Anda di halaman 1dari 20

Laporan tutor kelompok 7

R. Varidianto Tjahjono,dr., M.Kes


(TUTOR)

20170410008 NGAKAN MADE RAMA W


20170410036 MANATA WIJAYA SASMITA
20170410042 ANNISA RAHMADINI
20170410043 ANNE MARIA GRACIELA
20170410049 ARLINNA RAHMANDA Y P
20170410066 IVAN MARDINATA PRAKARSA
20170410069 CLARESTA AUDREY W H
20170410075 ROBBY FAHMI AKBAR SUGIARTO
20170410107 MENTARI NATA KUSUMA
20170410123 KADEK ARIS SAPUTRA MULYA
20170410170 MOHAMMAD KALAZNYKOV
20170410173 AYU INDRA ATRYADI ATMAJA
20170410175 PUTU PRADIKA APRIANO

PROBLEM HIPOTESIS MEKANISME MOR IDK LI


E
INFO

 Laki-laki 68 tahun, datang ke RS RSAL - Shock 1. Definisi Shock


Bersama istrinya dengan tidak sadarkan 2. Klasifikasi/macam-
diri macam Shock
 2 hari yg lalu mengeluh batuk, demam, 3. Jelaskan macam-
malaise dan kehilangan nafsu makan. macam Shock
Dokter menyarankan pasien untuk ke 4. Macam-macam
rumah sakit karena kondisi yg lemah. Shock menurut
Dokter memberikan beberapa obat, satu etiologi
diantaranya antibiotic. Saat di rumah 5. Komponen2 apa
keluhannya meningkat : mual, muntah, yg berpengaruh
demam tidak turun. 2 jam sebelum ke thd tekanan darah
rumah sakit, pasien tidak sadarkan diri. 6. Kriteria Kasus
 RPD : Batuk, nafas pendek, diabetes dan emergency (buku
hipertensi. Pasien tetap meminum obat ajar IPD)
diabetes dan hipertensi 7. Bagaimana
 RPK : Tidak ada keluarga yg mengalami penanganan awal
penyakit yg sama dari kondisi
 RSos : Pasien merupakan pegawai sipil, darurat
memiliki BPJS 8. Definisi infeksi,
 Pem Fisik: inflamasi, sirs,
GCS: E2V3M3 sepsis, severe
Vital sign: sepsis (septic
BP = 80/50 mmhg syndrome)
Pulse = 112b/min 9. Etiologi septic
Shock
T = 38,5 C
10. Patofisiologi
RR = 32x/min
septic Shock
11. Jelaskan
Thorax: mengenai
Cor: DBN perubahan sepsis
Pulmo: (patologi klinik)
- Palpasi: Stem fremitus kanan kiri 12. Jelaskan
meningkat mengenai CRP
- Perkusi: kanan kiri dullness 13. Jelaskan
- Auskultasi: Rales + mengenai
Abdomen: DBN Procalcitonin
14. Management
Ekstremitas: DBN
secara umum
Neurologic: DBN terhadap Shock
15. Management
septic shock
16. Farmakologi
 Pem Lab: mengenai obat2
Hb = 13,5 g/dl levofloxacin,
HCt (PCV) = 40 % metronidazole
Leukosit = 17.200 /mm3 17. Indikasi NGT,
Trombosit = 250.000/mm3 kontra indikasi ngt
Diff Count = -/-/10/60/30/- 18. Komplikasi septic
Random Blood glukosa = 275 mg/dl shock (Co:
Urine : PH = 6,8; Warna = kuning; reduksi -, kegagalan fungsi
protein – Sedimen = Eritrosit (0-1/hpf); organ2 tubuh)
leukosit (2-3/hpf) 19. Apa itu tanda2
Foto thorax = suspek broncopneumonia kegagalan fungsi
Kultur dan tes sensitifitas antibiotic : organ
20. Prognosis
- Substansi = sputum
21. Preventif
- Hasil kultur = streptococcus
pneumoniae
- Test kepekaan antibiotic
Aminoglycoside:

-Gentamycin I
Beta lactam inhibitor
combination:

-Amoxycilin clavulanic acid


R
- Piperacillin tazobactam
R

Fluoroquinolon :

-levofloxacin S

- Nalidixic acid S
Fosfomycin:

-fosfomycin R

Glucopeptide:

-Teicoplanin S

- Vancomycin S

S : Sensitive

I : Intermediate

R: Resisten

- Pak sabar masuk ke ICU RS dengan


management
- Oksigen 2-4 L/m
- Levofloxacin 1x 750mg
- Metronidazole 3x500mg
- Fluid infusion NaCl 0,9% loading 250 ml,
continued 30 drops/minutes
- Paracetamol infus 1000mg
- Rapid insulin 3x4 unit.
- NGT.
Hari kedua perawatan di ICU, kondisi pak
sabar mulai membaik, Pemeriksaan fisik di
hari ke 2 :

