Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA TN.

A
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD SEKARWANGI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gawat Darurat pada


Program Studi Profesi Ners Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Sukabumi

Disusun oleh :
EMIS RUKAMI
C1AC20030

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
KOTA SUKABUMI
2021
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Tn A di Unit Gawat Darurat
RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi

Tanggal : 22 April 2021


Pengkaji : Emis Rukami

A. Survey Primer
1. Deskripsi Klien
Tn. A berusia 35 tahun datang ke IGD RSUD Sekarwangi diantar
oleh keluarganya dengan penurunan kesadaran GCS (E1, M1, V2) klien
langsung dibawa ke ruang tindakan. Klien diduga SHI (severe head
Injury) dengan tanda-tanda penurunan kesadaran, klien terdapat otorhea,
hemaotom, pada pemeriksaan airway didapat suara garling maka
dilakukan suction kemudian suara berubah menjadi snoring sehingga
dilakukan pemasangan OPA, klien juga neck collar airway clear
sementara. Para pemeriksaan breathing ditemukan klien terlihat sesak
pergerakan dinding dada simetris, auskultasi vesikuler, perkusi sonor
frekuensi nafas 28 x/m maka dilakukan pemasangan nasal kanul 5 LPM
breathing clear sementara. Pada pemeriksaan circulation ditemukan
klien tampak pucat, akral dingin, CRT > 2 detik, mukosa bibir kering,
tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 82 x/m, suhu 36,0C. Maka
dilakukan pemasangan infus NACL 500 di loading, dan untuk melihat
output klien maka dilakukan pemasangan kateter sirkulasi clear
sementara.
Pada pemeriksaan disability dilakukan pemeriksaan GCS
didapatkan E1, M2, V1 didapatkan GCS 4 hasil pemeriksaan pupil
anisokor. Pada pemerisaan expossure terdapat luka pada kaki dan
tangan klien merupakan pasien trauma. Klien dipindahkan ke ruang
NAS pada tanggal 28 Oktober 2019 untuk mendapatkan perawatan
intensif dan direncanakan untuk operasi.
2. Informasi Pra Hospital
-
3. Respon Petugas UGD
Jam Tiba Respon Petugas (Dalam Menit)
Pasien Dokter Perawat Trauma Team

- Emis Rukami -

4. Pengkajian dan Resusitasi


Data Action Respon

Airway :

Jam 08.00 Jam 08.05 Jam 08.15

Klien terdapat otorhea, Memasang neck Kepala & leher


hemaotom, collar terstabilisasi

Diagnosa Keperawatan: Kesimpulan:

Risiko cedera Cervical clear

Jam 08.20 Jam 08.30

Pemeriksaan suara garling Jam 08.25 Stridor

Jam 08.30 Suction Jam 08.40

Suara nafas stridor Jam 08.35 Suara nafas vesikuler

Dilakukan
pemasangan airway
definitif
Diagnosa Keperawatan: Kesimpulan:
Ketidakefektifan besihan jalan Airway clear
nafas sementara

Breathing :

Jam 09.00 Jam 09.05 Jam 09.15

Pasien tampak sesak, retrasi Dilakukan Sesak berkurang


dada simetris, auskultasi pemasangan o2 nasal
RR 20 x/m
vesikuler, perkusi sonor, R canul 5 lpm
28x/m Saturasi > 95%.

Retraksi dada (+)

Diagnosa Keperawatan: Kesimpulan:


Breathing clear
Pola nafas tidak efektif
sementara.

Circulation :

Jam 08: 30 Jam : 08.40 Jam 08.50

klien tampak pucat, akral Dilakukan Tidak ada


dingin, CRT > 2 detik, mukosa pemasangan infus perdarahan dan tanda
bibir kering, tekanan darah Nacl 500 ml (loading) syok
160/100 mmHg, nadi 82 x/m,
suhu 36,0ºC

Diagnosa keperawatan:
Kesimpulan :
Risiko shock hipovolemik
Circulation clear
sementara.

