jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan
bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi,
kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan
kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak,
trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan
tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal
diabdomen.

2.5 Patofisiologi
Menurut Fadhilakmal (2013), bila suatu kekuatan eksternal
dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas,
penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka
beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik
dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi
berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditabrak) untuk
menahan tubuh.
Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari
jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga
karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting.
Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan
tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan
yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga

9
bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan
tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi
tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati
ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangka dalam
beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan.
Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan
beberapa mekanisme:
1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat
oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk
pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan
terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior
dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat
menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

Trauma tumpul pada abdomen disebabkan oleh pengguntingan,


penghancuran atau kuatnya tekanan yang menyebabkan rupture pada usus
atau struktur abdomen yang lain. Luka tembak dapat menyebabkan
kerusakan pada setiap struktur didalam abdomen. Tembakan
menyebabkan perforasi pada perut atau usus yang menyebabkan
peritonitis dan sepsis. Patofisiologi yang terjadi berhubungan dengan
terjadinya trauma abdomen adalah:
1. Terjadi perpindahan cairan berhubungan dengan kerusakan pada
jaringan, kehilangan darah dan shock.
2. Perubahan metabolic dimediasi oleh CNS dan system
makroendokrin, mikroendokrin.
3. Terjadi masalah koagulasi atau pembekuan dihubungkan dengan
perdarahan massif dan transfuse multiple.
4. Inflamasi, infeksi dan pembentukan formasi disebabkan oleh
sekresi saluran pencernaan dan bakteri ke peritoneum
5. Perubahan nutrisi dan elektrolit yang terjadi karena akibat
kerusakan integritas rongga saluran pencernaan.

10
2.6 WOC (terlampir)

2.7 Manifestasi Klinis

Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis


meliputi nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam,
anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri
spontan.

1. Pada trauma non-penetrasi (tumpul) biasanya terdapat adanya:

a. Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen.

b. Terjadi perdarahan intra abdominal.

c. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu


sehingga fungsi usus tidak normal dan biasanya akan
mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan
BAB hitam (melena).
d. Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam
setelah trauma.
e. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio
pada dinding abdomen.
2. Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
a. Terdapat luka robekan pada abdomen.
b. Luka tusuk sampai menembus abdomen.
c. Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak
perdarahan / memperparah keadaan.
d. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam
andomen.

2.8 Pemeiksaan Diagnostik

11
Menurut Musliha, 2010, pemeriksaan diagnostik untuk trauma
abdomen, yaitu:

1. Foto thoraks: Untuk melihat adanya trauma pada thorax.


2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi
perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan
hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa
terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak
kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi
menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi
usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan
trauma pads hepar.
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara
bebas retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan
perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai
hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya
trauma pada saluran urogenital.
5. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada
persangkaan trauma pada ginjal.
6. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam
rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini
hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi
(gold standard). Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut:

a. Nyeri Abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya

b. Trauma pada bagian bawah dari dada

12
c. Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas

d. Pasien cedera abdominal dengan gangguan


kesadaran (obat,alkohol, cedera otak)
e. Pasien cedera abdominal dan cedera medula
spinalis (sumsum tulang belakang)
f. Patah tulang pelvis
Kontra indikasi relatif melakukan DPL sebagai berikut:

a. Hamil

b. Pernah operasi abdominal

c. Operator tidak berpengalaman

d. Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan


7. Ultrasonografi dan CT Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum
dioperasi dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan
retroperitoneum.

Menurut Musliha (2011), pemeriksaan khusus untuk trauma


abdomen, yaitu:
a. Abdominal paracentesis
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk
menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih
dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari
rongga peritoneum setelah dimasukkan 100–200 ml larutan NaCl
0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi.
b. Pemeriksaan laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung
sumber penyebabnya.
c. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-
sigmoidoskopi.

