Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA TN.

E
DIIGD RSUD R. SYAMSUDIN, S.H KOTA SUKABUMI
TANGGAL 02 NOVEMBER 2018

Disusun oleh :

Amelia Marlina

C1AC20009

PRODI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI

2021
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Tn.E
Diigd Rsud R. Syamsudin, S.H Kota Sukabumi
Tanggal 02 November 2018
A. Survey Primer
1. Deskripsi Klien
Klien bernama Tn. E yang berusia 72 Tahun datang ke IGD RSUD
Sekarwangi Kabupaten Sukabumi, dibawa oleh keluaraganya pada tanggal
02 november 2018 pukul 08.43 WIB dengan kesadaran composmentis
GCS 15 (E4V5M6), klien langsung dibawa ke ruang Observasi Dalam IGD
untuk dilakukan pemeriksaan lanjut.
Pada pemeriksaan airway klien tampak gelisah, tidak sianosis, tidak
ada sumbatan jalan nafas dan tidak terdengar suara nafas tambahan,
sementara Airway Clear. Pada pemeriksaan breathing klien tampak sesak
berat didapatkan frekuensi nafas 38 x/menit, saturasi O2 75%, suara nafas
Ronchi, pengembangan dada simetris, tidak ada deviasi trakea, maka
dilakukan pemberian O2 NRM sebanyak 12x/Menit. Pada pemeriksaan
sirkulasi klien tampak pucat, akral teraba dingin, CRT <2 detik, mukosa
bibir kering, Tekanan darah 60/pp mmHg, nadi 132x/menit, Suhu 35oC.
Maka dilakukan kolaborasi pemasangan infus dengan cairan Ringer Laktat
(RL) diloading / guyur 1000cc. Pada pemeriksaan dissabiliy dilakukan
pemeriksaan GCS, dan didapat nilai GCS klien 11 (E 3 V4 M4), penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan exprosure tidak dilakukan Rogroll karena
klien non trauma. Pada pemeriksaan Folley Cateter terdapat distensi
kandung kemih. Maka dilakukan pemasangan kateter untuk mengeluarkan
urine dan memantau output cairan. Pada pemeriksaan Heart Monitor, Nadi
teraba cepat dan kecil, nafas tidak teratur, lalu pada pukul 08.50 WIB
dilakukan pemasangan heart monitor. Didapatkan hasil gambaran EKG
Wide QRS tachycardia with fussion complexes dan dilakukan kardioversi
Sync mulai 100 joule.
Pada tanggal 03 November 2018 pukul 22.00 WIB klien dipindahkan
ke ruang ICU dengan kondisi sadar dan sesak, Tekanan Darah 90/70
mmHg, Nadi 98x/menit, Respirasi 24x/menit, Suhu 36,4℃, SPO2 97%.
Untuk dilakukan observasi dan perawatan lanjutan.

2. Informasi pra hospital


-
3. Respon petugas UGD
Jam tiba Pasien Respon Petugas (dalam menit)

Dokter Perawat Trauma team

08. 43 WIB 1 menit 1 menit 1 menit

4. Pengkajian dan Resusitasi


Ketua Tim Gadar : - Anggota Tim : -
Data Action Respon
Airway
Jam 08.43 WIB klien tiba di IGD
DS: tidak dapat dikaji
DO:
1. Klien tampak gelisah - -
2. Tidak sianosis
3. Tidak ada sumbatan jalan nafas
4. Tidak terdengar suara nafas
tambahan
Dx Keperawatan:
Airway clear sementara
Breathing Jam 08. 45 WIB Jam 08.45 WIB
Jam 08.44 WIB Dilakukan pemberian O2 Klien terpasang okesigen
DS: NRM sebanyak 12Lx/Menit NRM 12Lx/mnt
DO:
1. Klien tampak sesak berat
2. Frekuensi nafas 38 x/menit
3. Saturasi O2 75%
4. Suara nafas Ronchi,
5. Pengembangan dada simetris
6. Tidak ada deviasi trakea
Dx Keperawatan: Kesimpulan:
Bersihan jalan nafas tidak efektif Breathing clear sementara
Circulation Jam 08.47WIB Jam 08.47 WIB
Jam 08.46 WIB Dilakukan pemasangan Klien terpasang infus
DS: infus dengan cairan Ringer
DO: Laktat (RL) diloading /
1. Klien tampak pucat guyur 1000cc.
2. Akral teraba dingin
3. CRT <2 detik
4. Mukosa bibir kering
5. TTV
Tekanan darah 60/pp mmHg,
Nadi 132x/menit
Suhu 35oC
Dx Keperawatan:
Resiko syok Kesimpulan:
Circulation clear sementara

