Anda di halaman 1dari 70

BUKU KERJA PRAKTIKUM

MANAJEMEN BUDIDAYA AIR


TAWAR, PAYAU DAN LAUT

NAMA : NAYIF DHOLIFUN NAFSI DAUD


NIM : 215080501111055
KELOMPOK :1
ASISTEN : REVY DIMAS ADITYA

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
TATA TERTIB PRAKTIKUM

1. Praktikan boleh mengikuti praktikum apabila sudah memenuhi syarat


administrasi.
2. Praktikan harus datang 15 menit sebelum praktikum dimulai.
3. Praktikan harus selalu membawa buku panduan praktikum.
4. Praktikan harus mengikuti pre-test sebelum dimulai dan wajib mengikuti
seluruh materi praktikum.
5. Praktikan yang tidak mengikuti satu atau lebih materi praktikum tidak
diperbolehkan mengikuti ujian praktikum.
6. Selama pelaksanaan praktikum di laboratorium, praktikan:
a. Diwajibkan memakai jas laboratorium rapi dan lengkap sesuai dengan
nama masing-masing praktikan
b. Dilarang membuat gaduh
c. Praktikan harus menjaga keamanan peralatan yang digunakan
d. Dilarang makan, minum (tanpa seizin asisten) dan merokok saat
praktikum berlangsung
e. Dilarang menggunakan alat-alat elektronik (handphone, dll.) selama
pelaksanaan praktikum kecuali atas izin asisten.
7. Test (Pre-Test dan Post-Test) diadakan sebelum dan sesudah praktikum.
8. Kerusakan alat yang digunakan karena kelalaian menjadi tanggung jawab
praktikan secara berkelompok atau pribadi.
9. Setiap selesai melaksanakan praktikum, alat-alat yang digunakan dan meja
harus dibersihkan kembali.
10. Setiap selesai praktikum, praktikan wajib meminta tanda tangan asisten
pada kartu kendali.
11. Laporan dikerjakan individu, dan dikumpulkan sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan.
12. Praktikan yang tidak bisa mengikuti praktikum dikarenakan sakit, harus
menyerahkan surat keterangan dokter maksimal 1 minggu setelah jadwal
praktikum.
13. Praktikan yang tidak bisa mengikuti praktikum dikarenakan ada kegiatan lain
(praktikum, dll) harus menyerahkan surat keterangan maksimal 3 hari
sebelum jadwal praktikum.
14. Tata tertib yang telah ditetapkan wajib dipatuhi dan dilaksanakan.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi petunjuk dan karunia-Nya, sehingga tim penyusun dapat mengerjakan
dan menyelesaikan penulisan buku kerja Manajemen Budidaya Air Tawar,
Payau dan Laut. Buku kerja praktikum ini disusun sebagai materi pembelajaran
praktikum Manajemen Budidaya Air Tawar, Payau dan Laut dan untuk
membantu mahasiswa dalam melaksanakan praktikum Manajemen Budidaya
Air Tawar, Payau baik di lapang maupun di laboratorium.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih belum sempurna, maka
dari itu diperlukan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan dalam penulisan selanjutnya. Semoga buku panduan ini dapat
bermanfaat dan dapat dimanfaatkan pada praktikum Manajemen Budidaya Air
Tawar, Payau dan Laut

Malang, September 2023

Tim Dosen dan Tim Asisten


BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akuakultur atau budidaya perairan merupakan upaya manusia

meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan memproduksi biota air

dalam wadah terkontrol baik secara intensif maupun semi intensif untuk

mendapatkan keuntungan. Biota air yang diproduksi terdiri dari kelompok ikan

(finfish), udang (krustasea), kerang (moluska), teripang (ekinodermata) dan

tanaman air (alga, makrofita), baik untuk dikonsumsi, bahan baku industri

maupun ikan hias. Berdasarkan pada habitat biota air atau sumber air yang

digunakan dikenal perikanan budidaya air tawar (danau, waduk, situ, sungai

saluran irigasi, rawa air tawar, mata air), budidaya air payau (muara sungai,

perairan pantai, rawa air payau, paluh) dan budidaya laut atau marikultur

(perairan terlindung berupa teluk, selat dan laguna serta perairan terbuka

berupa laut lepas pantai atau laut dalam) (Effendi, 2019). Secara umum

akuakultur memberikan gambaran tentang pengelolaan ikan dalam budidaya

dengan baik yang mencakup manajemen pakan, manajemen lingkungan,

manajemen hama dan penyakit, manajemen reproduksi, tingkah laku dan lain

sebagainya.

Supono (2015), menyatakan bahwa kegiatan budidaya terutama yang

dikelola secara semi intensif dan intensif mempunyai permasalahan yang cukup

serius mengenai penurunan kualitas air. Kepadatan penebaran (stocking

density) dan input pakan yang tinggi menyebabkan tingginya limbah yang

dihasilkan baik yang tersuspensi maupun mengendap di dasar kolam. Besarnya

limbah yang dihasilkan dalam budidaya ikan/udang tidak terlepas dari

rendahnya efisiensi pakan dan buruknya manajemen pemberian pakan (feeding

1
management) yang berakibat tingginya nilai rasio konversi pakan (Feed

Convertion Ratio/FCR). Penurunan kualitas air juga dapat menyebabkan

penyakit di lingkungan budidaya. Penyakit pada ikan akan muncul jika terjadi

interaksi antara kondisi lingkungan yang buruk, keberadaan patogen, dan

kondisi ikan yang lemah.

Manajemen pemberian pakan dan manajemen lingkungan dalam

budidaya ikan mempunyai hubungan erat dan saling mempengaruhi.

Manajemen pakan yang buruk akan mempengaruhi kualitas air, begitu juga

manajemen lingkungan yang buruk akan menurunkan konsumsi pakan oleh

ikan. Efisiensi pakan yang rendah membutuhkan strategi pemberian pakan

yang tepat untuk mencegah penurunan kualitas air. Kualitas air mempengaruhi

pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan yang secara secara ekonomi akan

memepengaruhi produktivitas kolam. Metode pemberian, frekuensi, dan tingkat

pemberian pakan ditujukan untuk mengoptimalkan pakan, menurunkan konversi

pakan, serta mengurangi limbah yang dihasilkan sebagai efek samping

(Supono, 2015).

Peluang untuk meningkatkan produksi ikan dari usaha akuakultur sangat

besar, mengingat semakin tingginya kesadaran masyarakat mengenai

pentingnya ikan sebagai sumber protein pada makanan serta potensi perairan

Indonesia yang cukup besar. Luas area akuakultur Indonesia berupa marikultur,

tambak, kolam, keramba, jaring apung, jaring tancap dan sawah mina padi

diperkirakan baru mencapai 1.321.874 ha. Area akuakultur yang paling luas

berupa tambak mencapai 715,9 ribu ha, diikuti oleh marikultur 285,6 ribu ha dan

kolam 189,2 ribu ha. Produksi perikanan budidaya Indonesia diperkirakan

mencapai 16,1 juta ton dengan nilai hampir Rp 187,2 trilyun pada 2017.

Kontribusi terbesar berasal dari rumput laut, diikuti oleh kolam air tenang dan

tambak. Produksi kolam air tenang umumnya berupa ikan nila, ikan lele dan

2
ikan patin, sedangkan tambak berupa ikan bandeng dan udang vaname

(Effendi, 2019).

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum Manajemen Budidaya Akuakultur Tawar, Payau

dan Laut ini adalah mengenalkan kepada mahasiswa tentang aplikasi konsep-

konsep manajemen bioteknis budidaya pada berbagai organisme perairan

tawar, payau dan laut dalam upaya mencapai produksi yang optimal,

menguntungkan dan ramah lingkungan.

Tujuan dari praktikum Manajemen Budidaya Akuakultur Tawar, Payau

dan Laut adalah mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan prinsip sistem

produksi yang digunakan dalam budidaya terhadap total produksi, kapasitas

produksi, kebutuhan input dan dampak lingkungan disamping mempertahankan

ikan yang produktif dan sehat. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan

proses utama yang terjadi pada sistem produksi akuakultur seperti pengelolaan

kualitas air, manajemen kesehatan, manajemen pakan dan limbah untuk

menjaga lingkungan hidup yang sehat bagi budidaya ikan dan lingkungan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Manajemen Budidaya Air Tawar, Payau dan Laut tahun 2023

dilaksanakan pada September 2023 - Desember 2023. Praktikum dilaksanakan

di Unit Pelaksana Teknis Perikanan Air Tawar Sumberpasir, Malang.

3
BAB II. PEMBAHASAN

2.1Ikan Lele (Clarias sp.)


2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar. Ikan lele memiliki

nama latin Clarias sp. Menurut Khairuman dan Amri (2008), klasifikasi ikan lele

yaitu sebagai berikut:

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygi

Ordo : Siluriformes

Subordo : Siluroidae

Famili : Claridae

Genus : Clarias

Species : Clarias sp.

Sumber : Warseno, 2018


Gambar 1. Ikan Lele

Ciri morfologi pada ikan lele menurut Khairuman dan Amri (2008), yaitu

memiliki tubuh bulat memanjang, licin, dan tidak bersisik. Lele memiliki dua buah

kumis yang dekat dengan sungut hidungnya. Kumis tersebut berfungsi sebagai

alat pemciuman dan juga sebagai alat mencari makan dan alat peraba ketika

berenang. Ciri yang lebih spesifik yaitu memiliki warna tubuh yang bervariasi.
4
Ada yang berwarna cokelat gelap, cokelat terang, dan berwarna hitam. Lele

memiliki patil yang sangat kuat. Ciri morfologi ikan lele disajikan pada Gambar 1.

Ikan lele (Clarias sp.) menurut Warseno (2018), memiliki tubuh yang

memanjang dengan kulit licin. Ikan lele tidak memiliki sisik dengan sirip

punggung dan sirip anus yang panjang. Sirip tersebut biasanya menyatu dengan

sirip ekor. Lele memiliki kepala yang keras di bagias atas dan memiliki mata yanh

kecil dengan mulit lebar yang terletak di ujung. Ikan lele memiliki empat pasang

sungut peraba (barbells) yang berfungsi untuk bergerak di air yang gelap. Alat

pernafasan tambahan berupa modifikasi dari busur insangnya dan memiliki

sepasang patil. Patil merupakan duri tulang yang tajam pada sirip dadanya.

2.1.2 Habitat

Habitat ikan lele menurut Warseno, et al. (2018), merupakan air yang

tenang atau mengalir perlahan. Ikan lele dapat ditenukan di rawa, telaga, waduk,

dan sawah yang tergenang air. Ikan lele bersifat nokturnal yaitu bergerak

mencari makan ketika malam hari. Ikan lele akan berlindung di tempat yang

gelap ketika siang hari. Penyebaran ikan lele terdapat sekitar 55-60 spesies

marga Clarias yang tersebar luas di dunia. Di Asia Tenggara telah diketahui dan

dideskripsikan sekitar 20 spesies ikan lele. Dalam kegiatan budidaya, media

untuk memelihara ikan lele harus sesuai dengan habitat aslinya.

Ikan lele menurut Sitio, et al. (2017), merupakan salah satu komoditas

perikanan budidaya air tawar yang unggul. Ikan lele memiliki keunggulan karena

pertumbuhannya cepat dan kemampuan adaptasi lingkungan yang tinggi. Habitat

ikan lele yaitu di perairan tawar dengan kadar salinitas 1 ppt. Ikan lele dapat

hidup di perairan pasang surut seperti rawa yang memiliki salinitas 3-4 ppt. Hal

ini didukung oleh pernyataan Anis dan Hariani (2019), bahwa ikan lele memiliki

pertumbuhan yang cepat dan toleran terhadap kualitas air yang kurang baik.
5
Selain itu, ikan lele tahan terhadap penyakit dan dapat dipelihara hampir di

semua wadah budidaya.

2.1.3 Reproduksi

Ikan lele menurut Ernawati (2021), bereproduksi agar dapat

menghasilkan keturunan. Perbedaan jantan dan betina ikan lele dapat dilihat dari

organ seksnya, dimana ikan lele jantan memiliki bentuk yang runcing dan

memanjang dengan kantong sperma (testis) berjumlah dua buah berbentuk pipih

memanjang berwarna putih. Sedangkan ciri-ciri alat reproduksi induk lele betina

yaitu alat kelaminnya berbentuk bulat (oval) dan mempunyai kantong telur

(ovarium) sebanyak dua buah. Ikan lele berkembang biak secara ovipar

(eksternal) dimana pembuahan terjadi di luar tubuh sehingga spermatozoa akan

membuahi telur saat di luar.