2.9 Komplikasi

13
Menurut Smeltzer (2010), komplikasi segera yang dapat terjadi
pada pasien dengan trauma abdomen adalah hemoragi, syok, dan cedera.
Sedangkan komplikasi jangka panjangnya adalah infeksi.
Komplikasi yang dapat muncul dari trauma abdomen terutama
trauma tumpul adalah cedera yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis,
cedera iatrogenik, intra abdomen sepsis dan abses, resusitasi yang tidak
adekuat, rupture spleen yang muncul kemudian (King et al, 2002;
Salomone & Salomone, 2011). Peritonitis merupakan komplikasi tersering
dari trauma tumpul abdomen karena adanya rupture pada organ. Gejala
dan tanda yang sering muncul pada komplikasi dengan peritonitis antara
lain:
1. Nyeri perut seperti ditusuk

2. Perut yang tegang (distended)

3. Demam (>380C)

4. Produksi urin berkurang

5. Mual dan muntah

6. Haus

7. Cairan di dalam rongga abdomen

8. Tidak bisa buang air besar atau kentut

9. Tanda-tanda syok

2.10 Penatalaksanaan

1. Penanganan Awal Trauma Abdomen

Menurut Musliha (2010), Penilaian Awal yang dilakukan adalah


ABC jika ada indikasi, jika korban tidak berespon, maka segera buka dan
bersihkan.

a. Airway

Membuka jalan nafas penggunakan menggunakan teknik head

14
tilt chin lift atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,
periksa adakah benda asing yang mengakibatkan tertutupnya
jalan nafas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
b. Breathing
Memeriksa pernapasan dengan cara “lihat, dengar, rasakan’,
selanjutnya pemeriksaan status respirasi klien.
c. Circulation
Jika pernafasan pasien cepat dan tidak adekuat, maka berikan
bantuan pernafasan.
Untuk penangan awal trauma abdomen, dilihat dari trauma non-
penetrasi dan trauma penetrasi, yaitu:
1. Penanganan awal trauma non-penetrasi

a. Stop makanan dan minuman

b. Imobilisasi

c. Kirim ke rumah sakit

d. Diagnostic Peritoneal Lavage

2. Penanganan awal trauma penetrasi

a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusuan tiak boleh dicabut


kecuali oleh tim medis.

b. Lilitkan pisau untuk emfiksasi agar tidak memperparah


luka.

c. Bila usus atau orga lain keluar maka organ tersebut


tidak boleh dimasukkan, maka organ tersebut dibaluk
dengan kai bersih atau kasa steril.

d. Imobilisasi pasien.

e. Tidak makan dan minum.

2. Penanganan di Rumak Sakit

a. Trauma Penetrasi

1) Skrinnig pemeriksaan rongten

15
Foto thoraks tegak berguna untuk kemungkinan hemo atau
pneumothoraks. Rontgen abdomen untuk menentukan jalan luka
atau adanya udara retroperitoneum.

2) IVP atau Urogram Excretory dan CT scan (Ini dilakukan


untuk mengetahui jenis cedera ginjal yang ada).

3) Uretrografi (Dilakukan untuk mengetahui adanya rupture


uretra)

4) Sistografi (Ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya cedera


pada kandung kencing, contohnya pada fraktur pelvis dan trauma
non penetrasi).

b. Trauma non-penetrasi

1) Pengambilan contoh darah dan urine

Darah digunakan untuk pemeriksaan lab rutin dan


pemeriksaan darah lkhusus seperti darah lengkap,
potassium, glukosa, amylase.
2) Pemeriksaan Rongent

Pemeriksaan rontgen servikal lateral, thoraks


anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus
dilakukan pada penderita dengan multitrauma , mungkin
berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di
retroperitoneum atau udara bebas dibawah diagfragma,
yang keduanya memerlukan laparotomi.
3) Study kontras urologi dan Gastrointestinal

Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum,


kolon ascendens atau descendens dan dubur.

16
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

DENGAN TRAUMA ABDOMEN

A. Pengkajian Keperawatan

1. Primary survey
a. Airway:
Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau
obstruksi.
b. Breathing:
Memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur,
tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping hidung, dan suara napas
vesikuler
c. Circulation:
Nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah dibawah
normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis,
kaji jumlah perdarahan dan lokasi, capillary refill >2detik apabila
ada perdarahan. Penurunan kesadaran.
d. Disability:
Kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila
adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis.
e. Exposure:
Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan
tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang.
2. Secondary survey
Pengkajian sekunder/secondary survey merupakan pemeriksaan secara
lengkap yang dilakukan secara head to toe , dari depan hingga
belakang. Secondary surey hanya dilakukan setelah kondisi pasien
mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tandatanda syok
telah mulai membaik.

