Anda di halaman 1dari 93

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM

KAMPUNG KELUARGA BERENCANA (KB) DI DESA UPON BATU


KABUPATEN GUNUNG MAS

PROPOSAL

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan


Program Studi S1 Pendidikan Luar Sekolah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Palangka Raya

Oleh
Rusniati
AFA 117

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga

penulis bisa menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul judul “PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM KAMPUNG

KELUARGA BERENCANA (KB) DI DESA UPON BATU KABUPATEN

GUNUNG MAS”. Proposal skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu

syarat memperoleh gelar Sarjana pada jurusan Ilmu Pendidikan Prodi Pendidikan

Luar Sekolah Universitas Palangka Raya.

Proposal ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki

banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun teknik penulisannya. Oleh sebab

itu, peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai

pihak agar menjadi pelajaran di kemudian hari. Penulis berharap proposal ini bisa

bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi peneliti selanjutnya

Palangka Raya, 29 Oktober 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Permasalahan mengenai laju pertumbuhan penduduk di suatu negara

merupakan suatu hal yang harus diperhatikan secara serius, karena bila terjadi

laju pertumbuhan penduduk yang besar dan tidak terkendali akan

menimbulkan berbagai masalah kompleks lainnya yang dapat mengganggu

proses pembangunan suatu negara Di Indonesia masalah jumlah penduduk

yang besar dan distribusi yang tidak merata merupakan malah tersendiri.

Kondisi penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun dianggap tidak

menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi.

Hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa kualitas sumber daya

manusia yang ada masihlah rendah sehingga penduduk lebih diposisikan

sebagai beban daripada modal pembangunan. Maka Pemerintah Indonesia

mencanangkan sebuah Program yang diharapkan mampu mengatasi atau

setidaknya menekan sejumlah permasalahan terkait laju penduduk yang tidak

seimbang bernama keluarga berencana (disingkat KB) merupakan gerakan

untuk membentuk keluarga sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran

dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi seperti kondom, spiral,

IUD, dan sebagainya. Jumlah anak dalam sebuah keluarga yang dianggap

ideal adalah dua (Puspaningtyas dkk, 2013).

Sejak dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 14

Januari 2016, Kampung KB terus tumbuh pesat. Semangat membentuk dan


mendirikan Kampung KB di seluruh Nusantara telah menghasilkan ratusan

Kampung KB. 2 Kampung KB merupakan salah satu “senjata pamungkas”

baru pemerintah dalam mengatasi masalah kependudukan, terutama di

wilayah-wilayah yang jarang “terlihat” oleh pandangan pemerintah.

Kampung KB, kedepannya akan menjadi ikon program kependudukan, KB

dan Pembangunan Keluarga (KKBPK).

Kehadiran Kampung KB bertujuan meningkatkan kualitas hidup

masyarakat di tingkat kampung atau yang setara melalui program KKBPK

serta pembangunan sektor lain dalam rangka mewujudkan keluarga kecil

berkualitas. Prinsipnya Program KKBPK mewujudkan keluarga kecil bahagia

sejahtera dengan melaksanakan delapan fungsi keluarga. Penerapan fungsi

keluarga ini membantu keluarga lebih bahagia dan sejahtera, terbebas dari

kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Keberhasilan program KKBPK dapat dilihat dari beberapa aspek.

Pertama, aspek pengendalian kuantitas penduduk, kedua, aspek peningkatan

kualitas penduduk yang dalam hal ini diukur dengan peningkatan ketahanan

dan kesejahteraan keluarganya. Peningkatan ketahanan dan kesejahteraan

keluarga dapat ditelusur melalui berbagi indikator yang merupakan

pencerminan dari pelaksanaan delapan fungsi keluarga. Hal tersebut

tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 87 Tahun 2014 tentang

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga

Berencana dan Sistem Informasi Keluarga. Dalam PP disebutkan delapan

fungsi keluarga meliputi (1) fungsi keagamaan, (2) fungsi social budaya, (3)
fungsi cinta kasih, (4) fungsi perlindungan, (5) fungsi reproduksi, (6) fungsi

sosialisasi dan pendidikan, (7) fungsi ekonomi dan (8) fungsi pembinaan

lingkungan. Kampung KB juga merupakan wujud dari pelaksanaan agenda

prioritas pembangunan Nawacita ke 3, 5, dan 8. Nawacita ketiga yaitu yaitu

membangun.

Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa

dalam kerangka negara kesatuan. Nawacita kelima yaitu meningkatkan

kualitas hidup masyarakat serta Nawacita kedelapan yaitu melakukan revolusi

karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan

nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang

menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran

sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air,

semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan

Indonesia. Kampung KB menjadi program inovatif yang strategis dalam

mengejawantahkan program KKBPK secara paripurna di lapangan. Pasalnya,

Kampung KB menjadi model atau miniatur pembangunan yang melibatkan

seluruh sektor di masyarakat.

Kampung KB merupakan Satuan wilayah setingkat RW, dusun atau

setara yang memiliki kriteria tertentu dimana terdapat keterpaduan program

KKBPK yang dilakukan secara sistemik dan sistematis. Selain itu, manfaat

Kampung KB selain bisa mengentaskan kemiskinan, juga mendekatkan

pembangunan kepada masyarakat. Intinya program ini melibatkan semua

sektor pembangunan. Dengan kata lain, Kampung KB tak hanya berbicara


soal membatasi ledakan penduduk, tapi juga memberdayakan potensi

masyarakat agar berperan nyata dalam pembangunan. Manfaat lain adalah

membangun masyarakat berbasis keluarga, menyejahterakan masyarakat,

serta memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pelaksanaan integrasi program

lintas sektor. Pembangunan lintas sektor dan kemitraan melibatkan peran

bernagai pihak seperti swasta, provider, dan pemangku kepentingan lainnya.

Integrasi lintas sektor berupa pelayanan terpadu antar sektor yang menjadi

kebutuhan masyarakat, seperti pelayanan KB, pelayanan pembuatan akta,

pembangungan jalan dan jembatan, pembuatan ktp, pendiaan buku-buku

bacaan, posyandu, PAUD, P2WKSS, dll.

Meski demikian, tidak semua kampung bisa masuk program Kampung

KB. Ada kriteria yaitu utama wilayah dan khusus. Dalam hal kriteria utama,

sebuah kampung harus memiliki syarat-syarat seperti jumlah keluarga miskin

diatas rata-rata tingkat desa dimana Kampung/RW tersebut berada. Bagi yang

membentuk setara Desa, jumlah keluarga miskin di Desa tersebut harus diatas

rata-rata Kecamatan dimana Desa itu berada. Selain itu, syarat utama lainnya

adalah pencapaian KB di desa tersebut sangat rendah. Dalam hal kriteria

wilayah, setiap kampung KB harus memenuhi unsur seperti berada di wilayah

kumuh, kampung pesisir atau nelayan, berada di Daerah Aliran Sungai

(DAS), di daerah bantaran Kereta Api, Kawasan Miskin (termasuk miskin

perkotan), Terpencil, Wilayah Perbatasan, Kawasan Industri, Kawasan

Wisata, Tingkat Kepadatan Penduduk Tinggi. Sedangkan dalam hal kriteria

khusus, dibutuhkan intervensi lintas sektor. Kampung KB wajib memiliki


unsur antara lain pendidikan rendah dan infrastruktur kurang memadai. Untuk

memenuhi kriteria tersebut, intervensi dari sektor lain sangat diperlukan

(BKKBN 2017). Program Kampung KB adalah salah satu program kampung

terpadu dari pemerintah yang diharapkan dapat mengontrol laju pertambahan

penduduk dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat bagi kesejahteraan

ibu dan anak dalam rangka mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera

yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan

mengendalikan kelahiran dalam rangka menjamin terkendalinya pertumbuhan

penduduk di Indonesia (Ahmadi, A., 2014).

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan sebuah program keluarga

berencana mutlak diperlukan, karena masyarakatlah yang pada akhirnya akan

melaksanakan program tersebut. Adanya keterlibatan masyarakat

memungkinkan mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlanjutan

program keluarga berencana. Pendekatan partisipatif diharapkan potensi dan

kreativitas masyarakat lebih tergali. Pendekatan partisipatif diharapkan

berkembangnya aktivitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung

jawab anggota komunitas sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam

keseluruhan proses, maka keterampilan analisis dan perencanaan menjadi

teralihkan kepada mereka (Alfitri, 2011:205 dalam Trisna, 2019).

Pemerintah Kabupaten Gunung Mas (Gumas) sejak 2016 hingga

sekarang telah menetapkan 23 desa yang tersebar di 12 kecamatan se-

Kabupaten Gunung Mas sebagai Kampung Keluarga Berencana (KB).

Sebanyak 23 Kampung KB tersebut meliputi Desa Tewai Baru di Kecamatan


Sepang, Desa Dahian Tambuk di Kecamatan Mihing Raya, Desa Tumbang

Manyangan di Kecamatan Kurun, Desa Upon Batu dan Sandung Tambun di

Kecamatan Tewah, Desa Tumbang Takaoi, Tumbang Hamputung, Penda

Rangas, dan Tumbang Tanjungan di Kecamatan Kahayan Hulu Utara.

Kemudian Desa Rungan Hiran, Harowu, Tumbang Hatung, dan Tumbang

Manyoi di Kecamatan Miri Manasa, Desa Karetau Serian di Kecamatan

Damang Batu, Desa Sei Antai, Tumbang Lapan, dan Batu Puter di

Kecamatan Rungan Hulu, serta Desa Bereng Malaka di Kecamatan Rungan.

Sedangkan di Kecamatan Rungan Barat adalah Desa Hujung Pata,

Mangkuwuk, dan Tumbang Bahanei, di Kecamatan Manuhing adalah Desa

Tangki Dahuyan, dan di Kecamatan Manuhing Raya adalah Desa Tumbang

Oroi.

Dengan ditetapkannya program kampung KB salah satunya di

kecamatan Tewah tepatnya di Desa Upon Batu, maka penelitian ini dilakukan

untuk melihat bagaimana partisipasi masyarakat di desa Upon Batu terkait

Program Kampung KB yang pada awalnya merupakan desa dengan

kurangnya pengetahuan pasangan usia subur tentang tingkat kesertaan ber-

KB masih rendah serta kurangnya partisipasi masyarakat mengenai program-

program pemerintah kabupaten Gunung Mas. Berdasarkan penjelasan di atas,

peneliti tertarik untuk melakukan penetitian dengan judul “Partisipasi

Masyarakat Dalam Program Kampung Keluarga Berencana (KB) di

Desa Upon Batu, Kabupaten Gunung Mas“


B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang maslah yang sudah penulis paparkan diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program

kampung keluarga berencana (KB) di Desa Upon Batu Kabupaten

Gunung Mas ?

2. Bagaimana proses pelaksanaan program kampung keluarga Berencana

(KB) di Desa Upon Batu Kabupaten Gunung Mas ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah paparkan di

atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Mendeskripsikan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program

kampong Keluarga Berencana (KB) di Desa Upon Batu Kabupaten

Gunung Mas.

2. Mendeskripsikan pelaksanaan program kampung keluarga Berencan (KB)

di Desa Upon Batu Kabupaten Gunung Mas ?

D. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

ataupun praktis bagi semua pihak yang mempunyai kaitan dengan penelitian

ini, diantaranya :

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan mengenai Partisipasi Masyarakat Dalam Melaksanakan


Program Kampung Keluarga Berencana ( KB ) di Desa Upon Batu

Kabupaten Gunung Mas .

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pendidikan Luar Sekolah

Karya tulis ini dapat memberikan gambaran untuk perbaikan dan

pengembangan yang lebih baik mengenai partisipasi masyarakat

dalam melaksanakan program Kampung Keluarga Berencana (KB) di

Desa Upon Batu Kabupaten Gunung Mas.

b. Bagi Pembaca

Karya tulis ini dapat menjadi informasi dan menambah pengetahuan

mengenai Partisipasi Masyarakat Dalam Melaksanakan Program

Kampung Keluarga Berencana ( KB ) Di Desa Upon Batu Kabupaten

Gunung Mas.

c. Bagi Penulis

Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan bahan

untuk penelitian yang lebih lanjut lagi di kemudian hari.

E. Definisi Istilah

Batasan istilah ini dimasukan agar tidak terjadi salah penafsiran

1. Partisipasi

Partisipasi secara umum diartikan sebagai keikutsertaan seseorang

atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan.

Verhangen (Mardikanto dan Poerwoko, 2015) menyatakan bahwa,


partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan
komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan,
tanggung jawab dan manfaat.
2. Masyarakat

Masyarakat adalah sekelompok makhluk hidup yang terjalin erat

karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hokum tertentu yang

sama, serta mengarah pada kehidupan kolektif.

3. Kampung Keluarga Berencana ( KB )

Kampung  KB  merupakan  Satuan  wilayah  setingkat  RW, dusun

atau setara yang memiliki kriteria tertentu dimana terdapat keterpaduan

program KKBPK (Kependudukan, Keluarga Berencana dan

Pembangunan Keluarga ) yang dilakukan secara sistemik dan sistematis.

Kampung KB menjadi program inovatif yang strategis dalam

mengejawantahkan program KKBPK secara paripurna di lapangan.

Pasalnya, Kampung KB menjadi model atau miniatur pembangunan yang

melibatkan seluruh sektor di masyarakat.

4. Keluarga Berencana ( KB )

Keluarga Berencana atau yang lebih akrab disebut KB adalah

program skala nasional untuk menekan angka kelahiran dan

mengendalikan pertambahan penduduk di suatu negara. Sebagai contoh,

Amerika Serikat punya program KB yang disebut dengan Planned

Parenthood.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori Dasar

1. PARTISIPASI

1.1. Pengertian Partisipasi

Partisipasi merupakan suatu wujud keikutsertaan seseorang atau

sekelompok orang di dalam kegiatan untuk mencapai tujuan dari kegiatan

tersebut. Partisipasi juga berarti sebagai "kesediaan untuk membantu

berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti

mengorbankan kepentingan diri sendiri” (Mubyarto dalam Taliziduhu

Ndraha, 1990: 102). Pendapat ini senada dengan definisi yang dikemukakan

oleh K. Davis (dalam Khairuddin, 1992: 12) yang memberikan pengertian

partisipasi: " as mental and emotional involvement of person in a group

situation which encourages him to contribute to group goals and share

responsibility in them".

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 ciri

utama, yaitu:

 Partisipasi merupakan suatu bentuk keterlibatan seseorang secara mental

dan emosional. Jadi bukan hanya sekedar berupa aktivitas fisik saja. Disini

partisipasi yang dilakukan berkenaan dengan kesadaran dari diri pribadi

atau dengan kesukarelaan. Semakin tinggi tingkat kesadaran diri dan

kesukarelaan, maka akan semakin besar pula keterlibatan mental dan

emosi diantara anggota.


 Partisipasi menghendaki adanya kontribusi dari para partisipan terhadap

kepentingan dan tujuan masyarakat umum. Kontribusi dari para partisipan

tidak melulu berupa materi atau uang, tapi lebih dari itu, yang diperlukan

adalah ide-ide yang inisiatif dan kreatif dari seluruh anggota kelompok

sehingga pencapaian tujuan akan lebih mudah.

 Partisipasi erat kaitannya dengan tanggung jawab terhadap kelompok.

Dengan berpartisipasi, seseorang akan terdorong untuk bertanggung jawab

secara sosial yang tercipta dari adanya komunikasi yang baik diantara para

anggota, rasa kebersamaan akan jelas terlihat. Kemajuan kelompok

merupakan tanggung jawab dari orang-orang yang ada di dalam kelompok

tersebut. Dengan adanya tanggung jawab sosial tersebut, bukan berarti

anggota kelompok harus mengorbankan kepentingan pribadinya.

Istilah partisipasi sering diartikan dalam kaitannya dengan

pembangunan. Umumnya definisi partisipasi dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu definisi yang bersifat umum dan khusus. Definisi partisipasi yang

bersifat umum tidak mengacu pada kajian atau suatu ilmu tertentu, disini

partisipasi digunakan secara luas. Sedangkan dalam definisi yang khusus,

"misalnya dalam bidang politik, ekonomi, atau sosial, sehingga melahirkan

istilah-istilah partisipasi politik, partisipasi ekonomi, partisipasi sosial” (Y.

