Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.

) VIII (2): 194-200 ISSN: 0853-6384 194

Full Paper

JUMLAH DAN KUALITAS KISTA ARTEMIA PADA BERBAGAI TINGKAT PERUBAHAN


SALINITAS

QUANTITY AND QUALITY OF ARTEMIA CYSTS IN VARIOUS SALINITY CHANGES

Dade Jubaedah*)♠), D. Djokosetiyanto**), dan A. Fairus Mai Soni***)

Abstract

The objective of this research was to know the optimum salinity changes to improve quantity
and quality of cyst produced by Artemia. This experiment used completely randomized
factorial design. Factor a was salinities changes at day-9 (A) and day-15 (B) of culture.
Factor b consisted of four salinity increasing treatments, which were I (100, 100, 100, 140
ppt); II (100, 100, 140, 140 ppt); III (100, 140, 140, 140 ppt) and IV (100, 110, 125, 140 ppt).
The highest fecundity was obtained by B.I treatment. The highest quantity of the cysts was
produced by A.III treatment. Treatment of A.I produced cysts with the highest protein
content. These results showed that the high quality and quantity of cysts was obtained when
salinity increase started at day-9 of culture.

Key words: artemia, cyst, quality, quantity, salinity

Pengantar berbagai negara seperti USA dan Cina.


Keterbatasan produksi kista artemia dari
Artemia salina merupakan avertebrata negara-negara produsen kista, memacu
yang telah dimanfaatkan untuk memenuhi adanya perluasan usaha budidaya
kebutuhan nutrisi energi bagi berbagai artemia khususnya untuk menghasilkan
larva udang maupun ikan. Artemia kista di negara-negara lain yang potensial
merupakan pakan alami yang lebih untuk usaha budidaya ini, terutama
disukai oleh teknisi pembenihan karena negara-negara yang memiliki perairan
memiliki beberapa manfaat dan kelebihan dengan kadar garam (salinitas) tinggi
antara lain mudah beradaptasi dalam yang merupakan habitat alami artemia
kisaran lingkungan yang luas, mempunyai tersebut.
kandungan nutrisi yang dibutuhkan, dapat
diperkaya (enrichment) sebelum diguna- Usaha budidaya artemia untuk
kan sebagai pakan, mudah dimangsa dan menghasilkan kista di Indonesia telah
dicerna karena berenang lambat dan dilakukan di berbagai daerah beriklim
berkulit lunak. Kelebihan lainnya adalah kering antara lain Palu, Kupang, Madura
dalam siklus hidupnya, artemia dapat dan Jepara. Budidaya artemia di tambak
membentuk kista yang praktis disimpan garam Kedung Jepara seluas 3000 m2,
dan didistribusikan (Mai Soni et al., kedalaman 25-40 cm dengan padat tebar
2004a). 200 ekor/liter selama musim kemarau
(Juli-November) pada salinitas 120-140
Kebutuhan artemia di Indonesia masih menghasilkan 80 kg kista basah (Mai
dipenuhi dengan import kista dari Soni, 2005).

*)
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian, UNSRI, Jl. Palembang – Prabumulih KM 32, Indralaya
(Ogan Ilir) Sumatera Selatan 30662.
**)
Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, Jl. Lingkar Akademik Kampus
IPB, Darmaga, Bogor.
***)
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, PO Box 1, Jl. Pemandian Kartini, Jepara 59401 Jawa Tengah.
♠)
Penulis untuk korespondensi, E-mail: dade_21@plasa.com

Copyright©2006, Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) All Rights Reserved


195 Jubaedah et al., 2006

Hasil tersebut masih lebih rendah


dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Penelitian menggunakan rancangan
di tambak-tambak Thailand. Menurut faktorial acak lengkap dengan dua faktor
Tutsupanich (1979), budidaya artemia di perlakuan: faktor a yaitu peningkatan
Thailand pada tambak seluas 0,25 ha salinitas pada hari ke-9 (A) dan hari ke-15
dengan penebaran sebanyak 50 kg telur (B); faktor b yaitu 4 perlakuan
selama 45 hari mampu memproduksi peningkatan salinitas berturut-turut (Tabel
kista 3 minggu setelah inokulasi sebanyak 1). Masing-masing perlakuan dengan 3
20,31 kg berat basah (+10,14 kg berat ulangan.
kering) dengan interval pemanenan 2-4
hari. Data lain menyebutkan bahwa kista Wadah corong dibuat dari ember plastik
yang diperoleh di tambak artemia di bervolume 20 liter yang disambungkan
Thailand adalah 25-35 kg berat dengan corong berdiameter 30 cm pada
basah/ha/bulan (Tarnchalanukit & bagian bawahnya. Wadah diletakkan
Wongrat, 1985). pada rak kayu dan dilengkapi dengan
aerator dan ditutup dengan plastik pada
Kadar garam yang terlalu tinggi bagian atasnya.
menyebabkan telur tidak akan menetas
akibat tekanan osmose di luar telur lebih Kista artemia yang digunakan berasal dari
tinggi, sehingga telur tidak dapat tambak garam Kedung Jepara. Salinitas
menyerap air yang cukup untuk proses media dibuat dengan melarutkan garam
metabolismenya; demikian pula sebanyak 250 g/l air laut sehingga
sebaliknya. Menurut Mai Soni et al. diperoleh air garam jenuh (brine water)
(2004b), pada saat penebaran naupli dengan salinitas 250–300 ppt.
artemia dibutuhkan salinitas 70 ppt dan Selanjutnya dilakukan pengenceran
untuk menghasilkan kista dengan kualitas kembali dengan menggunakan air laut
optimum dibutuhkan salinitas antara 120– sampai mencapai salinitas yang
140 ppt, sedangkan peningkatan salinitas diinginkan.
hingga 150 ppt akan menghasilkan
produktivitas telur menjadi turun. Kista artemia didekapsulasi (Sorgeloos et
Sehingga keberhasilan dari usaha al., 1986). Kista terlebih dahulu ditimbang
budidaya artemia untuk memproduksi dan dicuci dengan air tawar. Sementara
kista di tambak garam perlu dikaji dan itu, kaporit dilarutkan dengan air tawar
dievaluasi melalui penelitian untuk dan diaduk supaya tidak menggumpal.
mendapatkan suatu teknologi Selanjutnya, kista artemia dimasukkan
peningkatan salinitas yang tepat. dalam larutan kaporit tersebut dan
diaerasi selama sekitar 3-4 menit. Selama
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perendaman, suhu larutan tidak boleh
saat yang tepat untuk menaikkan salinitas lebih dari 40oC. Selanjutnya kista dicuci
dan besarnya kenaikan salinitas yang lagi dengan air tawar sekitar 10 menit, lalu
tepat untuk memproduksi kista dengan direndam kembali dalam larutan kaporit 1-
kuantitas dan kualitas yang tinggi. 2 menit, kemudian dicuci kembali sampai
bau kaporit hilang dan warna kista
Bahan dan Metode berubah dari coklat menjadi coklat
kemerahan. Setelah itu, kista dipindahkan
Penelitian dilakukan pada bulan ke dalam wadah penetasan berupa
Desember 2004 sampai dengan Maret wadah botol plastik dengan salinitas 25
2005 di Laboratorium Pakan Alami Balai ppt. Kista menetas menjadi nauplius
Besar Pengembangan Budidaya Air setelah 18 jam lalu dilakukan sampling
Payau (BBPBAP) Jepara dan pada bulan untuk padat tebar awal. Artemia
April 2005 di Laboratorium Biokimia selanjutnya dipelihara pada wadah
Pangan dan Gizi Fakultas Peternakan, percobaan dengan padat tebar 4.000
IPB. ekor pada masing-masing wadah.

Copyright©2006, Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) All Rights Reserved


Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (2): 194-200 ISSN: 0853-6384 196

Nauplius dipelihara hingga mencapai Tabel 2. Fekunditas rata-rata (butir) induk


stadia instar dewasa sekitar 9-15 hari betina
dengan salinitas media 80 ppt. Jenis dan Perlakuan Rataan + SD
jumlah pakan yang diberikan berdasarkan A.I 37 + 1
hasil penelitian Santos et al. (1980); A.II 36 + 3
Daulay & Mulyanti (1993). Pakan
A.III 35 + 2
diberikan 3 kali sehari, pada pagi dan
sore hari dengan tepung bungkil kelapa A.IV 37 + 2
sedangkan pada siang hari diberikan B.I 36 + 5
tepung beras. Jumlah pakan yang B.II 32 + 5
diberikan sebanyak 10 mg/l dan dinaikkan B.III 37 + 4
sebesar 5% dari jumlah pakan pada hari B.IV 33 + 2
sebelumnya. Setelah mencapai waktu
yang telah ditetapkan sesuai rancangan Kisaran fekunditas yang diperoleh pada
perlakuan, salinitas dinaikkan mulai pada tambak garam yang diberi pakan yang
hari ke-9 dan ke-15 dengan pola kenaikan sama dengan pakan yang digunakan
seperti pada Tabel 1. Setelah mencapai pada penelitian ini adalah 30-40
hari ke-23 dilakukan pemanenan kista butir/induk (Mai Soni et al., 2004b).
sampai hari ke-35. Fekunditas Artemia yang dipelihara pada
tambak garam lebih tinggi diduga karena
Tabel 1. Perlakuan peningkatan salinitas ketersediaan pakan alami pada tambak
Faktor a (A/B)
hari ke
9/15 13/17 17/19 21-35
lebih banyak sehingga asupan protein
Faktor b
Salinitas (ppt) lebih tinggi. Hal ini didukung oleh
I 100 100 100 140 penelitian Mai Soni (2005) yang
II 100 100 140 140
III 100 140 140 140 menunjukkan bahwa penggunaan
IV 100 110 125 140 Dunaliella dan Spirullina sebagai pakan
alami dapat meningkatkan fekunditas
Parameter yang diamati adalah 1) masing-masing 38,33 dan 49,57
Fekunditas; 2) Jumlah Kista; 3) butir/induk betina. Begitu juga hasil
Kandungan protein kista. Pengumpulan penelitian Daulay & Mulyanti (1993) yang
data dilakukan dengan teknik sampling. menunjukkan bahwa Artemia yang
Analisa kandungan protein kista Artemia dipelihara pada bak dengan air media
dengan metode mikro Kjeldahl yang dipupuk memberikan fekunditas
(Association of Official Analytical sebesar 52 butir/induk. Nilai ini lebih
Chemists, 1984). Data yang diperoleh besar dibandingkan pada perlakuan
dianalisa dengan menggunakan sidik pemberian pakan buatan tanpa
ragam dua arah antar kelompok dan pemupukan. Demikian juga di tambak
perlakuan, apabila terdapat perbedaan garam, adanya pakan alami memberikan
dilanjutkan dengan Uji Lanjut Duncan kontribusi terhadap peningkatan pakan-
(Matjik & Sumertajaya, 2002). pakan alami yang penting bagi proses
reproduksi.
Hasil dan Pembahasan
Analisis sidik ragam terhadap fekunditas
Fekunditas menunjukkan bahwa perlakuan dan
Fekunditas maksimum diperoleh pada B.I kelompok tidak berpengaruh (P>0,05).
sebanyak 42 butir, sedangkan minimum Hal ini disebabkan selama proses
pada B.II sebanyak 26 butir (Tabel 2). perkembangan gonad untuk seluruh
Fekunditas rata-rata hasil penelitian ini perlakuan salinitas media adalah sama
hampir sama dibandingkan hasil yaitu 80 ppt. Hasil penelitian Baxevanis et
penelitian Daulay & Bucher (1993) yang al. (2004) mengenai efek salinitas
menghasilkan jumlah terbanyak 35 butir terhadap tingkat kematangan gonad
pada salinitas 90-100 ppt. artemia di Mesir menunjukan bahwa pada
salinitas 80 g/kg, tingkat kematangan

Copyright©2006, Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) All Rights Reserved


197 Jubaedah et al., 2006

menjadi lebih cepat dibandingkan salinitas maturasi sehingga induk akan mem-
di atasnya (120-200 g/kg), dimana hari bentuk kista. Peningkatan salinitas pada
ke-11 sudah ditemukan induk yang hari tersebut tepat, karena sebagian
matang gonad. besar induk sudah maturasi. Peningkatan
salinitas yang terlalu awal tidak tepat
Jumlah kista sebab induk belum mengalami maturasi.
Rata-rata jumlah kista yang dihasilkan Sedangkan apabila terlalu lambat, telur
pada penelitian ini mencapai 1.957 butir, sudah menetas menjadi nauplius. Hasil
dengan jumlah maksimum 3.501 butir penelitian Baxevanis et al. (2004) juga
dan jumlah minimum 1.345 butir (Tabel menunjukan puncak maksimum maturasi
3). Hasil panen maksimum diperoleh dari dicapai pada hari ke-26 dimana induk
perlakuan A.III pada hari ke-29. Jumlah maturasi sudah bisa mencapai 95,03%.
kista yang diperoleh mulai menurun
kembali setelah hari ke-30 sampai Tabel 4. Hasil sidik ragam jumlah kista
dengan hari ke-35. artemia
Sumber F Value P Value
Tabel 3. Rataan jumlah total kista (butir) Keragaman
Perlakuan Rataan + SD a 0,40tn 0,5252
a b 8,23** <0,0001
A.I 1586 + 81
Waktu (T) 92,28** <0,0001
A.II 2337 + 503a tn
a*b 2,36 0,0725
A.III 2179 + 1145a tn
a a*T 0,60 0,8394
A.IV 1821 + 289
b b*T 1,58 * 0,0236
B.I 1727 + 498
a Ket. * pada sumber keragaman berarti interaksi,
B.II 2586 + 608 sedangkan tn pada F Value berarti tidak
B.III 1527 + 129a berbeda nyata, * berarti berbeda nyata
B.IV 1892 + 552a (P<0,05) dan ** berarti berbeda sangat nyata
(P<0,01)
Sidik ragam terhadap jumlah kista yang
dihasilkan berbeda sangat nyata antar Tabel 5. Hasil uji lanjut Duncan jumlah
faktor b dan waktu serta berbeda nyata kista antar waktu
antar kelompok dan interaksi faktor b dan Hari Rataan + SD
f
waktu serta menunjukkan interaksi antara 23 140,66 + 12,89
factor b dan waktu (Tabel 4). Uji lanjut 24 214,62 + 13,69
c

Duncan pada faktor b menunjukkan 25 185,23 + 8,64d


bahwa rataan jumlah kista terbesar 26 276,89 + 14,67
a
diperoleh pada perlakuan II; sedangkan
27 248,38 + 6,40b
rataan perlakuan I, III dan IV tidak b
28 263,41 + 12,04
berbeda nyata. Hal ini terjadi berkaitan
dengan tingkat kematangan induk betina 29 242,11 + 19,45b
e
tersebut. 30 164,10 + 8,70
g
31 48,30 + 0,77
Hasil penelitian Baxevanis et al. (2004) 32 22,66 + 2,07h
menunjukan bahwa pada salinitas 80 33 17,56 + 1,12
h

g/kg, sudah ditemukan induk yang 34 15,84 + 0,76h


matang gonad pada hari ke-11, 35 14,75 + 1,69
h

selanjutnya jumlah induk maturasi Ket: Nilai rataan yang diikuti huruf yang sama
semakin meningkat sejalan dengan tidak berbeda nyata (P>0,05)
pertambahan waktu dan pada hari ke-17
sampai dengan hari ke-20 terjadi Hasil sidik ragam juga menunjukan bahwa
peningkatan yang sangat cepat. Pada hari terdapat interaksi antara faktor b dengan
ke-20 jumlah induk yang matang gonad waktu. Rataan terbesar diperoleh pada
sudah melebihi 50%. Dengan demikian interaksi antara perlakuan II dengan hari
pada saat peningkatan salinitas hari ke-17 ke-26. Hal ini memperkuat hasil sebelum-
dan 19, sebagian besar induk sudah nya, bahwa meskipun peningkatan

Copyright©2006, Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) All Rights Reserved


Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (2): 194-200 ISSN: 0853-6384 198

salinitas terbaik pada perlakuan II tetapi hasil sekresi hemoglobin yang berlebihan
terdapat interaksi dengan waktu panen dalam darah, dimana penyusun struktur
hari ke-26. hemoglobin terdiri atas unsur Fe yang
terikat dalam protophyrin III yang
Kandungan protein kista dinamakan heme dan protein dalam
Kualitas kista ditentukan salah satunya bentuk globin, kemudian berdasarkan
oleh kandungan protein. Hal ini sangat reaksi kimia di dalam sintesa hemoglobin
berkaitan dengan kandungan protein dapat diketahui terdapat banyak enzim
pada naupli yang akan diberikan pada yang berperan (Lavens et al., 1985 cit.
ikan dan udang. Semakin besar Mai Soni et al., 2004a). Salinitas
kandungan proteinnya akan semakin baik, berpengaruh terhadap induk artemia
karena protein sangat penting bagi dalam pembentukan aktivator enzim yang
pertumbuhan ikan dan udang. Protein berperan dalam sintesa hemoglobin
pada kista yang diukur pada penelitian ini dalam darah sehingga artemia mem-
merupakan protein total dari keseluruhan produksi hemoglobin dalam jumlah
kista (baik cangkang maupun embrio banyak (Bagsaw, 1980 cit. Mai Soni et al.
yang ada di dalamnya). Rata-rata 2004a). Hemoglobin ini kemudian akan
kandungan protein kista 33,04% (berat terurai menjadi hematin yang merupakan
kering) (Tabel 6). bahan cangkang. Perlakuan kenaikan
salinitas pada hari ke-9 memacu produksi
Tabel 6. Kandungan protein kista artemia hemoglobin yang akan terurai menjadi
(%berat kering) hematin yang selanjutnya terbentuk
Perlakuan Rataan + SD cangkang. Pada stress kenaikan salinitas
A.I 40,78 + 11,06b hari ke-9, induk artemia menggunakan
A.II 34,06 + 6,75c protein untuk pembentukan kista ini,
c
A.III 35,50 + 9,73 sehingga kandungan protein pada kista
a
A.IV 50,07 + 4,44
menjadi besar.
B.I 30,15 + 6,46d
B.II 33,00 + 1,47c
B.III 18,78 + 8,02
e Kandungan protein kista pada kenaikan
B.IV 21,95 + 1,97
d salinitas mulai hari ke-15 (Perlakuan B)
Ket. Nilai rataan yang diikuti huruf yang sama lebih sedikit dibandingkan pada kenaikan
tidak berbeda nyata (P>0,05) salinitas pada hari ke-9. Hal ini
disebabkan sebagian besar kista yang
Perlakuan A memberikan rataan diperoleh kemungkinan merupakan kista
kandungan protein yang lebih besar dari telur generasi selanjutnya, sedang-
dibandingkan perlakuan B yang berarti kan telur generasi awal sudah menetas
bahwa peningkatan salinitas lebih awal menjadi naupli. Mekanisme ini dijelaskan
(hari ke-9) memberikan pengaruh lebih D’Agustino (1980) dimana satu siklus
baik terhadap kandungan protein kista. reproduksi lengkap artemia biasanya
Stres akibat kenaikan salinitas ini berlangsung selama 4-5 hari. Kelompok
menyebabkan artemia cenderung telur berikutnya segera memasuki oviduct
bergerak lebih cepat, mekanisme setelah kelompok telur pertama
pergerakan, respirasi dan pengambilan dilepaskan.
makanan dengan menggunakan alat yang
sama (thorakopoda) mengakibatkan Induk membutuhkan energi yang besar
secara langsung artemia juga akan untuk pengeluaran telur (naupli) dan
melakukan respirasi dengan lebih cepat pembentukan telur baru, sehingga protein
dan menelan makanan lebih banyak. akan lebih banyak digunakan juga
Mekanisme ini mengakibatkan akan sebagai sumber energi keberlangsungan
semakin banyak protein tersedia untuk proses tersebut, yang akhirnya protein
pembentukan telur, juga cangkang kista. yang diperoleh oleh embrio menjadi lebih
Hal ini terjadi karena pembentukan sedikit. Perlakuan B.III (18,76%) dan B.IV
cangkang pada kista artemia merupakan (21,95%) merupakan perlakuan dengan

Copyright©2006, Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) All Rights Reserved


199 Jubaedah et al., 2006

kandungan protein terkecil. Kandungan Daftar Pustaka


protein yang sangat kecil pada perlakuan
B.III disebabkan pada saat tersebut Association of Official Analysis Chemists
kemungkinan artemia sedang dalam (AOAC). 1984. Officials methode of
tahap menuju puncak maturasi generasi analysis. 14th Ed. AOAC, Washington
kedua, sehingga membutuhkan energi D.C. 1528 p.
yang besar untuk proses pembentukan
telur baru dan shock salinitas juga Baxevanis, A.D., A. El-Bermawi, T.J.
membutuhkan energi untuk adaptasi, Abatzopoulos, and P. Sorgeloos.
sedangkan pada perlakuan B.IV 2004. Salinity effects on maturation,
kemungkinan disebabkan interval waktu reproductive and life span
shock yang terlalu cepat sehingga energi characteristics of four egyptian
dari pakan terutama protein sangat Artemia population. Hydrobiologia.
banyak digunakan untuk mekanisme 513: 87–100.
adaptasi, sehingga sedikit protein akan
didistribusikan untuk proses reproduksi. D’Agostino, A. 1980. The vital
requirements of Artemia: physiology
Interaksi antara faktor A dan B juga and nutrition. In: The brine shrimp
memberikan pengaruh nyata terhadap Artemia: physiology, biochemistry,
kandungan protein kista (P<0,01). Hasil molecular biology. G. Persoone, P.
uji lanjut Duncan terlihat bahwa rataan Sorgeloos, O. Roels, E. Jaspers
kandungan protein terbesar diperoleh (Eds.). Vol. 2. Universa Press,
pada perlakuan A.IV (Tabel 6). Wetteren, Belgium: 55-82.

Kesimpulan dan Saran Daulay, T. dan D. Bucher. 1993.


Pengaruh perbedaan kadar garam
Kesimpulan pada media pemeliharaan terhadap
1. Kenaikan salinitas hari ke-9 produksi kista Artemia salina. Bulletin
memberikan jumlah dan kualitas kista Penelitian Perikanan. 2: 21-33.
yang lebih baik dibandingkan kenaikan
salinitas hari ke-15. Daulay, T. dan N. Mulyanti. 1993.
2. Pola kenaikan salinitas I (100, 100, Pengaruh makanan alami dan pakan
100, 140 ppt) menghasilkan Artemia buatan terhadap produksi kista
dengan fekunditas dan kandungan Artemia salina dipelihara di tambak.
protein kista tertinggi. Bulletin Penelitian Perikanan. 2: 34-
42.
Saran
Budidaya artemia untuk menghasilkan Mai Soni, A.F. 2005. Prospek
kista, sebaiknya dilakukan pemanenan pengembangan budidaya Artemia di
biomass artemia total setelah hari ke-30 Indonesia. Makalah disampaikan
dan selanjutnya dilakukan penebaran pada Temu Pembenihan Udang
kembali (multi cycle system). Hal ini Nasional, 22 Pebruari 2005 di
disebabkan mulai hari ke-30 produksi Gedung Bidakara, Jl. Gatot Subroto
kista sudah menurun. kav 71–73 Pancoran, Jakarta
Selatan. 9 p.
Ucapan Terima Kasih
Mai Soni, A.F., D.J. Sulistiyono, Madenur,
Terima kasih kepada Bapak Ir. Adi dan Suparjono. 2004a. Pengaruh
Susanto, M.Sc beserta staff dan teknisi salinitas yang berbeda terhadap
Laboratorium Pakan Alami BBPBAP produksi kista Artemia skala
Jepara. laboratorium. Media Budidaya Air
Payau. 4: 46–53.

Copyright©2006, Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) All Rights Reserved


Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (2): 194-200 ISSN: 0853-6384 200

Mai Soni, A.F., M.S. Latief, A. Susanto, Manual for the culture and use of
dan D.J. Sulistiyono. 2004b. Budidaya brine shrimp Artemia in aquaculture.
Artemia terpadu di tambak garam State University of Ghent, Belgium-
Desa Surodadi, Kecamatan Kedung, Faculty of Agriculture. 319 p.
Kabupaten Jepara. Laporan Tahunan
2004. Balai Besar Pengembangan Tarnchalanukit, W. and L. Wongrat. 1985.
Budidaya Air Payau Jepara. 10 p. Artemia culture in Thailand. National
Artemia Reference Center Technical
Mattjik, A.A. dan M. Sumertajaya. 2002. Paper No.1, Oktober 1985. Paper
Perancangan percobaan. Edisi Kedua Presented at The Second
Jilid I. IPB Press. Bogor. 282 p. International Symposium on the Brine
Shrimp Artemia, 1–5 September
Santos, C.D.L.Jr., P. Sorgeloos, E. 1985, RICA, Antwerpen, Belgium. 28
Lavina, and A. Bernardino. 1980. p.
Succesfull inocculation of Artemia and
production of cysts in man-made Tutsupanich, A. 1979. Cyst production of
salterns in the Philipines. The Artemia Salina in salt ponds in
International Symposium on The Thailand. National Frehwater Prawn
Brine Shrimp Artemia salina; Corpus Research and Training Center Inland
Christi, 20-23 Agustus, 1979. Texas, Fisheries Division, Departement of
USA. Univera Press Wettern. 456 p. Fisheries Ministry Agriculture and
Cooperatives Thailand. Bangpakong,
Sorgeloos, P., D. Lavean, P. Eger, W. Chacheongsao, Thailand. 13 p.
Achaert, and D. Versichele. 1986.

Copyright©2006, Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) All Rights Reserved

Anda mungkin juga menyukai