17
a. Anamnesis
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat
dari pasien dan keluarga, yaitu A : alergi (adakah alergi pada pasien,
seperti obat-obatan, plester, makanan), M : medikasi/obat-obatan
(obat-obatan yang diminum), P : 14 pertinent medical history
(riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah diderita,
obatnya apa, berapa dosisnya), L : last meal (obat atau makanan
yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum
kejadian), E : events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab
cedera (kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama).
1. Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis
kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik,
alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
2. Identitas penanggung jawab Identitas
penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul
meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan
klien dan alamat.
3. Keluhan utama Merupakan keluhan yang
paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya pasien akan mengeluh nyeri pada dada saat bernafas.
4. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang Merupakan pengembangan dari
keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif
(P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q)
yaitu bagaimana nyeri dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu
nyeri menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana
yang dapat mengurangi nyeri atau klien merasa nyaman dan
Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri tersebut.

18
b. Riwayat kesehatan yang lalu Perlu dikaji apakah klien pernah
menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya.
b. Pengkajian fisik

1) Kepala:
Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan
mulut.
2) Leher:
Lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher
bagian belakang. Distensi vena jugularis, deviasitra ke atau
tugging, emfisema kulit.
3) Dada:
Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot
asesoris, pergerakan dada, suara paru. Luka terbuka, sucking
chest wound, Flail chest dengan gerakan dada paradoksikal,
suara paru hilang atau melemah, gerakan dada sangat lemah
dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan
penggunaaan otot-otot asesoris).
4) Abdomen:
a) Dapatkan riwayat mekanisme cedera: kekuatan tusukan
atau tembakan, kekuatan tumpul atau pukulan.
b) Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya: cedera
tusuk, memar, dan tepat keluarnya peluru.
c) Auskultasi: ada atau tidaknya bising usus dan catat data
dasar sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising
usus adalah tanda awal keterlibatan intra peritoneal: jika
ada tanda iritasi peritonium biasanya dilakukan laparatomi
(insisi pembedahan kedalam rongga abdomen)
d) Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakan, nyeri
tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising
usus dan hipotensi dan syok.
e) Kaji cidera dada yang sering mengikuti cedera intra-
abdomen, observasi cedera yang berkaitan

19
5) Pelvis:
Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan.
Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta
pembengkakan di daerah pubik
6) Extremitas:
Ditemukan fraktur terbuka di femur dextra dan luka laserasi
pada tangan. Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi,
fungsi motorik, fungsi sensorik. Nyeri, melemah atau
menghilangnya denyut nadi, menurun atau menghilangnya
fungsi sensorik dan motorik.
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
1) Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi:
Suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.
2) Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS
(Glasgow Coma Scale): terjadi penurunan kesadaran pada
pasien.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan perdarahan.

2. Nyeri Akut berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka


penetrasi abdomen.

3. Gangguan Volume Cairan berhubungan dengan hypovolemia.

4. Resiko Infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak


adekuatnya pertahanan tubuh.

5. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan peningkatan usaha


nafas.

20
6. Kerusakan Integritas Jaringan berhubungan dengan faktor mekanik
(tekanan).

7. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan luka trauma atau


luka oprasi.

8. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh


berhubungan dengan mual, muntah, penurunan nafsu makan.

C. Intervensi Keperawataan

No Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Setelah dilakukan tindakan 1. Awasi TTV secara 1. Indikator
keperawatan, diharapkan rutine, evaluasi keadekuatan
tidak terjadi gangguan pengisian kapiler sirkulasi.
perfusi jaringan dengan KH: dan perubahan 2. Perubahan dapat
1. Mempertahankan/ mental. menunjukan
memperbaiki perfusi 2. Pantau perubahan ketidakadekuatan
jaringan dengan tingkat kesadaran, perfusi cerebral.
bukti tanda vital keluhan pusing atau 3. Vasokontriksi adalah
stabil sakit kepala. respon simpatis
2. Kulit hangat. 3. Kaji kulit terhadap terhadap penurunan
3. Nadi perifer teraba. dingin, pucat, volume sirkulasi.
4. GDA dalam batas berkeringat, 4. Penurunan perfusi
normal. pengisian kapiler sistemik dapat
5. Keluaran urine yang lambat. menyebabkan
adekuat. 4. Catat pengeluaran iskemik /gagal ginjal
urine dan berat jenis. dimanifestasikan
5. Kolaborasi: Berikan dengan penurunan
oksigen tambahan pengeluaran urine.
sesuai indikasi 5. Mengobati
6. Berikan cairan IV/ hipoksemia dan
transfuse darah asidosis laktat selama
sesuai indikasi. perdarahan akut.
6. Mempertahankan