Slamet: 1994: 1-2).

Rakyat memegang peranan yang sangat penting dalam

pembangunan, yaitu sebagai objek sekaligus sebagai subjek. Untuk itu perlu
ditumbuhkan partisipasi aktif dari masyarakat dengan cara menumbuhkan

rasa kesadaran dan tanggungjawab yang tercermin dalam perubahan sikap

mental, pandangan hidup, cara berpikir dan cara bekerja. Kesediaan

masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan awal

masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Masyarakat tidak akan merasa

memiliki apabila sebuah pembangunan tidak mengikutsertakan mereka.

Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan, karena itu masyarakatlah yang

akan melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan. Partisipasi juga

meningkatkan perasaan ikut memiliki (sense of belonging).

1.2. Tahapan Partisispasi

Partisipasi merupakan suatu kegiatan yang terjadi melalui

serangkaian proses dan tahapan yang satu sama lain saling berkaitan dan

mempengaruhi. Setiap tahapan merupakan bagian yang penting dan

mempunyai dampak langsung terhadap berjalannya suatu kegiatan serta

menentukan keberhasilannya. Berikut ini tahapan-tahapan partisipasi:

Hoofsteede (1971: 25) dalam Khairuddin (1992: 125), membagi

partisipasi menjadi tiga tingkatan:

1. Partisipasi Inisiasi (Inisiation Participation) adalah partisipasi yang

mengundang inisiatif dari pemimpin desa, baik formal maupun informal,

ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu proyek, yang nantinya

proyek tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat.

2. Partisiapsi Legitimasi (Legitimation Participation) adalah partisipasi pada

tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.


3. Partisipasi Eksekusi (Execution Participation) adalah partisipasi pada

tingkat pelaksanaan.

Selain ketiga tahapan yang dikemukakan oleh Hoofsteede tersebut

ahli lain membagi partisipasi ke dalam 4 tahapan, yaitu:

1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan,

2. Partisipasi dalam pelaksanaan program dan proyek-proyek

pembangunan,

3. Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi program dan proyek-

proyek pembangunan, serta,

4. Partisipasi dalam berbagai manfaat pembangunan ( Yadav dalam Totok

Mardikanto, 1994: 317-318)

Dari kedua pendapat ahli di atas dapat penulis simpulkan bahwa:

1. Tahap pertama dalam sebuah partisipasi adalah tahap perencanaan

(inisiation). Di dalam tahap ini wujud partisipasi dari masyarakat dapat

berupa kehadiran dalam diskusi atau rapat dan sumbangan pikiran/

gagasan. Partisipasi pada tahap ini mempunyai kadar yang lebih tinggi dari

pada yang lainnya karena masyarakat tidak hanya diperlakukan sebagai

objek saja, tetapi juga mempunyai hak untuk menentukan dan

mengusulkan arah pembangunan, sehingga mereka pun akan merasa

dihargai. Selama ini pembangunan yang ada, masyarakat hanya berperan

sebagai tenaga kerja dan belum sebagai penentu arah pembangunan,

akibatnya pembangunan yang dilakukan pun belum mencerminkan


kepentingan masyarakat. Pada hakekatnya pelibatan masyarakat adalah

bagian dari proses perencanaan yang dimaksudkan untuk mengakomodasi

kebutuhan dan aspirasi dari masyarakat. Keikutsertaan masyarakat ini akan

membawa pengaruh yang positif dan meminimalisir kemungkinan

terjadinya dampak negatif. Banyaknya hasil pembangunan yang tidak

dimanfaatkan oleh masyarakat dikarenakan hasilnya tidak sesuai dengan

kebutuhan masyarakat dan minimnya partisipasi masyarakat dari tahap

perencanaan hingga tahap pelaksanaan.

2. Tahap kedua yaitu pelaksanaan, tahap ini merupakan kelanjutan dari

rencana yang sudah disepakati sebelumnya. Masyarakat akan saling bahu

-membahu bersama-sama melaksanakan kegiatan yang diselenggarakan.

Keterlibatan dari segenap anggota masyarakat sangat dibutuhkan. Dengan

ikut melaksanakan suatu proyek kegiatan atau pembangunan, masyarakat

akan ikut pula bertanggung jawab terhadap hasil akhir dari pembangunan

tersebut.

3. Yang ketiga tahap pemantauan dan evaluasi, hal ini bertujuan untuk

mengetahui apakah pelaksanaan kegiatan telah sesuai dengan apa yang

direncanakan ataukah terjadi penyimpangan atau tidak, dan sampai sejauh

mana hasilnya mampu memenuhi kebutuhan serta harapan masyarakat.

4. Tahap pemanfaatan hasil, dalam hal ini partisipasi masyarakat tercermin

dalam fase pennggunaan atau pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.

Keberhasilan kegiatan akan tampak pada apresiasi masyarakat dalam

memanfaatkannya. Setelah masyarakat berpartisipasi dari tahap pertama


hingga ketiga, diharapkan kegiatan pembangunan dapat memenuhi

kebutuhan dan keinginan masyarakat sehingga tidak sia-sia.

Selain keempat tahapan di atas, partisipasi juga dapat terjadi melalui 3

tahapan, yaitu tahap dipersuasi, diperintah, dan dipaksa. Pada tahap awal,

masyarakat diajak dan dipengaruhi untuk turut dalam suatu kegiatan atau

proyek. Dalam tahap ini diperlukan adanya informasi-informasi mengenai

proyek, dengan upaya persuasif yang dilakukan diharapkan akan segera timbul

kesadaran dan kerelaan masyarakat untuk berpartisipasi.

Umumnya himbauan datang dari pemerintah secara langsung atau

lewat media massa. Pada tahap kedua atau tahap diperintah, umumnya

masyarakat kurang menyadari apa sebenarnya kebutuhan mereka dan apakah

mereka benar-benar membutuhkannya atau tidak. Maka dari itu masyarakat

diperintahkan tanpa adanya pembicaraan-pembicaraan terlebih dahulu untuk

melaksanakan atau berpartisipasi.

Perintah dalam partisipasi ini biasanya datang dari pihak atasan, dan

partisipasi yang dilakukan pun tidak datang dengan kesadaran penuh sehingga

yang terjadi adalah sikap "Asal Bapak Senang", yaitu sekedar untuk

menyenangkan pihak atasan. Yang terakhir adalah tahap dipaksa, masyarakat

tidak tahu apa kebutuhan mereka, apa manfaat dan dampak pembangunan

yang mereka jalankan. Yang mereka tahu adalah mau tidak mau harus

berpartisipasi meski mereka tidak rela namun partisipasi harus tetap

dilakukan. Pada tahap paksaan umumnya akan ada hukuman atau ganjaran

bagi mereka yang membangkang dan menolak untuk berpartisipasi.


1.3. Jenis Dan Bentuk Partisipasi

Partisipasi masyarakat memiliki banyak macam atau bentuk, jenis

partisipasi yang dilakukan tergantung dari kegiatan yang dilakukan dan apa

yang dibutuhkan demi terselenggaranya kegiatan untuk mencapai tujuan yang

maksimal. Bentuk partisipasi ini berkaitan dengan sejauh mana masyarakat

telah memberikan sumbangan dalam hubungannya dengan kegiatan yang

sedang dijalankan.

Menurut Y. Slamet (1994: 109), " Sumbangan-sumbangan (partisipasi) itu

dapat berujud (sic) uang, barang, dan dapat pula berujud (sic) tenaga".

Namun perlu ditambahkan bahwa partisipasi ini dapat pula berupa

sumbangan pikiran. Partisipasi berupa uang umumnya dilakukan oleh mereka

masyarakat yang termasuk dalam golongan ekonomi atas. Tapi tidak menutup

kemungkinan sumbangan berupa uang tersebut didapat dari mereka yang

termasuk dalam golongan ekonomi rendah. Sumbangan berupa barang tidak

terbatas pada golongan masyarakat tertentu, tapi lebih kepada barang apa

yang dibutuhkan dan siapa yang memilikinya.

Misalnya dalam proyek mendirikan sebuah bangunan atau sarana

umum, membutuhkan bambu, maka tidak terikat yang harus memberikan

apakah orang kaya atau miskin, tetapi adalah siapa saja yang mempunyai

bambu dan secara sukarela mau menyumbangkannya dalam pelaksanaan

kegiatan. Sedangkan sumbangan tenaga biasanya berasal dari masyarakat


golongan ekonomi rendah karena tak banyak uang atau barang yang mampu

mereka sumbangkan sehingga mereka memilih untuk memberikan tenaga

mereka. Masyarakat dari golongan ekonomi tinggi biasanya bekerja secara

teratur dan terikat oleh jadwal kerja yang ketat sehingga sulit untuk

berpartisipasi menyumbangkan tenaga mereka secara aktif.

Adapun partisipasi dalam bentuk pikiran didapat dari seluruh anggota

masyarakat pada saat berlangsung proses perencanaan dan pengambilan

keputusan, dimana mereka memberi sumbangan pikiran atau gagasan untuk

menentukan arah pembangunan dan melakukan musyawarah. Namun

sumbangan pikiran dapat pula diberikan oleh segelintir ahli, misalnya ide

konstruksi bangunan, dan sebagainya. Setiap anggota masyarakat memiliki

kewajiban moril untuk menyumbangkan sesuatu, dan besar kecilnya

sumbangan itu disesuaikan dengan kondisi (kemampuan) dan kebutuhan

kegiatan pembangunan. Betapapun kecilnya suatu sumbangan dalam

partisipasi, jika dilakukan dengan kesadaran dan kerelaan hati yang penuh

tentu akan memberi manfaat bagi keberhasilan kegiatan.

Secara terperinci tipe partisipasi dapat diidentifikasikan ke dalam 9

golongan, yaitu:

1. Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pada Derajat Kesukarelaan.

2. Penggolongan Partisipasi berdasarkan pada Cara Keterlibatan.

3. Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pada Keterlibatan di dalam

berbagai tahap dalam Proses Pembangunan Terencana.


4. Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pada Tingkatan Organisas.

5. Penggolongan partisipasi Berdasarkan pada Intensitas dan Frekuensi

Kegiatan.

6. Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pada Lingkup Liputan Kegiatan.

7. Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pasa Efektivitas.

8. Penggolongan Partisipasi berdasarkan pada Siapa yang Terlibat.

9. Pengelompokkan Berdasarkan pada Gaya Partisipasi (Dusseldorp dalam

Y. Slamet, 1994:11-21).

Dari 9 tipe penggolongan partisipasi tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Berdasarkan Derajat Kesukarelaan

Ada 2 bentuk partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaannya, yaitu

partisipasi bebas dan terpaksa. Partisipasi bebas terjadi apabila seorang

individu melibatkan dirinya dalam suatu kegiatan secara sukarela dan penuh

dengan kesadaran. Namun partisipasi jenis ini masih dapat dibedakan menjadi

partisipasi bebas spontan dan partisipasi dibujuk. Partisipasi yang spontan

jelas terjadi karena timbul keinginan dari hati nurani tanpa pengaruh dari

orang lain. Sedangkan partisipasi karena dibujuk, terjadi setelah seseorang itu

mendapat bujukan dan rayuan dari pihak lain. Partisipasi terpaksa terjadi

karena seseorang merasa bahwa tidak ada pilihan lain selain melakukan

partisipasi. Partisipasi ini dapat terjadi karena paksaan dari pihak atasan yang

akan memberikan suatu sanksi bila bawahannya tidak mau berpartisipasi, atau

dapat terjadi karena alasan tekanan kondisi sosial ekonomi.


2. Berdasarkan Cara Keterlibatan

Pada tipe ini partisipasi dapat dijadikan menjadi dua, yakni partisipasi

langsung dan tidak langsung. Partisipasi langsung terjadi bila seseorang

berkaitan dan terjun langsung turut serta dalam suatu kegiatan pembangunan.

Namun pengertian ini tidak berarti bahwa seseorang itu

harus langsung menyumbangkan tenaganya, tapi juga dapat berupa

sumbangan pikiran ataupun materi. Sedangkan dalam partisipasi tidak

langsung, terjadi bila seseorang mewakilkan kewajibannya untuk

berpartisipasi kepada orang lain.

3. Berdasarkan Keterlibatan dalam Berbagai Tahap dalam Proses Pembangunan

Terencana

Dalam proses pembangunan terdapat enam langkah, yaitu

perumusan tujuan, penelitian, persiapan rencana, penerimaan rencana,

pelaksanaan, dan penilaian. Keenam langkah tersebut merupakan suatu

kesatuan rangkaian yang berkesinambungan. "Partisipasi yang dilakukan

sepanjang proses tersebut dinamakan partisipasi prosesional, sedangkan

partisipasi yang hanya dilakukan pada satu atau beberapa fase saja,

dinamakan partisipasi parsial", (Taliziduhu Ndraha, 1990: 108). Bila

partisipasi dilakukan secara prosesional maka rasa tanggung jawab

masyarakat terhadap pembangunan akan semakin besar, begitupun

sebaliknya.

4. Berdasarkan Tingkatan Organisasi


Menurut klasifikasi ini, partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu

"partisipasi yang terorganisasi dan partisipasi yang tidak terorganisasi",

(Dusseldorp dalam Y. Slamet, 1994: 13). Partisipasi yang terorganisasi adalah

suatu kegiatan partisipatif yang mempunyai struktur organisasi dan

seperangkat tata kerja bagi anggota. Dalam partisipasi jenis ini, masing-

masing pengurus yang telah ditunjuk akan memikul tanggung jawab yang

berkenaan dengan proses pelaksanaan kegiatan hingga pemanfaatan

hasilnya. Yang kedua adalah partisipasi tidak terorganisasi, apabila seseorang

atau masyarakat itu berpartisipasi dalam waktu dan keadaan

tertentu saja, biasanya terjadi di saat keadaan yang mendesak atau genting.

5. Berdasarkan pada Intensitas dan Frekuensi kegiatan

Menurut frekuensi kegiatannya, partisipasi dibedakan menjadi

dua, yaitu partisipasi yang intensif dan ekstensif. Partisipasi intensif adalah

partisipasi yang dilakukan atau terjadi secara terus-menerus (sering) dalam

kurun waktu yang panjang. Sedangkan partisipasi ekstensif hanya terjadi

apabila kegiatan atau pertemuan diselenggarakan secara tidak teratur

dengan jarak kegiatan satu dengan kegiatan selanjutnya cukup lama.

6. Berdasarkan pada Lingkup Liputan Kegiatan

Pada partisipasi jenis ini terbagi menjadi dua, yaitu partisipasi

terbatas dan partisipasi tidak terbatas. Partisipasi terbatas hanya terjadi jika

kegiatan partisipatif dilakukan dalam bidang-bidang tertentu seperti sosial,

politik, dan sebagainya. Sedangkan partisipasi tidak terbatas terjadi dalam


masyarakat yang terisolasi, dimana kekuatan seluruh kegiatan yang ada

hanya akan berjalan atas partisipasi anggota komunitas itu sendiri.

7. Berdasarkan Tingkat Efektivitas

Partisipasi jenis ini dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang

efektif dan partisipasi yang tidak efektif. Partisipasi yang efektif tentu kita

tahu bahwa setiap bentuk kegiatan partisipasi sekecil apapun adalah

bermanfaat dalam pencapaian tujuan dan keberhasilan program, sehingga

hasilnya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sedangkan partisipasi yang

tidak efektif artinya bahwa hanya dalam jumlah kecil dari sebagian tujuan

kegiatan yang tercapai. Partisipasi yang tidak efektif bersifat tidak tepat

guna sehingga masyarakat pun tidak dapat memanfaatkan hasil

pembangunan yang tidak maksimal.

8. Berdasarkan pada Siapa yang Terlibat

Dalam partisipasi ini keterlibatan dibedakan menjadi empat,

yaitu:

a. Anggota masyarakat itu sendiri.

b. Pegawai pemerintah, yang lebih berperan sebagai mediator

pembangunan.

c. Orang-orang luar di luar masyarakat sasaran pembangunan.

d. Wakil-wakil rakyat yang terpilih, seperti anggota DPR.

e. Berdasarkan pada Gaya Berpartisipasi.