Disability Jam 08.48 WIB Jam 09.48WIB


Jam 08.48 WIB Dilakukan pemeriksaan GCS 11 (Somnolen)
DS: kesadaran GCS E (3): membuka mata
DO: karena printah
1. Klien mengalami penurunan M (4): menghindar dari
kesadaran nyeri
2. GCS klien 11 (E3 V4 M4), V (4): bingung, berbicara
Dx Keperawatan: mengacau
Penurunan kapasitas adaptif
intracranial
Kesimpulan:
Disability clear sementara
Exposure - -
Jam 08.48 WIB
DS:
DO:
1. Tidak ada trauma pada klien
Dx Keperawatan:
Exposure Clear

Foley Cateter Jam 08.49 WIB Jam 08.49 WIB


Jam 08.48 WIB Dilakukan Pemasangan Pengeluaran urine lancer
DS: Folley Cateter
DO:
1. Saat palpasi teraba distensi
kandung kemih
Dx Keperawatan: Kesimpulan:
Gangguan eliminasi urin Foley Cateter Clear
sementara
Gastric Tube - -
Jam 08.49 WIB
DS:
DO:
1. Tidak ditemukan masalah
Dx Keperawatan:
Gastrib Tube Clear
Heart Monitor Jam 08.50 WIB Jam 08.52 WIB
Jam 08.49 WIB Dilakukan pemasangan
Didapatkan hasil gambaran
DS: heart monitor
EKG Wide QRS
DO:
tachycardia with fussion
1. Nadi teraba cepat dan kecil Jam 08.54 WIB
complexes
2. Nafas tidak teratur Dilakukan kardioversi sync
Dx Keperawatan: mulai 100 joule
Penurunan curah jantung Kesimpulan:
Heart Monitor Clear
sementara

B. Survey Sekunder
1. Riwayat AMPLE (Alergi, medication, past illness, last meal, event)
a. A (Alergi): Keluarga klien mengatakan klien tidak memiliki alergi
terhadap makanan maupun obat-obatan
b. M (Medication): Keluarga klien mengatakan klien tidak sedang
mengalami pengobatan dan tidak mengonsumi obat-obatan jenis
tertentu
c. P (Past illness): Keluarga klien mengatakan klien sebelumnya tidak
memiliki penyakit
d. L (Last meal): Keluarga klien mengatakan makanan yang terakhir
dimakan oleh klien adalah nasi dan sayur
e. E (Event): Keluarga klien mengatakan klien tinggal bersama istri dan
anak-anaknya

2. Head to toe evaluation


a. Kulit kepala
Kepala simetris, rambut dan kulit kepala bersih, tidak terdapat lesi
b. Mata
Mata kiri dan kanan simetris, tidak ada cedera cornea, pupil isokor
c. Hidung
Hidung simetris, tidak ada pengeluaran cairan atau darah, terpasang
NRM 12Lx/menit
d. Mulut
Mulut simetris, mukosa bibir kering, gigi bersih,
e. Leher
Leher tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembengkakan vena jugularis
f. Dada
Tidak ada retraksi dinding dada, pengembangan dada simetris
g. Abdomen
Abdomen tidak ada nyeri tekan, akral dingin
h. Ekstremitas Atas
Bentuk tangan antara kiri dan kanan simetris, CRT < 2 detik, tidak ada
nyeri tekan, tidak ada luka dan tidak ada edema
i. Ekstremitas Bawah
Bentuk kaki kiri dan kanan simetris, CRT <2 detik, tidak ada nyeri
tekan, tidak ada luka dan tidak ada edema
j. Genetalia
Terpasang kateter
k. TTV
Tekanan darah 60/pp mmHg, Nadi 132x/menit, RR 38x/menit, Suhu
35oC