Penentuan induk lele jantan dan betina menurut Gunawan (2009), perlu

diperhatikan dengan seksama melalui bentuk fisik antara keduanya. Umumnya,

jenis kelamin lele lebih mudah dibedakan ketika sudah matang gonad. Ikan lele

jantan memiliki alat kelamin menonjol, bentuknya meruncing dan warnanya

kemerahan. Batok kepala lebih kecil dan lebih pipih daripada betina. Perutnya

ramping dan bila diurut pelan-pelan akan keluar cairan putih atau sperma.

Gerakan ikan lele jantan lebih gesit dengan warna tubuhnya yang terang.

Sedangkan pada ikan lele betina bentuk alat kelaminnya bulat, kemerahan dan

memiliki lubang yang agak besar dengan batok kepala agak cembung dan lebih

besar dibandingkan indukan jantan. Ikan lele betina memiliki perut gendut dan

jika diurut akan keluar cairan kuning, memiliki gerakan yang lamban dan warna

gelap.

6
A B

Sumber : Gunawan, 2009


Gambar 2. (A) Induk Lele Betina, (B) Ikan Lele Jantan

Pemijahan ikan lele menurut Mahyuddin (2008), dapat dilakukan melalui

teknik pemijahan secara alami (tradisional), pemijahan secara semiintensif

(induce spawning) dan pemijahan secara intensif atau buatan (induce breeding).

Pemijahan secara tradisional pada ikan lele dilakukan dengan alat dan cara yang

sederhana, serta campur tangan manusia yang terbatas. Proses ini tidak

membutuhkan biaya yang besar, tetapi produksi benih lele nantinya akan kurang

maksimal. Sedangkan pada pemijahan semiintensif, prosedur pemijahannya

hampir sama dengan pemijahan secara alami, hanya saja pada pemijahan ini

indukan lele jantan maupun betina disuntik dengan menggunakan hormone

perangsang terlebih dahulu. Penyuntikan hormon ini ditujukan untuk merangsang

proses pematangan dan ovulasi sel telur. Proses pemijahan secara intensif

berbeda dengan kedua proses sebelumnya, dimana pemijahan dilakukan

dengan bantuan tangan manusia. Setelah induk lele disuntik, telur dan sperma

dikeluarkan dari induk dengan cara diurut. Kemudian telur dan sperma

ditampung dan dicampurkan dalam satu wadah sehingga terjadi pembuahan.

2.1.4 Pemilihan Lokasi Budidaya Ikan Lele

Pemilihan lokasi budidaya ikan lele menurut Gunawan (2014), dibagi

menjadi 3 aspek yaitu aspek teknis, aspek ekonomis, dan aspek sosial yang

akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut :

7
a. Aspek Teknis

1. Topografi

Topografi merupakan bentuk permukaan tanah yang digunakan sebagai

lokasi budidaya, salah satunya yaitu mengenai ketinggian tanah. Ketinggian

tanah yang optimal digunakan untuk budidaya lele yaitu berkisar antara 1 – 700

mdpl dengan curah hujan sedang. Lokasi budidaya ikan lele diatas 700 mdpl

dinilai kurang baik untuk pertumbuhan ikan lele karena semakin tinggi lokasi

budidaya maka suhu udaranya semakin rendah, menyebabkan metabolisme ikan

tidak maksimal. Rendahnya metabolisme ikan menyebabkan waktu budidaya

ikan lele lambat, waktu panen mundur, dan otomatis akan membutuhkan lebih

banyak pakan. Pada suhu dingin telur ikan lele akan menetas tidak maksimal

dan membutuhkan waktu lebih lama bisa mundur antara 3-8 jam.

2. Kondisi Tanah

Kondisi tanah sebagai lokasi budidaya ikan lele juga harus diperhatikan.

Tidak semua jenis tanah dapat dijadikan lokasi budidaya. Syarat tanah yang

dapat dijadikan kolam budidaya yaitu tanah yang tidak mudah rembes, longsor,

dan pecah. Jenis tanah yang baik untuk kolam budidaya ikan lele adalah tanah

liat atau lempung, subur, tidak poros, dan berlumpur.

3. Sumber Air

Air dalam budidaya ikan dijadikan sebagai media hidup organisme akuatik

maka, kualitas dan kuantitas air menjadi salah satu faktor terpenting dalam

budidaya ikan lele. Air harus selalu tersedia dan cukup untuk seluruh rangkaian

kegiatan budidaya. Syarat sumber air pada lokasi kegiatan budidaya sumber air

harus dekat dengan lokasi budidaya, tidak banjir, tersedia sepanjang tahun,

jumlah mencukupi, dan air tidak tercemar. Selain syarat tersebut dalam budidaya

ikan lele juga membutuhkan air yang memenuhi kriteria dan sesuai dengan

habitat asli ikan lele. Ikan lele menurut Sitio, et al. (2017), dapat tumbuh dengan
8
baik pada perairan dengan salinitas antara 3,79-4,17 ppt. Suhu air berkisar

antara 20-30ºC. pH antara 6,5-9. Nilai alkalinitas yang baik pada suatu perairan

berkisar antara 30-500 mg/L. Kadar oksigen yang baik untuk menunjang

pertumbuhan ikan lele secara optimum harus lebih dari 3 mg/L. Ikan lele mampu

mentoleransi amonia sampai 5,70 mg/L.

b. Aspek Ekonomis

Secara ekonomis dalam budidaya ikan lele harus memperhatikan fasilitas

umum dekat lokasi budidaya. Kesulitan fasilitas umum dapat menganggu

kelancaran usaha. Prinsip sebuah usaha sebaiknya pengeluaran lebih kecil dari

pada pemasukan. Maka dari itu diusahakan dalam produksi mengeluarkan

sedikit biaya, dengan tersedianya fasilitas umum yang dekat maka dapat

menekan biaya tambahan untuk produksi. Lokasi budidaya juga sebaiknya dekat

dengan daerah pemasaran. Diharapkan pendistribusian ikan lele dapat

berlangsung cepat, dan ikan lele sampai ke tangan konsumen dengan kualitas

tetap terjaga dengan baik.

c. Aspek Sosial

Aspek sosial juga harus diperhatikan dalam memilih lokasi budidaya.

Lokasi budidaya harus aman dari berbagai gangguan, baik manusia maupun

hewan. Sebaiknya dalam memilih lokasi bubidaya ikan lele tidak berdekatan

dengan pemukiman penduduk. Lokasi budidaya yang dekat dengan pemukiman

penduduk dikhawatirkan menimbulkan ketidaknyamanan warga sekitar akibat

dari kegiatan budidaya. Proses kegiatan budidaya sebaiknya tidak menganggu

lingkungan, limbah pasca produksi diolah sedemikian rupa agar tidak mencemari

lingkungan. Diharapkan memberikan dampak positif untuk lingkungan sekitar

lokasi budidaya, seperti dapat membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar.

9
2.1.5 Sarana dan Prasarana Budidaya

a. Kolam

Kolam yang sering digunakan pada budidaya ikan lele secara intensif

menurut Wathon (2018), ada dua jenis yaitu kolam terpal dan kolam beton.

Kolam terpal merupakan kolam yang dinilai memiliki harga murah dan bisa

digunakan pada lahan sempit. Ukuran kolam bisa disesuaikan dengan lahan

yang tersedia untuk budidaya. Kolam terpal memiliki dinding dan dasar kolam

dari terpal dengan penyangga berbahan kayu, bambu, atau bisa juga dengan

rangka besi. Selain kelebihan tersebut tentu kolam terpal memiliki beberapa

kekurangan yaitu rawan sobek dan bocor, tidak permanen, lebih sering

melakukan pembersihan kolam karena kotoran banyak menempel pada lipatan-

lipatan terpal, lebih banyak memberikan pakan tambahan karena sedikit memiliki

unsur hara, terpal memiliki jangka waktu pemakaian tidak bisa untuk jangka

panjang. Kolam beton merupakan kolam permanen yang bagian pematang dan

dasar kolamnya terbuat dari beton/semen. Kolam beton membutuhkan biaya

lebih tinggi dari kolam terpal dan harus dipikirkan dengan matang lokasi

budidayanya karena bersifat permanen dan tidak dapat dipindahkan. Kolam

beton memiliki beberapa kelebihan yaitu, tahan lama dan tidak mudah bocor,

bersifat permanen, pakan lebih efisien karena bisa mendapat pakan alami dari

kolam, saluran air lebih mudah, biaya perawatan rendah, dan kualitas air lebih

mudah terkontrol.

b. Saluran Air

Saluran air menurut Ardyanti, et al. (2018), merupakan salah satu faktor

penting yang harus dimiliki pada setiap kolam budidaya. Saluran air dibagi

menjadi dua yaitu saluran inlet dan saluran outlet. Saluran inlet merupakan

saluran air yang digunakan untuk memasukan air bersih menuju kolam budidaya.

10
Proses pemasukan air bisa dibantu menggunakan pompa air dan pipa paralon.

Saluran inlet pada kolam umumnya terletak lebih tinggi dari badan air dan berada

berlawanan dengan outlet. Saluran outlet merupakan saluran air yang digunakan

untuk pengeluaran air. Berbeda dengan saluran inlet, saluran outlet berada di

bagian dasar kolam yang langsung mengarah ke saluran pembuangan.

Konstruksi saluran inlet dan outlet dibuat sesuai dengan sistem budidaya yang

dilakukan baik secara permanen maupun semi permanen.

c. Biosecurity

Biosecurity menurut Nwabueze dan Ofuoku (2020), merupakan suatu

sistem untuk mengurangi resiko persebaran dan pencegahan terhadap hama

dan penyakit. Langkah-langkah biosecurity yang diterapkan dengan baik dapat

mencegah, mengendalikan, memberantas serta mengurangi dampak dari

penyakit ikan. Penerapan biosecurity menurut Lutfiyanah dan Djunaidah (2020),

yaitu dengan memasang pagar baja ringan di sekitar kolam budidaya.

Diharapkan dengan pemasangan biosecurity tersebut ikan lele dapat terhindar

dari serangan hama (kucing, ayam, dll) dan penyakit. Penerapan biosecurity juga

dapat diterapkan dengan menjaga kualitas air kolam budidaya. Melakukan

kontrol mingguan pada kolam budidaya lele dapat menjadi salah satu cara untuk

memastikan kualitas air tetap baik selama masa budidaya. Penyakit yang umum

menyerang ikan lele yaitu penyakit kuning, jamur kulit, sirip merah, dan virus.

2.1.6 Manajemen Pakan

Manajemen pemberian pakan menurut Cahyani dan Hafiludin (2023),

merupakan faktor utama yang paling penting untuk menciptakan keberhasilan

dalam suatu budidaya ikan. Keberhasilan suatu usaha budidaya ikan dapat

ditentukan dari manajemen pemberian pakannya, karena pakan yang dikonsumsi

secara efektif oleh ikan dapat membuat ikan mengalami pertumbuhan dengan
11
baik. Manajemen pemberian pakan bertujuan untuk menyesuaikan kebutuhan

nutrisi ikan, kualitas pakan dan waktu yang tepat untuk memberi makan ikan.