- GCS 4-5-6
- Vital sign :
BP = 110/80 mmHg
Pulse = 88b/min, regular
T = 36,8 C
RR = 20x/min
- Eye : Konjungtiva = pale -; sclera =
ikterik -; pupil = 2cms
- Mulut : NGT administration
- Cor/pulmo : normal
- Abdomen : normal
- Ekstremitas Warmth +/+
 Setelah 5 hari perawatan khusus di rumah
sakit, pak sabar terlihat sehat dan
diperbolehkan pulang

1. Definisi hipotesa
 Shock kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravascular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan.
 Shock hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi akibat dari volume
darah dalam pembuluh darah yang berkurang.
 Shock anafilaktik adalah manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai
dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah.
 Shock septic adalah keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah disertai
tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resustasi cairan secara
adekuat atau memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah
dan perfusi organ (tekanan darah sistolik kurang dari 90mmHg atau penurunan
tekanan dara sistolik lebih dari 40mmHG)
 Shock neurogenik adalah keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah,
kegagalan perfusi, dan hipoksia jaringan. Syok neurogenik terjadi akibat tonus
vasomotor yang tidak adekuat. (triad hemodinamik : hipotensi, bradikardi, dan
vasodilatasi perifer)
 Koma diabetic adalah kondisi dimana penderita diabetes kehilangan
kesadaran. Koma diabetes terjadi ketika kadar gula darah terlalu rendah atau
terlalu tinggi.
 Stroke adalah  kelainan fungsional area tubuh karena penurunan fungsi otak,
medulla spinalis, saraf perifer dan otot akibat iskemia atau perdarahan di
sirkulasi otak.
2. Tipe shock
Tipe – tipe utama syok termasuk :
 Shock kardiogenik (karena masalah jantung) : gangguan yg disebabkan oleh
penurunan curh jantung sistemik pada keadaan volume intravascular yang cukup,
dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan
 Shock hipovolemik (disebabkan karena volume darah terlalu sedikit) : Syok
hipovolemik (karena volume darah terlalu sedikit) : terganggunya sistem sirkulasi
akibat volume darah yg berkurang
 Shock anafilaktik (disebabkan oleh reaksi alergi) : salah satu manifestasi klinis dari
anafilaksis yg ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi
darah
 Shock septik (karena infeksi) : terjadinya gangguan sirkulasi yang menyebabkan
perfusi jaringan yg tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme jaringan.
Ditandai dengan TD sistolik <90 mmHg atau penurunan TD sistolik >40 mmHg
dibandingkan dg TD sebelumnya
 Shock neurogenic (karena kerusakan pd sistem pernapasan) : mengarah pd trias
hemodinamik berupa hipotensi, bradikardia, dan vasodilatasi perifer yg berasal dari
disfungsi otonom berat dan terganggunya control sistem saraf simpatis pd jejas
medulla spinalis akut.

3. Klasifikasi Shock
Hipovolemik
 Hemorragik
 Non hemorragik
Kardiogenik
 Myopatik (contoh: iskemia)
 Mekanikal (contoh: valvular)
 Arritmik
Distributif
 Septik
 Krisis adrenal
 Neurogenik (syok spinal)
 Anafilaktik
Obstruktif
 Emboli paru masif
 Tension pneumothorax
 Tamponade kordis
 Perikarditis konstruktif

4. Komponen tekanan darah

Tekanan darah = cardiac output × resistensi perifer


Cardiac output = stroke volume × heart rate
Tekanan darah = stroke volume × heart rate × resistensi perifer

5. Kriteria Kondisi Emergency


Pasien dinyatakan gawat darurat :
 Gangguan jalan napas: tidak sadar, terdapat stridor (Suara bernada tinggi,
suara bersiul paling sering terdengar saat mengambil napas), bronkospasme
(kondisi mengencang dan menegangnya otot-otot yang melapisi bronkus
pada paru-paru), tertelan benda asing
 Gangguan bernapas : frekuensi napas <10 atau >28 kali per menit, SpO2
<93%
 Gangguan sirkulasi : frekuensi jantung <50 atau >120 kali per menit
 Gangguan kesadaran : penurunan kesadaran, Glasgow Coma Scale (GCS) <12
6. Initial Assessment Emergency
Anamnesis :
 Alloanamnesis (keluarga atau pengantar) untuk menentukan etiologi apakah pasien
tersebut trauma, non trauma, bedah non bedah, keracunan atau tidak.
BLS :
 ABCDE (airway , Breathing, Circulation, Disability, Exposure)
Px :
 Airway  periksa jalan nafas, obstruksi jalan nafas karena lidah bisa di
tangani dengan trias manuver (chin lift, Head lift, Jaw thrust)
 Circulation  melihat warna kulit, suhu akral, CRT, raba nadi, pemeriksaan jantung
(a. carotis, A. femoralis, a. radialis)
Status neurologis :
 Pernurunan kesadaran, hipoglikemia, meningismus, kondisi pupil, anggota gerak dan
saraf kranial
 Hiperemia, hipotermia, hipertermia

Pemeriksaan lain :
 Pulse Oximetry (PO), BGA, ventilasi, gula darah
 Tatalaksana  sesuai patofisiologi
 Tatalaksana lanjut  identifikasi etiologi, status homeostasis, inflamasi, infeksi.

7. Definisi Infeksi, Inflamasi, Sirs, Sepsis, Septic Syndrome


(Severe Sepsis)
 Infeksi : Proses patoligs akibat invasi pada jaringan normal steril, cairan, rongga
tubuh oleh microorganism atau pathogen.
 Inflamasi : Merupakan respon dasar terhadap jejas pada jaringan ditandai dengan
cardinal sign.
 Sirs : Merupakan respon fisiologis terhadap respon proses inflamasi dari berbagai
keparaha klinis. Dikatakan SIRS apabila memenuhi 2 atau lebih kriteria
1. Temperatur >38 derajat atau <36 derajat
2. HR >90x/min
3. RR > 20 x/min atau PaCo2<32 mmHg
4. WBC >12.000 atau <4000mm atau Diff Count Band >10%
 Sepsis : Merupakan respon inflamasi sistemik didefinisikan sebagai setidaknya 2
atau lebih kriteria SIRS + ada infeksi
 Severe Sepsis : Merupakan disfungsi organ yang diinduksi sepsis, hipoperfusi
(asidosis lactat, Oliguria, atau alterasi status mental) atau hipotensi
 Septic Shock : Merupakan sepsis yang menginduksi hypotensi persisten,
meskipun resusitasi cairan adequate, diikuti denan abnormal perfusi, termasuk
asidosis lactat, oliguria, alterasi status mental.

8. Patofisiologi
9. Perubahan Leukosit
 Insiden : pada pasien dengan sepsis, jumlah sel darah putih biasanya meningkat
(leukositosis). Pengamatan ini didukung pada model hewan dari sepsis di mana
pemberian endotoksin menghasilkan leukositosis yang jelas. Hitung diferensial
leukosit biasanya menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil (neutrofilia) .
Kadang-kadang, derajat leukositosis ekstrim, dengan jumlah sel darah putih
lebih dari 50 × 10^9 / L (reaksi leukemoid). Dalam beberapa kasus, sepsis
dikaitkan dengan penurunan jumlah neutrofil (neutropenia), terutama pada
populasi anak. Funke et al menemukan bahwa 38% neonatus dengan sepsis
memiliki neutropenia dan durasi neutropenia kurang dari 24 jam pada 75%
pasien ini.
 Diagnosis : Leukositosis atau leukopenia didiagnosis berdasarkan jumlah sel
darah lengkap. Penghitung sel otomatis modern juga memberikan
penghitungan diferensial sel darah putih yang akurat. Pemeriksaan apusan
darah tepi dapat menunjukkan granulasi toksik, vakuolisasi, dan / atau adanya
badan Döhle dalam sel polimorfonuklear. Leukositosis dan pergeseran kiri
yang terkait dengan reaksi leukemoid dapat menyerupai perubahan leukemia
myelogenous kronis. Diagnosis biasanya jelas berdasarkan konteks klinis.
Namun, dalam kasus yang sulit, skor leukosit alkalin fosfatase membantu
dalam membedakan 2 sindrom tersebut. Pengukuran leukosit alkali fosfatase
adalah tes laboratorium sederhana dengan skor yang meningkat pada pasien
dengan sepsis dan menurun pada pasien dengan leukemia mielogenous kronis.
 Mekanisme :
1. Beberapa mekanisme berkontribusi pada neutrofilia, termasuk
demarginasi, peningkatan pelepasan dari sumsum tulang, dan
peningkatan produksi neutrofil. Mobilisasi cadangan sumsum tulang
juga dapat menyebabkan pelepasan sejumlah bands dan / atau bentuk
myeloid sebelumnya dalam darah perifer (pergeseran ke kiri).
Neutropenia dapat timbul dari kelelahan progenitor sumsum tulang,
penghentian pematangan dalam garis keturunan granulositik yang
berkomitmen, atau ketidakseimbangan antara ekstravasasi dan
produksi. Perkembangan neutropenia telah dikaitkan dengan prognosis
yang buruk. Sepsis juga dikaitkan dengan aktivasi monosit dan neutrofil
yang bersirkulasi.
2. Aktivasi 1 atau kedua jenis sel ini menghasilkan pelepasan sejumlah
besar mediator inflamasi, peningkatan ekspresi faktor jaringan,
peningkatan interaksi dengan endotelium, dan / atau perubahan sifat
biomekanik. Berbagai fungsi neutrofil sebenarnya dapat berkurang pada
sepsis, termasuk kemotaksis, fagositosis, dan produksi spesies oksigen
reaktif.
3. Peningkatan produksi dan aktivasi neutrofil dan / atau monosit yang
bersirkulasi merupakan komponen penting dari respons pejamu
terhadap infeksi. Namun, perubahan yang berlebihan atau berkelanjutan
dalam jumlah atau fungsi sel darah putih dapat merusak pasien.
Misalnya, neutropenia meningkatkan risiko kematian akibat septik, dan
reaksi leukemoid dapat meningkatkan viskositas darah. Selain itu,
pelepasan sitokin yang berlebihan dari monosit yang bersirkulasi atau
spesies oksigen reaktif dari neutrofil juga dapat berkontribusi pada
patofisiologi sepsis berat.

10. CRP
 Merupakan protein yang diproduksi sebagai respons terhadap infeksi dan / atau
peradangan.
 tingkat CRP meningkat jauh lebih signifikan selama peradangan akut
 tes klinis yang paling banyak digunakan untuk mendiagnosis dan menangani pasien
dengan sepsis
 CRP adalah biomarker infeksi dan inflamasi; sebagai biomarker peradangan yang
menyertai aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular
 Peran CRP selama peradangan akut tidak sepenuhnya jelas. Ini dapat mengikat
komponen fosfolipid mikroorganisme (dan sel inang yang rusak), memfasilitasi
penghapusannya oleh makrofag.
 Spesifisitas rendah, sensitivitas tinggi; biasanya digunakan untuk skrining sepsis onset
dini (terjadi selama 24 jam pertama kehidupan)
 CRP juga sering digunakan untuk memantau pasien setelah operasi; kadarnya
biasanya meningkat dibandingkan dengan tingkat sebelum operasi, tetapi turun
dengan cepat kecuali ada infeksi pasca operasi.

11. PCT
 adalah prekursor kalsitonin matang, hormon yang tidak memiliki efek fisiologis
signifikan pada manusia, tetapi mampu menurunkan kadar kalsium plasma bila
diberikan secara farmakologis
 protein yang diproduksi sebagai respons terhadap infeksi dan / atau peradangan
 tes klinis yang paling banyak digunakan untuk mendiagnosis dan menangani
pasien dengan sepsis
 Pada awal 1990-an, para peneliti menemukan peningkatan kadar PCT pada
pasien dengan infeksi bakteri invasive; PCT mungkin juga memiliki efek pro-
inflamasi
 PCT tidak hanya dihasilkan pada sel tempat infeksi lokal; PCT adalah bagian
dari respon sistemik yang menyebabkan sepsis parah
 Pada awal PCT ditemukan, menjadi lebih sensitif dan spesifik daripada CRP
untuk infeksi bakteri, dan sejumlah penelitian terbaru menunjukkan bahwa
hal itu dapat membantu dalam memprediksi hasil kultur darah pada pasien
yang sakit kritis
 Namun untuk diagnosis sepsis, keunggulan PCT dari CRP masih diperdebatkan
 PCT dapat meningkat pada sejumlah kelainan tanpa adanya infeksi, terutama
setelah trauma
 Para penulis penelitian ini awalnya berspekulasi bahwa paparan yang lebih
besar terhadap antibiotik spektrum luas yang diamati pada pasien dengan
tingkat PCT yang tinggi mungkin berbahaya, dan mereka baru-baru ini
melaporkan bahwa fungsi ginjal benar-benar terganggu pada tingkat yang lebih
tinggi pada kelompok ini.

12. Manajemen Kondisi Shock


 Tujuan manajemen syok adalah untuk meningkatkan oxygen delivery atau
utilisasinya untuk mencegah cedera organ dan sel.
 Terapi efektif membutuhkan : pengobatan etiologi yang mendasarinya,
restorasi perfusi yang adekuat, monitoring, dan terapi suportif yang
komprehensif.
 Intervensi dalam mengembalikan perfusi dipusatkan dalam pencapaian
tekanan darah yang adekuat, peningkatan cardiac output, dan/atau optimalisasi
konten oksigen dalam darah.
Tujuan utama
 Pada syok hipotensif tujuan utamanya adalah mencapai tekanan darah
minimum (driving pressure) untuk mempertahankan aliran darah ke jantung
dan organ lain serta mengoptimalkan komponen-komponen dari oxygen
delivery.
 MAP ≥ 65 mmHg direkomendasikan, kecuali pada pasien-pasien tertentu yang
membutuhkan MAP lebih tinggi, seperti pasien dengan iskemia miokard atau
hipertensi kronik, namun peningkatan tekanan darah hanya bermanfaat bila
terbukti terjadi peningkatan perfusi.
Tujuan lanjutan
 Adalah mengoptimalkan oxygen delivery, dengan cara meningkatkan cardiac
output, konsentrasi hemoglobin, dan saturasi oksihemoglobin. Terapi cairan
dan agen vasoaktif sering dibutuhkan untuk meningkatkan cardiac output.
Peningkatan konsentrasi hemoglobin dengan transfusi darah merupakan salah
satu cara efektif untuk meningkatkan oxygen delivery pasien.
 Saturasi oksihemoglobin dapat ditingkatkan dengan menaikkan PaO 2 melalui
supplementasi oksigen dan ventilasi mekanik. Target saturasi oksihemoglobin
pada pasien syok adalah ≥95%.
Penggunaan agen vasoaktif pada manajemen syok meliputi obat-obatan
vasopressor, inotropik, dan vasodilator. Vasopressor memiliki aktivitas α1–
adrenergik yang berefek pada konstriksi arteriol, peningkatan tekanan
vaskular sistemik, dan peningkatan tekanan darah. Inotropik mempengaruhi
kontraktilitas jantung melalui efek β1-adrenergik. Beberapa jenis obat memilik
lebih dari satu efek hemodinamik tersebut, dan hasilnya bervariasi pada
individu dengan dosis tertentu. Tujuan resusitasi lebih penting dari capaian
spesifik agen tersebut.
 Penanganan syok tetap harus diimbangi dengan penanganan penyakit yang
mendasarinya.

Syok hipovolemik tipe hemorragik


Perdarahan harus dihentikan sembari penggantian volume darah yang hilang.
Syok distributif karena sepsis
Pemberian antibiotika sesuai pola kuman, harus diberikan untuk menangani
infeksi bakteri.
Syok obstruktif karena tamponade cordis
Harus segera dilakukan tindakan needle thoracostomy untuk memperbaiki
hemodinamik pasien.
Syok kardiogenik pada repair struktur jantung
Perlu dipertimbangkan untuk pemberian digitalis.
Pasien syok harus dilihat dan ditangani secara holistik, dan monitoring dari
tindakan manajemenya harus dilakukan secara berkesinambungan.
Pemeriksaan CVP, berat jenis urin, dan hematokrit sederhana dapat menjadi
tolak ukur pemantauan kecukupan resusitasi cairan. (nice to know)

 Indikasi kriteria SOFA ( Sequential Organ Failure Assessment )


- RR rate ≥ 22/min
- GCS < 15
- Tekanan darah sistolik ≤ 100
 Kriteria septik shock
- Terapi vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHG
- Serum lactat > 2mm, berlangsung lama setelah resusitasi cairan adequat

 Bagaimana Management Kondisi Septic Shock :


a.Antimicrobial Therapy: Antibiotik spectrum luas yang cepat
Antimikroba yang tepat harus dimulai dalam satu jam pertama setelah
mengenali sepsis. Obat antimikroba awal harus berspektrum luas
supaya mencakup semua kemungkinan pathogen, penggunaan regimen
multidrug lebih disukai karena cakupannya khususnya untuk syok
sepsis. Pilihan empiris antimikroba harus mempertimbangkan tempat
infeksi, penggunaan antibiotik sebelumnya, pola kerentanan patogen
lokal, imunosupresi, dan faktor risiko organisme resisten. Double
coverage untuk bakteri gram negative dan methicillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) harus dipertimbangkan bagi pasien
dengan kemungkinan besar infeksi dengan pathogen tersebut.

b. Resusitasi Cairan : Sepsis dikaitkan dengan vasodilatasi,


kebocoran kapiler, dan penurunan volume darah sirkulasi yang efektif,
mengurangi aliran balik vena. Efek hemodinamik ini menyebabkan
gangguan perfusi jaringan dan disfungsi organ.
1. Tujuan resusitasi pada sepsis dan syok septik: mengembalikan
volume intravaskular, meningkatkan pengiriman oksigen ke
jaringan, dan membalikkan disfungsi organ.
Kristaloid 30mL/kg direkomendasikan dalam waktu 3 jam
setelah mendeteksi sepsis berat atau syok septik. Namun, hanya
data terbatas yang mendukung manfaat dari rekomendasi ini.
Beberapa telah memperingatkan agar tidak memberikan terlalu
banyak cairan, terutama pada pasien yang memiliki cadangan
kardiorespirasi terbatas.
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema
paru, gagal napas hipoksemik, edema organ, hipertensi intra-
abdominal, lama tinggal di ICU dan waktu ventilasi mekanis,
dan bahkan peningkatan risiko kematian.
2. Manajemen resusitasi cairan:
a. Rescue: Selama menit awal hingga jam, bolus cairan (1-
2L cairan kristaloid) diperlukan untuk membalikkan
hipoperfusi dan syok.
b. Optimization: Selama fase kedua, manfaat dari
pemberian cairan tambahan untuk meningkatkan cardiac
output dan perfusi jaringan harus dipertimbangkan
terhadap potensi bahaya
c. Stabilization: Selama fase ketiga, biasanya 24 hingga 48
jam setelah onset syok septik, harus dilakukan upaya
untuk mencapai keseimbangan cairan yang netral atau
sedikit negatif
d. De-escalation: Fase keempat, ditandai dengan resolusi
kejutan dan pemulihan organ, harus memicu strategi
pembuangan cairan yang agresif.
c.Nilai volume dengan ukuran dinamis : Dokter harus menjauh dari
penggunaan pengukuran statis untuk menilai status volume. CVP ,
ukuran statis yang paling sering digunakan untuk resusitasi. Metode
terakhir mengembalikan 200 hingga 300 mL darah dari ekstremitas
bawah ke sirkulasi sentral dan dilakukan dengan memulai pasien dalam
posisi semirecumbent, kemudian menurunkan batang tubuh sambil
mengangkat kaki secara pasif.
Alternatifnya, perubahan curah jantung dapat dievaluasi dengan
interaksi jantung-paru pada pasien yang menggunakan ventilator
mekanis.
d. Tingkat laktat sebagai panduan resusitasi : Resusitasi yang
dipandu laktat dapat secara signifikan mengurangi tingkat kematian
yang tinggi terkait dengan peningkatan kadar laktat (> 4 mmol / L) .
Peningkatan laktat selama sepsis dapat disebabkan oleh hipoksia
jaringan, glikolisis yang dipercepat dari keadaan hiperadrenergik, obat-
obatan ( epinefrin, agonis beta-2), atau gagal hati. Mengukur tingkat
laktat adalah cara yang obyektif untuk menilai respon terhadap
resusitasi, lebih baik daripada penanda klinis lainnya.
e. Kristaloid yang seimbang lebih disarankan daripada larutan isotonic :
Larutan kristaloid (salin isotonik atau ballance-kristaloid) direkomendasikan
untuk resusitasi volume pada sepsis dan syok septik. Bukti yang berkembang
menunjukkan bahwa kristaloid yang seimbang (larutan Ringer laktat, Plasma-
Lyte) dikaitkan dengan insiden cedera ginjal yang lebih rendah, kebutuhan
yang lebih sedikit untuk terapi penggantian ginjal, dan kematian yang lebih
rendah pada pasien yang sakit kritis. Selain itu, garam isotonik dikaitkan
dengan hiperkloremia dan asidosis metabolik, dan dapat mengurangi aliran
darah kortikal ginjal.
f. Tidak ada manfaat yang terbukti dari koloid : Alasan penggunaan
koloid adalah untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler,
mengurangi kebocoran kapiler dan akibatnya mengurangi jumlah cairan
yang diperlukan untuk resusitasi. Dapat mempertimbangkan untuk
menggunakan albumin pada sepsis jika jumlah cairan resusitasi yang
signifikan diperlukan untuk mengembalikan volume intravaskuler.
Tetapi perbandingan kristaloid dan albumin, baik untuk resusitasi atau
sebagai sarana untuk meningkatkan albumin serum pada pasien sakit
kritis, tidak menemukan manfaat dalam hal morbiditas atau mortalitas.
g. Norepinefrin adalah vasopressor lini pertama : Norepinefrin
telah menunjukkan manfaat kelangsungan hidup dengan risiko aritmia
yang lebih rendah daripada dopamin. Di sisi lain, 2 tinjauan sistematis
tidak menemukan perbedaan dalam hasil klinis dan kematian dengan
norepinefrin vs epinefrin, vasopresin, terlipresin, atau fenilefrin.
Norepinefrin menjadi vasopressor pilihan untuk mencapai target
tekanan arteri rata-rata dan sangat direkomendasikan oleh pedoman
Surviving Sepsis Campaign, meskipun hanya didukung oleh data
berkualitas sedang.

13. Farmakologi
Metronidazol
 Farmakokinetik :
Metronidazol diserap baik setelah pemberian oral, terdistribusi luas di jaringan, dan
mencapai kadar serum 4-6 mcg/mL setelah dosis oral 250 mg. Obat ini juga dapat di berikan
secara intravena atau supositoria rektum. Obat menembus baik ke dalam cairan serebrospinal
dan otak, mencapai kadar serupa dengan kadar diserum. Metronidazol dimetabolisasi di
hati dan mungkin terakumulasi pada insufisiensi hati.

 Farmakodinamik :
Metronidazol adalah obat yang membutuhkan aktivasi reduktif gugus nitro oleh
organisme yang rentan. Transfer elektron tunggal membentuk anion radikal
nitro yang sangat reaktif yang membunuh organisme yang rentan melalui
mekanisme yang dimediasi radikal yang menargetkan DNA. Metronidazol
didaur ulang secara katalitik; hilangnya elektron metabolit aktif meregenerasi
senyawa induk. Peningkatan kadar O2 menghambat sitotoksisitas yang
diinduksi metronidazol karena O2 bersaing dengan metronidazol untuk
mendapatkan elektron. Jadi, O2 dapat menurunkan aktivasi reduktif
metronidazol dan meningkatkan daur ulang obat yang diaktivasi. Organisme
anaerobik atau mikroaerofilik yang rentan terhadap metronidazol memperoleh
energi dari fermentasi oksidatif asam keto seperti piruvat. Dekarboksilasi
piruvat, yang dikatalisis oleh PFOR, menghasilkan elektron yang mereduksi
ferredoksin, yang selanjutnya secara katalitik mendonasikan elektronnya ke
akseptor elektron biologis atau ke metronidazol.
 Indikasi (nice to know)
Metronidazol diindikasikan untuk mengobati infeksi intraabdomen campuran atau anaerob
(dalam kombinasi dengan obat lain yang memiliki aktivitas terhadap organisme aerob),
vaginitis (infeksi trikomonas, vaginosis bakteri), kolitis Clostridium difficile, dan abses otak.
Dosis lazim adalah 500 mg tiga kali sehari per oral atau intravena (30 mg/kg/hari).
Vaginitis mungkin berespons terhadap pemberian satu dosis 2 gram. Tersedia gel vagina
untuk pemakaian topikal.
 Efek samping
Mual, sakit kepala, mulut kering, dan rasa logam di mulut sering terjadi. Efek samping
yang jarang terjadi termasuk muntah, diare, insomnia, kelemahan, pusing, sariawan,
ruam, disuria, urin berwarna gelap, vertigo, parestesia, ensefalopati, dan neutropenia.
Mengambil obat dengan makan mengurangi iritasi gastrointestinal.
 Interaksi obat
Metronidazole memiliki efek disulfiramlike, sehingga mual dan muntah dapat terjadi
jika alkohol tertelan selama terapi. Obat harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan penyakit sistem saraf pusat. Infus intravena jarang menyebabkan kejang atau
neuropati perifer. Metronidazol telah dilaporkan mempotensiasi efek antikoagulan dari
antikoagulan tipe kumarin. Fenitoin dan fenobarbital dapat mempercepat eliminasi
obat, sedangkan simetidin dapat menurunkan klirens plasma. Toksisitas litium dapat
terjadi jika obat digunakan dengan metronidazol.
LEVOFLOKSASIN
 Farmakokinetik :
fluorokuinolon diserap dengan baik dan terdistribusi luas di cairan dan jaringan tubuh . Waktu-
paruh serum berkisar dari 3 sampai 10jam. Waktu-paruh levofloksasin, gemifloksasin,
gatifloksasin, dan moksifloksasin yang relatif panjang memungkinkan pemberian sekali sehari.
Konsentrasi serum obat yang diberikan secara intravena setara dengan yang dihasilkan oleh
pemberian oral. Sebagian besar fluorokuinolon dikeluarkan melalui ginjal, baik dengan sekresi
tubulus atau filtrasi glomerulus.

 Farmakodinamik :
Kuinolon menghambat pembentukan DNA bakteri dengan menghambat topoisomerase II (DNA
girase) dan topoisomerase IV bakteri. Inhibisi DNA girase mencegah relaksasi gulungan DNA
yang diperlukan untuk transkripsi dan replikasi normal. Inhibisi topoisomerase IV mengganggu
pemisahan replika DNA kromosom ke sel-sel anak sewaktu pembelahan sel.

 Indikasi : (nice to know)


Efektif untuk mengobati uretritis atau servisitis klamidia. Siprofloksasin, levofloksasin, atau
moksifloksasin kadang digunakan untuk mengobati tuberkulosis. Dengan meningkatnya aktivitas
positif-gram dan aktivitas terhadap penyebab pneumonia atipikal (klamidia, Mycoplasma, dan
Legi-onella), levofloksasin, gatifloksasin, gemifloksasin, dan moksifloksasin yang disebut
fluorokuinolon pernapasan efektif dan semakin banyak digunakan untuk mengobati infeksi saluran
napas atas dan bawah.

 Interaksi obat
Absorpsi oral terganggu oleh kation divalen dan trivalen, termasuk di antasida. Obat ini
harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan perpanjangan interval
QTc atau hipokalemia yang tidak dikoreksi; pada mereka yang menerima agen antiaritmia
kelas 1A (misalnya, quinidine atau procainamide) atau kelas 3 (sotalol, ibutilide,
amiodarone); dan pada pasien yang menerima agen lain yang diketahui meningkatkan
interval QTc (misalnya eritromisin, antidepresan trisiklik).
 Efek samping
Fluoroquinolones umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek yang paling umum adalah
mual, muntah, dan diare. Kadang-kadang, sakit kepala, pusing, insomnia, ruam kulit, atau
tes fungsi hati yang abnormal berkembang. Perpanjangan interval QTc dapat terjadi
dengan gatifloxacin, levofloxacin, gemifloxacin, dan moxifloxacin. Obat ini belum
direkomendasikan sebagai obat lini pertama untuk pasien di bawah usia 18 tahun.
Tendinitis, komplikasi pada orang dewasa, bisa menjadi serius karena risiko pecahnya
tendon. Fluoroquinolon oral atau intravena juga dikaitkan dengan neuropati perifer.
Neuropati dapat terjadi kapan saja selama pengobatan dengan fluoroquinolones dan dapat
bertahan selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah obat dihentikan. Dalam
beberapa kasus mungkin permanen.

14. Komplikasi
Septic syok :
 Acute respiratory distress syndrome
 Acute kidney injury
 Disseminated intravascular coagulation
 Liver failure
 Perdarahan usus
 Disfungsi system saraf pusat
 Gagal jantung
 Kematian
 Yg mana bisa menyebabkan Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) /
kematian.
15. NGT
 Indikasi
Dengan memasukkan suatu NGT (nasogastric tube), dokter dapat
memperoleh akses ke gaster dan isinya. Hal ini memungkinkan dokter
untuk menguras isi gaster, dekompresi perut, mendapat spesimen dari isi
lambung, atau membuka suatu jalan ke dalam traktus GI. Ini
memungkinkan dokter untuk mengobati imobilitas gaster dan obstruksi
usus. Juga memungkinkan drainase dan / atau lavage pada kasus overdosis
obat atau keracunan. Dalam keadaan trauma, NGT dapat digunakan untuk
membantu dalam pencegahan muntah dan aspirasi, dan juga untuk menilai
perdarahan GI. NGT juga dapat digunakan untuk pemberian makan secara
enteral (enteral feeding) pada tahap awal.
 Kontraindikasi
NGT dikontraindikasikan jika ada trauma wajah berat (disrupsi lamina
cribrosa) karena kemungkinan memasukkan tube ke intrakranial. Dalam
kasus seperti ini, orogastric tube dapat digunakan.
 Komplikasi
Komplikasi utama dari insersi NGT termasuk aspirasi dan trauma jaringan.
Penempatan kateter dapat memicu gagging atau muntah, oleh karena itu
suction harus selalu siap digunakan untuk berjaga-jaga apabila terjadi hal
tersebut.
16. Tanda dan Gejala MODS (Multiple organ dysfunction
syndrome) :
Sindrom disfungsi organ multipel (MODS) dapat terjadi pada penderita2 penyakit
dengan kondisi kritis atau pasca traumatis.
Terminologi dysfunction, lebih dinamis drpd failure menunjukkan bahwa fenomena
ini adl suatu proses menuju kegagalan sistem organ dlm fungsinya mempertahankan
homeostasis.
Komplikasi MODS:
Distress pernafasan
Koagulasi intravaskuler
Gagal ginjal akut
Perdarahan usus
Gagal hati
Disfungsi sistem saraf pusat
Gagal jantung
Kematian

17. Prognosis
Sekitar 40-60% pasien berkembang menjadi syok septik apabila tidak segera
ditalaksana dengan tepat. Faktor prognosis buruk pada sepsis adl usia tua, infeksi dg
organisme yg resisten, gangguan status imun pada host, dan status fungsional tbuh
pasien yg buruk sebelum terjdinya sepsis.
Angka mortalitas dalam 28 hari sebesar 20% pada sepsis, 20-40% sepsis derajat berat,
dan 40-60% pd syok sepsis. Angka mortalitas pada sepsis berat 1 tahun setelah keluar
rumah sakit bervariasi antara 7-43%

18. Preventif
1. Menerapkan praktik mencuci tangan yang baik
2. Mengikuti perkembangan vaksin yang direkomendasikan
3. Mendapatkan perawatan medis rutin untuk kondisi kronis.
4. Dapatkan perhatian medis segera jika Anda mencurigai adanya infeksi
14. Definisi dari hipotesis
15. Definisi syok
Laki2, 68 th datang 16. Tipe syok
ke UGD dalam 17. Definisi tipe syok
kondisi pingsan 18. Klasifikasi syok berdasarkan etiologi
19. Komponen tekanan darah
20. Kriteria pasien emergensi
Ada riwayat 21. Assessment pasien gawat darurat
hipertensi,diabe
tes, batuk,
sesaknafas
1. Definisi infeksi, inflamasi, SIRS,
-Vital sign : sepsis, macam (ringan n berat)
BP : 80/50 mmHg 2. Penyebab syok sepsis berdasarkan
Nadi : 112 x/mnt organisme
RR: 32 x/mnt 3. Patofisiologi syok sepsis
Tmp: 38.5°C
Pemfis::
4. Perubahan leukosit
-Pupil : isokor 5. Jelaskan CRP n procalcitonin
- Pulmo : 6. Manajemen umum kondisi syok
Palpasi : stem fremitus 7. Manajemen syok septik
Perkusi :dullness 8. Farmakologi Metronidazol
Auskultasi: rales +
9. Farmakologi Levofloxacin
-Ekstremitas : dingin +/+
10. Indikasi, kontraindikasi, dan
Lab : komplikasi NGT
Leukosit= 17.200 /mm3, 11. Komplikasi ( sign and symtomp
thrombosit = MODS)
250.000/mm3. 12. Prevensi
Diff count : -/-/10/60/30/-
13. Prognosis
GDA : 275 mg/dl
Thorax photo : suspect
broncopneumonia
Kultur :Streptococcus
pneumoniae

Syok septik

Anda mungkin juga menyukai