21
volume sirkulasi dan
perfusi.
2. Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji intensitas nyeri 1. Untuk menentukan
keperawatan, diharapkan 2. Catat keluhan nyeri intervensi yang tepat.
nyeri teratasi dengan KH: (PQRST) 2. Untuk
1. Klien mengatakan 3. Berikan posisi membandingkan
nyeri berkurang / nyaman dengan nyeri
hilang. 4. Ajarkan teknik sebelumnya yang
2. Klien terlihat tenang. relaksasi mana membantu
3. Tidak mengerang- 5. Kolaborasi mendiagnosa
erang kesakitan. pemberian analgetik penyebab perdarahan
4. Skala nyeri berada di dan terjadi
batas normal 1-3 komplikasi.
3. Meningkatkan
kenyamanan klien.
4. Mengurangi
ketegangan otot
sehingga mengurangi
nyeri.
5. Analgetik berfungsi
menghilangkan rasa
nyeri.
3. Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau tanda-tanda 1. Perubahan tekanan
keperawatan, diharapkan vital klien. darah dan nadi dapat
volume cairan tidak 2. Catat respon digunakan untuk
mengalami kekurangan. fisiologis terhadap perkiraan kasar
dengan KH: pendarahan misalnya kehilangan darah.
(perubahan mental, 2. Somptomatologi
1. Menunjukan
kelemahan, gelisah, dapat berguna dalam
perbaikan
ansietas, pucat, mengukur berat/
keseimbangan cairan
berkeringat, lamanya episode
dibuktikan oleh
takipnea, perdarahan.
pengeluaran urine
peningkatan suhu). 3. Berikan pedoman
adekuat dengan

22
berat jenis normal. 3. Pantau masukan dan untuk pengagantian
2. Tanda vital stabil. keluaran dan cairan.
3. Membrane mukosa hubungkan dengan 4. Penggantian cairan
lembab. perubahan berat tergantung pada
4. Tugor kulit baik. badan. derajat hipovolemia
5. Pengisian kapiler 4. Kolaborasi : Berikan dan lamanya
cepat. cairan/ darah sesuai perdarahan
indikasi.
4. Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan teknik 1. Menurunkan risiko
keperawatan, diharapkan aseptik pada infeksi nosokomial.
tidak terjadi infeksi dengan penggantian balutan 2. Perkembangan
KH: dan prosedure infeksi dapat
1. Tidak ada tanda- inpasif. memperlambat
tanda infeksi. 2. Observasi penyatuan pemulihan.
2. Bebas dari drainage luka, karakter 3. Peningkatan suhu
purulent atau drainage, adanya tubuh dan
eritema dan demam inflamansi. peningkatan leukosit
3. Tidak ada 3. Observasi untuk adalah karakteristik
perdarahan peningkatan suhu terjadinya infeksi.
4. Suhu tubuh dalam tubuh dan 4. Diberikann secara
rentang normal : peningkatan jumlah profilaksis dan untuk
36,5°C-37,4°C. leukosit. mengatasi infeksi.
4. Kolaborasi
pemberian antibiotik
sesuai indikasi
5. Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji pola nafas. 1. Unutk menentukan
keperawatan, diharapkan 2. Kaji tanda-tanda intervensi yang tepat.
pola nafas efektif dengan vital. 2. Mengetahui
KH: 3. Posisikan klien semi perkembangan
1. Klien mengatakan fowler dan berikan kondisi klien.
sesak nafas oksigern sesuai 3. Untuk mengurangi
berkurang indikasi. sesak nafas klien.
2. Klien merasa rileks