Disability :

Jam 09:00 Jam 09.10 Jam 09.15

Klien masih mengalami Melakukan GCS: 4


penurunan kesadaran. pemeriksaan E1 M2 V1
neurologis yang
Pupil anisokor
meliputi GCS

Menentukan tingkat
kesadaran

Memeriksa pupil

Diagnosa Keperawatan : Kesimpulan :

Gangguan perfusi jaringan Disability clear


serebral sementara

Exposure :

Jam 09.15 Jam 09.15 Jam 09.30

Terdapat luka pada kaki dan Melakukan Ditemukan


tangan klien merupakan pasien pemeriksaan exposure tanda/jejas multiple
trauma dengan cara rogroll injury

Jam 09.20 Jam 12.00

Diagnosa Keperawatan: Membuka seluruh Pasien dipindahkan


pakaian yang ke ruang NAS untuk
Nyeri
dikenakan pasien dan rencana operasi
menutupi dengan
selimut

Kesimpulan :
Terdapat jejas
multiple injuri
Folley Cateter :

Jam 09:30, Jam 09.30 Jam 09.40

Klien masih dalam penurunan Dilakukan Output urine 100cc


kesadaran pemasangan kateter
urine

Diagnosa Keperawatan:
Kesimpulan :
Perubahan pola eliminasi urin
Folley cateter clear
sementara

Gastric Tube :

Jam 09.30 Jam 09.45 Jam 09.50

Pasien masih dalam penurunan Dilakukan NGT terpasang


kesadaran, tidak ditemukan pemasangan NGT
Cairan lambung
distensi abdomen, pasien tidak
keluar berwarna
mampu makan-minum
kuning
Diagnosa Keperawatan:
Kesimpulan :
Risiko defisit nutrisi
Gastric tube clear

Heart Monitor :

Jam 10.00 Jam 10.05 Jam 10.10

Pasien masih belum sadar Dilakukan EKG : sinus


pemasangan bedside takikardi
monitor dan EKG

Diagnosa Keperawatan:
- Kesimpulan :

Heart monitor celar

Imaginary :

Jam 12.00 Jam 12.15 Jam 12.20

Pasien rencana dipindahkan ke Dilakukan rontgen Expertise (-)


ruang NAS thorax, cervical, dan
CT-scan kepala tanpa
kontras

Diagnosa Keperawatan:
Kesimpulan :
-
Imaginary clear
sementara

B. Survey Sekunder
1. Riwayat AMPLE
A (Allergies) : Keluarga mengatakan bahwa pasien tidak memiliki
riwayat alergi terhadap obat-obatan maupun makanan.
M (Medication) : Keluarga mengatakan bahwa pasien tidak
mengkonsumsi obat apapun ketika sebelum dibawa ke
RS.
P (Past Ilnes) : Keluarga mengatakan bahwa pasien sebelumnya tidak
pernah sakit dan tidak memiliki penyakit menular
ataupun menurun.
L (Last Meal) : Keluarga mengatakan bahwa pasien terakhir makan
kemarin malam, memakan nasi dan lauk.
E (Event) : Keluarga mengatakan bahwa Tn. A tinggal bersama
istri beserta kedua anaknya. Namun saat kejadian,
pasien sedang mengendarai motor hendak pergi bekerja.
Tidak ada yang menyaksikan kronologis pasien, hingga
akhirnya ditemukan warga tidak sadarkan diri dan
dibawa ke RS.