3. Prosedur Diagnostik
-
4. Proses Rujukan
Pada tanggal 03 November 2018 pukul 22.00 WIB klien dipindahkan
ke ruang ICU dengan kondisi sadar dan Sesak, Tekanan Darah 90/70
mmHg, Nadi 98x/Menit, Respirasi 24x/Menit, Suhu 36,4 oC, SPO2 97%,
terpasang infus RL, terpasang oksigen NRM 12Lx/mnt, terpasang foley
cateter. Untuk dilakukan observasi dan perawatan lanjutan.
C. PEMBAHASAN
1. Airway
Pada proses keperawatan yang pertama kali dilakukan yaitu
pengkajian airway yang dilakukan pada Tn. E dengan teknik look, listen
and feel. Dari pemeriksaan airway tersebut didapatkan hasil bahwa tidak
terdapat gangguan apapun yaitu tidak sianosis, tidak ada sumbatan jalan
nafas dan tidak terdengar suara nafas tambahan, klien sadar dapat diajak
bicara, dan tampak gelisah. Menurut Rini (2019) pengkajian dalam airway
manajement dilakukan dengan cara look, listen and feel. Look yaitu
melihat gerakan napas atau pengembangan dada dan retraksi iga. Listen
yaitu mendengarkan aliran udara pernafasan dan dengarkan apakah ada
bunyi nafas tambahan seperti snoring, stridor, atau gurgling. Feel yaitu
merasakan adanya aliran udara pernafasan. Jika pasien dapat berbicara
dengan normal tanpa adanya bunyi nafas tambahan itu menandakan tidak
ada sumbatan pada jalan nafas atas atau airway clear. Berdasarkan teori
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengkajian yang telah dilakukan
perawat sudah sesuai dengan teori.
Data yang ada dalam kasus Tn. E tidak mencantumkan bahwa pasien
dapat berbicara, namun jika dilihat dari kesadaran pasien terdapat data
nilai verbal pasien adalah 5 yang menandakan orientasi klien masih baik
dan bisa berbicara dengan jelas. Data tersebut didukung juga dengan tidak
tampaknya ada sumbatan pada jalan nafas, tidak adanya benda yang
menghalangi jalan nafas, tidak adanya suara nafas tambahan. Maka dari
itu perawat menarik kesimpulan airway clear. Sesuai dengan teori
menurut AHA 2017 yang menyatakan manajemen airway dilakukan untuk
mengetahui adanya sumbatan pada jalan nafas yang ditandai dengan
adanya suara nafas tambahan seperti gurgling, snoring, dan stridor.
Kesimpulan yang diambil oleh perawat sudah sesuai dengan teori karena
pada pasien tidak terdapat data yang menandai adanya sumbatan jalan
nafas, maka tidak dilakukan intervensi apa-apa.
2. Breathing
Pada proses pengkajian dilakukan pemeriksaan breathing pada Tn. E
dengan menggunakan teknik IAPP (Inspeksi, Auskultasi, Palpasi dan
Perkusi). Pada pemeriksaan inspeksi klien tampak sesak berat, didapatkan
frekuensi nafas 38x/menit, saturasi O2 75% dan pergerakan dinding dada
tampak simetris, auskultasi terdapat suara nafas ronchi, palpasi tidak ada
deviasi trakea, perkusi paru terdengar sonor. Tindakan pengkajian yang
dilakukan oleh perawat diatas sudah benar, sesuai dengan teori yang
dijelaskan oleh Tyas (2020) bahwa pengkajian breathing adalah
pengkajian yang dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi. Bila perlu
auskultasi dan perkusi. Inspeksi dada korban: jumlah, ritme dan tipe
pernafasan, kesimetrisan pengembangan dada, jejas/kerusakan kulit,
retraksi intercostalis. Palpasi dada korban: Adakah nyeri tekan, adakah
penurunan ekspansi paru. Auskutasi: bagaimanakah bunyi nafas (normal
atau vesikuler menurun), adakah suara nafas tambahan seperti ronchi,
wheeing, pleural friksionrub. Perkusi, dilakukan didaerah thorak dengan
hati-hati, beberapa hasil yang akan diperoleh adalah sebagai berikut: sonor
(normal), hipersonor atau timpani bila ada udara di thorax, perak atau
dullnes bila ada konsolidasi atau cairan.
Dalam proses keperawatan setelah dilakukan pengkajian maka