23
3. Pernafasan normal :
20-24x/menit.
6. Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien 1. Mengurangi
keperawatan, diharapkan untuk menggunakan penekanan terhadap
kerusakan integritas pakaian yang luka.
jaringan tidak terjadi, longgar. 2. Mempertahankan
dengan KH: 2. Jaga kulit agar tetap kondisi kulit pada
1. Perfusi jaringan bersih dan kering. bagian luka dan
normal. 3. Monitor kulit akan sekitar luka.
2. Tidak ada tanda- adanya kemerahan 3. Merupakan indikator
tanda infeksi. 4. Observasi luka : terjadinya infeksi
3. Ketebalan dantekstur lokasi, dimensi, ataupun dikubitus.
jaringan normal. kedalaman luka, 4. Mengetahui dan
4. Menunjukkan karakteristik, warna memonitor terjadinya
pemahaman dalam cairan, granulasi, kerusakan jaringan
proses perbaikan jaringan nekrotik, yang terjadi.
kulit dan mencegah tanda-tanda infeksi 5. Menghindari
terjadinya cidera lokal,formasitraktus. terjadinya infeksi
berulang. 5. Lakukan teknik yang terjadi.
5. Menunjukkan perawatan luka
terjadinya proses dengan steril.
penyembuhan luka.
7 Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi luka, catat 1. Mungkin indikasi dan
keperawatan, diharapkan karakteristik terjadinya infeksi,
tidak terjadi kerusakan drainage. Pantau yang menunjang
integritas kulit dengan KH: TTV dengan sering. perlambatan
1. Menignkatkan Perhatikan demam, pemulihan luka dan
penyembuhan luka takipnea takikardia, meningkatkan risiko
tepat waktu. dan gemetar. pemisahan
2. Bebas dari tanda 2. Ganti balutan sesuai luka/dehisens.
infeksi. kebutuhan, gunakan 2. Sejumlah besar
3. Tanda-tanda vital teknik aseptik. drainage serosa
dalam batas normal. 3. Kolaborasi : Irigasi menuntut

24
luka sesuai indikasi, penggantian dengan
gunakan larutan sering untuk
antibiotik dan menurunkan iritasi
cairam garam faal. kulit dan potensial
infeksi.
3. Diperlukan untuk
mengatasi
inflamansi/infeksi.
8. Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian 1. Mengidentifikasi
keperawatan, diharapkan nutrisi dengan kekurangan/kebutuha
tidak terjadi penurunan seksama. n untuk membantu
nafsu makan dengan KH: 2. Timbang BB tiap memilih intervensi.
1. Adanya kemajuan hari. 2. Pengawasan
penambahan berat 3. Auskultasi bising kehilangan dan alat
badan. usus, palpasi pengkajian kebutuhan
2. Tidak ada tanda- abdomen, catat nutrisi/keaktifan
tanda malnutrisi pasase flatus. terapi.
3. Adanya peningkatan 4. Identifikasi 3. Menentukan
nafsu makan. kesukaan/ kembalinya
4. Mual muntah ketidaksukaan diet peristaltik.
teratasi. dari pasien. 4. Meningkatkan
Anjurkan pilihan kerjasama pasien
makanan tinggi dengan aturan diet.
protein dan vitamin Protein/vitamin C
C. adalah kontributor
5. Kolaborasi: konsul utama untuk
dengan ahli diet. pemeliharaan dan
6. Berikan cairan, jaringan perbaikan
tingkatkan kecairan 5. Bermanfaat dalam
jernih, diet penuh mengevaluasi dan
sesuai toleransi memenuhi kebutuhan
setelah selang diet individu.
makan dilepas. 6. Mengkonsumsi ulang

25
cairan dan diet
penting untuk
mengembalikan
fungsi usus normal
dan meningkatkan
masukan nutrisi
adekuat

D. Implementasi Keperawatan

Perawat mengimplementasikan dari rencana keperawatan yang


telah disusun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
Implementasi keperawatan terdiri dari 7 proses yaitu:

a. Bekerja sama dengan pasien


dalam pelaksanaan tindakan Keperawatan.
b. Kolaborasi profesi kesehatan,
meningkatkan status kesehatan.
c. Melakukan tindakan
keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan klien.
d. Melakukan supervisi terhadap
tenaga pelaksanaan, tenaga keperawatan dibawah tanggung
jawabnya.
e. Menjadi coordinator pelayanan
dan advokasi terhadap klien tentang status kesehatan dan fasilitas-
fasilitas kesehatan yang ada.
f. Memberikan pendidikan kepada
klien tentang status keluarga mengenai konsep, keterampilan
asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang
digunakan.
g. Mengkaji ulang dan merevisi
pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon klien.

26
E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keoperawatan dengan


cara melakukan identitas sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat harus memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi
keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan
yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tidakan
keperawatan dengan criteria hasil. Menurut Nursalam (2008), pada
tahapan evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan
dengan mengevaluasiselama proses perawatan berlangsung (evaluasi
proses) dan kegiatan melakukan evalusia dengan targettujuan yang
diharapkan (evaluasi hasil).

1. Evaluasi proses (evaluasi formatif)


Fokus padaevaluasi ini adalah aktivitas dari proses
keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan.
Evaluasi ini harus dilaksanakan segera setelah perencanaan
keperawatan diimplementasikan untuk membantu menilai
efektifitas intervensi tersebut. Metode pengumpulan data evaluasi
ini menggunakan analisis rencana sduhan keperawatan, open chart
audit, pertemuaan kelompok, wawancara, observasi, dan
menggunakan form evaluasi. System penulisannya dapat
menggunakan system SOAP.
2. Evaluasi hasil (evaluasi sumatif)

Focus pada evaluasi hasil (evaluasi sumatif) adalah pada


perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir asuhan
keperawatan. Evaluasi ini dilakukan pada akhirnya asuhan
keperawatan secara paripurna. Evaluasi hasil bersifat objektif,
fleksibel, dan efesien. Metode pelaksanaannya terdiri dari close
chart audit, wawancara pada pertemuan terakhir asuhan, dan
pertanyaan kepada klien dan keluarga.

27
28
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari laporan di atas adapun kesimpulan yang dapat kelompok
uraikan yakni:

Trauma abdomen adalah trauma atau cedera pada abdomen yang


menyebabkan perubahan fisiologis yang terletak diantara diafragma dan
pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau tusuk. Trauma pada dinding
abdomen dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu kontusio dinding
abdomen dan laserasi.

Menurut Smaltzer (2010), penyebab trauma abdomen dapat terjadi


karena kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan
terjatuh dari ketinggian. Menurut Fadhilakmal (2013), bila suatu kekuatan
eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas,
penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka
beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik
dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh.

Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis


meliputi nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam,
anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri
spontan. Menurut Smeltzer (2010), komplikasi segera yang dapat terjadi
pada pasien dengan trauma abdomen adalah hemoragi, syok, dan cedera.
Sedangkan komplikasi jangka panjangnya adalah infeksi.

Menurut Musliha (2010), Penilaian Awal yang dilakukan adalah


ABC (Airway, Breathing and Circulation) jika ada indikasi, jika korban
tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan.

29
4.2 Saran

Dari kesimpulan di atas, adapun saran yang kelompok dapat


sampaikan yakni sebagai berikut:

4.2.1 Mahasiswa dapat memahami ataupun mengetahui bagaimana


faktor penyebab dan faktor pencetus timbulnya Trauma
Abdomen.
4.2.2 Mahasiswa memahami bagaimana tindakan atau penanganan
yang tepat diberikan pada seseorang dengan Trauma Abdomen.
4.2.3 Sebagai tenaga kesehatan bisa mempraktikan bagaimana
tindakan yang baik dan tepat diberikan pada seseorang yang
mengalami Trauma Abdomen.
4.2.4 Sebagai tenaga kesehatan bisa mengaplikasikan tidakan asuhan
keperawatan yang baik dan tepat untuk seseorang yang
mengalami Trauma Abdomen.
4.2.5 Sebagai tenaga kesehatan kita mampu berpikir kritis dan
rasional agar asuhan keperawatan yang diberikan dapat
memberikan efek yang positif pada pasien dan dapat mencapai
kesembuhan yang maksimal.

30
Daftar Pustaka

Abdul Bari Saefudin. 2009. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Bare BG., Smeltzer SC. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC. Hal: 45-47.

Guillon, O., dan Cezanne, C. 2011. “Employee Loyalty and Orgaizational


Performance: a Critical Survey.” Journal of Organizational
Change Management 27 (5): 839-850

Ignatavicius, D. D., & Workman, m. L. 2010. Medical - Surgical Nursing:


Clients –Centered Collaborative Care. Sixth Edition, 1 & 2.
Missouri: Saunders Elsevier.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika

Pearce, Evelyn C.2009. Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis,


Cetakan kedua puluh Sembilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Solomon, Michael. R. 2011. Consumer Behavior: Buying, Having and


Being, 11th Edition. New Jersey: Prentice-Hall.

Suratun, Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.

31

Anda mungkin juga menyukai