2. Head To Toe Evaluation


a) Kepala : Bentuk kepala simetris, rambut hitam, kepala bersih,
tidak terdapat lateralisasi, terdapat hematom dan
luka jahitan di kepala bagian belakang
b) Mata : Bentuk simetris, konjungtiva anemis, pupil anisokor.
c) Mulut : Bentuk mulut simetris, mukosa bibir kering.
d) Hidung : Bentuk simetris, bersih, tidak terdapat retraksi
dinding dada, tidak ada pernafasan cuping hidung.
e) Telinga : Bentuk simetris, tidak ada serumen, tidak ada nyeri
tekan, tampak otorhea.
f) Leher : Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening dan
kelenjar tyroid
g) Dada : Pergerakan dada simetris, tidak ada krepitasi pada
tulang iga, tampak retraksi dinding dada, RR 28x/
menit, bunyi jantung s1-s2 normal tanpa bunyi
tambahan, bunyi paru vesikuler, perkusi sonor.
h) Abdomen : Datar, tidak terjadi distensi abdomen, bising usus
15x/menit
i) Ekstremitas :
Atas : Bentuk simetris, tampak trauma/hematom di tangan,
CRT > 2 detik, akral dingin, tidak ada edema, tidak
ada tanda lateralisasi, kekuatan otot sulit dinilai.
Bawah : Bentuk simetris, CRT >2 detik, tampak
trauma/hematom di tangan, tidak ada edema, tidak
ada tanda lateralisasi, kekuatan otot sulit dinlai.
3. Prosedur Diagnostik
-
4. Prosedur Rujukan
a. Waktu rujukan : 12.00 WIB
b. Alasan : Pasien direncanakan akan dilakukan
tindakan operasi
c. Tempat rujukan : Ruang NAS RSUD Sekarwangi
d. Petugas yang rujuk : Perawat
e. Sarana yang dipakai : blankar dan O2
f. Yang menerima : Perawat
g. Kondisi : KU lemah, Kesadaran stupor, GCS 4:
E1 M2 V1, pasien tampak sesak,
terdapat retraksi dinding dada, RR
28x/menit, TD 160/100 mmHg, Nadi
82x/ menit, S : 36°C. Klien terpasang
infus Nacl 500 ml loading kolf 2 dan
kateter urine produksi 100cc.
C. Pembahasan
1. Airway
Tindakan pemeriksaan jalan napas bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing dalam mulut. Pada
kasus management airway pada Tn. A, perawat menemukan data bahwa
suara nafas pasien awal masuk RS adalah gargling, yaitu suara nafas
seperti penumpukan cairan atau berkumur. Maka selanjutnya perawat
melakukan suction.
Hal ini sesuai teori Hudak & Gallo (2010) bahwa pasien dengan
cedera kepala seringkali menyebabkan penurunan kesadaran
sehingga diperlukan pemantauan terhadap sirkulasi, pernapasan, dan
jalan napas. Peningkatan tekanan inspirasi puncak pada ventilator dapat
mengindikasikan adanya perlengketan atau penyempitan jalan nafas oleh
sekret, juga menunjukkan kebutuhan untuk dilakukan tindakan suction.
Menurut Kelleher & Andrews dalam Wardani (2017) penghisapan
(suction) adalah aspirasi sekret melalui sebuah kateter yang
disambungkan ke mesin pengisap atau saluran pengisap yang ada di
dinding. Pengisapan dapat dilakukan melalui nasofaring, orofaring
dan intubasi endotrakeal. Suction adalah tindakan untuk
membersihkan jalan nafas dengan memakai kateter penghisap
melalui nasotracheal tube (NTT), orotracheal tube (OTT), tracheostomy
tube (TT) pada saluran pernafasan bagian atas, bertujuan untuk
membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum, merangsang
batuk, mencegah terjadinya infeksi paru.
Setelah dilakukan suction, suara nafas berubah menjadi stridor.
Dalam kasus dilakukan pemasangan OPA, namun hal ini tidak sesuai
dengan teori. Penatalaksanaan yang disesuaikan dengan kriteria Jackson:
Stadium I: pemberian terapi medikamentosa, Stadium II dan III
dilakukan intubasi endotrakeal dan tracheostomy, stadium IV dilakukan
krikotirotomi (Hermani & Abdurahman, 2015). Trakeostomi adalah gold
standar dalam pengobatan obstruksi jalan nafas atas, namun trakeostomi
memiliki komplikasinya sendiri baik jangka pendek maupun panjang.
