Anda di halaman 1dari 3

SOSIOLOGI HUKUM

RESUME PIDATO PROF ESMI DI PURNA CENDEKIA GURU BESAR

UNDIP 2021

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu S.H., M.S

Oleh: LUTPI TUARITA - 11000121410024

MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2021-2022
Hukum Yang Humanis Mewujudkan Keadilan Spiritual
Dilatarbelakangi karena keadilan sudah menjadi barang yang mahal, bahkan
sudah sangat sulit di akses, khususnya bagi mereka yang tidak berdaya, Namun harus
tetap optimis karena banyak orang sudah mewujudkannya namun banyak itu masih
ternyata masih sedikit . Contoh kecil seperti hakim almarhum agung Artidjo Alkotsar
karena di dalam menjalankan tugasnya beliau keadilan yang selalu di utamakan, inilah
yang disebut sebagai keadilan spiritual, Kemudian bapak hakim almarhum Bismar
Siregar karena dalam putusan-putusan beliau ketika peraturan itu cocok maka dia
akan putuskan apabila peraturan itu tidak cocok maka beliau akan tinggalkan.
Hal-hal ini selalu menggelitik dalam pikiran saya, hati saya untuk terus
menggali sebenarnya apa yang salah dalam pendidikan kita, sehingga kita belum
mampu membuat hukum kita menjadi humanis dan menghasilkan keadilan spiritual.
Sejak abad 19 bahkan sudah bergantian abad kita masih melihat hukum
sebagai teks hitam putih, otonom, linier dengan pendekatan monodisplin,
deterministik, sehingga akibat semacam ini yang terus menerus terjadi yang
diutamakan adalah prosedural, Procedure addict: Formalistic, elitis, partial. Hal ini
membuat persoalan nilai keadilan terabaikan. Bahkan pendidikan hukum sampai hari
ini mayoritas, Menurut Posner masih melahirkan effective lawyers yang hanyya
memiliki skill litigasi dan negosiasi. Galanter mengatakan bahwa lawyers are more as
businees like. Sedangkan Prof Satjipto mengatakan bahwa pendidikan kita
menciptakan tukang bongkar pasang pasal-pasal. Tentu ini membuat persoalan
keadilan terpinggirkan, terabaikan.
Tentu dari pemaparan di atas, akibatnya membuat hukum tertinggal dari
dinamika perubahan sosial, hukum tidak mampu menyelesaikan persoalan dalam
masyarakat (kompleks), kepercayaan terhadap hukum semakin pudar, berhukum
sebagai ladang bisnis & kepentingan pragmatis dan keadilan prosedural. Hal-hal ini
yang terus mengganggu almarhum prof satjipto, hingga beliau berusaha terus untuk
mengembang yang namanya hukum progresif.
Seorang advokat senior Yap Thiam Hiem pernah mengemukakan pendapatnya
bahwa para advokat gagal menghumanisasikan hukum dan lembaga-lembaga hukum
mungkin disebabkan pendekatan yang salah karena tidak dapat memahami seluk
beluk perubahan karena tidak mempelajari ilmu-ilmu lain khususnya sosiologi.
Sedangkan seorang hakim dari amerika yaitu Brandeis mengatakan bahwa hukum
yang tidak di iringi dengan mempelajari ekonomi dan sosiologi dia akan menjadi
musuh masyarakat. Hukum itu tidak berada di ruang yang hampa dan berhadapan
dengan hal-hal abstrak. Tetapi hukum hidup di masyarakat dan manusia-manusia
yang hidup dengan tatanan-tatanan (Sinzhemeier). oleh karena itu perlu adanya
perubahan cara pandang bahwa hukum itu merupakan suatu karakteristik dari sebuah
masyarakat.
Pemahaman hukum sebagai pedoman perilaku tidak bisa di pisahkan dari
masyarakat, khususnya budaya hukum. Jadi hukum adalah kontruksi mental manusia
atau masyarakat yang berupa nilai-nilai etik, moral, spiritual religion. Hukum simbol
yang syarat makna dan hukum untuk manusia atau kemanusiaan.
Oleh karena itu mengingat kondisi yang disinggung oleh Fritjof Capra,
kondisi sekarang sudah melanda khususnya di indonesia adanya krisis multi
dimensional yaitu krisis intelektual, krisis moral, dan krisis spiritual. Sehingga perlu
di pahami bahwa hidup dan kehidupan merupakan organisme sosial system dan
ecosystem dan itu saling berhubungan dan saling tergantung. Itu artinya studi hukum
itu tidak juga terpisahkan dari masyarakat tapi juga dengan jagat kehidupan.
Oleh karena itu hukum yang melihat pasal sebagai bangunan yang bentuknya
rules dan sangat parcial dan bebas konteks tentu harus di tinggalkan karena bukan lagi
zamannya apalagi sudah memasuki abad 21. sehingga pendekatan holistic yaitu
pendekatan dunia dilihat secara utuh dan tidak ada yang terpisahkan, apakah itu
organisasi, sistem sosial, lingkungan maupun ethics.
Oleh karena itu harus dibutuhkan paradigma baru, pendekatan baru dan
konsep hukum yang baru. Sehingga pendidikan hukum tidak lagi memahami saya
untuk melahirkan skill/keterampilan. Sehingga pencarian kebenaran keadilan berbasis
ethics dan moral, spiritual harus terus di kembangkan.
Pembangunan hukum yang humanis memang tidak mudah, sebuah proses
perjalanan panjang tapi bukan berhenti hanya menghasilkan produk-produk
perundang-undang apalagi hanya mengamandemen Undang-Undang. Tapi harus
menukik kedalam realitas sosial, lingkungan, organisasi dan ethics, moral
kemanusiaan dan spiritual religion. Sehingga pembangunan hukum agar humanis
harus melihat aspek masyarakat dan ekologi yang akan menembus ke struktur hukum,
substansi hukum dan kultur hukum. Oleh karena itu pendapat Warner Menski bahwa
State Law, The Living Law, Ethics, Moral and Religion harus menyatu di dalam
semua pengemban hukum apakah itu akademisi, ilmuan ataupun praktisi, penegak
hukum maupun para pembentuk hukum.

Anda mungkin juga menyukai