dilakukan penegakan diagnose keperawatan. Dimana dari hasil pengkajian
perawat mengambil diagnose yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif.
Sesuai dengan teori dalam SDKI (2017) bahwa bersihan jalan nafas tidak
efektif adalah ketidak mampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan
napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten, yang dapat dilihat
dari gejala dan tanda nya terdapat mengi, wheezing atau ronchi, gelisah,
frekuensi napas berubah, pola napas berubah.
Dari diagnose tersebut maka intervensi dan implementasi atau action
yang dilakukan perawat yaitu dengan pemberian oksigen NRM sebanyak
12Lx/menit. Berdasarkan pengkajian didapat nilai SpO2 75% maka dari
itu dilakukan pemberian O2 dengan NRM. SpO2 merupakan presentasi
hemoglobin yang berkaitan dengan oksigen arteri, dimana saturasi oksigen
normal yaitu 95-100%. Dapat disimpulkan bahwa tindakan tersebut sudah
sesuai dengan teori. Adapun penelitian yang mendukung yaitu penelitian
Guyton dalam Marisa (2016) terapi oksigen dengan menggunakan Non-
Rebreathing Mask (NRM) memungkinkan penghantaran oksigen dengan
konsentrasi 95%. Hal ini akan menyebabkan peningkatan ekresi CO2 dan
menurunkan konsentrasi CO2 dengan cepat. Diperkuat oleh teori I putu
gede (2017) bahwa NRM dapat meningkatkan saturasi O2 dapat
meningkatkan saturasi O2 95-100%. Karena saturasi O2 klien tergolong
rendah maka dilakukan penggunaan NRM.
Terdapat kesenjangan pada kasus Tn. E dimana pada data terdapat
suara nafas ronchi tetapi perawat tidak memberikan intervensi dan
implementasi yang kedua yang dapat mengatasi masalah tersebut, untuk
mengatasi bersihan jalan nafas tidak efektif pada pasien dilakukan
tindakan keperawatan guna untuk mengurangi penumpukan secret, sesuai
dengan teori Aslinda (2019) menyatakan bahwa bunyi nafas ronchi
disebabkan adanya penumpukkan secret kental dan peningkatan produksi
sputum yang mengakibatkan sumbatan pada jalan nafas. Menurut
Kauanang, dkk (2016) bunyi nafas ronchi berasal dari bronki yang lebih
besar atau trakea dan mempunyai bunyi yang berpuncak pada pasien yang
mengalami penurunan sekresi, hal ini disebabkan adanya secret yang
menutupi jalan nafas.
Dalam teori pada buku SIKI (Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia) (2018) menyatakan bahwa jika terdapat suara ronchi dan
diagnose bersihan jalan nafas tidak efektif tindakan keperawatan yang
harus dilakukan diantaranya yaitu melakukan latihan batuk efektif,
manajemen jalan nafas, pemantauan respirasi, dan dilakukan penghisapan
jalan nafas. Sejalan dengan teori NIC NOC yang menjelaskan bahwa
ketika terdapat diagnose keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif hal
yang perlu dilakukan yaitu tindakan fisioterapi dada jika perlu dan
keluarkan secret dengan batuk efektif atau suction. Dalam hal ini
dikarenakan pada kasus Tn. E mengalami penurunan kesadaran hal yang
paling tepat dilakukan yaitu mengeluarkan secret dengan suction. Sejalan
dengan teori Sari & Ikbal (2019) menjelaskan suction adalah suatu cara
untuk mengeluarkan secret dari saluran nafas dengan menggunakan
kateter yang dimasukkan melalui hidung atau rongga mulut kedalam
pharing atau trachea. Sehingga setelah dilakukan tindakan suction saturasi
oksigen akan meningkat, hal ini diakibatkan terbebasnya jalan nafas
terhadap akumulasi secret menjadikan perpindahan oksigen dari atmosfir
kedalam paru menjadi sangat efektif.
Hasil evaluasi klien pada saat akan di pindahkan ke ICU klien masih
dalam keadaan sesak namun RR sudah 24x/mnt dan SPO2 97%. Sehingga
dapat disimpulkan bahawa untuk breathing clear sementara.