Mengidentifikasi obstruksi jalan napas yang reversibel dan dapat diobati
secara medis adalah bijaksana. Obstruksi jalan napas adalah keadaan
darurat yang mengancam jiwa. Ini menyebabkan kesulitan parah pada
pasien. Selain itu, perlu diperhatikan, pada kasus pasien Tn. A
ditemukan tanda hematom dan multiple injuri sehingga harus menjaga
stabilitas tulang leher.
Dalam ATLS (2016), prioritas lain yang perlu dinilai dalam airway
atau jalan nafas, yaitu kelancaran jalan nafas. Intervensi pada airway ini
meliputi pemeriksaan adanya sumbatan pada jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea. Untuk membebaskan jalan nafas
harus melindungi vertebra servikal karena kemungkinan patahnya tulang
servikal harus selalu dipertimbangkan. Dalam hal ini dapat dikatakan
“chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi
dan rotasi dari leher korban (ATLS, 2016). Kemungkinan patahnya
tulang servikal dapat dicurigai bila ada:
a) Trauma kapitis, terutama jika korban mengalami penurunan
kesadaran.
b) Adanya luka karena trauma tumpul di atas tulang klavikula.
c) Setiap multi trauma (trauma pada 2 bagian atau lebih).
d) Waspada terhadap kemungkinan patah tulang belakang apabila
biomekanikal trauma mendukung.
Sehingga dalam kasus ini, pemasang neck coller pada pasien Tn. A
adalah langkah yang tepat untuk mencegah bertambahnya cedera
servikal, walaupun tidak ditemukan tanda lain seperti racoon eyes, dan
battle's sign.
2. Breathing
Breathing atau fungsi respirasi pada pasien trauma merupakan
intervensi penting saat penatalaksanaan pasien trauma. Fungsi respirasi
merupakan fungsi yang menjamin kebutuhan oksigenasi pada otak yang
sedang mengalami trauma (Bruijns et al., 2014). Pada kasus Tn. A,
penilaian breathing yang dilakukan adalah dengan cara Inspeksi,
Auskultasi, Perkusi, dan Palpasi. Maka didapatkan data pada saat
dilakukan infeksi, klien terlihat pergerakan dada simetris dengan retraksi
dinding dada (otot nafas tambahan), lalu saat klien di auskultasi dan
terdengar suara nafas vesikuler dengan RR 28x/menit, tidak terdapat
krepitasi pada tulang iga, setelah itu dilakukan perkusi dengan hasil
pemeriksaan suara sonor. Namun, berdasarkan kasus tersebut, tidak
ditemukan data SpO2 pasien saat sesak. Selain itu, pengkajian pernafasan
juga dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi
(Tyas, 2016).
Dari data yang ditemukan melalui teknik IAPP tersebut, maka
diagnosa yang diangkat dalam kasus ini adalah Pola nafas tidak efektif.
Pola napas tidak efektif ini terjadi karena inspirasi dan ekspirasi yang
tidak dapat memberi ventilasi yang adekuat. Diagnosa tersebut tegakkan
sebab ditemukan data tampak terdapat retraksi dinding dada dan
frekuensi pernafasan 28x/menit. Intervensi yang diberikan pada Tn. A
adalah memberikan terapi o2 dengan melakukan pemasangan nasal canul
dengan o2 sebanyak 5 lpm. Hasil tersebut diberikan sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi pasien pada saat datang ke IGD. Pemberian terapi
oksigen dengan menggunakan nasal canul memungkinkan penghantaran
oksigen dengan konsentrasi 95% (Marlisa, 2016). Setelah pemberian
oksigenasi selama 30 menit berada dalam kondisi normal dengan saturasi
oksigen 95%-100%. Semakin lama pemberian oksigenasi semakin
meningkatkan saturasi oksigen pasien cedera kepala (Takatalide et al,
2017). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ankita et al (2015) yang
menyimpulkan bahwa status oksigenasi pasien yang datang ke IGD dapat
mempengaruhi keberlanjutan kondisi pasien cedera kepala dan menjaga
keadekuatan oksigenasi dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap
prognosis pasien.

3. Circulation
Menurut ATLS (2012) pada korban yang mengalami perdarahan
dapat menimbulkan terjadinya syok, dimana pada penderita trauma
yang dicurigai terjadi hipovolemia. Oleh karena itu diperlukan adanya
penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita. Hasil
pemeriksaan Circulation pada Tn, A didapatkan tanda-tanda syok pada
klien, klien tampak pucat, akral dingin, CRT > 2 detik, mukosa bibir
kering, tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 82 x/m, suhu 36,0ºC. Maka
tindakan pemasangan infus NS 500 ml (loading) merupakan langkah
yang tepat untuk mencegah syok hipovolemik. Namun, berdasarkan
buku BTCLS (2017) apabila terdapat tanda dini syok harus diberikan
infus 2 line dengan cairan kristaloid yang sudah dihangatkan.
Pada kasus Tn. A, pasien hanya diberikan infus NS hanya dipasang
pada satu line saja dan tidak didapatkan data volume loading cairan
yang diberikan kepada pasien. Bila volume darah turun maka perfusi
otak juga berkurang sehingga dapat menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran. Wajah yang keabuabuan dan kulit ekstremitas pucat
(Anggraeni, 2014).

4. Disability
Hasil pengkajian dan pemeriksaan disability, kondisi Tn. A
mengalami penurunan kesadaran dan didapatkan hasil skor GCS 4 (E1,
M2, V1) dengan tingkat kesadaran stupor dan pupil anisokor.
Berdasarkan data tersebut, perawat menegakkan diagnosa keperawatan
Gangguan perpusi jaringan serebral. Menurut Sastrodiningrat (2006)
menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak teratur atau pupil
yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya disebabkan
karena kompresi 28 terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada
batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Menurut
Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Sehingga untuk
menentukan penatalaksaan pada pasien cedera kepala, perlu dilakukan CT
Scan kepala untuk melihat gambaran otak. Sehingga sebelum dipindahkan
ke ruang NAS, sebaiknya pasien dilakukan pemeriksaan penunjang, dalam
hal ini CTScan kepala. Sehingga dokter dapat menentukan tindakan
operasi yang akan dilaksanakan selanjutnya.

5. Exposure
Pada pemeriksaan Exposure yang dilakukan terhadap Tn. A,
perawat melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dengan
menanggalkan pakaian klien dan memeriksa apakah ada terdapat jejas
atau cedera di bagian tubuh. Hasil pemeriksaan juga ditemukan multiple
injuri yaitu jejas pada lengan dan kaki (tidak ada luka terbuka).
Hal ini sudah sesuai dengan teori Thygerson (2011) yaitu yang
perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal, setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat
dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperluka pemeriksaan ulang. Selain
itu, karena hasil TTV didapatkan S 36C, maka pasien diberikan selimut
untuk mencegah terjadinya hipotermi.

6. Foley Catheter
Pada kondisi ini Tn. A di pasangkan Foley kateter, namun sebelum
pemasangan DC, harus dipastikan bahwa tidak terdapat tanda rupture
uteri atau hasil auskultasi tidak ditemukan adanya prostat melayang.
Sedangkan pada tahap sebelumnya, Tn. A juga di pasangkan cairan infus
RL 500cc dengan tujuan untuk memantau output cairan dan memastikan
cairan output keluar sesuai dengan kebutuhan pasien. Selain itu,
pemasangan DC pada pasien trauma juga dilakukan untuk mengetahui
ada anuria akibat trauma yang bisa saja terjadi pada organ dalam pasien.
Pemasangan dower kateter merupakan salah satu solusi tindakan
medis untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih seseorang karena
ketidakmampuan pengeluaran urin secara spontan. Pada kasus-kasus
tertentu pemasangan dower kateter mutlak diperlukan. Pada pasien–
pasien dengan diagnosa medis seperti stroke, penyakit jantung (AMI,
IHD), fraktur servikal yang dapat menyebabkan kelemahan dan
keterbatasan aktivitas akan terpasang dower kateter (Hidayat dkk, 2017)
Pada kasus Tn. A perlu dilakukan pasangkan foley kateter, karena
pasien juga mengalami penurunan kesadaran. Hal ini sejalan dengan
penelitian Perdana dkk (2017) yang menjelasakan bahwa pemasangan
kateter perlu dilakukan untuk membantu keseimbangan cairan pada
pasien. Selain itu, dikhawatirkan juga terjadi distensi kandung kemih atau
retensi urin, anuria, dan hal lain yang disebabkan trauma atau syok
hipovolemik.

7. Gastric Tube
Pada kasus pasien Tn. A, tidak diketahui apakah pasien dilakukan
pemasangan NGT atau tidak. Namun, sebaiknya dipertimbangkan upaya
pemasangan NGT pada pasien, setelah ditemukan tanda cedera servikal,
seperti multiple injury yang salah satunya terdapat hematom di kepala.
Apalagi bila ditemukan tanda fraktur basis cranii, yang bisa
memperparah keadaan pasien bila dilakukan pemasangan NGT /
kontraindikasi.
Hal ini sejalan dengan teori Iskandar (2004), perlu dihindari
melakukan irigasi terhadap otorhea atau rhinorea karena akan
mempermudah terjadinya infeksi intrakranial, selain itu hindari
pemasangan NGT jika dicurigai terdapat anterior fossa skull base
fracture. Jika selama observasi, bisanya dilakukan 2 minggu, kebocoran
CSS tidak berhenti maka dillakukan operasi untuk memperbaiki
duramater yang bocor.
8. Heart Monitor
Pada pasien cedera kepala, lakukan pemasangan bed side monitor
yang dilakukan untuk memonitoring status hemodinamik pasien,
tekanan darah, nadi, respirasi, suhu, dan SpO2 selama observasi.

9. Imaginary
Smits M, dkk (2012) menyatakan bahwa sebagian besar pasien
CKR tidak menunjukkan abnormalitas pada hasil CT-Scannya,
sehingga tidak efisien apabila semua pasien cedera kepala dilakukan
CT-Scan untuk menyingkirkan kemungkinan cedera intrakranial.
Kriteria untuk pemeriksaan CT scan pada pasien cedera kepala telah
banyak dikembangkan antara lain NICE (National Institute Health for
Clinical Excellence), NOC (New Orleans Criteria), CCHR (Canadian
CT Head Rule) dan lain-lain, salah satu indikasi yang digunakan dalam
kriteria-kriteria tersebut adalah GCS.
Pada kasus Tn. A, pasien masih belum sadar dan direncanakan
pindah ke ruang NAS. Namun sebelum pindah, pasien akan dilakukan
CT Scan dan rontgen servikal untuk melihat tanda cedera kepala, cedera
servical atau bahkan fraktur pada ekstremitas yang mungkin saja terjadi
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni. (2014). Evaluasi Pelaksanaan Sistem Identifikasi Pasien di Instalasi


Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal Keperawatan, 99-104.
Ankita, S., Kunkulol, R., Meena, S, Sangle, A. (2015). Hypoxic Status And Its
Prognosis In Patients With Head Injury. Int J Med Res Health Sci. 4 No.3,
662-666.
Bruijns, S., Guly, H., Bouamra, O., Lecky, F., & Wallis, L. (2014). The value of
the difference between ED and prehospital vital signs in predicting
outcome in trauma. Emergency Medicine, 31, 579-582
Diklat Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118 (2012). Basic Trauma Life Support
and Basic Caridac Life Support. Edisi Lima.Jakarta : Yayasan Ambulans
Gawat Darurat 118.
Hermani B, Abdurrachman B. Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher.
In: Telinga Hidung Tenggorokan kepala dan Leher. 4th ed. Jakarta; 2015. p.
176–80.
Hidayat, Azis Alimul, S.Kp (2005). Kebutuhan Dasar Manusia. Edisi Revisi,
Buku Kedokteran. Jakarta : EGC
Hidayati dkk. (2007). Hubungan Antara Kualitas Perawatan Kateter Dengan
Kejadian Infeksi Nosokomial Saluran Kemih. Vol 1, No. 1.
Iskandar J. Patologi dan patofisiologi cedera kepala. In: cedera kepala. Jakarta:
PT. Buana Ilmu Populer; 2004. p.1-27.
Nanda. (2015). Deiagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi
10 . Jakarta: EGC.
Oktavia. (2015). Cara Mengatasi Kondisi Dawat Darurat Melalui Besic life
Support (BLS). Jurnal Gawat Darurat, 31-38.
Rahmatisa, Dimas, Sudadi, Bambang Suryono (2019). Tatalaksana Jalan Nafas
pada Pasien dengan Fraktur Listesis Servikal Tidak Stabil. Yogyakarta: FK
UGD
Tyas, C. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan dan Manajemen Bencana .
Jakarta: Kemenkes RI.

Anda mungkin juga menyukai