Konsumsi pakan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah

ukuran tubuh, stadia, ketersediaan pakan, laju pengosongan lambung, aktivitas

dan kesehatan tubuh ikan, serta kualitas air. Feeding habits atau kebiasaan cara

makan ikan merupakan hal yang harus diperhatikan dalam pemberian pakan

suatu budidaya ikan. Ikan dapat tumbuh secara optimal karena adanya

pemberian pakan yang efisien, sebagian besar pakan yang diberikan hanya 25%

menjadi hasil produksi dan sisanya terbuang menjadi limbah 62% berupa bahan

terlarut dan 13% berupa partikel terendap. Besarnya limbah yang dihasilkan

dapat menyebabkan turunnya kualitas air dalam budidaya tersebut dan akan

berdampak kepada sistem ekologinya yang diakibatkan oleh adanya buangan ini

maka akan terjadi pengkayaan nutrien (eutrofikasi), perubahan pola rantai dan

jaring makanan, dan meningkatnya tingkat kebutuhan oksigen sehingga dapat

menyebabkan pertumbuhan ikan terganggu.

a. Cara dan Waktu Pemberian Pakan

Cara pemberian pakan menurut Mulyani, et al. (2021), lebih baik dibuat

basah terlebih dahulu dengan menambahkan sedikit air dan didiamkan selama

15-20 menit hingga teksturnya berubah menjadi kenyal dan dapat sedikit

tenggelam dengan jumlah terkontrol. Pakan ditebar sedikit demi sedikit dengan

memperhatikan respon makan ikan lele. Apabila respon makan mulai melambat

maka dapat diartikan bahwa ikan lele sudah cukup kenyang. Pemberian pakan

dilakukan secara at-satiation (sekenyangnya). Waktu pemberian pakan yang

tepat pada budidaya ikan menurut Cahyani dan Hafiludin (2023), dapat

menjadikan keberhasilan dalam suatu usaha budidaya, dan apabila terjadi

penggunaan pakan yang tidak efisien/berlebihan dan pemberian pakannya di

waktu yang berbeda dapat menyebabkan kerugian dalam budidaya. Pemberian


12
pakan yang tidak efektif dapat menyebabkan pertumbuhan ikan tidak optimal

karena tidak sesuai dengan kebutuhan ikan dan banyak pakan yang terbuang.

b. Jumlah Pemberian Pakan

Jumlah pemberian pakan menurut Cahyani dan Hafiludin (2023),

merupakan salah satu faktor penentu berhasilnya suatu budidaya ikan. Pakan

yang diberikan sesuai dengan kebutuhan ikan. Semakin besar ukuran ikan

semakin sedikit jumlah pakan yang diberikan, semakin kecil ukuran ikan maka

semakin banyak jumlah pakan yang diberikan. Ikan berukuran kecil

membutuhkan jumlah pakan yang lebih banyak karena ikan berukuran kecil

masa pertumbuhannya lebih besar dari pada ikan yang berukuran besar. Jumlah

pemberian pakan menurut Mulyani, et al. (2021), yaitu sebanyak 3-5% dari berat

tubuhnya perhari dan untuk jumlah protein dibedakan menjadi tiga kelompok

yaitu:

 Pakan benih ( protein tinggi 38-40%) disarankan memakai zooplankton

 Pakan masa pertumbuhan (protein sedang 30-33%) disarankan

menambahkan suplemen makanan seperti maggot

 Pakan akhir pertumbuhan usia lebih dari 2 bulan (protein rendah <30%)

c. Frekuensi Pemberian Pakan

Frekuensi pemberian pakan merupakan berapa kali pakan diberikan

dalam waktu sehari. Pada awal penebaran benih menurut Lutfiyanah dan

Djunaidah (2020), pakan diberikan 3 kali sehari, dengan jumlah 3-5% dari total

biomassa ikan. Semakin lama pemeliharaan jumlah pemberian pakan (FR)

semakin menurun. Jumlah pakan untuk ikan lele berumur dua bulan ke atas

(>12cm) adalah 2%-3% dari total biomassa ikan. Pemberian pakan tidak bisa

dilakukan sembarangan pemberian pakan perlu mempertimbangkan nafsu

makan ikan. Jika ikan lele gerakannya sudah mulai lambat dan tidak aktif pada

13
saat pemberian pakan, maka nafsu makan ikan lele sudah berkurang. Ikan lele

yang berumur 10 hari diberikan pakan 4%-5% dan ikan lele yang berumur 60 hari

diberikan pakan 2% dari biomassanya.

Pemberian pakan menurut Cahyani dan Hafiludin (2023), harus

memperhatikan tingkat kekenyangan ikan dan nafsu makan ikan supaya pakan

dapat dicerna secara optimal. Ikan membutuhkan waktu untuk mengosongkan

perutnya sehingga dapat merangsang nafsu makannya sehingga interval

optimum dan pemberian pakan harus disesuaikan dengan pengosongan perut

ikan supaya ikan dapat memakan dengan lahap dan ikan dapat tumbuh dengan

optimal. Pemberian pakan pada waktu yang tepat berkaitan dengan frekuensi

pemberian pakan pada budidaya ikan dan dapat membuat ikan tumbuh dengan

optimal. Pemilihan pakan untuk ikan air tawar tidak hanya melibatkan kriteria nilai

gizi dan efisiensi biaya dan juga harus mempertimbangkan kriteria lainnya seperti

pencernaan, kandungan racun dan ketersedian pakan.

d. Kualitas Pakan

Upaya yang dapat dilakukan oleh pembudidaya untuk meningkatkan

produksi ikan lele menurut Mulyani, et al. (2021), yaitu dengan cara intensifikasi

budidaya ikan lele dan mengoptimalkan kualitas dan efisiensi pakan yang dapat

mendukung hasil produksi ikan lele. Kegiatan budidaya ikan lele perlu juga

dipertimbangkan pemberian pakan atau dilakukannya manajemen pakan dengan

tepat. Pakan merupakan komponen penting dalam budidaya ikan lele untuk

menunjang pertumbuhan serta kelangsungan hidup ikan budidaya. Pakan

komersial saat ini memiliki harga yang tinggi sehingga pelaku usaha budidaya

ikan tawar dapat menghabiskan biaya mencapai 75% dari total biaya yang

dibutuhkan untuk budidaya. Pemberian pakan juga harus memperhatikan

kualitas dan kuantitas, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan

oleh ikan. Pakan yang berkualitas memiliki kandungan nutrisi yang lengkap,
14
mudah dicerna oleh ikan dan tidak mengandung zat-zat berbahaya bagi ikan.

Oleh karena itu, manajemen pemberian pakan diperlukan untuk memaksimalkan

pemanfaatan pakan secara efektif dan efisien untuk pertumbuhan ikan yang

optimal berdasarkan kualitas dan kuantitas.

2.1.7 Manajemen Kualitas Air

Kualitas air pada media pemeliharaan ikan lele perlu diperhatikan karena

dapat menurun seiring berjalannya kegiatan budidaya. Hal ini dapat disebabkan

karena kandungan oksigen terlarut yang menurun dan meningkatnya kandungan

limbah khususnya nitrogen organik. Ikan lele menurut Rachmawati, et al. (2015),

memiliki standar optimal pada beberapa parameter kualitas air. Ikan lele dapat

tumbuh dengan baik pada suhu 27-30°C. Parameter kualitas air lainnya yaitu

oksigen dengan kadar yang dapat ditoleransi oleh ikan lele sebesar >5 mg/L.

Ikan lele dapat hidup pada tingkat derajat keasaman (pH) sebesar 6,5-8,5.

Parameter kualitas air berupa amonia dapat ditoleransi oleh ikan lele apabila

kadarnya kurang dari 0,2 ppm.

Parameter kualitas air pada budidaya ikan lele perlu dilakukan

manajemen yang baik. Hal ini karena kualitas air merupakan faktor yang

mempengaruhi produksi budidaya ikan lele. Manajemen kualitas air pada

budidaya ikan lele dapat diidentifikasi dengan melakukan kelayakan kualitas air.

Parameter kualitas air yang utama pada kegiatan budidaya ikan yaitu suhu, DO,

pH, dan amonia. Salah satu parameter kualitas air yang perlu diperhatikan

adalah amonia. Hal ini karena amonia bersifat racun bagi ikan apabila

kandungannya terlalu tinggi. Sumber amonia di perairan dipengaruhi oleh proses

pemecahan nitrogen organik dan anorganik yang terdapat dalam air dari

dekomposisi bahan organik termasuk hasil ekskresi biota dan sisa pakan yang

tidak termakan. Amonia yang tinggi pada media budidaya dapat menurunkan
15
kualitas air pada media budidaya (Kelana et al., 2021).

2.1.8 Manajemen Hama dan Penyakit

Hama dan penyakit merupakan salah satu gangguan serius dalam

budidaya ikan lele. Maka dari itu, penting sekali untuk melakukan pengendalian

serta pencegahan dengan tepat. Penyakit dan hama pada ikan lele menurut

Harry (2023), dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti bakteri, jamur,

virus atau tertular dari ikan lainnya. Penyakit yang biasanya menyerang ikan lele

berupa penyakit bintik putih, gatal, terkena bakteri Aeromonas Hydrophila, Cotton

Wall Disease. Penyakit bintik putih pada ikan lele dapat disebabkan oleh

beberapa faktor seperti protozoa, suhu air terlalu dingin, kualitas air yang kurang

baik serta terlalu tinggi kepadatan dalam satu kolam, penyakit ini dapat diobati

dengan merendam ikan ke dalam larutan formalin. Penyakit gatal dapat

disebabkan karena adanya bakteri protozoa Trichodina sp., hal ini dapat diatasi

dengan merendam ikan selama satu hari dalam larutan formalin 40 ppm. Bakteri

Aeromonas hydrophila adalah penyakit ikan lele yang disebabkan oleh adanya

penumpukan sisa makanan di dasar kolam hingga mengalami pembusukan. Hal

ini dapat dicegah dengan mengganti air kolam apabila kualitasnya mulai

berkurang dan mengobati ikan menggunakan antibiotik oksi-tetrasiklin. Penyakit

Cotton Wall Disease merupakan penyakit yang disebabkan adanya penumpukan

sisa pakan dan tingginya suhu air dalam kolam, dapat diatasi dengan

memberikan antiobiotik oksi-tetrasiklin.

Penanggulangan hama seperti insekta, katak, ular, burung dan mamalia

menurut Ghufran dan Kordi (2010), dapat dilakukan dengan mempersiapkan

kolam pemeliharaan secara optimal seperti pintu yang tidak memungkinkan

organisme lainnya lolos ke dalam kolam, menutup permukaan kolam dan

16
memagar daerah sekitar kolam. Selain penanggulangan terhadap hama,

terdapat beberapa teknik pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari

adanya penyakit yaitu melakukan perbaikan kualitas air, memberikan pakan yang

tidak beracun, menggunakan indukan berkualitas, menggunakan pakan yang

sesuai dengan frekuensi pakan yang tepat.

2.1.9 Manajemen Pemanenan

Kegiatan pemanenan ikan lele menurut Muhammad dan Andriyanto

(2013), biasanya dilakukan setelah pemeliharaan selama 3 hingga 4 bulan

dengan ukuran ikan lele konsumsi 7-12 (artinya dalam 1 kg ikan terdapat 7

hingga 12 ekor). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan yang

berbahan licin serta halus agar tidak menimbulkan lecet pada ikan. Pemanenan

ikan lele dilakukan dengan cara menyurutkan air kolam terlebih dahulu.

Kemudian, gunakan serokan untuk menangkap ikan lele dan masukan dalam

wadah berbahan plastik. Pemanenan juga bisa dilakukan menggunakan jaring

apabila air kolam masih cukup banyak.

Sumber : Aidah, 2020


Gambar 3. Pemanenan Ikan Lele

Cara pemanenan ikan lele menurut Ghufran dan Kordi (2010), ketika hari

pemanenan maka pemberian pakan diberhentikan, kemudian air di kolam terpal

dikeringkan secara bertahap dengan membuka pintu air (outlet). Pengeringan ini

juga dapat dibantu menggunakan pompa hisap hingga air hanya tersisa di

saluran kolam yang terdalam. Selanjutnya, ikan lele digiring menuju saluran
17
hingga terkumpul dan tangkap ikan secara hati-hati dengan menggunakan seser

atau tangan. Ikan selanjutnya dipindahkan ke dalam bak atau waring yang airnya

mengalir agar tubuh lele menjadi bersih. Selanjutnya, pisahkan ikan sesuai

ukuran, kemudian bawa langsung ke konsumen dengan menggunakan wadah

berupa bak atau drum plastik.

2.2Parameter Kualitas Air


2.2.1 Suhu

Suhu adalah derajat panas atau dinginnya suatu perairan. Menurut

Tatangindatu, et al. (2013), pengukuran suhu dilakukan dengan thermometer.

Toleransi suhu perairan yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal dari

beberapa ikan budidaya air tawar sepertii ikan mas dan ikan nila adalah 28 0C.

Suhu mempunyai peranan penting dalam menentukan pertumbuhan ikan yang

dibudidayakan, kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan ikan yang

optimal adalah 280C – 320C.

Suhu juga mempengaruhi kelarutan gas-gas dalam air, termasuk

oksigen. Semakin tinggi suhu, maka semakin kecil kelarutan oksigen dalam air,

padahal kebutuhan oksigen bagi ikan semakin besar karena tingkat

metabolisme ikan semakin tinggi. Semakin tinggi suhu maka semakin kurang

kandungan oksigen terlarut (DO), sehingga pH menjadi turun dan kandungan

karbondioksida (CO2) semakin meningkat (Hasan et al., 2016). Suhu tinggi

disebabkan oleh cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan dan

mengalami penyerapan serta perubahan menjadi energi panas, proses

penyerapan cahaya lebih intensif pada bagian tengah sehingga memiliki suhu

yang lebih tinggi (Lestari et al., 2020).

18
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan suhu di perairan antara

lain keberadaan naungan (pohon atau tanaman air), air limbah yang masuk ke

badan air, radiasi matahari, suhu udara, cuaca, dan iklim (Muarif, 2016).

Prosedur pengukuran suhu dapat dilakukan dimulai dengan

memasukkan Thermometer ke dalam perairan sekitar 10 cm dengan posisi

membelakangi cahaya, ditunggu sekitar 1-2 menit sampai air raksa dalam

thermometer menunjukan atau berhenti pada skala tertentu. Kemudian dicatat

hasilnya dalam skala ºC. Pembacaan thermometer dilakukan pada saat

thermometer masih dalam air, jangan sampai tangan menyentuh thermometer.

2.2.2 Dissolved Oxygen (DO)

Menurut Patty (2018), oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO)

adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut

merupakan salah satu penunjang utama kehidupan di perairan dan indikator

kesuburan perairan. Kadar oksigen terlarut dalam air dimanfaatkan oleh

organisme perairan untuk proses respirasi dan menguraikan zat organik

menjadi anorganik. Sumber utama oksigen dalam air berasal dari difusi udara

dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup dan dibutuhkan oleh

organisme untuk mengoksidasi zat hara yang masuk kedalam tubuhnya.

Kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air berlangsung sangat lambat,

oleh sebab itu fitoplankton merupakan sumber utama penyediaan oksigen

terlarut dalam perairan. Menurunnya kadar oksigen terlarut akan mengakibatkan

berkurangnya aktivitas kehidupan dalam suatu perairan. Penurunan jumlah

oksigen dan peningkatan konsentrasi amonia merupakan ancaman bebahaya

bagi hewan akuatik. Konsentrasi oksigen rendah akan meningkatkan kecepatan

respirasi, menurunkan efisiensi respirasi dan pertumbuhan yang dapat berakibat

pada kematian masal. Kadar optimum DO adalah 4-8 ppm.


19
Prosedur yang dapat dilakukan dalam Pengukuran DO yakni sebagai

berikut :

a. Ukur dan catat volume botol DO yang akan digunakan.

b. Masukkan botol DO ke dalam perairan yang akan diukur oksigennya

secara perlahan-lahan dengan posisi miringdan usahakan jangan

sampai terjadi gelembung udara. Kemudian masukkan botol DO ke

dalam ke dalam air, bila botol telah penuh baru ditutup (penutupan

dilakukan didalam air).

b. Kemudian bukalah tutup botol yang berisi sampel, tambahkan 2 mL

MnSO4 (sebagai pengikat O2 dalam air) dan 2 mL NaOH+KI

(membentuk endapan coklat dan mengikat iodida), lalu dibolak – balik

biarkan ± 30 menit sampai terjadi endapan coklat.

b. Buang air yang bening di atas endapan kemudian endapan yang

tersisa diberi 2 ml H2SO4 pekat (untuk melarutkan endapan coklat dan

pengkondisian asam) dan kocok sampai endapan larut.

b. Beri 3-4 tetes Amylum (sebagai indikator warna ungu), dititrasi

dengan Na-thiosulfat 0,025 N (sebagai titran) sampai jernih (hingga

tidak berwarna untuk pertama kali).

Perhitungan :

Keterangan :

V titran : Volume pada buret (Vakhir-Vawal) (ml)

N titran: Normalitas/konsentrasi titran (0,025 N)

8 : ½ Ar dari O

1000 : L ke ml

4 : 2 ml MnSO4 + 2 ml NaOH+KI

20
2.2.3 pH

Menurut Paena et al. (2015), derajat keasaman (pH) adalah ukuran

besarnya konsentrasi ion hydrogen. Derajat keasaman suatu perairan

merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam memantau

kestabilan perairan, dimana kemasaman dapat menentukan produktivitas suatu

perairan. pH dalam perairan berkaitan langsung dengan kondisi oksigen terlarut

dimana saat oksigen terlarut rendah maka pH menjadi asam demikian pula

sebaliknya. Suhu perairan juga berperan terhadap fluktuasi pH, pada saat suhu

perairan tinggi maka pH menjadi rendah. Perairan dengan pH asam (pH<5) dan

pH tinggi (basa, pH>11) dapat menimbulkan kematian ikan dan tidak terjadi

produksi. Nilai pH yang baik untuk kehidupan ikan berkisar antara 6,5-8,5.

Prosedur pengukuran pH dilakukan dengan cara air yang akan diukur

kadar pHnya diletakan wadah sampel. Standarisasi dahulu pH pen sebelumnya

dipakan dengan cairan pH standar. Sebelum digunakan probe dibersihkan

dengan tisu agar probe bersih dari sisa larutan pH standart yang akan

mempengaruhi hasil pengukuran. Selanjutnya pengukuran dimulai dengan

memasukkan pH pen ke dalam air sampe yang akan diukur kadar pH-nya,

kemudian dilihat perubahan angka pada layar pH pen (sampai stabil), kemudian

dicatat hasilnya. Setelah penggunaan pH pen segera distandarisasi kembali dan

dibersihkan sebelum disimpan.

Sumber: Paena et al., 2015


Gambar 4. Alat pH meter
21
2.2.4 Kecerahan

Kecerahan air budidaya sangat bergantung kepada banyak sedikitnya

partikel (anorganik) tersuspensi atau kekeruhan dan kepadatan fitoplankton.

Kecerahan menggambarkan transparansi perairan budidaya, dapat diukur

dengan alat Secchi disk. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan

cuaca, waktu pengukuran. serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.

Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah.

Pengukuran menggunakan Secchi disk, dimasukkan ke dalam media

pemeliharaan. Ukuran kecerahan dinyatakan dengan mneggunakan jarak

anatara permukaan air ke piringan saat pertama kali piringan tidak terlihat,

piringan dimasukkan ke dalam air kemudian diangkat samapai trelihat kembali,

dirata-ratakan dan dinayatakan dalam senti meter (SNI 6148.3, 2013). Hal ini

sesuai dengan pernyataan Aziz, et al. (2015), kecerahan merupakan ukuran

transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan alat

secchi disk. Nilai dari kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu

pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Selain itu kecerahan juga

dapat dipengaruhi oleh kelimpahan fitoplankton yang ada di perairan. Semakin

tinggi kelimpahan fitoplankton pada perairan maka kecerahan akan semakin

menurun.

Secchi disk merupakan alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan.

Secchi disk dimasukan ke dalam perairan kemudian dilihat skala dimana Secchi

disk masih terlihat jelas (K1) dan skala dimana Secchi disk terlihat remang-

remang (K2). Persamaan untuk mengukur kecerahan sebagai berikut:

Keterangan:
D = Kecerahan (cm)
K1 = Secchi disk masih terlihat jelas (cm)
22
K2 = Secchi disk terlihat remang-remang (cm)

Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan organisme adalah lebih

besar dari 45 cm sehingga penetrasi dan absorbsi di perairan tersebut akan

berlangsung optimal (Arizuna et al., 2014).

Sumber : Mahyuddin, 2010


Gambar 5. Secchi disk

2.2.5 Amonia (NH3)

Menurut Haris dan Yusanti (2018), amonia merupakan produk akhir

metabolisme nitrogen yang bersifat racun. Amonia dalam air berasal dari limbah

budidaya perikanan yang berupa feses dan pakan sisa yang terlepas ke

lingkungan perairan. Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik

terhadap biota dan toksisitas tersebut akan meningkat jika terjadi penurunan

kadar oksigen terlarut. Proses pembusukan (nitrifikasi) yang tidak berjalan

lancar dapat menyebabkan terjadinya pembusukan NH3 sampai pada

konsentrasi yang membahayakan ikan.

Kandungan amonia sudah dapat bersifat racun pada konsentrasi 0,6 -

2,0 mg/L. Daya racun amoniak akan meningkat sebanding dengan

meningkatnya pH dan suhu. Konsentrasi amonia yang tinggi dapat

menyebabkan pertumbuhan terhambat, dan dapat meningkatkan kandungan

nitrit yang bersifat toksik di perairan. Sehingga untuk menghindari tingginya

kadar amonia maka dilakukan penyiponan dan pergantian air (Arsad et al.,

2017).
23
Adapun prosedur pengukuran kadar amonia pada perairan terdapat 2

metode, yakni menggunakan metode spektrofotometer secara fenat (SNI 06-

6989.30-2005) dengan panjang gelombang 640 nm dan metode yang

menggunakan Test Kit. Masing-masing dari kedua metode tersebut sebagai

berikut:

a. Pengukuran amonia dengan metode titrasi

• Disiapkan 25 ml air sampel yang telah disaring dalam Erlenmeyer

• Ditambahkan 0,5 ml pereaksi nesler dan dihomogenkan

• Dibiarkan selama ±30 menir agar terbentuk warna kuning dengan

sempurna. Kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam cuvet.

• Selanjutnya dibandingkan dengan larutan baku untuk menaksir kadar

ppm amonia yang terkandung di dalam air sampel tersebut. Apabila

pengukuraan menggunakan spektrofotometer menggunakan panjang

gelombang 425 nm.

b. Pengukuran ammonia dengan metode spektrofotometer secara fenat

Prosedur pengukuran amonia menggunakan metode spektrofotometer

secara fenat mengacu pada SNI 06-6989.30 (2005), adalah sebagai berikut:

• Ambil 25 ml air sampel menggunakan pipet lalu masukkan ke dalam

erlenmeyer 50 mL.

• Tambahkan 1 mL larutan fenol, dihomogenkan;

• Tambahkan 1 mL natrium nitroprusid, dihomogenkan;

• Tambahkan 2,5 mL larutan pengoksidasi, dihomogenkan;

• Tutup erlenmeyer tersebut dengan plastik atau parafin film;

• Biarkan selama 1 jam untuk pembentukan warna;

• Masukkan ke dalam kuvet pada alat spektrofotometer, baca dan catat

serapannya pada panjang gelombang 640 nm.

24
c. Pengukuran ammonia menggunakan Test Kit

Adapun prosedur pengukuran ammonia menggunakan test kit menurut

Hanna Instrument (2021), sebagai berikut.

• Air sampel diukur sebanyak 10 ml menggunakan gelas ukur kemudian

masukkan ke dalam botol filum.

• Kocok reagen sebelum digunakan agar reagen tercampur dan homogen.

• Tambahkan 10 tetes reagen NH3.

• Aduk perlahan selama 10 detik.

• Diamkan selama 2 menit.

• Bandingkan warna sampel dengan tabel reagen dari atas ke bawah

kemudian dicocokkan dengan tabel reagen guna mengetahui besaran

nilai amonia di perairan.

2.2.6 Nitrat (NO3)

Menurut Pasisingi et al. (2014), nitrogen merupakan unsur hara yang

mempengaruhi tingkat kesuburan suatu perairan. Salah satu bentuk N yang

umumnya ditemukan di perairan adalah nitrat. Nilai kisaran nitrat adalah 0,43-

1,03 mg/l. Rentang nilai tersebut masih memenuhi baku nilai mutu. Variasi

kandungan N dipengaruhi oleh perbedaan penerimaan banyaknya unsur hara

yang berasal dari aktivitas manusia. Pendapat Iswanto, et al. (2015),

menyatakan bahwa Nitrat (NO3) adalah nutrien utama bagi pertumbuhan

fitoplankton. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang

dihasilkan dari proses oksidasi sempurna selama di perairan. Nitrat dalam

perairan dihasilkan pada saat prsoses fotosintesis berlangsung. Adapun

kadungan nitrat yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah bekisar

0,9 – 3,5 mg/L.

25
Menurut Rusyadi, et al. (2017), kandungan nitrat pada perairan budidaya

ikan air tawar optimal berkisar antara 0,75-1,23 mg/l. Kadar nitrat di perairan

berdasarkan tingkat kesuburan yaitu pada oligotrofik memiliki kadar nitrat antara

0-1 mg/l. Perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 1-5 mg/l

dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5-50 mg/l.

Semakin tinggi nutrien maka semakin tinggi pula kesuburan perairan karena

pada nutrien terdapat nitrat yang sangat diperlukan fitoplankton untuk

fotosintesis. Semakin tinggi nitrat maka semakin baik kehidupan ikan air tawar

pada perairan kolam budidaya tersebut. Ditambahkan pernyataan dari Mustofa

(2015), bahwa nitrat adalah bentuk nitrogen utama diperairan alami. Nitrat

berasal dari ammonium yang masuk ke dalam badan sungai terutama melalui

limbah domestik. Konsentrasinya di dalam sungai akan semakin berkurang bila

semakin jauh dari titik pembuangan yang disebabkan adanya aktifitas

mikroorganisme di dalam air contohnya bakteri Nitrosomonas. Nitrat di perairan

merupakan makro nutrien yang mengontrol produktivitas primer di daerah

eufotik. Kadar nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh asupan nitrat dari

badan sungai. Sumber utama nitrat berasal dari buangan rumah tangga dan

pertanian termasuk kotoran hewan dan manusia. Kadar optimum kandungan

nitrat yaitu >2 ppm.

Sedimen nitrat diproduksi dari biodegradasi bahan organik menjadi

ammonia yang selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat. Bahan organik di perairan

yang mengandung nitrat terlarut akan mengalami proses denitrifikasi oleh

bakteri aerob. Ketika suhu mencapai titik optimum, maka laju penguraian nitrat

semakin cepat. Suhu di lapisan permukaan cenderung tinggi sehingga proses

denitrifikasi akan berlangsung dengan cepat. Hal ini menjadikan konsentrasi

nitrat di lapisan permukaan lebih rendah karena telah diubah menjadi gas

nitrogen sebagai hasil akhirnya. Kadar nitrat yang optimum untuk mendukung

26
produktivitas primer di perairan adalah 1,12 mg/l (Purba, et al., 2015). Indriani,

et al. (2018), menyebutkan bahwa kadar nitrat semakin tinggi bila kedalaman

perairan bertambah. Selain itu, distribusi horizontal kadar nitrat semakin tinggi

menuju ke arah pantai. Konsentrasi nitrat di lapisan permukaan yang lebih

rendah dibandingkan di lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat di lapisan

permukaan lebih banyak dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh fitoplankton. Selain

itu, konsentrasi nitrat yang sedikit lebih tinggi di dekat dasar perairan juga

dipengaruhi oleh sedimen. Di dalam sedimen nitrat diproduksi dari biodegradasi

bahan organik menjadi ammonia yang selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat.

Adapun prosedur pengukuran kadar nitrat pada perairan terdapat 2

metode, yakni menggunakan metode Brusin Sulfat dan menggunakan Test Kit.

a. Pengukuran Nitrat dengan Metode Titrasi

• Menyaring 12,5 ml sampel dan dituangkan ke dalam cawan porselin.

• Diuapkan diatas hotplate sampai kering (terbentuk kerak nitrat), hati-hati

jangan sampai pecah kemudian didinginkan

• Ditambahkan (dengan meneteskan) NH4OH 1:1 sampai terbentuk warna

kuning

• Encerkan dengan aquades hingga volume menjadi 12,5 ml dan

dihomogenkan. Kemudian dimasukkan ke dalam cuvet.

b. Pengukuran Nitrat dengan Metode Brusin Sulfat

Prosedur pengukuran nitrat menggunakan metode Brusin Sulfat

mengacu pada SNI 06-2480-1991 adalah sebagai berikut:

• 10 mL sampel air diambil menggunakan pipet lalu dimasukkan ke dalam

labu Erlenmayer 50 mL.

• Kemudian ditambahkan 10 mL larutan NaCl 30% dan ditambahkan

larutan Brusin Sulfat sebanyak 0,5 mL.

• Diaduk hingga homogen


27
• Selanjutnya ditambahkan asam sulfat pekat sebanyak 10 mL,

• Diaduk dan dihomogenkan serta dibiarkan hingga dingin

• Kemudian diukur larutannya dengan alat Spektrofotomeer UV-Vis pada

panjang gelombang 410 nm.

c. Pengukuran Nitrat Menggunakan Test Kit

Prosedur pengukuran Nitrat (NO3) Test Kit adalah sebagai berikut:

• Bersihkan wadah.

• Tambahkan 1 ml air sampel.

• Tambahkan Reagen (I) sebanyak 4 tetes dan kocok secara perlahan

hingga merata.

• Tambahkan Reagen (II) 1 ml dan kocok secara perlahan.

• Tunggu dan bandingkan dengan kartu warna indikator. Hindari sinar

matahari langsung saat melihat hasilnya.

• Tutup kembali test kit apabila sudah digunakan, bersihkan wadah dan

keringkan. Simpan di tempat yang aman dan jauh dari jangkauan anak-

anak.

2.2.7 Orthophosfat

Ortofosfat menurut Effendi, et al. (2015), merupakan senyawa anorganik

terlarut yang dimanfaatkan oleh tumbuhan dan ikan sebagai senyawa esensial

untuk pertumbuhan. Orthophosfat (PO43-) merupakan bentuk anorganik dari

fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan dan

mikroorganisme. Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam

ortofosfat dan merupakan bentuk fosfat yang paling sederhana di perairan.

Konsentrasi ortofosfat dipengaruhi oleh suhu dan pH. Konsentrasi ortofosfat

akan meningkat dengan peningkatan suhu dan penurunan pH. Konsentrasi

ortofosfat yang optimum untuk pertumbuhan ikan lele berkisar 0,05–0,07 mg L-


28
1. Kadar maksimum ortofosfat untuk keperluan perikanan yaitu sebesar 1 mg.L-

1 (Siregar et al., 2017).

Penentuan kadar orthophosfat dapat dilakukan dengan menggunakan

metode titrasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

• Tuang 25 ml air sampel ke dalam erlenmeyer

• Tambahkan 1 ml ammonium molybdate ke dalam air sampel dan

dihomogenkan

• Ditambahkan 5 tetes larutan SnCl2 yang masih baru dibuat pada sampel

dam dihomogenkan. Warna biru akan timbul (selama 10-12 menit)

sesuai dengan kadar fosfatnya

• Memasukkan larutan (No.3) ke dalam cuvet

• Bandingkan warna biru air sampel dengan larutan standart yang telah

dibuat, baik secara visual atau dengan menggunakan spektrofotometer

dengan panjang gelombang 690 nm.

2.2.8 Total Organic Matter (TOM)

Total Organic Matter (TOM) merupakan total bahan organik yang

terdapat di perairan. TOM menggambarkan kandungan bahan organik total

yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi, dan koloid. Bahan organik

ini terus mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi oleh faktor fisika,

kimia, dan biologi. Sumber bahan organik di perairan berasal dari daratan,

serasah dan detritus (dari tanaman seperti lamun, fitoplankton, dan bakteri).

Bahan organik berhubungan erat dengan keberadaan oksigen di perairan.

Bahan organik dengan bantuan bakteri dan oksigen akan mendekomposisi

bahan organik tersebut menjadi bahan yang dapat dimanfaatkan oleh makhluk

hidup lainnya misalnya nutrien. Dekomposisi bahan organik dipengaruhi oleh

29
beberapa faktor, antara lain susunan residu, suhu, pH, ketersediaan zat hara,

dan oksigen (Yulius et al., 2018).

TOM termasuk parameter yang sangat penting di suatu perairan. TOM

merupakan representasi dari bahan organik di dalam perairan. Semakin tinggi

nilai TOM, maka menunjukkan kesuburan perairan yang semakin baik. Kisaran

kadar optimum TOM diperairan adalah <50 mg/L (Hidayat et al., 2019).

Pengukuran konsentrasi bahan organik dapat menggunakan metode titrasi,

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

• Masukkan 25 ml air sampel ke dalam erlenmeyer

• Tambahkan 4,75 ml KmnO4 menggunakan pipet volume (terjadi

perubahan warna menjadi pink), kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 1:4.

• Dipanaskan di atas hot plate sampai suhu mencapai 75°C kemudian

diangkat dan didinginkan.

• Bila suhu telah turun menjadi 60°C, ditambahkan Na-oxalate 0,01 N

secara perlahan sampai tidak berwarna (jernih)

• Segera titrasi dengan KMnO4 0,01 N sampai terbentuk warna (pink)

pertama kali, kemudian volume KMnO4 0,01 N yang terpakai dicatat

sebagai ml titran atau nilai x (ml)

• Melakukan prosedur (1-5) dengan menggunakan sampel aquades dan

dicatat titran yang digunakan sebagai nilai y (ml)

Keterangan:
X = ml titran untuk air sampel
Y = faktor dari KMnO4 0,01 N
31,6 = 1/5 dari BM KMnO4 (1 mol KMnO4 melepas 5 oksigen dalam
reaksi ini)
0,01 = Molaritas KMnO4
1000 = adalah konversi dari ml ke liter

30
2.2.9 Alkalinitas

Alkalinitas menggambarkan kandungan basa. Pada perairan yang

tercemar nilai alkalinitas menggambarkan basa dan hidroksil. Sedangkan pada

perairan yang alami dan normal nilai alkalinitas terutama menggambarkan nilai

kebasaan dari karbonat dan bikarbonat. Nilai alkalinitas yang memenuhi syarat

untuk budidaya ikan antara 20-300 mg/l. Nilai alkalinitas lebih besar dari 500

mg/l menunjukkan bahwa perairan memiliki produktivitas rendah, 200-500 mg/l

perairan produktif, 50-200 mg/l produktivitas sedang, 10-50 mg/l perairan

kurang produktif dan 0-10 mg/l tidak dapat dimanfaatkan (Dewi, et al., 2014).

Kisaran optimal alkalinitas yaitu 90-150 ppm. Semakin sadah air

semakin baik bagi usaha budidaya udang dengan nilai optimal 120 ppm dan

maksimal 200 ppm. Nilai alkalinitas di atas 150 ppm harus diimbangi dengan

pengenceran salinitas. Kepekatan plankton serta oksigenisasi yang cukup juga

dapat megimbangi nilai alkalinitas (Arsad, et al., 2017). Alkalinitas pada perairan

dapat diukur dengan menggunakan metode titrasi, berikut cara kerja

pengukuran alkalinitas.

1. Ambil sampel air yang akan diukur alkalinitasnya sebanyak 25 ml lalu

dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml.

2. Tambahkan 2 tetes indikator PP (Phenolphtalein). Bila:

a. Terjadi perubahan warna pink, lanjutkan ke langkah nomor 3

b. Tidak terjadi perubahan warna, lanjutkan ke langkah nomor 4

3. Dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai warna merah muda hilang.

Kemudian ditetesi dengan 2 tetes indikator MO (Methyl Orange) dan

dititrasi dengan HCl sampai berwarna merah bata.


31
4. Ditetesi dengan 1 tetes indikator MO (Methyl Orange) dan dititrasi

dengan HCl sampai terjadi perubahan yang semula berwarna kuning

menjadi berwarna oranye. Hitung volume HCl 0,02 N yang digunakan.

Keterangan:
N HCL = normalitas HCl 0,02 N
V HCL = volume HCl yang terpakai
100 = MR CaCO3
2 = valensi dari CaCO3
1000 = konversi dari ml ke liter

32
BAB III. ANALISIS PROSEDUR

3.1 Persiapan Kolam


3.1.1 Pengapuran

Praktikum Manajemen Budidaya Air Tawar, Payau, dan Laut pada

persiapan kolam dilakukan pengapuran. Pengapuran dilakukan sebelum

pembukaan kolam untuk budidaya ikan atau udang. Tujuan pengapuran adalah

untuk meningkatkan pH agar pH tidak terlalu asam atau rendah. Kapur yang

digunakan pada praktikum adalah kapur dolomite, untuk pengapuran kolam.

Prosedur penggunaan kapur adalah ditimbang terlebih dahulu dengan berat 30

gram/m2, lalu disebarkan di dasar kolam setelah minimal satu hari kering.

Pengapuran kolam dilakukan dengan tujuan supaya tanah dasar kolam

memiliki pH yang sesuai dengan habitat ikan. Setelah satu periode proses

pemijahan dilakukan, biasanya di dasar kolam banyak terdapat sisa-sisa kotoran

ikan baik sisa pakan maupun feses, dan limbah kolam. Zat kapur yang ditebar

merata di tanah dasar kolam dapat membunuh parasit yang merugikan untuk

keberlangsungan hidup induk ikan. Pengapuran memiliki manfaat untuk

memperbaiki pH tanah sehingga berpengaruh pada kadar fosfor yang berasal

dari pupuk. Plankton bisa selalu tumbuh karena fosfor yang tersedia dalam

jumlah yang cukup sebagai nutrisi pertumbuhannya (Holland et al., 2018).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Tujuan pengapuran adalah untuk meningkatkan pH agar pH tidak terlalu

asam atau rendah. Kapur yang digunakan pada praktikum adalah kapur

dolomite, untuk pengapuran kolam. Zat kapur yang ditebar merata di tanah dasar

kolam dapat membunuh parasit yang merugikan untuk keberlangsungan hidup

induk ikan. Pengapuran memiliki manfaat untuk memperbaiki pH tanah sehingga


berpengaruh pada kadar fosfor yang berasal dari pupuk.

3.1.2 Pemupukan

Praktikum Manajemen Budidaya Air Tawar, Payau, dan Laut pada persiapan

kolam dilakukan pemupukan. Pemupukan pada kolam budidaya dilakukan

setelah prosedur pengapuran telah selesai dilakukan. Tujuan pemupukan adalah

untuk menumbuhkan fitoplankton dalam kolam budidaya. Praktikum

menggunakan pupuk kendang, yaitu pupuk organik sebanyak 100 gram/m2.

Prosedur selanjutnya adalah karung yang berisi dengan pupuk harus dilubangi

terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam kolam budidaya.

Pemupukan pada kolam dilakukan saat kolam sudah diisi air. Pupuk yang

digunakan bisa menggunakan pupuk organik yang dicampur dengan pupuk

kimia, serta bisa juga dicampur dengan probiotik. Pupuk organik termasuk pupuk

kandang, kompos, atau sisa-sisa organik lainnya, sedangkan pupuk kimia

meliputi pupuk urea, pupuk NPK (Nitrogen, Fosfor, Kalium), dan pupuk lainnya.

Pupuk yang digunakan perlu dihitung dosisnya agar perairan terpenuhi nutrisi

dari pupuk tersebut. Pupuk yang dimasukkan ke dalam kolam harus merata

persebarannya di perairan (Tahapari et al., 2017).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan

sebagai berikut. Pemupukan pada kolam budidaya dilakukan setelah prosedur

pengapuran telah selesai dilakukan. Tujuan pemupukan adalah untuk

menumbuhkan fitoplankton dalam kolam budidaya. Pupuk yang digunakan bisa

menggunakan pupuk organik yang dicampur dengan pupuk kimia, serta bisa juga

dicampur dengan probiotik. Pupuk yang digunakan perlu dihitung dosisnya agar

perairan terpenuhi nutrisi dari pupuk tersebut.

3.2 Penebaran
Praktikum Manajemen Budidaya Air Tawar, Payau, dan Laut pada

persiapan kolam dilakukan penebaran benih ikan. Benih yang ditebar pada

praktikum adalah benih ikan lele (Clarias gariepinus). Langkah pertama yaitu

persiapan kolam meliputi kegiatan pembersihan kolam, pemberian kapur,

pemberian pupuk dan pengisian air kolam. Langkah kedua, menebar benih

dengan metode aklimatisasi pada perairan terlebih dahulu. Hal tersebut

bertujuan agar ikan dapat beradaptasi dengan kondisi perairan dalam kolam.

Langkah terakhir adalah melepaskan benih dan menebarkan secara perlahan

diseluruh bagian kolam. Benih ikan yang ditebar yaitu sebanyak 3.500 ekor/m2

dengan luas bak kolam dengan ukuran 4 x 8 m.

Benih ikan lele tidak dapat langsung ditebar di dalam kolam. Proses

penyesuaian terlebih dahulu dengan kondisi air kolam perlu dilakukan. Benih lele

yang dimasukkan secara langsung ke dalam kolam dapat menyebabkan stres

dan kematian pada benih tersebut. Metode penyebaran benih lele melibatkan

pengisian air kolam ke dalam sebuah wadah. Kemudian, benih ikan lele

ditempatkan dalam wadah tersebut dan dibiarkan selama 30 menit. Tujuannya

adalah agar benih ikan lele dapat beradaptasi dengan kondisi air kolam serta

mengurangi stres setelah dipindahkan dari tempat penetasan ke habitat baru.

Penyebaran benih dilakukan dengan hati-hati, dengan perlahan memasukkan

wadah yang berisi benih ikan lele sehingga benih lele dapat keluar dengan

sendirinya. Kondisi ini akan menyebabkan tingkat adaptasi benih semakin baik

sehingga dapat melalui stadia dewasa dengan cepat (Ardika, et al., 2020).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Benih yang ditebar pada praktikum adalah benih ikan lele (Clarias

gariepinus). Benih ikan yang ditebar yaitu sebanyak 3.500 ekor/m2 dengan luas

bak kolam dengan ukuran 4 x 8 m. Metode penyebaran benih lele melibatkan

pengisian air kolam ke dalam sebuah wadah. Kemudian, benih ikan lele
ditempatkan dalam wadah tersebut dan dibiarkan selama 30 menit. Tujuannya

adalah agar benih ikan lele dapat beradaptasi dengan kondisi air kolam serta

mengurangi stres setelah dipindahkan dari tempat penetasan ke habitat baru.

3.3 Pengukuran Kualitas Air


1.1.1. Suhu

Praktikum Manajemen Air Tawar, Payau, dan Laut pada pengukuran

suhu terdapat prosedur pengukuran sebagai berikut. Parameter kualitas suhu

diukur menggunakan bantuan alat Thermometer. Langkah pertama yaitu

memasukkan alat ke dalam perairan sekitar 10 cm dari permukaan perairan

dengan posisi membelakangi cahaya. Thermometer dibiarkan di dalam air

selama 1-2 menit hingga menunjukkan perubahan skala. Penentuan skala

thermometer dilakukan di dalam air agar tidak mempengaruhi hasil akhir. Faktor

yang mempengaruhi nilai akurasi skala thermometer anggota badan.

Kualitas air dinilai penting dilakukan pengelolaan dalam pemeliharaan

ikan lele dengan beberapa cara. Contohnya melalui penyiponan, penggunaan

filter air, dan pergantian air. Terdapat faktor berupa suhu yang mempengaruhi

laju metabolisme dan kelarutan oksigen dalam air. Tingginya suhu akan

meningkatkan laju metabolisme ikan sehingga respirasi terjadi secara cepat.

Respirasi yang cepat akan mengurangi konsentrasi oksigen pada air sehingga

mempengaruhi kondisi fisiologis ikan. Dampak tersebut berupa ikan yang stress

dan menurun kondisi tubuhnya bahkan kematian. Nilai suhu yang optimal untuk

pertumbuhan ikan lele berkisar antara 25-32°C (Fahmi dan Natalia, 2020).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Parameter kualitas suhu diukur menggunakan bantuan alat

Thermometer. Penentuan skala thermometer dilakukan di dalam air agar tidak

mempengaruhi hasil akhir. Terdapat faktor berupa suhu yang mempengaruhi laju
metabolisme dan kelarutan oksigen dalam air. Tingginya suhu akan

meningkatkan laju metabolisme ikan sehingga respirasi terjadi secara cepat.

1.1.2. Dissolved Oxygen (DO)

Praktikum Manajemen Air Tawar, Payau, dan Laut pada pengukuran DO

terdapat prosedur pengukuran sebagai berikut. Langkah pertama air dimasukkan

ke dalam botol sampel yang akan digunakan. Langkah selanjutnya dengan posisi

miring, diukur kadar oksigen botol DO secara perlahan-lahan supaya tidak

terbentuk gelembung udara. Langkah ketiga setelah botol DO terisi penuh

dengan air, 2 mililiter MnSO4 ditambahkan untuk mengikat oksigen ke dalam air

dan 2 mililiter NaOH+Kl untuk membentuk endapan coklat. Langkah selanjutnya,

dibuang air bening dari endapan, kemudian ditambahkan 2 mililiter H 2SO4 dan

dicampurkan hingga terlarut. Langkah terakhir, mebri 3-4 tetes amilum dan

dititrasi dengan Na-thiosulfat 0,025 sebagai titran sampai endapan jernih

terbentuk dan kemudian hasilnya diperoleh.

DO (Dissolved Oxygen) adalah kadar oksigen terlarut yang ada dalam air.

Kadar oksigen terlarut minimum untuk ikan lele normal adalah 2 mg/L.

Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk ikan lele sangkuriang adalah

berkisar 3,5 mg/L hingga 6 mg/L.Kandungan oksigen terlarut merupakan hal

yang penting untuk mendukung kehidupan hewan air. Pemberian pakan

tambahan bungkil sawit pada lele sangkuriang tergolong baik karena mendapat

hasil rata-rata pengukuran DO sebesar 4,9 mg/L (Nikhlani et al., 2022).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Dissolved oxygen (DO) merupakan kandungan oksigen terlarut dalam

perairan. Difusi udara bebas dan fotosintesis organisme yang hidup dalam

perairan adalah sumber utama oksigen dalam suatu perairan. Dissolved oxygen

dapat dihitung dengan DO meter yang dimasukkan ke dalam air sampel yaitu air
kolam. Kandungan oksigen terlarut ideal sebesar 2 mg/L cukup untuk

mendukung kehidupan normal organisme perairan.

1.1.3. pH

Praktikum Manajemen Air Tawar, Payau, dan Laut pada pengukuran pH

terdapat prosedur pengukuran sebagai berikut. Pengukuran pH perairan menjadi

salah satu bagian penting dari kegiatan budidaya. Nilai pH perairan yang optimal

dapat mempengaruhi kondisi lingkungan yang sesuai dengan metabolisme dan

reproduksi ikan. pH meter adalah alat yang dapat digunakan untuk mengukur

kadar pH dalam perairan. Prosedur pengukuran pH harus dilakukan kalibrasi

terlebih dahulu pada pH meter. Tujuan kalibrasi adalah untuk menetralkan pH

meter agar hasilnya tepat. Alat pH meter yang telah dikalibrasi dapat digunakan

untuk mengukur kadar pH dalam perairan. Prosedur pengukuran pH dilakukan

dengan mencelupkan pH meter ke dalam air dalam wadah atau perairan kolam

dan dtunggu hingga layar pH meter menunjukkan nilai pH perairan.

pH menurut adalah karakteristik lingkungan yang penting dan itu juga

mempengaruhi metabolisme dan proses fisik lainnya digunakan untuk

menurunkan keasaman tanah. Sampel air yang akan diuji tanpa melebihi batas

maksimum tingkat perendamannya pada pH yang sedang direndam. Sampel

akan diaduk perlahan dan menunggu hingga stabil serta telah direkam.

Kelangsungan hidup udang dapat bergantung pada pH air sampel yang

dikumpulkan diukur dengan menggunakan alat pengukur pH digital. Alat yang

sebelum digunakan akan dikalibrasi dengan pH 7 dan larutan buffer pH 10.

Penyebab pH tinggi adalah tingginya laju fotosintesis secara padat fitoplankton

berkembang biak. PH di tambak budidaya udang adalah dipengaruhi oleh

alkalinitas air, pH tanah tambak, kapur aplikasi dan aktivitas pertumbuhan


fitoplankton. Peranan penting metabolisme dan proses fisik lainnya untuk

digunakan sebagai penurun keasaman tanah (Venkateswarlu et al., 2019).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses yang terjadi di dalam

perairan. pH meter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur pH

perairan. Nilai pH adalah salah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi

reproduksi, pertumbuhan kelangsungan hidup, dan distribusi hewan air. Nilai pH

yang dapat ditoleransi oleh ikan lele dalam pertumbuhannya yaitu sekitar 6,5-

8,0.

1.1.4. Kecerahan

Praktikum Manajemen Air Tawar, Payau, dan Laut pada pengukuran

kecerahan terdapat prosedur pengukuran sebagai berikut. Alat yang digunakan

untuk mengukur kecerahan perairan adalah secchi disk. Langkah pertama yaitu

memasukkan alat ke dalam kolam pemeliharaan. Indikator pengukuran

kecerahan menggunakan jarak antara permukaan air ke piringan saat pertama

kali piringan tidak terlihat. Faktor yang mempengaruhi kecerahan seperti

keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi dalam

perairan.

Perairan adalah kesatuan antara komponen biologi, kimia, dan fisika pada

suatu wilayah tertentu dalam lingkungan perairan. Ketiga komponen tersebut

saling berinteraksi dan saling mempengaruhi perubahan dalam perairan. Faktor

lingkungan lain berupa kecerahan perairan, dapat diukur dengan menggunakan

secchi disk. Kecerahan atau penetrasi cahaya merupakan salah satu faktor

penting bagi pertumbuhan mikroalga karena berpengaruh secara langsung untuk

proses fotosintesis. Kondisi perairan dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan


tingkat kecerahannya, yakni perairan keruh apabila nilai kecerahannya 0,25–1,00

m, perairan sedikit keruh apabila memiliki nilai kecerahan 1,00–5,00 m, dan

perairan jernih memiliki nilai kecerahan di atas 5,00 m (Pane dan Harahap,

2023).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Kecerahan atau penetrasi cahaya merupakan salah satu faktor penting

bagi pertumbuhan mikroalga karena berpengaruh secara langsung untuk proses

fotosintesis. Alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan perairan adalah

secchi disk. Indikator pengukuran kecerahan menggunakan jarak antara

permukaan air ke piringan saat pertama kali piringan tidak terlihat. Faktor yang

mempengaruhi kecerahan seperti keadaan cuaca, waktu pengukuran,

kekeruhan, dan padatan tersuspensi dalam perairan.

1.1.5. Amonia

Analisis prosedur pengukuran ammonia pada Praktikum Manajemen

Budidaya Air Tawar, Payau, dan Laut menggunakan test kit terdiri atas beberapa

langkah sebagai berikut. Langkah pertama adalah diukur air sampel sebanyak 10

ml dengan gelas ukur, lalu dimasukkan ke dalam botol filum. Reagen dikocok

terlebih dahulu sebelum digunakan agar tercampur dengan baik. Langkah ketiga

yaitu ditambahkan 10 tetes reagen NH3, diaduk perlahan selama 10 detik dan

didiamkan selama 2 menit. Langkah yang terakhir, dibandingkan warna sampel

dengan tabel reagen dari atas ke bawah dan dicocokkan dengan tabel reagen

untuk mengetahui berapa banyak amonia yang ada di perairan.

Amonia (NH3) merupakan salah satu faktor abiotik yang memiliki dampak

signifikan terhadap kelangsungan hidup organisme di lingkungan air. Kandungan

amonia dapat diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer. Amonia

berasal dari proses degradasi protein dan asam amino, yang umumnya berasal
dari sisa pakan dan kotoran organisme dalam lingkungan air. Kadar amonia

dalam air juga dipengaruhi oleh tingkat pH. Saat pH air tinggi, kemungkinan

konsentrasi amonia dalam air akan meningkat, yang pada gilirannya bersifat

toksik bagi organisme yang hidup di dalamnya. Keberadaan amonia yang tidak

terionisasi sangat dihindari dalam lingkungan air karena sifatnya yang bersifat

toksik bagi organisme hidup di dalamnya. Oleh karena itu, pemantauan dan

pengendalian kandungan amonia dalam air sangat penting untuk memastikan

kondisi lingkungan air tetap mendukung bagi kehidupan organisme yang ada di

dalamnya (Difinubun et al., 2023).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Penggunaan test kit dapat digunakan untuk mengukur amonia. Proses ini

mencakup mengukur volume sampel air, menggunakan reagen, mencampur, dan

membandingkan warna dengan tabel reagen. Amonia dapat berasal dari hasil

perombakan protein dan asam amino dari sisa pakan dan feses. Kadar amonia

juga mampu dipengaruhi oleh pH, nilai pH yang tinggi mampu meningkatkan

konsentrasi amonia dalam air yang bersifat toksik bagi organisme air. Kandungan

maksimum amonia yang masih dapat ditoleransi oleh Lele dumbo adalah 1

mg/liter.

1.1.6. Nitrat

Analisis prosedur praktikum Manajemen Air Tawar, Payau, dan Laut pada

materi nitrat adalah sebagai berikut. Metode yang digunakan yakni metode test

kit. Langkah pertama adalah menyiapkan sampel air sebanyak 1 ml. Langkah

kedua, menambahkan reagen 1 ke dalam sampel sebanyak 4 tetes kemudian

menghomogenkan hingga tercampur rata. Langkah ketiga yaitu menambahkan

kembali reagen 2 sebanyak 1 ml dan dihomogenkan hingga mengalami


perubahan warna. Hasil pencampuran tersebut lalu dibandingkan dengan

indikator pada test kit sehingga mendapatkan data yang diinginkan.

Aktivitas masyarakat perkotaan dapat berkontribusi pada peningkatan

kandungan senyawa nitrat yang melimpah dalam bahan organik. Turbulensi juga

dapat mempengaruhi pengangkatan senyawa nitrat dari dasar kolam air,

terutama pada perairan yang memiliki kedalaman yang terbatas. Hubungan

antara kelimpahan fitoplankton dan konsentrasi nitrat adalah fluktuatif, artinya

peningkatan nilai konsentrasi nitrat tidak memiliki pengaruh yang konsisten

terhadap kelimpahan fitoplankton. Perubahan konsentrasi nitrat selalu berubah-

ubah dan tidak selalu mengindikasikan kenaikan atau penurunan secara tetap.

Perubahan konsentrasi nitrat setiap saat berubah-ubah dan tidak selalu

menunjukkan kenaikan atau penurunan. Nitrat seringkali menjadi faktor

pembatas utama dalam produktivitas fitoplankton (Darmawan, et al., 2018).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Metode yang digunakan yakni metode test kit dengan penambahan

berbagai reagen. Hubungan antara kelimpahan fitoplankton dan konsentrasi

nitrat adalah fluktuatif, artinya peningkatan nilai konsentrasi nitrat tidak memiliki

pengaruh yang konsisten terhadap kelimpahan fitoplankton. Perubahan

konsentrasi nitrat selalu berubah-ubah dan tidak selalu mengindikasikan

kenaikan atau penurunan secara tetap. Perubahan konsentrasi nitrat setiap saat

berubah-ubah dan tidak selalu menunjukkan kenaikan atau penurunan.

1.1.7. Orthophosfat

Praktikum Manajemen Budidaya Air Tawar, Payau, dan Laut yang

dilakukan di Laboratorium Perikanan Air Tawar menggunakan pasir sebagai

sumber orthophosfat untuk pengukuran. Metode titrasi dapat digunakan untuk

mengukur kadar orthophosfat dalam suatu perairan. Prosedur pengukuran


diawali dengan diambil air sampel sebanyak 25 ml air lalu dituang ke dalam

erlenmeyer. Satu mililiter ammonium molybdate ditambahkan ke sampel dan

semuanya dihaluskan. Sampel selanjutnya dihomogenkan dan diberi lima tetes

larutan SnCl2 baru dibuat ditambahkan. Warna biru akan muncul selama 10-12

menit sesuai dengan kadar fosfat. Langkah berikutnya, setelah memasukkan

larutan (No.3) ke dalam cuvet, dibandingkan warna biru air sampel dengan

larutan standar yang telah dibuat baik secara visual atau dengan menggunakan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 690 nm.

Ortofosfat adalah bentuk fosfat anorganik yang paling banyak terdapat

dalam siklus fosfat. Distribusi bentuk yang beragam dari fosfat di perairan

dipengaruhi oleh proses biologi dan fisik. Dipermukaan air, fosfat di angkut oleh

fitoplankton sejak proses fotosintesis. Mekanisme berbeda yang menyebabkan

perubahan ini dipengaruhi, seperti adaptasi terhadap warna perairan dan

kecerahan cahaya lingkungannya. Keberadaan fosfat yang berlebihan di badan

air dapat menyebabkan kondisi pengayaan nutrisi (eutrofikasi), dan dengan

dukungan nitrat dapat menyebabkan algae blooming yang menjadi salah satu

masalah lingkungan (Strauch, et al., 2019).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Ortofosfat adalah bentuk fosfat anorganik yang paling banyak terdapat

dalam siklus fosfat. Metode titrasi dapat digunakan untuk mengukur kadar

orthophosfat dalam suatu perairan. Distribusi bentuk yang beragam dari fosfat di

perairan dipengaruhi oleh proses biologi dan fisik. Dipermukaan air, fosfat di

angkut oleh fitoplankton sejak proses fotosintesis. Mekanisme berbeda yang

menyebabkan perubahan ini dipengaruhi, seperti adaptasi terhadap warna

perairan dan kecerahan cahaya lingkungannya.


1.1.8. TOM

Analisis prosedur pada Praktikum Manajemen Budidaya Air Tawar,

Payau, dan Laut yang dilakukan di UPT Perikanan Air Tawar Sumber Pasir

dengan materi pengukuran TOM adalah sebagai berikut. Langkah pertama

ditambahkan 25 mililiter air sampel ke dalam erlenmeyer. Sampel selanjutnya

ditambahkan 4,75 ml KMnO4 sampai berwarna pink menggunakan pipet volume.

Langkah berikutnya ditambahkan 5 ml H2SO4 dengan perbandingan 1:4. Sampel

kemudian dipanaskan di atas hot plate sampai suhu mencapai 75°C dan

kemudian diangkat serta didinginkan. Suhu yang telah turun menjadi 60°C, Na-

oxalate 0,01 N ditambahkan perlahan sampai tidak berwarna (jernih). Langkah

terakhir dititrasi dengan KMnO4 0,01 N sampai terbentuk warna pink. Volume

KMnO4 0,01 N yang digunakan dicatat sebagai ml titran atau nilai x (ml).

Total organic matter (TOM) merupakan parameter kualitas air yang

menunjukkan tinggi rendahnya kandungan bahan organik di perairan. Nilai TOM

yang semakin tinggi menunjukkan bahwa kadar organik diperairan tinggi yang

berdampak buruk pada kualitas air. Kadar TOM yang baik apabila <20 mg/l,

sedangkan nilai TOM antara 20-40 mg/l dapat dikatakan cukup. Kandungan TOM

yang tinggi di perairan dapat diatasi salah satunya dengan cara penggunaan

biofilter berupa cacing sutra. Hal tersebut dikarenakan cacing sutra

memanfaatkan bahan organik sebagai makanannya (Ardana et al., 2018).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Total organic matter (TOM) merupakan parameter kualitas air yang

menunjukkan tinggi rendahnya kandungan bahan organik di perairan. Nilai TOM

yang semakin tinggi menunjukkan bahwa kadar organik diperairan tinggi yang

berdampak buruk pada kualitas air. Beberapa faktor yang memengaruhinya

antara lain, kualitas air, kandungan bahan organik dan nilai TOM air. Langkah
pengukuran yaitu dititrasi dengan KMnO4 0,01 N sampai terbentuk warna pink.

Volume KMnO4 0,01 N yang digunakan dicatat sebagai ml titran atau nilai x (ml).

1.1.9. Alkalinitas

Analisis prosedur praktikum Manajemen Air Tawar, Payau, dan Laut pada

materi alkalinitas adalah sebagai berikut. Langkah pertama yaitu mengambil

sampel air 25 ml lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Langkah kedua,

menambahkan 2 tetes indikator PP (Phenolphthalein) sebanyak 2 tetes. Sampel

yang mengalami perubahan warna pink, dilanjutkan ke langkah nomor 3, namun

jika tidak terjadi perubahan warna dilanjutkan ke langkah nomor 4. Langkah

ketiga yaitu menitritasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai warna merah muda

hilang, lalu ditetesi dengan 2 tetes indikator MO (Methyl Orange). Langkah

keempat adalah menitrasi dengan larutan HCl sampai berwarna merah bata.

Langkah terakhir yaitu ditetesi dengan 1 tetes indikator MO (Methyl Orange) dan

dititrasi kembali dengan HCl sampai terjadi perubahan warna menjadi orange.

Alkalinitas merupakan parameter kapasitas air untuk menetralkan asam

yang dikenal dengan Acid Neutralizing Capacity (ANC), secara sederhana

didefinisikan sebagai perubahan kapasitas buffer terhadap pH. Alkalinitas

mempengaruhi tekanan osmotik pada air sehingga berpengaruh pada proses

osmoregulasi organisme budidaya. Rendah atau tingginya alkalinitas dalam air

berhubungan dengan peningkatan osmoregulasi ikan sehingga memerlukan

aktivasi banyak energi. Banyaknya energi yang digunakan untuk osmoregulasi,

semakin sedikit energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya. Pengaruh

konsentrasi alkalinitas optimum terhadap metabolisme ikan dapat diilustrasikan

pada konsumsi oksigen ikan. Laju metabolisme organisme perairan

menggambarkan nilai tingkat konsumsi oksigen. Alkalinitas yang optimal maka

semakin optimal pula konsumsi oksigen ikan yang berhubungan dengan


pertumbuhannya. Konsentrasi alkalinitas berasal dari beberapa anion yang ada

di dalam air seperti bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), hidroksida (OH-),

Borat (H2BO3-), silikat (HSiO3-) , fosfat (HPO42- dan H2PO4-), sulfida (HS-),

dan amonia (NH3) (Scabra dan Budiarti, 2020).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Alkalinitas merupakan parameter kapasitas air untuk menetralkan asam

yang dikenal dengan Acid Neutralizing Capacity (ANC), secara sederhana

didefinisikan sebagai perubahan kapasitas buffer terhadap pH. Rendah atau

tingginya alkalinitas dalam air berhubungan dengan peningkatan osmoregulasi

ikan sehingga memerlukan aktivasi banyak energi. Banyaknya energi yang

digunakan untuk osmoregulasi, semakin sedikit energi yang dapat digunakan

untuk pertumbuhannya. Pengaruh konsentrasi alkalinitas optimum terhadap

metabolisme ikan dapat diilustrasikan pada konsumsi oksigen ikan. Langkah

keempat adalah menitrasi dengan larutan HCl sampai berwarna merah bata.

Langkah terakhir yaitu ditetesi dengan 1 tetes indikator MO (Methyl Orange) dan

dititrasi kembali dengan HCl sampai terjadi perubahan warna menjadi orange.

3.3 Pemanenan

Analisis prosedur pemanenan dilakukan dengan beberapa langkah dalam

Praktikum Manajemen Budidaya Air Tawar, Payau, dan Laut. Proses pemanenan

ikan lele pada saat tiba hari pemanenan yaitu pemberian pakan dihentikan

kemudian air di kolam terpal dikurangi secara perlahan dengan membuka pintu

air (outlet). Proses pengeringan ini dapat dibantu dengan penggunaan pompa

hisap hingga hanya tersisa air di saluran terdalam kolam. Ikan lele selanjutnya

dibawa ke saluran untuk dikumpulkan dan diambil dengan hati-hati dengan

tangan atau seser. Ikan kemudian dipindahkan ke tempat dengan aliran air

seperti bak atau waring untuk membersihkan tubuhnya. Ikan selanjutnya


dikelompokkan berdasarkan ukuran dan dapat dikirim langsung ke pelanggan

menggunakan wadah seperti bak atau drum plastik.

Persiapan panen dilakukan dengan cara mengukur bobot ikan lele

menggunakan timbangan. Ikan lele yang siap dipanen memiliki bobot minimal

100 gram per ekor. Ikan lele mempunyai umur panen yang relatif pendek yaitu

antara 3 bulan. Kondisi ikan lele harus sehat dan tidak ada tanda-tanda penyakit

ketika di panen. Persiapan panen dilakukan dengan cara mengukur bobot ikan

lele menggunakan timbangan. (Sudaryati et al., 2017).

Hasil praktikum dan literatur pembanding diperoleh kesimpulan sebagai

berikut. Proses pemanenan ikan lele pada saat tiba hari pemanenan yaitu

pemberian pakan dihentikan kemudian air di kolam terpal dikurangi secara

perlahan dengan membuka pintu air (outlet). Proses pengeringan ini dapat

dibantu dengan penggunaan pompa hisap hingga hanya tersisa air di saluran

terdalam kolam. Persiapan panen dilakukan dengan cara mengukur bobot ikan

lele menggunakan timbangan. Persiapan panen dilakukan dengan cara

mengukur bobot ikan lele menggunakan timbangan.


BAB IV. ANALISIS HASIL

4.1 Persiapan Kolam


4.1.1 Pengapuran
4.1.2 Pemupukan

49
4.1.3 Penebaran

50
4.2 Pengukuran Kualitas Air
1.1.1. Suhu

51
1.1.2. Dissolved Oxygen (DO)

52
1.1.3. pH

53
1.1.4. Kecerahan

54
1.1.5. Amonia

55
1.1.6. Nitrat

56
1.1.7. Orthophosfat

57
1.1.8. TOM

58
1.1.9. Alkalinitas

59
4.3 Pemanenan

60
BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
62
5.2 Saran

63
DAFTAR PUSTAKA

Arsad, S., A. Afandy, A. P. Purwadhi, B. Maya, D. K. Saputra, N. Retno, Buwono.


(2017). Studi kegiatan budidaya pembesaran udang vaname
(Litopenaeus vannamei) dengan penerapan sistem pemeliharaan
berbeda. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 9(1), 1-14.

Awanis, A. A., S. B. Prayitno, dan V. E. Herawati, V. E. (2017). Kajian kesesuaian


lahan tambak udang vaname dengan menggunakan sistem informasi
geografis di Desa Wonorejo, Kecamatan Kaliwungu, Kendal, Jawa
Tengah. Buletin Oseanografi Marina, 6(2), 102-109.

Aziz, R., K. Nirmala, R. Affandi, dan T. Prihadi. (2015). Kelimpahan plankton


penyebab bau lumpur pada budidaya ikan bandeng menggunakan pupuk
N:P berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 14(1), 58-68.

Boyd, C. E. (2008). Chlorine an Effective Disinfectant in Aquaculture. Global


Aquaculture Advocate.

Burdames, Y., dan Ngangi, E. L. N. L. (2014). Kondisi lingkungan perairan budi


daya rumput laut di Desa Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan. e-
Journal Budidaya Perairan, 2(3).

Cahyani, L. R., & Hafiludin, H. (2023). Manajemen pemberian pakan pada


pembesaran ikan lele mutiara (Clarias gariepinus) di Karamba Tancap
Balai Benih Ikan Pamekasan. Juvenil: Jurnal Ilmiah Kelautan dan
Perikanan, 3(2), 19-26.

Chrisyariati, I., B. Hendrarto, dan Suryanti. (2014). Kandungan nitrogen total dan
fosfat sedimen mangrove pada umur yang berbeda di lingkungan
pertambakan Mangunharjo, Semarang. Journal of Management of
Aquatic Resources, 3(3), 65-72.

Dewi, N. K., R. Prabowo, dan N. K. Trimartuti. (2014). Analisis kualitas fisiko


kimia dan kadar logam berat pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) dan ikan
nila (Oreochromis niloticus L.) di Perairan Kaligarang Semarang.
Biosaintifika, 6(2), 133-140.

Ebeling, J. M., Timmons, M., dan Bisogni J. J. (2006). Engineering analysis of the
stoichiometry of photoautotrophic, autotrophic, and heterotrophic removal
of ammonia–nitrogen in aquaculture systems. Aquaculture, 257(1-4), 346-
358.

Mahyuddin, K. (2010). Panduan Lengkap Agribisnis Patin. Penebar Swadaya.


Depok. 212 hlm.
Muarif. (2016). Karakteristik Suhu Perairan di Kolam Budidaya Perikanan. Jurnal
Mina Sains. 2(2): 96-101.

Mustafa, A. (2012). Kriteria kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas di


tambak. Media Akuakultur, 7(2), 108 – 118.

Mustofa, A. (2015). Kandungan nitrat dan pospat sebagai faktor tingkat


kesuburan perairan pantai. Jurnal Disprotek, 6(1), 13-19.

Mustofa. (2020). Pengelolaan Kualitas Air untuk Akuakultur. Jepara. UNISNU


Press. 102 hlm.

Nwabueze, A. A., & Ofuoku, A. U. (2020). Socio-economic status and level of


biosecurity practice of catfish farmers in delta north agricultural zone,
Delta State, Nigeria. Asian Journal of Agriculture and Rural
Development, 10(2),1-8.

Paena, M., R. A. Suhaimi, dan M. C. Undu. (2015). Analisis konsentrasi oksigen


terlarut (DO), pH, salinitas dan suhu pada musim hujan terhadap
penurunan kualitas air perairan Teluk Punduh Kabupaten Pesawaran
Provinsi Lampung. Seminar Nasional Kelautan X. 1-8.

Pasisingi, N., Pratiwi, N. T., dan Krisanti, M. (2014). Kualitas perairan Sungai
Cileungsi bagian hulu berdasarkan kondisi fisik-kimia. Depik, 3(1), 56-
64.

Patty, S. I. (2016). Oksigen terlarut dan apparent oxygen utilization di Perairan


Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax, 6(1), 54-60.

Patty, S. I., Huwae, R., & Kainama, F. (2020). Variasi musiman suhu, salinitas
dan kekeruhan air laut di Perairan Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jurnal
Ilmiah Platax, 8(1), 110-117.

Pradeep, P. J., T. C. Srijaya, F. M. Shaharom, and A. Chatterji. (2011). Chapter-6:


Seed Production and Hatchery Management Techniques in Tilapia.
Malaysia: ResearchGate.

Prasetio, B. (2010). 23 Peluang Usaha Top Bidang Agribisnis. Yogyakarta: CV


Andi Offset.

Purba, D. K., Purnomo, P. W., dan Muskananfola, M. R. (2015). Analisis


kesuburan perairan sekitar muara Sungai Tuntang, Morodemak
berdasarkan hubungan antara nilai produktivitas primer dengan NO3
dan PO4. Diponegoro Journal of Maquares, 4(1), 19-24.

Rachmawati, D., Samidjan, I. & Setyono, H. (2015). Manajemen kualitas air


media budidaya ikan lele sangkurian (Clarias gariepinus) dengan
teknik probiotik pada kolam terpal di Desa Vokasi Reksosari,
Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. PENA Akuatika, 12(1), 24-
32.
Rijn, J. V., Tal, Y., Schreier, H. J. (2006). Denitrification in recirculating systems:
theory and applications. Aquaculture Engineering, 34, 364-376.

Rusyadi, I., Hutabarat, S, dan Ain, C. (2018). Pengaruh kandungan nutrient


terhadap kesuburan di kolam budidaya ikan nila (Oreochromis sp.) di
Balai Benih Ikan Mijen, Semarang. Management of Aquatic Resources
Journal, 6(1), 61-66.

Sellang, H. (2020). Biologi Perairan. Klaten: Lakeisha.

Sera®GmbH. (2021). User manuals Phosphate (PO4) Test. Heinsberg,


Germany: Sera GmbH.

Sitio, M. H. F., Jubaedah, D. & Syaifudin, M. (2017). Kelangsungan hidup dan


pertumbuhan benih ikan lele (Clarias sp.) pada salinitas media yang
berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 5(1), 83-96.

SNI 06-2479. (1991). Metode pengujian kadar amonium dalam air dengan alat
spektrofotometer secara nessler. Badan Standard Nasional Indonesia.

SNI 06-2480. (1991). Metode pengujian kadar nitrat dalam air dengan alat
spektrofotometer secara brusin sulfat. Badan Standard Nasional
Indonesia.

Supono. (2015). Manajemen Lingkungan Untuk Akuakultur. Yogyakarta:


Plantaxia.125 hlm.

Suwoyo, H.S dan M. Mangampa. (2010). Aplikasi probiotik dengan konsentrasi


berbeda pada pemeliharaan udang vanname (Litopenaeus vannamei).
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, 239 – 247.

Tatangindatu, F., O. Kalesaran, R. Rompas. (2013). Studi parameter fisika kimia


air pada areal budidaya ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan,
Kabupaten Minahasa. E-Journal Budidaya Perairan, 1(2), 8-19.

Titiresmi dan Sopiah, N. (2006). Teknologi biofilter untuk pengolahan limbah


amonia. Jurnal Teknologi Lingkungan, 7(2), 173-179.

Wahyuningsih, S. dan Gitarama, A. B. (2020). Amonia pada sistem budidaya


ikan. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, 5(2), 112-125.

Warseno, Y. (2018). Budidaya lele super intensif di lahan sempit. Jurnal Riset
Daerah, 17(2), 3064-3088.

Wathon, S. (2018). Peningkatan performa budidaya lele dumbo (Clarias


garipenus, Burch) Di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember
Provinsi Jawa Timur. Warta Pengabdian, 12(2), 298-306.

WWF-Indonesia. (2014). Better Management Paractices, Seri Panduan


Perikanan Skala Kecil Budidaya Udang Vannamei Tambak Semi
Intensif dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Jakarta.
Yulius, Y., A. Rustam, M. Ramdhan, H. L. Salim, A. Heriati. (2018). Distribusi
spasial kualitas air di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
Lombok Tengah. Majalah Ilmiah Globe, 20(1), 35-46.

Anda mungkin juga menyukai