3. Circulation
Setelah pengkajian breathing, maka dilakukan pengkajian circulation,
Pada pemeriksaan sirkulasi pada Tn. E, klien tampak pucat, akral teraba
dingin, CRT <2 detik, mukosa bibir kering, Tekanan darah 60/pp mmHg,
nadi 132x/menit, Suhu 35oC. tindakan pengkajian yang perawat lakukan
sudah sesuai dengan pernyataan Hamarno, dkk (2017) pada pengkajian
circulation adalah lakukan pengkajian tekanan darah, denyut nadi,
keadaan akral: dingin atau hangat; sianosis.
Setelah dilakukan pengkajian dilakukan penegakan diagnose, perawat
mengambil diagnose yaitu resiko syok. Data yang didapat mengarah pada
tanda adanaya resiko syok, yang ditandai dengan adanya hipoksia,
hipeksemia, takikardi, akral dingin, juga ada tanda dehidrasi yang dilihat
dari mukosa bibir yang kering. Tanda gelaja pada Tn. E terjadi akibat
kurangnya pasokan cairan yang membawa O2 ke seluruh jaringan atau
perfusi jaringannya tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya syok. Maka dari itu perawat mengambil diagnose
keperawatan resiko syok. Sesuai dengan teori dalam buku SDKI (standar
Diagnosa Keperawatan Indonesia) (2017). Resiko syok adalah berisiko
mengalami ketidakcukupan aliran darah ke jaringan tubuh, yang dapat
mengakibatkan disfungsi seluler yang mengancam jiwa dengan faktor
resiko pasien dengan kekurangan volume cairan, hipoksia, hipoksemia.
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa diagnose
keperawatan yang diangkat oleh perawat sudah sesuai teori.
Dari diagnose tersebut, perawat meberikan intervensi dan
implementasi pada tindakan pertama yaitu memberikan resusitasi cairan
infus dengan cairan Ringer Laktat (RL) di loading/guyung 1000cc pada
kasus Tn. E, ini sesuai dengan teori menurut Enita Dewi (2016)
menyatakan pada kasus pasien mengalami hipotensi dan atau kondisi tidak
stabil harus pertama kali diresusitasi, resusitasi cairan yang diberikan yaitu
dengan ringer laktat. Ringer laktat merupakan cairan kristaloid yang
bersifat isotonis, sehingga dapat menggantikan cairan yang hilang. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya syok pada pasien.
Hasil evaluasi pada kasus Tn. E pada saat akan dilakukan pemindahan
ke ruang ICU yaitu terdapat TD 90/70 mmHg Nadi 98x/mnt dan suhu
36,4oC.

4. Disability
Pada pemeriksaan dissabiliy dilakukan pemeriksaan GCS, dan didapat
nilai GCS klien 11 (E3 V4 M4), penurunan kesadaran. Pengkajian yang
dilakukan perawat tersebut sudah benar sesuai dengan teori Subing &
Ariffatin (2015) Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh trauma
langsung pada otak atau penurunan oksigen ke otak, jika terjadi penurunan
harus dilakukan reevaluasi terhadap keadaan oksigen, ventilasi dan
perfusi. GCS (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang
sederhana dan dapat menilai derajat/ tingkat kesadaran penderita dengan
kriteria yang secara kuantitatif dan terpisah yaitu respon membuka mata
(E), respon motoric terbaik (M) dan respo verbal terbaik (V). Tetapi pada
pengkajian Tn. E masih kurang karena seharusnya pada penilaian
disability meliputi tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
Dari hasil pengkajian perawat menegakan diagnose yaitu Penurunan
kapasitas adaptif intracranial, sesuai dnegan teori dalam buku SDKI
(standar Diagnosa Keperawatan Indonesia) (2017) yaitu, tekanan darah
meningkat, nadi meningkat, pola nafas ireguler, tingkat kesadaran
menurun, pupil isokor, ferleks neurologis terganggu. Dalam kasus ini
perawat melakukan tindakan pengkajian pemeriksaan kesadaran,
pemeriksaan GCS, pemeriksaan pupil.
Kemudian intervensi serta implementasi yang dilakukan yaitu
pemeriksaan kesadaran meliputi GCS dengan nila GCS 11 dan tingkat
kesadaran somnolen. Sesuai dengan teori BT&CLS (2015) beberapa
intervensi yang perlu diberikan yaitu pemeriksaan reflex pupil dan
kekuatan otot motoric, karena pupil yang tidak sama besar kemungkinan
menandakan adanya suatu lesi masa intra-kranial (perdarahan). Dan juga
diperkuat oleh teori dalam buku SIKI (Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia) (2018) yaitu mengidentifikasi dan mengelola peningkatan
tekanan dalam rongga kranial, dengan melkaukan tindakan monitor
tanda/gejala peningkatan TIK seperti tekanan darah meningkat, tekanan
nadi melebar, bradikardi, terjadi penurunana kesadaran.
Evaluasi dari kasus ini yaitu pada Tn. E pada saat akan dilakukan
pemindahan ke ruang ICU bahwa klien dengan kondisi sadar.

5. Exposure
Pada pemeriksaan exprosure pada Tn. E pasien bukan merupakan
pasien trauma, maka dari itu tidak dilakukan Logroll. Apa yang dilakukan
perawat sudah sesuai dengan teori menurut Thygerson dalam Kistan
(2018) pada pengkajian exposure dilakukan dengan meninggalkan pakaian
pasien dan memeriksa cedera pada pasien, jika pasien diduga memiliki
cidera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan logroll ketika melakukan pemeriksaan pada
punggung. Hal ini sejalan dengan teori Suarningsih (2017) yang
menyatakan bahwa Logroll adalah sebuah tehnik yang digunakan untuk
memiringkan klien yang badannya setiap saat dijaga posisi lurus sejajar,
untuk klien yang mengalami cidera spinal untuk mencegah terjadi cidera
tambahan. Tetapi tidak dilakukan logroll jika tidak terdapat trauma namun
akan dilakukan log roll pada klien dengan trauma. Masalah keperawatan
tidak ada maka tidak dilakukan intervensi.
Hasil evaluasi pada Tn. E tidak adanya trauma maka tidak
dilakukannya tindakan logroll

6. Foley Cateter
Pada pemeriksaan Folley Cateter dilakukan palpasi dan terdapat
distensi kandung kemih. Adanya distensi kandung kemih menandakan
adanya penumpukan urine yang belum keluar dan tertahan dikandung
kemih. Klien mengalami penurunan kesadaran sehingga membuat klien
tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara mandiri. Pengkajian
yang dilakukan perawat pada pengkajian foley cateter ini sudah benar
sesuai dengan teori yang dijelaskan Hariati (2019) yaitu tentang teori
keseimbangan cairan, maka memonitor status cairan intake untuk
mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada
keseimbangan cairan yang keluar dan yang masuk ke dalam tubuh, karena
adanya pertukaran cairan antar kompartemen dan antara tubuh dengan
lingkungan luarnya.
Dari hasil pengkajian dapat ditegakan diagnose yaitu gangguan
eliminasi urin, sesuai dengan teori dalam buku SDKI (Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia) (2017) gangguan eliminasi urine yaitu terjadinya
disfungsi eliminasi urine, terdapat gejala atau tanda seperti distensi
kandung kemih, berkemih tidak tuntas dan volume residu urine, maka
pendiagnosaan yang dilakukan perawat sudah sesuai dengan teori.
Maka perawat melakukan intervensi dam implementasi yaitu
dilakukannya tindakan pemasangan folley cateter. Pemasangan foley
cateter yang dilakukan oleh perawat sudah benar, sesuai dengan teori yang
dalam Hasanah, dkk (2015), pemasangan kateter merupakan solusi yang
paling sering dilakukan untuk mengosongkan kandung kemih. Selaras
dengan teori Japardi dalam Aji (2017) yang menyatakan bahwa indikasi
pemasangan kateter urine diantaranya adalah mengurangi
ketidaknyamanan akibat distensi kandung kemih, obstruksi saluran kemih,
untuk memantau output urine, irigasi vesika urinaria, retensi urine dan
sebagainya.
Hasil evaluasi dari tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu pada
Tn. E saat dipalpasi tidak mengalami distensi kandung kemih, dan urin
mengalir lewat selang kateter.
7. Gastric Tube
Pada pemeriksaan gastric tube yang dilakukan perawat terdapat
kesenjangan, dimana Tn. E mengalami penurunan kesadaran sehingga
perlu diberikan tindakan atau action yaitu pemasangan nasogastric tube
(NGT) untuk menghindari terjadinya resiko aspirasi. Sesuai dengan teori
dalam buku Yayasan Ambulan GADAR 118 (2018) bahwa pemasangan
gastric tube dapat mencegah resiko aspirasi terutama pada pasien
penurunan kesadaran. Dalam hal ini seharusnya perawat melakukan
penegakan diagnose resiko aspirasi, sejalan dengan buku SDKI (2017)
bahwa karakteristik resiko aspirasi yaitu penurunan kesadaran, penurunan
reflex muntah atau batuk, kerusakan mobilitas fisik.
Maka dari itu, untuk mengatasi resiko aspirasi tersebut, intervensi dan
implementasi yang perlu dilakukan yaitu pemasangan nasogastric tube
(NGT) sejalan dengan teori Padma, dkk (2017) yang menyatakan bahwa
pemasangan NGT harus dilakukan jika pasien mengalami dispagia atau
mengalami resiko aspirasi.

8. Heart Monitor
Pada pemeriksaan Heart Monitor Tn. E, didapatkan hasil nadi teraba
cepat dan kecil, nafas tidak teratur, didapatkan hasil gambaran EKG Wide
QRS tachycardia with fussion complexes dan dilakukan kardioversi Sync
mulai 100 joule. Pengkajian perawat sudah sesuai dengan teori Siaga
(2018) EKG takikardi QRS lebar dengan kompleks fusi merupakan
gambaran dari ventrikel takikardi. Takikardi ventrikel (TV) merupakan
penyakit yang mengancam nyawa jika tidak mendapatkann penanganan
secara tepat dan segera. Pada pemeriksaan EKG 12 lead dapat ditemukan
kelainan yang mendukung adanya TV diantaranya disosiasi trioventikular,
fusion and capture beat, kompleks QRS melebar, northwest axsis, left
bundle branch blok (LBBB) dengan axis deviasi kekanan, dan tidak
adanya kompleks RS pada lead precordial. TV ditandai dengan ritme
jantung cepat berasal dari ventrikel dibawah berkas His, pada miokardium
atau keduanya, TV dapat ditangani dengan terapi obat aritmia, implantable
cardioverter defibrillasi (ICD), dan ablasi kateter. Pengkajian yang
dilakukan perawat sudah benar diperkuat dengan buku Yayasan Ambulan
Gawat Darurat 118(2018) menyatakan bahwa fungsi heart monitor untuk
mengobservasi tanda-tanda vital.
Diagnosa yang ditegakan sesuai hasil pengkajian tersebut yaitu
penurunan curah jantung, sesuai dengan buku SDKI (2017) penurunan
curah jantung yaitu yang menyatakan bahwa ketidakadekuatan jantung
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, dengan
ditandai dan gejala yaitu perubahan tekanan darah menurun, nadi teraba
lemah, warna kulit pucat, terjadi gambaran EKG aritmia atau gangguan
konduksi.
Oleh karena itu pada intervensi dan implementasi yang dilakukan
perawat yaitu dilakukan pemasangan heart monitor. Pemasangan heart
monitor sudah benar sesuai dengan teori Asmoro (2017) menyatakan
bahwa manajemen yang dilakukan pada penurunan curah jantung adalah
dengan monitor frekuensi dan irama jantung, EKG, SPO2 dan juga O2.
Selaras dengan teori Utomo (2019) bahwa heart monitor adalah sebuah
peralatan elektronik yang efektif untuk mengamati fungsi jantung yang
dapat memantau tanda-tanda vital tersebut yang dinilai dari fungsi
fisiologis manusia yang terdiri dari tekanan darah, suhu tubuh, saturasi
oksigen, denyut nadi, dan laju pernafasan,
Maka hasil evaluasi dari implementasi tersebut, yaitu tekanan darah
90/70 mmHg, Nadi 98x/menit, Respirasi 24x/menit, Suhu 36,4℃, SPO2
97%.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, B.P (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Aromaterapi Lavender
Terhadap Tingkat Nyeri Pada Klien Saat Pemasangan Kateterisasi Urine di
Ruang IGD RSUD Prof. Dr: Margono Soekarjo Purwoketo. Purwoketo:
Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Purwokerto
American Heart association (AHA). (2017). Health Care Research: Coronary Hearth
isease
Asmoro, D.A (2017). Asuhan Keperawatan Pasien Congestive Heart Failure (CHF)
dengan Penurunan Curah Jantung Melalui Pemberian Terapi Oksigen di
Ruang ICU PKU Muhammadiyah Gmbong: Karya Tulis Ilmiah STIKES
Muhammadiyah Gombong
Dewi Enita & Rahayu Sri (2016). Kegawatdaruratan Syok Hipoolemik
BT& CLS. (2015). Buku Panduan BT & CLS (Basic Trauma Life Support and Basic
Cardiac Life Support) Edisi Keenam. Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118
Hamarno, dkk (2017). Triage & Pengkajian Keperawatan Gawat Darurat. Bppdsmk.
KemKes
Hariati (2019). Analisa faktor-faktor resiko terjadinya infeksi saluran kemih pada
pasien yang terpasang Kateter. Universitas Sumatra Utara. Medan
Hasanah, R, Sasmiyanto & Handayani, L.T (2015). Pengaruh mobilisasi Dini
Terhadap Pemulihan Kandung Kemih Pasca Pembedahan Anastesi Spinal
di Ruang Bedah RSD Balung Jamber
Kistan. (2018). Rangkuman Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.
Makassar: BITREAD Publishing
Marlisa, M (2016). Pengaruh Pemberian Terapi Oksigen Dengan Menggunakan
Non- Reabrheting Mask (NRM) Terhadap Nilai Tekanan Parsial CO2
(PaCO2) Pada Pasien Cidera Kepala Sedang (Moderate Head Injury) Di
Ruang Intensive Care Unit (ICU). RSUP H Adam Malik Medan
Maya, I., G., N., I (2017). Terapi Oksigen. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
RSUP Sanglah Denpasar
Padma, R. GC,. Pinzon, R.T,. Ari (2017). Kejadian dispagia saat Masuk Rumah Sakit
SEbagai Faktor Prognosis Buru Luaran Klinis Pasien Stroke. CKD-248/Vol
44 Tahun 2017
Rini, I. S., Suharsono, T., Ulya, I., Sryanto, Kartikawati, D., & Fathoni, M. (2019).
Buku Ajar Keperwatan Pertolongan Pertama Gawat Darurat (PPGD).
Malang: UB Press
Sari & Ikbal (2019). Pengaruh Tindakan Suction Terhadap Perubahan Saturasi
Oksigen Pada Pasien Penurunan Kesadaran diRuang ICU Rumah Sakit
Islam Siti Rahmah Padang.Vol.1
Siagian, L. A., (2018). Tatalaksana Takikardia Ventrikel. CDK-268/ Vol.45 No. 9
th. 2018
Suarningsih, N., K., A (2017). Pelaksanaan Teknik Memindahkan Pasien Trauma.
Universitas Udayana
Subing, D.M., & Ariffatin, F. (2015). Kurikulum Pendidikan Dan Pelatihan
Perhipunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia. Staf
Pendidikan Dan Pelathian
Tim Pokja SDKI PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tyas, C (2020). Keperawatan Kegawatdaruratan dan Manajemen Bencana. Jakarta:
Kemenkes RI
Utomo, Negoro, dkk (2019). Monitoring Heart Rate Dan Saturasi Oksigen Melalui
Smartphone. Jurnal SIMETRIS, Vol. 10 No.1
Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118 (2018). Basic Trauma Life Support & Basic
Cardiac Life Support. Yayasan Ambulance 118: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai