Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PAKAN LARVA HEWAN AKUATIK

Disusun Oleh : 
Kelompok 1
Tika Dea Lestari L1B020008
Syafrie Alfauzi L1B020082
Javid Azka Umaro L1B020086

Asisten : Nurzaki Eka Putri

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Praktikum ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan laporan praktikum ini adalah untuk memenuhi tugas Asisten
Praktikum. Selain itu, laporan ini juga bertujuan untuk menambah wawasan seputar Kultur
Pakan Alami dan Mikrokapsul bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Kasprijo, M.Si , selaku dosen
pengampu Mata Kuliah Teknologi Pakan Larva yang telah memberikan materi sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Purwokerto, 20 Mei 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
ACARA 1

KULTUR PAKAN ALAMI Artemia Sp. TEKNIK DEKAPSULASI

Disusun Oleh : 
Kelompok 1
Tika Dea Lestari L1B020008
Syafrie Alfauzi L1B020082
Javid Azka Umaro L1B020086

Asisten : Nurzaki Eka Putri

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pakan atau makanan merupakan salah satu kompenen terpenting
untuk kehidupan suatu organisme atau makhluk hidup, dimana pakan atau
makanan tersebut merupakan salah satu penghasil energi untuk melakukan
segala aktifitas, dalam hal ini terhadap kelangungan hidup organisme
akuatik, salah satunya yaitu ikan yang masih dalam tahap benih. Artemia sp.
merupakan salah satu makanan hidup yang sampai saat ini paling banyak
digunakan dalam usaha budidaya seperti udang dan ikan, khususnya dalam
pengelolaan pembenihan, yang dikarenakan sangat banyak memiliki
kelebihan dibanding dengan jenis pakan lainnya baik dari mekanisme
pengelolaannya maupun tingkat kandungan nutrisinya seperti kaya akan
protein (Bougias, 2008 dalam Aliyas, 2019). Artemia sp., umumnya dikenal
sebagai udang air asin, adalah salah satu zooplankton terkemuka, digunakan
secara luas dalam industri pembenihan dan penelitian akuakultur untuk nilai
diet tinggi dari kista, nauplii, dan dewasa (Sayanikundu, et al., 2021).
Kandungan nutrisi Artemia sp. cukup tinggi, dimana kandungan
proteinnya mencapai 60%, karbohidrat 20%, lemak 20%, abu 4% dan air 10%
(Wibowo et al., 2013 dalam Sukariani et al., 2016). Artemia sp. mempunyai
keunggulan dibandingkan dengan jenis plankton lainnya, sebab Artemia sp.
dapat disediakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan
berkesinambungan. Selain itu Artemia sp. juga sebagai makanan larva ikan
dan udang yang banyak digunakan di hatchery. Usaha produksi atau kultur
pakan alami sudah mulai dilakukan dibanyak tempat karena banyaknya
kebutuhan akan pakan alami seperti Artemia sp. ini.
Sebagai makanan hidup, Artemia sp. tidak hanya dapat digunakan
dalam bentuk nauplius, tetapi juga dalam bentuk dewasanya. Bahkan jika
dibandingkan dengan naupliusnya, nilai nutrisi Artemia sp. dewasa
mempunyai keunggulan, yakni kandungan proteinnya meningkat dari rata-
rata 47% pada nauplius menjadi 60% pada Artemia sp. dewasa yang telah
dikeringkan. Selain itu kualitas protein Artemia sp. dewasa juga meningkat,
karena lebih kaya akan asam-asam amino essensial. Demikian pula jika
dibandingkan dengan makanan udang lainnya, keunggulan Artemia sp.
dewasa tidak hanya pada nilai nutrisinya, tetapi juga karena mempunyai
kerangka luar (eksoskeleton) yang sangat tipis, sehingga dapat dicerna
seluruhnya oleh hewan pemangsa. Melihat keunggulan nutrisi Artemia sp.
dewasa dibandingkan dengan naupliusnya dan juga jenis makanan lainnya,
maka Artemia sp. dewasa merupakan makanan udang yang sangat baik jika
digunakan sebagai makanan hidup maupun sumber protein utama makanan
buatan. Untuk itulah kultur massal Artemia sp. memegang peranan sangat
penting dan dapat dijadikan usaha industri tersendiri dalam kaitannya
dengan suplai makanan hidup maupun bahan dasar utama makanan buatan.
Untuk dapat diperoleh biomassa Artemia sp. dalam jumlah cukup banyak,
harus dilakukan kultur terlebih dahulu. Produksi biomassa Artemia sp. dapat
dilakukan secara ekstensif pada tambak bersalinitas cukup tinggi yang
sekaligus memproduksi Cyst (kista) dan dapat dilakukan secara terkendali
pada bak-bak dalam kultur massal ini (Sumeru, 2008 dalam Aliyas, 2019).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara kultur Artemia sp. dengan menggunakan metode
dekapsulasi sebagai pakan alami larva ikan?

1.3 Tujuan
Tujuan dari praktikum Kultur Pakan Alami Artemia sp. adalah untuk
mengetahui cara kultur Artemia sp. dengan metode dekapsulasi sebagai
pakan larva ikan.
BAB II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi
Pratikum ini tentunya memerlukan alat dan bahan yang digunakan. Alat
yang digunakan dalam praktikum ini antara lain ialah Gunting, timbangan,
stopkontak, botol untuk wadah, sterofoam box,aerator, refractometer, gunting.
Bahan yang digunakan untuk praktikum ini antara lain ialah kaporit serta kista
artemia.

2.2 Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini sebagai berikut :

1. Kista disiapkan lalu ditimbang sesuai dosis lalu dihidrasi selama 1 jam
2. Kaporit ditimbang sesuai dosis
3. Kemudian pada botol plastik dipotong lalu dipasang kran kemudian diisi
dengan air laut
4. Air laut dimasukan ke refraktometer sebanyak 3 tetes
5. Kadar salinitas diamati ditempat yang terang
6. Kista didekapsulasi dengan kaporit selama 10 menit kemudian dibilas
dengan air bersih
7. Kemudian kista disebar pada air laut yang ada di botol plastik
8. Botol plastik diletakan kedalam sterofoam lalu diberi aerasi
9. Lalu streofoam box ditutup dan didiamkan selama 1 hari
10. Setelah artemia menetas,dilakukan pengamatan artemia
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Gambar 1. Hasil dekapsulasi Artemia sp.

Gambar 2. Pengamatan Artemia sp. dibawah mikroskop

3.2 Pembahasan
Artemia yang disimpan dalam bentuk kering disebut kista. Dengan
melakukan penetesan kista sebanyak 5 gram untuk menetaskan artemia hidup.
Untuk menentukan jumlah kista Artemia sp pada 10 kali pengambilan sampel dalam
tafar 0,0001 gram dijumlahkan. Setelah itu hasil penjumlahan dirata-ratakan atau
dibagi dengan 10 kali pengambilan sampel. Untuk mencapai jumlah kista dalam 1
gram maka hasil dari jumlah kista yang dirata-ratakan dikali dengan 10.000. Dari
hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil pengambilan sampling Artemia sp dalam
1 gram yaitu sebanyak 468000 butir Artemia sp. Karena dalam praktikum ini
menggunakan 5 gram dalam setiap wadahnya, maka 468.000 dikalikan dengan 5
hasilnya 2.340.000. Dapat disimpulkan bahwa dalam setiap 5 gram Artemia sp berisi
sebanyak 2.340.000 butir (Fatma et al., 2016). Setelah itu dilakukan dihidrasi selama 1
jam yang bertujuan untuk melembabkan kista dan tidak kering.

Selanjutnya dilakukan penimbangan kaporit dengan dosis 10 gr/L. Hewan


uji ditebar setelah semua wadah sudah diisi dengan air, baik air bersalinitas,
maupun air laut. Sebelum diisi air, wadah sebaiknya dicuci dulu, bisa menggunakan
detergen dan dibilas dengan air tawar sehingga bau detergen hilang. Air laut di cek
terlebih dahulu kadar salinitasnya dengan cara meneteskan 3 tetes air laut kedalam
refraktometer dan dilihat kadar salinitasnya dengan cara melihatnya di tempat yang
terang. Kista Artemia dapat ditetaskan pada media yang mempunyai salinitas 5-35
ppt, walaupun pada habitat aslinya dapat hidup pada salinitas yang sangat tinggi
(Gusrina, 2008 dalam Fatma et al., 2016).

Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi proses


reproduksi dan kelangsungan hidup Artemia sp. (Sorgeloos., et al 1986) dalam
(Ramadhon, 2013). Menurut Soni (2004) dalam (Ramadhon. 2013) pada salinitas
kurang dari 60 ppt dan kandungan oksigen cukup, induk betina akan menghasilkan
nauplius, dan jika kondisi perairan memiliki salinitas lebih dari 100 ppt dan
kandungan oksigen rendah maka induk betina akan menghasilkan telur yang
kemudian mengalami dehidrasi hingga membentuk dormane dan menjadi kista.

Sebelum ditebar, kista didekapsulasi dengan kaporit selama 10-15 menit. Hal
ini bertujuan agar kista kehilangan cangkangnya sehingga terpisah dari telur
artemia. Setelah dilakukan dekapsulasi, kista dicuci dengan air bersih agar bau
kaporit tidak tercium. Setelah itu, kista ditebar kedalam wadah yang sudah disiapan
dan diisi air, setelah itu diberi aerasi dan dipelihara selama 24 jam didalam
sterofoam. Sterofoam kemudian ditutup dan diberi celah sedikit agar tidak tertutup
rapat. Hal ini bertujuan agar artemia mendapatkan penerangan dari celah tersebut,
dan apabila Artemia sp sudah menetas dan menjadi naupli, naupli-naupli tersebut
akan berkumpul pada cahaya lampu untuk mempermudah proses pemanenan.
Setelah pemeliharaan selama 24 jam, dilakukan pemanenan naupli. Proses
pemanenan dilakukan dengan cara mencabut selang penutup yang ada di bawah
masing-masing wadah agar supaya naupli yang menetas ikut keluar bersama
dengan air, sementara cangkang telurnya tetap bearada diwadah penetasan. Naupli
yang keluar dari selang di alirkan kemasing- masing wadah pemanenan.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Aliyas. 2019. Pengaruh Salinitas Yang Berbeda Terhadap Penetasan Artemia sp. di
Balai Benih Udang Desa Sabang Kecamatan Galang. Jurnal Penelitian.
Madako: Jurusan Budidaya Perairan Universitas Madako.
Fatma, T. Hasim, Rully T. 2016. Daya Tetas Artemia sp. Menggunakan Air
Bersalinitas Buatan dengan Jenis Garam Berbeda. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. Gorontalo: FPIK Universitas Negeri Gorontalo.
Ramadhon, M. Alfian, Dkk. 2013. Pengaruh Perbedaan Salinitas Pada Induk Artemia
sp. Terhadap Jumlah Naupli. Jurnal.
Sayani K. Dasgupta, N. Chakraborty, B. Paul, A. Ray, S. Bhattacharya, S. 2021.
Growth Acceleration Is The Key For Identifying The Most Favorable Food
Concentration of Artemia sp. Ecological Modelling. India: West Bengal.
Sukariani. Muhammad, J. Bagus, D. H. 2016. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Artemia sp. dengan Pemberian Pakan Alami Yang Berbeda. Mataram: Program
Studi Budidaya Perairan Universitas Mataram.

ACARA 2

PEMBUATAN MIKROKAPSUL
Disusun Oleh : 
Kelompok 1
Tika Dea Lestari L1B020008
Syafrie Alfauzi L1B020082
Javid Azka Umaro L1B020086

Asisten : Nurzaki Eka Putri

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mikrokapsul merupakan sediaan pakan berbentuk bulat, berukuran mikron
yang terdiri dari bahan inti dan dinding kapsul sebagai penyalut. Mikrokapsul
adalah suatu tabung atau paket kecil berukuran mikroskopis dan mempunyai
dinding kaku dan halus yang dihasilkan melalui teknik mikroenkapsulasi.
Mikrokapsul berukuran 1,0-5000 mikrometer dengan bentuk dapat berupa bola,
persegi panjang ataupun tidak beraturan. Mikrokapsul terdiri dari 2 struktur utama,
yaitu inti dan pelapis (pelindung). Bahan inti merupakan bahan yang ada di dalam
mikrokapsul yang sering disebut materi inti, bahan aktif, pengisi, dan fasa internal.
Bahan pelapis merupakan bahan yang melapisi bagian inti sering disebut pelapis,
kulit, membran, dinding bahan, fase luar atau matrik (Wati et al., 2020).

Mikrokapsul sudah banyak dimanfaatkan pada bidang pangan akan tetapi


penggunaannya dalam campuran pakan masih terbatas. Hal ini disebabkan karena
bahan penyalut yang digunakan adalah produk pangan yang harganya cukup tinggi
seperti gum arab, gelatin, lesitin dan isolat protein kedele. Untuk membentuk suatu
mikrokapsul dibutuhkan suatu polimer yang dapat membentuk dinding
pelindung zat aktif yang akan di salut. Mikrokapsul yang baik memiliki
kepadatan rendah antara 400 – 600 g/L dengan laju tenggelam rata-rata 25 cm/jam.
Keberadaan mikrokapsul harus dapat terdispersi dan terapung sehingga akan
mudah ditangkap oleh larva ikan. Pakan harus dapat mencapai dasar perairan
dalam bak pemeliharaan, karena larva juga mengambil pakan di dasar perairan
(Rasyadi et al., 2019).

Pakan mikrokapsul adalah campuran partikel bahan pakan yang dibuat


dengan polimerisasi protein pakan untuk memberikan nutrisi pakan ke larva ikan
dalam bentuk yang dapat dicerna. Ukuran pakan mikrokapsul biasanya berkisar
antara 25 hingga 250 mikroeter. Namun, ukuran optimal tergantung pada tahap
perkembangan dan spesies. Pakan mikrokapsul telah dikembangkan dan diteliti
secara intensif untuk pakan larva ikan sejak pembukaan mulut. Studi pemberian
makan eksperimental menggunakan diet mikrokapsul telah diselidiki pada berbagai
spesies ikan, diantaranya yaitu sea bream (Sparus aurata), sole (Solea senegalensis), sea
bass (Lates calferifer), striped bass (Morone saxatilis), zebrafish (Brachydanio rerio),
dan Atlantic Halibut (Hippoglossus hippoglossus) (Tola et al., 2021).

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan
BAB II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi
2.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu blender, mesin homogeniser
(mixer), wadah, gelas, kuas, oven listrik (Memmert, Jerman), alat saringan dengan
mess 100 um, kertas saring, dan Mikroskop Stereo (Bocco, Jerman).

2.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu, ikan layur, ikan rucah,
telur bebek, dan air.

2.2 Metode
1. Preparasi Inklusi :

- Bahan inklusi berupa daging ikan layur dan ikan rucah dipersiapkan.

- Lemak yang menempel pada ikan layur dan ikan Rucah dipisahkan.

- Kemudian daging ikan layur dan ikan rucah dipotong-potong

- Daging ikan layur dan ikan rucah dihomogenkan terlebih dahulu dengan
menggunakan blender.

- Bahan daging ikan kembung kemudian dicampur dengan air dengan


perbandingan 1:1 dan campuran tersebut kemudian diaduk menggunakan mixer
supaya homogen.

- Untuk daging ikan setelah diblender dan dicampur air lalu dilakukan pengepresan
kemudian dilakukan penyaringan sehingga diperoleh sari nutriennya.

2. Preparasi Matriks :

- Telur bebek yang sudah dicuci, dipecahkan dan putih telur dimasukkan ke dalam
gelas.

- Bahan mariks berupa albumin (putih telur) dihomogenkan dengan blender.


- Bahan matrik sebagian besar digunakan sebagai media suspensi dan sisanya akan
membentuk dinding mikrokapsul.

3. Tahap pembuatan Droplet: 15

- Ikan layur dan ikan rucah dicampurkan pada putih telur yang telah dihomgenkan
dengan perbandigan 1:1

- Bahan inklusi berupa daging ikan sebagai fase hidrofilik dicampur dengan bahan
matriks sebagai fase hidrofobik menggunakan mixer.

- Kemudian dipanaskan di atas pemanas listrik (600 watt).

4. Tahap Polimer Cross-linking

- Proses pemanasan dan pengadukan dengan mixer hingga membentukpolimer


cross-linking dilakukan selama ± 10 menit hingga suhunya mencapai ± 85°C.

5. Tahap Produk Recovery

- Suspensi yang mengandug butiran-butiran halus dimasukkan alat pengeringan


mikrokapsul dengan suhu 100o -140o C dengan menggunakan oven.

6. Uji Daya Apung Mikrokapsul

- Enam buah beker glass berukuran 250 ml disiapkan, yang diisi air sampai volume
tersebut. Jumlah pakan yang sama (0,00005) G.

- Kemudian dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air,

- Selanjutnya diamati lamanya berada dipermukaan air, perhitungan waktu


menggunakan menit.

7. Tahap Uji Proksimat

- Analisis proksimat dilakukan pada pakan mikrokapsul, komposisi nutrisi pakan


berdasarkan sifat kimianya, untuk melihat diantara protein, kadar air, serat kasar,
lemak, abu dan karbohidrat.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Gambar.

Gambar.

Gambar.
3.2 Pembahasan

Kelemahan pakan ikan buatan untuk stadia larva umumnya kurang


efektifnya nutrisi tercerna karena pakan mudah larut air sehingga kandungan
nutrisi berkurang. Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan mikroenkapsulasi
pakan (mikrokapsul) untuk meningkatkan tersampainya nutrisi pakan ke larva
ikan.Mikrokapsul merupakan sediaan pakan berbentuk bulat, berukuran mikron
yang terdiri dari bahan inti dan dinding kapsul sebagai penyalut ( Prasetiyo, 2020).

Mikroenkapsulasi dapat melindungi bahan inti (core) yang semula berbentuk


cair menjadi bentuk padatan sehingga mudah dalam penanganannya serta dapat
melindungi bahan inti dari kehilangan flavor . Salah satu metode mikroenkapsulasi
yang paling banyak digunakan adalah spray drying. Spray drying adalah proses
mikroenkapsulasi dengan mengubah partikel dari bentuk cair menjadi padat berupa
bubuk halus dengan menggunakan teknik penyemprotan dalam media panas. Spray
drying dapat digunakan pada bahan yang labil terhadap panas, kemudian akan
disalut dan diubah menjadi bentuk bubuk dengan stabilitas yang tinggi serta
memiliki ukuran partikel yang kecil. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
retensi bahan aktif dalam mikrokapsul hasil spray drying diantaranya adalah jenis
enkapsulan, konsentrasi enkapsulan dan rasio antara minyak atsiri dengan
enkapsulan (Masrukan,2019).

Perbandingan mikrokapsul buatan dan mikrokapsul komersial yaitu pada


daya larutnya. Pada mikrokapsul buatan lebih lama dibandingkan dengan
mikrokapsul komersial. Stabilitas pakan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu, ukuran partikel, komposisi bahan, bahan perekat dan teknik pengolahan.
Warna mikrokapsul komersial dan buatan hampir sama, yaitu berwarna kuning
sedikit muda dan kuning tua. Warna mikrokapsul menjadi berubah dan spesiikasi
warnanya dipengaruhi oleh bahan inklusinya. Warna mikrokapsul dipengaruhi oleh
warna asal bahan dasar yang digunakan (Pahlevi et al., 2008 dalam Sukardi et al.,
2014).
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Masrukan, M., & Santoso, U. (2019). MIKROENKAPSULASI MINYAK ATSIRI


DAUN CENGKEH (SYZYGIUM AROMATICUM) DENGAN
ENKAPSULAN GELATIN KERBAU MENGGUNAKAN METODE
SPRAY DRYING. Jurnal Teknologi Pertanian, 20(1), 45-52.

Prasetiyo, H., Marnani, S., & Sukardi, P. (2020). Mikroenkapsulasi Ekstrak Kasar
Maggot Sebagai Pakan Substitusi Pada Penyapihan Pakan Larva Ikan
Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Kemaritiman: Indonesian Journal of
Maritime, 1(2), 68-79.

Rasyadi, Y., Rahim, F., & Handayani, N. F. 2019. Aplikasi etil selulosa sebagai
polimer pada formulasi mikrokapsul papain dengan metode
penguapan pelarut. Journal Academi Pharmacy Prayoga, 4(1), 55-62.

Tola, S., Jintasathaporn, O., & Yuangsoi, B. 2021. Successful nursing of Mekong giant
catfish (Pangasianodon gigas, Chevey 1930) larval by replacing
live feed with microcapsule diet. Aquaculture, 534: 1-11.

Wati, R. R., Sriwidodo, S., & Chaerunisa, A. Y. 2020. Review teknik


mikroenkapsulasi Pada ekstrak Mangosteen. JCPS (Journal of
Current Pharmaceutical Sciences), 3(2): 241-248.

Anda mungkin juga menyukai