9. Dalam praktek organisasi masyarakat terdapat 3 model, dan

setiap model mempunyai tujuan yang diraih dalam masing-masing gaya,

yaitu:

a. Pembangunan lokalitas, disini partisipasi dilakukan dengan melibatkan

orang-orang di dalam pembangunan bagi mereka sendiri. Model ini

mencoba mengintegrasikan seluruh anggota masyarakat.

b. Perencanaan sosial, disini pemerintah telah menetapkan dan

merumuskan tujuan yang berkenaan dengan suatu pembangunan yang

kemudian disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat agar program

yang berjalan menjadi lebih efektif.

c. Aksi sosial, tujuan utama dari tipe ini adalah untuk memindahkan

hubungan-hubungan kekuasaan dan pencapaian terhadap sumber-

sumber daya pembangunan.

Koentjaraningrat berpendapat berbeda dengan Dusseldorp, menurut

Koentjaraningrat (1990: 79), partisipasi rakyat terutama rakyat pedesaan

terbagi menjadi 2 tipe, “(1) Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama

dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; (2) Partisipasi sebagai

individu di luar aktivitas-aktivitas bersama dalam pembangunan”.

Secara umum dalam tipe yang pertama, rakyat diajak, dipersuasi, dan

diperintahkan atau dipaksa oleh wakil dari departemen atau pamong desa

untuk berpartisipasi dan menyumbang secara materiil maupun nonmateriil

pada proyek pembangunan yang khusus, yang biasanya bersifat fisik. Proyek

ini membutuhkan aktivitas bersama dari segenap masyarakat untuk


berpartisipasi dalam kegiatan atau program yang menyangkut kemaslahatan

orang banyak. Sedangkan pada tipe yang kedua, tidak ada proyek aktivitas

bersama yang khusus, biasanya tidak bersifat fisik dan tidak memerlukan

partisipasi secara paksaan dari atasan. Partisipasi ini tergantung pada

kesadaran masing-masing individu karena partisipasi ini dilakukan secara

individual dan manfaatnya hanya akan dapat dirasakan secara langsung oleh

partisipan.

1.4. Faktor Penghambat Partisipasi

Dengan sejumlah cara untuk menggerakkan dan menumbuhkan

partisipasi, tidak berarti tak ada hal yang menjadi penghambat partisipasi.

Keberhasilan atau kegagalan dalam partisipasi masyarakat akan berpengaruh

terhadap keberhasilan program atau kebijakan yang bersangkutan. Minimnya

partisipasi publik setidaknya disebabkan oleh dua faktor :

1. Seseorang atau masyarakat tidak akan antusias berpartisipasi jika

partisipasi yang dilakukannya tidak banyak berpengaruh tarhadap

keputusan akhir yang diambil. Hal ini terbukti dengan banyaknya orang

yang tidak mau diajak berbicara atau diskusi karena mereka sudah bisa

memastikan bahwa keputusan akhir tidak ada di tangan mereka tetapi

pada orang-orang tertentu saja yang memiliki kekuasaan.

2. Masyarakat tidak mempunyai kepentingan khusus terhadap proyek.

Masyarakat akan ikut serta pada kegiatan yang manfaatnya dapat

langsung mereka rasakan.


Selanjutnya Sudharto P. Hadi (1997: 101) mengungkapkan,

“Setidaknya ada dua faktor penghambat untuk meningkatkan partisipasi

publik Indonesia, yakni faktor sosial dan budaya”. Secara sosiologis,

rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya akses terhadap informasi akan

mempengaruhi tingkat partisipasi. Minimnya informasi yang berkenaan

dengan suatu proyek akan mempersulit masyarakat untuk membayangkan

dampak positif dan negatif dari proyek tersebut. Sedangkan dari aspek

budaya, walaupun tidak semuanya, tapi masih ada konsep yang dominan dari

masyarakat Indonesia, yakni orientasi ke atas, baik pada pimpinan formal

maupun informal.

Hal ini mendorong seseorang untuk mengindari perbedaan

dengan atasan dan melakukan setiap apa yang diperintahkan. Y. Slamet

(1994: 176) menambahkan, “...kemiskinan merupakan hambatan

berpartisipasi. Perlu dipikirkan program-program pembangunan bagi merka

yang miskin, terlantar dan tuna pendidikan”. Apabila partisipasi yang

dibutuhkan berkenaan dengan kepemilikan materi, otomatis kemiskinan yang

mendera seseorang atau masyarakat akan membuatnya tidak mampu ambil

bagian dalam suatu kegiatan partisipatif.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah wujud

keterlibatan baik secara fisik maupun psikis yang berkaitan dengan rasa

tanggung jawab dan kesadaran dalam suatu kegiatan pembangunan mulai dari

tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatan hasil dan evaluasi demi

mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama.


2. MASYARAKAT

2.1. Pengertian Masyarakat

Manusia tak dapat hidup tanpa orang lain, manusia selalu terikat oleh

rasa kebersamaan dengan sesamanya hingga terciptalah istilah masyarakat.

“Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin

socious, yang berarti ‘kawan’. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar

kata Arab syaraka yang berarti ‘ikut serta, berpartisipasi” (Koentjaraningrat,

1990: 143-144).

Masyarakat bukan hanya karena ada orang-orang saja, melainkan

harus ada sebuah pertalian di antara orang-orang tersebut. “Masyarakat

adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan

atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh -

mempengaruhi satu sama lain”. (Hasan Shadily, 1984: 47). Perlu

diperhatikan, bahwa tidak semua manusia yang bertalian atau berinteraksi

dapat dikatakan sebagai masyarakat. Yang membuat suatu kesatuan manusia -

manusia dapat disebut sebagai masyarakat adalah pola tingkah laku mereka

yang khas, mencerminkan adat kebiasaan hidup yang mereka jalankan setiap

harinya.

Di dalam masyarakat, manusia yang ada di dalamnya hidup dan

melakukan aktivitas mereka dalam kebersamaan dalam waktu yang relatif

lama, seperti dikatakan Linton (1936: 91), “A society is any group of people

who have lived and worked together long enough to get themselves organized
and to think of themselves as a social unit with well-defined limits”.

Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang hidup dan bekerja bersama

dalam waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengorganisir diri dan

sadar bahwa mereka merupakan kesatuan sosial dengan batas-batas yang

jelas.

Masyarakat terbentuk karena naluri manusia yang saling

membutuhkan. Karena dorongan itulah manusia selalu berusaha untuk

menjalin hubungan yang baik dan bersama-sama mencapai tujuan serta

memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian masyarakat tidak tercipta

secara mendadak dan cepat, dibutuhkan waktu yang relatif lama dengan

proses yang panjang.

Terbentuknya masyarakat terbagi menjadi dua proses yang fundamental,


yakni: “(1) the adaptation and organization of the behavior of the
component individuals and (2) the development of a group consciousness,
a feelling of unity which, for lack of a better term, we will call ‘esprit de
corps’ ”. (Linton, 1936: 92).

Dari pendapat Linton tersebut dapat kita ketahui bahwa masyarakat

terbentuk melalui adaptasi dan organisasi tingkah laku dari individu-individu

yang menyatukan diri sebagai anggota masyarakat, dan berkembangnya suatu

sikap kesadaran kelompok atau kesatuan perasaan emosi . Proses untuk

menjadi masyarakat sangat kompleks, masing-masing individu harus mampu

menyesuaikan diri serta berperilaku sesuai harapan dan ketentuan dari

masyarakat.

Agar mampu bertahan hidup dalam suatu masyarakat mau tidak mau

individu-individu yang ada harus menekan sikap-sikap egois dan


mengedepankan sikap sosial demi kepentingan umum. Walau tak dapat

dipungkiri bahwa kemampuan adaptasi individu itu berbeda-beda. Saat

individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, maka saat itulah

ia akan memiliki rasa kesadaran berkelompok yang memunculkan ikatan

emosi diantara mereka dan akan menjadi sebuah perekat sosial.

2.2. Ciri-ciri Masyarakat

Masyarakat memang sekumpulan manusia yang saling bergaul,

namun tidak semua pergaulan atau kumpulan mansuia dapat disebut sebagai

masyarakat. Masyarakat memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan

kumpulan manusia lainnya. Ciri-ciri pokok masyarakat yaitu:

1. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran yang

mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah

manusia yang harus ada. Akan tetapi, secara teoretis, angka minimumnya

ada dua orang yang hidup bersama.

2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia

tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, seperti kursi, meja,

dan sebagainya, karena berkumpulnya manusia akan timbul manusia

baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti;

mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau

perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah

sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur

hubungan antarmanusia dalam kelompok tersebut.

3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.


4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan

bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena itu setiap anggota

kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soerjono

Soekanto, 2007: 22).

Terciptanya masyarakat adalah ditandai dengan kehidupan bersama

bagi manusia, namun idealnya yang disebut bersama adalah lebih dari satu

orang. Satu orang saja akan kesulitan dalam melakukan aktivitas-aktivitas

dalam memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial mutlak

memerlukan keberadaan orang lain demi menjamin kelangsungan hidupnya.

Kebersamaan hidup beberapa manusia ini membutuhkan proses dalam

perkembangannya sehingga manusia-manusia yang ada sebagai anggota

masyarakat ini merupakan manusia yang telah bercampur dan hidup bersama

untuk waktu yang cukup lama.

Hal tersebut terdorong pula oleh adanya rasa kesalingtergantungan

diantara anggota masyarakat. Selama masih ada rasa ketergantungan itu,

masyarakat akan berada dalam keadaan yang stabil. Oleh karena itu

ketergantungan antaranggota masyarakat perlu dijaga, dan selama itulah

masyarakat akan hidup. Sebagaimana yang dikatakan ahli, “masyarakat tidak

pernah ada sebagai seesuatu benda objektif terlepas dari anggota-anggotanya.

Kenyataan itu terdiri dari kenyataan proses interaksi timbal balik” (Doyle

Paul Johnson, 1988: 257). Dalam proses interaksi, manusia akan saling

memberi dan menerima dari sesama anggota masyarakat. Manusia hanya


akan menjadi sempurna bila ia berada dalam suatu kelompok atau

masyarakat.

Dalam masyarakat manusia dapat berkomunikasi menggunakan

bahasa, menciptakan adat-adat hidup bersama dan hidup sebagai makhluk

sosial yang seutuhnya. Masyarakat beserta kebudayaannya yang dihasilkan

dan dimiliki membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan. Manusia

dan masyarakat itu saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan,

sebagaimana yang dikatakan ahli, “...di mana ada manusia di sana ada

masyarakat sebaliknya” (Hassan Shadily: 1984: 59).

2.3. Unsur-Unsur Masyarakat

Masyarakat memiliki kriteria-kriteria tertentu sebagai pembeda

dengan kesatuan manusia lainnya. “Masyarakat ialah suatu sistem

swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan

merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi

terhadap generasi berikutnya” (Parsons dalam Kamanto Sunarto, 2004: 54).

Keberlangsungan hidup suatu masyarakat sangat tergantung oleh individu-

individu yang ada di dalamnya, segala dinamika kehidupan dalam masyarakat

timbul dari dalam masyarakat dan hanya dapat diselesaikan oleh masyarakat

itu sendiri, tergantung bagaimana anggota masyarakat yang ada menyikapi

dan mengambil tindakan atas suatu permasalahan yang muncul.

Masyarakat akan tetap ada selama ada manusia, masyarakat adalah

abadi. Saat individu-individu dalam masyarakat itu mati, masyarakat tidak

akan ikut mati karena akan muncul dan lahirlah manusia-manusia baru dari
hasil interaksi manusia sebelumnya. Agar masyarakat dapat terus hidup dan

berjalan diperlukan adanya sosialisasi nilai-nilai, norma, dan adat budaya

terhadap anggota masyarakat yang baru, namun dalam perjalanannya

masyarakat tidak akan terhindar dari perubahan-perubahan sosial karena itu

merupakan suatu keniscayaan.

Masyarakat muncul karena terdapat beberapa dasar yang menjadi

landasannya, yaitu karena terwujudnya kombinasi dari unsur-unsur yang

berbeda. Unsur-unsur itu adalah,

“an aggregate of individuals, an organized system of patterns by which


the interrelations and activities of these individuals are controlled, and the
’esprit de corps’ which provides ‘motive power’ for the expression of
these patterns”. (Linton, 1936: 107).

Jadi masyarakat terbentuk dari :

1. Kelompok (kumpulan) individu-individu yang hidup bersama.

2. Suatu sistem pola yang terorganisir dan mengatur berjalannya

hubungan

dan aktivitas dari individu-individu tersebut.

3. Kesatuan emosi (psikologis) yang memberikan motif-motif dalam

usaha mewujudkan dan melaksanakan pola-pola tersebut.

Modal utama masyarakat adalah adanya individu, dimana individu-

individu itu selanjutnya secara naluriah mengadakan hubungan komunikasi

sehingga menjadi atau timbullah kelompok-kelompok sosial.

Sebagaimana yang dikatakan ahli, “Masyarakat adalah sekumpulan


manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama sama cukup
lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan
yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam
kelompok tersebut”. (Horton dan Hunt, 1999: 59).
Kemudian dalam perkembangannya kelompok-kelompok manusia

akan berhubungan dengan kelompok lainnya, inilah awal mula terciptanya

masyarakat yang pada dasarnya terdiri dari dari berbagai kelompok sosial.

Masyarakat merupakan suatu organisasi manusia yang saling berhubungan

satu sama lain. Salah satu hal penting bagi berjalannya kehidupan

masyarakat yang selaras adalah bahwa kepentingan-kepentingan

perorangan/ individu itu mampu diorganisir dan mengatur sikap-sikap sosial

terhadap orang lain.

Setidaknya tiap anggota masyarakat itu sadar bahwa ada anggota

masyarakat yang lain sehingga mau tidak mau ia harus memperhatikan

keberadaan orang lain itu. Dari sini akan muncul kebudayaan yang

mengandung sistem nilai dan norma yang terorganisasi dan kemudian

dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat tersebut dan generasi berikutnya.

Namun untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan dirinya, dibutuhkan

kemampuan suatu kerjasama para anggotannya. Dalam kerjasama terjadilah

kesatuan emosional dan psikis anggota masyarakat yang selanjutnya akan

membangkitkan reaksi-reaksi emosional dari individu lain dan pada

akhirnya membuat individu-individu tersebut rela mengorbankan

kepentingannya demi kepentingan umum.

2.4. Penggolongan Masyarakat

Pembagian masyarakat terdapat banyak macam/ bentuknya, beberapa

di antaranya yaitu pembagian masyarakat berdasarkan cara terbentuknya,

yaitu: “ masyarakat paksaan dan masyarakat merdeka” (Hassan Shadilly,


1984: 50). Masyarakat paksaan merupakan masyarakat yang terbentuk karena

keadaan yang memaksa atau mendesak, bukan karena keinginan dan

kesadaran anggota masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, masyarakat

tawanan atau masyarakat pelarian.

Sedangkan masyarakat merdeka terjadi dengan sendirinya secara

bebas tanpa tekanan dan paksaan. Masyarakat merdeka terbagi menjadi dua,

yaitu masyarakat alam dan masyarakat budidaya. Masyarakat alam adalah

masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, umumnya memiliki kebudayaan

yang masih sederhana sekali. Contohnya suku-suku atau masyarakat yang

bertalian karena hubungan darah/ keturunan. Yang kedua adalah masyarakat

budidaya, yaitu masyarakat yang sengaja dibentuk karena kepentingan-

kepentingan keduniawian atau kepercayaan, contohnya persekutuan bidang

ekonomi, politik, perkumpulan gereja, dsb.

Selain itu masyarakat juga dapat dibagi berdasarkan sifatnya, yaitu

“gemeinschaft dan gesselschaft ” (Hassan Shadily, 1984: 17).

Yang pertama adalah gemeinschaft (paguyuban), ciri utamanya adalah

hubungan di antara anggotanya yang erat. Model masyarakat ini dapat kita

jumpai pada masyarakat desa yang mempunyai ikatan darah dan persaudaraan

yang kuat, dimana anggota-anggotanya lebih saling mengenal, kerjasamanya

didasarkan pada semangat gotong royong (tanpa mengharapkan upah).

Pertalian yang erat dan kekal tersebut menimbulkan adanya perasaan satu

yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan bersama dan apabila dipelihara

dalam waktu yang lama akan menjadi adat budaya. Sedangkan gesselschaft
adalah kebalikannya. Anggota-anggota masyarakatnya bersifat sebagai orang

luar (individualistis). Masing-masing anggota bekerja dan bertingkah laku

atas dasar dan untuk kepentingan diri pribadi. Kerjasama yang dilakukan

lebih didasarkan pada keuntungan yang diperoleh.

Namun ada pula yang membagi masyarakat menurut wilayahnya,

yaitu masyarakat desa dan kota. Berikut penjelasannya:

1. Masyarakat Desa

Desa merupakan suatu kesatuan hukum dimana disana

menetaplah suatu masyarakat kecil yang mempunyai pemerintahan

sendiri,biasanya terdiri dari pedukuhan. Masyarakat yang mendiami

wilayah desa disebut sebagai masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki

ciri-ciri yang khas, yaitu:

a. Jumlahnya kecil, dengan tempat tinggal yang terpencil, jauh dari

keramaian kota.

b. Relatif bersifat homogen dengan rasa persatuan yang kuat.

c. Memiliki sistem sosial yang teratur dengan perilaku

tradisionalnya.

d. Rasa persaudaraan yang sangat kuat.

e. Taat pada ajaran-ajaran agama dan menurut kepada pemuka

masyarakat.(Darsono Wisadirana, 2004: 49).

Wilayah pedesaan umumnya terpisah dari wilayah perkotaan

dengan adanya masyarakat semi pinggiran diantara keduanya. Wilayah suatu

pedesaan, lebih besar dari jumlah warga yang menempatinya, hal ini dapat
kita lihat di desa masih banyak lahan, tanah kosong atau pekarangan rumah

yang luas. Masyarakat desa dalam hal mata pencaharian, nilai-nilai

kebudayaan serta sikap dan tingkah lakunya cenderung bersifat homogen,

sehingga hubungan antar anggota masyarakat terjalin dengan kuat,

sebagaimana yang dikatakan ahli, “warga pedesaan, suatu masyarakat


mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang
hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya” (Soerjono
Soekanto, 2007: 136).

Di pedesaan, jarang ditemukan keluarga inti, yaitu keluarga dengan

suami, istri dan anak-anak mereka. Pada umumnya di dalam suatu rumah atau

keluarga, didiami oleh suami, istri dan anak-anak mereka, ditambah beberapa

saudara seperti orang tua (kakek-nenek), adik, atau keponakan.

”Keluarga yang sering diketemukan di pedesaan terutama di Jawa adalah

keluarga luas atau Extended family...”.(Darsono Wisadirana, 2004: 55).

Kehidupan masyarakat desa umumnya ditandai oleh derajat

pergaulan dengan intensitas tinggi. Tradisi dan adat-istiadat pada masyarakat

dilestarikan secara turun temurun. Melalui tradisi dan adat ini pulalah yang

menjadi perekat sosial, karena tradisi masyarakat desa selalu dilakukan secara

kolektif dengan semangat kebersamaan yang tinggi.

Hal tersebut terlihat dalam kegiatan gotong royong, yaitu “aktivitas


bekerja sama antara sejumlah besar warga-warga desa untuk
menyelesaikan suatu proyek tertentu yang dianggap berguna bagi
kepentingan umum”.(Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, 1992: 34).

Kegiatan gotong royong dilakukan dalam kegiatan yang berasal dari

inisiatif warga sendiri ataupun kegiatan yang diinstruksikan dari atas .

Masyarakat pedesaan mempunyai rasa hormat dan menghargai lingkungan


alam sekitar, dimana mereka hidup dan tinggal. Hal inilah yang membuat

masyarakat desa sangat dekat dengan alam dan lingkungannya. Tradisi

masyarakat desa masih berhubungan erat dengan kepercayaan pada hal-hal

mistis yang menguasai alam, seperti adanya roh-roh nenek moyang yang

menjadi penunggu sebuah pohon, batu besar, dan ataupun sungai-sungai dan

gunung.

Selain itu, penduduk masyarakat desa pada umumnya bekerja di

bidang pertanian, baik sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun

sebagai buruh tani dengan usaha sampingan memelihara ternak, namun

demikian, beberapa ada yang bekerja di luar bidang tersebut. Hampir di

seluruh aspek kehidupan masyarakat desa terdapat sistem adat-istiadat yang

dijadikan pedoman. Di samping kuat dalam memegang norma dan adat-

istiadat, penduduk desa mempunyai psikologi pemikiran yang cukup

konservatif, sehingga terkadang hal tersebut justru membuat perkembangan

kesejahteraan dan pembangunan (modernisasi) berjalan lambat karena adanya

sifat prasangka.

Segala sesuatu yang akan dilakukan oleh masyarakat desa akan selalu

dimintakan nasehat dari orang tua. Orang-orang tua memegang peranan yang

penting, semua itu berprinsip pada adat-istiadat pula. Masyarakat desa

beranggapan bahwa golongan orang-orang tua akan mempunyai solusi atau

pemecahan masalah yang bercermin pada tradisi. Pelapisan sosial yang ada

pada masyarakat desa umumnya ditentukan oleh ekonomi (kepemilikan

tanah), kesolehan dalam agama, dan keturunan.


2. Masyarakat Kota

Kota seringkali dijadikan sebagai pembanding atau antonim dari

desa, namun keduanya saling membutuhkan dan melengkapi satu sama

lain dalam menjamin kelangsungan kehidupan di bidang sosial ataupun

ekonomi.

“Kota merupakan tempat yang relatif besar, padat dan permanen,

dihuni oleh orang orang yang heterogen kedudukan sosialnya”. (Jefta

Leibo, 1990: 13).

Kota memang lebih padat daripada desa, keadaan geografis

(teritorialnya) sangat terbatas untuk ukuran banyaknya penduduk yang

menempatinya, hal ini disebabkan kota merupakan tempat tujuan

urbanisasi bagi mereka penduduk dari desa yang tertarik dengan

kehidupan kota yang disebut sebagai pusat peradaban. Maka dari itu kota

merupakan wilayah yang heterogen dalam banyak hal, mulai dari aspek

sosial, ekonomi, budaya hingga agamanya. Kenyataan itu justru membuat

hubungan-hubungan sosial di antara warga kota menjadi longgar, acuh,

dan impersonal.

Masyarakat yang mendiami wilayah kota disebut sebagai

masyarakat kota. Para warganya menempati sebuah lingkungan buatan, di

mana sistem teknologi membantu segala segi kehidupan di kota, sehingga

perubahan sosial di kota lebih cepat terjadi daripada di desa.

“Kelestarian kota antara lain bergantung pada transportasi intra urbannya”.

(N. Daldjoeni, 1997: 25).


Sistem teknologi (termasuk komunikasi) dan transportasi yang

mengkonstruksi kota merupakan hal yang pokok dalam menunjang

kehidupan di kota, yang berfungsi untuk melayani kebutuhan

penduduknya. Dapat dipastikan, apabila teknologi dan transportasi

tersebut mengalami kemacetan, maka kehidupan kota akan ikut macet

pula. Kehidupan kota berjalan atas adanya dua hal tersebut, karenanya

tingkat mobilitas di kota sangat tinggi, baik mobilitas status sosial ataupun

mobilitas demografi.

Kehidupan kota terlihat menyenangkan karena tersedianya seluruh

fasilitas, mulai dari fasilitas pendidikan, hiburan, kesehatan, hingga

pekerjaan, namun demikian, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan

kecanggihan teknologi, membuat masyarakat kota dilanda sekularisasi,

yaitu “suatu proses di mana bidang-bidang hidup dan berfikir (sic) tercabut

dari pengawasan agama dan filsafat”. (N. Daldjoeni, 1997: 20). Agama

memainkan peranan yang sangat penting pada masyarakat tradisional, tapi

tidak begitu dengan masyarakat kota yang mempunyai pola pikir rasional,

yang didasarkan pada penghitungan eksak, yang dihubungkan dengan

realita kehidupan. Sehingga ada kecenderungan pada masyarakat kota

untuk melepaskan unsur emosional religiusnya.

“Dalam masyarakat kota kebutuhan primer dihubungkan dengan


status sosial dan gaya hidup masa kini sebagai manusia modern”
(Munandar Soelaeman, 2006: 132).

Kehidupan masyarakat kota selalu berorientasi pada rasio dan hal-

hal yang bersifat meterialis, yang memandang pemenuhan kebutuhan


hidup berdasarkan atas pandangan masyarakat atau orang lain di

sekitarnya atau “sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial”,

(Soerjono Soekanto, 2007: 138). Masyarakat kota memiliki sistem

pelapisan sosial yang lebih kompleks dibandingkan masyarakat desa.

Kesenjangan sosial antarkelas di masyarakat kota terlihat sangat ekstrim.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

masyarakat adalah sekumpulan manusia yang mendiami suatu wilayah

tertentu, dimana setiap anggotanya melakukan interaksi yang timbal balik

dan memiliki nilai, norma dan adat istiadat yang dipatuhi bersama dan

kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup.

3. KAMPUNG KELUARGA BERENCANA ( KB )

3.1. Pengertian Kampung KB

Amanat Presiden Republik Indonesia, kepada BKKBN agar dapat

menyusun suatu kegiatan atau sebuah program yang dapat memperkuat upaya

pencapaian target atau sasaran Pembangunan Bidang Pengendalian Penduduk

dan Keluarga Berencana 2015-2019. Kampung KB mencoba memadukan

konsep pembangunan terpadu bidang Kependudukan, Keluarga Berencana

dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). Program tersebut dapat bersentuhan

secara langsung dan memberikan manfaat kepada masyarakat Indonesia di

seluruh tingkatan wilayah. Dalam hal ini kemudian disepakati agar BKKBN

segera dapat membentuk Kampung Keluarga Berencana (Kampung KB).

(BKKBN, 2017).
Kampung KB merupakan program nasional dengan inovasi yang

berawal dari Lorong KB yang digagas oleh Pemerintah Kota Makassar.

Lorong KB merupakan program Badan Keluarga Berencana (KB) Kota

Makassar yang menjadi program percontohan nasional. Pada tanggal 14

Januari 2016, Presiden RI telah mencanangkan Kampung KB di Dusun

Jenawi Desa Mertasinga Kecamatan Gunungjati Kabupten Cirebon. Untuk

pelaksanaannya, maka BKKBN akan bekerjasama dengan Kementerian dan

Lembaga terkait serta organisasi lintas sektoral untuk pengembangan

Kampung KB.

Kampung KB adalah satuan wilayah setingkat RW, dusun atau setara,

yang memiliki kriteria tertentu, dimana terdapat keterpaduan program

kependudukan, keluarga berencana, pembangunan keluarga dan

pembangunan sektor terkait yang dilaksanakan secara sistemik dan sistematis.

(BKKBN, 2015). Dibentuknya program kampung KB memiliki tujuan utama

yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui program

kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga (KKBPK)

serta pembangunan lintas sektor untuk mewujudkan keluarga kecil yang

berkualitas.

Adapun tujuan dari Kampung KB dibagi menjadi tujuan umum dan

tujuan khusus, yaitu:

1. Tujuan Umum

Secara umum, Kampung KB bertujuan untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat di tingkat kampung atau yang setara melalui


program KKBPK serta pembangunan lintas sektor terkait dalam rangka

mewujudkan keluarga kecil berkualitas.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus, Kampung KB dibentuk untuk meningkatkan peran

serta pemerintah, lembaga non pemerintah dan swasta dalam

mendampingi dan membina serta memfasilitasi masyarakat dalam

penyelenggaraan program KKBPK dan pembangunan lintas sektor

terkait, memberikan kesadaran masyarakat tentang pembangunan

berwawasan kependudukan, meningkatkan jumlah peserta KB aktif

modern, meningkatkan ketahanan keluarga melalui program Bina

Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), Bina

Keluarga Lansia (BKL), dan Pusat Informasi dan Konseling (PIK)

remaja, meningkatkan pemberdayaan keluarga melalui Kelompok (Usaha

Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), meningkatkan

sarana dan prasarana pembangunan kampung, meningkatkan sanitasi dan

lingkungan kampung yang sehat dan bersih, meningkatkan kualitas

keimanan para remaja atau mahasiswa dalam kegiatan keagamaan

(pesantren, kelompok ibadah atau ceramah keagamaa)

di kelompok remaja, dan meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah

air para remaja atau mahasiswa dalam kegiatan sosial budaya (festival

seni dan budaya, dan lain-lain) di kelompok pelajar dan seterusnya.Syarat

dibentuknya kampung KB pada suatu wilayah, pada dasarnya ada tiga hal

pokok yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu : tersedianya data


kependudukan yang akurat, dukungan dan komitmen Pemerintah Daerah,

dan adanya partisipasi aktif masyarakat.

Pemilihan dan penentuan wilayah yang akan dijadikan sebagai

lokasi Kampung KB, memiliki tiga kriteria yang akan dipakai :

1. Kriteria utama : yang mencakup dua hal:

a. Jumlah Keluarga Pra Sejahtera dan KS 1 (miskin) di atas rata-rata

Pra Sejahtera dan KS 1 tingkat desa atau kelurahan di kampung

tersebut.

b. Jumlah peserta KB berada di bawah rata-rata dalam pencapaian

peserta KB tingkat desa atau kelurahan di lokasi kampung KB

tersebut.

2. Kriteria wilayah: mencakup 10 kategori wilayah yang dapat

memilih salah satu atau lebih kriteria wilayah berikut:

1. Wilayah Kumuh,

2. Pesisir,

3. Daerah Aliran Sungai (DAS),

4. Bantaran Kereta Api,

5. Wilayah terpencil,

6. Kawasan Miskin (termasuk Miskin Perkotaan),

7. Perbatasan,

8. Kawasan Industri,

9. Kawasan Wisata, dan

10. Padat Penduduk.


3. Kriteria Khusus : kriteria yang mencakup 5 hal, yaitu :

a. Kriteria data meliputi data dan peta keluarga yang dimiliki

setiap RT/RW;

b. Kriteria kependudukan meliputi angka partisipasi penduduk

usia sekolah rendah;

c. Kriteria program KB meliputi peserta KB Aktif dan Metode

Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) lebih rendah dari

pencapaian rata-rata tingkat desa atau kelurahan serta tingkat

unmet need lebih tinggi dari rata-rata tingkat desa atau

kelurahan;

d. Kriteria program pembangunan keluarga meliputi partisipasi

keluarga dalam membinan ketahanan keluarga,pemberdayaan

ekonomi dan partisipasi remaja dalam kegiatan GenRe

melalui PIK-R yang masih rendah;

e. Kriteria program pembangunan lintas sektor yang mencakup

setidaknya empat bidang, yakni bidang kesehatan, bidang

ekonomi, bidang pendidikan, bidang pemukiman dan

lingkungan, dan program lainnya yang bisa ditambah sesuai

dengan kondisi dan perkembangan di suatu wilayah kampung

KB.

Sasaran kegiatan merupakan subyek dan obyek dalam pelaksanaan

kegiatan operasional pada Kampung KB, yaitu keluarga, remaja, Penduduk

Lanjut Usia (Lansia), Pasangan Usia Subur (PUS), keluarga yang memiliki
balita,keluarga yang memiliki remaja serta keluarga yang memiliki lansia,

dan sasaran sektor sesuai dengan tugas di masing-masing bidang.

Pelaksananya adalah Kepala Desa atau Lurah, Ketua RW, Ketua RT,

Penyuluh KB, Petugas lapangan sector terkait, kader Institusi Masyarakat

Pedesaan (IMP) dalam hal ini PPKBD dan Sub

PPKBD, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda serta

kader pembangunan lainnya.

Melalui Kampung KB ini diharapkan pelaksanaan program KKBPK

dan program-program pembangunan lintas sektor lainnya dapat berjalan

secara terpadu atau terintegrasi dan bersinergi. Sesuai dengan amanat yang

tertuang dalam Agenda Prioritas Pembangunan terutama agenda prioritas ke 3

yaitu “Memulai pembangunan dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Pembangunan

kependudukan akan lebih baik jika dimulai dari wilayah pinggiran yaitu

kampung. Adapun Agenda prioritas ke 5 yaitu “Meningkatkan kualitas hidup

masyarakat Indonesia”. Dan agenda prioritas ke 8 yaitu “Melakukan revolusi

karakter bangsa”. Dalam dimensi pembangunan manusia diperlukan

pembinaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga.

Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan Kampung KB, yaitu:

1. Kependudukan

2. Keluarga berencana dan kesehatan reproduksi

3. Ketahanan keluarga dan pemberdayaan keluarga (pembangunan keluarga)


4. Kegiatan lintas sektor (bidang kesehatan, sosial ekonomi, pendidikan,

pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dan lainnya sesuai

kebutuhan wilayah Kampung KB)

4. KELUARGA BERENCANA ( KB )

4.1. Pengertian Keluarga Berencana ( KB )

Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak,

jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,

perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk

mewujudkan keluarga yang berkualitas. Pengaturan kehamilan adalah upaya

untuk membantu pasangan suami istri untuk melahirkan pada usia yang ideal,

memiliki jumlah anak, dan mengatur jarak kelahiran anak yang ideal dengan

menggunakan cara, alat, dan obat kontrasepsi.

Dalam buku Tetty dan Deswaty, pengertian Keluarga Berencana


(KB) ialah suatu program pemerintah atas dasar suka rela untuk mencapai
keluarga sejahtera dalam rangka pembangunan yang luas.

Usaha ini dapat terwujud dalam bentuk perbaikan karakteristik wanita

hamil yang bertujuan akhir pada optimalisasi reproduksi dalam mempersiapkan

generasi penerus yang lebih baik. Keluarga Berencana (Family Planning,

Plannied Parenthood) adalah suatu usaha untuk menjarangkan atau

merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan memakai kontrasepsi.

Definisi umum dari Keluarga Berencana ialah suatu Gerakan untuk

membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran.

Dengan kata lain Keluarga berencana adalah perencanaan jumlah keluarga.

Pembatasan bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau


penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, IUD, dan sebagainya.

Adapun di Indonesia, jumlah anak dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal

adalah dua. Di beberapa referensi lain mengatakan, Keluarga Berencana adalah

suatu kesadaran untuk mengatur kehamilan dan persalinan. Biasanya

pengaturan kehamilan serta penggunaan metode kontrasepsi digunakan untuk

membatasi jumlah anak yang dilahirkan atau menjarangkan kelahiran. Kadang-

kadang pengaturan kelahiran dilakukan dalam suatu jangka waktu (periode)

tertentu (beberapa bulan atau beberapa tahun) dan kadang-kadang karena suatu

alasan medis tertentu untuk mengakhiri kehamilan dan ini dilakukan hingga

masa subur berhenti.

WHO mendefinisikan program Keluarga Berencana (KB) sebagai

tindakan yang membantu individu/pesutri untu mendapatkan objektif-objektif

tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran

yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan menentukan jumlah

anak dalam keluarga. Program Keluarga Berencana dilaksanakan melalui

kegiatan penyediaan pelayanan KB dan alat kontrasepsi bagi Gakin (keluarga

miskin); pelayanan KIE (komunikasi Informasi Edukasi); Peningkatan

perlindungan hak reproduksi individu; promosi pelayanan KHIBA

(kelangsungan hidup ibu balita dan anak); pembinaan keluarga berencana; dan

pengadaan sarana mobilitas tim KB dan keliling.

4.2. Tujuan Keleuarga Berencana (KB)

Secara umum program Keluarga Berencana bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang merupakan juga tujuan


nasional pada umumnya. Tujuan ini dilalui dengan upaya khususnya

penurunan tingkat kelahiran untuk menuju suatu norma keluarga kecil,

sebagai jembatan meningkatkan kesehatan ibu, anak, dan anggota keluarga

lainnya menuju suatu keluarga atau masyarakat bahagia sejahtera.

Dalam buku IPS Terpadu, tujuan program KB ada dua macam, yaitu

demografis dan non demografis. Tujuan demografis KB adalah terjadinya

penurunan fertilitas dan terbentuknya pola budaya small family size,

sedangkan tujuan nondemografis adalah meningkatnya kesejahteraan

penduduk yang merata dan berkeadilan.Secara singkatnya, tujuan gerakan KB

adalah:

1. Tujuan kuantitatif adalah untuk menurunkan dan mengendalikan

pertumbuhan penduduk, dan

2. Tujuan kualitatif adalah untuk mewujudkan Norma Keluarga Kecil

yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS).

Sedangkan tujuan khusus program Keluarga Berencana adalah:

1. Untuk meningkatkan cakupan program, baik dalam arti cakupan

luas daerah maupun cakupan penduduk usia subur yang memakai

metode kontrasepsi.

2. Meningkatkan kualitas (dalam arti lebih efektif) metode

kontrasepsi yang dipakai, dengan demikian akan meningkatkan

pula kelangsungan pemakaian metode kontrasepsi termasuk pemakaian

metode kontrasepsi untuk tujuan menunda, menjarangkan dan

menghentikan kelahiran.
3. Menurunkan kelahiran.

4. Mendorong kemandirian masyarakat dalam melaksanakan

keluaraga berencana, sehingga norma keluarga kecil yang bahagia dan

sejahtera (NKKBS) bisa menjadi suatu kebutuhan hidup masyarakat.

5. Meningkatkan kesehatan khususnya ibu dan anak, sebab:

a. Kehamilan sebelum umur 18 tahun dan sesudah 35 tahun akan

meningkatkan risiko pada ibu dan anak.

1. Setiap tahun lebih dari setengah juta ibu meninggal akibat kehamilan

dan persalinannya, diseluruh dunia.

2. Kehamilan sebelum umur 18 tahun, sering menghasilkan bayi berat

badan lahir rendah resiko juga bagi kesehatan bayi dan ibunya.

3. Kehamilan setelah umur 35 tahun, risiko terhadap bayi dan ibunya

meningkat lagi. Termasuk juga risiko mendapatkan bayi dengan

sindrom Down.

b. Risiko kematian anak meningkat sekitar 50% jika jaraknya

kurang dari 2 tahun.

1. Untuk kesehatan ibu dan anak, sebaiknya jarak anak tidak

kurang dari 2 tahun.

2. Jarak yang pendek, seringkali menyebabkan gangguan

tumbuh kembang pada anak. Karena anak terlalu cepat

disapih dari ASI, ibu tidak sempat lagi untuk menyiapkan makanan

khusus buat anaknya dan perhatian serta kasih sayang juga kurang.
Kecerdasan anak juga lebih rendah, karena kurangnya stimulasi

mental.

3. Ibu perlu waktu untuk mengembalikan kesehatan dan energinya untuk

kehamilan berikutnya. Agar ibu tidak melahirkn bayi dengan berat

badan lahir rendah dan mengurangi komplikasi pada ibu akibat

kehamilan.

c. Mempunyai anak lebih dari 4 akan meningkatkan risiko pada ibu dan

bayinya.

1. Pada ibu yang sering hamil, lebih-lebih dengan jarak yang pendek, akan

menyebabkan ibu terlalu payah, akibat dari hamil, melahirkan,

menyusui, merawat anak-anaknya yang terus menerus.

2. Risiko lainnya adalah anemia pada ibu, risiko pendarahan, mendapatkan

bayi yang cacat, bayi berat lahir rendah dan sebagainya.

4.3.Macam – Macam Metode Kontrasepi

Macam-Macam Metode Kontrasepsi dalam Program Keluarga

Berencana (KB) Metode Kontrasepsi terdiri dari :

1. Kontrasepsi hormonal Kontrasepsi oral kombinasi Kontrasepsi oral

progestin Kontrasepsi suntikan progestin Kontrasepsi suntikan estrogen-

estrogen Implant progestin Kontrasepsi Patch

2. Kontrasepsi barrier (penghalang)

a. Kondom (pria dan wanita)

b. Diafragma dan cervical cap

3. Spermisida
4. IUD (spiral)

5. Perencanaan keluarga alami

6. Penarikan penis sebelum terjadinya ejakulasi

7. Metode amanorea menyusui

8. Kontrasepsi darurat

a. Kontrasepsi darurat hormonal

b. Kontrasepsi darurat IUD

c. Sterilisasi

d. Vasektomi

e. Ligasi tuba

1. Konrasepsi Hormonal

Kontrasepsi ini tersedia dalam bentuk oral, suntikan, dan mekanik.

Kontrasepsi oral adalah kombinasi dari hormon estrogen dan progestin

atau hanya progestin-mini pil. Suntikan kontrasepsi implant (mekanik)

mengandung progestin saja atau kombinasi progestin dan estrogen.

a. Kontrasepsi oral kombinasi (pil)

Mengandung sintetik estrogen dan preparat progestin yang mencegah

kehamilan dengan cara menghambat terjadinya ovulasi (pelepasan sel

telur oleh indung telur) melalui penekanan hormon LH dan FSH,

mempertebal lendir mukosa servikal (leher rahim), dan menghalangi

pertumbuhan lapisan endometrium. Pil kombinasi ada yang memiliki

estrogen dosis rendah dan ada yang mengandung estrogen dosis tinggi.
Estrogen dosis tinggi biasanya diberikan kepada wanita yang

mengkonsumsi obat tertentu (terutama obat epilepsy).

b. Kontrasepsi oral progestin (pil)

Mencegah kehamilan dengan cara menghambat terjadinya ovulasi

(pelepasan sel telur oleh indung telur), mempertebal lendir mukosa

leher rahim, mengganggu pengerakan silia saluran tuba, dan

menghalangi pertumbuhan lapisan endometrium. Keefektifan

berkurang bila pil tidak diminum di waktu yang sama setiap harinya.

Kontrasepsi ini diberikan pada wanita yang menginginkan kontrasepsi

oral namun tidak bisa menggunakan

orak kombinasi karena pengaruh estrogen dapat membahayakan,

misalnya pada wanita yang sedang menyusui.

c. Kontrasepsi suntikan progestin

Mencegah kehamilan dengan mekanisme yang sama seperti progestin

pil namun kontrasepsi ini menggunakan suntikan intramuskular (dalam

otot bokong atau lengan atas). Yang sering digunakan adalah

medroxyprogesterone asetat (Depo-Provera), 150 mg yang diberikan

setiap bulan.

d. Kontrasepsi suntikan estrogen-progesteron

Suntikan ini diberikan secara intramuskular setiap bulan, mengandung

25 mg depo medroxyprogesteron asetat dan 5 mg eatradiol cypionat.

Mekanisme kerja, efek samping, kriteria, dan keamanan sama seperti


kontrasepsi oral kombinasi. Siklus menstruasi terjadi lebih stabil setiap

bulan. Pengambilan kesuburan tidak selama kontrasepsi progestin.

e. Implant progestin

Kapsul plastik, tipis, fleksibel, yang mengandung 36mg levonorgestrel

yang dimasukkan ke dalam kulit lengan wanita. Setelah diberi obat

bius, dibuat sayatan dan dengan bantuan jarum dimasukkan kapsul

implan. Tidak perlu dilakukan penjahitan. Kapsul ini melepaskan

progestin ke dalam aliran darah secara perlahan dan biasanya dipasang

selama 5 tahun. Mencegah kehamilan dengan cara menghambat

terjadinya ovaluasi (pelepasan sel telur oleh indung telur),

mempertebal lendir mukosa leher rahim, menggangu pergerakan

saluran tuba, dan menghalangi pertumbuhan lapisan endometrium.

Kontrasepsi ini efektif dalam waktu 48 jam setelah diimplan dan

efektif selama 5 tahun.

f. Kontrasepsi patch

Patch ini didesain untuk melepaskan 20 μg ethinyl estradiol

dan 150 μg norelgetromin. Mencegah kehamilan dengan cara yang

sama seperti kontrasepsi oral (pil). Digunakan selama 3 minggu, dan 1

minggu bebas patch untuk siklus menstruasi.

2. Kontrasepsi Barrier (pen ghalang)

a. Kondom (pria dan wanita)

Metode yang mengumpulkan air mani dan sperma di dalam kantung

kondom dan mencegah memasuki saluran reproduksi wanita. Komdom


pria harus dipakai setelah ereksi dan sebelum alat kelamin pria

penetrasi ke dalam vagina yang meliputi separuh bagian penis ereksi.

Tidak boleh terlalu ketat (ada tempat kosong di ujung untuk

menampung sperma). Komdom harus dilepas setelah ejakulasi.

b. Diafragma dan cervical cap

Kontrasepsi penghalang yang dimasukkan ke dalam vagina

dan mencegah sperma masuk ke dalam saluran reproduksi. Diafragma

terbuat dari lateks atau karet dengan cincin yang fleksibel. Diafragma

diletakkan posterior dari simfisis pubis sehingga serviks (leher rahim)

tertutupi semuanya. Diafragma harus diletakkan minimal 6 jam setelah

senggama. Cervical cap (penutup serviks) adalah kop bulat yang

diletakkan menutupi leher rahim dengan perlekatan di bagian forniks.

Terbuat dari karet dan harus tetap di tempatnya lebih dari 48 jam.

3. Spermisida

Agen yang menghancurkan membran sel sperma dan menurunkan

motilitas (pergerakan sperma). Tipe spermisida mencakup foam aerosol,

krim, vagina suposituria, jeli, sponge (busa) yang dimasukkan sebelum

melakukan hubungan seksual.

4. IUD (spiral)

Fleksibel, alat yang terbuat dari plastik yang dimasukkan ke

dalam rahim dan mencegah kehamilan dengan cara mengganggu

lingkungan rahim, yang menghalangi terjadinya pembuahan maupun

implantasi. Spiral jenis copper T (melepaskan tembaga) mencegah


kehamilan dengan cara mengganggu pergerakan sperma untuk

mencapai rongga rahim dan dapat dipakai selama 10 tahun.

Progestaser IUD (melepaskan progestron) hanya efektif untuk 1 tahun dan

dapat digunakan untuk kontrasepsi darurat.

IUD dapat dipasang kapan saja selama periode menstruasi bila

wanita tersebut tidak hamil. Untuk wanita setelah melahirkan, pemasangan

IUD segera (10 menit setelah pengeluaran plasenta) dapat mencegah

mudah copotnya IUD. IUD juga dapat dipasang 4 minggu setelah

melahirkan tanpa faktor risiko perforasi (robeknya rahim). Untuk wanita

menyusui, IUD juga dapat dipasang segera setelah abortus spontan

triwulan pertama, tetapi direkomendasikan untuk ditunda

sampai involusi komplit setelah triwulan kedua abortus. Setelah IUD

dipasang, seorang wanita harus dapat mengecek benang IUD setiap

habis menstruasi.

5. Perencanaan Keluarga Alami (Metode Ritmik)

Metode ritmik adalah metode dimana pasangan suami istri

menghindari berhubungan seksual pada siklus subur seorang wanita.

Ovulasi (pelepasan sel telur dari indung telur) terjadi 14 hari sebelum

menstruasi. Sel telur yang telah dilepaskan hanya bertahan hidup selama

24 jam, tetapi sperma bisa bertahan selama 3-4 hari setelah hubungan

seksual. Karena tu pembuahan bisa terjadi akibat hubungan seksual

seksual yang dilakukan 4 hari sebelum ovulasi.


a. Metode ritmik kalender merupakan metode dimana pasangan

menghindari berhubungan seksual selama periode subur wanita

berdasarkan panjang siklus menstruasi, kemungkinan waktu

ovulasi, jangka waktu sel telur masih dapat dibuahi, dan

kemampuan sperma untuk bertahan di saluran reproduksi wanita.

Periode subur seorang wanita dihitung dari : (siklus menstruasi

terpendek-18) dan (silus menstruasi terpanjang-11).

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lainsebagai berikut :

1. Penelitian Nopiyanti (2019:88) yang berjudul “PAARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM PROGRAM KAMPUNG KELUARGA

BERENCANA DI KELURAHAN BONTO MAKKIO KECAMATAN

RAPPOCINI KOTA MAKASAR ”.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa 1) Partisipasi

Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan ( pengambilan Keputusan

Awal, Pengambilan keputusan yang sedang berlangsung, dan Pengambilan

keputusan operasional ). 2) Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan,

yaitu Partisipasi masyarakat dalam kontribusi sumber daya berupa uang

untuk kegiatan kebersihan lingkungan dan Partisipasi masyarakat dalam

hal menjadi peserta dalam setiap program maupun kegiatan ditunjukkan

dalam bentuk ikut dalam kelompok Tri Bina dan UPPKS maupun program

lintas sektor lainnya. 3) Partisipasi Masyarakat dalam Evaluasi, yaitu

Partisipasi langsung dalam evaluasi masyarakat belum dilibatkan.


2. Muhadhofah Triana Husna, Mochamad Mustam ( 2016 : 89 ) dalam

skripsi yang berjudul PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM

MELAKSANAKAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI

KECAMATAN MARGOYOSO KABUPATEN PATI

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa a) Partisipasi masyarakat

dalam melaksanakan program Keluarga Berencana di Kecamatan

Margoyoso Kabupaten Pati masih rendah. b) PUS usia muda sebagian

berpartisipasi rendah dan sebagian berpartisipasi tinggi dan PUS yang

berusia tua banyak yang partisipasinya rendah. c) PUS yang

berpendidikan dibawah SLTA partisipasinya banyak yang tinggi dan PUS

yang berpendidikan diatas SLTA partisipasinya rendah. d) PUS yang

pekerjaannya non pegawai patisipasinya banyak yang rendah, sementara

PUS yang pekerjaannya sebagai pegawai banyak yang partisipasinya

tinggi.

Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian yang hendak saya

teliti adalah partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program

kampung keluarga berencana (KB), namun jika dilihat penelitian ini

sama-sama mengarah ke partisipasi masyarakat dalam program kampung

keluarga berencana (KB) yang hendak diteliti, namun saya lebih berfokus

ke partisipasi masyarakat dalam pelaksaan kampung keluarga berencana

(KB).
C. Kerangka Berpikir

Kampung Keluarga Berencana adalah satuan wilayah setingkat

Rukun Warga (RW), dusun atau setara, yang memiliki kriteria tertentu, yang

di dalamnya terdapat keterpaduan program kependudukan, keluarga

berencana, pembangunan keluarga dan pembangunan sektor terkait yang

dilaksanakan secara sistemik dan sistematis. Kampung Keluarga Berencana

direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi oleh dan untuk masyarakat.

Pemerintah pusat, Pemerintah daerah, lembaga non pemerintah dan swasta

berperan dalam fasilitasi, pendampingan dan pembinaan pada Kampung

Keluarga Berencana.

Kampung Keluarga Berencana merupakan terobosan yang didesain

khusus untuk menggerakkan program Kependudukan, Keluarga Berencana

dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di tingkat dusun alias kampung.

Kampung Keluarga Berencana memadukan konsep pembangunan terpadu

bidang Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga

(KKBPK) merupakan salah satu upaya program sebagai program yang

diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat Kampung Keluarga

Berencana berupaya memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada

masyarakat untuk memperoleh pelayanan total Keluarga Berencana sebagai

upaya mewujudkan keluarga sejahtera yang berkualitas.

Desa upon batu merupakan salah satu desa yang termasuk dalam

kampung keluarga berencana (KB) karena memenuhi kriteria sebagai

kampung KB yang ditetapkan oleh BKKBN. Dari hal tersebut perlu


dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat

dalam pelaksanaan kampung KB di Desa Upon Batu.

Berikut ini alur berpikir penelitian dalam melakukan kajian tentang

partisipasi masyarakat dalam melaksanakan Program Kampung Keluaraga

Berencana (KB) di Desa Upon Batu Kabupaten Gunung Mas :

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan

kualitatif, penelitian disajikan dengan kata-kata berdasarkan hasil yang

ditemui dilapangan. Secara umum, penelitian kualitatif dilakukan dengan

metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dengan metode ini

peneliti akan menganalisis data yang didapat dari lapangan dengan detail

untuk mencari jawaban hingga jawaban tersebut benar-benar memuaskan.

Menurut Moleong, ( 2017 : 6 ) menyatakan bahwa :

“penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk


memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.,
secara hilostik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks khususnya yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif

adalah penelitian yang memahami fenomena yang dialami melalui

perilaku, persepsi, motivasi tindakan dll.

Menurut Bodgan Dan Taylor dalam (Moelong 2006:4)

mendefinisikan bahwa :

“Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang


menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati. Menurut
mereka pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara
holistik (utuh), jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan
individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis tetapi
perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan”

Dari pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif

adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan fenomena atau kejadian

yang diamati secara langsung. Penelitian kualitatif menghasilkan data

deskripsi berupa kata-kata. Dalam penelitian ini biasanya menggunakan

metode obsevasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mendapatkan data

dari lapangan.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan

kualitatif bertujuan untuk memberikan penjelasan atau mendeskripsikan

dengan beberapa indikator mengenai suatu permasalahan sosial yang

menjadi objek penelitian yang ada di lapangan.

Pendekatan ini bermaksud untuk mendeskripsikan , menguraikan,

dan memberi penilaian tentang partisipasi masyarakat dalam


melaksanakan program Kampung KB di Desa Upon Batu Kabupaten

Gunung Mas.

B. Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti dalam hal ini sangatlah penting dan utama, hal

ini seperti yang dikatakan oleh Moleong bahwa dalam penelitian kualitatif

kehadiran peneliti sendiri atau orang lain yang merupakan alat pengumpul

data yang utama.

Sesuai dengan penelitian kualitatif, kehadiran peneliti di lapangan

adalah sangat penting dan diperlukan secara optimal. Peneliti merupakan

instrument yang utama dalam mengungkapkan makna dan sekaligus sebagai

alat pengumpul data. Karena itu peneliti juga harus terlibat dengan pengelola,

petugas, dan masyarakat sekitar untuk mendapatkan data yang diperlukan dan

data yang diinginkan. Peneliti harus saling terbuka dengan pengelola, petugas

dan masyarakat, sehingga dengan adanya keterbukaan akan memudahkan

untuk mendapatkan data sesuai dengan kebutuhan peneliti. Oleh karena itu

dalam penelitian ini peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengamati

dan mengumpulkan data yang dibutuhkan. Peneliti melakukan penelitian di

Desa Upon Batu Kabupaten Gunung Mas. Adapun data-data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data mengenai hasil pelaksanaan

program kampung KB, proses pelaksanaan program kampung KB dan jadwal

kegiatan Pelaksanaan kegiatan program kampung KB.

Menurut Sutopo, ( 2006:45) dalam penelitian kualitatif, bentuk

semua teknik pengumpulan data dan kualitas pelaksanaan, serta hasilnya


sangat tergantung pada penelitinya sebagai alat pengumpulan data utamanya.

Oleh karena itu sikap kritis dan terbuka sangat penting, dan teknik

pengumpulan data yang digunakan selalu yang bersifat tebuka dengan

kelenturan yang sangat luas, misalnya seperti teknik wawancara mendalam,

observasi berperan, dan bila diperlukan data awal yang bersifat umum, bisa

juga menggunakan kuisioner terbuka.

Penelitian ini, sebagai subjek penelitiannya adalah peneliti sendiri

yang berperan paling utama sebagai alat dan subjek penelitian. Kehadiran

peneliti berperan untuk mengumpulkan dan mengolah data seperti foto

kegiatan, jadwal kegiatan, proses pelaksanaan kegiatan, visi dan misi serta

prasarana yang digunakan. Yang selanjutnya data-data yang dikumpulkan

dibuat laporan, hal ini peneliti lakukan supaya perolehan data dan informasi

lebih valid atau validitas pengumpulan data dan informasi lebih akurat.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Upon Batu Kabupaten Gunung Mas.

Alasan dari pemilihan lokasi tersebut karena kondisi yang ada pada Desa

Upon Batu Kabupaten Gunung tepat sekali untuk dijadikan objek penelitian,

sebab Peneliti ingin mengetahui serta mendeskripsikan bagaimana Partisipasi

masyarakat dan pelaksanaan Program kampung KB di Desa Upon Batu

Kabupaten Gunung Mas.

D. Sumber Data
Menurut Moleong, (2017:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif

adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah tambahan seperti dokumen

dan lainnya. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan peneliti langsung dari

sumber utama dan data adalah objek penelitian. Data yang diperoleh

langsung dari objek penelitian merupakan data primer. Data primer akan

didapatkan peneliti ketika sudah melakukan penelitian di Desa Upon Batu

Kabupaten Gunung Mas.

Dalam penelitian ini pihak yang dijadikan informasi adalah yang

dianggap mempunyai informasi (key-informan) yang dibutuhkan di lokasi

penelitian. Cara yang digunakan untuk menentukan informasi kunci

tersebut maka peneliti menggunakan “ purposive sampling” atau sampling

bertujuan, yaitu teknik sampling yang digunakan oleh peneliti .

Adapun narasumber/objek dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Petugas Program Kampung Keluarga Berencana (KB) di desa Upon

Batu kabupaten Gunung Mas

2. Masyarakat Desa Upon Batu Kabupaten Gung Mas

Dua sumber data diatas ini merupakan objek data primer yang akan

peneliti gunakan dalam penelitian untuk menggali atau mencari informasi

atau jawaban sesuai judul penelitian.

b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui

pengumpulan atau pengolahan data yang bersifat studi dokumentasi

(analisi dokumen ) berupa penelaahnya terhadap dokumen pribadi,

resmikelembagaan, referensi-referensi atau peraturan (literature laporan,

tulisan dan lain-lain yang memiliki relevansi dengan fokus permasalahan

penelitian.

Adapun sumber data sekunder peneliti yaitu dokumen

kelembagaan seperti visi dan misi, jadwal pelaksaan program, data-data

kegiatan sebelumnya, dan foto-foto pelaksaan kegiatan. Ini yang akan

menjadi landasan data sekunder peneliti yang dilakukan di Desa Upon

Batu Kabupaten Gunung Mas.

E. Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif dapat sebagai instrumen penelitian karena segala

sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti baik mengenai masalah,

fokus penelitian. Sesuai dengan kebutuhan data atau informasi yang

dibutuhkan, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Observasi

Menurut Faisal (2010:52), alat pengumpulan datanya disebut

panduan observasi. Metode ini menggunakan pengamatan atau

penginderaan langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi, proses, atau

perilaku.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa obsevasi adalah

suatu kegiatan yang dilakukan secara langsung oleh sesorang/individu


untuk mendapatkan data melalui pengamatan situasi, proses, pelaksanaan,

dan perilaku.

Dalam hal ini peneliti mengadakan observasi langsung yaitu

melakukan pengamatan ke Desa Upon Batu Kabupaten Gunung Mas

untuk mengamati patisipasi masyarakat dalam melaksanakan program

kampung KB, proses pelaksanaan program kampung KB dan prasarana

yang digunakan.

Observasi dilakukan secara non partisipan, dimana peneliti

berperan hanya sebagai pengamat fenomena yang diteliti. Pengamatan

dilakukan secara langsung untuk mendapatkan gambaran yang utuh terkait

fokus penelitian. Hasil pengamatan disusun dalam catatan lapangan.

2. Wawancara

Menurut Moleong (2017:186), wawancara adalah percakapan

dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak,

wawancara (interviewner) yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Wawancara merupakan kegitan yang dilakukan oleh dua individu

atau lebih untuk mendapatkan data. Kegiatan ini dilakukan peneliti

berdialog dan tamya jawab dengan petugas dan masyarakat desa. Hasil-

hasil wawancara kemudian dituangkan dalam struktur ringkasan, yang

dimulai dari penjelasan ringkasan identitas, deskripsi situasi atau konteks,

identitas masalah, deskripsi data, dan dituangkan dalam bentuk karya tulis.

3. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah lama, dokumen

yang dimaksud yaitu dokumen dalam bentuk tulisan atau foto.

Menurut Sugiyono (2008:240) dokumen merupakan catatan

peristiwa yang sudah berlalu . Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar,

atau karya-karya monumental dari seseorang. Hasil hasil penelitian dari

obsevasi atau wawancara akan menjadi lebih dapat dipercaya apabila

didukung oleh adanya dokumen.

F. Tahap Analisis Data

Tahap ini merupakan tahap dimana peneliti melakukan analisis data

yang telah diperoleh, baik dari informan maupun dokumen-dokumen pada

tahap sebelumnya.

Tahap ini diperlukan sebelum peneliti menulis laporan penelitian.

1. Pengertian Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh melalui berbagai sumber

dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam,

dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Dengan

pengamatan yang dilakukan secara terus menerus, maka data yang

diperoleh memiliki variasi yang sangat tinggi. Data yang diperoleh pada

umumnya adalah data kualitatif, meskipun tidak menolak kemungkinan

data kuantitatif sehingga teknik analisis data yang akan digunakan belum

ada polanya yang jelas.

Analisis data kualitatif ( Bogdan & Biklen 1982 ) adalah :

“upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,


mengorganisasikan data, memilah-memilahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menumukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”.

Analisis data kualitatif menurut Seiddel ( Moleong, 2014: 248),

prosesnya berjalan sebagai berikut:

a. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu

diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri,

b. Mengumpulkan, memili-memilih, mengklasifikasikan, membuat,

dan membuat indeksnya.

c. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai

makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan,

dan membuat temuan-temuan umum.

Dalam analisis data kualitatif, Bogdan menyatakan Bahwa :


“Data analysis is the proses of systematically searching an
arranging the interview transcripts, fieldnotes, and other materials
that you accumulate to increase your own understanding of them
and to enable you to present what you have discovered to other”.

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sitematis

data yang diperoleh dari hasil wawancara,catatan lapangan, dan bahan-

bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan tentunya dapat

diinformasikan kepada orang lain.

Silalahi, (2010 : 244), menyatakan bhwa :

“Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,


menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun
dalam pola, memilih makna yang penting dan yang akan dipelajari,
dan membuat kesimpulan”.

Analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis

berdasarkan pada data yang diperoleh yang selanjutnya dikembangkan


menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan dari data

tersebut, selanjutnya dicarikan lagi data berulang-ulang sehingga

selanjutnya dapat disimpulkan pakah hipotesis tersebut diterima atau

ditolak berdasarkan data yang terkumpul.

Silalahi, (2010:244) bila berdasarkan data yang dikumpulkan

secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi, ternyata hipotesisnya

diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.

Susan Stainback, mengemukan bahwa :

“Data analysis is critical to the qualitative research process. It is


to recognition, study, and understanding of interrelationship and
concept in your data that hypotheses and assertions can be
developed and evaluated”.

Yang berarti analisis data merupakan hal yang kritis dalam proses

penelitian kualitatif. Analisis digunakan untuk memahami hubungan dan

konsep dalam data sehingga hipotesis dapat dikembangkan dan dievaluasi.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa analisi data adalah

proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari

hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara

mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting

dan membuat sebuah kesimpulan.

Moleong (2014:147) setelah selesai tahap ini, mulailah kini tahap

penafsiran data dalam mengelola hasil sementara menjadi teori subtantif

dengan menggunakan beberapa metode tertentu.

1. Analisis Data
Penelitian kualitatif ini menggunakan langkah-langkah

penelitian naturalistik, oleh karena itu analisis data dilakukan

langsung dilapangan bersamaan dengan pengumpulan data.

Menurut Sugiyono (2015:256-266) ada empat tahap analisis data

yang diselingi dengan pengumpulan data yaitu : a) analisis domein, b)

analisis taksonomi, c) analisis komponen, dan d) analisis tema.

2. Analisis Domain

Setelah peneliti memasuki objek yang berupa situasi sosial yang

terdiri atas, place, actor dan activity (PAA), selanjutnya melaksanakan

observasi partisipan, maka langkah selanjunya adalah melakukan

analisis domain. Analisis domain dilakukan untuk memperoleh

gambaran umum. Data diperoleh dari grand tour dan minitour

question. Hasilnya berupa gambaran umum tentang objek yang diteliti

yang sebelumnya belum pernah diketahui. Dalam analisis ini

informasi yang diperoleh belum mendalam, masih dipermukaan

namun sudah menemukan domain-domain atau kategori dari situasi

sosial yang diteliti.

Untuk menemukan domain dari kontek sosial/objek yang

diteliti, Spradley menyarankan untuk melakukan analisis hubungan

sistematik antar kategori, yang meliputi Sembilan tipe. Tipe hubungan

ini bersifat universal, yang dapat digunakan untuk berbagai jenis

situasi sosial.

3. Analisis Taksonomi
Analisis taksonomi adalah analisis terhadap keseluruhan data

yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan cover term

oleh peneliti dapat diurai secara lebih rinci dan mendalam melalui

analisis taksonomi dapat disajikan dalam bentuk diagram kotak,

diagram garis dan simpul.

4. Analisis Komponensial

Pada analisis komponensial, yang dicari untuk diorganisasikan

dalam domain bukanlah keserupaan dalam domain, tetapi justru yang

memiliki perbedaan atau yang kontrak. Data ini dicari melalui

observasi, wawancara dan dokumentasi yang terseleksi. Dengan

teknik pengumpulan data yang bersifat triangulasi tersebut, sejumlah

dimensi yang spesifik dan berbeda pada setiap elemen akan dapat

ditemukan.

5. Analisi Tema

Analisis tema atau discovering cultural themes , sesungguhnya

merupakan upaya mencari “benang Merah” yang mengintegrasikan

lintas domain yang ada. Dengan ditemukan benang merah dari hasil

analisis domain, taksonomi, dan komponensial tersebut, maka

selanjutnya akan dapat tersusun suatu kontruksi bangunan situasi

sosial/objek penelitian yang sebelumnya masih gelap atau remang-

remang, dan setelah dilanjutkan penelitian, maka menjadi lebih terang

dan jelas.

6. Proses Analisis Data


Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak

sebelum memasuki lapangan, selama dilapangan, dan setelah selesai

di lapangan.

Menurut Sugiyono, ( 2015:245) dalam penelitian kualitatif,

proses analisis data lebih difokuskan selama proses dilapangan

bersamaan dengan pengumpulan data daripada setelah pengumpulan

data.

7. Analisis Sebelum Lapangan

Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau

data skunder yang akan digunakan untuk mentukan focus penelitian,

namun focus penelitian ini masih bersifat sementara dan akan

berkembang setelah peneliti masuk kelapangan, maka peneliti akan

merubah fokusnya.

8. Analisis Data di Lapanagn

Model Miles dan Huberman (1992:20-22) telah dipaparkan

sebelumnya bahwa: “analisis data dalam penelitian kualitatif

Dilakukan Pada Saat Pengumpulan Data Berlangsung Dan Setelah

pengumpulan data dalam periode tertentu”. Miles dan Huberman

(1984) mengungkapkan bahwa “aktivitas analisis data dalam

penelitian kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara

terus menerus sampai tuntas hingga datanya sudah jenuh”. Kegiatan

dalam analisis data adalah reduksi data, display data dan kesimpulan

atau vertifikasi.
G. Pengecekan Keabsahan Data

Peneliti melakukan validasi data dengan menggunakan pengujian

terhadap keabsahan (trustworthiness) data dengan menggunakan teknik

trianggulasi yaitu dengan membandingkan data yang diperoleh dalam

observasi dan wawancara, kemudian melakukan pemeriksaan ulang terhadap

sumber data dan subjek penelitian yang lain.

Moleong, (2007:320). “Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada


dasarnya, selain digunakan untuk menyanggah balik yang dituduhkan
kepada penelitian kualitatif yang mengatakan tidak ilmiah, juga
merupakan sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari tubuh
pengetahuan penelitian kualitatif”.

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh :

“Sugiyono, (2007:270). Keabsahan data dilakukan untuk membuktikan


apakah penelitian yang dilakukan benar-benar merupakan penelitian
ilmiah sekaligus untuk menguji data yang diperoleh. Uji keabsahan data
dalam penelitian kualitatif meliputi uji, credibility, transferability,
dependability, dan confirmability”

Agar data dalam penelitian kualitatif dapat dipertanggungjawabkan

sebagai penelitian ilmiah perlu dilakukan uji keabsahan data. Adapun uji

keabsahan data yang dapat dilaksanakan sebagai berikut :

1. Kridibilitas (Credibility

Uji credibility (kredibilitas) atau uji kepercayaan terhadap data hasil

penelitian yang disajikan oleh peneliti agar hasil penelitian yang dilakukan

tidak meragukan sebagai sebuah karya ilmiah dilakukan.

a. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan dapat meningkatkan

kredibilitas/kepercayaan data. Dengan perpanjangan pengamatan


berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan,

wawancara lagi dengan sumber data yang ditemui maupun sumber

data yang lebih baru. Perpanjangan pengamatan berarti hubungan

antara peneliti dengan sumber akan semakin terjalin, semakin akrab,

semakin terbuka, saling timbul kepercayaan, sehingga informasi yang

diperoleh semakin banyak dan lengkap.

Perpanjangan pengamatan untuk menguji kredibilitas data

penelitian difokuskan pada pengujian terhadap data yang telah

diperoleh. Data yang diperoleh setelah dicek kembali ke lapangan

benar atau tidak, ada perubahan atau masih tetap. Setelah dicek

kembali ke lapangan data yang telah diperoleh sudah dapat

dipertanggungjawabkan/benar berarti kredibel, maka perpanjangan

pengamatan perlu diakhiri

b. Meningkatkan kecermatan dalam penelitian

Meningkatkan kecermatan atau ketekunan secara berkelanjutan

maka kepastian data dan urutan kronologis peristiwa dapat dicatat atau

direkam dengan baik, sistematis. Meningkatkan kecermatan

merupakan salah satu cara mengontrol/mengecek pekerjaan apakah

data yang telah dikumpulkan, dibuat, dan disajikan sudah benar atau

belum. Untuk meningkatkan ketekunan peneliti dapat dilakukan

dengan cara membaca berbagai referensi, buku, hasil penelitian

terdahulu, dan dokumen-dokumen terkait dengan membandingkan

hasil penelitian yang telah diperoleh. Dengan cara demikian, maka


peneliti akan semakin cermat dalam membuat laporan yang pada

akhirnya laporan yang dibuat akan smakin berkualitas.

c. Triangulasi

“Wiliam Wiersma (1986) mengatakan triangulasi dalam pengujian

kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber

dengan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber,

triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu.

1. Triangulasi Sumber

Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek

data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Sugiyono,

(2007:274), “Data yang diperoleh dianalisis oleh peneliti sehingga

menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan

kesepakatan (member check) dengan tiga sumber data )”

2. Triangulasi Teknik

Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek

data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

Misalnya untuk mengecek data bisa melalui wawancara, observasi,

dokumentasi.

“Sugiyono, (2007:274) Bila dengan teknik pengujian


kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda,
maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber
data yang bersangkutan untuk memastikan data mana yang
dianggap benar”.
Dari kesimpulan diatas peneliti dapat simpulkan triangulasi adalah

suatu teknik pengujian dalam sebuah penelitian atau memastikan

suatu sumber data yang valid

3. Triangulasi Waktu

Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari

pada saat narasumber masih segar, akan memberikan data lebih

valid sehingga lebih kredibel. Selanjutnya dapat dilakukan dengan

pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam

waktu atau situasi yang berbeda.

”Sugiyono, (2007:274). Bila hasil uji menghasilkan data yang


berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga
sampai ditemukan kepastian datanya”

a. Analisis Kasus Negatif

Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari

data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang

telah ditemukan.

Sugiyono, (2007:275) Bila tidak ada lagi data yang

berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti masih

mendapatkan data-data yang bertentangan dengan data yang

ditemukan, maka peneliti mungkin akan mengubah temuannya.

b. Menggunakan Bahan Referensi

Yang dimaksud referensi adalah pendukung untuk

membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti.


Sugiyono, (2007:275) “Dalam laporan penelitian, sebaiknya

data-data yang dikemukakan perlu dilengkapi dengan foto -

foto atau dokumen autentik, sehingga menjadi lebih dapat

dipercaya”.

c. Mengadakan Membercheck

Tujuan membercheck adalah untuk mengetahui seberapa

jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh

pemberi data. “Sugiyono, (2007:276) ,Jadi tujuan

membercheck adalah agar informasi yang diperoleh dan akan

digunakan dalam penulisan 76 laporan sesuai dengan apa yang

dimaksud sumber data atau informan”.

2. Transferabilitas (Transferability)

Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian

kualitatif. “Sugiyono, (2007:276) Validitas eksternal menunjukkan derajat

ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana

sampel tersebut diambil”

Pertanyaan yang berkaitan dengan nilai transfer sampai saat ini

masih dapat diterapkan/dipakai dalam situasi lain. Bagi peneliti nilai

transfer sangat bergantung pada si pemakai, sehingga ketika penelitian

dapat digunakan dalam konteks yang berbeda di situasi sosial yang

berbeda validitas nilai transfer masih dapat dipertanggungjawabkan.

3. Dependabilitas ( Dependability )
Dependabilitas atau penelitian yang dapat dipercaya, dengan kata

lain beberapa percobaan yang dilakukan selalu mendapatkan hasil yang

sama. Penelitian yang dependability atau reliabilitas adalah penelitian

apabila penelitian yang dilakukan oleh orang lain dengan proses penelitian

yang sama akan memperoleh hasil yang sama pula.

Pengujian dependability dilakukan dengan cara melakukan audit

terhadap keseluruhan proses penelitian. Dengan cara auditor yang

independen atau pembimbing yang independen mengaudit keseluruhan

aktivitas yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian.

Misalnya bisa dimulai ketika bagaimana peneliti mulai menentukan

masalah, terjun ke lapangan, memilih sumber data, melaksanakan analisis

data, melakukan uji keabsahan data, sampai pada pembuatan laporan hasil

pengamatan.

4. Konfirmabilitas (Confirmability)

Objektivitas pengujian kualitatif disebut juga dengan uji

confirmability penelitian. Penelitian bisa dikatakan objektif apabila hasil

penelitian telah disepakati oleh lebih banyak orang. Penelitian kualitatif uji

confirmability berarti menguji hasil penelitian yang dikaitkan dengan

proses yang telah dilakukan. Apabila hasil penelitian merupakan fungsi

dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah

memenuhi standar confirmability. Validitas atau keabsahan data adalah

data yang tidak berbeda antara data yang diperoleh oleh peneliti dengan
data yang terjadi sesungguhnya pada objek penelitian sehingga keabsahan

data yang telah disajikan dapat dipertanggungjawabkan.

H. Tahap –Tahap Penelitian

a. Tahap Pra Lapangan

Menurut Moleong (2014: 127-136) terdapat Tujuh tahap kegiatan

yang harus dilakukan oleh peneliti dalam tahapan ini ditambah dengan

satu pertimbangan yang perlu dipahami, yaitu etika penelitian lapangan.

1. Menyusun Rancangan Penelitian

Memasuki langkah ini peneliti harus memahami berbagai

metode dan teknik penelitian. Metode dan teknik penelitian disusun

menjadi rancangan penelitian. Mutu keluaran penelitian ditentukan

oleh ketepatan rancangan penelitian serta pemahaman dalam

penyusunan teori.

2. Memilih Lapangan Penelitian

Pemilihan lapangan penelitian diarahkan oleh teori substantif

yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis kerja, walaupun masih

tentatif sifatnya. Hipotesis kerja itu baru akan dirumuskan secara tetap

setelah dikonfirmasikan dengan data yang muncul ketika peneliti

sudah memasuki latar penelitian.

Setiap situasi merupakan laboratorium di dalam lapangan

penelitian kualitatif Beberapa aspek kehidupan sosial dapat diteliti

karena hal itu menjadi lebih jelas Namun, satu hal yang perlu

diperhatikan oleh peneliti seperti yang diingatkan, dan yang perlu


dipahami dan disadari oleh peneliti ialah barangkali baik apabila tidak

secara teguh berpegang pada acuan teori, tetapi biarlah hal itu

dikembangkan pada pengumpulan data.

3. Mengurus Perizinan

Pertama yang perlu diketahui oleh peneliti ialah siapa saja

yang berwenang memberikan izin bagi pelaksanaan penelitian. Yang

berwenang memberikan izin untuk mengadakan penelitian ialah

kepala pemerintahan setempat di mana penelitian dilakukan, seperti

gubernur, bupati, camat sampai kepada RW/RT. Mereka memiliki

kewenangan secara formal. Disamping itu, masih ada jalur informal

yang perlu diperhatikan dan peneliti jangan mengabaikannya untuk

memperoleh izin, yaitu mereka yang memegang kunci kehidupan

komunitas, seperti kepala adat.

Selain, itu peneliti juga perlu memperhatikan tentang syarat

lain yang diperlukan, seperti: (1) surat tugas, (2) surat izin instansi di

atasnya, (3) identitas diri, (4) perlengkapan penelitian.

4. Menjajaki dan Menilai Lapangan

Tahap ini merupakan orientasi lapangan, namun dalam hal-hal

tertentu telah menilai keadaan lapangan. penjajakan dan penilaian

lapangan akan terlaksana dengan baik apabila peneliti sudah membaca

kepustakaan atau mengetahui melalui orang dalam tentang situasi dan

kondisi daerah tempat penelitian dilakukan. Sebaiknya, sebelum

menjajaki lapangan, peneliti sudah mempunyai gambaran umum


tentang geografi, demografi, sejarah, tokoh-tokoh, adat, istiadat,

konteks kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, agama, pendidikan, mata

pencaharian.

Maksud dan tujuan penjajakan lapangan adalah berusaha

mengenal segala unsur lingkungan sosial, fisik, dan keadaan alam.

Jika peneliti telah mengenalnya, tujuan lainnya ialah untuk membuat

peneliti menyiapkan diri, mental maupun fisik, serta menyiapkan

perlengkapan yang diperlukan. Pengenalan lapangan juga dilakukan

untuk menilai keadaan, situasi, latar, dan konteksnya, apakah sesuai

dengan masalah, hipotesis kerja teori substantif seperti yang

digambarkan dan dipikirkan sebelumnya oleh peneliti.

Kirk & Miller (1986: 59-70) merumuskan segi-segi yang perlu

diketahui pada tahap invensi ke dalam tiga aspek yaitu :

a. Pemahaman atas petunjuk dan cara hidup

Upaya ini berawal dari usaha memahami jaringan sistem

sosial dan berakhir pada kebudayaan yang dipelajari. Hal itu

mengharuskan peneliti mengadakan kontak dengan anggota-

anggota masyarakat, terutama tokoh yang dapat berperan sebagai

perantara dalam memahami cara hidup masyarakat setempat.

b. Memahami pandangan hidup

Cara masyarakat memandang sesuatu seperti objek, orang

lain, kepercayaan atau agama lain, merupakan satu segi yang

terpatri dalam kehidupannya. Waktu pertama kali peneliti


menyentuh masyarakat tempat penelitian diadakan, peneliti akan

berhadapan dengan pandangan hidup masyarakat. Peneliti

menggali pandangan hidup, bukan mengomentari, mengkritik,

atau berusaha memaksa kan pandangan hidupnya. Jika hal itu

yang dilakukan, maka hal tersebut merupakan kesalahan fatal

dalam konteks penelitian kualitatif.

c. Penyesuaian diri dengan keadaan lingkungan tempat penelitian

Pemahaman ini terjadi pada saat peneliti pertama kali

mengenal dan mempelajari kondisi kebudayaan yang tampak

dalam unsurunsur kekaguman, strategi, kegembiraan, dan

kesenangan yang mencerminkan motivasi dan citra rasa dalam

kebersamaan hidup penduduk setempat dengan peneliti. Tahapan

ini bercirikan penilaian atas keadaan penduduk setempat dan

kebudayaannya tanpa peneliti menonjolkan diri. Pada saat ini

peneliti membina ketahanan dan membangun penangkalan

tantangan, kesukaran, persoalan yang tidak terencana.

5. Memilih dan Memanfaatkan Informan

Informan merupakan orang yang dimanfaatkan untuk

memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.

Jadi, ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian.

Ia berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian

walaupun hanya bersifat informal. Sebagai anggota tim, ia dapat

memberikan pandangan dari segi orang dalam tentang nilainilai, sikap,


bangunan, proses, dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian

tersebut. Persyaratan dalam memilih dan menentukan seorang

informan ia harus jujur, taat pada janji, patuh pada peraturan, suka

berbicara, tidak termasuk anggota salah satu kelompok yang bertikai

dalam latar penelitian, dan mempunyai pandangan tertentu tentang

peristiwa yang terjadi.

Lincoln dan Guba (1985:285) Menyatakan bahwa :

“Kegunaan informan bagi peneliti ialah membantu agar


secepatnya dab tetap seteliti mungkin dapat membenamkan diri
dalam konteks setempat terutama bagu peneliti yang belum
mengalami latihan etnografi”.

Bogdan dan Biklen (1981 : 65) Menyatakan bahwa :

“Pemafaatan informan bagi peneliti ialah agar dalam waktu


yang relative singkat banyak informasi yang terjaring, jadi
sebagai sampling internal, karena informasi untuk dimanfaatkan
untuk berbicara, bertukar pikiran, atau membandingkan suatu
kejadian yang ditemukan dari subjek lainnya”.

6. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Peneliti hendaknya menyiapkan segala macam perlengkapan

penelitian yang diperlukan. Sebelum penelitian dimulai, peneliti 56

memerlukan izin mengadakan penelitian, kontak dengan daerah yang

menjadi latar penelitian, pengaturan perjalanan terutama jika lapangan

penelitian itu jauh letaknya. Perlu pula dipersiapkan kotak kesehatan.

Alat tulis seperti pensil atau bolpoint, kertas, buku catatan, map, klip,

kartu, karet dan lain-lain jangan dilupakan pula. Jika tersedia, juga alat

perekam seperti tape recorder video-cassete recorder, dan kamera foto.

Persiapan penelitian lainnya yang perlu pula dipersiapkan ialah jadwal


yang mencakup waktu, kegiatan yang dijabarkan secara rinci. Yang

lebih penting lagi ialah rancangan biaya karena tanpa biaya penelitian

tidak akan dapat terlaksana. Pada tahap analisis data diperlukan

perlengkapan berupa alat-alat seperti komputer, kartu untuk

kategorisasi, kertas manila, map, folder, kertas folio ganda, dan kertas

bergaris.

7. Persoalan Etika Penelitian

Salah satu ciri utama penelitian kualitatif ialah orang sebagai

alat atau sebagai instrumen yang mengumpulkan data. Hal itu

dilakukan dalam pengamatan berperanserta, wawancara mendalam,

pengumpulan dokumen, foto, dan sebagainya. Peneliti akan

berhubungan dengan orang-orang, baik secara perseorangan maupun

secara kelompok atau masyarakat, akan bergaul hidup, dan merasakan

serta menghayati bersama tata cara dan tata hidup dalam suatu latar

penelitian. Orang yang hidup dalam masyarakat tentu ada sejumlah

peraturan, norma agama, nilai sosial, hak dan pribadi, adat, kebiasaan,

tabu, dan semacamnya.

Persoalan etika akan timbul apabila peneliti tidak

menghormati, tidak mematuhi, dan tidak mengindahkan nilai-nilai

masyarakat dan pribadi tersebut. Peneliti sebaiknya mengikuti budaya

atau nilai-nilai yang dianut masyarakat tempat penelitian dilakukan.

Jika tidak, maka terjadilah benturan nilai, konflik, frustrasi, dan


semacamnya. Hal ini akan berakibat besar pada kemurnian

pengumpulan data.

Dalam menghadapi persoalan etika tersebut, peneliti

hendaknya mempersiapkan diri baik secara fisik, psikologis maupun

mental. Secara fisik sebaiknya peneliti memahami peraturan norma

nilai sosial masyarakat melalui (a) kepustakaan, (b) orang, kenalan,

teman yang berasal dari latar belakang tersebut, dan (c) orientasi latar

penelitian. Seluruh peraturan norma, nilai masyarakat, kebiasaan

kebudayaan, dan semacamnya agar dicatat dalam satu buku catatan

khusus yang dapat dinamakan buku tentang Etika

Masyarakat/Lembaga/Organisasi.

Selain persiapan fisik, persiapan mental pun perlu dilatih

sebelumnya. Hendaknya diusahakan agar peneliti tahu menahan diri,

menahan emosi dan perasaan terhadap hal-hal yang pertama kali

dilihatnya sebagai sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal, dan 58

sebagainya. Peneliti hendaknya jangan memberikan reaksi yang

mencolok dan yang tidak mengenakkan bagi orang-orang yang

diperhatikan. Peneliti hendaknya menanamkan kesadaran dalam

dirinya bahwa pada latar penelitiannya terdapat banyak segi nilai,

kebiasaan, adat, kebudayaan yang berbeda dengan latar belakang nya

dan dia bersedia menerimanya. Bahkan merasakan hal-hal demikian

sebagai khazanah kekayaan yang justru akan dikumpulkannya sebagai

informasi. Oleh karena itu, peneliti hendaknya menerimanya dengan


jujur, dengan tangan terbuka dan dengan penuh pengertian. Persiapan

psikologis, dan mental demikian akan banyak membantunya dalam

pekerjaannya mengumpulkan data.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan data-data yang diperlukan

dalam penelitian dengan menggunakan metode yang telah ditentukan.

Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan adalah sebagai berikut:

1. Memahami Latar Penelitian dan Persiapan Diri


“Moleong, (2014: 137)Memahami latar penelitian dan persiapan
diri dalam tahap pekerjaan lapangan masih diuraikan menjadi
beberapa tahapan, yaitu: a) pembatasan latar dan peneliti, b)
penampilan, c) pengenalan hubungan peneliti di lapangan, dan d)
jumlah waktu studi”

a. Pembatasan latar dan peneliti

“Moleong, (2014: 137) Peneliti harus memahami latar


penelitian untuk bisa masuk ke tahap pekerjaan lapangan.
Selain itu, peneliti harus mempersiapkan fisik dan mental,
serta etika sebelum memasuki tahap ini. Dalam pembatasan
latar, peneliti harus memahami latar terbuka dan latar
tertutup, serta memahami posisi peneliti sebagai peneliti
yang dikenal atau tidak .

Menurut Lofland dan Lofland (1984: 21-24), menyatakan

Bahwa :

“Latar terbuka pada lapangan penelitian dapat berupa


tempat pidato, orang yang berkumpul di taman, toko,
bioskop, dan ruang tunggu rumah sakit, di mana peneliti
hanya menggunakan teknik pengamatan dan bukan
wawancara”.
Peneliti harus memperhitungkan latar terbuka untuk

pengumpulan data menjadi efektif. Pada latar terbuka, hubungan

peneliti dengan subjek tidak terlalu dekat.

Sedangkan, pada latar tertutup hubungan peneliti dengan

subjek cukup dekat, karena peneliti akan mengumpulkan data

dengan teliti dan wawancara secara mendalam. Oleh sebab itu,

peran peneliti dalam latar tertutup sangat diperlukan, karena

peneliti harus benar-benar mendapatkan data dari subjek secara

langsung.

b. Penampilan

Dalam tahap memahami latar penelitian dan

mempersiapkan diri, peneliti harus memperhatikan penampilannya

saat memasuki lapangan dan menyesuaikan dengan kebiasaan,

adat, tata cara, dan budaya latar penelitian. Penampilan peneliti

secara fisik juga harus diperhatikan, karena sebaiknya saat

melakukan penelitian, peneliti tidak menggunakan pakaian yang

mencolok dan lebih baik jika peneliti menggunakan pakaian yang

sama seperti subjek penelitian. Dengan demikian, peneliti

dianggap memiliki derajat yang sama dengan subjek penelitian,

yang memudahkan peneliti menjalin hubungan serta proses

pengumpulan data.

Penampilan fisik yang terlihat bukan hanya sekedar cara

berpakaian peneliti, namun juga sikap yang diperlihatkan. Sikap


peneliti dapat meliputi tata cara, tindakan, gerak tubuh, cara

menegur, dan lain sebagainya yang dapat dipelihatkan peneliti

ketika berada di lapangan untuk mengumpulkan data. Sama halnya

dengan cara berpakaian, sikap peneliti juga perlu disesuaikan

dengan keadaan, kebiasaan, kepercayaan, peraturan, dan lain

sebagainya. Peneliti harus menjaga sikap di depan subjek

penelitian, agar mereka tidak merasa terganggu, tidak senang, atau

bahkan terabaikan.

Untuk penampilan fisik yang harus ditunjukkan peneliti,

perlu adanya persiapan secara fisik maupun mental. Peneliti yang

memasuki lapangan mungkin akan dituntut kesabarannya,

kejujurannya, ketekunannya, ketelitiannya, dan kemampuannya

menahan segala perasaan dan emosi. Hal-hal tersebut perlu dilatih

dan dipersiapkan oleh peneliti sebelum memasuki lapangan.

Selain cara berpakaian dan sikap yang harus diperlihatkan,

memahami etika dalam melakukan penelitian juga perlu dilakukan

oleh peneliti. Memahami situasi dan kondisi dari subjek yang akan

diteliti, serta menyadari posisi dan kedudukan peneliti, maka

diharapkan proses pengumpulan data dapat berjalan sesuai dengan

harapan.

c. Pengenalan hubungan peneliti di lapangan

Jika peneliti menggunakan observasi partisipatif, maka

peneliti harus menjalin hubungan yang dekat dengan subjek


penelitian, sehingga keduanya dapat bekerja sama dan saling

memberikan informasi. Peneliti harus bersikap netral saat berada

di tengah-tengah subjek penelitian. Peneliti juga diharapkan

jangan sampai mengubah situasi pada latar penelitian. Peneliti

harus aktif mengumpulkan informasi, tetapi tidak boleh ikut

campur dalam peristiwa yang terjadi di dalam latar penelitian.

Peneliti juga tidak boleh menampakkan dan memperlihatkan diri

sebagai seseorang yang sangat berilmu, pandai, dan lain

sebagainya.

Jika peneliti sudah lama berada di lapangan, biasanya

subjek penelitian ingin mengenal lebih dalam sosok peneliti yang

ada di lingkungannya. Saat tersebut merupakan saat yang penting

bagi peneliti untuk bisa saling bertukar informasi dengan subjek

penelitian mengenai pribadi mereka. Saat hal tersebut dapat terjadi

maka kemungkinan akan tercipta kepercayaan dan tidak ada

kecurigaan. Namun, peneliti harus tetap selektif untuk memilih

informasi yang diperlukan dan menghindari sesuatu yang dapat

mempengaruhi data. Peneliti memiliki tugas untuk mengumpulkan

data yang relevan sebanyak mungkin dari sudut pandang subjek

penelitian, tanpa mempengaruhi mereka. Di lain pihak, peneliti

juga menganggap pengumpulan data, baik dari tingakatan atas,

bawah, kaya, maupun miskin.

d. Jumlah waktu studi


Peneliti harus memperhatikan waktu dalam melakukan

penelitian. Jika peneliti tidak memperhatikan waktu, kemungkinan

peneliti akan terlalu asyik dan masuk terlalu dalam ke kehidupan

subjek penelitian, sehingga waktu yang sudah direncanakan

menjadi berantakan. Peneliti harus mengingat bahwa masih

banyak hal yang harus dilakukan, seperti menata, mengorganisasi,

dan menganalisis data yang dikumpulkan. Peneliti yang harus

menentukan sendiri pembagian waktu, agar waktu yang digunakan

di lapangan dapat digunakan secara efektif dan efisien. Peneliti

harus tetap berpegang pada tujuan, masalah, dan pembagian waktu

yang telah disusun. Jika penelitian yang dilakukan peneliti

semakin panjang, maka tanggungan yang harus dihadapi oleh

peneliti adalah penambahan biaya

e. Memasuki Lapangan

a. Keakraban Hubungan

Hubungan di atas dikatakan bahwa sikap peneliti

hendaknya pasif, hubungan yang perlu dibina berupa rapport.

Rapport adalah hubungan antara peneliti dan subjek yang

sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding

pemisah di antara keduanya. Jika rapport itu telah tercapai,

maka tampaknya usaha selanjutnya akan menjadi mudah.

Barangkali strategi yang dapat di tempuh dalam ha ini ialah

memahami situasi, mempelajari keadaan dan latar belakang


orang-orang yang menjadi subjek, barulah berusaha secara

perlahan-lahan merebut simpati serta membangun rapport.

Keakraban pergaulan dengan subjek perlu dipelihara

selama bahkan sampai sesudah tahap pengumpulan data.

Subjek demikian harus diberi perhatian agar jangan merugikan

merugikan kepentingan peneliti nantinya. Dalam hubungan

pergaulan ketika pengumpulan data mungkin saja terjadi

seorang pimimpin kelompok atau masyarakat yang

diwawancarai tidak bersedia, kurang waktu, kemudian ia

menunjuk orang lain sebagai penggantinya.

b. Mempelajari bahasa

Jika peneliti dari latar yang lain, baik baginya apabila

mempelajari bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang

berada pada latar penelitiannya. Peneliti sebaiiknya tidak

hanya mempelajari bahasa , tetapi juga symbol-simbol yang

digunakan oleh orang-orang yang menjadi subjek. Peneliti

perlu diajurkan agar mempunyai buku catatan khusus. Ia

hendaknya secepatnya mencatat dan menanyakan makna

tertentu dari yang didengarnya jika pada saat itu ia tidak

mengerti.

c. Peranan Peneliti

Sewaktu berada pada lapangan penelitian, mau tidak

mau peneliti terjun kedalamnya dan akan ikut berperanserta di


dalamnya. Pertanyaan pertama yang perlu dijawab dalam hal

ini ialah seberapa besarkah peranan yang dapat dimainkan oleh

peneliti tersebut. Kadang-kadang peneliti menghadapi situasi

yang walaupun peneliti secara berulang telah menjelaskan

maksud dan tujuan penelitian namun subjek penelitian tetap

tidak mengerti atau tidak mau mengerti.

3.

Daftar pustaka

Wardiani, Fitria Kusuma. 2010. Partisipasi Masyarakat Dalam Mengikuti


Program Keluarga Berencana Di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo,
Kabupaten Klaten. Semarang.

Andreeyan, Rizal. 2014. Studi Tentang Partisipasi Masyarakat dalam


Pelaksanaan Pembangunan di Kelurahan Sambutan Kecamatan Sambutan
Kota Samarinda. http://ejournal.an.fisip-unmul.org/ . Journal Administrasi
Negara. Vol. 2, No.4.

Anwar, Sakaria J. 2009. Menggerakkan Partisipasi Masyarakat Dalam


Pembangunan. Makassar. Jurnal Administrasi Negara. Vol. 15, No. 3.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2015. Petunjuk Teknis
Kampung KB : BKKBN.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2017. Pedoman


Pengelolaan Kampung KB : BKKBN.

Aji, Maulana Satria dan Gita Putra Heru Rudianto. 2020. Pemberdayaan
Masyarakat “Kampung KB” Ditinjau dari Perspektif Ottawa Charter.
Jurnal Promkes https://docs.google.com/viewerng/viewer?url=https://e-
journal.unair.ac.id/PROMKES/article/viewFile/15973/12106

Pamungkas,Adi Wahyu. 2019. Implementasi Program Kampung Kb


Dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan Pada Kelurahan Dadapsari
Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang di ambil 16 november 2021.
http://lib.unnes.ac.id/34035/1/3312412051maria.pdf . Semarang.

Hoeriah,Riski. 2019. Implementasi Program Kampung Keluarga Berencana (Kb)


Di Kampung Kaliwadas Kelurahan Lopang Kecamatan Serang Kota Serang
Provinsi Banten diambil 17 november 2021.
Https://Eprints.Untirta.Ac.Id/Implementasi Program Kampung Keluarga
Berencana Kb Di Kampung Kelurahan Lopang Kecama Copy.Pdf . Serang

Nopiyanti. 2019. Partisipasi masyarakat dalam program kampung keluarga


berencana di kelurahan bonto makkio kecamatan rappocini kota makasar
diambil 18 november 2021. https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/5630-
Full_Text.pdf . Makasar.

Mustam ,Mochamad. 20210. Partisipasi Masyarakat Dalam Melaksanakan


Program Keluarga Berencana Di Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati
diambil 20 November 2021. https://partisipasi-masyarakat-dalam-
melaksanaka.pdf

Maryam, Siti. 2015. Pengaruh Karakteristik Dan Mitos Pasangan


Usia Subur (Pus) Tentang Kontrasepsi Terhadap Penggunaan Kontrasepsi
Di Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. Jurnal Universitas
Tulungagung BONOROWO. Tulung Agung.

Vina, Nirmala. 2011. Pengaruh Sosialisasi Keluarga Berencana (Kb) Terhadap


Efektifitas Program Kb Di Kecamatan Serang di ambil 21 november 2021.
http://eprints.untirta.ac.id/1178/1/SKRIPSI%20VINA%20-%20Copy.pdf .
Serang.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


ELfabeta
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
ELfabeta

Raco, J.R . 2020. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana


Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai